Anda di halaman 1dari 88

Serial Penelitian Dan Penerbitan

The Acheh Renaissance Movement


(geumilang Aceh…. geumilang Islam)

Sejarah Perjuangan
Ummah
Aceh-Sumatra

Oleh
Al-Ustadz Hilmy Bakar Hasany Almascaty

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 1


Bismillahirrahmanirrahim
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Tentang Peneliti & Penulis


Al-Ustadz Hilmy Bakar Alhasany Almascaty, adalah Pendiri dan Presiden Hilal Merah
sebagai rekomendasi Mudzakarah Nasional Ulama, Habaib dan Cendekiawan Muslim
ke XI di Medan Sumut. Pernah menjabat sebagai: Panglima Operasi Kemanusiaan DPP-
Front Pembela Islam (FPI) dan Ormas Islam di NAD, Ketua DPP Front Pembela Islam,
Wakil Ketua PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah, Ketua Umum Aliansi Peduli Aktivis,
Kordinator Nasional Mudzakarah Ulama, Habaib dan Cendekiawan Muslim, Ketua
Persaudaraan Pekerja Muslim (PPMI), Direktur R&D Universitas Islam Azzahra,
Anggota Pleno Partai Bulan Bintang, Bendahara Umum Partai Daulat Rakyat, Preskom
Madani Group, Pendiri dan Deputy Presiden Intelektual Muda Muslim Asia Tenggara,
Direktur di beberapa Perusahaan Multinasional Malaysia dan beberapa jabatan dan
konsultan di pemerintah. Dosen dan Direktur Institut Pendidikan Safa Malaysia, Ketum
Yayasan Islam An-Nur NTB. Pernah aktiv di Pelajar Islam Indonesia (PII), Persekutuan
Pelajar Islam Asia Tenggara (PEPIAT), Pengkajian Risalah Tauhid BKPMI, Darul Arqam
dan Gerakan Mujahidin Ansharullah sebagai Kepala Staf KTWB.
Lahir di NTB pada 01 Agustus 1966. Mendapat Pendidikan di SDN dan
Madrasah Diniyah Mataram, Madrasah Tsanawiyah Mataram, Madrasah Aliyah
Jogyakarta, Islamic College Malaysia, Ma’had Aly Al-Dakwah, Sekolah Tinggi Ilmu
Islam, Diploma Madya Pentadbiran Perniagaan ITTAR Malaysia, Pasca Sarjana Fakultas
Pentadbiran Perniagaan Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Doktor Ekonomi-
Manajemen, International Institute of Management Studies akredetasi Assocations of
University and College-USA.
Menulis Risalah: Problematika Umat Islam Indonesia (Furqon Press, Yogya-1983),
Studi Kritis Terhadap Idiologi Pancasila di Zaman Soeharto (Tanpa Penerbit, Yogya-1983),
Risalah Panduan Jihad (Annur, 1987).
Menulis buku : Ummah Melayu Kuasa Baru Abad 21 (Berita Publ. Malaysia-1994),
Generasi Penyelamat Ummah (Berita Publ. Malaysia-1995), Panduan Jihad untuk Aktivis
Islam (GIP-JKT, 2001), Membangun Kembali Sistem Pendidikan Kaum Muslimin (Azzahra
Press, 2002). Buku yang akan terbit : Manhaj Tanzily dan Heurmenotika al-Qur’an
Kontemporer dan The Acheh Renaissance. Mempersiapkan : Kecerdasan Ketujuh,
Menggerakkan Kecerdasan Ilahiyah Menuju Manusia Sempurna.
Menulis di berbagai koran dan majalah nasional dan regional, terutama
Malaysia. Menjadi nara sumber di berbagai seminar/konferensi nasional dan regional.
Pernah diwawancarai media masa lokal dan internasional, CNN, BBC, CNBC, Al-
Jazeera, Spain TV, La Monde, TheWashington Post, Newsweek dll. Pada 2001 majalah
internasional ASIAWEEK meletakkannya sebagai cover dan menjuluki sebagai tokoh
jembatan Moderat Islam dengan Radikal Islam di Asia Tenggara.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 2


Sekarang hilir mudik dari Aceh-Kuala Lumpur-Jakarta-Timur Tengah untuk
mempersiapkan beberapa penelitian puncak sebagai hujung dari perjalanan spiritual
yang tengah dilakukannya. Lihat websitenya : www.hilmybakar.co.cc

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra


Jilid I

Pengantar Penulis
Latar Belakang Penulisan & Methodologi

1. Mendifinisikan Kembali Ummah Aceh-Sumatra Sebagai Entitas Peradaban


Muslim
2. Kegemilangan Peradaban Ummah Aceh-Sumatra Pra-Islam
3. Dekonstruksi Teori Islamisasi Ummah Aceh-Sumatra
4. Kerajaan Islam Jeumpa (156 H / 770 M), Kerajaan Islam Pertama Di Wilayah
Nusantara
5. Kerajaan Islam Perlak (225 H / 840 M)
6. Kerajaan Islam Pasai (1230 M)
7. Ketika Kerajaan Pasai-Sumatra Menggantikan Bagdad Sebagai Pusat Khilafah
Islamiyah.
8. Ketika Kerajaan Islam Pasai Menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
9. Legenda Auliya Aceh : Dari Pasai Menaklukkan Hindu-Majapahit Dan
Mendirikan Kerajaan Islam Demak Di Tanah Jawa

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra


Jilid II

10. Menghadapi Ancaman Imprialisme Barat Eropa (Portogis, Inggris, Francis,


Belanda dan lain-lain)
11. Kebangkitan Kerajaan Aceh Darussalam (1514 M)
12. Puncak Kegemilangan Aceh : Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
13. Awal Kemunduran Aceh : Dari Intrik Putro Phang, Kelemahan Iskandar Tsani,
Konflik Teologi Raniry, Perpecahan Internal Elit Politik dan Perang Saudara.
14. Peran Ulama Dan Auliya Dalam Kebangkitan Ummah Aceh-Sumatra : Sayid
Hussein Jamad al-Kubra, Maulana Malik Ibrahim, Maulana Abu Ishak,
Makhdum Patakan, Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrany, Nuruddin al-
Raniry, Maulana Syiah Kuala dan Habib Dianjung

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 3


Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra
Jilid III

15. Sejarah Kedermawanan Abadi Habib Bugak Asyi : Pewaqaf Baitul Asyi Makkah
al-Mukarramah
16. Jihad Melawan Penjajah Kaphe Sepanjang 500 Tahun Dan Implikasinya Pada
Ummah Aceh-Sumatra
17. Pergolakan dan Perubahan Sosial Ummah Aceh-Sumatra (Peran ”Kaum Muda”
Padang Melalui Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) Dalam Pergolakan
Sosial dan Perpecahan Ummah Aceh-Sumatra)
18. Masa Genting Menjelang Kemerdekaan Indonesia (Merdeka Sendiri atau
Bergabung Dengan Indonesia)
19. Dialog Imajiner Dengan Pemangku Sultan Aceh Darussalam : Jika Aceh Tidak
Bergabung Dengan Indonesia, Mungkin Lebih Hebat Dari Malaysia Dan
Singapura

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra


Jilid IV

20. Memahami Dinamika Pergerakan Rakyat Aceh Pasca Kemerdekaan, Dari Jihad
DI-TII, Proklamasi Republik Islam Aceh, Pendirian Aceh Merdeka, Perjuangan
Gerakan Aceh Merdeka Sampai Perdamaian Helsinki
21. Bencana Tsunami Dan Jalan Kemenangan (Salman Bireuen)
22. Aceh Di Persimpangan Jalan : Merdeka Atau Aceh Renaissance
23. Teori ”The Aceh Renaissance” Dan Masa Depan Kegemilangan Ummah Aceh-
Sumatra.
24. Negeri Yang Dinantikan (Baldah al-Muntadzirah)

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 4


Pengantar Penulis
Ketika penulis mengikuti Konfrensi Internasional Pembangunan Aceh Ke 2 di
Lhokseumawe, pada penghujung 2007 lalu yang diselenggarakan oleh Universitas
Malikus Saleh, penulis menyaksikan bagaimana antusiasnya generasi muda Aceh,
khususnya para cendekia muda untuk mengetahui secara pasti tentang Aceh, terutama
sejarah keagungan dan peradaban yang telah dicapai oleh generasi pendahulu mereka.
Maka sejak saat itu penulis berazam untuk membuat sebuah pengantar atau minimal
sebuah rintisan untuk membuka kembali lembaran sejarah Aceh yang selama ini
menjadi misteri bagi kebanyakan orang, bahkan bagi generasi Aceh sendiri.
Hidup adalah perjuangan. Itulah kata bertuah yang senantiasa penulis dengar
sejak kecil. Jadi jika kita berbicara tentang hidup, maka kita sebenarnya sedang
membicarakan perjuangan. Demikian halnya, ketika kita ingin membicarakan sejarah
kehidupan sebuah ummah, maka sebenarnya kita juga sedang membicarakan
perjuangan mereka. Maka ketika penulis ingin meneliti sejarah Aceh, sebenarnya
penulis ingin mengetahui lebih jauh tentang sejarah perjuangan ummah di Aceh yang
sangat melegenda itu.
Walaupun wilayah Aceh bukanlah asing bagi penulis, karena sejak tahun 1985
penulis sudah mulai menginjakkan kaki di bumi Serambi Mekah ini, namun terus
terang penulis belum memberikan perhatian yang besar pada sejarah Aceh. Padahal
pada saat itu penulis sedang mengadakan pemetaan dakwah bersama para aktivis
pemuda Islam dari Jakarta dan Yogyakarta. Sampai akhir tahun 80-an, penulis masih
gelap dengan sejarah Aceh. Yang penulis ketahui hanya sepintas tentang sejarah
Kerajaan Pasai dan penyebaran Islam. Sebatas itu saja.
Pada awal tahun 90-an, atau sekitar pertengahan 1991, penulis berkesempatan
tinggal di Aceh bersama dengan para aktivis dakwah dari Malaysia. Namun sekali lagi
penulis tidak mendapatkan gambaran yang jelas tentang sejarah Aceh, karena susahnya
mendapatkan referensi yang memadai. Walaupun sepanjang tahun 1992-1993 penulis
mengadakan penelitian tentang kebangkitan Islam di Asia Tenggara dengan fokus di
sekitar Kedah (Malaysia), Pattani (Thailand) dan Aceh (Indonesia), namun secara umum
penulis belum mendapatkan juga secara utuh gambaran sejarah Aceh. Mungkin pada
saat itu penulis belum merasa perlu untuk mengetahui secara mendalam sejarah Aceh.
Toh walaupun sampai dengan penghujung tahun 90-an sampai awal tahun 2003 penulis
bolak balik dari Kuala Lumpur-Jakarta ke Aceh, baik mengurus investasi, politik
ataupun penelitian, sampai sejauh itupun penulis belum masuk pada dataran ingin
mengetahui sejarah Aceh secara menyeluruh.
Keseriusan penulis kepada sejarah Aceh dimulai sejak peristiwa bencana
tsunami pada 26 Desember 2004. Setelah selesai memberikan bantuan semaksimal
mungkin pada masa tanggap darurat dan masa rekunstruksi fisik, tepatnya pada tahun
2006, penulis bersama dengan beberapa tokoh pemuda Aceh seperti Twk. Muhammad

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 5


Z. Narukaya, Muzakhir Rida, Baihaqi Abdul Majid, Tajudin Hasan, M. Ali Husein dan
lain-lainnya berkeinginan memberikan sumbangan yang berharga untuk generasi muda
Aceh. Tepatnya pada tanggal 1 Agustus 2006, bertepatan dengan usia 40 tahun, penulis
menetapkan azam, berhijrah secara total ke Aceh, menjadi bagian dari suka duka dan
dinamika masyarakat Aceh. Penulis ingin menjadi bagian dari Aceh yang tersimpan
banyak misteri. Penulis berkeyakinan, hanya dengan menjadi bagian dari Aceh-lah,
misteri Aceh akan terungkap, terutama sejarah masa lalu yang sangat penting artinya
bagi kebangkitan kembali masyarakat Aceh, bahkan masyarakat Islam seluruhnya.
Pasca tragedi bencana tsunami dan perdamaian Helsinki, penulis banyak
melihat kemunculan pemuda-pemuda Aceh yang sangat berpotensi menggerakkan
perubahan pada masyarakat Aceh. Namun karena panjangnya masa konflik yang
menimbulkan berbagai trauma, menjadikan sebagian cendekia sangat berhati-hati
dalam menyampaikan pendapat. Hal ini tentu memberikan pengaruh yang besar
terhadap proses dinamisasi kebangkitan kembali masyarakat Aceh. Maka bersama
dengan teman-teman yang telah bernaung di lambaga Hilal Merah (Red Crescent),
penulis memulai sebuah gerakan yang kami namakan dengan Aceh Renaissance,
renaisan Aceh, atau pencerahan kembali masyarakat Aceh dengan memiliki kesadaran
akan keagungan masa lalu mereka untuk merancang kebangkitan masa depannya.
Renaisan memang menjadi harapan generasi muda Aceh yang mulai tercerahkan,
namun bagaimana memulainya?
Untuk memulai sebuah renaisan, menurut hemat penulis, sebuah masyarakat
wajib mengenal diri mereka, siapa mereka, potensi-potensi yang dimilikinya dan tentu
sejarah masa lalu yang akan menjadi spirit dalam membangun masa depan. Maka
dalam kontek inilah, penulis menekankan pentingnya sebuah sejarah bagi masyarakat
yang ingin menggapai renaisan, atau kebangkitan kembali. Allah SWT telah
memerintahkan kepada hamba-Nya: Maka ceritakanlah tentang sejarah-sejarah itu, agar
mereka mengambil pelajaran darinya.
Demikian pula halnya, secara pribadi sebagai orang luar Aceh yang ingin
menjadi dan merasa sebagai bagian dari orang Aceh, hal pertama yang harus penulis
lakukan adalah mengetahui tentang masyarakat Aceh itu sendiri. Karena masyarakat
Aceh sangat spesial di mata masyarakat muslim Indonesia, bahkan mungkin tingkat
Asia Tenggara ataupun dunia sekalipun. Sejak kecil penulis mendengar tentang Aceh
yang Islami sebagai serambi Mekkah. Demikian pula halnya, ketika pemerintah
memberikan kebebasan kepada masyarakat Aceh untuk menjalankan Syariat Islam di
bawah jaminan undang-undang, penulis sangat tertarik menjadi bagian dari masyarakat
yang berkesempatan menjalankan Syariat Islam. Sebagai orang yang pernah hidup di
tengah derasnya arus masyarakat jahiliyah di Jakarta, secara spiritual penulis tentu
merindukan sebuah tempat yang dapat mengantarkan penulis pada tingkat keimanan
dan ketaqwaan yang sempurna sebagaimana dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.
Setelah penulis menjadi bagian dari Aceh-lah, barulah penulis mendapat
gambaran-gambaran awal tentang Aceh. Walaupun pada tahap awal penulis merasa
kecewa dengan kenyataan yang penulis lihat, namun penulis anggap itu sebagai bagian
dari tugas seorang muslim terhadap masyarakatnya. Penulispun mulai mencari
referensi tentang Aceh, mengadakan dialog dengan tokoh-tokoh Aceh dan mengadakan
perjalanan keliling ke seluruh wilayah Aceh, terutama tempat-tempat bersejarah.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 6


Termasuk mengunjungi maqam para Sultan, Habib, Ulama, Auliya, panglima dan
lainnya. Semakin penulis meresapi dan terlibat secara mendalam, secara rohani dan
spiritual dengan perjalanan sejarah Aceh, maka di luar dugaan, penulis mendapatkan
gambaran-gambaran mengejutkan tentang sejarah Aceh dan keagungannya yang
selama ini secara sengaja dan tersistematika disembunyikan dari buku-buku sejarah
nasional. Ironisnya sebagian besar generasi muda Aceh tidak mengetahui tokoh-tokoh
sejarahnya sendiri.
Sampai dengan penghujung 2008, di tengah kesibukan mempromosikan
investasi ke Aceh kepada para penguasa Malaysia dan Negara-negara muslim Timur
Tengah, penulis tetap menyempatkan diri untuk melihat langsung monumen-monumen
sejarah masyarakat Aceh. Bahkan secara spiritual terkadang monumen itu menceritakan
sejarahnya kepada penulis dengan caranya sendiri. Terkadang dalam satu bulan dua
kali penulis mengadakan perjalanan sepanjang Banda Aceh, Pidie, Bireuen, Aceh Utara
sampai Perlak dan Langsa, dan sekitarnya. Perjalanan yang memberikan pengalaman-
pengalaman luar biasa dalam memahami sejarah dan dinamika masyarakat Aceh.
Pengalaman-pengalaman spiritual inilah kemudian penulis terjemahkan dan analisis
dengan fakta-fakta sejarah, merangkainya menjadi bahan-bahan awal untuk sejarah
Aceh. Dengan harapan, rintisan awal ini akan membuka cakrawala para cendekia muda
Aceh untuk melanjutkan penulisan sejarah, atau mungkin lebih tepat dikatakan sebagai
analisis sejarah Aceh ini. Karena penulis tidak mencukupi hanya dengan memaparkan
fakta sejarah, namun menganalisis juga.
Sebagai seorang muslim, hamba Allah yang lemah, penulis berharap karya ini
menjadi amal saleh yang bermanfaat untuk masyarakat Aceh, terutama para generasi
muda yang akan menjadi pemimpin pergerakan masyarakat Aceh. Segala kekurangan
dan kesalahan dari tulisan ini harap dimaafkan, karena bagian dari kelemahan dan
kekuarangan penulis sebagai seorang manusia. Karena kebenaran itu mutlak hanyalah
milik Allah SWT.

Bugak, Bireuen, Nanggroe Aceh Darussalam 01-08-2008

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 7


Prolog
Sejarah Perjuangan Aceh = Sejarah Heroisme & Konflik
Aceh saat ini jika dilihat dari segi statistik penduduknya adalah 99 % muslim
namun ironisnya, menduduki tingkat no 2 termiskin dari seluruh propinsi di Indonesia.
Di atas propinsi Papua di ujung timur Indonesia yang penduduknya masih banyak
telanjang. Pasca bencana tsunami, menurut laporan Bank Dunia 2007-2008 diperkirakan
Aceh menduduki rangking pertama dalam kemiskinan yang mencapai 40 %. Dari latar
belakang sejarah, Aceh jika dibandingkan dengan Papua ataupun daerah lainnya di
Indonesia, misalnya dalam pembangunan peradaban dan pengetahuan, Aceh pernah
menjadi pusat penyebaran peradaban baru di Nusantara yang lahir dari asimilasi
peradaban dunia dari Arab, Persia, India, Cina ataupun Eropah, yang kini menjadi
budaya utama di Asia Tenggara, terutama di Indonesia dan Malaysia. Bahkan bahasa
kebangsaan Indonesia, Malaysia dan Brunei adalah bahasa yang telah digunakan oleh
Kerajaan-Kerajaan Islam awal di Aceh, baik di Jeumpa, Perlak, Pasai dan Aceh
Darussalam. Artinya bahwa Aceh pernah menjadi pusat kegemilangan di Asia
Tenggara, namun kenapa saat ini Aceh mengalami kemunduran drastis, jauh dari
wilayah yang pernah menjadi wilayah taklukannya, seperti Malaysia dan mungkin juga
daerah Jawa lainnya.
Sebagian peneliti berkesimpulan bahwa kemunduran Aceh dalam segala lini
adalah akibat konflik demi konflik yang telah melanda daerah tersebut. Bermula dari
konflik internal pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, konfik dan peperangan
sepanjang 500 tahun dengan kolonialis dan imprialis kafir Barat, konflik internal antara
Ulama Pembaharu dengan Ulama Tradasional yang didukung Uleebalang menjelang
kemerdekaan Indonesia dan berlanjut dengan konflik yang disertai peperangan di era
Soekarno dan Soeharto. Konflik yang telah memusnahkan potensi SDM dan peradaban
masyarakat Aceh. Dan akhirnya konflik demi konflik telah melahirkan penekanan,
penderitaan, kemiskinan, kemunduran masyarakat dalam segala lini kehidupannya.
Keadaan ini diperparah dengan bencana tsunami pada 26 Desember 2004 lalu.
Ketika kita mengunjungi Aceh sekarang, terutama tempat-tempat yang pernah
dicatat sejarah sebagai pusat peradaban seperti Jeumpa, Perlak, Pasai dan Banda Aceh.
Maka kita tidak akan percaya bahwa wilayah ini pernah menjadi pusat pengembangan
peradaban selama berabad-abad. Di pusat Kerajaan Islam Pasai misalnya, di sekitar
Geudong Kecamatan Samudra Aceh Utara, kita tidak akan melihat bekas-bekas
kemegahan dan keagungan Kerajaan sebagaimana diceritakan Marco Polo dan Ibnu
Batutah pada awal abad 14 M. Di sana kini tidak ada bekas-bekas istana ataupun puing-
puingnya, kecuali hanya maqam-maqam para Sultan. Peninggalan Kerajaan Pasai
tenggelam hilang ditelan bumi, kita tidak percaya di sana pernah ada pusat kerajaan
terbesar di Asia Tenggara pada abad 12 sampai 15 M. Konon penjajah Belanda telah

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 8


menghilangkan semua bukti-bukti kegemilangan Pasai dan bahkan menjadikannya
sebagai tempat pembuangan para penderita lepra.
Sementara jika kita ke Banda Aceh, yang telah menjadi pusat Kerajaan Aceh
Darussalam, kitapun tidak mendapatkan bekas-bekas keagungan peninggalan Sultan
Iskandar Muda. Misalnya di mana letak Istana Darud Donya yang kemegahannya telah
membuat terperangah para pengunjung dari Prancis ataupun Inggris itu. Pasca bencana
tsunami, Banda Aceh, terutama yang ditengarai sebagai pusat Kerajaan Aceh
Darussalam telah berubah menjadi komplek perumahan kumuh yang tidak teratur,
penuh dengan rumah-rumah bantuan yang tidak layak huni. Demikian pula dengan
tingkat kesadaran masyarakatnya yang sangat jauh tertibnya jika dibandingkan dengan
masyarakat Melayu Kuala Lumpur misalnya. Kegemilangan Islam dan kesadaran
keislaman pada masyarakat Aceh secara umum seakan telah sirna, walaupun secara
formal diberlakukan syari’at Islam. Dayah yang menjadi kebanggaan Aceh sudah mulai
sepi dan tidak diminati generasi muda lagi.
Benarkah konflik demi konflik yang telah mengantarkan Aceh yang dulunya
sebagai pusat pengembangan peradaban dan pengetahuan Islam menjadi sebagai
propinsi paling tertinggal dan termiskin di Indonesia? Jika konflik telah menjadikan
Aceh terpuruk sedemikian parahnya, apakah para pemimpin Aceh tidak menyadari,
bahkan konflik telah menghancurkan masyarakat mereka sendiri, dan tidak berusaha
keluar dari konflik demi konflik yang menambah keterpurukan dan kemunduran
masyarakatnya. Jika konflik memang dianggap bertanggung jawab terhadap
kemunduran, kenapa semua pihak, terutama seluruh komponen masyarakat Aceh,
tidak mengakhiri konflik demi konflik ini, agar Aceh kembali bangkit dan meraih
kegemilangannya kembali? Nah disinilah masalahnya, apakah konflik demi konflik
yang telah menghancurkan Aceh ini hanya melibatkan internal masyarakat Aceh saja?
Ternyata memang konflik demi konflik yang terjadi di Aceh tidak sesederhana yang kita
fikirkan.
Menurut pengamatan penulis, setelah mencoba meneliti, menelaah lebih jauh
dan mendalam, konflik demi konflik yang menyebabkan keterbelakangan Aceh secara
menyeluruh tidak lain adalah salah satu akibat dan buah dari sebuah skenario panjang
upaya-upaya tersistematis untuk menghancurkan Aceh dengan sejarah
kegemilangannya yang berlandaskan Islam. Konflik berkepanjangan yang terjadi di
Aceh dirancang secara sistematis, terorganisir dan melibatkan banyak fihak yang
bertujuan untuk menghilangkan eksistensi Aceh dengan segala perbendaharaan
peradabadan dan sejarah kegemilangan masa lalunya yang sangat erat berkaitan
dengan Islam.
Sejarah mengungkapkan bahwa Aceh sejak awal abad ke 8 M adalah promotor
dan benteng pertama Islamisasi di Asia Tenggara yang telah menggusur peran Hindu-
Budha dengan peradaban dan budayanya. Pada era kolonialisasi, Aceh adalah benteng
sekaligus garda terdepan melawan agresi penjajah kafir Portugis, Inggris, Belanda
maupun Amerika. Ketika seluruh Nusantara sudah bertekuk lutut pada penjajah kafir,
para pejuang mujahidin Aceh masih berperang sampai titik darah penghabisan
mengusir musuh agama dan sekaligus musuh kemanusiaan itu. Aceh menjadi
hambatan terbesar kolonialisasi, baratisasi, kafirisasi ataupun nasionalisasi yang
diserukan penjajah kafir dan antek-anteknya yang telah mereka didik. Bahkan Aceh

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 9


menjadi benteng Islam dan Syareat Islam ketika negara nasionalis Pancasila
diproklamirkan Soekarno dan diteruskan Soeharto dengan kebijakan asas tunggalnya.
Akhirnya sampai saat ini, tidak diragukan Aceh menjadi benteng pertahanan terakhir
Islam di Asia Tenggara yang menjadi incaran musuh-musuh Islam, baik kaum Salibis,
Zionis dan sekutu-sekutunya.
Perencanaan besar untuk menghapuskan masa lalu yang akan berdampak pada
masa depan Aceh inilah yang patut dijadikan sebagai faktor utama yang telah
menimbulkan dilemma Aceh, yang kemudian menimbulkan konflik demi konflik, perang
demi perang, pemberontakan demi pemberontakan, intrik demi intrik, perpecahan demi
perpecahan yang pada akhirnya mengantarkan Aceh pada jurang keterbelakangan,
kemiskinan, kemunduran dan kebodohan sebagaimana yang dialaminya saat ini.
Prof. Ismail R. Faruqi dalam sebuah kuliahnya pada awal tahun 80an telah
mengingatkan bahwa diantara strategi musuh-musuh Islam untuk menghancurkan
masa depan Islam adalah dengan memisahkan generasi muda muslim dari akar tradisi
dan keagungan sejarah masyarakatnya. Generasi muda dihalang-halangi untuk
mempelajari dan mengetahui keagungan sejarah nenek moyang mereka dan dirubah
orientasinya agar bangga dengan keagungan penjajah, sistem penjajah, sejarah penjajah
dan tokoh-tokoh penjajah. Agar generasi muda ini dapat menjadi boneka-boneka
penjajah yang menyerukan ide-ide sesatnya, seperti apa yang dilakukan Mustafa Kemal
Atta Turk yang telah menyerukan sekulerisasi untuk menghilangkan keagungan masa
lalu Khalifah Ustmaniyah.
Usaha-usaha pelumpuhan atau penaklukan peradaban Aceh yang dilakukan
musuh-musuhnya sepanjang sejarah Aceh telah mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat Aceh selanjutnya. Mengambil istilah Huntington, benturan
peradaban (clash of civilization) inilah yang menjadi penyebab utama kemunduran Aceh,
yang kemudian menimbulkan segala akibatnya. Dan kini ironisnya sebagaian besar
generasi muda Aceh mulai tercabut dari akar masa lalunya, terputus dengan sejarah
kegemilangan dan keagungan nenek moyangnya dan melupakan peninggalan
peradaban yang diwarisi pendahulunya. Yang paling parah, sebagaian besar mereka
tidak peduli dengan nilai-nilai kesempurnaan Islam yang telah mengantarkan generasi
pendahulunya menuju keagungan dan kejayaan akibat lain dari masuknya faham
sekulerisme kafir Barat yang dibawa relawan asing pasca tsunami.
Sejak Aceh menggapai puncak kegemilangnnya, terutama sejak zaman
pemerintahan Sultan Malikus Saleh di Pasai pada awal abad ke 13 M sampai Sultan
Iskandar Muda di Aceh Darussalam pada awal abad ke 17 M, tidak henti-hentinya
datang musuh-musuh yang ingin melumpuhkan dan menaklukkan gerakan
kebangkitan Aceh sebagai pusat peradaban baru yang berdasarkan ajaran Islam.
Demikian pula letak geografi Aceh di ujung barat pulau Sumatra yang sangat strategis,
yang menjadi laluan perdagangan atau penyebaran peradaban antara dunia Eropa
klasik, Arab dengan Cina melalui jalur laut sejak 2000 tahun sebelum masehi telah
menarik banyak bangsa untuk menguasainya sebagai pertimbangan penguasan jalur
ekonomi.
Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit pada abad ke 13 M dibawah pimpinan
Mahapatih Gajah Mada telah menyerang Kerajaan Islam Pasai yang sedang bangkit
menjadi pusat Islamisasi di Nusantara, demikian pula halnya dengan Kerajaan Siam-

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 10


Budha di sebelah Barat. Kerajaan Hindu-Budha di Nusantara telah bersekutu untuk
menghancurkan Kerajaan Islam Pasai sebagai pusat Islamisasi yang semakin
berpengaruh dan kuat. Namun berkat kegigihan dan keberanian para mujahidin
Kerajaan Pasai yang berjuang menegakkan kebenaran Islam telah mampu mengusir
para tentara kafir tersebut dengan memperoleh kemenangan besar sebagaimana
dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. Kerajaan Pasai bangkit semakin kuat dan berpengaruh,
terutama setelah kejatuhan Bagdad pada tahun 1258 M dan menjadi pusat Islamisasi di
Asia Tenggara, bahkan menjadi pusat Khilafah Islamiyah untuk menentang keganasan
tentara Mongol.
Akhirnya kebesaran Pasai telah mengakhiri riwayat Kerajaan Jawa-Hindu
Majapahit dengan diproklamirkannya Kerajaan Islam Demak yang didukung oleh Wali
Sembilan yang berasal dari Pasai. Kekuatan dan kebesaran Kerajaan Islam Pasai telah
mendorong pula lahirnya Kerajan Islam di Champa, Pattani, Kelantan, Malaka, Borneo,
Bugis-Makassar sampai di Maluku dan Fak-Fak di Papua yang memiliki kekerabatan
dengan Pasai. Kemenangan Pasai yang telah mengislamkan Asia Tenggara
menimbulkan dendam dan sakit hati para generasi penerus Kerajaan Hindu-Budha
Majapahit dan pelanjut fanatik peradabannya yang panjang, saat ini di kenal dengan
Kejawenisme. Sementara Kejawenisme adalah sebuah faham yang kemudian
berkembang luas di kalangan masyarakat Jawa, sebagai sebuah singkritisme atau
perpaduan antara semua aliran kepercayaan dan agama-agama, termasuk Islam dan
Kristen. Para penerus Majapahit dan Kejawenisme yang dikalahkan Pasai menunggu
waktu tepat untuk bangkit dengan peradaban mereka dan menguasai kembali serta
mengadakan balas dendam peradaban terhadap Pasai atau penerusnya Aceh.
Kemenangan bangsa Barat atas kaum Muslim di Yerusalem, yang dilanjutkan
dengan pengusiran dan pembantaian Muslim di Eropa, dibawah komando Alfonso de
Albuquerque dari Portogis, tentara Salib melanjutkan penaklukkannya ke Asia
Tenggara, terutama Malaka dan Pasai yang dikenal sebagai pusat Islamisasi Nusantara.
Pada tahun 1511 Portogis berhasil menguasai Malaka dan mendirikan benteng untuk
memperkuat kedudukannya dalam menguasai pusat Islamisasi Nusantara di Pasai.
Selanjutnya pada tahun 1520 Portogis menyerang Pidie dan mendudukinya. Melalui
bentengnya di Malaka dan Pidie inilah Portugis berhasil menguasai Pasai pada tahun
1521. Kejatuhan Pasai ke tangan penjajah Kristen Portugis telah menghakhiri peran
Pasai dan selanjutnya kedudukannya sebagai patron Kerajaan Islam Nusantara
digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang berpusat di Bandar Aceh yang
diproklamirkan oleh Sultan Ali Mugayyat Syah pada tahun 1514 M, atau bersamaan
dengan mulai melemahnya kekudukan Pasai dalam menghadapi serangan Portugis.
Untuk memperkuat posisinya sebagai pengganti peranan Kerajaan Islam Pasai,
Kerajaan Aceh Darussalam menguasai kembali kerajaan-kerajaan kecil yang mulai
memisahkan diri akibat lemahnya Pasai. Setelah memiliki kekuatan yang cukup,
Kerajaan Aceh Darussalam membebaskan Pidie dari cengkraman Kolonialis Portogis
dan mempersiapkan untuk membebaskan Pasai, Malaka dan lain-lainnya. Perang
membebaskan Malaka yang diprakarsai Kerajaan Aceh Darussalam juga melibatkan
Kerajan-Kerajaan Islam di Tanah Jawa sampai Bugis-Makassar, yang memang
merupakan sebuah jaringan kekuatan Islam masa itu. Dalam menghadapi peperangan
dengan Kerajaan Aceh, kaum kolonialis Barat, baik Portugis, Francis, Inggris maupun

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 11


Belanda telah bersekutu satu sama lainnya. Ada yang mengadakan perjanjian dagang
secara halus seperti Inggris, sementara Belanda tetap menggunakan jalur peperangan.
Namun hakikatnya para imprialis-kolonialis Barat Kristen ini memiliki misi yang sama,
yaitu untuk menghancurkan Aceh sebagai benteng utama Islam di Asia Tenggara.
Itulah sebabnya, setelah Belanda menguasai seluruh wilayah Indonesia, namun tetap
nekad untuk menguasai Aceh walaupun dengan biaya besar atas dukungan sekutu-
sekutu Kristen Baratnya.
Sejarah membuktikan bahwa Aceh tidak mudah ditaklukkan, perlawanan demi
perlawanan terus berkobar, yang pada akhirnya melemahkan logistik Belanda sendiri.
Walaupun sudah berperang dengan Kerajaan Aceh sejak pertengahan abad 16 sampai
awal abad 20, Belanda tidak berhasil menaklukkan Aceh secara total, hanya menguasai
jalur perdagangan laut dan terus mendapat perlawanan sengit para pejuang Aceh.
Kekalahan demi kekalahan yang dialami kolonialis Kristen Barat telah menimbulkan
dendam mereka dan penerusnya, terutama penganut agama mereka yang menunggu
waktu untuk membalas kekalahan pendahulu mereka. Itulah sebabnya tidak
mengherankan, gerakan missionaris Kristen berlomba-lomba menyerang Aceh pasca
bencana tsunami dengan berbagai kedok organisasi kemanusiaan. Karena hanya
Acehlah yang tidak dapat dikristenkan oleh penjajah yang membawa agamanya,
bahkan Aceh menjadi benteng terakhir bagi misi kristenisasi di Asia Tenggara.
Ketika Indonesia akan memperoleh kemerdekaannya, para kolonialis Kristen ini
telah mempersiapkan kader-kader terbaik mereka untuk menduduki jabatan penting
dalam negara baru bernama Indonesia, berasal dari Hendos Nesos (Kepulauan Hindu).
Para kader kolonialis ini telah bersatu dengan kader-kader penerus Majapahit dan
Kejawenisme sebagai musuh Islam dan menghalangi Islam sebagai dasar negara
Indonesia merdeka dan menggagas idiologi campuran yang bernama Pancasila. Dan
sekali lagi masyarakat Aceh dibawah pimpinan para alim ulama menentang idiologi
yang tidak mengakomodir Syareat Islam ini. Maka tampillah Tgk. M. Daud Beureueh
memimpin perlawanan masyarakat Aceh sebagai benteng utama Islam dan Syareat
Islam. Perlawanan masyarakat Aceh pasca kemerdekaan lebih bersifat idiologis, karena
penolakan mereka terhadap dasar negara yang tidak mengakomodir pelaksanaan
syariah Islam sebagaimana tuntutan masyarakat Aceh.
Perlawanan historis dan idiologis masyarakat Aceh ironisnya dijawab para
petinggi Indonesia yang dipimpin Soekarno maupun Soeharto dengan peperangan demi
peperangan. Generasi Aceh menyambut tantangan perang dengan semangat membara,
karena perang memang sudah menjadi tradisi dan jalan hidup masyarakat Aceh sejak
ribuan tahun yang lalu. Mereka tidak gentar sedikitpun menghadapi perang yang
dilancarkan Jakarta, bahkan perang telah membangkitkan kesadaran sejarah mereka
sebagai sebuah bangsa penakluk yang mewarisi keberanian dan penaklukan generasi
pendahulu mereka sejak zaman nabi Ibrahim as, Iskandar Zulkarnain, Muhammad saw
dan para shahabatnya serta panglima-panglima agung dari Kerajaan Jeumpa, Kerajaan
Perlak, Kerajaan Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam. Dan hanya masyarakat muslim
Aceh-lah satu-satunya yang telah melahirkan panglima wanita gagah perkasa
Laksamana Malahayati dengan pasukan tempurnya yang menakutkan penjajah Inong
Bale.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 12


Benturan Peradaban (clash of civilization) dalam tingkat lokal Indonesia tidak
diragukan telah terjadi sejak diproklamirkannya kemerdekaan. Penghapusan sistem
kesultanan dan kerajaan oleh Soekarno karena dianggap feodalisme, telah melahirkan
sistem kepemimpinan tunggal secara nasional, yang pada hakikatnya adalah neo-
feodalisme yang dibalut demokrasi dengan nama demokrasi terpimpin. Penolakan
secara terbuka Soekarno terhadap Syariat Islam telah membuktikan mulai terjadinya
benturan antara peradaban yang eksis berdasarkan Islam seperti di Aceh dengan
peradaban sekuler atau selanjutnya dikenal dengan idiologi Nasakom (Nasionalisme,
Agama dan Komonisme). Pemaksaan idiologi ini terhadap masyarakat Aceh oleh
Soekarno dengan berbagai cara, dapat diartikan sebagai upaya-upaya penghapusan
peradaban Aceh yang berdasarkan pada ajaran Islam.
Demikian halnya penerapan sistem sentralisasi kekuasaan dan penguatan
idiologi nasional yang diterjemahkan secara kejawenisme oleh Soeharto yang
selanjutnya dilanjutkan dengan pemberlakuan asas tunggal Pancasila telah meyakinkan
generasi muda Islam bahwa Indonesia sedang diarahkan menuju negara Kejawenisme
yang berbasiskan singkritisme Animisme, Dinamisme, Hindu, Budha, Islam, Kristen
dan lainnya. Bahkan secara terbuka Soeharto telah menterjemahkan Pancasila sebagai
Hanacaraka Datasawala. Hal ini telah menimbulkan pemberontakan demi
pemberontakan generasi muda Islam. Dalam hal ini generasi Aceh mendapat
momentum yang tepat, karena pergolakan menentang regime Jakarta telah berlangsung
dari generasi demi generasi. Dan sekali lagi Aceh menjadi pusat sentral perlawanan
terhadap Jakarta, dibawah Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Pasca Tsunami, kini sebenarnya Aceh telah menjadi semacam last frontier,
benteng terakhir kaum Muslimin untuk mempertahankan tradisi dan peradaban
Melayu-Sumatra yang berbasiskan Islam yang mana peradaban ini tidak sempat secara
sempurna ditransformasikan kepada masyarakat Jawa, akibat masuknya kolonialis-
imprialis Portugis, Belanda dan lainnya. Akibatnya peradaban Kejawenisme berbasis
Hindu-Budha bangkit kembali dan mulai menguasai peradaban baru yang mereka
kemas dengan Pancasila dan Indonesia. Maka tidak diragukan, inilah tugas selanjutnya
dari Ummah Aceh-Melayu-Sumatra untuk menyempurnakan proses Islamisasi yang
telah dirintis para pendahulu kaum Muslimin. Dan tentu langkah ini mesti dimulai dari
kebangkitan ummah Aceh-Melayu-Sumatra terlebih dahulu. Dan untuk bangkit, tidak
diragukan bahwa sejarah perjuangan perlu difahami kembali dengan benar.....

