Anda di halaman 1dari 14

LATAR NIHILISME DI DALAM NOVEL GENESIS

KARYA RATIH KUMALA


Oleh M. Yunis

Sengaja penulis beri judul dalam tulisan ini dengan sebutan ‘`Latar
Nihilisme di dalam Novel Genesis’’, mengingat karya ini adalah karya menarik
dan dibuat berdasarkan fakta yang pernah terjadi belakangan ini. Genesis sebagai
novel yang pernah ditulis oleh Ratih Kumala sarat dengan perjuangan kaum-kaum
yang anti sistem, anti kekuasaan dan anti ketidakadilan. Ratih menceritakan
pejuaangan seorang perempuan yang dizinahi di Gereja, terombang-ambing
dibawa arus nasib yang tidak menentu, memiliki anak yang tidak bisa dibesarkan
sendiri, si anak dan ibu berpisah hingga akir hayat. Atas kecintaan terhadap anak,
si perempuan ini juga rela berpisah sampai mati dengan keluarganya sehingga
kematiannya pun membawa tanda tanya.
Diceritakan kegilaan seorang ibu yang digambarkan melalui sketsa wajah,
selaku anak si perempuan yang bernama Pawestri mendatangi ibu di rumah sakit
gila, namun yang dia temukan hanya kekosongan belaka, tiada harapan. Sketsa
wajah adalah sebuah hayalan atau gambaran seorang ibu yang yang bertolak
belakang dari harapan, hayalan itu dikodekan dengan sketsa wajah, yaitu si ibu di
dalam kegilaan, sebuah sketsa yang mengutuk dan bengis. Dimulai dengan
kosong dan berakhir pula dengan kekosongan. Kekosongan tersebut tergambar
dalam kutiban, ‘’bila ku menatapmu ibu, aku tersesat di sebuah sumur tua yang
tak lagi subur. Tapi air dan segala endapan-endapan kenangan yang menjelma
menjadi pijakan. Dasar yang dingin dan lembab. Aku juga terperangkap dalam
jaring laba-laba...’’ (Genesis, hal 1).
Dalam kutiban di atas Ratih sebagai pengarang ingin menyampaikan
bahwa menatap wajah ibu samahalnya dengan melihat sebuah sumur yang kering,
sumur yang biasanya tempat mengambil air untuk minum, kini kering karena
sudah lama tidak dipergunakan, ibu sebagai sumur sudah lama tidak mencurahkan
dan memproduksi kasih sayang untuk se orang anak. Namun, sadisnya kasih
sayang itu masih membekas dan masih lembab, bekas inilah yang dijadikan modal
untuk seorang anak dalam perjuangan hidup, tetapi dikatakan lagi bekas itu

1
tidaklah cukup, sementara untuk menimba kembali tidaklah mungkin karena
terbentur oleh tembok kuasa dan tembok kuasa inilah yang dinamakan dengan
tembok kegilaan.Layaknya sebuah perayaan terhadap kematian pikiran, kematian
tubuh, ketakutan akan kebodohan tetapi tidak mau keluar dari kebodohan itu
(Foucault, 2002). Di dalam novel genesis, seorang ayah sang penganut gereja
yang taat merasa malu atas kesalahan yang telah diperbuat oleh anak perempuan.
Keberadaan tobat tidak diakui secara pribadi tetapi hanya diakui secara kelompok.
Tobat itu tidak benar jika bagian dari diri telah melakukan dosa, tetapi tobat malah
diakui saat dosa diperbuat oleh orang lain yang mengaku berdosa kepada gereja.
Realisainya sudah pernah terjadi di masa aufklarung dengan sebutan penjualan
surat aflak.
Kemudian Ratih menyambung dengan rentetan ceritanya yang dimulai
dengan meragukan adanya tobat, tiada tempat bagi yang bersalah, tiada pintu
tobat bagi yang berdosa, buktinya Pawestri tidak diterima lagi di dalam
keluarganya, pada masa ini tuhan merupakan pelarian terakhir dari manusia,
‘’Aku berlari ke arah tuhan, ke tempat dimana orang bisa mengadu saat dirinya
dalam keadaan sepi dan terdesak‘’(Genesis, hal 12). Ratih mengharapkan
seharusnya manusia itu mampu berpikiran terbalik, jangan selalu terkungkung di
dalam sistem dan simbol-simbol yang telah dibuat oleh penguasa. Kembali
ditegsakan oleh Ratih bahwa sesungguhnya syetan lebih setia dari pada manusia,
syetan hanya ditugaskan hanya untuk menggangu manusia, syetan patuh terhadap
aturan itu. Sedangkan manusia ingin serba bisa, manusia ingin menjadi tuhan
sebenarnya, manusia kaum munafik.
Kuasa itu kembali dilawan, terlihat pemberontakan seorang ibu atas
ketidakadilan yang diberikan oleh pihak gereja terhadap pribadinya yang mana
pengabdi gereja itu salah satu bagian dari dirinya, sikap itu jelas sekali
diperlihatkan ibu dengan sikapnya yang aneh dan gila, kemudian Pawestri
mengatakan, ‘’Aku mulai ketakutan melihat wajah-wajah mereka. Ada hal yang
sama yang kulihat di wajah mereka seperti tadi kulihat di wajah ibu. Sebuah
kekosongan yang tak kunjung terisi begitu lama....’’ (Genesis, hal 7). Di
gambarkan di sini ketika Pawestri mendatangi dan berharap menyambung kasih

