penelitian ini melahirkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Kesimpulan dari permasalahan pertama bahwa CSR adalah suatu aktifitas korporasi yang dapat diwajibkan oleh hukum. Pertama, paradigma tujuan korporasi telah mengalami pergeseran. Pada gelombang kedua korporasi hanya bertujuan mencari keuntungan demi kepentingan pemegang saham, namun pada gelombang ketiga dan keempat korporasi harus memperdulikan persoalan sosial, karyawan dan keluarganya, rekanan, konsumen dan lingkungan hidup. Hal ini juga sudah menjadi kesadaran global tentang triple bottom lines yaitu, bahwa tujuan korporasi adalah untuk mencari keuntungan (profit), memperhatikan sosial dan kemasyarakatan (people) dan keberlanjutan lingkungan hidup (planet). Kedua, bahwa CSR sebagai kewajiban moral dan etika sangat mungkin untuk digeser menjadi kewajiban hukum. Sebab hukum yang baik adalah yang sesuai dengan nilai nilai moral. Seperti adagium Quid Leges Sine Moribus? ( Apa
artinya hukum jika tidak disertai moralitas?). Jadi, apabila hukum tidak mencerminkan nilai moral akan mengakibatkan
491
suatu aturan hukum akan kehilangan substansinya untuk menciptakan keadilan. Ketiga, dalam secara khusus di Indonesia, pengaturan CSR sangat sesuai dengan nilai-nilai
Undang-undang
Pancasila yang tercantum dalam sila ke 2 tentang kemanusian yang adil dan beradab serta sila ke 5 tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. CSR juga sesuai dengan UUD
1945 Pasal 33 yang didasari oleh pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945, yang intinya pemerintah harus memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan keadilan sosial. Keempat, Pemerintah dapat memberikan kewajiban CSR sesuai dengan kondisi korporasi dan lingkungan yang dihadapi. Namun yang lebih penting kewajiban bagi korporasi untuk
melaporkan kegiatan CSR kepada masyarakat. Hal ini sesuai dengan reflexive law theory yang mewajibkan setiap korporasi untuk membuat social reporting, dan selanjutnya biarkanlah masyarakat penghargaan. 2. Mengenai permasalahan kedua, ruang lingkup tanggung jawab sosial perusahaan, sebaiknya tidak perlu dibatasi secara kaku, Hal ini didasarkan pada beberapa argumen berikut ini : yang akan memberikan sanksi ataupun
492
lingkup CSR
sangat pesat, sesuai dengan perkembangan bisnis dan situasi sosial ekonomi, baik lokal, nasional maupun global. Apabila diatur secara sempit maka akan menghambat perkembangan ruang lingkup CSR itu sendiri. Kedua, pengaturan ruang lingkup CSR, tidak cukup
mengacu pada peraturan perundang-undang yang sudah ada, karena peraturan yang sudah ada tidak dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu perlu diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah tentang CSR. Pengaturan tersebut harus mengacu pada pertimbangan yang lebih luas dari pada yang sudah diatur oleh hukum yang terkait, yaitu dengan mengacu pada nilai moral dan etika etika bisnis serta mendasarkan
pada prinsip keberlanjutan bisnis (corporate sustainability) dan pembangunan keberlanjutan (sustainable development). Ketiga, korporasi seharusnya diberikan keleluasaan disesuaikan promosi, strategi
dalam menentukan ruang lingkup CSR, yang dengan motivasinya. Baik dalam maupun arti
donasi, dari
pemberdayaan
masyarakat,
bagian
bisnisnya. Hal yang terpenting bahwa korporasi harus ikut serta menyelesaikan persoalan-persoalan sosial serta memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat dan dalam arti yang luas.
493
3. Mengenai masalah masalah penerapan tangung jawab sosial perusahaan di Indonesia, disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : Pertama, pelaksanaan CSR menghendaki kejelasan
pengaturan dari peraturan perundag-undangan yang ada, sehingga dapat dijadikan acuan yang efektif dan tidak
menimbulkan multi persepsi. Kedua, kewajiban CSR tidak bisa dimaknai sempit
sebagai bentuk penyaluran sebagian kekayaan perusahaan kepada masyarakat. Banyak model penerapan CSR yang tanpa menggunakan dana, seperti merekrut karyawan dari
masyarakat sekitar, menjalin kemitraan dengan pengusaha atau petani lokal, mentaati peraturan-perundang undangan
yang berlaku, memproduksi barang yang tidak membahayakan konsumen dan lingkungan dan sebagainya. Jika CSR dimaknai sebagai penyaluran dana kepada masyarakat justru akan menjadi hambatan bagi perusahaan kecil yang belum mendapatkan keuntungan. Ketiga, Untuk mendorong iklim usaha yang kondusif, pemerintah harus mendorong korporasi untuk melaksanakan CSR dengan memberikan pengurangan pajak. Hal ini akan mengurangi beban perusahaan dan tidak bertentangan dengan prinsip efisiensi. atau perusahaan
494
Keempat, mengenai berbagai bentuk pelaksanaan CSR oleh Perusahaan Multi Nasional, Perusahaan Swasta Nasional dan Badan Usaha Milik Negara yang sudah berjalan, Baik dengan nama community development, Program Kemitraan dan Bina Lingkungan, donasi dan lain sebagainya , harus dianggap sebagai bentuk dari pelaksanaan CSR. B. Saran Dari hasil penelitian ini penulis memberikan saran sebagai berikut: Pertama, sebaiknya pemerintah segera mengamandemen Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan agar mempunyai arti dan makna yang
sama. Sehingga tidak menimbulkan kebingungan para pelaku usaha dalam memahami CSR. Kedua, Pemerintah segera membuat peraturan
pelaksanaan CSR dalam Peraturan Pemerintah sesuai dengan amanat Undang-undang, agar dapat dijadikan acuan bagi korporasi untuk melaksanakannya secara efektif, tepat dan terukur. Ketiga, dalam Peraturan Pemerintah tersebut, ada
beberapa hal penting yang harus diatur yaitu : 1. Memberikan kewajiban bagi setiap korporasi untuk
melaporkan kegiatan CSR nya kepada masyarakat secara berkala dalam bentuk social reporting
495
2. Memberikan insentif dalam bentuk pengurangan pajak bagi korporasi yang melaksanakan CSR 3. Memberikan keleluasaan bagi korporasi mengenai bentuk pelaksanaan CSR, korporasi dihadapi serta yang disesuaikan dengan kemampuan situasi dan kondisi masyarakat yang