Wallahu a’lam..............

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 13


Mendifinisikan Kembali Aceh-Sumatra
Dengan Pendekatan Islami
Para cendekia, baik Muslim atau non-Muslim jika mendefinisikan Aceh saat ini,
kebanyakan dari mereka hanya membatasinya pada wilayah propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang berjarak antara Sabang sampai Tamiang-Singkil. Atau secara historis
hanya kembali kepada Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan Sultan Mugayat Syah
pada tahun 1514an saja sebagaimana yang difahami sebagian besar generasi muda Aceh
sekarang. Itulah sebabnya sebagaian besar masyarakat Aceh saat ini memahami mereka
hanyalah sebuah bangsa yang berasal dari Kerajaan Aceh Darussalam yang mengalami
kegemilangan pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda (w.1637) dan
menggunakan bahasa Aceh yang ditetapkannya sebagai bahasa bangsanya secara
meluas, dengan meninggalkan bahasa resmi yang telah diwariskan turun-temurun yang
merupakan gabungan dari Bahasa Arab, Persia, India, Cina dan lainnya dengan
penggunaan huruf Arab.
Padahal jika diteliti lebih jauh, Kerajaan Aceh Darussalam adalah kelanjutan dari
beberapa Kerajaan-Kerajaan sebelumnya, seperti Kerajaan Jeumpa (760 M), Kerajaan
Perlak (840 M), Kerajaan Pasai (Abad 12 M), Kerajaan Pidier dan lain-lain yang telah
menjadi tapak persemaian kegemilangan Peradaban baru, hasil asimilasi dan integrasi
antara peradaban Islam Arab, Persia, Cina, Hindia dan Eropa yang telah melahirkan
sebuah entitas peradaban baru. Yang jika dikembalikan secara historis, maka itulah
yang disebut dengan Peradaban Aceh. Sebuah Peradaban baru yang menjadi pengganti
peradaban-peradaban lama Animisme-Hindu-Budha dengan wilayah kekuasaan yang
terbentang luas dari Pattani, Semenanjung Melayu, Pulau Sumatra sampai Kepulauan
Maluku.
Jika pemahaman Aceh, baik secara peradaban ataupun wilayah kekuasaannya
hanya dibatasi sebagaimana yang difahami saat ini, hanya sebatas wilayah Kerajaan
Aceh Darussalam saja, maka jelas hal ini akan menghilangkan mata rantai kegemilangan
dan keagungan peradaban masyarakat Aceh sendiri yang mulai diasaskan di Jeumpa
dan Pasai sejak 700 tahun sebelumnya. Peradaban yang merupakan hasil karya dan
perjuangan generasi sebelumnya. Bahkan pembatasan ini sepatutnya dicurigai sebagai
upaya sistematis kaum penjajah dan antek-anteknya untuk mengkerdilkan pencapaian
dan kebesaran yang telah dimiliki oleh generasi terdahulu masyarakat Aceh sebagai
pelopor, patron dan pejuang utama Islamisasi di Asia Tenggara.
Itulah sebabnya, pemahaman dan pengertian Aceh sangat perlu didefinisikan
kembali. Memberikan makna dan pengertian baru bukan hanya berdasarkan
pemahaman salah selama ini yang telah mengecilkan makna Aceh, baik masyarakat,
peradaban dan keagungan sejarahnya. Pengertian Aceh yang berdasarkan realitas

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 14


keagungan dan kebesaran sejarah masyarakat Aceh yang telah menghasilkan sebuah
entitas peradaban baru yang berdasarkan pada ajaran Islam dan mendorong
kegemilangan masyarakat dengan tumbuh berkembangnya Kerajaan-Kerajaan Islam
seperti di Jeumpa, Perlak, Pasai dan lainnya dan mengalami puncaknya pada Kerajaan
Aceh Darussalam.
Pengertian yang lebih mendekati hakikat pertumbuhan dan perkembangan
peradaban masyarakat Aceh terdahulu, jika dengan sangat terpaksa harus diidentifikasi,
maka istilah masyarakat atau peradaban Aceh-Sumatra adalah yang lebih mendekati.
Karena jika hanya menyebutkan Aceh saja, maka tentu akan disinonimkan hanya
dengan Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan pada tahun 1514 M, namun dengan
menambahkan kalimat Sumatra, maka akan bermakna lebih luas. Karena sebagaimana
diketahui Sumatra sendiri adalah berasal dari nama sebuah Kerajaan yang berada
diwilayah Aceh, yaitu Kerajaan Pasai-Samudra. Orang-orang asing menyebut Samodra
dengan Samutra dan Sumatra. Namun kata terakhir inilah yang lebih populer karena
digunakan oleh para penjajah Barat.
Namun demikian penggunaan kata ”bangsa” kepada Aceh-Sumatra, adalah
tidak tepat. Karena konsep bangsa sendiri adalah sebuah konsep Nasionalisme
(kebangsaan) yang telah diperkenalkan Barat dengan akar Sekulerisme yang mereka
anut. Sementara masyarakat Aceh-Sumatra telah berurat berakar pada tradisi Islam
dengan sistem sosialnya sendiri yang memang menghapuskan Nasionalisme sebagai
batas kebangsaan dan kenegaraan seseorang yang hanya didasarkan pada wilayah
geografi, etnis dan keturunan semata. Konsep yang lebih tepat untuk masyarakat Aceh-
Sumatra adalah konsep Ummah, yang diperkenalkan Islam kepada pengikutnya dalam
mengatur sistem sosialnya. Maka untuk mengganti istilah bangsa, akan digunakan
istilah Ummah, yaitu Ummah Aceh-Sumatra. Istilah ini perlu diperkenalkan kembali
kepada masyarakat Aceh yang hendak menggapai kegemilangan dengan sistem Islami
dan sekaligus untuk membedakannya dengan mereka yang menghendaki kemenangan
dengan menggunakan sistem Barat Sekuler yang belum terbukti keampuhannya untuk
menjayakan kembali Aceh. Sedangkan sistem Islam terbukti telah menjadikan Aceh-
Sumatra sebagai sebuah Ummah yang menggerakkan kemajuan dan peradaban di Asia
Tenggara.
Sebenarnya konsep ummah ini bukanlah perkara baru, namun memang sudah
ada sejak kedatangan Islam. Pada dunia kontemporer, istilah ummah ini diperkenalkan
dengan inten oleh seorang intelektual Palestina yang berdomisili di Amerika, Prof.
Ismail R. Faruqi. Menurutnya kata ummah, tidak dapat diterjemahkan dan harus
digunakan dalam bentuk aslinya. Ia bukanlah sinonim kata masyarakat, bangsa, negara,
atau berbagai sebutan yang ditentukan berdasarkan ras, geografi, bahasa, sejarah,
ataupun berbagai kombinasi antara yang disebutkan itu. Ummah adalah trans-lokal,
trans-geografi. Setiap bagian dari ummah adalah komunitas Islam, bagian dari ummah
Islam walaupun tidak berada dalam kekuasaan negara Muslim. Itulah konsekwensi
logis Islam sebagai agama universal, dan dengan demikian konsep ummah ini
bertentangan dengan nasionalisme. Dan nasionalisme digunakan musuh-musuh Islam
untuk memecah belah persatuan kaum Muslimin, dan isu nasionalisme ini digunakan
pertama kali untuk memprovokasi dan menggoda pemuda Turki yang idialis dalam
mengejar kemajuan lalu mendorong Arab untuk menentang kekhalifahan Usmaniyah.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 15


Dan kenyataannya, di dunia Arab, penggerak utama nasionalisme Arab adalah
minoritas Arab Kristen seperti Michel Aflaq yang mendirikan Partai Ba’ath kemudian
menyebarkan virus kekesatannya kepada pemuda-pemuda Arab Muslim yang pada
akhirnya memecah belah, melemahkan dan menghancurkan mereka.
Dengan asumsi pemahaman dasar inilah, maka Aceh-Sumatra dalam kontek
pandang Asia Tenggara dapat disebut sebagai sebuah qabilah, bagian entitas kesatuan
dari ummah, yaitu sebuah komunitas yang menjadi pelopor kebangkitan sebagaimana
kepeloporan Qabilah Qurasy dalam penyebaran Islam pertama. Karena realitasnya,
Aceh-Sumatra adalah wilayah yang pertama tersentuh dakwah Islam, masyarakatnya
menerima Islam dengan terbuka dan membangun Kerajaan-Kerajaan Islam yang
penjadi pelopor Islamisasi hampir ke seluruh Asia Tenggara. Maka dalam kontek
kekinian, dalam rangka proyek kebangkitan kembali Islam di Asia Tenggara yang
didengungkan para pemimpin dan cendekiawannya, maka masyarakat Aceh-Sumatra
dapat memainkan peranan sebagai Qurasy-nya Ummah di Asia Tenggara. Qabilah
yang telah mendorong, mempelopori, memperjuangkan dan mempertahankan
Peradaban Islam dengan segala potensi yang dimilikinya.
Maka selanjutnya pada tulisan ini, Aceh-Sumatra diartikan bukan hanya sebatas
wilayah geografis semata, baik pada saat ini, atau batas-batas geagrofis yang ditunjuk
oleh kolonial Pertogis, Inggris ataupun Belanda. Tapi Aceh-Sumatra sebagai sebuah
entitas Peradaban Islam yang terbentuk dari hasil dinamisasi masyarakat dengan segala
potensi dan keutamaannya, yang telah melahirkan sebuah corak baru Peradaban Islam
mainstrem, yang merupakan kelanjutan dari peradaban Islam di Mekkah, Syam, Persia
dan Bagdad. Peradaban yang mulai berkembang sejak zaman Kerajaan Islam Jeumpa
(760 M), diteruskan pada Kerajaan Islam Perlak (840 M) dan akhirnya mulai
menampakkan keemasaannya pada Kerajaan Islam Pase dibawah Sultan Malik al-Salih
(1240 M), dan menjadi pusat Khalifah Islamiyah menggantikan peran Bagdad ketika
jatuh ke tangan Pasukan Mongol pada tahun 1258 M. Maka mulai saat itulah Peradaban
Islam Aceh-Sumatra menjadi entitas peradaban Islam, yang selanjutnya menjadi pilar
pembentukan Peradaban Islam Asia Tenggara atau Nusantara Raya, yang terbentang
dari Champa-Pattani-Senggora-Kelantan-Johor-Aceh-Banten, Borneo-Sulu-Mindanao-
Jawa-Makassar sampai Maluku dan ada yang menyebut sampai ke Papua dan
Kepulauan Hawai, sebagai pewaris kerajaan Hindu Majapahit. Sebuah Peradaban
agung yang berkembang dan mengalami keemasan selama 500 tahun, dan mencapai
puncak kegemilangannya pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 M) dan mulai
menurun pada awal tahun 1700an M akibat konflik internal dan usaha kolonialisasi
penjajah kafir Belanda.
Ada di kalangan cendekia yang konfius antara Peradaban Aceh-Sumatra dengan
Peradaban Melayu yang sedang digali dan dikembangkan para cendekia Malaysia
kontemporer. Jika dilihat secara historis, Peradaban Melayu yang sekarang diwarisi
Malaysia adalah bagian dari pada Peradaban Islam yang berasal Aceh-Sumatra yang
mulai berkembang pada awal Islamisasi. Bahasa yang dikenal sebagai bahasa Melayu
saat ini, tidak diragukan adalah bahasa asli Pase, yang merupakan gabungan antara
bahasa Arab, Parsia, Hindia, Cina dan tentunya Eropa dan bahasa lokal. Dan bahasa ini
menjadi bahasa Melayu ketika bangsawan-bangsawan utama Pasai diangkat menjadi
Sultan di wilayah kekuasaan Kerajaan Pasai atau yang dilindunginya. Para Raja pendiri

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 16


Kesultanan Melayu, baik di Patani, Malaysia dan Borneo atau Sulu Mindanao secara
genetis adalah keturunan Raja-Raja Pasai, katakanlah pendiri Kerajaan tertua Malaysia,
Raja Kelantan pertama Wan Bo, Wan Abdullah atau Sultan Umdatuddin adalah anak
dari Ali Nurul Alam atau cucu dari Sayyid Hussein Jamadil Kubra yang merupakan
ipar dari Sultan Malik al-Zahir II, atau Sultan Pasai. Istilah Peradaban Melayu mulai
naik daun ketika Aceh Darussalam mengalami serangkaian penjajahan dan penaklukan,
bahkan ketika menjadi bagian Indonesiapun, entitas Peradaban Aceh-Sumatra yang
gemilang tidak mendapatkan tempat sewajarnya.
Secara gegrafis, Aceh-Sumatra adalah salah satu kawasan di wilayah dunia Islam
yang senantiasa mendapat perhatian sejak dahulu kala sebagai pusat pertemuan budaya
dan peradaban dunia. Letak strategis geografi Aceh di ujung barat pulau Sumatra telah
menjadikanya sebagai wilayah lintasan peradaban dan budaya besar dunia yang
dibuktikan dengan penemuan situs ataupun barang peninggalan dari budaya
purbakala, Hindu, Budha maupun Islam. Sementara masyarakat Aceh-Sumatra adalah
asimilasi dari masyarakat berperadaban tua, itulah sebabnya ada yang berpendapat
bahwa Aceh adalah akronim dari Arab, Cina, Eropah dan Hindia, yang merupakan
perwakilan etnis terbesar umat manusia. Bukti-bukti terbaru menunjukkan bahwa
masyarakat Aceh-Sumatra telah berinteraksi dan berhubungan dengan dunia Arab,
terutama Mesir sejak zaman Fir’aun kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi atau 4000
tahun lalu. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya beberapa jenis bahan pengawet
mummi Fir’aun Mesir, diantaranya kafuuro atau kapur barus yang terdapat di sekitar
Aceh-Sumatra. Bahkan tidak diragukan bahwa Barus yang dimaksud adalah di Lamuri
wilayah Aceh Besar. Claudius Ptolemaeus, ahli ilmu bumi klasik dari Mesir menyebut
nama ”Barousai” sebagai negeri yang terletak di pinggir jalan menuju Tiongkok.1
Hubungan erat Aceh-Sumatra dengan dunia Arab juga dapat ditelusuri dari
beberapa kata di dalam al-Qur’an. Sebagaimana diketahui al-Qur’an adalah kumpulan
wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan
malaikat Jibril as sejak pertama diangkat menjadi Nabi di Gua Hira’ sampai beliau wafat
di Madinah pada tahun 10 Hijriah. Telah disepakati para Ulama, bahwa al-Qur’an
diturunkan dalam bahasa Arab, sebagaimana dinyatakan al-Qur’an sendiri. Namun
bahasa Arab al-Qur’an adalah bahasa Arab tertinggi yang telah melahirkan gramatika
bahasa Arab kontemporer. Para ulama juga berpendapat ada beberapa kata al-Qur’an
yang bukan berasal dari bahasa Arab asli, namun bahasa non Arab yang sudah banyak
digunakan dan dimengerti oleh masyarakat Arab.2

1
N.J. Kroom, Zaman Hindu, terjemahan Arief Effendi, Jakarta: Pembangunan, 1956, hlm. 10-12. D.G.E.
Hall, A History of South East Asia, London: Macmillan & Co. Ltd., 1960, hlm. 1-5. D.H. Burger dan Prajudi, Se-
jarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15. Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan,
terjemahan dan edisi J.V.G. Mills, Hakluyt Society, 1970, hlm. 120. W.P. Groeneveldt, Historical Notes on In-
donesia & Malaya Compiled from Chinese Source, Jakarta: Bharata, 1960, hlm. 209. B. Schrieke, Indonesian So-
ciological Studies, Part Two, The Hauge-Bandung: W. Van Hoeve Ltd, 1957, hlm. 17. M.A.P. Meilink-Roelofsz,
Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and abaout 1630, The Hague:
Martinus Nijhoff, 1962, hlm. 354.
2
Lebih terinci lihat misalnya : Dr. Subhi Shaleh, Mabahits fi ‘ulum al-Qur’an, Beirut : Dar Ilm li al-
Maliyin, tt. Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi ‘ulum al-Qur’an, Damsyik : Maktabah al-
Ghazaly, Thabaah Tsalist, 1981. Dr. M. Ali al-Hasan, al-Manar fi ‘ulum al-Qur’an, Amman : Matbaah al-
Syuruq, 1983. Dr. Shabir Thayyimah, Hazha al-Qur’an, Bairut : Dar al-Jiil, 1989. Syaikh Muhammad
Rasyid Ridho, al-wahy al-Muhammady, Bairut : Dar al-Fiqr, 1968.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 17


Salah satu bahasa Aceh-Sumatra yang sudah tersebar di dunia Arab, termasuk
Mesir sejak zaman kekuasaan Ramses (Fir’aun) adalah kafuur. Kafuur min barus adalah
sebuah komuditas mewah wangi-wangian yang berasal dari inti kayu kamfer yang
dalam bahasa latin dikenal dengan champora. Tidak diragukan bahwa penghasil terbesar
kapur zaman itu adalah wilayah yang terletak di ujung barat pulau Sumatera, yang
sekarang berada di wilayah Aceh. Al-Qur’an surat al-Insan (76) ayat ke 5 menyebutkan:
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan akan meminum dari gelas, minuman yang
dicampur kafuur. Kebanyakan mufassirin dalam tafsirnya masing-masing seperti Ibn.
Abbas, Jalalain, al-Qurthubi, Ibn Katsir dan lain-lainnya, mengartikan kafuuro sebagai
campuran dari minuman yang merehatkan, nikmat, yang dapat membuat tenang dan
biasanya dijadikan obat. Walaupun ada yang menyebutkan sebagai nama mata air di
syurga. Namun hampir semuanya sepakat bahwa kata ini bukan asli bahasa Arab,
sebagaimana disebutkan Ibn Manzhur dalam Lisan al-Arab karena tidak ditemukan
dalam bahasa Arab Jahiliyah atau bahasa Arab purba. Kata "kafuur", menurut Karel
Steenbrink, secara pasti bukan istilah Arab. Akar kata "kafara" bisa berarti menghindari
atau tidak berterima kasih. Sedangkan kata "kafur", yang berarti kapur barus atau
kamper, berasal dari bahasa Melayu. Steenbrink menyimpulkan bahwa kata "kafur"
bukan hanya penghubung secara etimologis antara al-Qur'an dan Nusantara, tetapi juga
komoditas yang sejak abad ke-7 telah dibawa oleh pedagang Muslim dari Aceh-
Sumatra.3
Dengan adanya hubungan Aceh-Sumatra sejak 2000 sebelum Masehi lalu dengan
Mesir, maka tidak mengherankan ketika nabi Muhammad saw membawa Islam pada
awal abad ke 7 Masehi, langsung tersebar di kalangan para pedagang Nusantara Aceh
yang memang sudah berhubungan melalui rute perdagangan di antara pelabuhan
Yaman dan Hijaz Semenanjung Arabia. Dalam beberapa riwayat dari shahabat Nabi
disebutkan sebuah bangsa dari sebelah timur yang bersama-sama berperang dan
menyebarkan Islam. Penyebaran Islam secara langsung dilakukan para pedagang
Nusantara-Aceh dan dilanjutkan dengan pengiriman misi dakwah dan perdagangan
sejak zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Demikian pula halnya ketika
keturunan bani Umayyah, terutama sejak Yazid bin Muawiyah melakukan
pembantaian terhadap keturunan Sayyidina Husein ra, maka perpindahan keturunan
Nabi saw dan ulama-ulama yang setia padanya semakin banyak ke Nusantara, terutama
Aceh yang terletak paling Barat dan karena masyarakatnya sudah menerima dan
memeluk ajaran Islam. Tidak diragukan bahwa Islamisasi Nusantara, termasuk
penaklukan kerajaan terbesar Jawa-Hindu, Majapahit, dirancang dan digerakkan dari
Aceh-Sumatra silih berganti sejak awal abad VIII Masehi berpusat di Jeumpa, Pasai,
Perlak dan lainnya bibawah pimpinan sultan-sultan Islam yang merupakan mata rantai
gerakan Islamisasi dunia yang menjadikan Makkah al-Mukarramah sebagai porosnya
yang mendapat dukungan penuh para Khalifah Islam turun temurun.4
3
Karel Steenbrink, Pondok Pesantren, Jakarta: LP3ES, hlm. 15
4
Rita Rose di Meglio, “Arab Trade with Indonesia and the Malay Peninsula from the 8th to the 16th Cen-
tury”. Papers on Islamic History II, Islam and the Trade of Asia: A Colloquium, edited by D.S. Ricard, University
of Pennsylvania Press 1970, hlm. 115 (catatan no.29). S.M.N. Al-Attas, “Prelimenary Statement on A General
Theory of the Islamization”, dalam Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, Kuala Lumpur: Dewan Ba-
hasa dan Pustaka, 1969, hlm. 11. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, Medan: Pani-
tia Seminar, 1963, hlm. 87, 207. T.D. Situmorang dan A. Teeuw, Sejarah Melayu, Jakarta: Balai Pustaka, 1958,
hlm. 65-66. T. Ibrahim Alfian (ed). Kronika Pasai, Yogjakarta: Gajah Mada University Press, 1973, hlm. 100. Mu-

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 18


Kegemilangan peradaban Aceh-Sumatra yang berkembang pesat sebelumnya
telah memudahkan para pembawa Islam untuk memajukannya secara maksimal. Hal ini
mengantarkan masyarakat Aceh-Sumatra sebagai bagian dari pergerakan internasional
pembebasan umat manusia dari belenggu kegelapan yang membawanya sebagai
masyarakat berperadaban tinggi berdasarkan nilai-nilai keuniversalan dan keagungan
Islam. Dalam Bustanu’l Salatin, Syekh Nuruddin telah menggambarkan bagaimana
tingginya pengetahuan dan pemikiran masyarakat Aceh-Sumatra, baik di kalangan para
sultan, pejabat negara sampai kepada masyarakat umum sehingga banyak ulama yang
datang ke Aceh-Sumatra harus kembali belajar agar cukup pengetahuannya untuk
mengajar. Itulah sebabnya para pemuka Islam menjuluki Aceh sebagai “Serambi
Mekkah”, sebagai satu-satunya serambi Mekkah di dunia, yang tidak lain bermakna
sebenarnya adalah karena Aceh telah menjadi pusat rujukan ajaran dan fatwa Islam di
Nusantara. Tradisi dan peradaban Islam di Aceh sudah berkembang pesat dan bahkan
para ulama dan cerdik pandainya memiliki kaliber yang sederajad dengan para ulama
Hijaz dan semenanjung Arabia lainnya. Kasus ini dapat dilihat pada diamnya (tawaquf)
ulama-ulama Hijaz di Mekkah atas kepemimpinan wanita selama lebih 50 tahun
pemerintahan 4 orang Sultanah Aceh atas dukungan fatwa Mufti dan Qadhi Malik al-
Adhil, Syekh Abdul Rauf al-Singkili (Maulana Syiah Kuala). Hal ini tidak lain untuk
mengormati ijtihad beliau yang didasarkan pada pengetahuan mendalam dan luas
terhadap ajaran Islam. Setiap utusan Syarief Mekkah yang datang kepada beliau harus
mengakui ketinggian ilmunya serta kesahihan ijtihad dan fatwanya sehingga hujjahnya
tak terpatahkan. Namun setelah beliau wafat, maka Ketua Mufti Mekkah mengeluarkan
fatwa yang memakzulkan (memberhentikan) Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah pada
1699 dengan hujjah bahwa syari’at Islam tidak membenarkan perempuan menjadi
pemimpin negara.5
Pemikir Islam kontemporer Ismail R. Faruqi6 menjuluki muslim nusantara,
terutama pejuang Aceh-Sumatra sebagai "One of the oldest and bloodiest struggle of
the Muslims have waged against Christian-Colonialist aggression". Salah satu rumpun
bangsa yang paling tertua dan paling berdarah diantara bangsa Muslim dalam
menentang agresi kaum Kristen-Kolonialis. Karena realitas sejarah membuktikan
hampir 500 tahun lebih masyarakat Muslim Aceh dibawah kepemimpinan para Sultan
berperang silih berganti melawan kaum Imprialis-Kolonialis ”kaphe” yang hendak
menjajah Aceh-Sumatra dan wilayah kekuasaannya. Dengan gagah perkasa dan senjata

hammad Yamin, Gajah Mada, Jakarta: Balai Pustaka, 1972, hlm. 60. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad,
Medan: Waspada, 1981. Teuku Iskandar, De Hikayat Atjeh, (S-gravenhage: NV. De Nederlanshe Boek-en Ste-
endrukkerij V. H.L. Smits, 1959). Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta:
LP3ES, 1996)
5
Husein Djajaningrat, Kesultanan Aceh: Suatu Pembahasan Tentang Sejarah Kesultanan Aceh Berdasar-
kan Bahan-bahan Yang Terdapat Dalam Karya Melayu, Teuku Hamid (terj.) (Banda Aceh: Depdikbud DI Aceh.
1983). Siti Hawa Saleh (edt), Bustanus as-Salatin, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992). Denys
Lombard, Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636, (terj), (Jakarta: Balai Pustaka,1992). C.
Snouck Hurgronje, Een- Mekkaansh Gezantscap Naar Atjeh in 1683”, BKI 65, (1991) hlm. 144. Azyumardi Azra,
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hlm.
196. A. Hasymi, 59 Aceh Merdeka Dibawah Pemerintah Ratu (Jakarta: Bulan Bintang, 1997). Hlm. 32-40.
6
Siddiq Fadhil, Rumpun Melayu Dalam Era Globalisasi, Makalah Seminar Serantau, (Kuala Lumpur:
PEPIAT: 1993). Lihat juga karya beliau, Minda Melayu Baru, (Kuala Lumpur: IKD,1994). Hilmy Bakar Almasca-
ty, Ummah Melayu Kuasa Baru Dunia Abad 21. (Kuala Lumpur: Berita Publishing, 1994)

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 19


apa adanya mereka bangkit melawan tentara-tentara Salib dari Portugis maupun
Belanda yang telah memiliki persenjataan modern pada masa itu.7
Aceh-Sumatra dengan segala kegemilangan sejarah peradabannya sejak dahulu
kala telah melahirkan tokoh-tokoh berkaliber dunia pada bidangnya masing-masing.
Nama-nama besar dari Aceh telah menghiasi perjalanan sejarah umat manusia,
diantaranya seperti Sultan Malikus Saleh, Sultan Iskandar Muda, Hamzah Fansuri,
Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, Ratu Safiatuddin, Maulana Syiah
Kuala, Laksamana Malahayati, Tgk. Chik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nya’ Dhien dan
lain-lainnya.8

7
Lihat : Ali Hasymi, Perang Aceh, (Jakarta: Beuna: 1983). Ibrahim Alfian (edt), Perang Kolonial Belan-
da di Aceh, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1997). Lihat juga, Perang Di Jalan Allah,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987)
8
Lihat misalnya : Edwin M. Luoeb, Sumatra Its History and People, (Kuala Lumpur: Oxford Univ.
Press, 1972). Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Waspada, 1981. Muhammad Ibrahim, Sejarah
Daerah Provinsi DI Aceh, (Jakarta: Depdikbud, 1991). Abdul Hadi Arifin, Malikussaleh, (Lhokseumawe: Univ.
Malikussaleh Press, 2005). Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh Dalam Tahun 1520-1675, (Medan: Monara,
tt). C. Snouck Hurgronje, The Acehnese, (Leiden: AWS. O’Sullivan, 1906). SMN. Al-Attas, The Mysticism of
Hamzah Fansuri, (Kuala Lumpur: UM Press, 1970). C.A.O. van Nieuwenhuize, Samsu’l-Din van Pasai (Leiden,
1945). D.A. Rinkers, Abdurrauf van Singkel, (Leiden: 1909). Ahmad Daudi, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Sejarah
Hidup, Karya dan Pemikiran (Banda Aceh: P3KI IAIN Ar-Raniry, 2006). Ismail Yakkub, Tgk. Tjik Di Tiro,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1952).

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 20


Kegemilangan Ummah Aceh-Sumatra Pra-Islam

Para kolonialis Barat dengan segala ambisinya sebagai penjajah telah


merancang berbagai strategi untuk tetap menjadikan bangsa jajahannya sebagai
masyarakat yang bodoh, tertinggal dan tidak memiliki harkat dan martabat.
Salah satu cara efektif yang dilakukannya adalah dengan memotong sejarah
peradaban bangsa yang dijajahnya. Peninggalan-peninggalan agung nenek
moyang mereka dibawa kabur, dirampok bahkan dihancurkan agar generasi
muda tidak memiliki jati diri lagi. Itulah sebabnya bangsa-bangsa penjajah, baik
Inggris, Pertogis maupun Belanda telah membawa semua bukti peninggalan
kegemilangan Islam Nusantara ke Eropa dengan alasan pengembangan
pengetahuan.
Selanjutnya mereka menjalankan politik belah bambu dan pecah belah
lalu menguasai. Sebagaimana yang mereka telah lakukan di Nusantara. Bangsa
Muslim Nusantara dipecah belah dengan pendekatan kesukuan dengan
meniupkan fanatisme jahiliyah menggantikan ghirah Islamiyah. Bangsa yang
tidak mau takluk dibawah jajahannya, diadu domba dengan saudaranya, seperti
penjajah kaphe ini mengadu domba bangsa Padang dengan bangsa Aceh yang
sama-sama diketahui sebagai pilar Islam Nusantara. Bangsa Padang direkrut
menjadi tentara Belanda yang terkenal dengan Pasukan Marsose, lalu mereka
diperintahkan untuk memerangi bangsa Aceh yang tidak mau tunduk kepada
penjajah. Terjadilah pertumpahan darah sesama Muslim, yang satu menjadi
antek kaphe Belanda dan yang satu sebagai pejuang yang berjihad melawan
kezaliman Belanda. Berapa banyak mujahidien fie sabilillah di Aceh yang
dibantai pasukan Marsose yang didirikan oleh antek Belanda Muhammad
Syarief, tokoh Padang yang akhirnya mendapat medali penghargaan tertinggi
dari Ratu Belanda karena berhasil membantai saudara Muslimnya di Aceh.
Masyarakat Nusantara yang sudah tumbuh berkembang dengan
keagungan peradabannya sejak beribu-ribu tahun lalu, digambarkan oleh para
sejarawan kolonial sebagai sebuah bangsa bar-bar, nomaden, seperti keadaan
orang-orang Papua di Lembah Baliem saat ini, yang telanjang dan tinggal di
pohon-pohon. Padahal kenyataannya sangat jauh berbeda. Karena masyarakat
Nusantara adalah salah satu rumpun bangsa tua yang telah berhasil
membangun sebuah entitas budaya dan peradabannya sendiri, sesuai dengan
kemajuan dan perkembangan zaman. Dari penemuan peninggalan-peninggalan
situs sejarah dan benda-benda yang menyertainya dapat diketahui bahwa di
Aceh pernah tumbuh berkembang sebuah peradaban yang digerakkan oleh Raja
dari Kerajaan-Kerajaan Hindu seperti Kerajaan Indra Pura, Indra Purba, Indra
Patra dan lain-lainnya.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 21


Di kalangan bangsa Yunani purba, Sumatera sudah dikenal dengan
Taprobana. Nama Taprobana Insula telah dipakai oleh Claudius Ptolemeus, ahli
geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia
menguraikan daerah ini dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemeus
menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri yang menjadi jalan ke
Tiongkok, sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal
menghasilkan wewangian dari kapur barus. Disebutkan pula bahwa kapur barus
yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk
dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak
Ramses II atau sekitar 5000 tahun lalu. Naskah Yunani tahun 70, Periplous tes
Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse nesos,
atau ‘pulau emas’. Sejak zaman purba para pedagang sekitar Laut Tengah sudah
mendatangi Sumatera mencari emas, kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur
barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya ada di Sumatera. Para
pedagang Nusantara sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat
dan Afrika Timur, tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini abad
pertama Masehi. Dalam kitab Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9, diterangkan
bahwa Raja Solomon, raja Israil menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja
Tirus yang berada dibawah kekuasaannya. Emas didapatkan dari negeri Ophir.
Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman
a.s. berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-Na fiha).
Di manakah gerangan letak negeri Ophir yang diberkati Allah ? Banyak ahli
sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatera. Kota
Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemeus
pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang
pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad
ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera dengan asumsi bahwa di sanalah
letak negeri Ophir-nya King Solomon.9
Perdagangan antara negara-negara Timur dengan Timur Tengah dan
Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat, yang
juga disebut ”jalur sutra” (silk road), dimulai dari Cina Utara lewat Asia Tengah
dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur perdagangan ini, yang
menghubungkan Cina dan India dengan Eropa, merupakan jalur tertua yang
sudah di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai
dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Indonesia, melalui Selat Malaka ke India;
dari sini ke Laut Tengah dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah,
dan ada juga yang melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat
9
N.J. Krom, Zaman Hindu, terjemahan Arief Effendi, Jakarta: Pembangunan, 1956, hal. 10-12.
(Nicholaas Johannes Krom, “De Naam Sumatra”, Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, deel 100,
1941). William Marsden, The History of Sumatra, Oxford University Press, Kuala Lumpur, cetak ulang
1975. D.G.E. Hall, A History of South East Asia, London: Macmillan & Co. Ltd., 1960, hlm. 1-5. D.H.
Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 22


laut antara Laut Merah, Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama
sesudah Masehi.10
Akan tetapi, karena sering terjadi gangguan keamanan pada jalur perda-
gangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-
Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-
kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus
ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang
pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan
tersebut. Pada zaman Sriwijaya, pedagang-pedagangnya telah mengunjungi pe-
labuhan-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika. Ramainya lalu lintas pe-
layaran di Selat Malaka, maka telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang
terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang
semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadi-
kan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Aceh yang diketahui
telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa
delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota
perdagangan.11
Ini artinya peradaban Aceh adalah diantara peradaban tua di wilayah
Nusantara. Namun belum banyak bukti yang dapat dikemukakan tentang
kegemilangan masa lalu peradaban Aceh, yang menurut beberapa penelitian
para ahli disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya (i) belum diadakannya
menggalian terhadap situs sejarah purba secara serius dan menyeluruh akibat
pertimbangan politik ataupun konflik berkepanjangan (ii) hilangnya situs-situs
penting, terutama dipinggir laut akibat terjadinya beberapa kali gelombang
tsunami, sebagaimana tsunami 26 Desember 2004 lalu yang menghancurkan
kota-kota purba Aceh yang umumnya dipinggir pantai yang berhadapan
langsung dengan tsunami (iii) adalah menjadi tradisi sebagian masyarakat Aceh
untuk memusnahkan peninggalan sejarah apabila sudah tidak dikehendaki
penguasanya, contoh terdekat adalah pembakaran buku-buku ilmiyah karya
Hamzah Fansuri dan ulama aliran Wujudiyah di depan Masjid Baiturrahman
atas perintah Sultan Iskandar Tsani berdasarkan fatwa Syekh Nuruddin al-
Raniri, atau pembakaran Istana Super Megah yang didirikan Sultan Iskandar
Muda, Darud Dunya akibat terjadinya pemberontakan pada masa Sultanah
Inayat Syah. Dan terakhir adalah bumi hangus Istana pada zaman Sultan
Muhammad Daud Syah agar jangan sampai dikuasai penjajah Belanda.
Keadaan revolusioner dan dinamis yang terjadi di Aceh dari waktu ke
waktu sepanjang 500 tahun terakhir telah memecah konsentrasi para pemimpin

10
D.H.Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm.
15.)
11
M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesia Archipelago. The
Hague: Martinus Nijhoff, 1962, hlm. 345 (catatan 122)