2
sayang dengan ibunya, namun tembok kuasa tadi menjelma menjadi wajah-wajah
yang menakutkan dan mengusir Pawestri dari harapannya itu.
Sejalan dengan itu, apa yang digambarkan oleh Ratih di atas
sesungguhnya adalah sebuah penghilangan, kuasa Nihilisme. Pawestri yang
terperangkap oleh jaring laba-laba melambangkan situasi yang serba salah,
Pawestri yang mengabdi sebagai suster di gereja tersandung oleh batas-batas
moral yang dibuat oleh gereja di saat dia berhadapan dengan cinta. Di gambarkan
bahwa keinginan untuk bersatu dengan keluarga tidak mungkin tercapai lagi,
keluarga sudah digubah menjadi rumah sakit gila. Adalah sebuah hukum yang
harus dipatuhi oleh Pawestri sebagai pezinah yang di usir dari keluarga meskipun
keluarga tidak menginginkan hal itu terjadi, namun atruran pada masa itulah yang
sangat menentukan apakah tobat Pawesatri diterima atau tidak di dalam keluarga.
Ya! aturan gereja dan adat istiadat mengharuskan kejadian itu diterima oleh
keluarga Pawestri. Nihilisme kembali dijelaskan Ratih dari rentetan ceritanya
yang selalu meragukan adanya tobat, tiada tempat bagi yang bersalah, tiada pintu
tobat bagi yang berdosa, buktinya Pawestri tidak diterima lagi di dalam keluarga,
pada masa ini tuhan merupakan pelarian terakhir dari manusia, ‘’Aku berlari ke
arah tuhan, ke tempat dimana orang bisa mengadu saat dirinya dalam keadaan
sepi dan terdesak‘’(Genesis, hal 12). Ratih mengharapakan, seharusnya manusia
itu mampu berpikiran terbalik, jangan selalu terkungkung di dalam sistem dan
simbol-simbol yang telah dibuat oleh penguasa, ditegsakan lagi oleh Ratih bahwa
sesungguhnya syetan lebih setia dari pada manusia, syetan ditugaskan hanya
untuk menggangu manusia, kenyataannya syetan mampu untuk patuh terhadap
aturan itu. Sedangkan manusia ingin serba bisa, manusia ingin menjadi tuhan
sebenarnya, manusia adalah kaum munafik.
Ratih juga menyampaikan bahwa kuasa nihilisme tersebut sudah tertanam
sejak dulu kala, dimulai dari kode-kode sosial yang dibuat dan kemudian
digeneralisasikan. Zaman Yunanni diceritakan oleh Ratih, bahwa perbedaan antara
laki-laki dengan perempuan hannyalah pengkodean yang dibuat oleh orang
Yunani. Gambaran ini dapat dilihat dalam kutiban, ‘’Pada zaman dewa-dewa
masih jaya dahulu, katanya manusia diciptakan dua. Berpasangan sangat akur.
Hingga dewa Zeus iri melihatnya, terutama karena hari itu Zeus sedang

