1. Pengantar
Tinjauan terhadap struktur birokrasi dan sistem kekuasaan di Flores Timur ini
dimaksudkan sebagal studi awal yang mencoba memahami beberapa tradisi pengalaman
bermasyarakat, dalam kaitan dengan artinya sebagai pelaku sosial untuk lebih memahami
proses kerja sistem sosial. Tradisi di sini dimengerti sebagai suatu pola atau sistem makna
dalam bentuk simbol-simbol yang diwariskan secara historis, suatu acuan wawasan
turun-temurun yang melaluinya masyarakat berkomunikasi, meneruskan, dan
rnengembangkan pengetahuan dan pola sikap mereka tentang dan atas kehidupan. Dalam
berbagal tradisi suku-suku bangsa, peranan ritus dan mitos dalam tatanan sosio-kosmik
menduduki posisi penting. Posisi itulah yang terutama disoroti dalam uraian ini.
Beberapa masalah teoritis yang muncul dan pembahasan tentang struktur birokrasi
dan sistem kekuasaan tradisional di Flores Timur membuka cakrawala budaya yang lain
daripada yang telah digariskan oleh paradigma kebudayaan „nasional‟. Dengan demikian
akan tampak, bahwa untuk mencapai suatu sistem pengaturan sosial yang bersifat
„umum‟ (nasional), masih banyak yang perlu dikerjakan. Pandangan yang demikian itu
kiranya mengingatkan juga, bahwa dalam sistem pengaturan sosial perlu ditemukan
pendekatan-pendekatan yang sesuai dan memadai, antara lain dengan menangkap
perspektif yang cukup luas dari kehidupan kebudayaan setempat. Tanpa memanfaatkan
kemampuan pribumi dalam sistem pengaturan sosial itu, maka evolusi masyarakat kita
akan lebih dibentuk oleh kekuatan-kekuatan eksternal yang pada gilirannya membentuk
makhluk-makhluk yang secara spiritual terasing dari buminya sendiri. Pentingnya
memasukkan faktor budaya dalam menganalisis pembangunan berkaitan erat dengan
fungsi budaya, yang menurut para ahli kebudayaan (seperti Galtung, 1980), memainkan
peranan yang sangat menentukan dalam pergerakan sosial besar yang mengubah
masyarakat.
Dalam konteks itulah pembicaraan tentang upaya mengangkat taraf kehidupan
warga ke arah kelayakan sebagai human being ditempatkan. Salah satu upaya dalam
kerangka itu adalah sedapat mungkin memanfaatkan jiwa, semangat, dan dorongan-
dorongan yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Dengan memahami tradisi
pengalaman bermasyarakat suatu etnik dan mendasarkan kebijaksanaan atas kebudayaan
mereka masing-masing, akan bisa dicegah kebijaksanaan yang menimbulkan situasi
disintegratif dan mengakibatkan konflik kebudayaan dalam masyarakat tersebut. Pokok-
pokok masalah yang dibicarakan dalam tulisan ini mencakup: latar belakang dan sejarah
1
Yoseph Yapi Taum, dosen Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Makalah ini
pernah dimuat dalam Jurnal Kebudayaan Basis di Yogyakarta, tahun 1997. Alamat email:
taum1612@yahoo.com
6. Penutup
Dari seluruh uraian mengenai struktur birokrasi dan sistem kekuasaan tradisional
Flores Timur di atas, tampak bahwa ada hasrat yang kuat dalam masyarakat yang sangat
heterogen itu untuk membentuk „organisasi bersama‟ yang lebih kohesif dan efektif
mengatasi berbagai kelemahan struktural dalam masyarakatnya. Selalu ada pemikiran
tentang relasi timbal-balik yang harmonis antar berbagai faktor yang saling bertentangan.
Yang terjadi dalam kasus pembentukan birokrasi dan pola-pola kekuasaannya tak lain
adalah internalisasi dialektis atau dinamis dari unsur-unsur kebudayaan yang
heterogenetik dan ortogenetik.
Dari pengalaman dan penghayatan hidup bersama itu, terciptalah sistem nilai dalam
bentuk simbol-simbol yang akan menjadi acuan kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Demikian maka kekuasaan raja hanya bersifat temporal dan berasal dari berbagai sumber
(seperti Raja Kedua, Kumpulan Anggota Besar, Koten Larantuka, tuan tanah, dan kepala-
kepala distrik kakang). Tuan tanah memiliki kekuasaan dan segi administrasi kerajaan
maupun kekuasaan spiritual, sehingga terjadi interaksi timbal-balik yang harmonis antara
agama dan politik, pusat dan daerah, penduduk pribumi dan imigran. Legitimasi dan
kohesi sosial itu diperkuat lewat intensifikasi mitologis dan ritual yang khas.
Daftar Pustaka
Anderson, B.R.O.G. 1972. „The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Hoit. C., ed.
Culture and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
Barlow, Colin, et.al. 1989. Potensi-potensi Pengembangan Soslal Eko-nomi di Nusa
Tenggara Timur. Canberra: Australian National University.
Fernandez, F.K. 1981. Semana Santa: Upacara Devoci Tradisional di Larantuko.
Larantuka: Konfrerta Reriha Rosari.
Galtung, Johan. 1980. The True Worlds: A Transnational Perspectives. New York:
MacMillan Co.
Graham, Penelope. 1985. Issues in Social Structure in Eastern Indonesia. Oxford
University Press.
Kennedy, R. 1955. A Notes on Indonesia: Flores 1949-1950. Human Relations Area
Mubyarto, et.al. 1991. Etos Kerfa dan Kohesi Sosial Masyarokat Sumba, Rore, Sabu,
Timor di WIT. Yogyakarta: P3PK UGM.
Petü, Piet. 1967. Nusa Nipo: Nama Pribumi Nusa Flores. Ende: Nusa indah.
Soemargono, K. et.al. 1992. Profil Propinsi RI: Nusa Tenggara Timur. Jakarta: PT
lntermasa.
Taum, Yoseph Yapi. 1993. “Tradisi dart Transformasi Cerita Wato Weie-Lla Nurat
dalam Cerita Rakyat FIbres Timur Makalah Seminar Tradisi Lisan Nusan
tara. Jakarta: FS-U1.Van Wouderi, F.A.E. 1985. KIen, Mites don
Kekuasaan: Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur. Jakarta: Grafiti Pers.
Vatter, Ernst. 1984. Ata Kiwan. Diterjemahkan dari Ata Kiwan Unbekannte
Berguolker Im Tropisehen Holland (1932) oleh S.D. Sjah. Ende Nusa lndah.