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 23


dan cendekiawan Aceh dalam memelihara peninggalan sejarahnya sehingga
banyak yang terbengkalai, hilang, musnah bahkan sengaja dihilangkan dengan
alasan keamanan. Penulis beberapa kali mendapatkan alasan ketakutan nara
sumber yang memiliki peninggalan berharga berupa manuskrip penting, karena
jika diketahui aparat akan diambil dan mereka dituduh sebagai pemberontak
atau sparatis. Akibatnya banyak manuskrip-manuskrip penting peninggalan
peradaban Aceh tertanam atau hilang.
Namun demikian, dari sumber-sumber sekunder dapat diketahui
kembali, walaupun masih tingkat awal mula, tentang sejarah kegemilangan
Aceh, terutama pada masa pra-Islam. Data-data tersebut sangat penting untuk
mengetahui sejauh mana tingkat peradaban dan pengetahuan masyarakat Aceh
pra-Islam, baik zaman pra-Hindu-Budha ataupun sebelumnya. Mengingat letak
geografi Aceh yang strategis sebagai laluan dalam perjalanan menuju pulau
Jawa atau Timur Jauh lainnya dari sumber peradaban tua umat manusia, baik di
sekitar Asia Tengah, Timur Tengah ataupun Afrika. Karena di Jawa atau
Kalimantan banyak ditemukan peradaban manusia yang telah berusia ratusan
ribu tahun.
Dari sumber-sumber sekunder, sebagaimana telah disebutkan terdahulu,
ternyata Aceh memiliki peranan penting dalam sejarah peradaban manusia.
Salah satu bukti otentik yang tidak diragukan adalah perjalanan kapur Barus
yang telah menembus peradaban Yunani, Rumawi sampai Mesir klasik. Produk
unggulan Barus-Aceh ini telah menjadi komuditas primadona dunia yang tinggi
nilainya, sehingga megantarkan Aceh sebagai salah satu bagian dari
kegemilangan dan ketinggian peradaban klasik pra-Islam. Tentunya kedatangan
manusia-manusia modern pada zaman itu ke Aceh telah membawa perubahan
pada pengetahuan dan kebiasaan masyarakat, sebagaimana pengaruh
kedatangan para relawan asing manca negara saat ini ke Aceh yang membawa
berbagai bentuk pengetahuan, ilmu, budaya dan peradaban yang
mempengaruhi pola hidup masyarakat. Kedatangan mereka sudah pasti akan
membawa kemajuan dan kemakmuran kepada masyarakat Aceh, dan tidak
diragukan bahwa kemakmuran akan mengantarkan kegemilangan peradaban
umat manusia seperti apa yang dialami negara-negara maju seperti Amerika,
Eropa maupun Jepang, India dan Cina saat ini.
Kegemilangan masyarakat Aceh yang telah berkembang pesat sebelum
kedatangan Islam dengan pencapaian-pencapaian peradabannya telah
memudahkan para pembawa Islam untuk memajukannya secara maksimal.
Karena lebih mudah mengajarkan Islam yang sempurna dan menyeluruh
kepada orang-orang yang berperadaban, berpengatahuan dan menggunakan
akalnya untuk berfikir. Itulah sebabnya, saat ini para pendakwah kita lebih
mudah menyebarkan Islam kepada masyarakat modern di Amerika, Eropa
ataupun Jepang dari pada masyarakat di pedalaman Papua atau Kalimantan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 24


yang masih hidup telanjang dan jauh dari peradaban. Sebagaimana tersebar
cerita dikalangan pendakwah, jika di Eropa orang-orang bule cerdik-pandai
berlomba-lomba meninggalkan gereja dan masuk Islam karena alasan rasional
dan sesuai dengan perkembangan zaman, tapi di negeri ini orang-orang bodoh
dan tolol bisa diajak masuk gereja karena sebungkus super mie. Sungguh benar
sabda Rasul, kebodohan akan membawa kemiskinan dan kemiskinan akan
menjadikan orang mudah kepada kekafiran.
Masuknya Islam telah mengantarkan masyarakat Aceh sebagai bagian
dari pergerakan internasional pembebasan umat manusia dari belenggu
kegelapan yang membawanya sebagai masyarakat berperadaban tinggi
berdasarkan nilai-nilai keuniversalan dan keagungan Islam. Dalam Bustanu’l
Salatin, Syekh Nuruddin telah menggambarkan bagaimana tingginya
pengetahuan dan pemikiran masyarakat Aceh, baik di kalangan para sultan,
pejabat negara sampai kepada masyarakat umum sehingga banyak ulama yang
datang ke Aceh harus kembali belajar agar cukup pengetahuannya untuk
mengajar di tengah masyarakat Aceh yang kosmopolit masa itu. Itulah sebabnya
para pemuka Islam menjuluki Aceh sebagai “Serambi Mekkah”, sebagai satu-
satunya serambi Mekkah di dunia, yang tidak lain bermakna sebenarnya adalah
karena Aceh telah menjadi pusat rujukan ajaran dan fatwa Islam di Nusantara.
Tradisi dan peradaban, terutama pemikiran Islam di Aceh sudah berkembang
pesat dan bahkan para ulama dan cerdik pandainya memiliki kaliber yang
sederajad dengan para ulama Hijaz dan semenanjung Arabia lainnya. Kasus ini
dapat dilihat pada diamnya (tawaquf) ulama-ulama Hijaz di Mekkah atas
kepemimpinan wanita selama lebih 50 tahun pemerintahan 4 orang Sultanah
Aceh atas dukungan fatwa Mufti dan Qadhi Malik al-Adhil, Syekh Abdul Rauf
al-Singkili (Maulana Syiah Kuala). Hal ini tidak lain untuk mengormati ijtihad
beliau yang didasarkan pada pengetahuan mendalam dan luas terhadap ajaran
Islam. Setiap utusan Syarief Mekkah yang datang kepada beliau harus mengakui
ketinggian ilmunya serta kesahihan ijtihad dan fatwanya sehingga hujjahnya tak
terpatahkan. Namun setelah beliau wafat, maka Ketua Mufti Mekkah
mengeluarkan fatwa yang memakzulkan (memberhentikan) Sultanah Kamalat
Ziatuddinsyah pada 1699 dengan hujjah bahwa syari’at Islam tidak
membenarkan perempuan menjadi pemimpin negara.12
Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah saw telah berkata: ”Sebaik-baik kamu
pada zaman jahiliyah, akan menjadi sebaik-baik manusia setelah memeluk Islam”. Ini
adalah sebuah ungkapan yang telah menjadi kenyataan dalam sejarah

12
Husein Djajaningrat, Kesultanan Aceh: Suatu Pembahasan Tentang Sejarah Kesultanan Aceh Ber-
dasarkan Bahan-bahan Yang Terdapat Dalam Karya Melayu, Teuku Hamid (terj.) (Banda Aceh: Depdikbud DI
Aceh. 1983). Siti Hawa Saleh (edt), Bustanus as-Salatin, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992).
Denys Lombard, Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636, (terj), (Jakarta: Balai Pustaka,1992).
C. Snouck Hurgronje, Een- Mekkaansh Gezantscap Naar Atjeh in 1683”, BKI 65, (1991) hlm. 144. Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995),
hlm. 196. A. Hasymi, 59 Aceh Merdeka Dibawah Pemerintah Ratu (Jakarta: Bulan Bintang, 1997). Hlm. 32-40.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 25


kegemilangan Islam yang telah dipimpin Rasulullah saw. Pada zaman pra-Islam,
banyak sekali tokoh-tokoh berpotensi, seperti Umar bin Khattab dan Khalid bin
Walid yang secara terang-terangan menentang Islam pada awal
perkembangannya. Umar sendiri sempat mau membunuh Nabi Muhammad
karena dianggapnya sebagai sumber perpecahan masyarakat Mekkah, namun
akhirnya masuk Islam setelah membaca lembaran al-Qur’an yang dirampasnya
dari adiknya yang sudah lebih dahulu masuk Islam. Setelah memeluk Islam,
Umar adalah salah seorang pembela Islam yang berani dan telah menjadi
Khalifah yang menyebarkan Islam ke seluruh pelosok dunia. Demikian pula
dengan Khalid yang sempat memimpin kaum musyrikin melawan Nabi
Muhammad sehingga kaum Muslim mengalami kekalahan di perang Uhud.
Namun setelah Khalid masuk Islam, akhirnya dia digelar dengan ”Pedang
Allah” yang telah menumbangkan kekuasaan-kekuasaan besar seperti Romawi
dan Parsia.
Masyarakat Arab sendiri sebelum kedatangan Islam adalah masyarakat
yang terbelakang dari segi peradaban dan pengetahuan jika dibandingkan
dengan bangsa-bangsa lainnya, baik Mesir, Rumawi ataupun Persia. Bahkan al-
Qur’an sendiri menyebut masyarakat Arab di sekitar Mekkah sebagai Ummiyun,
masyarakat yang tidak memiliki peradaban dan kekuasaan. Dalam sejarah
disebutkan bahwa masyarakat Arab di sekitar Mekkah jika terjadi musim
kemarau panjang, mereka terkadang menjadi pengungsi dan pengemis di sekitar
Kerajaan-kerajaan besar seperti Mesir, Habsyah ataupun Parsia. Masyarakat
Arab pra-Islam digambarkan sebagai sebuah suku bangsa kecil yang terpecah
belah, miskin lagi terbelakang dengan hidup yang berpindah-pindah. Namun
berkat Islam, bangsa yang kecil dan tidak diperhitungkan ini, dalam waktu
kurang dari 30 tahun sejak kebangkitan Nabi Muhammad, telah menjadi sebuah
bangsa besar yang menggetarkan semua super power, dan akhirnya sejarah
membuktikan bahwa semua super power itu tunduk kepada masyarakat ummy
yang telah mendapatkan pencerahan dan kekuatan spiritualitas dari keagungan
nilai-nilai Islam. Selanjutnya umat Islam menjadi mercusuar peradaban manusia,
yang menghubungkan peradaban klasik paganis menjadi peradaban modern
rasionalis.
Hal inilah yang terjadi pada masyarakat Aceh. Jika sebelum Islam mereka adalah
sebuah bangsa yang sudah berperadaban maju, maka kedatangan Islam akan
mendorong lebih kencang kemajuan dan pencapaian peradaban mereka sebagaimana
dicatat sejarah. Jika sebelum Islam masyarakat Aceh hanya sebuah kerajaan-kerajaan
kecil dibawah perlindungan Kerajaan Hindu seperti Sriwijaya, maka setelah Islam
datang menyinari masyarakat Aceh, mereka bangkit menjadi sebuah kekuatan baru
yang pada akhirnya menjadi pelopor dan penggerak Islamisasi di Nusantara. Termasuk
menjadi sebab utama tumbang dan lenyapnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, baik di
Sumatra, Semenanjung Melayu, Kalimantan, Jawa, Sulawesi sampai ke Maluku dan
Papua serta sampai di Sulu dan Mindanao yang telah mapan selama ribuan tahun.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 26


Pusat Islamisasi Nusantara Aceh digerakkan oleh Kerajaan-Kerajaan Islam silih berganti
yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Dimulai dari berdirinya Kerajaan Islam
Jeumpa pada tahun 770 M oleh Sasaniah Salman, yang dilanjutkan perannya oleh
Kerajaan Islam Perlak tahun 805 M yang didirikan anak Raja Islam Jeumpa bernama
Meurah Syahr Nawi dikembangkan keponakannya Maulana Abdul Aziz Syah dan
keturunannya, disambung oleh Kerajaan Pasai pada abad XII yang didirikan keturunan
Raja Jeumpa dan Perlak bernama Meurah Silu atau Sultan Malik al-Salih. dan
seterusnya yang mulai mendapat kegemilangan pada masa Kerajaan Aceh Darussalam
yang menggabungkan semua Kerajaan Islam Aceh, menggapai puncaknya
keagungannya pada zaman Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607-1636 M yang
menguasai seluruh pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya serta menjadi pelindung
Kerajaan-Kerajaan Islam lainnya, baik di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku sampai
Sulu-Mindanao.
Demikian pula para Sultan Aceh ikut berperan aktif mendirikan Kerajaan Islam
Jawa terbesar, baik Demak, Mataram maupun Banten. Kerajaan Islam Perlak dan Pasai
secara teratur dan berkala telah mengirimkan para pendakwah Islam ke tanah Jawa
yang digerakkan oleh para ulama keturunan Nabi Muhammad silih berganti. Yang
paling terkenal adalah sebuah gerakan Islamisasi dengan nama Wali Sembilan atau Wali
Songo yang dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim (Syekh Maghribi) bersama beberapa
keluarga dekat dan keponakannya seperti Sunan Ampel, Sunan Drajad, Sunan Bonang,
Sunan Gunung Jati dan lainnya yang memiliki satu jalur keturunan dan bermuara pada
Imam Ja’far Sadiq. Penaklukan mereka terhadap Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang
dominan masa itu, tidak dilakukan secara perang konfrontatif mengingat kuatnya
Majapahit. Penyebaran Islam dilakukan melalui jalur perdagangan, perubahan sosial-
budaya, pendidikan, dakwah dan yang paling strategis melalui jalur perkawinan.
Wali Songo mengawinkan Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V dengan kader
muslimah terbaiknya yang dikenal dengan nama ”Puteri Champa”, gadis cantik jelita
dan cerdas, seorang Puteri Kerajaan Islam Jeumpa Aceh yang juga masih keponakan
dari Sunan Ampel, yang ketika itu telah membuka lembaga kaderisasi dan pendidikan
di Ampel Surabaya. Dari perkawinan ini lahirlah seorang putera bernama Raden Fatah,
yang sejak kecil sudah diungsikan dari Istana Majapahit dan mendapat pendidikan
langsung para Wali Songo, dan dibesarkan dalam lingkungan pendidikan Sunan
Ampel. Ketika dewasa, Raden Fatah diangkat menjadi penguasa lokal di Demak, Jawa
Tengah. Setelah menggalang kekuatan dan mendapat dukungan meluas, Wali Songo
memproklamirkan berdirinya Kerajaan Islam Demak dan mengangkat Raden Fatah
sebagai Sultan. Sejak saat itu, dimulailah penaklukan demi penaklukan yang telah
mengakhiri dominasi Kerajaan Hindu-Budha di tanah Jawa dan mulai berdiri
Kesultanan-Kesultanan Islam. Sementara Syarief Hidayatullah, tidak diragukan berasal
dari keturunan keluarga besar Kesultanan Perlak-Pasai yang telah telah mendirikan
Kesultanan Banten di Jawa bagian Barat.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 27


Dekonstruksi Teori Islamisasi Aceh
Versi Snouck Hourgronje
Sehubungan dengan proses Islamisasi di Aceh, ada beberapa teori yang hingga
kini masih sering didiskusikan, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan
intelektual Islam sendiri. Salah satunya adalah teori masuknya Islam ke Aceh dari
Gujarat, disebut juga sebagai Teori Gujarat. Teori ini berasal dari seorang orientalis asal
Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam di Aceh
yang tidak mampu dijajah Belanda. Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang
demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dan Islam dengan sangat giat
sampai ke Mesir dan Mekkah, mengaku sebagai seorang Ulama Muslim, dan bahkan
mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya. Teori yang diusung
oleh Snouck ini mengatakan Islam masuk ke Nusantara, termasuk Aceh dari wilayah-
wilayah di anak benua India seperti Gujarat, Bengali. Ironisnya Teori ini masih dipakai
dalam buku-buku sejarah sampai sekarang yang menjadi buku pegangan bagi para
pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa
perguruan tinggi.
Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises, Snouck menyebutkan teori tersebut
didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada
dalam Islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga
mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara
wilayah Nusantara dengan daratan India. Sebetulnya, teori ini dimunculkan pertama
kali oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden. Namun, nama Snouck yang
paling besar memasarkan teori Gujarat ini. Salah satu alasannya adalah, karena Snouck
dipandang sebagai sosok yang mendalami Islam. Teori ini diikuti dan dikembangkan
oleh banyak sarjana Barat lainnya.
Teori Gujarat yang dikembangkan bahkan dipaksakan Snouck bersama antek-
anteknya ini telah memberikan pengaruh yang besar terhadap sejarah dan jati di bangsa
Aceh selanjutnya. Pengkerdilan ini telah memutuskan mata rantai spiritualitas
keislaman yang telah berurat berakar pada tradisi, budaya dan peradaban Aceh sebagai
tapak awal Islamisasi Nusantara. Dampak psikologis yang paling kentara adalah kesan
bahwa Aceh adalah salah satu wilayah yang baru tersentuh Islam, yang maknanya
bahwa perkembangan peradaban Islam di Aceh baru beberapa abad.
Untuk mendekonstruksi sejarah sekaligus menguak kepalsuan Teori Gujarat
yang disampaikan antek penjajah Snouck ini, ada beberapa teori yang ingin penulis
sampaikan, diantaranya adalah:

a. Teori Mekkah (Arab)


Salah satu teori Islamisasi Aceh yang paling populer dan memiliki kekuatan
fakta adalah teori yang dikembangkan oleh para pakar dan cendekiawan Muslim dan
mendapat dukungan di kalangan cendekiawan non Muslim, teori ini di kenal dengan
Teori Mekkah (Arab). Teori Mekkah (Arab) hakikatnya adalah koreksi terhadap teori
Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 28


adalah T.W. Arnold, Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, SMN. Al-Attas, A.
Hasymi, dan Hamka.13
Arnold menyatakan para pedagang Arab menyebarkan Islam ketika mereka
mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad awal Hijriyah, atau pada abad VII
dan VIII Masehi. Meski tidak terdapat catatan-catatan sejarah, cukup pantas
mengasumsikan bahwa mereka terlibat dalam penyebaran Islam di Indonesia. Asumsi
ini lebih mungkin bila mempertimbangkan fakta-fakta yang disebutkan sumber Cina
bahwa pada akhir perempatan ketiga abad VII M seorang pedagang Arab menjadi
pemimpin sebuah pemukiman Arab di pesisir Sumatera. Sebagian mereka bahkan
melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal yang kemudian membentuk
komunitas muslim Arab dan lokal. Anggota komunitas itu juga melakukan kegiatan
penyebaran Islam. Argumen Arnold di atas berdasarkan kitab `Ajaib al-Hind, yang
mengisaratkan adanya eksistensi komunitas muslim di Kerajaan Sriwijaya pada Abad X.
Crawfurd juga menyatakan bahwa Islam Indonesia dibawa langsung dari Arabia, meski
interaksi penduduk Nusantara dengan muslim di timur India juga merupakan faktor
penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara Keizjer memandang Islam
dari Mesir berdasarkan kesamaan mazhab kedua wilayah pada saat itu, yakni Syafi’i.
Sedangkan Nieman dan De Hollander memandang Islam datang dari Hadramaut,
Yaman, bukan Mesir. Sementara cendekiawan senior Nusantara, SMN. Al-Attas
menolak temuan epigrafis yang menyamakan batu nisan di Indonesia dengan Gujarat
sebagai titik tolak penyebaran Islam di Indonesia. Batu-batu nisan itu diimpor dari
Gujarat hanya semata-mata pertimbangan jarak yang lebih dekat dibanding dengan
Arabia. Al-Attas menyebutkan bahwa bukti paling penting yang perlu dikaji dalam
membahas kedatangan Islam di Indonesia adalah karakteristik Islam di Nusantara yang
ia sebut dengan “teori umum tentang Islamisasi Nusantara” yang didasarkan kepada
literatur Nusantara dan pandangan dunia Melayu.14
Menurut Al-Attas, sebelum abad XVII seluruh literatur Islam yang relevan tidak
mencatat satupun penulis dari India. Pengarang-pengarang yang dianggap oleh Barat
sebagai India ternyata berasal dari Arab atau Persia, bahkan apa yang disebut berasal
dari Persia ternyata berasal dari Arab, baik dari aspek etnis maupun budaya. Nama-
nama dan gelar pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka
orang Arab atau Arab-Persia. Diakui, bahwa setengah mereka datang melalui India,
tetapi setengahnya langsung datang dari Arab, Persia, Cina, Asia Kecil, dan Magrib
(Maroko). Meski demikian, yang penting bahwa faham keagamaan mereka adalah
13
Masalah Islamisasi Nusantara, lihat misalnya : S.M.N. Al-Attas, “Prelimenary Statement on A Gen-
eral Theory of the Islamization”, dalam Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1969,. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, Medan: Panitia
Seminar, 1963. T.D. Situmorang dan A. Teeuw, Sejarah Melayu, Jakarta: Balai Pustaka, 1958, hlm. 65-66. Mo-
hammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Waspada, 1981. Teuku Iskandar, De Hikayat Atjeh, (S-gravenhage:
NV. De Nederlanshe Boek-en Steendrukkerij V. H.L. Smits, 1959). Husein Djajaningrat, Kesultanan Aceh: Suatu
Pembahasan Tentang Sejarah Kesultanan Aceh Berdasarkan Bahan-bahan Yang Terdapat Dalam Karya Melayu,
Teuku Hamid (terj.) (Banda Aceh: Depdikbud DI Aceh. 1983). Siti Hawa Saleh (edt), Bustanus as-Salatin, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992). Denys Lombard, Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda
1607-1636, (terj), (Jakarta: Balai Pustaka,1992). C. Snouck Hurgronje, Een- Mekkaansh Gezantscap Naar Atjeh in
1683”, BKI 65, (1991). Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 196. A. Hasymi, 59 Aceh Merdeka Dibawah Pemerintah Ratu (Jakarta:
Bulan Bintang, 1997).
14
Azra, op.cit. hal. 28
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 29
faham yang berkembang di Timur Tengah kala itu, bukan India. Sebagai contoh adalah
corak huruf, nama gelaran, hari-hari mingguan, cara pelafalan Al-Quran yang
keseluruhannya menyatakan ciri tegas Arab.15
Argumen ini didukung sejarawan Azyumardi Azra dengan mengemukakan
historiografi lokal meski bercampur mitos dan legenda, seperti Hikayat Raja-raja Pasai,
Sejarah Melayu, dan lain-lain yang menjelaskan interaksi langsung antara Nusantara
dengan Arabia.16
Hamka dalam pidatonya di acara Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta pada tahun 1958, melakukan koreksi terhadap Teori
Gujarat. Teorinya disebut “Teori Mekah” yang menegaskan bahwa Islam berasal
langsung dari Arab, khususnya Mekah. Teori ini ditegaskannya kembali pada Seminar
Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963. Hamka menolak
pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13
dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan teorinya pada peranan bangsa
Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia. Gujarat hanyalah merupakan tempat
singgah, dan Mekah adalah pusat Islam, sedang Mesir sebagai tempat pengambilan
ajaran. Hamka menekankan pengamatannya kepada masalah mazhab Syafi’i yang
istimewa di Mekah dan mempunyai pengaruh besar di Indonesia. Sayangnya, hal ini
kurang mendapat perhatian dari para ahli Barat. Meski sama dengan Schrike yang
mendasarkan pada laporan kunjungan Ibnu Bathuthah ke Sumatera, Hamka lebih tajam
lagi terhadap masalah mazhab yang dimuat dalam laporan Ibnu Batutah. Selain itu
Hamka, juga menolak anggapan Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII. Islam sudah
masuk ke Nusantara jauh sebelumnya, yakni sekitar Abad VII.17
Pandangan Hamka sejalan dengan Arnold, Van Leur, dan Al-Attas yang
menekankan pentingya peranan Arab, meski teori Gujarat tidak mutlak menolak
peranan Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara. Arnold sendiri telah mencatat
bahwa bangsa Arab sejak abad kedua sebelum Masehi telah menguasai perdagangan di
Ceylon (Srilangka). Memang tidak dijelaskan lebih lanjut tentang sampainya ke
Indonesia. Tetapi, bila dihubungkan dengan kepustakaan Arab kuno yang
menyebutkan Al-Hind (India) dan pulau-pulau sebelah timurnya, kemungkinan
Indonesia termasuk wilayah dagang orang Arab kala itu. Berangkat dari keterangan
Arnold, tidaklah mengherankan bila pada abad VII, telah terbentuk perkampungan
Arab di sebelah barat Sumatera yang disebut pelancong Cina, seperti disebutkan Arnold
dan Van Leur.18

b. Teori Champa (Jeumpa) Versi Raffles


Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang
peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya The History of Java, menyebutkan bahwa
Champa yang terkenal di Nusantara, bukan terletak di Kambodia sekarang
sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Tapi Champa adalah nama daerah
di sebuah wilayah di Aceh, yang terkenal dengan nama ”Jeumpa”. Champa adalah
15
Al-Attas, op.cit. hal. 54-55
16
Azra, op.cit. hal.30
17
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia;
Bandung; Mizan; 1995; hal. 81.
18
Op.cit, hal. 92-93
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 30
ucapan atau logat Jeumpa dengan dialek ”Jawa”. Jeumpa (Champa) biasanya
dihubungkan dengan sebuah peristiwa pada zaman kerajaan Majapahit, terutama pada
masa pemerintahan Brawijaya V yang memiliki seorang istri yang dikenal dengan
”Puteri Champa”. Puteri inilah yang melahirkan Raden Fatah, yang kemudian
menyerahkan pendididikan putranya kepada seorang pamannya yang dikenal dengan
Sunan Ampel di Surabaya. Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi Sultan pertama dari
Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri sejarah
Kerajaan Hindu-Jawa Majapahit. Jeumpa yang dinyatakan Raffles sekarang berada di
sekitar daerah Kabupaten Bireuen Aceh.19
Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim
Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan yang benar
keberadaannya pada sekitar abad ke VIII Masehi yang berada di sekitar daerah
perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng
Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang
dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa
Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga
merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala
Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh
kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa
Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke ”Pintou Rayeuk” (pintu besar).20
Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai
tapak Maligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket
Teungku Keujereun, ditemukan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam
mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam
cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang
tangan. Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai
pemakaman Raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar
yang ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya.
Berdasarkan silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh
Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa
pada 154 Hijriah atau tahun 777 Masehi dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia
(India Belakang ?) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang
kawin dengan Puteri Mayang Seulodong dan memiliki beberapa anak, antara lain
Shahri Poli, Shahri Tanti, Shahri Nawi, Shahri Dito dan Puteri Makhdum Tansyuri
yang menjadi ibu dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak. Menurut penelitian pakar
sejarah Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, Shahri adalah gelar pertama yang digunakan
keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib,
Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina
Husein bin Ali, Puteri Shahri Banun, anak Maha Raja Parsia terakhir.
Mengenai keberadaan Shahri Nawi ini, disebutkan oleh Syekh Hamzah Fansuri.
Syekh ini adalah Ulama Sufi dan sastrawan terkenal Nusantara yang berpengaruh
19
Sir Thomas Stamford Raffles, The History of Java, from the earliest Traditions till the establisment of
Mahomedanism. Published by John Murray, Albemarle-Street. 1830. Vol II, 2nd Ed, Chap X, hal. 74. 122
20
Lihat : Modus, No.15/TH.V/23-29 Juli 2007 hal.31

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 31


dalam pembangunan Kerajaan Aceh Darussalam, yang juga merupakan guru
Syamsuddin al-Sumatrani yang dikenal sebagai Syekh Islam Kerajaan Aceh Darussalam
pada masa Iskandar Muda. A. Hasymi menyebutkan beliau juga adalah paman dari
Maulana Syiah Kuala (Syekh Abdul Rauf al-Fansuri al-Singkili). Syekh Fansuri dalam
beberapa kesempatan menyatakan asal muasalnya dan hubungannya dengan Shahri
Nawi. Diantaranya syair :
Hamzah ini asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Shahrnawi
Beroleh khilafat ilmu yang ’ali
Daripada ’Abd al-Qadir Jilani

Hamzah di negeri Melayu,


Tempatnya kapur di dalam kayu

Dari rangkaian syair ini, maka jelaslah bahwa ada hubungan antara bumi
Shahrnawi (Shahr Nawi) dengan Fansur yang menjadi asal muasal kelahiran Syekh
Hamzah Fansuri dan tempat yang terkenal kafur Barus. Sebagaimana disebutkan di
atas, Shahrnawi atau Syahr Nawi adalah anak daripada Pangeran Salman (Sasaniah
Salman) yang lahir di daerah Jeumpa, di Aceh Bireuen saat ini. Syahrnawi adalah salah
satu tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan Kerajaan Islam Perlak, bahkan
beliau dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Perlak pada tahun 805 yang
dipimpinnya langsung, dan diserahkan kepada anak saudaranya Maulana Abdul Aziz.
Kerajaan Islam Perlak selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Islam Pasai dan
mendapat kegemilangannya pada masa Kerajaan Aceh Darussalam.
Maka tidak mengherankan jika Syekh Hamzah Fansuri, mengatakan
kelahirannya di bumi Sharhnawi yang merupakan salah seorang generasi pertama
pengasas Kerajaan-Kerajaan Islam Aceh yang dimulai dari Kerajaan Islam Jeumpa.
Menurut beberapa data dan analisis yang akan dikemukakan nanti, bahwa hubungan
antara Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh berkaitan satu dengan lainnya. Pernyataan
Syekh Hamzah Fansuri ini juga menjadi hujjah yang menguatkan teori bahwa Jeumpa,
asal kelahiran Shahrnawi adalah Kerajaan Islam pertama di Nusantara.

c. Teori Hubungan Dagang Arab-Cina


Peter Bellwood dalam Reader in Archaeology Australia National University, telah
melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara. Bellwood
menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi,
beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan
Nusantara dengan Cina. Dia menulis “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa
bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang
perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti
Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London....”. Sifat
perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa
ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan
raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di
selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985).

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 32


Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai
sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.21
Perdagangan antara negara-negara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa
berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat, yang juga disebut
”jalur sutra” (silk road), dimulai dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus
ke Laut Tengah. Jalur perdagangan ini, yang menghubungkan Cina dan India dengan
Eropa, merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi.
Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Indonesia, melalui
Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah dan Eropa, ada yang melalui Teluk
Persia dan Suriah, dan ada juga yang melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga
perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak
abad pertama sesudah Masehi.22
Seringnya terjadi gangguan keamanan pada jalur perdagangan darat,
terutama di sekitar di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-
Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal
Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri
Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-
kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman
Sriwijaya, pedagang-pedagangnya telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan
pantai timur Afrika. Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, maka telah
menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra.
Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa
melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah
Aceh yang diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat
di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau
kota perdagangan.23
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa
—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G.R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang
yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang
dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra
Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab
dengan Nusantara saat itu. “Keadaan ini terjadi karena kepulauan Sumatra telah menjadi
tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima
Masehi,” 24

21
Lihat juga: Peter Bellwood, Man’s Conquest of the Pacific. The Prehistory of Southeast Asia
and Oceania, New York: Oxford University Press. 1979. Peter Bellwood, Prehistory of the Indo-
Malaysian Archipelago, Orlando, Florida: Academic Press. 1985.
22
D.H.Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm.
15.)
23
M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesia Archipelago. The
Hague: Martinus Nijhoff, 1962, hlm. 345 (catatan 122)
24
Tibbetts; Pre Islamic Arabia and South East Asia, JMBRAS, 19 pt. 3, 1956, hal. 207. Dr. Ismail
Hamid “Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam” .Jakarta: Pustaka Al-Husna cet. 1, 1989, hal. 11).

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 33


Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang
seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah
Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah
berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah
ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan
wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya. Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang
menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674
M telah menemukan sekelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir
Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah
mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air.
HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para
pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.25
Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan pernah
mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih, sebutan untuk orang Arab,
pada tahun tahun 651 Masehi atau 31 Hijirah. Empat tahun kemudian, dinasti yang
sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan
untuk Amirul Mukminin. Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan
bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti
kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa kepemimpinan
Khalifah Utsman bin Affan.
Para pengembara Arab ini tak hanya berlayar sampai di Cina saja, tapi juga terus
menjelajah sampai di Timur Jauh. Jauh sebelum penjelajah dari Eropa punya
kemampuan mengarungi dunia, terlebih dulu pelayar-pelayar dari Arab dan Timur
Tengah sudah mampu melayari rute dunia dengan intensitas yang cukup padat. Pada
masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada
Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7
sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.
Setelah abad ke-7 M, Islam sudah berkembang pesat, misalnya menurut laporan
sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali
(Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di
Nusantara (Kerajaan Islam Perlak). 26

d. Teori Barus-Fansur Aceh


Barus-Fansur adalah tempat yang dikaitkan dengan penghasil kayu kamper
sebagai penghasil kapur (kamfer atau al-kafur dalam bahasa Arab) terdapat dalam
banyak sumber asli Arab, Persia, dan China dalam berbagai buku perjalanan, botani,
kedokteran, dan pengobatan. Kapur, yang dalam bahasa Latin disebut camphora,
merupakan bagian dalam (inti) kayu kamfer yang padat berisi minyak yang harum.
Masyarakat pra-Islam telah mengenal kafur yang masyhur itu, hal ini dibuktikan
dengan penemuan penggunaan kata kafur yang disebut berkali-kali dalam syair-syair
Arab sebelum lahirnya Nabi Muhammad SAW.27

25
Prof. Dr. HAMKA, Dari Perbendaharaan Lama; Jakrta: Pustaka Panjimas; cet.III; 1996; Hal. 4-5.
26
F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Cen-
turies, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159.
27
Lihat: artikel "Kafur", A. Dietrich, Ensiklopedia Islam (E.I) 2 hal: 435-436.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 34


Dalam karya dua orang sejarawan, Ibn al-Atir (wafat tahun 1233 M), dan Ibn al-
Baladuri (wafat tahun 1473) tercatat bahwa pada tahun 16 H/637 M, sewaktu perebutan
ibu kota Dinasti Sassanid, yaitu Ctesiphon, orang-orang Arab menemukan
kamper/kafur yang dikira garam di antara rempah-rempah dan wangi-wangian.28
Ibn Gulgul, abad ke-10 M, seorang ahli biobibliografi dan ilmu kedokteran dari
Andalusia, mencata kafur atau kamfer dalam 63 bahan obat-obatan baru yang belum
dikenal sebelumnya sebagai obat, kecuali hanya pewangian dan alat-alat ritual semata
di agama-agama paganisme. Ibn Sarabiyun pada abad ke-10 juga mulai
memperkenalkan zat yang sangat ampuh ini. Ibn al-Baytar yang mengutip Ishaq ibn
Imran yang hidup awal abad ke-9 M juga melakukan hal yang sama. Ketiganya melalui
serangkaian eksperimen yang dilakukan berhasil menjelaskan berbagai fungsi dan
kegunaan kafur dengan berbagai campuran untuk khasiat yang berbeda-beda.
Fungsinya dalam berbagai bentuk olahan diantaranya adalah, sebagai balsem,
penghobatan kandung empedu, radang hati, demam tinggi, berbagai penyakit mata,
sakit kepala akibat liver, memperkuat organ dan indra, mengontrol syaraf, pembiusan
alami, pendarahan, menguatkan gigi, dan lain-lain.
Al-Kindi, salah seorang intelektual Arab, menyebutkan kapur barus sebagai
salah satu unsur penting untuk membuat wangi-wangian. Sekitar abad ke-8, kapur
barus merupakan salah satu dari lima rempah dasar dalam ilmu kedokteran Arab dan
Persia. Empat unsur yang lain adalah kesturi, ambar abu-abu, kayu gaharu, dan safran.
Pada zaman Abbasiyah, hanya orang kaya dan para pemimpin saja yang menggunakan
pewangi dari air kapur barus untuk cuci tangan selepas perjamuan makan.
Ibnu Sina atau yang dalam literatur Eropa dikenal sebagai Aveceena, dalam
bukunya yang terkenal tentang ensiklopedia pengobatan dan obat-obatan, al-Qanun Fi
al-Tib, mencatat manfaat kamfer sebagai obat penenang dan mendinginkan suhu badan
yang tinggi. Kamfer juga dipakai sebelum dan sesudah pembedahan, sebagai obat liver,
obat diare, sakit kepala, mimisan, dan sariawan. Aviceena menulis: "Jika kafur dipakai
sedikit, maka obat ini dapat membantu menenangkan, karena bahan ini dingin. Kadang
kala obat ini menurunkan suhu badan yang tinggi akibat badan kurang sehat karena
lemah. Efek yang menguatkan dan menenangkan ini disertai efek harumnya. Efek
pendinginannya dikurangi dengan kasturi dan ambar, dan kekeringannya dikurangi
dengan minyak wangi dan pelunaknya, misalnya minyak cengkeh dan minyak bunga
berwarna ungu lembayung. Kafur merupakan penangkal racun, khususnya racun
panas. Berkat kafur pikiran menjadi lebih tajam dan terang; oleh karena itu kafur
menguatkan dan menyenangkan. Efeknya serupa ambar kuning, tetapi lebih kuat dan
lebih bermanfaat."29
Selain bangsa Arab, bangsa Persia juga berdatangan untuk meneliti kegunaan
kafur dari Fansur ini. Buku tertua mengenai ilmu kedokteran yang ditulis dalam bahasa
Persia adalah buku Muwaffak al-Din Abu Mansur Ali al-Harawi (abad ke-10 M), yang
berjudul Kitab al-Abniya 'an haqa'iq al-Adwiya [Buku mengenai dasar dan kebenaran
obat-obatan asli]. Dalam bukunya yang berjudul Hidayat al-muta'alimin fi al-tibb

28
W. Heyd, Histoire du commerce du Levant [Sejarah Pergadangan di Kawasan Syria-Libanon], edisi
Prancis yang disusun kembali oleh Furcy Raynand, Amsterdam: Adolf M, Hakkert, 1967, tambahan I,
hal 590).
29
Ibn Baytar, Traite des Simples par Ibn el-Beithar. Terj. Dr. L. Leclerc, 3 jil. –Paris: 1881-1887.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 35