3
bertengkar dengan istrinya Hera. Maka dengan kekuatan petirnya dia memisahkan
semua manusia menjadi dua. Mereka lalu hidup sendiri-sendiri’’. (Genesis, hal 13-
14). Namun, dalam penawarannya Ratih menyatakan, seharusnya manusia tidak
harus dikendalikan oleh simbol, semua manusia sama tidak ada perbedaan di
antaranya, baik laki-laki maupun perempuan. Anjuran ini dipertegas oleh Ratih
ketika Pawestri di atas pesawat yang sedang bercerita dengan seorang laki-laki di
sebelahnya, ‘’....ia memanggilku ‘Nona’. Mungkin karena jubah ini. Toh aku sama
sekali tidak kelihatan muda. Tapi jika benar karena jubah ini, seharusnya dia
memanggilku ‘suster’. Tapi tidak, dia lebih memilih memanggilku ‘nona’
(Genesis, hal 10).
Di dalam novel ini, Ratih juga mengulas kebejadan penguasa, sebab
kolonialisasi yang dijalankannya telah banyak menyesatkan banyak orang,
teknologi yang ditawarkannya bermakna membunuh, menyiksa, kemajuan yang
digembor-gemborkannya hanyalah semu. Hal ini sengaja dibuat oleh kolonial
seperti Barat hanya untuk menanamkan pengaruhnya kepada dunia Timur saja.
Tetapi sesunggunya yang diatawarkan Barat hanyalah kehancuran total. Sindiran
ini dipertegas oleh Ratih di dalam cerita Bil Gates, Billl gates penemu Microsoft
menjadi tamu terhormat tuhan, sistem di akhirat sudah dirubah menjadi sitem
komputer. Sebagai penemu, Bill Gates mendapatkan kesempatan memilih ingin
tinggal di surga atau di neraka, tetapi sebelumnya malaikat memperlihatkan
gambaran syurga dan neraka, surga digambarkan dengan keindahan, banyak
perempuan cantik sedangkan neraka digambarkan adalah Las Vegas, Bil sebagai
pebisnis lebih memilih tinggal di neraka, namun setelah di neraka dia disiksa tiada
Las Vegas di sana. Bil menuntut Tuhan dan kemudian Tuhan menjawab bahwa
yang dilihat Bill itu baru Screensarvernya saja. Kutiban ini memperlihatkan,
‘’Pada suatu hari Bil Gates meninggal dunia. Akhirat sudah menggunakan sistem
perkompouteran Micrisoft temuan Bill Gates. Merasa mendapatkan tamu
kehormatan, Tuhan mengutus malaikat untuk memperbolehkan Bill memilih
antara tinggal di neraka atau di syurga. Bill Gates lalu berkata bahwa dia mau
melihat dulu seperti apa surga dan seperti apa pula neraka walau sejak kecil dia
telah diceritakan gambaran syurga melalui alkitab. Lewat layar komputer malaikat
memperlihatkan surga. Ternyata surga memang penuh kesuburan, semua mahluk

4
adalah muda, tidak ada yang menderita dan banyak dewi-dewi yang cantik.
Selanjutnya neraka. Betapa terkejutnya Bill sebab neraka yang dia lihat Las
Vegas! Penuh dengan rumah-rumah judi dan rumah-rumah bordil, bisnis kotor
dimana-mana. Bill Gates yang berpkiran bisnis tidak mau rugi, dia memilih
tinggal di neraka. Maka diceburkanlah dia ke neraka. Ternyata di neraka dia
disiksa. Dipukul dan dicambuk setiap hari. Tidak ada kasino, tidak ada Las
Vegas.....Kau bohong..yang kau perlihatkan waktu itu di komputer adalah Las
Vegas, kenapa aku sekarang disiksa? Dengan santai Tuhan menjawab; Bill,
Bill..yang kau lihat kemaren itu Screensaver!’’ (Genesis, hal 14).
Dari kutiban di atas tersirat terdapatnya ketidakpusan Ratih terhadap
pembagian wilayah syurga dan neraka, neraka hanya untuk perempuan sedangkan
syurga untuk laki-laki, sebab syurga yang diperlihatkan malaikat di atas dipenuhi
dewi-dewi yang cantik tujuannya untuk menyambut para laki-laki masuk syurga
dan syurga tidak menyediakan para dewa-dewa yang gagah bagi perempuan, jika
perempuan harus mencari para dewa maka carilah di neraka. Maka perempuan
lebih pantas masuk neraka dibandingkan masuk surga. Pembagian wilayah inilah
yang sebenarnya diprotes oleh Ratih, pembagian itu hanya pembohongan saja dan
sephak. Syurga dan neraka hanya dibuat oleh pihak laki-laki yang notabenenya
adalah Barat dan mewacanakannya di dalam sistem, sehingga Ratih sendiri
mengatakan bahwa neraka itu sudah ada di dunia, Las Vegas merupakan sebuah
pintu untuk neraka tersebut.
Dipertegas lagi oleh Ratih di dalam ceritannya dalam kutiban, ‘’pada
awalnya semua dilahirkan sebagai manusia laki-laki. Karena kau berbuat
kesalahan, maka kau dikutuk jadi perempuan’’ (Genesis, hal 14). Sebenarnya yang
digambarkan Ratih adalah dunia laki-laki, dominasi laki-laki terhadap perempuan,
Barat itu adalah laki-laki sedangkan Timur adalah perempuan, lemah dan patut
dilindungi dari kebiadaban laki-lakinya. Juga digambarkan kepesimisan dalam
hidup setelah Ratih mengatakan, ‘’...hidup itu pilihan. Tapi apa benar. Aku sangsi
dengan kalimat itu. Mungkin kelihatannya kita diberikan pilihan.........Tuhan
sudah punya rencana sendiri. Bukankah tuhan maha tahu? Maka aku sekarang
tidak benar-benar memilih, tapi hanya menjalani seperti juga perjalananku kali
ini...’’ (Genesis, hal 15). Kepesimisan itu diperkuat oleh Ratih, setelah tokoh