(Panduan untuk mahasiswa ilmu kedokteran), al-Bukhori (abad ke-10) seorang
mahasiswa Harawi dan dokter terkenal al-Razi (abad ke-9 dan 10 M) berhasil
mengembangkan kafur dalam berbagai bentuk resep, sebanyak 31 resep. Salah satunya
adalah dalam penanggulanagn penularan penyakit pes.
Orang-orang Yunani telah terlibat secara intens dalam pengembangan ilmu
kedokteran. Salah satu buku yang berhasil ditemukan seperti catatan Actius dari Amide
dari abad ke-6 dan ke-7 M, menyebutkan kafur dalam karyanya Libri Medicinales.
Salah satu surat pertama dari riga surat karya al-Kind yang berjudul al-rasail al-
hikmiyya fi asrul al-ruhaniyya [Risalah-risalah Hukum tentang Rahasia-Rahasia Batin],
dikatakan bahwa kafur milik Devi Venus dan digunakan dalam pengasapan yang
dipersembahkan kepadanya. "Allah Yang Maha Kuasa telah menciptakan Venus dari
cahaya dan kecerahan; Venus memberi kebaikan dalam semua posisinya … di
antaranya batu maha yang dimilikinya; dalam badan manusia, perut dan usus yang
dimilikinya; dalam abjad tiga huruf yang dimilikinya ('ain, ha dan kaf); di antara bahan
murni untuk pengasapan yang dimilikinya terdapat: ambar abu-abu, qust, tanaman
fagara, kafur, bunga mawar kering, laudanum."30
Dijelaskan di Alf Layla wa layla (Seribu Satu Malam) oleh Sindbad, sang
petualang yang terkenal: "Sesudah bangun keesokan harinya, kami pergi melewati
gunung-gunung tinggi ke Pulau Riha yang kaya dengan pohon kafur. Setiap pohon
dapat membayangi lebih dari 100 orang. Puncak pohonnya ditoreh dan air yang
mengalir darinya dapat mengisi beberapa wadah. Kafur mulai menetes dan tetesannya
mirip lem. Sesuadah itu kafur tidak meleleh lagi dan pohonnya menjadi kering." Riha
adalah berarti kafur yang bermutu tinggi yang berarti al-Kafur al-Fansuri. Jadi Pulau
Riha yang dimaksud adalah daerah Fansur.
Kapur barus juga dipakai untuk memandikan jenazah sebelum dikuburkan.
Variasi penggunaan kapur barus ini menyebabkan nilai jualnya sangat tinggi. Manfaat
kapur barus ini kemudian menyebar ke Yunani dan Armenia karena pada periode
tersebut ilmu kedokteran dari Arab dan Persia menjadi acuan dunia.
Di akhir abad ke-4 M, istilah "P'o-lu" yang berarti Barus mulai dikenal oleh
Bangsa Cina. Istilah ini diketahui sebagai rujukan kepada seluruh wilayah utara
Sumatera. Barulah pada akhir abad ke-9, seorang ahli geografi Arab, Ibn Khurdadhbih
menyebutkan nama Ram(n)i: "Di belakang Serendib terletak daerah Ram(n)I, dimana hewan
badak dapat ditemukan… Pulau ini menghasilkan pohon bambu dan kayu Brazil, akar-akar yang
dapat digunakan sebagai obat anti racun-racun mematikan…Di negeri ini juga tumbuh pohon-
pohon kapur yang tinggi,"31
Kira-kira pada abad yang sama, sebuah buku Akhbar al-Sin wa al-Hind juga
menyebutkan nama Ramni: "Ramni (yang) terdapat didalamnya gajag-gajah dalam jumlah
yang banyak berserta kayu Brazil dan bambu. Pulau itu dikelilingi oleh dua lautan..Harkand dan
dan Salahit" . Nama Ramni atau Ram(n)I, kemungkinan besar, dengan melihat peta dan
posisi Sri Lanka atau Serendib, adalah Sumatera bagian utara dan lebih tepatnya lagi
timur laut Aceh. (The sea of Harkand was the Bay of Bengal. Salaht (or Salahit) is

30
G. Celentano, L.V. Vaglieri, "Trois Epitres d'al-Kindi: textes et traduction avec XIX plaches facsimile
des trois epitres", dalam Annali dell Istituto universitario Orientale di Nipoli, jil 34, buku 3 (1974) hal
523-562.
31
Tibbetts, Arabic Texts, hal. 27-28.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 36


believed to be derived from the Malay word selat or Straits, i.e., what is now known as
the Selat Melaka).32
Abu Zaid Hasan pada tahun 916 M, saat dia menjelaskan penguasa Maharaja
Zabaj (Sriwijaya) menyebut juga Ranmi: "nama pulau tersebut adalah Rami (Ramni) yang
luasnya delapan ratus parasangs (From the Persian farsakh, it was approximately 3 Y2
miles in extent) di daerah tersebut. Di sana dapat ditemukan kayu Brazil, kapur dan
tumbuhan lainnya."33
Pada tahun 943, Masudi mencatat: “Kira-kira seribu parasangs (dari Serendib)
masih terdapat sebuah pulau yang bernama Ramin (yakni Ramni) yang dihuni dan
diperintah oleh raja-raja. Daerah tersebut penuh dengan tambang emas, dan dekat
dengan tanah Fansur, yang menjadi asal kapur fansur, yang hanya dapat ditemukan di
Fansur dengan jumlah yang besar dalam tahun-tahun yang penuh dengan topan dan
gempa bumi.34
'Ajaib al-Hind', yang ditulis tahun 1000 M, menjelaskan banyak referensi
mengenai Lambri. Muhammad ibn Babishad melaporkan: ”Di Pulau Lamuri terdapat
zarafa yang tingginya tidak terkira. Dikatakan bahwa pelaut-pelaut yang terdampar di
Fansur, terpaksa harus pindah ke Lamuri. Mereka mengungsi di waktu malam karena
takut dengan zarafa; karena mereka tidak muncul di siang hari… Di pulau ini juga
terdapat semut-semut raksasa dalam jumlah besar, terutama di kawasan Lamuri ”....
"Lububilank, yang merupakan sebuah teluk, (Tibbetts identifies this with Lho' Belang
Raya (Telok Balang), 5°32f N, 95°17' E. Ibid., p. 141) terdapat orang-orang yang
memakan manusia. Orang-orang kanibal ini mempunyai ekor, dan menghuni tanah
antara Fansur dan Lamuri." 35
Lambri dalam karya para ahli geografi Arab tidak dijelaskan lebih lanjut. Ramni
juga disebutkan oleh Biruni pada tahun 1030. Nama tersebut juga ditulis dalam teks
Dimashqi di tahun 1325 dalam buku Cowan,"Lamuri," hal. 421.
Satu-satunya sumber India menyebutkan Lambri dalam transkrip Tanjore dari
Bangsa Tamil dalam pemerintahan Rajendra Cola, dimana nama "Ilamuridesam yang
sangat murka terlibat dalam perang" disebutkan bersama toponim lain sebagai daerah
target-target penggempuran mereka pada tahun 1025.36
Ahli geografi Cina Chou Ch'u-fei menulis, pada tahun 1178, nama Lan-li dimana
kapal-kapal dari Canton atau Guangdong sering merapat sambil menunggu bulan
purnama untuk memudahkan mereka berlayar menuju Lautan India tepatnya Sri Lanka
dan India.37
Hampir lima puluh tahun kemudian, Chau Ju-kua menyebut Lan-wu-li, dan
melaporkan bahwa; "Hasil-hasil produksi kerajaan Lan-wu-li adalah kayu sapan
(Brazilwood (Caesalpinia sappan, Linn.), gading gajah dan rotan putih. Penduduknya

32
Wolters, Early Indonesian Commerce, hal. 178)
33
Tibbetts, Arabic Texts, hal. 30
34
Ibid, hal. 37-38
35
Ibid, hal. 44-45
36
K. A. Nilakanta Sastri, History of Srivijaya (Madras: University of Madras, 1949), hal. 80, 81.
37
Almut Netolitzky, Das Ling-wai Tai-ta von Chou-chu-fei,( Weisbaden: Heiner Verlag, 1977), hal. 40-41)

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 37


menyukai perang dan sering menggunakan panah beracun. Dengan angin utara, pelaut
dapat berlayar selama dua puluh hari ke Silan…."38
Dia selanjutnya mendukung informasi yang diberikan oleh Chou Ch'u-fei:
”Ta-shi terletak di Timur Laut dari Ts'uan-chou dengan jarak yang sangat jauh, jadi
kapal-kapal asing kesulitan untuk melakukan pelayaran langsung. Setelah kapal-kapal
tersebut meninggalkan Ts'uan-chou mereka akan berlayar terlebih dahulu selama empat
puluh hari ke Lan'li, dimana mereka akan menyempatkan diri untuk berdagang. Tahun
berikutnya akan kembali ke laut, dengan dukungan angin mereka akan menghabiskan
enam puluh hari untuk melanjutkan perjalanan.39
Marco Polo, sekembalinya dari Cina ke Eropa tahun 1292, menyebutkan, selain
Perlak yang sudah memeluk Islam, nama Lambri bersama lima kerajaan kafir lainnya.
Dia menulis bahwa; "Penduduknya penyembah berhala, dan menyebut dirinya hamba
Kaan yang agung. Mereka memiliki kapur dalam jumlah yang besar dan sejumlah spesis
lainnya. Mereka juga memiliki kayu brazil dalam jumlah yang besar…" Di tahun 1284
dan juga tahun 1286, Lambri dilaporkan mengirimkan upeti kepada Dinasti Yuan di
China.40
Seorang musafir Persia, Rashiduddin, pada tahun 1310 menulis bahwa para
saudagar dari berbagai negara sering datang ke Lamori, dan pada tahun 1323, Friar
Odoric dari Pordenone menjelaskan bahwa Lambri merupakan pusat perdagangan di
mana para saudagar dari negara-negara yang sangat jauh, dan kapur, emas dan pohon
gaharu juga tersedia. Di sini dia kehilangan pandangan terhadap bintang utara.41
Wang Ta-yuan pada tahun 1349, menulis tentang Nan-wu-li, yang katanya:
”Tempat ini merupakan pusat perdagangan yang sangat penting di Nan-wu-li.
Pegunungan raksasa bak gelombang terdapat dibelakangnya, terletak di pinggiran laut
Jih-yueh wang yang sangat diragukan di sana ada tanah. Penduduk setempat hidup di
sepanjang bukit, setiap keluarga tinggal di rumah masing-masing. Masing-masing lelaki
dan wanita menggulung rambut mereka dalam sanggul di atas namun membiarkan
bagian atas tubuh mereka terbuka, dan bagian bawah dibungkus sarung. Buminya
sangat tandus, panennya sangat jarang, dan iklimnya sangat panas. Sebagai kebiasaan,
mereka tunduk kepada bajak laut seperti orang-orang di Niu-tan-his (Tumasek).
Komoditas lokal adalah sarang burug, cangkang kura-kura, cangkang penyu dan kayu
laka, yang sangat bermutu dalam hal aroma. Komoditas yang biasanya diperdagangkan
di sini adalah emas, perak, aksesoris besi, bunga mawar, muslin merah, kapur, porcelin
dengan desain biru dan putih dan lain-lain.”42
Pada tahun 1365, Kronik Jawa, Negarakrtagama, menggambarkan Lamuri
sebagai negara yang tergantung kepada Majapahit.43

38
Friedrich Hirth and W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the
Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chi (St. Petersburg: Imperial Academy of Sciences,
1911), hal. 72).
39
Ibid, hal.114
40
Henry Yule and Henri Cordier, The Book of Ser Marco Polo, 2 vols. (Reprint, Amsterdam: Philo Press,
1975), 2:299)
41
Ibid, hal. 300
42
ibid
43
Th. C. Th. Pigeaud, Jam in the Fourteenth Century, 5 vols. (The Hague: Nyhoff, I960), 1:11

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 38


Ma Huan yang menulis pada awal tahun 15 M, menyebutkan Nan-po-li, yang
dikunjungi oleh kapal induk dinasti Ming, dengan nakhoda Cheng Ho: ”Kerajaan ini
terletak di samping laut, dan penduduknya terdiri dari hanya seribu keluarga.
Semuanya Muslim, dan mereka sangat jujur dan tulus. Di bagian timur teritori itu,
terletak sebuah negeri bersama Li-tai, dan di bagian barat dan utara terletak lautan luas;
jika anda pergi ke selatan, terdapat pegunungan; dan di bagian selatan pegunungan
tersebut terletak lagi lautan. Ma Huan juga menyebutkan nama Pulau Wei, sebuah
pulau sekitar sembilan mil lauty di lepas pantai Timur Laut Aceh yang juga terdapat
pelabuhan alami yang bagus, sekarang terdapat pelabuhan Sabang. Pulau Wei sering
disebutkan dalam sumber-sumber sejarah dan dalam terjemahan bahasa Cina bernama
"pulau Hat". Ch'ieh-nan-mao, sebuah daerah penghasil kayu gaharu.44
Ma Huan menggambarkan Pulau Wei: ”Terletak di arah laut Timur Laut Lambri,
dimana terdapat pegunungan raksasa yang sangat curam, yang dapat dicapai dengan
setengah hari perjalanan; namanya pegunungan Mao. Di bagian barat pegunungan ini,
juga, terdapat lautan luas; ini namanya Samudra Barat yang disebut Samudra Nan-mo-
li, kapal-kapal yang datang dari Samudra dari arah barat berlabuh di sini, dan mereka
melihat pegunungan ini sebagai petunjuk arah. Di laut yang dangkal, sekitar dua cang
dalamnya, di pinggir pegunungan, tumbuh pohon-pohon laut; penduduk di sana
mengumpulkannya dan menjualnya sebagai komoditas yang berharga. Ini namanya
karang. Kerajaan ini tunduk kepada jurisdiksi kerajaan Nan-po-li.45
Awal abad ke-16 M, Tome Pires memberikan gambaran yang lebih tepat
mengenai lokasi Lambri. Dia mengatakan bahwa; "Aceh merupakan negara pertama di
bagian pulau Sumatera, dan Lambri benar-benar di bagian kanannya, yang terletak
menjorok ke darat dan tanah Biar (45) terletak antara Aceh dan Pidie, dan sekarang
negeri-negeri ini tunduk kepada Aceh dan memerintah di kedua wilayah tersebut
dan dialah raja satu-satunya di sana. Raja ini adalah Moo…".46
Istilah Lambri dan beberapa versi lainnya biasanya ditujukan kepada seluruh
pantai utara Aceh, nampaknya hal tersebut di atas menunjukkan pada titik tertentu
yang menjadi informasi kepada pelayaran yang aman dari ombak Teluk Bengal, sebuah
sumber air segar. Buku Hikayat Atjeh juga memberikan petunjuk. Pada halaman 17 dari
manuskrip tersebut, diterbitkan oleh Teuku Iskandar, terdapat sebuah petunjuk
mengenai Lambri, "teluk Lambri".47
Chau Ju-kua tidak menyebutkan kapur diperdagangkan di Lambri, tapi diduga
bahwa Ujung Pancu dan Kuala Pancu di Lhok Lambro dekat banda Aceh kemungkinan
besar sangat berhubungan dengan Fansur. Kapal-kapal yang harus memutar di Ujung
Pancu, harus melalui Lambri ke Barus. Nama Lambri dan Barus, makanya, sering
dibingungkan dalam pelayaran kuno karena eratnya kedua kota ini. Sementara Chia
Tan yang menulis buku pada era awal abad ke-8, menyebutkan pelabuhan P'o-lu,
merupakan daerah yang kaya dengan emas, mercury dan kapur. Pelabuhan tersebut
merupakan titip kepergian bagi kapal-kapal yang datang dari Sriwijaya barat melalui Samudera
India ke Sri Langka.

44
Mills, Ma Huan, hal 122-123.
45
Ibid, hal. 123-124
46
ibid
47
T. Iskandar, Hikayat Atjeh, op.cit. hal. 17

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 39


f. Teori Kaafuro Dalam al-Qur’an
Hubungan erat Aceh-Melayu dengan dunia Arab juga dapat ditelusuri dari
beberapa kata di dalam al-Qur’an. Sebagaimana diketahui al-Qur’an adalah kumpulan
wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan
malaikat Jibril as sejak pertama diangkat menjadi Nabi di Gua Hira’ sampai beliau wafat
di Madinah pada tahun 10 Hijriah. Sampai saat ini tidak ada satupun manusia yang
dapat menyanggah bahwa al-Qur’an dengan segala kemukjizatannya bukan berasal dari
Allah Sang Pencipta. Karena mana mungkin seorang yang buta huruf seperti Nabi
Muhammad dapat membuat sebuah kitab agung yang memiliki gaya bahasa Arab
tertinggi dan tidak mampu dijangkau oleh seorang pujangga teragung sekalipun.
Karena al-Qur’an bukan hanya kitab sastra, tapi kitab hukum, undang-undang,
pengetahuan, politik dan seterusnya yang disampaikan dengan untaian indah. Terlalu
banyak makhluk yang tertegun dengan keindahan al-Qur’an. Telah disepakati para
Ulama, bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, sebagaimana dinyatakan al-
Qur’an sendiri. Namun bahasa Arab al-Qur’an adalah bahasa Arab tertinggi yang telah
melahirkan gramatika bahasa Arab kontemporer. Para ulama juga berpendapat ada
beberapa kata al-Qur’an yang bukan berasal dari bahasa Arab asli, namun bahasa non
Arab yang sudah banyak digunakan dan dimengerti oleh masyarakat Arab.48
Salah satu bahasa Aceh-Melayu yang sudah tersebar di dunia Arab, termasuk
Mesir sejak zaman kekuasaan Ramses (Fir’aun) adalah kafur. Sebagaimana dijelaskan
terdahulu dalam teori kafur Barus, bahwa kafur min barus adalah sebuah komuditas
mewah wangi-wangian yang berasal dari inti kayu kamfer yang dalam bahasa latin
dikenal dengan champora. Tidak diragukan bahwa penghasil terbesar kapur zaman itu
adalah wilayah yang terletak di ujung barat pulau Sumatera, yang sekarang berada di
wilayah Aceh. Bahkan dalam teori terdahulu telah disebutkan banyak dalil tentang
Barus-Fansur awal, yang berada di sekitar Lamuri-Aceh.
Pada al-Qur’an surat al-Insan (76) ayat ke 5 menyebutkan: Sesungguhnya orang-
orang yang berbuat kebajikan akan meminum dari gelas, minuman yang dicampur kafur.
Kebanyakan mufassirin dalam tafsirnya masing-masing seperti Ibn. Abbas, Jalalain, al-
Qurthubi, Ibn Katsir dan lain-lainnya, mengartikan kafur sebagai campuran dari
minuman yang merehatkan, nikmat, yang dapat membuat tenang dan biasanya
dijadikan obat. Walaupun ada yang menyebutkan sebagai nama mata air di syurga.
Pendapat pertama lebih banyak dirujuk mengingat penggunaan kafur yang sudah
umum sebagai bahan obat-obatan, wangi-wangian dan bahan perisa di dunia Arab pra-
Islam seperti di Alexenderia Mesir dan lainnya. Namun hampir semuanya sepakat
bahwa kata ini bukan asli bahasa Arab, sebagaimana disebutkan Ibn Manzhur dalam
Lisan al-Arab karena tidak ditemukan dalam bahasa Arab Jahiliyah atau bahasa Arab
purba. Maka dengan demikian, tidak diragukan bahwa kata kafur yang dimaksudkan
al-Qur’an adalah kapur dari Barus sebagai lambang kemewahan pada zaman itu .

48
Lebih terinci lihat misalnya : Dr. Subhi Shaleh, Mabahits fi ‘ulum al-Qur’an, Beirut : Dar Ilm li al-Ma-
liyin, tt. Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi ‘ulum al-Qur’an, Damsyik : Maktabah al-Ghaza-
ly, Thabaah Tsalist, 1981. Dr. M. Ali al-Hasan, al-Manar fi ‘ulum al-Qur’an, Amman : Matbaah al-Syuruq,
1983. Dr. Shabir Thayyimah, Hazha al-Qur’an, Bairut : Dar al-Jiil, 1989. Syaikh Muhammad Rasyid Rid-
ho, al-wahy al-Muhammady, Bairut : Dar al-Fiqr, 1968.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 40


Kata "kafur", menurut Karel Steenbrink, secara pasti bukan istilah Arab. Akar
kata "kafara" bisa berarti menghindari atau tidak berterima kasih. Sedangkan kata
"kafur", yang berarti kapur barus atau kamper, berasal dari bahasa Melayu. Steenbrink
menyimpulkan bahwa kata "kafur" bukan hanya penghubung secara etimologis antara
al-Qur'an dan Nusantara, tetapi juga komoditi yang sejak abad ke-7 telah dibawa oleh
pedagang Muslim dari Nusantara.49
Dengan terdapatnya kata kafur di dalam al-Qur’an, maka dapat diartikan bahwa
daerah penghasil kafur yang paling populer di seluruh dunia, seperti Barus, Fansur,
Lamri dan sekitarnya di wilayah Aceh, tentu telah berhubungan erat dengan
masyarakat tempat al-Qur’an diturunkan, yaitu masyarakat Arab. Saking populernya
kafur dalam masyarakat Arab sebagai sebuah simbol kenikmatan, sehingga dimasukkan
sebagai kata dalam al-Qur’an. Jika kita boleh mengambil hikmah dimasukkannya kata
kafur ke dalam al-Qur’an, Sang Sumber al-Qur’an mudah-mudahan bermaksud untuk
memberi perhatian dan kehormatan pada asal benda ini, Aceh, sebagai kawasan yang
memiliki peranan penting dalam penyebaran agama-Nya. Dan memang sejarah telah
membuktikan bahwa Aceh telah menjadi tapak persemaian penting Islam di Nusantara
yang telah melahirkan Kerajaan-Kerajaan Islam yang sangat berpengaruh dalam proses
Islamisasi dan menggusur peran Hindu-Budha. Hanya Allah Yang Maha Tahu..........

f. Teori Korespondensi Khalifah Abdul Aziz-Raja Sri Indravarman


Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid sebagaimana dikutip
Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII menyebutkan ada proses korespondensi yang berlangsung antara
raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah Umar bin Abdul Azis yang
terkenal adil tersebut.
“Dari Raja di Raja [Malik al Amlak] yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga cucu
seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya
terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur
barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab yang
tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda
hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda
persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan
Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya,”

Diperkirakan hubungan diplomatik antara kedua pemimpin wilayah ini


berlangsung pada tahun 100 Hijriah atau 718 Masehi. Tak dapat diketahui apakah
selanjutnya Sri Indravarman memeluk Islam atau tidak. Tapi hubungan antara Sriwijaya
dan pemerintahan Islam di Arab menjadi penanda babak baru Islam di Nusantara. Jika
awalnya Islam masuk memainkan peranan hubungan ekonomi dan dagang, maka kini
telah berkembang menjadi hubungan politik keagamaan. Dan pada kurun waktu ini
pula Islam mengawali kiprahnya memasuki kehidupan raja-raja dan kekuasaan di
wilayah-wilayah Nusantara.50

49
Karel Steenbrink, Pondok Pesantren, Jakarta: LP3ES,
50
Azyumardi Azra, op.cit.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 41


g. Teori Kerajaan Islam Perlak
Perlak pada tahun 805 Masehi adalah bandar pelabuhan yang dikuasai
pedagang keturunan Parsi yang dipimpin seorang keturunan Raja Islam Jeumpa
Pangeran Salman al-Parsi dengan Putri Manyang Seuludong bernama Meurah Shahr
Nuwi. Sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan aman menjadi tempat
persinggahan kapal dagang Muslim Arab dan Persia. Akibatnya masyarakat
Muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali
lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar Muslim dengan wanita-
wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab dan
Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya kerajaan
Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama
kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis
Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan
Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah.51
Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh mengaitkan kedatangan mereka dengan
Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi ini di pimpin
Abdullah bin Mu'awiyah yang masih keturunan Ja'far bin Abi Thalib. Bin Mu'awiyah
telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di
Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis,
Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian dihancurkan pasukan
Muruan di bawah pimpinan Amir bin Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran Maru
Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli
sejarah berpendapat, mereka terpencar di semenanjung Malaysia, Cina, Vietnam, dan
Sumatera, termasuk ke Perlak.
Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat sebuah naskah tua
berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni al-
Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam naskah itu diceritakan tentang
pergolakan sosial-politik di lingkungan Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap
menindas pengikut Syi'ah. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-
Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja'far
Shadiq bin Muhammad Baqr bin Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib,
memberontak terhadap Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan
memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di Makkah.
Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad bin Ja'far Shadiq
dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan.
Makmun menganjurkan pengikut Syi'ah itu meninggalkan negeri Arab untuk
meluaskan dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran itu
pun lantas dipenuhi. Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan
Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh Syi'ah Arab, Persia, dan Hindi ---termasuk
Muhammad bin Ja'far Shadiq--- segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak
pada waktu Syahir Nuwi menjadi Meurah (Raja) Negeri Perlak. Syahir Nuwi

51
Wan Huseein Azmi, Islam di Aceh, Kuala Lumpur: UKM. hal.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 42


kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin Ja'far Shadiq dengan adik kandungnya,
Makhdum Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul
Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H dilantik menjadi Raja dari kerajaan Islam Perlak
dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah.
Dari beberapa teori di atas, dapatlah disimpulkan bahwa proses Islamisasi ke
Aceh sudah terjadi sejak awal perkembangannya, ketika Nabi Muhammad saw masih
hidup yang dilakukan oleh para saudagar Arab yang memang sudah hilir mudik
berdagang dari Mesir, Aden, Muscat, Parsia, Gujarat ke Cina melalui Barus-Fansur yang
dipastikan terletak di ujung barat pulau Sumatera. Para saudagar Arab pra-Islam
diketahui sudah memiliki perkampungan di sekitar pesisir pulau Sumatera, terbentang
dari Barus-Fansur, Jeumpa, Perlak sampai di Palembang pada zaman Kerajaan Hindu
Sriwijaya.
Islamisasi Aceh mengalami puncaknya pada zaman Khalifah al-Rasyidin,
terutama di zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab yang gencar mengirimkan
para duta yang merangkap sebagai pendakwah Islam sampai ke negeri Cina, pada
sekitar awal abad ke VII Masehi. Cina menjadi tujuan dakwah para Khalifah berkaitan
dengan sebuah hadits Nabi yang populer: tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina.
Karena Cina pada zaman itu telah mencapai keemasaanya, sebagaimana Rumawi,
Yunani ataupun Mesir dan Parsia sebagai pusat-pusat perdagangan, peradaban dan
kemakmuran dunia yang jejaknya masih terekam jelas pada peta jalur sutera (silk road).
Jalur ini kemudian dipindahkan ke jalur laut karena berkembang pesatnya teknologi
kelautan dengan kapal-kapalnya yang mampu berlayar lama.
Para pembawa Islam datang langsung dari Semenanjung Arabia yang
merupakan utusan resmi Khalifah atau para pedangan profesional Islam yang memang
telah memiliki hubungan perdagangan dengan Aceh, sebagai daerah persinggahan
dalam perjalanan menuju Cina. Hubungan yang sudah terbina sejak lama, yang
melahirkan asimiliasi keturunan Arab-Aceh di sekitar pesisir ujung pulau Sumatra,
telah memudahkan penyiaran Islam dengan bahasa asal mereka, yaitu bahasa Arab
yang dengan al-Qur’an diturunkan. Pengaruh bahasa Aceh-Melayu dalam al-Qur’an
dapat dijumpai pada kata kafuro, yang tidak pernah ada dalam bahasa Arab pra-Islam.
Hubungan baik antara masyarakat Aceh dengan pendatang dari Arab telah
mendorong tumbuhnya perkampungan yang membesar menjadi Kerajaan-Kerajaan
Islam sebagai pengganti Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha. Kerajaan Islam pertama di
Aceh, yang juga merupakan Kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan
Islam Jeumpa yang didirikan oleh salah satu keturunan Nabi Muhammad yang
melarikan diri dari Persia bernama Sasaniah Salman al-Parsi pada tahun 154 Hijriah
atau sekitar tahun 777 Masehi. Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat Islamisasi di
Nusantara, khususnya Aceh. Salah seorang Pangeran Jeumpa, Shahrnawi, yang
namanya disebut oleh Syekh Hamzah Fansuri, menjadi pelopor pedirian Kerajaan Islam
Perlak pada tahun 805 Masehi, dan mengangkat anak saudaranya, Maulana Abdul Aziz
cicit dari Imam Ja’far Sidiq sebagai Sultan pertama Kerajaan Perlak pada tahun 840 M.
Maka jelaslah kebohongan Teori Gujarat yang dipopulerkan Snouck bersama
antek-anteknya. Karena ternyata Islam berkembang sejak awal abad ke VII Masehi, lebih
awal 600 tahun dari yang dikemukakan Teori Gujarat Snouck. Selanjutnya diharapkan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 43


para cendekiawan Muslim dapat mengadakan penelitian yang lebih mendalam lagi
tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara, terutama Aceh sebagai serambi Mekkah.

Kerajaan Jeumpa, Kerajaan Islam Pertama Di Nusantara


Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa sebelum Nabi Muhammad saw
membawa Islam, Dunia Arab dengan Dunia Melayu sudah menjalin hubungan dagang
yang erat sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut yang telah
menumbuhkan perkampungan-perkampungan Arab, Parsia, Hindia dan lainnya di
sepanjang pesisir pulau Sumatera. Karena letak gegrafisnya yang sangat strategis di
ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh sebagai kota pelabuhan transit
yang berkembang pesat, terutama untuk mempersiapkan logistik dalam pelayaran yang
akan menempuh samudra luas perjalanan dari Cina menuju Persia ataupun Arab.
Hadirnya pelabuhan transito sekaligus kota perdagangan seperti Barus, Fansur, Lamri,
Jeumpa dan lainnya dengan komuditas unggulan seperti kafur, yang memiliki banyak
manfaat dan kegunaan telah melambungkan wilayah asalnya dalam jejaran kota
pertumbuhan peradaban dunia. ”Kafur Barus”, ”Kafur Fansur”, ”Kafur Barus min Fansur”
yang telah menjadi idiom kemewahan para Raja dan bangsawan di Yunani, Romawi,
Mesir, Persia dan lainnya. Kedudukan Barus-Fansur lebih kurang seperti kedudukan
Paris saat ini yang terkenal dengan inovasi minyak wangi mewahnya.
Hadirnya komuditas unggulan ini telah melahirkan berbagai teknologi
pengolahan dalam penangannya. Karena sangat dibutuhkan sebagai bahan obat-obatan,
wangi-wangian ataupun sebagai barang sakral dalam ritual keagamaan pagan,
menjadikan asal kafur dan wilayah sekitarnya berkembang pesat. Tentu dari para
petani, pedagang sampai para pengolah, peneliti, tabib sampai tukang sihir terlibat
dalam proses pembuatan kafur yang bermutu. Tentu hal ini mengakibatkan hadirnya
para pakar ke kota penghasil kafur dan membuat komunitas baru sesuai dengan peran
masing-masing. Itulah sebabnya wajah orang Aceh berbeda dengan wajah orang Jawa,
Makassar ataupun Melayu. Wajah mereka lebih kosmopolit yang merupakan
perpaduan dari keturunan Arab, Cina, India, Parsi dan tentunya Eropa. Dan perpaduan
ini telah berjalan berabad-abad sebelum kedatangan Islam di wilayah ini.
Sehubungan dengan penyebaran Islam, tentu perkampungan para keturunan
Arab lebih dominan, relatif lebih mudah dalam menerima kedatangan Islam, dengan
beberapa alasan (i) sumber utama al-Qur’an dan pengajarannya menggunakan bahasa
Arab, yang tentu lebih mudah difahami oleh mereka yang sudah terbiasa dengan
bahasa Arab seperti keturunan Arab yang sudah menyebar di sepanjang Barus-Fansur-
Lamuri, (ii) hukum, budaya, pola hidup ataupun tradisi yang dibawa Islam lebih dekat
dengan kebiasaan orang Arab yang memang sudah dilaksanakan sejak zaman Nabi
Ibrahim as dan Nabi Ismail as yang merupakan bapak kaum Arab, sehingga keturunan
Arab pra-Islam ini mudah langsung mengikutinya karena sudah menjadi kebiasaan
hidupnya, (iii) semangat kekeluargaan dan kesukuan sangat tinggi di kalangan bangsa
Arab, termasuk Arab pra-Islam yang sangat menghormati dan menghargai sesamanya,
itulah sebabnya banyak orang Arab yang membela Rasul walaupun tidak masuk Islam,

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 44


inilah yang terjadi pada keturunan perantauan Arab ini, ada kebanggaan kesukuan
memeluk agama Islam yang dibawa dari tanah leluhurnya daripada mengikuti ajaran
lain, (iv) tentu ajaran Islam yang rasional, adil, menawarkan persamaan kedudukan dan
status menjadi daya tarik bagi masyarakat kosmopolit yang telah berbaur dengan
berbagai peradaban besar sebagaimana yang dialami keturunan Arab (v) disamping
kepandaian dan ketampanan para pembawa Islam keturunan Arab telah membuat jatuh
hati para Raja dan Meurah, mengangkat mereka jadi menantu, penasihat atau panglima
dan ada yang menggantikan kedudukan Raja atas dukungan komunitas Arab yang
memang sudah mapan dan memiliki kedudukan terhormat.
Jadi dengan demikian, tidak diragukan bahwa Islam telah tumbuh berkembang
di Aceh, terutama di pesisirnya bersamaan dengan perkembangannya di semenanjung
Arabia dan Parsia. Penyiaran ini utamanya dilakukan para pedagang Muslim asal Aceh
yang bergagang ke Arab, ataupun pedagang Arab, Persia, India, Cina atau lainnya yang
memang telah hilir mudik antara Dunia Arab Mesir sampai ke Tiongkok Cina melalui
sebuah daerah yang oleh Claudius Ptolemaeus, disebut bernama ”Barousai”, yang tidak
diragukan maksudnya adalah Barus di dekat Lamuri wilayah Aceh.52
Penyebaran Islam juga dilakukan oleh para diplomat yang di utus para Khalifah
yang menggantikan kedudukan Nabi Muhammad, terutama di zaman Khalifah Umar
bin Khattab yang terbukti telah mengutus beberapa orang shahabat ke Cina yang
meninggal di sana. Di samping untuk berdakwah tentu untuk memberikan sebuah
tawaran umum para Khalifah kepada semua Raja: ”Engkau memeluk Islam, artinya
bersaudara dengan kami, jika tidak engkau membayar jizyah sebagai tanda ketundukan
pada Islam, jika engkau menolak keduanya, berarti akan terjadi peperangan, karena
sabda Nabi saw : ”Aku diperintah memerangi manusia pembangkang sehingga mereka
mengakui tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusannya”. Cina menjadi
salah satu tujuan dakwah Islam, karena pada masa itu Cina sudah menjadi salah satu
Kerajaan besar. Tentu sebelum sampai ke Cina, para diplomat itu akan singgah di
sekitar pesisir pantai Sumatra dan mencari perkampungan Arab dengan komunitasnya.
Bukti-bukti ilmiah telah ditemukan bahwa perdagangan antara Timur dengan
Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur
darat atau ”jalur sutra” (silk road), terbentang dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan
Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur menghubungkan Cina, India, Persia, Arab dengan
Eropa, adalah jalur tertua yang di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan
jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Nusantara, melalui Selat
Malaka (Fansur) ke India; selanjutnya ke Laut Tengah dan Eropa, ada pula jalur yang
melalui Teluk Persia dan Suriah, dan melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga
perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Fansur (Sumatra) sudah berjalan
sejak abad pertama sesudah Masehi.53
52
D.G.E. Hall, A History of South East Asia, London: Macmillan & Co. Ltd., 1960, hlm. 1-5. D.H. Burger
dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15. Ma Huan, Ying-
yai Sheng-lan, terjemahan dan edisi J.V.G. Mills, Hakluyt Society, 1970, hlm. 120. W.P. Groeneveldt, Historical
Notes on Indonesia & Malaya Compiled from Chinese Source, Jakarta: Bharata, 1960, hlm. 209. B. Schrieke, In-
donesian Sociological Studies, Part Two, The Hauge-Bandung: W. Van Hoeve Ltd, 1957, hlm. 17.
53
D.H.Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960,
hlm. 15.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 45


Gangguan-gangguan keamanan sering terjadi pada jalur perdagangan darat di
Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat
Malaka/Fansur) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan
India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan
menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra
telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya atau
sebelumnya, pedagang-pedagang Fansur atau Nusantara telah mengunjungi pelabuhan-
pelabuhan Cina, dan pantai timur Afrika.54
Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, telah menumbuhkan kota-kota
pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan
perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut
telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Aceh yang
diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa
delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota
perdagangan.55
Maka berdasarkan fakta sejarah ini pulalah, keberadaan Kerajaan Jeumpa Aceh
yang diperkirakan berdiri pada abad ke 7 Masehi dan berada disekitar Kabupaten
Bireuen sekarang menjadi sangat logis. Sebagaimana kerajaan-kerajaan purba pra-Islam
yang banyak terdapat di sekitar pulau Sumatra, Kerajaan Jeumpa juga tumbuh dari
pemukiman-pemukiman penduduk yang semakin banyak akibat ramainya
perdagangan dan memiliki daya tarik bagi kota persinggahan. Melihat topografinya,
Kuala Jeumpa sebagai kota pelabuhan memang tempat yang indah dan sesuai untuk
peristirahatan setelah melalui perjalanan panjang.
Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim
Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan yang benar
keberadaannya pada sekitar abad ke 7 Masehi yang berada di sekitar daerah perbukitan
mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di
sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di
sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa Blang
Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan
kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai
Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan
perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada
langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke ”Pintou Rayeuk” (pintu besar).
Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai
tapak Maligai Kerajaan sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku
Keujereun, ditemukan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi
kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin
dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan.
Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman
54
M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesia Archipelago. The
Hague: Martinus Nijhoff, 1962, hlm. 345 (catatan 122)
55
Ibid

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 46


Raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang
ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya.
Menurut legenda yang berkembang di sekitar Jeumpa, sebelum kedatangan
Islam di daerah ini sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin
turun temurun oleh seorang Meurah dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru
dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lainnya. Sekitar
awal abad ke 8 Masehi datanglah seorang pemuda tampan bernama Abdullah yang
memasuki pusat Kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga yang
datang dari India belakang (Parsi ?) untuk berdagang. Dia memasuki negeri Blang
Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa. Selanjutnya Abdullah tinggal bersama
penduduk dan menyiarkan agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah
menerima Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat
ramah. Dia dinikahkan dengan puteri Raja, dan Abdullah dinobatkan menjadi Raja
menggantikan bapak mertuanya, yang kemudian wilayah kekuasaannya dia berikan
nama dengan Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama negeri asalnya di India Belakang
(Persia) yang bernama ”Champia”, yang artinya harum, wangi dan semerbak.
Menurut silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh
Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa
dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ?) yang bernama
Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang
Seulodong dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri
Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu daripada Sultan pertama
Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi. Menurut penelitian Sayed
Dahlan al-Habsyi, Syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi
Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief,
Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali,
Puteri Syahribanun, anak Maha Raja Parsia terakhir yang ditaklukkan Islam.
Sampai saat ini, penulis belum menemukan silsilah keturunan Pengeran Salman
ke atas, apakah beliau termasuk dari keturunan Nabi Muhammad saw atau murni
keturunan raja-raja Parsia yang telah memeluk Islam. Karena di silsilah yang
dikeluarkan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu tidak disebutkan asal
keturunannya. Namun menurut pengamatan pakar sejarah Aceh, Sayed Dahlan al-
Habsyi, beliau adalah termasuk keturunan Sayyidina Husein ra. Karena (i) beliau
memberikan gelar Syahri kepada anak-anaknya, yang jelas menunjuk kepada moyang
perempuannya Puteri Syahr Banun, Puteri Maharaja Kerajaan Parsi yang menjadi istri
Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah bin Muhammad Rasulullah saw (ii) beliau
mengawinkan anak perempuannya dengan cucu Imam Ja’far Sadiq, yang menjadi
tradisi para Sayid sampai saat ini (iii) anak beliau, Syahri Nuwi adalah patron dari
rombongan Nakhoda Khalifah, bahkan ada yang menganggap kedatangan rombongan
ini atas permintaan Syahri Nuwi untuk mengembangkan kekuatan Ahlul Bayt atau
keturunan Nabi saw di Nusantara setelah mendapat pukulan di Arab dan Parsia. Itulah
sebabnya, hubungan Syahri Nuwi dengan rombongan Nakhoda Khalifah yang
bermazhab Syi’ah sangat dekat dan menganggap mereka sebagai bagian keluarga.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 47


Terlepas dari perbedaan nama Raja pertama dari Kerajaan Islam Jeumpa
tersebut, apakah Raja Abdullah atau Raja Salman, atau memang beliau menggunakan
dua nama akibat menghindar dari kejaran para Penguasa Parsia yang sedang memburu
pelarian keturunan Nabi, atau memang Pangeran Salman adalah bapak daripada Raja
Abdullah, namun yang penting disepakati bahwa Islam telah bertapak di Kerajaan
Jeumpa yang dipimpin oleh seorang Raja Muslim dan memiliki rakyat yang Muslim
juga. Ini artinya Islam sudah mulai tersebar pada awal abad ke 8 atau sekitar tahun
150an Hijriah di wilayah Aceh dan memiliki hubungan dengan wilayah Islam lainnya.
Hal ini jelas bertentangan dengan teori yang berkembang selama ini bahwa Islam masuk
ke Aceh pada abad ke 12 Masehi dan Kerajaan Pasai adalah Kerajaan Islam pertama di
Nusantara.
Yang perlu dicermati, kenapa Pangeran Salman al-Parsi memilih kota kecil di
wilayah Jeumpa sebagai tempat mukimnya, dan tidak memilih kota metropolitan
seperti Barus, Fansur, Lamuri dan sekitarnya yang sudah berkembang pesat dan
menjadi persinggahan para pedagang manca negara? Ada beberapa kemungkinan, (i)
beliau diterima dengan baik oleh masyarakat Jeumpa dan memutuskan tinggal di sana,
(ii) beliau merasa nyaman dan sesuai dengan penguasa (meurah), (iii) keinginan untuk
mengembangkan wilayah ini setingkat Barus, Lamuri dan lainnya dan (iv) menghindar
dari pandangan penguasa.
Alasan terakhir ini, mungkin dapat diterima sebagai alasan utama. Mengingat
Pangeran Salman adalah salah seorang pelarian politik dari Parsia yang tengah
bergejolak akibat peperangan antara Keturunan Nabi saw yang didukung pengikut
Syiah dengan Penguasa Bani Abbasiah masa itu (tahun 150an Hijriah). Beliau bersama
para pengikut setianya memilih ujung utara pulau Sumatera sebagai tujuan karena
memang daerah sudah terkenal dan sudah terdapat banyak pemeluk Islam yang
mendiami perkampungan-perkampungan Arab atau Persia. Kemungkinan Jeumpa
adalah salah satu pemukiman baru tersebut. Untuk menghindari pengejaran itulah,
beliau memilih daerah pinggiran agar tidak terlalu menyolok dalam membangun
kekuatan baru sebagai basis perjuangan Islamisasi dan membangun dinasti Ahlul Bayt
di Nusantara. Itulah sebabnya, Pangeran Salman juga dikenal dengan nama-nama
lainnya, seperti Meurah Jeumpa, atau ada yang mengatakan beliau sebagai Abdullah.
Di bawah pemerintahan Pangeran Salman, Kerajaan Islam Jeumpa berkembang
pesat menjadi sebuah kota baru yang memiliki hubungan luas dengan Kerajaan-
Kerajaan besar lainnya. Potensi, karakter, pengetahuan dan pengalaman Pangeran
Salman sebagai seorang bangsawan calon pemimpin di Kerajaan maju dan besar seperti
Persia yang telah mendapat pendidikan khusus sebagaimana lazimnya Pangeran Islam,
tentu telah mendorong pertumbuhan Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat
pemerintahan dan perdagangan yang berpengaruh di sekitar pesisir utara pulau
Sumatra. Jeumpa sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara memperluas hubungan
diplomatik dan perdagangannya dengan Kerajaan-Kerajaan lainnya, baik di sekitar
Pulau Sumatera atau negeri-negeri lainnya, terutama Arab dan Cina. Banyak tempat di
sekitar Jeumpa berasal dari bahasa Parsi, yang paling jelas adalah Bireuen, yang artinya
kemenangan, sama dengan makna Jayakarta, asal nama Jakarta yang didirikan
Fatahillah, yang dalam bahasa Arab semakna, Fath mubin, kemenangan yang nyata.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 48


Untuk mengembangkan Kerajaannya, Pangeran Salman telah mengangkat anak-
anaknya menjadi Meurah-Meurah baru. Ke wilayah barat, berhampiran dengan Barus-
Fansur-Lamuri yang sudah berkembang terlebih dahulu, beliau mengangkat anaknya,
Syahri Poli menjadi Meurah mendirikan Kerajaan Poli yang selanjutnya berkembang
menjadi Kerajaan Pidie. Ke sebelah timur, beliau mengangkat anaknya Syahr Nawi
sebagai Meurah di sebuah kota baru bernama Perlak pada tahun 804. Namun dalam
perkembangannya, Kerajaan Perlak tumbuh pesat menjadi kota pelabuhan baru
terutama setelah kedatangan rombongan keturunan Nabi yang dipimpin Nakhoda
Khalifah berjumlah 100 orang. Syahr Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri
dengan salah seorang tokoh rombongan tersebut bernama Ali bin Muhammad bin Jafar
Sadik, cicit kepada Nabi Muhammad saw. Dari perkawinan ini lahir seorang putra
bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H atau tahun 840 M dilantik
menjadi Raja dari Kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana
Abdul Azis Syah. Melalui jalur perkawinan ini, hubungan erat terbina antara Kerajaan
Islam Jeumpa dengan Kerajaan Islam Perlak. Karena wilayahnya yang strategis Kerajaan
Islam Perlak akhirnya berkembang menjadi sebuah Kerajaan yang maju menggantikan
peran dari Kerajaan Islam Jeumpa.
Setelah tampilnya Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat pertumbuhan
perdagangan dan kota pelabuhan yang baru, peran Kerajaan Islam Jeumpa menjadi
kurang menonjol. Namun demikian, Kerajaan ini tetap eksis, yang mungkin berubah
fungsi sebagai sebuah kota pendidikan bagi kader-kader ulama dan pendakwah Islam.
Karena diketahui bahwa Puteri Jeumpa yang menjadi ibunda Raden Fatah adalah
keponakan dari Sunan Ampel. Berarti Raja Jeumpa masa itu bersaudara dengan Sunan
Ampel. Sementara Sunan Ampel adalah keponakan dari Maulana Malik Ibrahim, yang
artinya kakek, mungkin kakek saudara dari Puteri Jeumpa. Maka dari hubungan ini
dapat dibuat sebuah kesimpulan bahwa, para wali memiliki hubungan dengan Kerajaan
Jeumpa yang boleh jadi Jeumpa masa itu menjadi pusat pendidikan bagi para ulama
dan pendakwah Islam Nusantara. Namun belum ditemukan data tentang masalah ini.
Setelah berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi
Nusantara seperti Kerajaan Islam Perlak (840an) dan Kerajaan Islam Pasai (1200an),
Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin kerjasama diplomatik tetap memiliki peran besar
dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam penaklukkan beberapa kerajaan besar
Jawa-Hindu seperti Majapahit misalnya. Di kisahkan bahwa Raja terakhir Majapahit,
Brawijaya V memiliki seorang istri yang berasal dari Jeumpa (Champa), yang menurut
pendapat Raffless berada di wilayah Aceh dan bukan di Kamboja sebagaimana difahami
selama ini. Puteri cantik jelita yang terkenal dengan nama Puteri Jeumpa (Puteri
Champa) ini adalah anak dari salah seorang Raja Muslim Jeumpa yang juga keponakan
dari pemimpin para Wali di Jawa, Sunan Ampel dan Maulana Malik Ibrahim. Mereka
adalah para Wali keturunan Nabi Muhammad yang dilahirkan, dibesarkan dan dididik
di wilayah Aceh, baik Jeumpa, Perlak, Pasai, Kedah, Pattani dan sekitarnya. Dan
merekalah konseptor penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan gerakannya
yang terkenal dengan sebutan Wali Songo atau Wali Sembilan. Perkawinan Puteri
Muslim Jeumpa Aceh dengan Raja terakhir Majapahit melahirkan Raden Fatah, yang
dididik dan dibesarkan oleh para Wali, yang selanjutnya dinobatkan sebagai Sultan
pada Kerajaan Islam Demak, yang ketahui sebagai Kerajaan Islam pertama di pulau

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 49


Jawa. Kehadiran Kerajaan Islam Demak inilah yang telah mengakhiri riwayat
kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.
Sejarah ini dapat diartikan sebagai keberhasilan strategi Kerajaan Islam Jeumpa
Aceh yang kala itu sudah berafiliasi dengan Kerajaan Islam Pasai yang telah
menggantikan peranan Kerajaan Islam Perlak dalam menaklukkan dan mengalahkan
sebuah kerajaan besar Jawa-Hindu Majapahit dan mengakhiri sejarahnya dan
menjadikan pulau Jawa sebagai wilayah kekuasaan Islam di bawah Kerajaan Islam
Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah, yang ibunya berasal dari Kerajaan Jeumpa di
Aceh. Jadi dapat dikatakan bahwa, Kerajaan Jeumpa Acehlah yang telah mengalahkan
dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan strategi penaklukan lewat
perkawinan yang dilakukan oleh para Wali Sembilan, yang memiliki garis hubungan
dengan Jeumpa, Perlak, Pasai ataupun Kerajaan Aceh Darussalam.
Setelah Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi tumbuh dan
berkembang, maka pusat aktivitas Islamisasi nusantarapun berpindah ke wilayah ini.
Dapat dikatakan bahwa Kerajaan Islam Perlak adalah kelanjutan atau pengembangan
daripada Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah mulai menurun peranannya. Namun
secara diplomatik kedua Kerajaan ini merupakan sebuah keluarga yang terikat dengan
aturan Islam yang mengutamakan persaudaraan. Apalagi para Sultan adalah keturunan
dari Nabi Muhammad yang senantiasa mengutamakan kepentingan agama Islam di
atas segala kepentingan duniawi dan diri mereka. Bahkan dalam silsilahnya, Sultan
Perlak yang ke V berasal dari keturunan Kerajaan Islam Jeumpa.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 50


Putro Jeumpa Dewi Manyang Seuludang:
Maha Ratu Islam Pertama Nusantara
Menurut penelitian terkini para ahli sejarah, diketahui bahwa sebelum
datangnya Islam pada awal abad ke 7 M, Dunia Arab dengan Dunia Melayu-Sumatra
sudah menjalin hubungan dagang yang erat sejak 2000 tahun SM atau 4000 tahun lalu.
Hal ini sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut yang telah
menumbuhkan perkampungan-perkampungan Arab, Parsia, Hindia dan lainnya di
sepanjang pesisir pulau Sumatera. Karena letak geografisnya yang sangat strategis di
ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh sebagai kota pelabuhan transit
yang berkembang pesat, terutama untuk mempersiapkan logistik dalam pelayaran yang
akan menempuh samudra luas perjalanan dari Cina menuju Persia ataupun Arab. Di
antara pelabuhan transito sekaligus kota perdagangan adalah Barus, Fansur, Lamri,
Jeumpa dan lainnya dengan komuditas unggulan seperti kafur, yang memiliki banyak
manfaat dan kegunaan. Komuditas ini telah melambungkan wilayah asalnya dalam
jajaran kota pertumbuhan peradaban dunia. ”Kafur Barus”, ”Kafur Fansur”, ”Kafur Barus
min Fansur” yang telah menjadi idiom kemewahan para Raja dan bangsawan di Yunani,
Romawi, Mesir, Persia dan lainnya. Kedudukan Barus-Fansur lebih kurang seperti
kedudukan Paris saat ini yang terkenal dengan inovasi minyak wangi mewahnya.
Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim
Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan yang benar
keberadaannya pada sekitar abad ke 7 Masehi yang berada di sekitar daerah perbukitan
mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di
sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di
sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa Blang
Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan
kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai
Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan
perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada
langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke ”Pintou Rayeuk” (pintu besar).
Menurut legenda yang berkembang di sekitar Jeumpa, sebelum kedatangan
Islam di daerah ini sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin
turun temurun oleh seorang Meurah dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru
dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lainnya. Sekitar
awal abad ke 8 Masehi datanglah seorang pemuda tampan yang dikenal dengan
Shahrianshah Salman al-Farisi atau Sasaniah Salman Al-Farisi sebagaimana disebut
dalam Silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei
Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao dan juga disebutkan dalam Silsilah Raja-
Raja Aceh Darussalam oleh Dinas Kebudayaan NAD. Sebagian ahli sejarah
menghubungkan silsilah Pangeran Salman dengan keturunan dari Sayyidina Hussein ra
cucunda Nabi Muhammad Rasulullah saw yang telah menikah dengan Puteri Maharaja

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 51


Parsia bernama Syahribanun. Dari perkawinan inilah kemudian berkembang keturunan
Rasulullah yang telah menjadi Ulama, Pemimpin Spiritual dan Sultan di Dunia Islam,
termasuk Nusantara, baik di Aceh, Pattani, Sumatera, Malaya, Brunei sampai ke Filipina
dan Kepulauan Maluku.
Dikisahkan Pangeran Salman memasuki pusat Kerajaan di kawasan Blang
Seupeueng dengan kapal niaga dengan segala awak, perangkat dan pengawal serta
muatannya yang datang dari Parsi untuk berdagang dan utamanya berdakwah
mengembangkan ajaran Islam, sebagai sebuah misi utama para keturunan Rasulullah
saw. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa. Sang
Pangeran sangat tertarik dengan kemakmuran, keindahan alam dan keramahan
penduduknya. Selanjutnya beliau tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama
Islam yang telah menjadi anutan nenek moyangnya di Parsia. Rakyat di negeri tersebut
dengan mudah menerima Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan
dan sangat ramah. Apalagi beliau adalah seorang Pangeran dari negara maju Parsia
yang terkenal kebesaran dan kemajuannya masa itu.
Keutamaan dan kecerdasan yang dimiliki Pangeran Salman yang tentunya telah
mendapat pendidikan terbaik di Parsia negeri asalnya, sangat menarik perhatian
Meurah Jeumpa dan mengangkatnya menjadi orang kepercayaan Kerajaan. Karena
keberhasilannya dalam menjalankan tugas-tugasnya, akhirnya Pangeran Salman
dinikahkan dengan puteri Raja dan dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak
mertuanya. Setelah menjadi Raja, wilayah kekuasaannya diberikan nama dengan
Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama negeri asalnya di Persia yang bernama
”Champia”, yang artinya harum, wangi dan semerbak. Sejak saat Kerajaan Islam Jeumpa
terkenal dan berkembang pesat menjadi kota perdagangan dan transit bagi pedagang-
pedagang Arab, Cina, India dan lainnya. Kerajaan Jeumpa menjadi maju dan makmur
sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah Sumatra bahkan Nusantara.
Shahrianshah Salman al-Farisi memproklamirkan Kerajaan Islam Jeumpa pada tahun
156 H atau sekitar tahun 770 an M. Maka tidak diragukan, Kerajaan Jeumpa adalah
Kerajaan Islam pertama di seluruh Nusantara.
Tentu di balik kesuksesan Pangeran Salman membangun dan memimpin
Kerajaan Jeumpa, di dukung oleh seorang Maha Ratu yang sangat berperan, karena
sebagaimana pepatah menyebutkan di setiap keberhasilan lelaki, pasti ada perempuan
yang mendukung keberhasilannya. Siapakah wanita agung yang telah mendukung
kegemilangan Maha Raja Jeumpa yang berhasil sebagai pendiri Kerajaan Islam pertama
di Nusantara ini? Menurut Silsilah Sultan Melayu dan Silsilah Raja Aceh, beliau tidak lain
adalah Putro Manyang Seulodong atau ada yang menyebutnya dengan Dewi Ratna
Keumala, anak Meurah Jeumpa yang cantik rupawan serta cerdas dan berwibawa. Putro
Jeumpa inilah yang telah mendukung karir dan perjuangan suaminya sehingga berhasil
mengembangkan sebuah Kerajaan Islam yang berwibawa, yang selanjutnya telah
melahirkan Kerajaan Islam di Perlak, Pasai, Pedir dan Aceh Darussalam.
Tidak semua Puteri Raja menjadi pendukung keberhasilan suaminya, bahkan
ada yang menjadi penyebab kehancurannya. Ingatlah sosok Cleopatra, Sang Maha Ratu
Mesir yang penuh intrik dan telah menghancurkan karir Penakluk Agung Yulius
Ceaser. Karena Yulius menikahi Cleopatra, maka karirnya sebagai Penguasa Agung
atau Kaisar Agung Romawi hancur, dia dikhianati oleh pendukung dan pemujanya,

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 52


bahkan rakyatnya sendiri melecehkannya karena membawa Cleopatra ke Romawi.
Akhirnya Yulius yang diagungkan dipecat senat Romawi bahkan dibantai oleh anggota
Senat dihadapan dewan terhormat tersebut tanpa pembelaaan. Demikian pula yang
telah menimpa Anthony, pengganti Yulius karena nekad menikahi Cleopatra, karirnya
hancur dan bunuh diri di Mesir akibat intrik Cleopatra yang penuh tipu daya.
Putro Manyang Seuludong bukanlah Cleopatra yang penuh intrik dan tipudaya,
walaupun sama-sama Maha Ratu yang memiliki kekuasaan besar terhadap Kerajaan
dan rakyatnya. Jika Cleopatra menggunakan kekuasaan, kecantikan dan kecerdasannya
untuk memperdaya Yulius dan Anthony serta menghancurkannya, namun Putro
Jeumpa ini menggunakannya untuk mendukung kesuksesan suaminya tercinta
Pangeran Salman. Bersama suaminya, Sang Maha Ratu Jeumpa ini bahu membahu
memajukan Kerajaannya sehingga menjadi sebuah Kerajaan yang terkenal di dunia
internasional dan menjadi kota persinggahan para pedagang-pedagang dari Arab,
Parsia, Cina, India dan lainnya. Apalagi geografi Jeumpa sangat strategis yang
berdekatan dengan Barus, Lamuri, Fansur yang lebih dahulu berkembang di ujung
barat pulau Sumatra.
Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai
tapak Maligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket
Teungku Keujereun, ditemukan tapak bangunan istana dan beberapa barang
peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela,
porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya
sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Semua ini tentu menggambarkan
kemakmuran dan kemajuan dari Kerajaan Jeumpa 14 abad silam.
Maha Ratu Manyang Seuludong bukan hanya berhasil menjadi pendamping
suaminya dalam membangun Kerajaan Jeumpa, tetapi juga berhasil menjadi seorang
pendidik agung yang telah melahirkan anak-anak yang melanjutkan perjuangannya
menyebarkan dakwah Islamiyah. Sebagai seorang ibu, sudah sepatunya Maha Ratu
Jeumpa ini dibanggakan, karena telah berhasil mencetak pemimpin-pemimpin agung
untuk agama dan bangsanya. Sang Maha Ratu dikaruniai beberapa orang anak yang
menjadi Raja dan Ratu yang sangat berpengaruh dalam perjalanan sejarah
pengembangan Islam Nusantara.
Anak beliau bernama Syahri Poli adalah pendiri dari Kerajaan Poli yang
selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Pidier di wilayah Pidie sekarang yang
wilayah kekuasaannya sampai ujung barat Sumatera. Syahri Tanti mengembangkan
kerajaan yang selanjutnya menjadi asas perdirinya Kerajaan Samodra-Pasai. Syahri Dito,
yang melanjutkan mengembangkan Kerajaan Jeumpa. Syahri Nuwi menjadi Meurah
dan pendiri dari Kerajaan Perlak. Sementara putrinya Makhdum Tansyuri adalah ibu
dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak, Maulana Abdul Aziz Syah yang diangkat
pada tahun 840 Masehi.
Kecerdasan dan kecantikan Putro Jeumpa ini telah diwariskan kepada
keturunannya yang menjadi lambang keagungan putri-putri Islam yang berjiwa
penakluk dalam memperjuangkan tegaknya Islam di bumi Nusantara. Tidak diragukan
bahwa Putro Manyang Seuludong telah menjadi inspirasi bagi perjuangan para Ratu
dan putro-putro Jeumpa sesudahnya. Dari keturunan beliaulah telah berkembang
puteri-puteri Jeumpa yang terkenal kecantikan dan kecerdasannya ke seluruh kerajaan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 53


di Nusantara. Puteri-puteri Jeumpa telah menjadi lambang kewibawaan para Ratu Islam
di istana-istana Perlak, Pasai, Malaka bahkan sampai Majapahit sekalipun. Itulah
sebabnya dalam perjalanan sejarah Aceh, senantiasa dipenuhi dengan wanita-wanita
agung yang berjiwa patriotik dan penakluk serta membuat sejarah kegemilangannya
masing-masing yang tidak pernah dicapai oleh wanita-wanita lainnya di Nusantara,
bahkan di negeri Arab sekalipun.
Dalam sejarah Aceh selanjutnya, tidak diragukan Putro Jeumpa Manyang
Seuludong telah memberikan inspirasi kepada anak keturunannya, dan telah
melahirkan wanita-wanita agung yang sangat berpengaruh dan memiliki kharisma serta
kecantikan. Di antaranya adalah Maha Ratu Kerajaan Perlak bernama Makhdum
Tansyuri (ibunda Maulana Abdul Aziz Syah, Sultan Perlak pertama), Maha Ratu
Kerajaan Pasai bernama Nahrishah, Maha Ratu Darwati (Dhawarawati) yang menjadi
Maha Ratu Majapahit (ibunda Raden Fatah, Sultan Kerajaan Islam pertama di tanah
Jawa bernama Demak), Maha Ratu Tajul Alam Safiatuddin yang menjadi Maha Ratu
Kerajaan Aceh Darussalam. Di samping itu ada yang menjadi panglima agung yang
ditakuti musuh, seperti Laksamana Malahayati, Tjut Nyak Dhien, Tjut Muetia dan lain-
lainnya.
Sepatutnya wanita-wanita agung inilah yang menjadi teladan bagi mereka yang
memperjuangkan emansipasi wanita di Serambi Mekah ini. Bahwa kenyataannya,
sebelum Barat melaungkan emansipasi, wanita-wanita Aceh telah menikmati
kesetaraannya secara maksimal sebagai seorang Maha Ratu dan Panglima Tertinggi di
bawah naungan kesempurnaan ajaran Islam, ketika wanita-wanita Barat masih
dianggap sebagai budak pemuas oleh kaum lelakinya. Wajarlah jiwa wanita-wanita
Barat itu menuntut haknya, tapi kenapa wanita Aceh membeo mengikutinya? Itulah
paradoksnya, terkadang kita bangga dengan budaya dan sejarah asing namun
melupakan keagungan budaya dan sejarah sendiri.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 54


Kerajaan Islam Perlak

Setelah dewasa Syahri Nuwi, salah seorang anak Pengeran Salman, Raja
Kerajaan Islam Jeumpa, berhasil mengembangkan sebuah perkampungan pelabuhan
yang dihuni para pedagang keturunan Arab, Parsi, India dan lainnya di sekitar wilayah
Perlak yang pada waktu itu sekitar tahun 805 menjadi sebuah kota pelabuhan yang
sedang berkembang pesat. Dengan bimbingan dari ayahnya, Syahri Nuwi kemudian
berhasil mengembangkan pelabuhan kecil ini menjadi sebuah bandar baru yang banyak
disinggahi para pedagang dari seluruh penjuru dunia, terutama dari Arab, Persia, India
dan Cina. Sejak saat itu, Bandar Perlak menjadi salah satu bandar terpenting di pulau
Sumatra, bahkan menggantikan peranan Bandar Fansur ataupun Barus sebagai tempat
persinggahan para pedagang yang belayar dari Cina menuju Arab maupun Eropa.
Kepemimpinannya yang menonjol telah mengantarkan Syahri Nuwi menjadi penguasa
baru di Kerajaan yang diberikannya nama dengan Kerajaan Peureulak (Perlak) dengan
gelar Meurah Syahri Nuwi.
Di bawah kepemimpinannya masyarakat Muslim di daerah ini mengalami
perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya
perkawinan di antara saudagar Muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga
melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab dan Persia dengan putri-putri
Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, pada
hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan
Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid
Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia
tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah.56
Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh mengaitkan kedatangan mereka dengan
Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi ini di pimpin
Abdullah bin Mu'awiyah yang masih keturunan Ja'far bin Abi Thalib. Bin Mu'awiyah
telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di
Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis,
Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian dihancurkan pasukan
Muruan di bawah pimpinan Amir bin Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran Maru
Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli
sejarah berpendapat, mereka terpencar di semenanjung Malaysia, Cina, Vietnam, dan
Sumatera, termasuk ke Perlak.
Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat sebuah naskah tua
berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni al-
Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam naskah itu diceritakan tentang
pergolakan sosial-politik di lingkungan Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap

56
Wan Huseein Azmi, Islam di Aceh, op.cit.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 55


menindas pengikut Syi'ah. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-
Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja'far
Shadiq bin Muhammad Baqr bin Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib,
memberontak terhadap Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan
memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di Makkah.
Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad bin Ja'far Shadiq
dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan.
Makmun menganjurkan pengikut Syi'ah itu meninggalkan negeri Arab untuk
meluaskan dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran itu
pun lantas dipenuhi. Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan
Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh Syi'ah Arab, Persia, dan Hindi ---termasuk
Muhammad bin Ja'far Shadiq--- segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak
pada waktu Syahir Nuwi menjadi Meurah (Raja) Negeri Perlak. Syahir Nuwi
kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin Ja'far Shadiq dengan adik kandungnya,
Makhdum Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul
Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H dilantik menjadi Raja dari kerajaan Islam Perlak
dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah.57
Pertanyaannya adalah, kenapa rombongan Nakhoda Khalifah yang dipimpin
oleh para Keturunan Nabi Muhammad saw dan para pendukung setianya, baik dari
Arab maupun Persia, yang datang dari Semenanjung Arabia itu memilih Perlak sebagai
persinggahannya? Apakah mereka datang secara kebetulan dan mendarat sekenanya di
Perlak kemudian berhasil merebut hati Meurah Perlak, dan selanjutnya keturunan
mereka menjadi Sultan?
Menurut analisis penulis, bahwa kedatangan rombongan ini bukanlah sebuah
kebetulan sejarah belaka. Namun merupakan sebuah perencanaan besar dari para
pemimpin Ahlul Bayt saat itu yang sedang mencari wilayah baru bagi perkembangan
Islam dan tentunya sebuah kerajaan yang mampu melindungi eksisitensi Ahlul Bayt
sebagai sebuah entitas yang diamanahkan Allah dan Rasul-Nya sebagai penjaga Islam
sepanjang masa.
Dalam sebuah hadits (hadits tsaqolain) yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah
saw bersabda agar pengikutnya berpegang teguh kepada dua perkara supaya tidak
sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an dan Sunnah) dan Itrah (Ahlul
Bayt/keturunannya). Dua perkara inilah yang menjadi penghubung antara Rasulullah
dengan umatnya, sehingga mereka diwajibkan membaca shalawat untuk beliau dan
keluarga keturunannya. Karena Ahlul Bayt diamanahkan sebagai benteng utama Islam
oleh Allah dan Rasul-Nya dan ummat diperintahkan untuk mencintai, menghormati
dan berpegang teguh kepadanya, maka sejak awal kebangkitan Islam para Itrah Rasul
mendapat kehormatan dan kedudukan masyarakat Muslim dimanapun mereka datang,
baik di Persia, Afrika, Mesir, India, Cina dan tentunya termasuk di alam Nusantara.
Apalagi di sepanjang pulau pesisir pulau Sumatra sudah tumbuh perkampungan-
perkampungan Arab ataupun Parsia sebelum kedatangan Islam, yang nantinya menjadi
pendorong lahirnya Kerajaan Islam setelah kedatangan Islam yang dibawa para
pedagang Muslim.
57
ibid

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 56


Ahli sejarah telah mencatat beberapa dinasti Kerajaan Ahlul Bayt Nusantara,
baik di wilayah Sumatera, Semenanjung Melayu, Borneo-Kalimantan, Jawa, Sulawesi
sampai ke Maluku dan Papua sekarang. Ditengarai, generasi awal datang dari Persia
sekitar akhir abad pertama Hijriah atau sekitar abad VII Masehi, yang mendirikan
kerajaan di sekitar Aceh-Sumatra, yang menjadi cikal bakal Kerajaan Perlak dan Pasai.
Jika diurut silsilah para Sultan di Nusantara, sebagian besar akan bertemu pada jalur
Imam Ja’far Sadiq yang sampai kepada Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah binti
Rasulullah saw, baik Maulana Abdul Aziz Syah (Perlak), Sultan Malik al-Shalih (Pasai),
Mughayat Syah (Aceh), Syarif Hidayatullah (Banten), Sultan Wan Abdullah (Kelantan)
dan lain-lainnya. Dan tidak diragukan, sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-
Nya, diantara mereka senantiasa memelihara kekerabatan dan saling topang menopang
dalam menegakkan Islam dalam sebuah jaringan Ahlul Bayt. Tokoh-tokoh Ahlul Bayt
yang sudah memegang kekuasaan segera akan memberikan bantuan kepada yang
lainnya.
Ketika Ahlul Bayt di Semenanjung Arabia tengah mendapat kesulitan pada
zaman Maulana Muhammad bin Ja’far Shidiq, maka segera keluarga mereka yang
sudah mapan meminta kedatangan mereka ke Perlak yang tengah membangun
kekuatan baru di bawah pimpinan generasi yang lebih awal datang, dalam hal ini
Syahri Nuwi anak daripada Pangeran Salman yang datang dari Persia, yang tidak
diragukan memiliki hubungan kekerabatan dengan rombongan yang datang. Itulah
sebabnya Syahri Nuwi menikahkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan Maulana Ali
bin Muhammad bin Ja’far Shidiq. Perkawinan dua keluarga besar Ahlul Bayt ini telah
melahirkan generasi baru, Maulana Abdul Aziz, yang dinobatkan menjadi Sultan
pertama Kerajaan Islam Perlak, yang akhirnya menjadi pusat pergerakan Islamisasi di
Nusantara, sekaligus menjadi penghubung dengan dinasti-dinasti Ahlul Bayt di seluruh
dunia.
Dan tidak diragukan bahwa perkembangan Kerajaan Perlak menjadi sebuah
kota kosmopolitan baru di pesisir pulau Sumatra tidak lain disebabkan oleh kedatangan
para pendukung Ahlul Bayt dari seluruh penjuru dunia untuk membesarkan Kerajaan
Islam di Nusantara ini. Dengan segala kepakaran, pengetahuan, jaringan, logistik dan
potensi lainnya yang mereka miliki, mereka curahkan untuk membangun sebuah pusat
pergerakan baru bagi pertumbuhan Islam di Nusantara khususnya. Berbeda halnya
dengan Kerajaan Islam Jeumpa yang didirikan lebih awal oleh para Ahlul Bayt secara
sembunyi dan tidak diekspose, Kerajaan Perlak didirikan dengan kemegahan dan
terang-terangan memberikan gelar Sayyid Maulana kepada Sultannya, sebagai sebuah
proklamasi Kerajaan yang dipimpin Ahlul Bayt. Selanjutnya kegemilangan Kerajaan
Islam Perlak dipimpin oleh Sultan keturunan dari Maulana Muhammad bin Ja’far
Shadiq dan secara berganti dilanjutkan oleh keturunan dari Syahri Nuwi yang telah
menggunakan gelar Makhdum, yang juga merupakan keluarga besar Ahlul Bayt.
Terkadang para peneliti sejarah Islam terjebak dalam kebingungan peristilahan
ini, akibat ketidakfahaman mereka dengan jaringan keluarga Ahlul Bayt yang sangat
mengutamakan kekerabatan dan silaturrahmi di kalangan mereka. Pergantian dari satu
Sultan dengan Sultan lainnya adalah hal yang biasa dalam dinamika kekuasaan Ahlul
Bayt yang mengutamakan kualitas personal pemimpinnya. Contoh nyata adalah

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 57


bagaimana Syahri Nuwi rela menyerahkan kepemimpinan Kerajaan Perlak yang
berkembang pesat kepada keponakannya, Maulana Abdul Aziz, dan setelah beberapa
generasi Perlak dipimpin oleh keturunan Makhdum dari keluarga Syahri Nuwi kembali.
Hal ini dinilai sebagai sebuah perebutan kekuasaan diantara para Sultan jika tidak
dilihat dari sebuah perancangan besar dinasti Ahlul Bayt secara menyeluruh yang
memiliki hirarki dan kepemimpinan spiritual sambung menyambung.
Kerajaan Perlak telah menjadi basis Islamisasi Nusantara pada zamannya yang
berhasil mengirim para pendakwah dan pembimbing Islam ke penjuru Nusantara.
Namun sejauh ini, Kerajaan Perlak belum berhasil secara totalitas mengsilamkan
beberapa Kerajaan Hindu-Budha di tanah Jawa yang menjadi penghalang utama
Islamisasi Nusantara. Namun Kerajaan Islam Perlak telah berhasil membangun
infrastruktur dan jaringan Islamisasi yang akan memudahkan Kerajaan Islam
selanjutnya dalam mengislamisasikan Nusantara, sekaligus menghancurkan dominasi
Kerajaan Hindu-Budha di tanah Jawa dan sekitarnya. Pada saat bersamaan, telah
tumbuh pula pusat-pusat bandar Islam berpotensi yang dikembangkan oleh para
keturunan dinasti Ahlul Bayt terdahulu, diantaranya adalah Pasai, yang akan
melanjutkan peranan Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat Islamisasi Nusantara.
Para Sultan Perlak :

1. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Syah (840 – 864)


2. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Rahim Syah (864 – 888)
3. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abbas Syah (888 – 913)
4. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Ali Mughat Syah (915 – 918)
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat (928 – 932)
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat (932 –
956)
7. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat (956 – 983)
8. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat (986 – 1023)
9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan Berdaulat (1023 – 1059)
10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Syah Johan Berdaulat (1059 – 1078)
11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Syah Johan Berdaulat (1078 – 1109)
12. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Syah Johan Berdaulat (1109 – 1135)
13. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan Berdaulat (1135 – 1160)
14. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Syah Johan Berdaulat (1160 – 1173)
15. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah Johan Berdaulat (1173 –
1200)
16. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Syah Johan Berdaulat (1200 – 1230)
17. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat
(1230 – 1267)
18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267 – 1292)

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 58


Kerajaan Islam Pasai
Kerajaan Islam Pasai yang juga terkenal dengan Samodra Pasai adalah sebuah
Kerajaan Islam di pesisir utara pulau Sumatra. Bahkan menurut ahli sejarah, perkataan
Sumatra sendiri berasal dari perkataan Samodra, yang dalam loghat Arab berbunyi
Samutra, dan ketika bangsa Eropa datang menyebutnya dengan Sumatra. Sejak itulah
pulau besar ini disebut dengan Sumatra yang juga menjadi bagian dari wilayah
kekuasaan Kerajaan Samodra yang berpusat di Pasai. Sementara asal kata Pasai ada
yang berpendapat berasal dari bahasa Aceh Pase (pasir) atau pohon Pase. Namun
penelitian yang lebih mendekati, bahwa Pasai berasal dari kata Parsi (Persia), yang
dilogatkan dalam bahasa masyarakat lokal Aceh sebagai Pasee. Hal ini berkaitan dengan
banyaknya orang-orang dari Persia yang bermukim menempati wilayah Pasai masa itu,
sehingga dinamakan dengan Pasee sebagai kebiasaan orang dulu untuk menamakan
kampung halamannyanya jika menempati wilayah baru. Seperti di Kedah ada kampung
Aceh, atau di beberapa tempat terdapat nama kampung Melayu, kampung Bugis atau
kampung Jawa.
Pendapat kata Pasai berasal dari Parsia ini dikuatkan dengan beberapa bukti
sejarah, seperti hubungan erat Kerajaan Pasai dengan Persia masa itu. Demikian pula
makam-makam para Sultan Pasai sangat mirip dengan makam-makam di Persia,
bahkan ditemukan huruf Arab-Persia dan beberapa ukiran dan relief yang berbau
Persia. Pada makam Sultan Malik al-Saleh dan makam Sultanah Nahrishah sendiri
ditemukan beberapa kalimat dalam bahasa Persia dengan tulisan kaligrafi Arab-Persia.
Demikian pula silsilah para Sultan di Pasai, sebagaimana juga Sultan di Perlak
menyambung dengan Pangeran dari Persia bernama Syahriansyah Salman al-Parisi
yang memiliki anak Shahr Nuwi dan menjadi Sultan di Perlak, yang menjadi nenek
moyang para Sultan di Pasai. Dengan demikian tidak diragukan bahwa kata Pasai
(Pasee) berasal dari kata Persia.
Secara silsilah kekeluargaan, tidak diragukan bahwa Kerajaan Islam Pasai adalah
kelanjutan dari Kerajaan Islam Perlak yang terlebih dahulu telah didirikan oleh Meurah
Shahri Nuwi putra Sharianshah Salman al-Farisi (Raja Islam Jeumpa tahun 770 M di
Bireuen). Dimana Kerajaan Perlak mulai mengalami kejayaan sejak dipimpin oleh
Maulana Abdul Aziz Syah pada tahun 225 H atau 840 M. Salah seorang keturunan dari
Sultan Perlak dari garis Shahri Nuwi, yang dikenal dengan Sultan Malik al-Salih (w.
1297 M) yang digelar sebagai Meurah Silu mengembangkan sebuah kawasan
perdagangan baru di antara Kerajaan Jeumpa dengan Kerajaan Perlak, kemudian
berkembang menjadi kekuatan politik baru dengan berdirinya Kerajaan Islam Pasai.
Perkembangan yang cepat Kerajaan Pasai pada akhirnya menggantikan peranan
Kerajaan Islam Perlak yang mulai menurun peranannya pada awal abad ke 13 Masehi.
Di sini perlu diluruskan beberapa legenda yang menyatakan bahwa Meurah Silu
bukan terlahir sebagai seorang Muslim, namun dia menganut Islam sesudah menjadi
Raja Pasai sebagaimana yang dinyatakan dalam Sejarah Melayu berdasarkan kepada