5
Pawestri menempuh jalan hidup dan berakhir tidak berdaya sama sekali. Si tokoh
digambarkan lebih memilih menuruti arus, karena takdir tetap berada di tangan
tuhan untuk apa lagi berjuang.
Selanutnya pada sub judul -ini tubuhku, secara terang-terangan Ratih
mengungkapkan kebencian yang amat sangat terhadap laki-laki, laki-lakilah yang
sepatutnya dihukum sebab laki-laki hanya mengharapkan seks dari wanita dan
bukan seorang anak. Laki-laki hanya membuat perempuan menderita. Laki-laki
mengatasnamakan pemimpin terhadap dirinya sehingga perempuan tidak lebih
hanya bertugas untuk beranak, tak obahnya mesin pencetak. Uangkapan ini dapat
dilihat dari kutipan ini, ‘’mahluk laki-laki memiliki derajad yang lebih tinggi
dalam hidup. Dan kuharap kau juga laki-laki. Mungkin, aku dulu telah berbuat
salah, maka kini aku dihukum jadi perempuan (Genesis hal 17), laki-laki harus
dihukum,’’Gabriel bercerita bahwa begitu banyak jiwa di syurga yang memprotes
masalah ini itu, maka Tuhan mengutus mereka untuk diajar selama sembilan bulan
sepuluh hari di perut seorang perempuan’’(Genesis, hal 18). Di sini digambarkan
bahwa, si laki-laki untuk sampai ke dunia harus melewati perut seorang
perempuan, agar dia tahu betapa pentingnya perempuan bagi laki-laki dan tidak
hanya untuk kepuasan seks belaka. Tubuh perempuan memang menarik minat
laki-laki, lebih-lebih saat si perempuan sudah menyerahkan seluruh jiwanya ke
pada si laki-laki, laki-laki akan menikmati perempuan sepuasnya saja. Si laki-laki
yang berlidung di balik kode pelindung sebagai pemimpin hanya memanfaatkan
keperempuan untuk kepentingan sex, hal ini dijelaskan dalam kutiban,
‘’kebanyakan rahimku sepertri sarang burung walet jauh tersembunyi di antara
gua dingin, tapi bergitu nyaman dan hangat. Maka banyak yang ingin
merenggutnya. Tiga bulan lalu, kuberikan rahim ini untuk segumpal jiwa, telah
terbentuk sebuah raga baru untuk jiwa-jiwa yang konon dihukum tuhan untuk
diajar ...(Genesis, hal 18-19) dan disambung dalam kutiban, ‘’Aku mendatangi
suamiku, kubawa Noah. Kutunjukan padanya bayi itu. Bayi kami. Dia anak kita,
kataku waktu itu. Lahir dari aku. Tapi suamiku sanksi sebab bagaimana bisa,
sedang dia tidak pernah menyentuhku. Aku telah menikah lebih dari setahun tapi
aku masih juga perawan. Maka aku menceritakan tentang Pawestri padanya. Tapi
dia tetap tidak percaya ......aku telah tidur dengan laki-laki lain dan tidak mau