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 59


hikayat Raja-Raja Pasai yang diragukan kredibilitasnya. Realitas ini sungguh
bertentangan dengan fakta sejarah, karena jelas silsilah Meurah Silu (Malik al-Salih)
menyambung kepada keturunan Ahlul Bayt, diperkirakan menyambung dengan
Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah
binti Muhammad saw. Fakta ini diperkuat oleh peristiwa kedatangan Nakhoda Khalifah
yang dipimpin oleh Sayyid Muhammad Diba’i bin Imam Ja’far Ash-Shaqid bin Imam
Muhammad Al-Baqir, diterima baik oleh Shahir Nuwi di Perlak, bahkan anak Sayyid
Muhammad bernama Sayyid Ali dikawinkan dengan Saudara Shahr Nuwi bernama
Makhdum Tansyuri yang melahirkan Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah.
Adapun silsilah Sultan Malik al-Saleh (Meurah Silu) adalah: Sultan Malik al-
Saleh (Meurah Silu) putra Meurah Makhdum Malik Ahmad (Raja Jeumpa) putra
Meurah Makhdum Ahmad (Raja Samalanga) putra Meurah Makhdum Malik Ibrahim
(Raja Jeumpa) putra Meurah Makhdum Malik Masir (Raja Isak-Gayo II) putra Muerah
Makhdum Malik Isak (Raja pertama Isak-Gayo) putra Sultan Makhdum Alaiddin Abdul
Malik Syah (Sultan Perlak VII) putra Sultan Makhdum Alaiddin Muhammad Amin
Syah (Sultan Perlak VI) putra Sultan Makhdum Alaiddin Abdulkadir Syah (Sultan
Perlak V) putra Meurah Makhdum Ahmad (Perdana Menteri Perlak pada masa Sultan
Perlak II, Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdurrahman Syah) putra Meurah
Makhdum Bahrum (Perdana Menteri Perlak pada masa Sultan Perlak I, Sultan Alaiddin
Maulana Sayyid Abdul Aziz Syah) putra Meurah Shahri Nuwi (pendiri Perlak) putra
Sahriansyah Salman al-Parisi (Raja Islam pertama Jeumpa) yang datang dari Persia.
Menurut ahli sejarah beliau adalah keturunan dari Sayyidina Husein bin Sayyidina Ali,
cucu Nabi Muhammad saw yang dilahirkan di Persia dan menjadi Raja di Jeumpa
Bireuen.
Penelitian para ahli sejarah Ahlul Bayt, seperti Tun Suzanna dari Malaysia
menyimpulkan bahwa ada 2 gelombang kedatangan keturunan Nabi saw ke Nusantara.
Yang pertama langsung dari Persia, umumnya keturunan dari Imam Ja’far Shadiq yang
telah menjadi petinggi di Kerajaan Persia dengan menggunakan gelar Syah (Shah), dan
di Aceh dikenal dengan Syahri seperti yang digunakan oleh Pangeran Salman al-Parisi
kepada anak-anaknya Shahri Nuwi, Shahri Poli, Shahri Dito, Shahri Duli. Sementara
keturunan Shahri Nuwi selanjutnya menggunakan gelar Makhdum kepada
keturunannya. Sementara gelombang kedua yang datang dari Yaman atau Hadramaut
dari keturunan Muhammad Isa al-Muhajir, sudah menggunakan gelar Sayyid dengan
tambahan dibelakang marga seperti Jamalullail, Al-Habsyi, Al-Idrus dan lainnya.
Dengan demikian jelas bahwa Sultan Makhdum Malik al-Salih adalah salah
seorang Ahlul Bayt Nabi Muhammad yang memiliki hubungan dekat dengan para
Sultan Kerajaan Perlak maupun Jeumpa yang menjadi penggerak Islamisasi Nusantara.
Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Sultan Malik al-Salih begitu tampil
memimpin Kerajaan Pasai, kemudian memproklamirkannya sebagai pusat Islamisasi
Nusantara menggantikan peranan Kerajaan Perlak atau sebelumnya Kerajaan Jeumpa.
Sebelumnya Pasai adalah sebuah perkampungan yang menjadi bandar transit
bagi para pedagang yang menggunakan kapal layar dari negeri Arab menuju Cina
ataupun sebaliknya. Namun dengan kemunculan Kerajaan Pasai pada awal abad 13

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 60


Masehi yang dipimpin Sultan Malik al-Salih, telah terjadi perubahan drastis dalam lalu
lintas perdagangan di selat Malaka. Aceh yang dahulunya dikenal sebagai daerah
penghubung, kini menjadi lebih aktif dalam perdagangan. Kerajaan Pasai menjadi pusat
perdagangan dalam mengekspor hasil-hasil hutan dan pertanian. Komuditas Lada
adalah diantara hasil pertanian yang sangat digemari oleh orang-orang Eropa, Arab dan
Cina, yang telah menaikkan nama Kerajaan Pasai di seluruh dunia yang mendorong
hadirnya saudagar-saudagar asing dari seluruh dunia. Berbagai kapal dagang dari
seluruh dunia datang membawa bermacam-macam dagangan untuk diperjual-belikan
di pelabuhan Pasai.
Di bawah kepemimpinan Sultan Malik al-Salih yang memiliki kemampuan besar
kepemimpinan serta berpegang teguh pada ajaran Islam, Kerajaan Pasai berkembang
pesat bukan hanya sebagai bandar pelabuhan yang mengimpor berbagai komuditas di
kawasan Selat Malaka pada saat itu, namun beliau mendorong rakyatnya menguasai
berbagai teknologi. Dan terbukti masyarakatnya tergolong memiliki teknologi yang
maju, khususnya dalam teknologi pertanian. Itulah sebabnya Kerajaan Pasai menjadi
salah satu negeri pengekspor berbagai bentuk hasil pertanian, seperti lada, bawang,
semangka, pisang, tebu, jeruk dan lain-lainnya.

Pasai Sebagai Pusat Khilafah Islamiyah


Bersamaan dengan kebangkitan Kerajaan Islam Pasai sekitar tahun 1250an M,
pusat-pusat Khilafah Islamiyah yang berada di Bagdad, Persia, dan sekitarnya sedang
mengalami masa-masa tersulit akibat penyerangan demi penyerangan yang dilakukan
oleh pasukan bar-bar Mongolia yang dipimpin Jenghis Khan yang terkenal sadis dan
haus darah. Setelah berhasil menguasai daratan Cina, maka pasukan bar-bar Mongolia
Jenghis Khan menyerang pusat-pusat peradaban Islam yang tengah mengalami
kelalaian akibat kemegahan yang mereka alami.
Pada mulai tahun 1258 M, Bagdad sebagai pusat Khilafah Islamiyah jatuh ke
tangan tentara Mongol dan mengalami penghancuran demi penghancuran. Para ahli
sejarah menggambarkan Sungai Tigris dan Eufrat berubah menjadi hitam bercampur
merah akibat darah kaum muslimin dan tinta dari buku-buku yang mengandung
peradaban Islam yang mengalir ke sungai tersebut. Sementara pasukan Mongol tidak
berhenti sampai di Bagdad, namun terus menguasai wilayah-wilayah Islam lainnya.
Dan hampir semua dunia Islam Arab bertekuk lutut kepada kekejaman tentara bar-bar
Mongol. Bahkan tentara bar-bar berhasil menguasai pusat-pusat peradaban Barat di
Roma, Yunani dan lainnya. Itulah sebabnya Jenghis Khan dijuluki sebagai penakluk
terbesar dengan wilayah jajahan 4 kali lebih besar dari jajahan yang dilakukan
Alexander The Great (Iskandar Zulkarnain) ataupun penaklukan Muslim.
Keadaan ini telah mendorong hijrah besar-besaran kaum muslimin, baik para
pemimpin, ulama, cendekiawan, ilmuawan dan lainnya ke negeri muslim yang lebih
aman dari pembantaian tentara Jenghis Khan. Salah satu pilihan terbaik adalah
berhijrah ke Kerajaan Islam Pasai yang memang sudah menjadi bagian penting dari
jaringan Khilafah Islamiyah yang diwariskan turun temurun oleh Kerajaan Islam di
Sumatra sejakan zaman Khalifah Umar bin Khattab. Apalagi sebelumnya, para Raja
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 61
Muslim di Sumatra, termasuk di Pasai adalah berasal dari negeri Arab dan Persia yang
memiliki hubungan kekerabatan dengan para penguasa di tanah Arab, terutama yang
memiliki garis keturunan dengan Bani Quraisy, baik keturunan Rasulullah (Ahlul Bayt),
Bani Umayyah ataupun Abbasyiah.
Dengan datangnya para pemimpin, ulama, cendekiawan, ilmuawan dan lainnya
ke Pasai, maka secara otomatis Pasai bangkit menjadi sebuah kekuatan baru di Pulau
Sumatra. Kedatangan para Muslim dari Bagdad dan pusat-pusat peradaban Islam
disekitarnya seperti Samarkand, Bukhara dan lainnya telah memberikan kedudukan
baru kepada Pasai sebagai sebuah pusat pertumbuhan peradaban Islam di kawasan
alam Asia Tenggara, yang terbentang dari Sumatra, Semenanjung Melayu, Borneo,
Cilabes, Mindanao, Maluku sampai ke Australia dan Kepulauan Hawai.
Kepemimpinan Sultan Malik al-Saleh yang didukung oleh kaum muslimin
terbaik yang hijrah ke Pasai telah membangkitkan Kerajaan Pasai menjadi pusat sentral
kekuatan dunia Islam di sebelah timur, baik kekuatan politik, ekonomi sekaligus
sebagai pusat kebangkitan peradaban Islam, sebagai kelanjutan dan kesinambungan
dari peradaban Islam yang telah berkembang di dunia Arab, baik Syam, Persia, Bagdad
dan lainnya. Dan akhirnya, dengan kemajuan-kemajuan yang digapainya, tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa Kerajaan Islam Pasai menjadi Pusat Khilafah Islamiyah
yang menggantikan peranan Bagdad, terutama sebagai pusat pengembangan kekuatan
politik, pertahanan, ekonomi dan peradaban. Realitas inilah yang telah mengkwatirkan
Kerajaan Hindu Jawa-Majapahit sehingga berniat untuk menyerang dan menaklukkan
Pasai. Namun menaklukkan Pasai di puncak kegemilangannya dengan sumber daya
manusia unggul dari penjuru dunia, bukanlah perkara mudah. Kegagalan Majapahit
dalam menaklukkan Pasai inilah yang selanjutnya mendorong para pemimpin Kerajaan
Pasai untuk menaklukkan Majapahit yang semakin melemah.
Pada tahap awal, menaklukkan Jawa-Majapahit bukanlah menjadi prioritas dari
Kerajaan Islam Pasai yang kini telah menjadi Pusat Khilafah Islamiyah di timur.
Prioritas utama adalah menyelamatkan dunia Muslim Arab, khususnya Mekkah al-
Mukarramah dari ancaman pasukan bar-bar Mongol yang haus darah. Sekaligus
mengkonsolidasi kekuatan dunia Muslim dengan menggalang kerjasama dengan para
pemimpin Islam, baik di dunia Arab, Persia sampai ke daratan Cina kecil. Berkat
persatuan aliansi Kerajaan Islam di Dunia Arab, Persia dan Cina dengan pusat kordinasi
di Pasai, maka kekuatan Mongolpun dapat dijinakkan, sekaligus mengislamkan
pemimpinnya, Timur Lank, cucu dari Jenghis Khan. Dan sejak saat itu, kekuatan Islam
terbentang dari dunia Afrika, Arab, Persia, Asia Tengah, Mongolia sampai ke Cina, dan
tentu Pasai sebagai salah satu poros kekuatan di Asia Tenggara yang dikenal bangsa
Arab dengan bilad Tahta Jawi atau Negeri Bawah Angin, yang akhirnya sisebut Jawi saja
atau Jawa sekarang.
Kebesaran dan kemegahan Kerajaan Islam Pasai, yang dikenal dengan Samudra
Pasai, juga telah mempengaruhi nama dari pulau yang sekarang bernama Sumatra.
Sebagaimana diterangkan terdahulu, Samudra, jika dibaca dengan lidah asing akan
terdengar sebagai Samutra, yang akhirnya berevalusi menjadi Sumatra, yang menjadi

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 62


sebutan bagi pulau besar sebelah barat, yang terbentang sepanjang Salahit atau Selat,
yang sekarang dinamakan dengan Selat Malaka.
Letak georafi Kerajaan Pasai yang strategis, yang di dukung oleh alamnya yang
subur, digerakkan oleh masyarakat kosmopolit dizamannya yang berhijrah pasca
kejatuhan Bagdad serta dukungan kebijakan penguasa, telah mengantarkan Pasai
menjadi salah satu bintang kebangkitan Islam di timur. Kebesaran nama Pasai telah
mendorong kedatangan para cerdik pandai Muslim dari negeri Arab, Persia, India dan
lainnya untuk membangun kekuatan baru, baik secara politik maupun ekonomi.
Sepeninggal Sultan Malik al-Salih, Kerajaan Pasai berkembang dengan pesatnya
di bawah kepemimpinan keturunan beliau yang tetap menjalankan kebijakan yang telah
digariskan para pendahulunya, bahwa Pasai sebagai penggerak dan pusat Islamisasi
Nusantara. Ibnu Batutah, seorang musafir dan peneliti sosial asal Maroko telah
mengunjungi Kerajaan Pasai antara tahun 1345-1346 Masehi. Dia menyebutkan dalam
catatannya bahwa kerajaan ini sudah maju dalam perdagangan; hubungan dagang telah
diadakan secara luas dengan Tiongkok dan India. Sultan Malik al-Zahir, yang
memerintah Kerajaan Pasai pada waktu itu, adalah seorang sultan yang saleh lagi
sangat taat kepada agama. Ia bermazhab Syafie dan sangat gemar mengadakan
pertemuan ilmiah, dengan para ulama untuk berdiskusi tentang masalah-masalah
agama. Setiap hari jum’at ia pergi ke masjid dengan berjalan kaki. Ibnu Batutah juga
menyebutkan sejumlah ulama menjadi pembesar istana, antara lain: Amir Daulasa dari
Delhi, Qadi Amir Said dari Shiraz dan ahli hukum Tajudin dari Isfahan. Pengamatannya
menyimpulkan bahwa pada saat itu, Kerajaan Pasai dalam kemakmuran dan kedamaian
yang luar biasa. Hal ini dibuktikan ketika Sultan mengadakan acara pernikahan putra
beliau yang menggambarkan kebesaran dan kemewahan istana Kerajaan Pasai.
Perkembangan pesat Kerajaan Pasai yang telah mengantarkan kemakmuran dan
kebesaran masyarakatnya, dan terutama kemampuannya sebagai pelopor dan
penggerak Islamisasi di Nusantara, telah menimbulkan hasud dan dengki kerajaan-
kerajaan lainnya, terutama kerajaan Budha Thailand yang bekerjasama dengan kerajaan
Jawa-Hindu Majapahit yang telah merancang penyerangan dan penghancuran Kerajaan
Pasai dengan berbagai cara agar melemahkan semangat Islamisasi di Nusantara. Pada
pertengahan abad ke 14 Masehi Kerajaan Majapahit melakukan penyerangan terhadap
Kerajaan Pasai yang mendapat perlawanan hebat dari para mujahidin Pasai yang telah
mendapat pendidikan kerohanian dari para Wali, sehingga banyak menimbulkan
korban di kedua belah pihak. Bahkan dikabarkan, Mahapatih Gadjah Mada yang
memimpin penyerangan ke Pasai telah menjadi korban dan terbunuh ketika melarikan
diri. Itulah sebabnya Kerajaan Pasai tetap eksis dan bangkit kembali menjadi salah satu
Kerajaan Islam yang terkuat di Asia Tenggara.
Kemakmuran dan kebesaran Pasai dalam abad-abad berikutnya, bukan saja telah
menjadikannya sebagai pusat penyebaran agama Islam dengan mengirimkan para
muballigh ke tempat-tempat yang diperlukan, terutama ke Patani, Malaka, Borneo, Jawa
sampai Mindanao dan Maluku. Tetapi juga sebagai pusat pengajian tinggi Islam di
mana berkumpul berbagai ulama dan sarjana yang mengajar dan membahas masalah-
masalah agama serta menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan yang muncul dan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 63


datang dari daerah-daerah sekitar Asia Tenggara. Disebutkan dalam Sejarah Melayu
bahwa seorang ulama sufi dari Mekkah, Syekh Abu Ishak telah menulis sebuah buku
berjudul Durr al-Manzum, yang terdiri dari dua bab, pertama tetang zat Allah dan kedua
tentang sifat Allah. Atas anjuran muridnya Maulana Abu Bakar, kitab tersebut ditambah
bab ketiga tentang af’al Allah (perbuatan Allah). Kemudian Maulana Abu Bakar
membawa kitab tersebut ke Sultan Malaka, Sultan Mansyur Syah. Sultan menerima
kitab tersebut dengan upacara khusus kebesaran seperti menyambut tamu kehormatan
Kerajaan. Selanjutnya kitab tersebut dikirim ke Pasai untuk diberi penjelasan lebih
mendalam oleh seorang ulama Pasai bernama Makhdum Patakan. Pemahaman
keislaman para Sultan, Ulama, Cendekiawan dan rakyat Pasai pada saat itu berkembang
pesat, yang tidak hanya membahas aspek-aspek fiqih dan hukum semata, namun sudah
mencapai pembahasan yang bersifat ”esoterik” sebagaimana yang dibuktikan dengan
beberapa jawaban Ulama Pasai bernama Makhdum Muda kepada Sultan Malaka yang
telah mengutus Tun Bija Wangsa.
Kebesaran dan kemakmuran Kerajaan Pasai akhirnya telah mengantarkannya
sebagai pusat rujukan dan pengembangan pemikiran Islam di timur jauh, tempat
berkumpul para Ulama dan Cendekiawan membahas masalah-masalah keagamaan dan
tentunya sebagai pusat pendidikan tingkat tinggi keislaman. Itulah sebabnya Kerajaan
Pasai dianggap oleh daerah-daerah lain di Nusantara sebagai pusat rujukan dan fatwa
yang berwenang dalam menyelesaikan masalah-masalah agama. Hal ini memang sangat
memungkinkan, sebagaimana disebutkan Ibnu Batutah, bahwa di Kerajaan Pasai telah
tinggal beberapa jenis Ulama dan Cendekiawan, seperti ahli hukum Islam, para penyair,
para hukama (ahli filsafat) dan lain-lain.
Peran sentral Kerajaan Pasai sebagai motor penggerak Islamisasi di Nusantara,
terutama menjelang abad ke 15 Masehi semakin menonjol, sehingga banyak menarik
minat para Cendekiawan Muslim dari seluruh penjuru dunia untuk datang. Di antara
tokoh yang nantinya sangat berpengaruh dalam Islamisasi Nusantara, khususnya
Islamisasi Jawa yang masih di bawah dominasi Kerajan Hindu-Budha, adalah Saiyid
Hussein Jamadul Kubra dengan dua orang anaknya, Maulana Ishak dan Maulana Malik
Ibrahim yang datang dari derah Samarkand, Parsia. Kedatangan tokoh-tokoh Ulama
dan Cendekiawan besar dunia Islam, baik dari Yaman, Hadramaut, Maroko (Maghribi),
Persia maupun India dan lain-lainnya, benar-benar telah menjadikan Pasai sebagai
poros baru peradaban Islam, khususnya dalam pengembangan pemikiran keislaman
atau selanjutnya berperan dalam melahirkan gerakan-gerakan seperti Wali Sembilan
yang telah mengislamkan tanah Jawa dengan pendekatannya yang khas.

Gerakan Auliya Sikureng (Wali Sembilan) Kerajaan Islam Pasai


Bumi Aceh sangat terkenal dengan bumi para auliya. Namun tidak banyak di
antara orang-orang Aceh sendiri yang dapat menyebutkan nama-nama para wali yang
telah berperan mengembangkan Islam sehingga menjadikan Aceh sebagai bangsa maju
dan besar, sehingga menjadi pelopor dalam dakwah Islamiyah. Ironisnya, ada di antara
auliya yang berasal dari tanah Aceh, namun tidak dikenal oleh bangsa asalnya, namun
sangat terkenal di tanah Jawa.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 64


Misalnya Wali Sembilan, auliya sikureung, yang di tanah Jawa sangat terkenal
dengan sebutan Wali Songo. Mereka adalah para tokoh penggerak Islamisasi di
Nusantara yang telah berperan aktif dalam pendirian Kerajaan Demak, sebagai Kerajaan
Islam pertama yang telah mengakhiri riwayat kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu
Majapahit, simbol kemegahan masyarakat Hindu Jawa. Disamping itu mereka juga
telah mendirikan Kerajaan Islam dari Pattani, Champa, Kelantan, Brunei, Sulu,
Mindanao, Pontianak, Banten, Makassar sampai Maluku dan Fak-Fak Papua. Namun
tidak banyak yang mengetahui, dari manakah asal para auliya ini dan dimanakah pusat
gerakan mereka dalam mengislamisasikan Nusantara.
Sampai sekarang banyak para peneliti, baik yang Muslim dan non Muslim
berbeda pendapat tentang asal-usul mereka. Ada yang menyatakan mereka berasal dari
negeri Cina, Turki, Bukhara (Rusia) dan lain-lainnya sehingga menimbulkan kekeliruan
sejarah yang berdampak buruk pada kebenaran sejarah Islam yang sepatutnya menjadi
teladan dan pengajaran generasi masa kini. Maka untuk meluruskan kekeliruan
tersebut, diperlukan sebuah penelitian menyeluruh terhadap peristiwa-peristiwa yang
berkaitan dengan sejarah para wali ini.

Gerakan Wali Sembilan Awal


Wali Sembilan awal, adalah para wali yang telah berperan menggerakkan
dakwah Islamiyah terutama sebelum lahirnya gerakan Wali Sembilan (Wali Songo)
yang terkenal di tanah Jawa. Menurut sejarahnya, para wali ini sangat berperan dalam
mendorong lahirnya gerakan dakwah Islamiyah yang telah melahirkan gerakan Wali
Songo. Boleh dikatakan bahwa wali sembilan awal ini pelopor dan peristis terbentuknya
gerakan yang nantinya dikenal dengan Wali Songo. Bahkan mereka adalah kakek,
bapak atau guru daripada Wali Songo yang telah berhasil mendirikan Kerajaan Islam
Demak, kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri Kerajaan Hindu
Majapahit. Di tanah Jawa memang sejarah mereka tidak banyak beredar sehingga nama
mereka tidak dikenal luas, kecuali beberapa orang seperti Sayyid Jamaluddin al-Husein
dan Maulana Malik Ibrahim. Tapi di Champa, Pattani, Kelantan dan Semenanjung
Malaya nama mereka sangat terkenal, bahkan keturunan mereka sampai sekarang
menjadi Sultan di Malaysia.
Karena dalam tulisan ini hanya membahas peranan para wali di sekitar Kerajaan
Pasai dan yang berperan atau berhubungan dengan gerakan Wali Songo di tanah Jawa,
maka penulis hanya membatasinya dengan tokoh-tokoh yang hidup disekitar Pasai dan
memiliki peranan langsung dengan Wali Songo. Menurut penelitian penulis, mereka
yang dapat dikategorikan sebagai Wali Sembilan Awal adalah: (1).Sayyid Jamaluddin
Syah Jalal, (2).Sayyid Qamaruddin Syah Jalal, (3).Sayyid Majduddin Syah Jalal,
(4).Sayyid Tsanauddin Syah Jalal, (5).Maulana Malik Ibrahim, (6).Maulana Sayyid
Ibrahim Sayyid Jamaluddin, (7).Sayyid Wan Abdullah Sayyid Jamaluddin (Wan
Bo/Raja Champa), (8).Sayyid Ali Nurul Alam Sayyid Jamaluddin (Raja Kelantan), (9).
Sultan Malik Al-Zahir II (Sultan Pasai).

Sayyid Jamaluddin Kubra (Maulana Sayyid Akbar-Sayyid Hussein Jamadil Kubra)


Martin Van Bruinessen telah memetik tulisan Sayyid ‘Al-wi Thahir al-Haddad,
dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren ..“Putra Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara-

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 65


saudaranya (wali no 1 sd no 6) konon telah mengembara ke Asia Tenggara.....
Jamaluddin sendiri pertamanya menjejakkan kakinya ke Aceh (Pasai) dan Kamboja,
Pattani kemudian belayar ke Semarang dan menghabiskan waktu bertahun-tahun di
Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke Pulau Bugis, di mana dia
meninggal.” (al-Haddad 1403 :8-11). Diriwayatkan pula anaknya, Sayyid Ibrahim (wali
no 6) ditinggalkan di Aceh (Pasai) untuk mendidik masyarakat dalam ilmu keislaman.
Kemudian, Sayyid Jamaluddin ke Majapahit, selanjutnya ke negeri Bugis, lalu
meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan). Tahun kedatangannya di Sulawesi adalah
1452M dan tahun wafatnya 1453M”. Inilah tokoh utama Wali Sembilan Awal, atau yang
menjadi jalan lahirnya Wali Sembilan atau Wali Songo yang terkenal di tanah Jawa.
Sayyid Syah Ahmad atau ayahanda Sayyid Jamaluddin adalah seorang
Gubernur di zaman Maharaja India dari Kesultanan Delhi yang bernama Sultan
Muhammad Taghlug yang memerintah pada tahun 1325-1351. Beliau adalah keturunan
dari Sayyid Ahmad Isa Al-Muhajir dari jalur Sayyid Abdul Malik Alawi yang lahir di
kota Qasam, Hadramaut yang berhijrah ke India dan mendapat kedudukan terhormat
di Kesultanan Islam India masa itu. Pada pertengahan abad 14 M, anak Sayyid Syah
Ahmad yang bernama Sayyid Jamaluddin Al-Hussein meninggalkan India untuk
mengembangkan dakwah Islamiyah ke sebelah timur, menuju Kerajaan Islam Pasai
yang telah berkembang menjadi pusat Islamisasi Nusantara dan telah menggantikan
peranan Bagdad yang hancur lebur akibat penyerangan tentara bar-bar Mongolia.
Adapun silsilah lengkap Sayyid Jamaluddin adalah : Jamaluddin Al-Husain
(Sayyid Hussein Jamadil Kubra ) bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alawi
Amal Al-Faqih bin Muhammad Syahib Mirbath bin ‘Ali Khali’ Qasam bin Alawi bin
Muhammad bin Alawi bini Al-Syeikh Ubaidillah bin Ahmad Muhajirullah bin ‘Isa Al-Rumi bin
Muhammad Naqib bin ‘Ali Al-Uraidhi bin Jaafar As-Sadiq bin Muhammad Al-Baqir bin ‘Ali
Zainal Abidin bin Al-Hussein bin Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW.
Rombongan Sayyid Jamaluddin tiba di Kerajaan Islam Pasai diperkirakan pada
zaman pemerintahan Sultan Malik al-Zahir II antara tahun 1360an M. Pada masa inilah
masa-masa puncak kegemilangan Kerajaan Islam Pasai yang terkenal ke seluruh
penjuru dunia sebagai Kerajaan Samodra yang berpusat di Pasai. Kegemilangnnya
Kerajaan Samodra telah mempengaruhi nama dari pulau tempat Kerajaan Islam ini,
Sumatera, (Samodra-Samotra(arab)-Sumatera(eropa). Rombongan para Sayyid dari
Kerajaan Islam Tughlug India ini mendapat sambutan dan penghormatan besar di
Kerajaan Islam Pasai, karena mereka adalah para Ulama dan Maulana yang menjadi
guru pengajaran Islam. Apalagi Sultan Malik al-Zahir II dan ayahandanya, Sultan Malik
al-Zahir atau kakeknya Sultan Malik al-Saleh adalah keturunan dari para Sultan Perlak
(Maulana Abdul Aziz Syah) dan Raja Jeumpa (Syahir Nawi-Shahriansyah Salman) yang
kedua-dunya bertemu pada jalur Ja’far Shadiq, cucu dari Sayyidina Hussein bin
Fatimah binti Rasulullah saw.
Menurut catatan Ibn Batutah dalam Rihlah Ibnu Batutah, jilid II, hal. 185-187 dan
209-210, Sultan Malik al-Zahir II, yang memerintah Kerajaan Pasai pada waktu itu,
adalah seorang sultan yang saleh lagi sangat taat kepada agama dan sangat gemar
mengadakan pertemuan ilmiah, dengan para ulama untuk berdiskusi tentang masalah-
masalah agama. Setiap hari jum’at ia pergi ke masjid dengan berjalan kaki. Ibnu Batutah
juga menyebutkan sejumlah ulama menjadi pembesar istana, antara lain: Amir Daulasa

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 66


dari Delhi, Qadi Amir Said dari Shiraz dan ahli hukum Tajudin dari Isfahan.
Pengamatannya menyimpulkan bahwa pada saat itu, Kerajaan Pasai dalam
kemakmuran dan kedamaian yang luar biasa. Hal ini dibuktikan ketika Sultan
mengadakan acara pernikahan putra beliau yang menggambarkan kebesaran dan
kemewahan istana Kerajaan Pasai.
Itulah sebabnya mengapa rombongan Sayyid Jamaluddin dan Maulana Malik
Ibrahim mendapat sambutan dan penghormatan luar biasa oleh Sultan dan para
petinggi Kerajaan Pasai. Karena memang sebelumnya hubungan antara Pasai dengan
Delhi, sebagai negeri asal rombongan Sayyid Jamaluddin, sudah terhubung rapat yang
dibuktikan dengan adanya ulama besar dari Delhi di Kerajaan Pasai, Maulana Amir
Daulasa sebagaimana disebutkan Ibnu Batutah. Mungkin saja kedatangan Sayyid
Jamaluddin merupakan sebuah kelanjutan muhibbah antara Pasai dan Delhi. Maka
tidak mengherankan apabila Sayyid Jamaluddin memilih Pasai sebagai tujuannya,
karena kebesaran Pasai sudah menjadi legenda di Kerajaan Delhi.
Sebagaimana kedudukan Maulana Amir Daulasa pada Kerajaan Pasai, maka
tidak diragukan bahwa Sayyid Jamaluddin dengan rombongannya, termasuk Grand
Master gerakan Wali Songo di tanah Jawa, Maulana Malik Ibrahim, juga mendapat
kedudukan terhormat di Kerajaan Pasai. Mereka telah menjadi tokoh-tokoh utama dan
sentral yang mempengaruhi kebijakan Kerajaan Islam Pasai, khususnya pada zaman
pemerintahan Sultan Malik al-Zahir II, atau penggantinya Sultan Zainal Abidin dan
Sultan Salahuddin. Peranan mereka bukan hanya sebagai tokoh agama saja, tapi juga
mengurusi masalah-masalah politik internasional, membangun jaringan politik
internasional yang menghubungkan antara dunia Arab, Parsia, India, Cina dengan
dunia Islam Nusantara yang berpusat di Kerajaan Islam Pasai. Di antara fokus mereka
adalah mengembangkan kekuasaan Kerajaan Islam Pasai ke seluruh Nusantara agar
menjadi patron bagi Kerajaan Islam di seluruh Nusantara. Karena dengan semakin
besarnya kekuasaan dan wilayah Kerajaan Pasai akan mempermudah gerakan
Islamisasi Nusantara, termasuk startegi jitu untuk meredam perkembangan Kerajaan
Budha Thailand di sebelah barat dan Kerajaan Hindu Majapahit di sebelah timur.
Sayyid Jamaluddin menikah dengan salah seorang puteri di Kerajaan Pasai yang
dikenal dengan ”Putri Jeumpa”, yang juga saudara ipar dari Sultan Malik al-Zahir II,
Sultan Pasai. Jadi Sayyid Jamaluddin dengan Sultan Malik al-Zahir II sepengambilan
(biras). Pernikahan Sayyid Jamaluddin ini melahirkan putera yang bernama Sayyid
Ibrahim al-Akbar (bukan Maulana Malik Ibrahim). Selanjutnya Sayyid Ibrahim
mendapat pendidikan dari Maulana dan Ulama Kerajaan Pasai. Beliau menikah dengan
kerabat bangsawan Kerajaan Pasai, yang dikenal dengan julukan ”Putri Jeumpa”
bernama Candra Wulan. Puteri inilah bersaudara dengan ”Puteri Jeumpa” dari kerabat
Kerajaan Pasai yang terkenal bernama Darwati (Dwarawati) yang menjadi Maha Ratu
dari Raden Brawijaya V dari Kerajaan Jawa-Majapahit. Perkawinan Sayyid Ibrahim
dengan Putri Candra Wulan telah melahirkan dua orang putera yang menjadi Ulama
besar, yaitu Maulana Sayyid Ishaq yang menjadi Ulama dan penasihat utama Sultan
Pasai di zaman Sultan Zainal Abidin dan Sultan Salahuddin, dan beliau juga sekaligus
ayahanda dari Raden Paku atau Sunan Giri, anggota Wali Songo. Putra yang lain adalah
Maulana Sayyid Rahmatullah yang di tanah Jawa terkenal dengan Raden Sayyid

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 67


Rahmat atau Sunan Ampel yang menjadi pemimpin utama Wali Songo di tanah Jawa.
Beliau lahir pada tahun 1401 M di lingkungan istana Kerajaan Pasai.
Setelah mempersiapkan diri dengan berbagai perlengkapan dakwah di Kerajaan
Islam Pasai, maka berangkatlah ke arah barat, Sayyid Jamaluddin Syah Jalal bersama
beberapa Maulana untuk mengislamkan negeri Siam (Thailand), Cina Kecil dan
Semenanjung Melayu. Beliau berhasil mengislamkan beberapa kawasan seperti
Champa, Senggora, Pattani, Kelantan, Kedah dan sekitarnya. Kemudian beliau
mendirikan Kerajaan Islam di Champa dan mengangkat anaknya bernama Wan Bo atau
Wan Abdullah menjadi Sultan Champa pertama. Selanjutnya beliau mendirikan
Kerajaan Islam di Pattani dan Kelantan. Walaupun secara politik beliau tidak dapat
menaklukkan Kerajaan Budha Siam (Thailand) yang memiliki kekuatan besar, namun
beliau telah meletakkan dasar-dasar dakwah Islamiyah di wilayah tersebut. Di Kelantan
Sayyid Jamaluddin menikah dan memiliki putra bernama Sayyid Ali Nurul Alam.
Sementara Sayyid Ali Nurul Alam memiliki dua orang putera yang menjadi Sultan,
yaitu Syarif Hidayatullah yang dibesarkan di Pasai dan menjadi Sultan Kerajaan Islam
Banten-Jawa Barat pertama dan Sultan Ba’abullah yang menjadi Sultan Ternate-Maluku.
Selanjutnya Sayyid Jamaluddin berangkat ke Majapahit mendukung perjuangan
Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu mengembangkan dakwah. Setelah beberapa
lama beliau ke negeri Bugis, lalu meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan). Tahun
kedatangannya di Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453M”.

Maulana Malik Ibrahim bin Sayyid Husein Jamadil Kubra


Adapun Wali Sembilan Awal yang berdakwah ke timur (Jawa-Majapahit) adalah
Maulana Malik Ibrahim. Beliau adalah tokoh paling senior dan Grand Master dalam
gerakan para Wali yang di tanah Jawa dikenal dengan Wali Songo. Pada awal abad ke
14, beliau berangkat ke tanah Jawa dan memusatkan gerakan dakwahnya di daerah
pelabuhan sekitar kota Gresik dan Tuban Jawa Timur, berdekatan dengan pusat
Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit. Namun dakwahnya tidak mendapat sambutan akibat
besarnya pengaruh Kerajaan Hindu-Majapahit terhadap rakyatnya, karena Raja
Majapahit dianggap titisan Dewa oleh rakyatnya, sehingga mereka tidak berani untuk
menentang atau berbeda pendapat dengan Maha Raja. Maulana Malik hanya dapat
mengislamkan rakyat jelata dari kasta rendah, sementara kalangan istana Majapahit
menolak dakwahnya.
Sebagai seorang pejuang dan pendakwah Islam kawakan sekaligus sebagai
utusan Kerajaan Islam Pasai, Maulana Malik tidak pernah berputus asa untuk
berdakwah. Beliau bersama dengan para pendakwah lainnya mendirikan pusat
Islamisasi dan pendidikan seperti sistem pondok pesantren untuk mendidik para
pendakwah Islam Gresik Tuban Jawa Timur. Beliau juga mempelajari seluk beluk
masyarakat Jawa secara mendalam, dan berkesimpulan bahwa dakwah Islam akan
mudah diterima apabila telah dianut oleh kalangan Kerajaan Majapahit. Maka atas
nama Kerajaan Pasai beliau datang sebagai utusan diplomatik sekaligus sebagai
pendakwah Islam. Beliau juga merancang agar salah seorang Puteri Kerajaan Pasai
terbaik yang sudah muslimah dan bertaraf kader dakwah dapat menjadi Permaisuri
Kerajaan Majapahit. Tujuannya jelas agar Sang Puteri Pejuang ini dapat memberi jalan
bagi perkembangan dakwah Islamiyah ke dalam istana Kerajaan Hindu-Majapahit

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 68


kelak. Maka bersama-sama dengan para alim ulama dan Sultan, diputuskan Puteri
terbaik itu jatuh pada Putri Jeumpa Darwati (Dwarawati), saudara ipar dari Sayyid
Ibrahim al-Akbar atau saudara ibunda Maulana Sayyid Rahmatullah (Sunan Ampel).
Dipilihnya Putro Dwarawati sebagai pejuang garda terdepan dakwah Islamiyah
ke jantung kekuatan Kerajaan Hindu terbesar Majapahit, tentu bukan asal-asalan, tapi
tentu dengan pertimbangan fatwa agama dan politik tingkat tinggi. Karena tidak
dimungkinkan seorang wanita muslimah untuk menikah dengan seorang Hindu. Tapi
fatwa telah diputuskan oleh Ulama dan Maulana dari Kerajaan Pasai dengan
pertimbangan fiqh yang lebih luas dan tingkat tinggi, demi untuk kepentingan dakwah
dan perkembangan Islam.
Berkat diplomasi ulungnya, maka Raden Prabu Brawijaya V, Maha Raja
Majapahit menikah dengan Putro Darwati (Dwarawati), Puteri Jeumpa yang telah
menjadi keluarga besar Kerajaan Islam Pasai. Pernikahan ini telah melahirkan Raden
Fatah yang kelak menjadi Sultan Islam pertama di tanah Jawa. Setelah Raden Fatah
lahir, maka Putro Darwati meninggalkan istana Majapahit menuju Kerajaan Islam
Palembang untuk membesarkan anaknya dengan suasana yang Islam agar kelak
menjadi pemimpin Islam di tanah Jawa.
Maulana Malik Ibrahim meninggal tahun 1419 di Gresik, Tuban Jawa Timur.
Raffles menyebutnya sebagai orang besar, sementara sejarawan G.W.J. Drewes
menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang pertama-tama dipandang
sebagai wali di antara para wali. ''Ia seorang mubalig paling awal,'' tulis Drewes dalam
bukunya, New Light on the Coming of Islam in Indonesia. Gelar Syekh dan Maulana,
yang melekat di depan nama Malik Ibrahim, menurut sejarawan Hoessein
Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia ulama besar. Gelar tersebut hanya
diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya derajat tinggi.
Peran terbesar dari Wali Sembilan Awal ini adalah memperkuat sistem di
Kerajaan Islam Pasai sehingga menjadi sebuah Kerajaan yang menjadi poros dan pusat
Islamisasi di Nusantara. Kehadiran mereka memperkuat Kerajaan Islam Pasai yang
sudah mulai mengalami kegemilangan di zaman Sultan Malik al-Saleh dan
penggantinya Sultan Malik al-Zahir. Dengan pengetahun dan pengalaman yang mereka
miliki di Kerajaan Delhi, para wali telah menjadi guru bagi bangsawan Pasai. Demikian
pula, mereka telah berhasil mendirikan perwakilan atau jaringan Kerajaan Pasai di
Champa (Kambodia), Pattani, Senggora (Thailand), Kedah, Kelantan, Malaka (Malaya)
dan sampai ke Borneo dan Sulu-Mindanao di Filipina. Walaupun mereka tidak berhasil
menaklukkan Kerajaan Budha Siam (Thailand), namun mereka sudah mengepung
Kerajaan Budha ini dari sebelah barat dengan berdirinya Kerajaan Champa dan dari
sebelah timur dengan berdirinya Kerajaan Pattani dan Senggora. Sehingga Kerajaan
Budha Siam akan berpikir panjang untuk menyerang kembali Kerajaan Pasai sebagai
jantung Islamisasi Nusantara. Maka tugas untuk menyempurnakan dakwah dan
perjuangan mereka kini diembankan kepada generasi sesudah mereka yang di
kemudian hari di kenal dengan Wali Songo.

Wali Sembilan – Wali Songo di Tanah Jawa


Istilah Wali Songo sangat populer di tanah Jawa, namun para ahli berbeda
pendapat tentang asal usul mereka. Perbedaan ini terjadi karena kesalahan dalam

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 69


memahami Jeumpa di wilayah Aceh (Bireuen) sebagai Champa yang berada di
Kamboja. Akibatnya banyak penyimpangan sejarah yang terjadi. Bahkan kemudian ada
yang menyimpulkan bahwa para wali berasal dari Cina. Di antara ahli sejarah yang
berpendapat ”Champa” sebagai asal para Wali juga merupakan wilayah yang terkenal
dan berpengaruh pada proses Islamisasi Nusantara adalah Jeumpa di Aceh, seperti TS.
Rafless, Prof. Hamka dan Prof. Saifuddin Zuhri, Prof. A. Hasymi dan lain-lainnya.
Dengan pemahaman ini, maka sejarah dapat diluruskan sebagaimana adanya.
Pendapat yang menyatakan bahwa para Wali, terutama Raden Rahmat (Sunan
Ampel) berasal dari Champa di Kambodia, perlu diluruskan dengan beberapa fakta,
diantaranya adalah: Keadaan Champa Kambodia ketika zaman Maulana Rahmatillah
(awal abad 15 M) sedang huru hara dan terjadi pembantaian terhadap kaum Muslim
yang dilakukan oleh Dinasti Ho yang membalas dendam atas kekalahannya pada
pasukan Khulubay Khan, Raja Mongol yang Muslim. Keadaan ini sangat jauh berbeda
dengan keadaan Jeumpa yang menjadi mitra Kerajaan Pasai pada waktu itu yang
menjadi jalur laluan dan peristirahatan menuju kota besar seperti Barus, Fansur dan
Lamuri dari Pasai ataupun Perlak. Kerajaan Pasai adalah pusat pengembangan dan
dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dan maulana dari seluruh penjuru dunia.
Sementara para sultan adalah diantara yang sangat gemar berbahas tentang masalah-
masalah agama, di istananya berkumpul sejumlah ulama besar dari Persia, India, Arab
dan lain-lain, sementara mereka mendapat penghormatan mulia dan tinggi . Dan Sejarah
Melayu menyebutkan bahwa ”segala orang Samudra (Pasai) pada zaman itu semuanya
tahu bahasa Arab.
Menurut beberapa catatan, Champa di Kambodia sedang di perintah oleh Chế
Bồng Nga antara tahun 1360-1390 Masehi, dikenal dengan The Red King (Raja Merah)
seorang Raja terkuat dan terakhir Champa. Tidak diketahui apakah Raja ini Muslim
atau Budha sebagaimana mayoritas penduduk Kambodia masa ini dengan banyak
peninggalan kuil-kuilnya. Beliau berhasil menyatukan dan mengkordinasikan seluruh
kekuatan Champa pada kekuasaannya, dan pada tahun 1372 menyerang Vietnam
melalui jalur laut. Champa berhasil memasuki kota besar Hanoi pada 1372 dan 1377.
Pada penyerangan terakhir tahun 1388, dia dikalahkan oleh Jenderal Vietnam Ho Quy
Ly, pendiri Dinasti Ho . Che Bong Nga meninggal dua tahun kemudian pada 1390.
Tidak banyak catatan hubungan Penguasa Champa ini dengan Islam, apalagi tidak
didapat bekas-bekas kegemilangan Islam, sebagaimana yang ditinggalkan para
pendakwah di Perlak, Pasai ataupun Malaka. Tidak mungkin seorang ulama besar
dapat lahir dalam suasana yang tidak kondusif seperti di Kambodia masa itu.
Maka tidak diragukan bahwa Wali Sembilan Awal, Sayyid Hussein Jamadil
Kubra, Maulana Malik Ibrahim ataupun Sayyid Ibrahim, ayahanda Maulana
Rahmatullah, menjadikan Kerajaan Islam Pasai yang sudah berkembang pesat sebagai
pusat pengajaran Islam menjadi basis awal perjuangan mereka dalam
mengislamisasikan Nusantara. Apalagi diketahui para Sultan sejak Sultan Malik al-Salih
adalah orang-orang yang alim dan taat beragama serta memiliki komitmen yang kuat
terhadap penyebaran dakwah Islamiyah. Kerajaan Islam Pasai yang sudah menjadi
patron kerajaan-kerajaan Islam yang baru berdiri di wilayah Nusantara sangat
berkepentingan untuk membantu dakwah Islamiyah para Wali, disamping sebagai
tuntutan agama sekaligus menjadi strategi untuk mempertahankan eksistensi kerajaan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 70


Islam dari gangguan penyerangan Kerajaan Hindu Majapahit yang berambisi
menguasai Kerajaan Pasai. Kepentingan Sultan Pasai dan para Wali bertemu pada satu
titik utama, mengislamkan Majapahit atau memeranginya sehingga menjadi wilayah
taklukan Kerajaan Islam Pasai.
Gerakan dakwah Islamiyah yang juga sekaligus merupakan gerakan penaklukan
kerajaan-kerajaan Hindu Nusantara dilakukan secara simultan dan teristematis oleh
para Wali dan pengikutnya dengan dukungan penuh penguasa Pasai. Kebutuhan
logistik para Wali sampai militer didukung oleh Kerajaan Pasai. Bahkan para Sultan dari
kerajaan-kerajaan Islam yang baru berdiri, seperti di Champa, Pattani, Kelantan sampai
Sulu, Mindanao, Banten, Makassar dan Maluku adalah para kerabat dekat istana Pasai
yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan para Wali. Akhirnya memang gerakan
dakwah Islamiyah para Wali menyatu dengan misi perluasaan wilayah kekuasaan
Kerajaan Islam Pasai. Sebuah langkah strategis dan jenius yang telah menjadikan
Nusantara sebagai wilayah Islam terbesar di dunia sampai saat ini.
Jadi para Wali yang agung dan mulia ini bukan hanya mengajarkan ajaran
agama semata sebagaimana difahami kebanyakan orang. Tapi mereka benar-benar telah
menegakkan Islam secara menyeluruh sesuai dengan perkembangan zaman dan
masyarakatnya. Mereka bukan hanya memahami Islam sebagai sebuah ritual
kerohanian semata, tetapi mereka menegakkan Islam menjadi sebuah sistem sosial dan
pemerintahan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang menegakkan syareat
Islam secara bertahap sesuai pemahaman masyarakat zamannya.

Maulana Rahmatillah bin Sayyid Ibrahim (Sunan Ampel)


Gerakan dakwah Islamiyah Wali Sembilan Awal yang digerakkan Sayyid
Hussein Jamadil Kubra, yang selanjutnya diteruskan Maulana Malik Ibrahim yang telah
wafat tahun 1419 di Gresik, Tuban Jawa Timur ke wilayah timur Pasai, dari Palembang
dan tanah Jawa seterusnya dilanjutkan oleh para sahabat dan muridnya yang datang
silih berganti dari Kerajaan Pasai. Diantara penggantinya yang paling menonjol adalah
anak keponakannya bernama Maulana Rahmatullah, anak dari Sayyid Ibrahim yang
dikenal di tanah Jawa dengan Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Beliau lahir pada
tahun 1401 M di lingkungan istana Kerajaan Pasai dari pernikahan Sayyid Ibrahim bin
Sayyid Jamaluddin al-Hussein dengan seorang Putri bangsawan Jeumpa di kerajaan
Pasai yang bernama Chandra Wulan.
Adapun silsilah keturunan Maulana Rahmat (Sunan Ampel) adalah : Maulana
Rahmatullah bin Sayyid Ibrahim bin Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra )
bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alawi Amal Al-Faqih bin Muhammad
Syahib Mirbath bin ‘Ali Khali’ Qasam bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Al-Syeikh
Ubaidillah bin Ahmad Muhajirullah bin ‘Isa Al-Rumi bin Muhammad Naqib bin ‘Ali Al-
Uraidhi bin Jaafar As-Sadiq bin Muhammad Al-Baqir bin ‘Ali Zainal Abidin bin Al-Hussein bin
Sayyidatina Fatimah (Sayyidina Ali bin Abi Thalib) binti Rasulullah SAW.
Maulana Rahmatullah atau Raden Rahmat yang terkenal di Jawa dengan Sunan
Ampel mendapat pendidikan terbaik dengan sistem terbaik dan termaju saat itu di
Kerajaan Islam Pasai, tempat beliau dilahirkan dan dibesarkan. Karena pada saat itu
Kerajaan Pasai sudah berkembang menjadi sebuah Kerajaan Islam yang kuat dan maju

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 71


serta makmur. Kemajuan dan kemakmuran inilah yang telah mendorong datangnya
para ulama dan cendekiawan seluruh dunia, apalagi para Sultan Pasai adalah orang-
orang yang alim dan saleh yang sangat berminat pada pengembangan agama Islam.
Pada awal abad ke 15 M, Kerajaan Pasai telah berkembang menjadi pusat pengajian
tinggi Islam yang berhubungan langsung dengan pusat-pusat peradaban Islam di
Makkah, Mesir, Persia, India, Andalusia dan lainnya. Di bawah asuhan para ulama,
auliya dan cendekiawan besar di Kerajaan Pasai, Maulana Rahmat yang terkenal cerdas
menjadi seorang ulama dan auliya yang disegani dan sangat diandalkan dalam
penyebaran dakwah Islamiyah, khususnya ke tanah Jawa untuk meneruskan
perjuangan kakeknya, Sayyid Hussein ataupun pamannya, Maulana Malik Ibrahim.
Setelah mendapat pendidikan di Kerajaan Islam Pasai, Maulana Rahmat
berdakwah di pulau Sumatera, bersama dengan para auliya lainnya telah mengislamkan
Kerajaan Palembang. Selanjutnya Maulana Rahmat berhijrah pada tahun 1443 M ke
Jawa. Kehadirannya membawa perubahan besar dalam dakwah Islamiyah di tanah
Jawa. Karena kharisma dan ketinggian ilmunya, beliau sangat disegani oleh para
petinggi Majapahit. Pada saat yang sama, saudara ibunya, Dwarawati sudah menjadi
Maha Ratu Majapahit, yang semakin memudahkan gerakan dakwahnya. Bahkan
bibinya inilah yang mengundang Maulana Rahmat datang ke Kerajaan Majapahit di
tanah Jawa, karena kerajaan Hindu besar ini tengah mengalami masa-masa krisis yang
ditimpa kemunduran akibat perpecahan, perang saudara, perbuatan amoral yang
melanda masyarakat. Diharapkan dengan kehadiran Maulana Rahmat dengan
ketinggian ajaran moralitas Islam keadaan dapat diperbaiki dan mengembalikan
wibawa dan kegemilangan Majapahit.
Dengan senang hati Maulana Rahmat datang berdakwah ke Majapahit, apalagi
tujuan utama beliau adalah untuk mendirikan sebuah Kerajaan Islam di tanah Jawa
sebagai ekspansi Kerajaan Islam Pasai, yang sekaligus dapat menjadi penaung gerakan
Islamisasi khususnya di tanah Jawa dan sekitarnya. Namun seruannya untuk
menjadikan Kerajaan Hindu-Majapahit sebagai Kerajaan Islam tidak mendapat
sambutan dari Maha Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Maka beliau memulai gerakan
besarnya dengan mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam dengan sistem pondok
pesantren di Ampeldenta Surabaya.
Dalam perjalanannya menuju Ampeldenta dari Majapahit, Maulana
Rahmatullah berdakwah kepada masyarakat luas dan mendapat sambutan yang luar
biasa dari masyarakat Jawa yang tengah merindukan jalan kebenaran. Dengan
pendekatan dakwahnya yang khas, beliau telah mendapatkan murid dan pengikut setia
yang banyak. Karena ketinggian ilmu pengetahuan dan pengaruhnya yang besar,
Bupati Tuban menikahkan beliau dengan putrinya dan Maulana Rahmatullah
mendapatkan gelar Raden. Gelar bangsawan yang akan memudahkan dakwahnya di
tengah-tengah masyarakat Jawa yang masih sangat feodal dan kental dengan budaya
Hindu yang masih memakai sistem kasta.
Lembaga pendidikan Islam model pondok pesantren yang didirikan Maulana
Rahmatullah, berkembang pesat dan dijadikan sebagai basis untuk menggerakkan
dakwah Islamiyah, terutama untuk mengislamisasikan tanah Jawa yang masih
mayoritas beragama Hindu dan Budha. Di lembaga pendidikan ini diajarkan bukan
hanya pelajaran agama dan moral saja, namun juga mengajarkan berbagai pengetahuan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 72


yang berkembang masa itu, termasuk ilmu pemerintahan dan ilmu kemiliteran. Karena
terbukti kemudian lulusan lembaga pendidikan ini adalah para pemimpin kerajaan dan
panglima-panglima perang yang berpengaruh dalam menaklukkan beberapa kerajaan
Hindu.
Di antara murid terkemuka Maulana Rahmatullah adalah Raden Fatah yang juga
saudara sepupunya, yaitu anak dari Putroe Dwarawati dengan Prabu Brawijaya V. Di
samping itu beliau juga mendidik anak-anaknya sendiri serta beberapa pemuda-
pemuda Islam lainnya yang kelak menjadi Sunan, seperti Sunan Kalijaga, Sunan
Bonang, Sunan Giri dan lainnya. Setelah gerakan dakwahnya berkembang pesat dan
pengikutnya bertambah banyak, Raden Rahmat membentuk sebuah gerakan yang
beranggotakan para ulama dan auliya, dimana gerakan ini dikenal dengan Wali Songo
atau Wali Sembilan.
Gerakan Wali Sembilan dianggotai oleh : (1).Maulana Rahmatullah bin Sayyid
Ibrahim (Raden Rahmat atau Sunan Ampel), (2).Maulana Makhdum Ibrahim bin
Maulana Rahmatullah (Sunan Bonang), (3).Maulana Syarifuddin Hasyim bin Maulana
Rahmatullah (Sunan Drajat), (4).Maulana Jaafar Sadiq bin Maulana Rahmatullah (Sunan
Kudus), (5).Maulana Ahmad Hassan bin Maulana Rahmatullah (Sunan Lamongan),
(6).Maulana Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq (Sunan Giri), (7).Syarif Hidayatullah bin
Sayyid Ali Nurul Alam (Sunan Gunung Jati), (8).Raden Mas Syahid (Sunan Kalijaga
menantu Maulana Rahmatullah) dan (9).Raden Umar Said (Sunan Muria).
Para Wali yang sangat dekat dan menjadi kerabat istana Kerajaan Pasai ini,
setelah berdakwah dan memiliki pengikut setia, akhirnya mempersiapkan berdirinya
sebuah Kerajaan Islam di tanah Jawa. Sebagaimana tradisi masyarakat Jawa yang
menghormati Maha Raja dan keturunannya, maka Raden Rahmat mempersiapkan
murid, anak menantu, saudara sepupu dari jalur ibunya yang juga anak dari Raden
Brawijaya V, Maha Raja Majapahit bernama Raden Fatah yang telah dididiknya di
Pondok Pesantren Ampeldenta Surabaya sebagai calon Sultan dari Kerajaan Islam
pertama di Jawa. Sebagai seorang Pangeran atau Prabu Majapahit, maka Raden Fatah
berhak mendapat wilayah kekuasaan sendiri di wilayah Majapahit. Maka Raden Fatah
diberikan wilayah kekuasaan di Bintaro Demak.
Setelah mendapat dukungan kuat, Para Wali Sembilan di bawah pimpinan
auliya dan kerabat Kerajaan Pasai, Maulana Raden Rahmat atau Sunan Ampel
memproklamasikan berdirinya Kerajaan Islam Demak sebagai Kerajaan Islam pertama
di tanah Jawa dan mengangkat Raden Fatah sebagai Sultan Kerajaan Islam Demak
dengan gelar Sultan Alam Akbar Al-Fattah pada tahun 1481 M. Selanjutnya Kerajaan
Islam Demak menjadi patron kepada Islamisasi di pusat kekuasaan Kerajaan Hindu
terbesar dan termegah, Majapahit. Berdirinya Kerajaan Demak telah melemahkan
Majapahit yang terpecah belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Maka tamatlah riwayat
Kerajaan Hindu-Majapahit dan digantikan perannya oleh Kerajaan Demak yang
menyebarkan Islam ke tanah Jawa. Akhirnya tercapailah cita-cita agung para auliya di
Pasai untuk menaklukkan Kerajaan Hindu terbesar oleh kader terbaiknya Maulana
Rahmat dan murid-muridnya.

Darawati : Putri Jeumpa Pejuang Pasai Penakluk Majapahit

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 73


Tidak banyak yang mengenal apalagi mengetahui sejarah hidup Darwati
(Dharawati), seorang Putro Jeumpa yang secara tidak langsung bertanggungjawab atas
penaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit. Sejarah agung kehidupannya dapat
dikenal dengan mengungkap misteri keberadaan seorang putri yang di tanah Jawa di
kenal dengan ”Putri Champa”.
”Putri Champa” biasanya dihubungkan dengan istri Prabu Brawijaya V yang
dalam Babad Tanah Jawi, disebutkan bernama Anarawati atau Dwarawati (Darawati)
yang beragama Islam. Ada yang berpendapat bahwa putri inilah yang melahirkan
Raden Fatah, yang kemudian menyerahkan pendididikan putranya kepada salah
seorang keponakannya yang lahir di Pasai yang dikenal dengan Sunan Ampel (Raden
Rahmat) di Ampeldenta Surabaya. Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi Sultan
pertama dari Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang
mengakhiri sejarah kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.
Menurut Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga
seorang peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya The History of Java menyebutkan
bahwa Champa bukan terletak di Kambodia, tapi Champa adalah nama daerah di
sebuah wilayah di Aceh, yang terkenal dengan nama ”Jeumpa”. Champa adalah ucapan
atau logat Jeumpa dengan dialek ”Jawa”, karena penyebutannya inilah banyak ahli
yang keliru dan mengasosiasikannya dengan Kerajaan Champa di wilayah Kambodia
dan Vietnam sekarang. Jeumpa yang dinyatakan Raffles sekarang berada di sekitar
daerah Kabupaten Bireuen Aceh.
Keadaan Jeumpa di sebelah barat pada masa kegemilangan Kerajaan Pasai
menjadi jalur laluan dan peristirahatan menuju kota besar seperti Barus, Fansur dan
Lamuri dari Pasai ataupun Perlak. Kerajaan Pasai adalah pusat pengembangan dan
dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dan maulana dari seluruh penjuru dunia.
Sementara para sultan adalah diantara yang sangat gemar berbahas tentang masalah-
masalah agama, di istananya berkumpul sejumlah ulama besar dari Persia, India, Arab
dan lain-lain, sementara mereka mendapat penghormatan mulia dan tinggi. Dan Sejarah
Melayu menyebutkan bahwa ”segala orang Samudra (Pasai) pada zaman itu semuanya tahu
bahasa Arab.
Jeumpa terkenal dengan putri-putrinya yang cerdas dan cantik jelita, buah
persilangan antara Arab-Parsi-India dan Melayu, yang di Aceh sendiri sampai saat ini
terkenal dengan Buengong Jeumpa, gadis cantik putih kemerah-merahan. Sampai saat ini
Jeumpa masih menyisakan kecantikan putri-putrinya yang sekarang berada di sekitar
Kabupaten Bireuen. Pada masa kegemilangan Pasai, istilah putri Jeumpa (Champa)
sangat populer, mengingat sebelumnya ada beberapa Putri Jeumpa yang sudah terkenal
kecantikan dan kecerdasannya. Putri Manyang Seuludang, Permaisuri Raja Muslim
pertama Jeumpa asal Persia, Shahrianshah Salman al-Parisi, yang juga ibunda kepada
Syahri Nuwi pendiri kota Perlak. Putri Jeumpa lainnya, Putri Makhdum Tansyuri (anak
Pengeran Salman-Manyang Seuludong/Adik Syahri Nuwi) yang menikah dengan
kepala rombongan Nakhoda Khalifah, Maulana Ali bin Muhammad bin Ja’far Shadik,
yang melahirkan Maulana Abdul Aziz Syah, Raja pertama Kerajaan Islam Perlak. Putri
Makhdum Khudawi, anak Shahr Nuwi dan istri Maulana Abdul Aziz Syah. Mereka

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 74


seterusnya menurunkan Raja dan bangsawan Perlak, Pasai sampai Aceh Darussalam.
Demikian pula keturunan Syahri Nuwi dari Sultan Perlak bergelar Makhdum juga
disebut sebagai Putri Jeumpa, karena beliau lahir di Jeumpa.
Kecantikan dan kecerdasan putri-putri Jeumpa sudah menjadi legenda di antara
pembesar-pembesar istana Perlak, Pasai, Malaka, bahkan sampai ke Jawa. Itulah
sebabnya kenapa Maharaja Majapahit, Barawijaya V sangat mengidam-idamkan
seorang permaisuri dari Jeumpa. Bahkan dalam Babat Tanah Jawi, disebutkan bagaimana
mabok kepayangnya sang Prabu ketika bertemu dengan Putri Jeumpa yang datang
bersama dengan rombongan Maulana Malik Ibrahim dan para petinggi Pasai yang
datang untuk berdakwah ke pusat Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.
Pada masa hidup Putri Darwati dari Jeumpa, Kerajaan tempatnya tinggal di
Pasai sudah menjadi pusat Islamisasi Nusantara dan sangat berkepentingan untuk
menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit karena ia adalah satu-satunya
penghalang utama untuk pengislaman tanah Jawa secara menyeluruh. Maka para
Sultan dan para Ulama serta cerdik pandai Kerajaan Pasai telah menyusun strategi terus
menerus dengan segala jaringannya untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu ini.
Bahkan Kekaisaran Cinapun yang telah dikuasai Muslim ikut andil dalam Islamisasi ini,
terbukti dengan mengirimkan Penglima Besar dan kepercayaan Kaisar yang bernama
Laksamana Cheng Ho. Jalan peperangan tidak mungkin ditempuh, mengingat jauhnya
jarak antara Pasai dengan Jawa Timur sebagai pusat Kerajaan Majapahit. Maka
ditempuhlan jalan diplomasi dan dakwah para duta dari Kerajaan Pasai.
Grand Master Wali Sembilan (Aulia Sikurueng), Maulana Malik Ibrahim sebagai
utusan senior para pendakwah yang berpusat di Kerajaan Pasai, menemukan sebuah
cara yang dianggap bijak, yaitu melalui jalur perkawinan. Maka dikawinkanlah iparnya
yang bernama Dwarawati atau Putri Jeumpa yang cantik jelita dan cerdas tentunya,
dengan Prabu Brawijaya V, yang konon masih memeluk Hindu. Kenapa Sang Bapak
Para Wali Songo ini berani mengambil kebijakan itu. Tentu hanya Allah dan beliau yang
tahu. Dan akhirnya sejarah kemudian mencatat, anak perkawinan Putri Jeumpa
Dwarawati dengan Prabu Brawijaya V, bernama Raden Fatah adalah Sultan Kerajaan
Islam Demak pertama yang telah mengakhiri dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
dan Kerajaan-Kerajaan Hindu lainnya.
Mungkin pertimbangan Maulana Malik Ibrahim menikahkan iparnya Putri
Jeumpa berdasarkan ijtihad beliau setelah mengadakan penelitian panjang terhadap
tradisi dan budaya orang Jawa yang sangat menghormati dan patuh bongkokan kepada
Raja atau Pangeran yang selama ini dianggap sebagai titisan para Dewata, sebagaimana
cerita-cerita pewayangan di Jawa. Jika ada seorang Raja atau Pangeran yang masuk
Islam, maka akan mudah bagi perkembangan Islam. Karena Jawa adalah salah satu
daerah yang sangat sulit diislamkan sampai saat itu, mengingat kuatnya dominasi
Kerajaan Hindu Majapahit. Itulah sebabnya, ketika Putri Jeumpa telah hamil, dia ditarik
dari istana Majapahit, dihijrahkan ke wilayah Islam lainnya, kabarnya ke Kerajaan
Melayu Palembang. Setelah lahir anaknya, Raden Fatah, Putri Jeumpa kembali ke Jawa
Timur, tapi bukan ke istana Majapahit, tapi ke Ampeldenta Surabaya, ke tempat anak
saudaranya Raden Rahmat (Sunan Ampel) untuk mendidik Raden Fatah agar menjadi

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 75


pemimpin Islam. Setelah dewasa, karena masih Raden Pangeran Majapahit, maka
Raden Fatah berhak mendapat jabatan, dan beliau diangkat sebagai seorang Bupati di
sekitar Demak. Saat itulah para Wali Sembilan yang sudah mapan mendeklarasikan
sebuah Kerajaan Islam Demak, di Bintaro Demak, sebagai Kerajaan Islam pertama di
Jawa. Karena Raden Fatah adalah titisan Raja Majapahit, maka orang-orang Jawapun
dengan cepat mengikuti agamanya dan membela perjuangannya sebagaimana dicatat
sejarah dalam buku Babat Tanah Jawi.
”Darwati Putri Jeumpa Penakluk Majapahit” ini adalah wanita luar biasa. Dia
adalah seorang ibu yang tabah, besar hati, penyayang namun mewarisi semangat
perjuangan yang tidak kalah hebat dengan wanita-wanita agung Aceh seperti
Laksamana Malahayati, Tjut Nya’ Dhien, Tjut Mutia dan lainnya. Bagaimana tidak, dia
harus berpisah jauh dari lingkungannya ke tanah Jawa yang asing baginya, tiada handai
tolan, hidup dilingkungan masyarakat Jawa-Hindu yang berbeda budaya dan tradisi
dengan negeri asalnya, bahkan ada yang menyatakan suaminyapun masih beragama
Hindu dalam tradisi Kerajaan Majapahit yang feodalis. Namun karena para Ulama-
Pejuang sekelas Maulana Malik Ibrahim atas dukungan para Sultan Muslim
menugaskannya berdakwah dengan caranya, wanita agung inipun ikhlas melakoni
peran perjuangannya. Demi kelanjutan agamanya, dia rela meninggalkan kegemerlapan
istana Majapahit sebagai permaisuri agung untuk memastikan putranya dapat
pendidikan terbaik agar menjadi seorang pemimpin Islam di Jawa. Raden Fatah kecil
mendapat kasih sayang serta bimbingan ibundanya bersama para Wali yang dipimpin
sepupunya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang juga dilahirkan di Kerajaan asal ibunya.
Putri Darwati dari Jeumpa telah sukses gemilang menjalankan tugas agamanya,
dia seorang ibu pendidik agung (madrasat al-kubra), pejuang suci (mujahidah fi sabilillah),
pendakwah Islam (da’i) sekaligus sebagai penyebab (asbab) keruntuhan sebuah dinasti
Hindu terbesar yang menjadi lambang keagungan dan kebesaran Jawa, dengan
Mahapatih sadis Gadjah Mada itu. Dari sisi manapun kita nilai, wanita ini adalah wanita
besar, namun terhijab peran agungnya oleh wanita selir Jawa sekelas RA. Kartini,
seorang selir Bupati Rembang yang dijadikan tokoh wanita hanya karena bisa bahasa
penjajah Belanda dan dekat dengan penjajah kaphe. Siapa Kartini jika disandingkan
dengan Ratu Tajul Alam Syafiatuddin, Sultanah Aceh yang memimpin masyarakat
kosmopilit masa itu dan memiliki kekuasaan seluruh Sumatra dan Semenjang Melayu?

Raden Fatah: Ujung Tombak Walisongo Menaklukkan Majapahit


Bagi masyarakat Hindu-Majapahit, tidak ada tokoh yang dibenci dan dicaci
sedemikian hebatnya, selain Raden Fatah (Raden Patah) yang dituduh sebagai anak
durhaka yang melawan orang tua dan menentang tradisi Hindu nenek moyangnnya,
bahkan dituduh meruntuhkan kehebatan peradabannya sendiri di Kerajaan Majapahit
yang menjadi kebanggaan masyarakat Jawa Hindu. Raden Fatah dianggap bertanggung
jawab bersama para Wali Songo mengubur peradaban Hindu-Jawa yang diangung-
agungkan selama berabad-abad dan menggantikannya dengan tradisi dan peradaban
Islam. Itulah sebabnya pribadi agung ini senantiasa difitnah dan didiskreditkan, bahkan
segaja disamarkan sejarah hidupnya yang agung dan mulia, dituduh sebagai anak

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 76


haram dan durhaka oleh mereka yang dendam terhadap keberhasilan proses Islamisasi
tanah Jawa.
Sebenarnya Raden Fatah adalah anak dari Maha Raja Majapahit Brawijaya V.
Menurut Babat Tanah Jawi, ibunya adalah seorang puteri yang berasal dari Cina yang
sangat cantik dan menjadi istri dari Prabu Brawijaya V, sehingga menimbulkan
kecemburuan Permaisuri Kerajaan yang berasal Cempa (Jeumpa) bernama Darwati
(Dharawati). Ketika sedang hamil, putri Cina tersebut diusir dari Istana Majapahit atas
permintaan Permaisuri, diberikan kepada Aria Damar di Kerajaan Palembang, dan
Raden Patah lahir di Palembang. Namun cerita Babat ini perlu dikritisi kebenarannya.
Permaisuri Prabu Brawijaya V yang dikatakan berasal dari Cempa, bernama
Darwati (Dharawati), sebenarnya adalah Puteri Jeumpa dan seorang Muslimah yang
taat, seorang wanita pejuang dari Pasai yang dikirim oleh Maulana Malik Ibrahim dan
para Wali di Pasai untuk memberikan jalan kepada dakwah Islamiyah di Kerajaan
Majapahit. Wanita mulia ini rela berpisah dari sanak saudaranya dan berjuang di garda
terdepan masyarakat Hindu-Majapahit, meninggalkan kepentingan pribadinya demi
untuk pengembangan dakwah Islamiyah. Apakah wanita agung ini memiliki akhlak
yang buruk dan perangai jahat sehingga rela mengusir saudaranya sendiri, apalagi
Puteri Cina itu juga diketahui seorang Muslimah?
Disinilah kejanggalan cerita Babat Tanah Jawi yang ditulis oleh cendekiawan Jawa
ini.Bahkan sudah masuk kepada dataran fitnah terhadap seorang Muslimah pejuang
agung Puteri Jeumpa Darwati yang memang diketahui memberikan dukungan terhadap
Islamisasi Majapahit dan perlindungan terhadap para pendakwah Islam dari Pasai yang
menyebarkan Islam. Wanita agung ini adalah saudara ibunda Maulana Rahmatillah
(Raden Rahmat/Sunan Ampel), beliaulah juga yang mengundang dan memberikan
dukungan kepada Sunan Ampel ini berdakwah ke tanah Jawa. Putri Jeumpa Darwati
adalah kerabat dan kader Kerajaan Islam Pasai yang ditugaskan untuk memberikan
jalan kepada proses Islamisasi Majapahit, atau minimal mencegah ambisi Majapahit
untuk menyerang Kerajaan Pasai. Tidak mungkin seorang Muslimah yang sudah
mengedepankan kepentingan Islam akan berbuat keji seperti itu.
Itulah sebabnya, sejarah yang dikemukakan Babat Tanah Jawi, yang menjadi
referensi utama masyarakat Jawa harus ditelaah ulang karena mengandung banyak
sekali kejanggalan. Yang menjadi pertanyaan, kenapa dan bagaimana Raden Patah
dapat menjadi murid utama dan menantu dari Sunan Ampel, darimanakah hubungan
ini? Apakah ini terjadi dengan sendirinya dan apa hubungannya dengan grand strategi
para Wali Pasai dalam menaklukkan Kerajaan Majapahit?
Jika memang benar puteri Cina yang tidak jelas identitasnya itu telah melahirkan
Raden Patah, maka Permaisuri Darwati adalah diantara orang yang telah merancang
kepergian puteri Cina ini dari Majapahit menuju Kerajaan Islam Palembang mitra dari
Kerajaan Islam Pasai saat itu, karena disana sudah ada keponakannya Maulana
Rahmatillah yang menjadi Ulama. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Jawa
sangat patuh kepada Rajanya yang mereka anggap titisan para Dewa. Untuk
menaklukkan Majapahit secara totalitas, harus digerakkan oleh keturunan dari Maha
Raja Majapahit sendiri. Itulah sebabnya sebelum lahir putra mahkota ini, diungsikan ke
Kerajaan Islam dengan harapan akan lahir dan besar sebagai seorang Muslim. Maka
Raden Patahpun lahir di Palembang dan menjadi seorang Muslim yang taat serta

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 77


berguru kepada Maulana Rahmatillah (Sunan Ampel), dan menjadi murid setianya
yang ikut ke Ampel Denta Surabaya.
Menurut sumber lain, Raden Patah sebenarnya memiliki hubungan dengan
Sunan Ampel dan juga para Wali Songo, sehingga mendapat kedudukan yang mulia
dan terhormat di kalangan mereka. Bahkan Raden Patah dijadikan menantu oleh
Maulana Rahmatillah. Itulah sebabnya ada yang menghubungkan bahwa sebenarnya
yang dikatakan sebagai Puteri Cina itu adalah Puteri Jeumpa (Campa) Darwati sendiri.
Karena sejarah hidup Putri Darwati yang menjadi Permaisuri Majapahit tidak banyak
ditulis di Jawa, termasuk di Babat Tanah Jawi. Kisah hidup dan perjuangannya menjadi
misterius dan tidak dikenal luas oleh masyarakat Jawa. Itulah sebabnya kemudian ada
ahli sejarah yang menghubungkan bahwa Puteri Cina itu adalah Puteri Darwati yang
berasal dari Cempa (Jeumpa). Apalagi di banyak manuskrip Jawa, istilah Cempa sering
diidentikkan dengan Cina.
Ketika kecil, Raden Patah juga dikenal dengan nama Pangeran Jin Bun, sebuah
nama Cina, yang kemudian mengelirukan banyak orang tentang asalnya dari Cina.
Boleh saja nama ini adalah nama panggilan atau nama samaran untuk menghindar dari
hasad orang-orang Majapahit yang percaya kepada ramalan bahwa Majapahit akan
diruntuhkan oleh salah seorang keturunan Majapahit sendiri, sebagaimana disebutkan
Babat Tanah Jawi.
Raden Patah mendapat pendidikan dari Maulana Rahmatillah dan para ulama di
Kerajaan Islam Palembang sebelum beliau hijrah ke tanah Jawa. Ketika Maulana
Rahmatillah sudah mendirikan pesantren di Ampel Denta Surabaya, Raden Patah ikut
menyusul ke tanah Jawa dan tinggal di Ampel Denta berguru kepada Maulana
Rahmatillah atau Sunan Ampel. Setelah memiliki pengetahuan yang memadai, Raden
Patah diperintahkan gurunya untuk mengembangkan dakwah Islamiyah ke sebelah
barat, kawasan hutan dan tanah subur yang bernama Bintara. Di daerah ini Raden Patah
mendirikan pesantren dan mengajarkan Islam, banyak masyarakat yang memeluk Islam
dan tinggal bersamanya sehingga Bintara menjadi ramai dan berkembang menjadi kota
baru.
Babat Tanah Jawi menceritakan perkembangan Bintara: Prabu Brawijaya mendengar
berita bahwa ada orang yang bertempat tinggal di hutan Bintara, terkenal di mana-mana tentang
kebesaran pedukuhan dan kesaktiannya. Raja memanggil para menteri untuk menanyakan
benar-tidaknya kabar itu. Adipati Terung memang benar adanya berita itu. Sang Prabu lalu
memerintahkan untuk memanggilnya……Raden Patah segera berangkat ke Majapahit. Sang
Prabu sangat gembira, jatuh hatinya kepada Raden Patah sebab rupanya sangat mirip sang
Prabu. Lalu diakui sebagai putra, diangkat menjadi adipati Bintara, serta diberi abdi sepuluh
ribu orang….. Lama-lama pedukuhan Bintara (Demak) menjadi semakin gemah-ripah (makmur-
sejahtera).
Setelah memiliki pengikut yang banyak, maka sudah saatnya para Wali dan
pengikutnya untuk mendirikan sebuah Kerajaan Islam di tanah Jawa sebagai
pendukung gerakan dakwah Islamiyah dan sekaligus menjaga Islam dan pengikutnya
dari gangguan Kerajaan Hindu, terutama Majapahit. Karena Bintara yang dipimpin
Raden Patah telah berkembang pesat, maka para Wali memutuskan untuk mendirikan
kerajaan Islam di Bintara, yang dinamakan dengan Kerajaan Islam Demak, sebagai
Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa dan mengangkat Raden Patah sebagai Sultan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 78


Kerajaan Islam Demak dengan gelar Sultan Alam Akbar Al-Fattah pada tahun 1481 M.
Selanjutnya Kerajaan Islam Demak menjadi patron kepada Islamisasi di pusat
kekuasaan Kerajaan Hindu terbesar dan termegah, Majapahit. Berdirinya Kerajaan
Demak telah melemahkan Majapahit yang terpecah belah menjadi kerajaan-kerajaan
kecil.
Tentang keruntuhan Majapahit, Babat Tanah Jawi dalam Runtuhnya Majapahit,
menceritakan bagaimana proses runtuhnya kerajaan Hindu terbesar di tanah Jawa
tersebut akibat dari penyerangan yang dilakukan oleh para Wali dan Sultan Demak.
Diceritakan bahwa seluruh kaum muslimin dari penjuru Jawa telah berkumpul di
Bintara-Demak dengan kekuatan yang sangat besar. Lalu mereka berangkat menuju
pusat Kerajaan Majapahit. Semuanya lalu bersama berangkat ke Majapahit. Banyaknya
barisan tak terhitung. Kota Majapahit dikepung. Orang Majapahit banyak takluk kepada adipati
Bintara, tak ada yang berani menyambut perang…Dikisahkan selanjutnya Prabu Brawijaya
meninggalkan istana dan Kerajaan Majapahit akhirnya takluk dan runtuh oleh Kerajaan
Islam Demak.
Keruntuhan Majapahit oleh Kerajaan Islam Demak, telah mengakhiri kejayaan
Kerajaan Hindu di tanah Jawa. Sejak saat itu pusat kekuasaan di tanah Jawa telah
beralih dari Kerajaan Majapahit ke Kerajaan Islam Demak. Islamisasi di tanah Jawa
terus dijalankan oleh para Wali dan murid-muridnya yang mendirikan banyak pondok
pesantren di seluruh tanah Jawa. Sejak berdirinya Kerajaan Islam Demak, maka telah
berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam lainnya di tanah Jawa yang berafialiasi ke Kerajaan
Demak. Pada saat yang sama, hubungan antara Kerajaan Demak dengan Kerajaan
Palembang, dan khususnya dengan Kerajaan Islam Pasai semakin erat. Karena para
petinggi, khususnya para Sunan yang memegang kendali spiritual di Kerajaan Demak
adalah anak dan cucu dari para petinggi dan ulama di Kerajaan Pasai.
Akhirnya memang tidak dapat dibantah bahwa Kerajaan Islam Pasai telah
memiliki peran sentral dalam mengembangkan dakwah Islamiyah di Nusantara,
terutama dalam melahirkan gerakan para Wali yang telah mendirikan Kerajaan Islam
dan meruntuhkan dominasi Kerajaan Hindu-Majapahit. Maka tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa Raden Patah adalah ujung tombak Kerajaan Islam Pasai melalui Wali
Songo dalam meruntuhkan Kerajaan Hindu-Majapahit yang telah menyerang Pasai
sebelumnya.