6
tidur dengan suaminya sendiri. Padahal aku sangat mencintainya, maka aku ingin
memberikan anak untuknya. ...suamiku telah berhubungan dengan perempuan
lain…..ia menginginkan seks dan aku tidak bisa memberikannya’’. (genesis, hal
39). Akan kejadian ini, Ratih menyalahkan asal kejadian manusia yang tidak adil,
merugikan perempuan, perempuan digambarkan hanya korban dari rayuan laki-
laki, sehingga perempuan dikutuk tuhan menjadi orang yang menderita, dijelaskan
dalam kutibab, ‘’..Mereka berupa ular jejadian penggoda Eva di Nirwana.
Memberi rasa malu, membuat Tuhan mengutuk perempuan untuk merasakan
sakit melahirkan ....Tugas perempuan adalah beranak, beranak dan beranak hingga
mirip mesian pencetak. Lalu laki-laki melatih anak-anak mereka untuk
menyesatkan manusia. Di sela-sela kepesimisan dan kenihilan ternyata Ratih
masih menawarkan sebuah solusi untuk perempuan yang menderita dalam
melahirkan anak tidak dinginkan yaitu dengan memindahkan janin ke perut orang
lain, namun memiliki resiko yang sangat besar (Genesis hal, 25). Jadi laki-lakilah
yang sebenarnya syetan itu.
Pada cerita selanjutnya dengan kritis Ratih melihat fenomena yang
berkembang, dia mulai meragukan apa yang benar-benar terjadi maupun kejadian
turunan dari nenek moyang. Di mulai dengan kelahiran anak yang tidak
dinginkan. Di dalam ceritakan bahwa anak itu mampu menjadi seorang nabi, juru
selamat manusia. Hal ini digambarkan oleh Ratih dengan memposisikan Noah
dengan Nuh sipembuat kapal, pada akhir cerita novel ini memang dibuktikan
bahwa Noah mengikuti jejak LSM untuk menyelamatkan para korban perang
dengan kapal Srigunting. Sebagai sindiran atas kekejaman penguasa, Ratih
menceritakan pun menyamakan Noah dengan Nabi Musa yang mengalahkan
Fir’un (Amnehotib) (Genesis, hal 28). Selanjutnhya protes Ratih terhadap kristen
yang menyamakan manusia dengan domba yang tersesat, kode ini juga buatan
pengausa saja, penguasa gereja yang ingin mengambil kristen hanya untuk dirinya
saja dan bukan kristen dianggap para domba yang harus diselamatkan, kata domba
dan pengembala sengaja digunakan untuk merendahkan derajat orang-orang kecil,
Yesus diumpamakan sebagai pengembala, sementara bukan Kristen adalah para
domba yang bodoh tanpa petunjuk. Kritikan ini tercermin dalam kalimat, ‘’tapi
umat percaya Yesus lebih percaya bahwa Yesus lahir di kandang domba. Maka

7
mungkin itu sebab kelak ada kalimat ‘’Tuhan adalah gembalaku’, aku’diibaratkan
sebagai domba yang buta arah sekaligus bodoh. Maka butuh petunjuk dari seorang
gembala’’(Gensesi, hal 29). Kemudian Ratih menyimpulkan tuhan telah mati,
seperti yang pernah dikemukan oleh Nieczthe di dalam Zaratustra (2007). Oleh
karena itu, Tuhan perlu dihidupkan lagi dengan pencarian yang layak dilakukan
oleh Nabi Ibrahim atau Amnehotib ke IX di Mesir Kuno. Pernyataan ini dpertegas
di dalam kalimat, ‘’lalu Noah mulai menanyakan satu nama yang sering kusebut-
sebut; Allah itu siapa? Kujawab bahwa Allah adalah yang menciptakan kita
semua. Dia tidak berhenti puas dijawaban itu saja, Noah mulai bertanya Allah itu
dimana dan seperti apa rupanya....(Genesis, hal 43).
Sejalan dengan itu, sebagai usaha untuk menghidupakn kembali Tuhan,
Ratih mengirim pembelaannya terhadap kaum tertindas dan tidak
mendiskriminasi. Setiap orang pernah berbuat salah, itu bukan kesalahan, hanya
saja orang itu berada pada saat kondisi yang salah dan situasi yang tidak
bersahabat, waktu yang tidak tepat, bukankah hidup ini sudah ditakdirkan seperti
itu? Perjanjian awal meyatakan bahwa mansia itu tidak pernah sempurna,
kesalahan yang pernah terjadi hanya untuk mendapatkan pelajaran. Oleh karena
itu tidaklah perlu menghukum atau memberikan kutukan seumur hidup.
Kesalahan terletak hanya pada waktu dan kondisi saja. Kemudian diterangkan
dalam kutiban, ‘’Bayangkan jika kau bangun pada sebuah pagi yang berubah
menjadi kutukan bagi hidupmu. Seperti Pinokio nakal yang berubah menjadi
keledai Bengal akibat ulah badungnya di taman ria milik orang-orang jahat’’
(Genesis, hal 46). Ratih juga menyambung dengan sikapnya tegas yang
dinyatakan dalam kutiban, ‘’orang-orang yang kau panggil sebagai ayah dan ibu,
tak lain dan tak bukan hanyalah mereka yang diberi tugas sebagai media jalan.
Identitas asli dari entitas hidup sepenuhnya terpisah dari mereka yang kita panggil
sebagai ayah dan ibu. Hukum alam telah menggariskan, bahwa sang roh dipaksa
masuk ke dalam sperma ayah yang lalu masuk ke dalam rahim ibu. Dia
selayaknya warisan semua untung-untungan…’’ (Gensis, hal 47) dan ‘’Apabila
kau meninggal, lima unsur tubuhmu akan membusuk. Tanah. Air. Eter. Lalu
kembali menjadi elemen-elemen semula; debu. Engkau adalah debu dan kepada
debulah engkau kembali’’ (Genesis, Hal, 48). Bagi Ratih semua hanyalah fana,