Sunan Gunung Jati: Melanjutkan Misi Pasai Di Tanah Jawa


Setelah Sayyid Hussein Jamadil Kubra menyerahkan tugas dakwahnya kepada
anaknya Sayyid Ibrahim (ayahanda Maulana Rahmatillah/Sunan Ampel) di Pasai,
maka beliau berangkat berdakwah menuju barat untuk menahan serangan Kerajaan
Budha Thailand (Siam) yang sangat berambisi menaklukkan Kerajaan Islam Pasai.
Beliau berdakwah di wilayah yang sekarang dikenal dengan Senggora di wilayah
Patani, Thailand selatan dan Kelantan di Malaysia. Beliau menikah dengan seorang
puteri raja Patani dan mendapat anak bernama Maulana Ali Nurul Alam, yang menjadi
ayahanda kepada Sayyid Abdullah atau dikenal dengan Wan Bo, Raja pertama Kerajaan
Islam untuk wilayah Champa, Senggora, Patani dan Kelantan.
Menurut Babat Cirebon, ketika Sayyid Abdullah berada di Mekkah, bertemu
dengan seorang puteri dari Kerajaan Pajajaran bernama Rara Santang putri Prabu

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 79


Siliwangi, kemudian mereka menikah dan mempunyai anak yang sempat belajar ke
Kerajaan Pasai dan memperdalam ilmu di Ampel Denta bernama Syarif Hidayatullah.
Di tanah Jawa beliau dikenal dengan Raden Sunan Gunung Jati yang menjadi anggota
dari Wali Songo. Beliau lahir sekitar tahun 1450 M, namun ada juga yang mengatakan
bahwa beliau lahir pada sekitar 1448 M
Adapun silsilah keturunan Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) adalah :
Syarif Hidayatullah bin Sayyid Abdullah bin Maulana Ali Nurul Alam bin Jamaluddin Al-
Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra ) bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah bin Abdul Malik
bin Alawi Amal Al-Faqih bin Muhammad Syahib Mirbath bin ‘Ali Khali’ Qasam bin Alawi bin
Muhammad bin Alawi bin Al-Syeikh Ubaidillah bin Ahmad Muhajirullah bin ‘Isa Al-Rumi bin
Muhammad Naqib bin ‘Ali Al-Uraidhi bin Jaafar As-Sadiq bin Muhammad Al-Baqir bin ‘Ali
Zainal Abidin bin Al-Hussein bin Sayyidatina Fatimah (Sayyidina Ali bin Abi Thalib) binti
Rasulullah SAW.
Sebagai seorang keturunan para Maulana dan Ulama Ahlul Bayt, Raden Syarif
Hidayatullah mewarisi ketinggian pengetahuan keislaman yang telah dikembangkan
nenek moyangnnya, sekaligus memiliki kecendrungan spiritual yang sangat tinggi,
terutama dari kakek buyutnya Syekh Maulana Akbar (Sayyid Husien al-Akbar) yang
terkenal sebagai tokoh sufi di Nusantara. Ketika telah selesai belajar agama di pesantren
Syekh Kahfi maupun Ampel Denta, beliau meneruskan pelajarannya kepada Maulana
dan Ulama ke Kerajaan Islam Pasai sebagai tempat pengajian tinggi Islam di Nusantara
saat itu. Para Ulama dan Maulana di Pasai sendiri pada saat itu adalah kerabat beliau
juga. Selanjutnya beliau meneruskan ke Timur Tengah, terutama Mekkah dan Madinah.
Ada juga yang menyebutkan beliau belajar sampai Mesir, Bagdad, Persia dan India.
Dalam usia muda Syarif Hidayatullah sudah menguasai ilmu keislaman yang tinggi,
sekaligus memiliki kekuatan spiritual (karamah).
Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuwana, saudara ibunda
Syarif Hidayatullah, membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka
sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayatullah mengambil peranan
mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru
dibentuk itu setelah saudara ibundanya wafat. Beliau menikahi adik dari Bupati Banten
ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan
seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi
Sultan Banten I.
Sebagai seorang Maulana yang berpengaruh di sekitar Cirebon Jawa Barat, Syarif
Hidayatullah yang sudah dikenal dengan Sunan Gunung Jati ikut bersama para Wali
Songo memproklamasikan Kerajaan Islam Demak pada tahun 1481. Ada yang
berpendapat bila Syarif Hidayatullah keturunan Syekh Maulana Akbar dari pihak ayah,
maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di
Cempa yang terkenal dengan nama Puteri Dharawati (Darwati) yang menjadi
Permaisuri Maharaja Brawijaya V di Kerajaan Majapahit.
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di seluruh tanah Jawa
menggantikan peranan Majapahit yang sudah runtuh dan bukan hanya di Demak, maka
Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan dari Kerajaan Islam Demak. Hal ini
terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara
resmi sebagai Sultan Cirebon. Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 80


Maulana Rahmatillah atau Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan dalam Wali
Sembilan. Agama Islam akan disebarkan di seluruh tanah Jawa dengan Demak sebagai
pusat pemerintahan. Pada saat yang sama para Wali tetap menjalin hubungan dengan
Kerajaan Islam Pasai sebagai sentral gerakan Islamisasi di Asia Tenggara.
Dalam banyak riwayat dan babad, Syarif Hidayatullah dilukiskan sebagai
seorang Ulama kharismatik yang memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh
Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Beliau ikut membimbing Ulama
berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu
kekebalan tubuhnya. Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik,
dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana
Demak telah tercabut.
Setelah pendirian Kerajaan Islam Demak, antara tahun 1490 hingga 1518 adalah
masa-masa paling sulit dalam perjuangan dakwah Islam di tanah Jawa, baik bagi Syarif
Hidayatullah di Cirebon Jawa Barat maupun Raden Patah di Demak Jawa Timur.
Karena pada masa ini proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari
kerajaan Hindu Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Kerajaan Hindu Majapahit (di
Jawa Tengah dan Jawa Timur), yang diperparah oleh gangguan external dari Portugis
yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.
Awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Malaka dan Pasai, Raja Pakuan
merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayatullah yang telah
berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan
Pakuan. Di saat yang genting inilah Syarif Hidayatullah berperan membimbing Sultan
Demak II Pati Unus, pengganti Raden Patah yang juga menantunya dalam
pembentukan armada perang gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di Jawa
dengan misi utama mengusir Portugis di Malaka yang mengancam kedaulatan Kerajaan
Islam Pasai. Namun armada perang ini dikalahkan oleh Portugis dan Pati Unus syahid
di selat Malaka.
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa
Syarif Hidayatullah merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan
mengangkat Tubagus Pasai dikenal dengan Fatahillah, untuk menggantikan Pati Unus
yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk
memancing Portugis bertempur di Jawa. Ketika Raja Pakuan mengundang Portugis ke
Sunda Kelapa, maka saatnya bagi tentara Muslim menyerang mereka. Maka pada tahun
1527 bulan Juni armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari tentara
gabungan Islam. Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan
Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat
gelar Fatahillah.
Sebelum wafat, Syarif Hidayatullah menuntaskan tugas dakwahnya dengan
menguasai Kerajaan Pajajaran, menawan Pakuan ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun
1568 atau setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120
tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana
Pakuan, Syarif Hidayatullah memberikan 2 opsi. Yang pertama Pembesar Istana Pakuan
yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar
Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing.
Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 81


keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di
pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang yang dikenal dengan suku Baduy.

Pati Unus: Dari Jawa Memerangi Portugis Membela Pasai


Nama asli Pati Unus adalah Raden Maulana Abdul Qadir bin Muhammad
Yunus. Beliau dijuluki dengan Raden Adipati bin Yunus, dan orang Jawa menyingkat
menjadi Pati Unus. Beliau juga terkenal dengan gelar Pangeran Sabrang Lor, artinya
Pangeran Sebrang Lautan, karena beliau adalah Panglima besar yang memimpin
langsung penyerangan penjajah Portugis di Malaka dan sekitarnya yang mulai
mengancam eksistensi pusat Islamisasi Asia Tenggara di Kerajaan Islam Pasai bersama-
sama dengan aliansi angkatan perang dari Demak, Cirebon, Banten, Palembang,
Makassar, Malaka dan tentunya Pasai. Pati Unus lahir di Jepara, Jawa Tengah pada
tahun 1480 dan menjadi Sultan Demak ke 2 pengganti Raden Patah dengan gelar Sultan
Akbar Al-Fattah 2.
Adapun silsilah Pati Unus adalah Maulana Abdul Qadir (Raden Pati Unus) bin
Syekh Muhammad Yunus bin Syekh Khaliqul Idrus (Abdul Khaliq Al-Idrus) bin Syekh
Muhammad Al-Alsiy (wafat di Parsi) bin Syekh Abdul Muhyi Al-Khayri (wafat di
Palestina) bin Syekh Muhammad Akbar Al-Ansari (wafat di Madinah) bin Syekh Abdul
Wahhab (wafat di Mekkah) bin Syekh Yusuf Al-Mukhrowi (wafat di Parsi) bin Imam
Besar Hadramawt Syekh Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam. Imam Faqih Muqaddam
seorang Ulama besar sangat terkenal di abad 12-13 M yang merupakan keturunan cucu
Nabi Muhammad, Sayyidus Syuhada Imam Husayn putra Imam Besar Sayyidina Ali
bin Abi Talib Karromallohu Wajhahu dengan Sayyidah Fatimah Al Zahra.
Dari pihak ibu, Pati Unus masih berhubungan dengan para Maulana dan Ulama
Pasai, terutama Maulana Sayyid Hussein Jamadil Kubra (Maulana Akbar). Menurut
beberapa riwayat, kakek Pati Unus yang bernama Syekh Khalikul Idrus (Abdul Khaliq
Al-Idrus) menikah dengan puteri Maulana Akbar di Kerajaan Islam Pasai. Itulah
sebabnya Pati Unus masih memiliki darah Pasai karena ayahandanya (Maulana Syekh
Muhammad Yunus) diperkirakan lahir dan mendapat pendidikan di Pasai dan
ditugaskan menjadi Maulana di daerah Jepara Jawa Tengah untuk membantu saudara
sepupu dari pihak ibunya, Maulana Rahmatillah atau Sunan Ampel.
Pati Unus lahir dan besar dalam lingkungan Ahlul Bayt yang sudah menjadi para
Ulama dan Maulana di Kerajaan Islam Demak. Beliau tumbuh dan belajar di tengah-
tengah pusat Islamisasi di tanah Jawa dan pada masa-masa puncak kejayaan Islam yang
ditinggalkan oleh para Wali yang datang dari Kerajaan Islam Pasai, terutama Maulana
Rahmatillah yang lahir di Pasai dan meninggal di Ampel Surabaya. Kejayaan Demak
telah mempengaruhi kepribadian dan kepemimpinan Pati Unus sehingga menjadi
seorang pemuda yang alim, cerdas serta berani. Itulah sebabnya Raden Patah, Sultan
Demak I, mengangkatnya menjadi menantu dan ketika akan wafat mewasiatkan agar
Pati Unus menggantikan beliau sebagai Sultan Kerajaan Islam Demak II atas
persetujuan Para Wali yang pada saat itu dipimpin oleh Maulana Syarif Hidayatullah
atau Sunan Gunung Jati.
Berkat pendidikan orang tuanya yang Maulana dan para guru-gurunya,
terutama Maulana Syarif Hidayatullah, Pati Unus tumbuh menjadi seorang panglima

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 82


perang yang gagah berani dan diangkat menjadi bupati di Jepara. Namun berkat
kepribadiannya yang menonjol, gabungan antara seorang Maulana, panglima perang
dan administratur pemerintahan, karirnya terus menanjak dan diangkat menjadi
Panglima angkatan perang Kerajaan Islam Demak pada zaman Raden Patah.
Keutamaan yang dimilikinya pula telah memikat hati para Wali dan Sultan sehingga
Maulana Abdul Qadir atau Pati Unus kemudiaan dinobatkan menjadi Sultan dari
Kerajaan Islam Demak.
Setelah Raden Abdul Qadir beranjak dewasa di awal 1500-an beliau diambil
mantu oleh Raden Patah yang telah menjadi Sultan Demak I. Dari Pernikahan dengan
putri Raden Patah, Abdul Qadir resmi diangkat menjadi Adipati wilayah Jepara (tempat
kelahiran beliau sendiri). Karena ayahanda beliau (Raden Yunus) lebih dulu dikenal
masyarakat, maka Raden Abdul Qadir lebih lebih sering dipanggil sebagai Adipati bin
Yunus (atau putra Yunus). Kemudian hari banyak orang memanggil beliau dengan
yang lebih mudah Pati Unus. Untuk mempererat hubungan dengan Cirebon-Banten,
Pati Unus menikah lagi dengan Ratu Ayu putri Sunan Gunung Jati tahun 1511.
Kemudian Pati Unus diangkat sebagai Panglima Gabungan Armada Islam
membawahi armada Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon, diberkati oleh mertuanya
sendiri yang merupakan Pemimpin Spiritual umat Islam di tanah Jawa, Syekh Syarif
Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati yang telah menjadi pemimpin tertinggi para
Wali tanah Jawa. Gelar Pati Unus yang baru adalah Senapati Sarjawala dengan tugas
utama merebut kembali tanah Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis.
Tidak diragukan bahwa Kerajaan Islam Demak, Cirebon dan Banten di tanah
Jawa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Kerajaan Islam Pasai sebagai pusat
Islamisasi di Asia Tenggara. Itulah sebabnya ketika penjajah kafir Portugis pada tahun
1511 menguasai Kerajaan Malaka dan mengancam eksistensi Kerajaan Islam Pasai, maka
para Wali, Sultan dan petinggi Kerajaan Islam Demak mengatur strategi untuk
menyerang penjajah kafir Portugis di Malaka. Di bawah kordinasi Kerajaan Islam
Demak, angkatan mujahidin Islam dari Demak, Bugis, Makassar, Maluku-Ambon,
Cirebon, Banten, Palembang, Patani, Tanah Malaya dan tentunya dari Pasai dan sekitar
Aceh membentuk angkatan mujahidin gabungan untuk melakukan operasi Jihad ke
Malaka.
Maka tahun 1513 dikirim armada kecil, ekspedisi Jihad I yang mencoba
mendesak masuk benteng Portugis di Malaka tapi gagal dan angkatan mujahidin balik
kembali ke tanah Jawa. Kegagalan ini karena kurang persiapan menjadi pelajaran
berharga untuk membuat persiapan yang lebih baik. Maka direncanakanlah
pembangunan armada besar sebanyak 375 kapal perang di tanah Gowa, Sulawesi yang
masyarakatnya sudah terkenal dalam pembuatan kapal.
Tahun 1518 Raden Patah, Sultan Demak I, atas restu para Wali beliau berwasiat agar
mantunya Pati Unus diangkat menjadi Sultan Demak berikutnya. Maka diangkatlah
Pati Unus atau Raden Sayyid Abdul Qadir bin Yunus, Adipati wilayah Jepara yang garis
nasab (Patrilineal)-nya adalah keturunan Ahlul Bayt menjadi Sultan Demak II bergelar
Sultan Alam Akbar At-Tsaniy.
Penjajah Portugis terus melakukan penaklukan demi penaklukan di sekitar
Kerajaan Islam Pasai untuk mempermudah penguasaan Pasai sekaligus untuk meredam
Islamisasi di Asia Tenggara dengan menguasai jantung kekuasaannya di Pasai. Pada

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 83


saat yang sama, akibat serangan demi serangan yang dilakukan Portugis, Kerajaan Pasai
semakin lemah, apalagi Kerajaan Pidier di sebelah barat telah bersekutu dengan
Portugis. Dalam keadaan yang mencekam ini, salah satu jaringan Kerajaan Islam di
ujung barat Sumatra, memproklamirkan berdirinya sebuah kerajaan baru pada tahun
1514 yang bernama Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Ali
Mughayat Syah. Akhirnya Pasai jatuh ke Portugis pada tahun 1521, dan selanjutnya
peranan Pasai sebagai pusat Islamisasi Nusantara digantikan oleh Kerajaan Aceh
Darussalam yang sudah semakin kuat.
Kejatuhan Pasai ke tangan penjajah kafir Portugis telah menimbulkan kesedihan
mendalam pada para petinggi Demak, Cirebon, Banten dan jaringan Kerajaan Islam
lainnya. Terutama Pati Unus yang kini telah menjadi Sultan Demak. Beliau tidak rela
tanah leluhurnya di Pasai terjajah oleh kaum kafir. Pada tahun itu juga, 1521, Pati Unus
dengan kekuatan 375 kapal perang yang telah selesai dibangun di Wajo Sulawesi siap
kembali berjihad melawan kafir Portugis membebaskan Pasai dan Malaka. Walaupun
baru menjabat Sultan selama 3 tahun Pati Unus tidak sungkan meninggalkan segala
kemewahan, kemudahan dan kehormatan dari kehidupan istana tanah Jawa bahkan
ikut pula 2 putra beliau yang masih sangat remaja. Demi Islam, Sang Sultan Demak
sendiri memimpin armada perang yang terdiri dari gabungan jaringan kerajaan Islam.
Armada perang Islam siap berangkat dari pelabuhan Demak dengan mendapat
pemberkatan dari Para Wali yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Armada perang
yang sangat besar untuk ukuran dulu bahkan sekarang. Dipimpin langsung oleh Pati
Unus bergelar Senapati Sarjawala, Sultan Demak II. Armada perang Islam yang sangat
besar berangkat ke Malaka dan Portugis pun sudah mempersiapkan pertahanan
menyambut Armada besar ini dengan puluhan meriam besar pula yang mencuat dari
benteng Malaka.
Ketika mendarat di Malaka, kapal yang ditumpangi Pati Unus terkena peluru
meriam. Beliau gugur sebagai Syahid karena berperang melawan penjajah kafir dan
kewajiban membela kaum Muslim yang tertindas. Sebagian pasukan Islam yang
berhasil mendarat kemudian bertempur dahsyat hampir 3 hari 3 malam lamanya
dengan menimbulkan korban yang sangat besar di pihak Portugis, karena itu sampai
sekarang Portugis tak suka mengisahkan kembali pertempuran dahsyat di tahun 1521
ini.
Armada Islam gabungan yang menderita banyak korban kemudian memutuskan
mundur kembali ke tanah Jawa untuk membangun kekuatan dan strategi baru.
Sementara jihad demi jihad terus dilanjutkan para mujahidin Islam terhadap penjajah
kafir Portugis di bawah komando Kerajaan Aceh Darussalam yang bangkit menjadi
bintang baru Islam di ujung barat Sumatra, sebagai kelanjutan Kerajaan Islam Pasai.
Setelah Pati Unus gugur sebagai syahid di Malaka, maka komando armada
gabungan Islam di tanah Jawa diambil alih oleh Fadhlulah Khan yang terkenal dengan
julukan Tubagus Pasai atau Sang Pangeran Pasai atau Falathehan alias Fatahillah yang
diangkat Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai Panglima Armada
Gabungan yang baru.
Sang Maulana gagah perkasa, Sayyid Abdul Qadir bin Syekh Muhammad
Yunus, Adipati Yunus, Pati Unus dengan gelar Sultan Akbar Al-Fattah Al-Tsany sudah

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 84


menunaikan tugasnya, dan kembali kehadirat Illahi sebagai syuhada dalam membela
agama, kaum muslimin dan tanah leluhurnya di Pasai.

Fatahillah: Pangeran Pasai Pendiri Jakarta


Fatahillah adalah gelar yang diberikan kepada Maulana Fadhilah Khan Al-Pasee
yang telah berhasil merebut pelabuhan Sunda Kelapa dari penjajah Portugis pada bulan
juni 1527. Setelah direbutnya kota itu dinamakannya dengan Jaya Karta atau Kota
Kemenangan (al-Fath), yang sekarang dikenal dengan Jakarta ibukota negara Indonesia.
Sementara penjajah Portugis mengenalnya dengan nama Falatehan. Pribadinya yang
memikat, cerdas, alim dan pemberani telah menjadikannya sebagai tokoh legendaris di
Asia Tenggara. Sampai-sampai orang Malaya mengakuinya sebagai tokoh legenda
Laksamana Hang Tuah dari Kerajaan Malaka pada masa Sultan Mahmud Syah yang
memerintah kesultanan Malaka pada tahun 1488-1511 yang menjabat sebagai Panglima
Pengawal Selat Malaka.
Maulana Fadhilah lahir di Kerajaan Islam Pasai sekitar tahun 1471, itulah
sebabnya beliau bergelar Fadhilah Khan Al-Pasee yang di tanah Jawa disebuat sebagai
Tubagus Pasee atau Pangeran dari Pasai. Beliau lahir dari lingkungan kerabat istana
Kerajaan Pasai dari pihak ibu, sementara ayahadanya adalah seorang Petinggi Pasai,
Ulama dan Maulana yang terkenal dengan gelar Maulana Makhdum Patakan Ibrahim
yang hidup pada masa pemerintahan Ratu Nahrishah (1424) sampai Sultan Mudzafar
Syah (1497). Dalam sejarah Melayu, ayah beliau ini terkenal sebagai penterjemah kitab
Durrul Manzum, karya Abu Ishaq ulama Mekkah yang diserahkan kepada Sultan
Malaka Sultan Mansyur Syah dan meminta bantuan raja Pasai Sultan Muzafar Syah
(wafat 1497) menerjemahkan kitab tersebut. Tugas ini dilakukan oleh Ulama besar Pasai
Makhdum Patakan Ibrahim, ayahanda Maulana Fadhilah. Sementara Makhdum
Patakan adalah cucu dari Maulana Sayyid Hussein Jamadil Kubra.
Secara lengkap silsilah beliau adalah: Maulana Fadhilah Khan (Fatahillah) bin
Maulana Makhdum Nuruddin Ibrahim Patakan bin Sayyid Maulana Alam Baraqat
Syekh Maulana Ismail bin Sayyid Hussein Jamadil Kubra (Maulana Akbar Hussien) dan
seterusnya yang bersambung sampai dengan Sayyidina Hussein bin Sayyidina Ali ra,
cucu Nabi Muhammad saw. Jadi sebenarnya beliau juga adalah keluarga satu buyut
dari Maulana Rahmatillah (Sunan Ampel) dan juga Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung
Jati).
Maulana Fadhilah hidup dan berkembang di penghujung masa kegemilangan
Kerajaan Pasai dengan segala kelimpahan dan kemakmurannya dan menjadi penaung
bagi kerajaan-kerajaan Islam yang baru berkembang di Nusantara. Beliau belajar di
bawah asuhan para Ulama dan Maulana yang menjadi rujukan utama kaum Muslimin
dan sebagai pusat pengkajian Islam tingkat tinggi dengan sistem zawiyah yang
kemudian di tanah Jawa di kenal dengan pesantren. Karena Maulana Fadhilah adalah
anak seorang Maulana terkemuka Pasai, Maulana Makhdum Ibrahim Patakan, maka
wajarlah jika ayahandanya mengharapkan beliau menjadi Ulama kelak. Namun Sang
Pangeran lebih cendrung tumbuh sebagai seorang panglima gagah perkasa.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 85


Setelah beranjak dewasa, Maulana Fadhilah hilir mudik berlayar dari Pasai ke
Malaka. Ketenaran ayahandanya di Malaka sebagai Ulama besar Pasai telah
menempatkannya di dalam lingkungan istana Malaka. Apalagi di Malaka Pangeran
Pasai muda ini dengan gagah perkasa memperlihatkan kepiawaiannya sebagai
pendekar ulung yang mampu menggerakan Jong (perahu layar) dan dengan lincah
memburu setiap perompak yang mengacau di Selat Malaka. Maka tak mengherankan
bila banyak para petinggi kerajaan, baik Pasai ataupun Malaka merasa hormat dan
segan kepada Pangeran Pasai ini.
Pada usinya yang ke 24, pada tahun 1495/6 diangkat menjadi Hulubalang
Malaka oleh Sultan Mahmud Syah (1488 – 1528). Selanjutnya Maulana Fadhilah Sang
Pangeran Pasai ini mendapat gelar Laksamana Hang Tuah, Panglima Pengawal Selat
Malaka. Naskah Cina menyebutkan, bahwa Kaisar pernah memberikan hadiah khusus
kepada Hang Tuah, karena keberhasilannya menyelamatkan kapal-kapal dagang Cina
dari perompak di selatan Selat Malaka. Setelah 15 tahun berkarier sebagai Laksamana
Hang Tuah, Fadhilah berhenti tahun 1508, dan pada tahun 1509 Sang Pangeran kembali
ke Pasai tanah kelahirannya.
Sekembalinya di Pasai, Sang Pangeran memperdalam pengetahuan keislaman
kepada para Ulama, Maulana dan Auliya yang mendapat tempat terhormat di Kerajaan
Pasai. Kecerdasan dan ketekunan yang didukung oleh garis keturunan (genetik unggul)
telah mengantarkan Sang Pangeran sebagai seorang Maulana terkemuka di Pasai
dengan kedudukan tinggi.
Disebutkan ketika pasukan gabungan Islam pimpinan Pati Unus (Adipati bin
Yunus atau Maulana Abdul Qadir) menyerang Malaka pada tahun 1513 yang sudah
dikuasai Portugis sejak 1511, Maulana Fadhilah ikut andil sebagai salah seorang
Panglima perang. Kegagalan mengalahkan Portugis pada ekspedisi Jihad I ini telah
membulatkan tekad Sang Pangeran muda ini untuk belajar lebih giat menguasai
teknologi perang. Karena Portugis memiliki teknologi perang yang canggih sehingga
gabungan angkatan Islam kalah.
Pasai tidak cukup baginya, dan atas dukungan Sultan dan para Ulama Pasai,
sekitar tahun 1516 beliau berangkat memperdalam pengetahuan ke Gujarat India,
tempat asal usul moyangnya, Maulana Syah Jalal Al-Akbar dan turunannya yang
menjadi Petinggi Kerajaan Thaglug. Di Gujarat beliau mendapat gelar sebagai Maulana
Fadhilah Khan. Selanjutnya beliau mengembara belajar menuju pusat-pusat ilmu Islam
dan teknologi seperti Mekkah, Madinah, Mesir, Baghdad, Samarkand dan Turki. Di
Turki beliau mempelajari teknologi persenjataan, terutama pembuatan meriam.
Sang Pangeran dalam perjalanan belajarnya, diriwayatkan pernah ikut
berperang bersama pasukan Turki sebagai salah seorang Panglima untuk menduduki
Konstantinopel. Setelah pasukannya berhasil menduduki Konstantinopel dan
merubahnya menjadi Istambul, nama beliau sangat terkenal. Beliau diundang pulang
untuk bergabung untuk membesarkan Kesultanan Demak di tanah Jawa. Maulana
Fadhilah diundang para pemimpin Wali Songo yang masih paman-pamannya sendiri
agar bisa membawa para ahli pembuat meriam untuk bergabung dengan Kesultanan
Demak dalam menghadapi Portugis. Tidak satupun kerajaan di Nusantara di masa itu
yang memiliki tekhnologi pembuatan meriam.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 86


Setelah 5 tahun belajar ke penjuru dunia, Maulana Fadhilah Khan pulang ke
Pasai pada tahun 1521. Namun pada saat itu peperangan tengah berkecamuk yang
dipicu oleh ambisi penjajah Portugis, sehingga kapal beliau tidak dapat berlabuh di
Pasai dan langsung ke Palembang-Bengkulu sebagai pusat baru perlawanan kaum
muslimin di sebelah timur. Sementara di barat berpusat pada Kerajaan Aceh
Darussalam yang baru diproklamasikan oleh Sultan Ali Mughayyat Syah pada tahun
1514. Selanjutnya Maulana Fadhilah melanjutkan pelayarannya ke tanah Banten, tempat
pamannya yang sudah menjadi Pemimpin Spiritual (Aulia) Kerajaan Islam Demak-
Cirebon-Banten bernama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, sebagai mana
yang diungkapkan dalam buku catatan pelayaran Achmad Ghulam Khaan yang ditulis
tahun 946 Hijriah atau 1539 M, dan ditulis ulang oleh Musthafa Khaan, India 1973.
Kedatangan Maulana Fadhilah Khan Pangeran Pasai ke tanah Jawa disambut
gembira oleh armada gabungan tentara Islam yang tengah mempersiapkan ekspedisi
Jihad II untuk membebaskan Malaka dari penjajah Portugis yang dipimpin langsung
oleh Sultan II Kerajaan Demak, Pati Unus. Sunan Gunung Jati sebagai Pemimpin
tertinggi spiritual Wali Songo menunjuk Fadhilah Khan Al-Pasee sebagai Wakil
Panglima angkatan perang gabungan Demak, Cirebon, Banten, Makassar, Palembang,
Pasai, Malaka, Aceh dan lainnya. Pasukan berangkat dari pelabuhan Demak Jawa
dengan kekuatan 375 kapal perang. Pada kesempatan ini Maulana Fadhillah Khan
dianugrahi gelar Raden Hidayat Tubagus Pasai dari Kerajaan Banten dan Wong Ageng
Pasai dari Kerajaan Demak.
Ternyata ekspedisi Jihad II mengalami kekalahan telak setelah berperang 3 hari 3
malam, Sultan Demak II Pati Unus bersama 2 putranya syahid di Malaka. Komando
tertinggi diambil alih Maulana Fadhilah dan memerintahkan pasukan mundur kembali
ke tanah Jawa. Kekalahan ini telah memberi pengaruh mendalam kepada Tubagus Pasai
Fadhullah Khan terhadap penjajah Portugis. Setelah Armada Gabungan kembali ke
tanah Jawa, beliau diangkat menjadi pengganti Pati Unus sebagai Panglima Armada
Islam Gabungan tanah Jawa dan dinikahkan oleh Sunan Gunung Jati dengan putri
beliau, Ratu Ayu janda Pati Unus untuk memperkuat kekerabatan. Beliau menetap di
Kerajaan Cirebon-Banten bersama dengan sisa-sisa pasukan perangnya untuk mengatur
kembali strategi mengalahkan Portugis. Beliau ditugaskan mertuanya Maulana Syarif
Hidayatullah memperkuat koalisi Kerajaan Islam di Jawa, terutama Demak-Cirebon-
Banten dalam menghadapi Kerajaan Hindu Pakuan-Galuh-Pajajaran.
Kegagalan ekspedisi Jihad II di Malaka 1521 membuat kerajaan-kerajaan Islam di
tanah Jawa, terutama Demak-Cirebon-Banten mengambil sikap defensif dan memancing
Portugis untuk datang menyerang ke tanah Jawa. Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu
tiba jua setelah Kerajaan Hindu Galuh berkoalisi dengan penjajah Portugis. Bulan Juni
1527, Portugis yang telah merasa diatas angin mencoba menguasai pelabuhan Sunda
Kelapa di wilayah Jakarta Utara sekarang. Dengan persiapan yang matang, gabungan
armada Islam dibawah pimpinan Maulana Fadhullah Khan Tubagus Pasai, Wong
Ageng Pasai langsung meluluhlantakkan penjajah kafir Portugis bersama pasukan dan
antek-anteknya. Kemenangan besar berada di pihak Islam, Maulana Fadhullah Khan
atau Tubagus Pasai diberi gelar baru Fatahillah, yang berarti Kemenangan Allah SWT.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 87


Kemenangan besar ini kemudian dirayakan sebagai hari lahir Jayakarta dan kemudian
disebut Jakarta sampai sekarang (22 Juni 1527).
Setelah kemenangan ini Maulana Fadhullah Khan, Tubagus Pasai, Wong Ageng
Pasai atau Fatahillah diangkat Sunan Gunung Jati sebagai Penasehat Agung Kesultanan
Cirebon-Banten yang kini tengah berusia mendekati 60 tahun. Kota Jayakarta
diserahkan ke menantu Fadhullah Khan, anak Maulana Hasanuddin atau cucu Maulana
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang bergelar Tubagus Angke. Setelah
wafatnya Tubagus Angke diserahkan kepada putra beliau Pangeran Jayakarta yang
kemudian pada 1619 karena kalah dalam konflik dengan VOC-Belanda, meninggalkan
Jayakarta yang dibumihanguskan.
Akhir perjalanan panjang hidup Sang Pangeran Pasai yang gagah dan berani ini,
sepanjang 40 tahun lebih, memilih tugas menyiarkan agama Islam sebagai da'i,
pembimbing spiritual dan menjadi ulama dan maulana di Tanah Pasundan di Jawa
Barat. Beliau sangat terkenal sebagai seorang Maulana yang menguasai ajaran-ajaran
tasawwuf, namun beliau juga bergandeng bahu dengan Syarif Hidayatullah
menaklukkan kerajaan-kerajaan Hindu yang tersisa di Jawa Barat sebagai penasihat dan
pemimpin spiritual bagi Sultan-sultan muda Kerajaan Islam. Demikian pula bersama
dengan Syarif Hidayatullah, Maulana Fadhilah Khan Tubagus Pasai ikut andil
menaklukkan Kerajaan Sunda-Pakuan di wilayah Bogor Jawa Barat pada tahun 1568,
atau dua tahun sebelum beliau wafat.
Maulana Fadhilah Khan Al-Pasee, Tubagus Pasee, Wong Ageng Pasee, Fatahillah
Al-Pasee putra Maulana Makhdum Patakan Ibrahim seorang ulama besar sufi yang
hidup dimasa kejayaan Kerajaan Islam Pasai, juga dikenal dengan Maulana Fatahillah
ibnu Sayyid Kamil Maulana Mukhdum Ibrahim (Makhdum Patakan Ibrahim)
Rahmattullah ibnu Syeikh Nuruddin Ibrahim Maulana Ismail, wafat di tanah Pasundan
Jawa Barat, tepatnya di Cirebon pada tahun 1570 dalam usia hampir 100 tahun. Beliau di
makamkan berdampingan dengan keluarga, sahabat dan gurunya, seorang Auliya dan
Maulana, Syarif Hidayatullah yang sudah wafat mendahului beliau dua tahun di
komplek pemakaman Sunan Gunung Jati, di Gunung Sembung Cirebon.

BERSAMBUNG.....................
Mohon doa agar Allah SWT selalu melapangkan penulis dalam menyelesaikan
penelitian ini

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 88

Anda mungkin juga menyukai