8
tiada arti, kita hidup di dunia ini hanyalah sebagai pemain dari scenario takdir
yang dipotong-potong berdasarkan since 1, since 2 dan seterusnya. Lalu kita
melakukan apa yang diperintahkan sang sutradara, bagi yang penyimpang dari
skenario, wajib diulang pemeranan takdir dan parah pemain yang menyimpang itu
akan dilahirkan kembali setelah dihukum sedemikian rupa, salah kembali
dihukum kembali sehingga dosanya memang benar-bena habis. Jadi, dunia ini
tidak lebih dari sekedar hukuman saja. Gambaran ini dapat kita lihat dari kutiban,
‘’hidup ini menarik……Lalu, karena setiap roh betanggungjawab atas karmanya
sendiri maka itu dulu aku harus menjadi capung untuk membayar setelah
kehidupan sebelumnya menjadi mucikari dan karena belum lunas juga membayar
dosa mucikari, maka aku dihukum menjadi perempuan yang menderita dan mati
menggenaskan di rumah jompo’’ (Genesis, Hal 50).
Dunia ini hanyalah tempat hukuman, kekacauan yang direncanakan saja
oleh sang sutradara, Ambon yang dipilh sebagai latar konflik adalah sebuah latar
yang cocok untuk menggambarkan kenihilan dunia. Pembunuhan, pembakaran,
pertikaian, permusuhan, politik dunia mengejar nafsu serakah mengorbankan apa
saja termasuk agama. Semua dapat dipertaruhkan untuk mencapai kepentingan, di
Ambon digambarkan oleh Ratih sebuah lautan derita yang seyogyanya harus
diterima oleh setiap manusia. Dunia hanya tempat menunggu ajal saja, manusia
belum boleh merasakan hidup abadi, kalaupun hidup abadi tetapi bukan dunia ini
tempatnya. Di dunia manusia semuanya akan dihkum, didera, dihinakan atas
perbuatan yang telah dilakukan maupun perbuatan yang tidak dilakukannya. Ratih
menggambarkanya, ‘’bukankah konflik Maluku itu dulu diawali dengan
pertikaian dua kelompok preman di Jakarta lalu preman-preman itu dikembalikan
ke kampung asalnya di Ambon dan di sana mreka kembali melanjukan
pertikaiannya. Religi hanyalah imbas kecil dari pertikaian tersebut, kemungkinan
besar juga karena ditambah kompor-kompor yang memanaskan dari provokator’’
(genesis, hal 68). Jadi, preman yang membuat ulah di Jakata harus bertanggung
jawab atas kesalahan, berikut seluruh keluarganya juga mendapat bias malapetaka
yang amat sangat menyakitkan, dengan pengkodean perang antar agama.
Selanjutnya, Ratih menggambarkan di dalam suasana perang semua hal
dapat terjadi, hilangnya kepercayaan, pemanfaatan menyeluruh. Suasana

9
ketidaktentraman akan membias kepada siapa saja, malahan yang ditugaskan
untuk menciptakan dan menjaga keamanan tersebut malah memanfaatkan suasana
ketidakamanan itu untuk kepentingan pribadi. Seharusanya tentara yang
digambarkan di dalam cerita ini, yang notabenenya untuk membantu mengatasi
konflik, namun realisasinya tidak seperti itu, para tentara yang bertugas di Ambon
merasa berutung dengan situasi ini. Kutiban ini menjelAskan , ‘’seorang laki-laki
yang berpakaian tentara mendekatiku…..’suster butuh bantuan?….kami bisa
bantu, kami juga akan ke Ambon’ dia lalu menunjuk ke arah sebuah mobil
tentara….dengan kami tujuh puluh lima ribu saja…’ aku tersintak. Kaget.
Terdiam. Tentara itu juga cari duit’’ (Genesi, hal 73). Jadi, apa yang digambarkan
di atas jelas untuk menyatakan tentara hanya sebagai pelengkap dan Ambon tidak
butuh bantuan tentara.
Kemudian, keraguan berlanjut pada gereja yang pada awalnya Pawestri
sebagai tokoh sangat mengormati kaum kemurnian gereja, sehingga dia sendiri
membunuh cintanya kepada seorang pastor, walau pastor senior telah
mengizinkan Pawetri untuk menikmatai rasa cinta itu. Namun, tokoh sebagai
salah seorang yang pernah tersesat mengira pintu tobat yang telah dibukanya
sendiri mampu meredam dan menghapus segala dosanya, dengan harapan dia bisa
menemui kebenaran sejati melalui gereja, ternyata semua itu hanya nihil, gereja
hanya kode yang dibuat manusia, tuhan hanya diciptakan oleh manusia gereja
seperti pastor dan suster, hal ini jelas dalam kutiban, ‘’Tiba-tiba saja mataku mulai
terbuka. Aku melihat sejumlah hubungan-hubungan gelap yang terjadi di
lingkungan gereja Khatolik, Antara Pastor dengan suster, antara suster dengan
laki-laki awam dan antara pastor dengan perempuan awam’’ (Genesis, hal 77).
Crita ini lebih mirip pada film Casanova, yang diproduksi oleh Mark Gordon
Company dan Hallstrom/holleran, tahun 2005 (Touch Hstone Home
Enterteinment) di dalam cerita digambarkan kebobrokan gereja, pastor cemburu
terhadap Casanova yang telah meniduri para suster gereja kemudian orang
suruhan pastor memburu Casanova.
Kembali peda symbol, manusia sebagai mahluk simbolikum dikatakan
sebagai binatang yang berpikir, manusia sebagai mahluk yang berakal adalah
manusia yang dikendalikan oleh symbol yang telah ratusan dan bahkan ribuan

10
tahun dan manusia itu sendiri telah disimbolkan ataupun menyimbolkan diri untuk
kepentingan pribadi maupun sekelompok orang. Dengan menggunakan embel-
embel agama symbol akan cepat diakui oleh khalayak ramai, kepentingan politik,
budaya sebagai memperlambangkan jiwa sosial juga tidak akan luput dari itu
sehingga sedikit sekali symbol dimanfaatkan untuk kepentingan spritual.
Begitupulah cerita yang digambarkan dalam genesis, selama ini manusia
menghujat iblis, syetan sebagai mahluk yang paling durhaka kepada Tuhan,
mahluk yang dilaknat Tuhan sejak dari Syurga.
Namun, dipandang dari pikiran terbalik Syetan adalah mahluk yang sangat
jujur, mempunyai identias, kredibilitas, harga diri dan patut pula sikap
ketauladannya dijadikan percontohan untuk mahluk mulia. Manusia hanya bisa
berdusta, mengalihkan wacana dan memanfaatkan segala macam cara untuk
mencapai kepentingan, sekarang iya dan besok bisa saja berubah menjadi tidak.
Kejujuran berdasarkan kondisi dan situasi yang terjadi pada masa itu saja. Seperti
itulah manusia, tidak lebih dari sekedar ular yang berkepala dua, seperti vonis
yang diberikan kepada luciver si ular yang tidak lain adalah Syetan itu sendiri.
Sewaktu Syetan disuruh sujud kepada Adam, Syetan menolak, karena yang pantas
disembah hanya Tuhan sebagai pencitanya, Adam tidak lebih mulia dari Tuhan,
makanya Syetan tidak mau bersujud kepada adam. Kemudian Syetan mempunyai
komitmen yang tangguh dan atas izin Tuhan sendiri untuk menggoda Adam dan
Hawa hingga seluruh anak cucunya. Komitmen itu selalu dipegang oleh Syetan
hingga hari kiamat. Ratih mengatakan bahwa Syetan itu termasuk malaikat yang
disisihkan. Hal ini dijelaskan oleh Ratih dalam kutiban, ‘’Pada awalnya, tak ada
mahluk yang bernama Syetan, Iblis dan semacamnya. Yang ada hanyalah
Malaikat. Saat tiba Tuhan memerrintah semua mahluk tunduk kepada Adam,
sekelompok Malaikat tidak mau. Kelompok itulah yang kelak dibedakan dengan
sebutan Syetan. Mereka tak hendak tunduk kepada Adam buka merasa darjadnya
lebih tinggi, melainkan karena berpendapat bahwa tidak ada yang patut disembah
selain Tuhan’’ (Genesis, hal 81-82). Ini dapat juga dinamakan dengan keteladanan
mahluk Syetan. Akankah Syetan masuk surga?
Di sisi yang sama, Ratih juga menceritakan keganasan sorang ibu yang
melahirkan anak hingga kekejaman perang antar agama di Ambon, kaum Obet

11
versi Kristen dan kaum Acang versi Islam, saling bunuh dan menyemblih.
Perbuatan ini hanya dilakukan berdasarkan kode yang mendukung keberadaan
kaum Acang dan juga Obet. Obet yang identik dengan symbol-simbol Kristen
akan diburu oleh kaum Acang yang mengenakan symbol islam. Sementara Noah
yang bergabung dengan LSM dengan tujuan sebagai tim penyelamat hanyalah
menggunakan LSM sebagi tembok pelindung untuk menemukan ibu yang
sebenarnya di tanah perang. Di alamnyatanya, Sawitri yang yang berposisi
sebagai ibu yang melahirkan Noah tidak bisa menerima Noah direbut oleh istrinya
sendiri, Elmira. Kecemburuan Sawitri inilah yang membopong Noah untuk hadir
di dalam perang. Sawitri sebagai ibu Noah tidak rela anaknya dinikmati oleh
orang lain. Hal ini tergambar dalam kutiban, ‘’Ada alasan lain yang tak dikatakan
Sawitri, adalah lebih baik jika Noah pergi mencari ibu indung telurnya dari pada
tetap berada di rumah itu bersama perempuan lain, bersama Elmira. Dia cemburu’’
(Genesis, hal 113). Dari kutiban itu terungkap Nihilnya keiklasan seorang ibu
untuk mendidik dan membesarkan anak. Selanjutnya perang agama yang terjadi di
Ambon tidak lebih hanya perang symbol dan bukanlah perang ideologi.
Kenyataan ini dapat dilihat dari sikap, Suter Frustina yang dulunya bernama
Pawestri menginginkan sebuah keselamatn dan keadilan, dia pun terpaksa
meluluhlantakan symbol yang dia kenakan demi keselamatn dirinya, ‘’suster
maaf..kalau suster mau ikut kapal kami berarti suster harus melepas jubah Anda
dan mengunakan pakaian orang biasa’’ (Genesisi, hal 130). Kalimat itu mampu
membuat dan memberikan keselamatan bagi Pawestri untuk selanjutnya ikut
menumpang di kapal Srigunting.
Berbicara tentang konsep nihil, penulis ingat kepada soeorang filsuf gila
Nieztche yang pernah ditulis di dalam Zarathustra (2007) atas kematian tuhan dan
siapa yang mebunuh tuhan. Hal serupa juga tergambar di dalam novel ini,
tepatnya pada kutiban, ‘’Di sini kawan..adalah tempat yang mampu merubah
dirimu dan segala kepribadianmu yang telah tertata apik. Di sini kawan, adalah
tempat kau bisa melihat sisi berbeda pada tiap bentuk trapezium yang telah
terbangun. Di sini kawan adalah tempat kau bisa menemukan Tuhan atau
membunuhnya’’ (Genesis, hal 149). Secara tidak langsung kutiban itu
menyiratkan bahwa di dalam kondisi perang segala hal dapat terjadi, dari

12
pembunuhan manusia, moral, nilai, hingga pembunuhan Tuhan itu sendiri.
Nieztche mengatakan Zaratustra turun dari gunung, ingin mendakwahkan tentang
kematian tuhan, kita telah membunuhnya, namun di balik itu tersirat sebuah usaha
untuk melahirkan tuhan kembali untuk membunuh para tuhan, para Tuhan adalah
kesombongan, keaangkuhan dan egoistis.
Sejalan dengan itu, Piliang dan Umberto eko pernah mengungkap tentang
dunia Hyperrealitas, tepat sekali dengan realitas di dalam novel ini, dimana tanda
tidak lagi bermakna, persetubuhan transenden dengan imanem, hilangnya
kejujuran, nilai-nilai, moral dan agama. Dapat diperhatikan seorang Pawestri yang
berselibat menjadi seorang suster idealis, sementara hadiah dari usaha baik itu
hanya hukuman mati, Pawestri sengaja dibuat gila dan lupa ingatan. Jadi Ratih
menceritakan bahwa kebzikan itu tidak ada lagi, semuanya telah membaur dengan
kejahatan, mana yang baik dan jahat itu tidak jelas, tidak ada dinding pemisah.
Usaha yang dilakoni oleh Dr. Sandra hanya untuk mengobati Pawestri, justru
membuat Pawestri gila dan di akhir cerita Pawestri ditemukan di pantai dengan
kondisi yang sangat menggenaskan. Itulah hadiah kejujuran yang wajib diterima
oleh Pawestri. Sementara itu, Noah terus terapung dengan kapal Srigunting hingga
dia menemukan Ibu yang tidak akan pernah ditemukannya hingga akhir hayat.

Sumber Bacaan

Eko, Umberto. 1987. Terjemahan; Tamsya dalam Hyperealitas. Yokyakarta: Jala


Sutra.
Foucult, Michel. 2002. Terjemahan; Kegilaan dan Peradaban. Yogyakarta: Ikon
Terlitera
Gandhi, Leela. 2001. Teori Postkolonial. Yokyakarta: Qalam.
Kumala, Ratih. 2005. Genesis. Yokyakara: Insis Press.
Lomba, Anya. 2001. Kolonial dan Pasca Kolonial. Jakarta: Bentang.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat: Tamsya Melampoi Batas-batas
Kebudayaan. Yokyakarta: Jala Sutra.
Nietzche, Frederik. 2007. Terjemahan; Zarathustra. Yokyakarta: Bentang.

13
Said, Edwar W. 1978. Terjemahan; Oreantalisme. Bandung: Pustaka.
Sunardi, ST. 1996. Nietzche. Yokyakarta: LKIS.

14

Anda mungkin juga menyukai