Anda di halaman 1dari 8

STRUKTUR BIROKRASI DAN

KEKUASAAN TRADISIONAL DI FLORES TIMUR


Oleh Yoseph Yapi Taum1

1. Pengantar
Tinjauan terhadap struktur birokrasi dan sistem kekuasaan di Flores Timur ini
dimaksudkan sebagal studi awal yang mencoba memahami beberapa tradisi pengalaman
bermasyarakat, dalam kaitan dengan artinya sebagai pelaku sosial untuk lebih memahami
proses kerja sistem sosial. Tradisi di sini dimengerti sebagai suatu pola atau sistem makna
dalam bentuk simbol-simbol yang diwariskan secara historis, suatu acuan wawasan
turun-temurun yang melaluinya masyarakat berkomunikasi, meneruskan, dan
rnengembangkan pengetahuan dan pola sikap mereka tentang dan atas kehidupan. Dalam
berbagal tradisi suku-suku bangsa, peranan ritus dan mitos dalam tatanan sosio-kosmik
menduduki posisi penting. Posisi itulah yang terutama disoroti dalam uraian ini.
Beberapa masalah teoritis yang muncul dan pembahasan tentang struktur birokrasi
dan sistem kekuasaan tradisional di Flores Timur membuka cakrawala budaya yang lain
daripada yang telah digariskan oleh paradigma kebudayaan „nasional‟. Dengan demikian
akan tampak, bahwa untuk mencapai suatu sistem pengaturan sosial yang bersifat
„umum‟ (nasional), masih banyak yang perlu dikerjakan. Pandangan yang demikian itu
kiranya mengingatkan juga, bahwa dalam sistem pengaturan sosial perlu ditemukan
pendekatan-pendekatan yang sesuai dan memadai, antara lain dengan menangkap
perspektif yang cukup luas dari kehidupan kebudayaan setempat. Tanpa memanfaatkan
kemampuan pribumi dalam sistem pengaturan sosial itu, maka evolusi masyarakat kita
akan lebih dibentuk oleh kekuatan-kekuatan eksternal yang pada gilirannya membentuk
makhluk-makhluk yang secara spiritual terasing dari buminya sendiri. Pentingnya
memasukkan faktor budaya dalam menganalisis pembangunan berkaitan erat dengan
fungsi budaya, yang menurut para ahli kebudayaan (seperti Galtung, 1980), memainkan
peranan yang sangat menentukan dalam pergerakan sosial besar yang mengubah
masyarakat.
Dalam konteks itulah pembicaraan tentang upaya mengangkat taraf kehidupan
warga ke arah kelayakan sebagai human being ditempatkan. Salah satu upaya dalam
kerangka itu adalah sedapat mungkin memanfaatkan jiwa, semangat, dan dorongan-
dorongan yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Dengan memahami tradisi
pengalaman bermasyarakat suatu etnik dan mendasarkan kebijaksanaan atas kebudayaan
mereka masing-masing, akan bisa dicegah kebijaksanaan yang menimbulkan situasi
disintegratif dan mengakibatkan konflik kebudayaan dalam masyarakat tersebut. Pokok-
pokok masalah yang dibicarakan dalam tulisan ini mencakup: latar belakang dan sejarah

1
Yoseph Yapi Taum, dosen Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Makalah ini
pernah dimuat dalam Jurnal Kebudayaan Basis di Yogyakarta, tahun 1997. Alamat email:
taum1612@yahoo.com

Struktur Birokasi dan Sistem Kekuasaan Tradisional di Flores Timur 1


singkat tentang Kerajaan Larantuka; pembagian wilayah tenitorial Kerajaan Larantuka di
Flores Timur sebagai ajang berputarnya roda pemerintahan zaman itu; bentuk-bentuk
hirarki jabatan; dan bentuk-bentuk organisasi pemerintahan waktu itu beserta aparatur-
aparaturnya. Tulisan ini akan diakhiri dengan kesimpulan dan implikasi.

2. Latar Belakang dan Sejarah Kerajaan Larantuka


Sumber-sumber tertulis yang memberi informasi tentang Kerajaan Larantuka
sampai dengan kedatangan bangsa Barat, tidak tersedia sehingga sulit dipastikan sejak
kapan kerajaan ini muncul. Beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa pada abad ke-13
dipastikan sudah ada sistem pemerintahan yang teratur di bawah pimpinan seorang raja
(Soemargono, ed., 19 92:9).
Sumber-sumber tradisi lisan, yang sebagiannya masih terpelihara melalui tutu
maring usu-asa (cerita asal usul) yang dikeramatkan, kiranya .merupakan bahan berharga
yang membantu memberikan penjelasan tentang sejarah, kebudayaan, dan pandangan
dunia masyarakat Flores Timur. Beberapa peneliti etnografi telah memanfaatkan dengan
baik sumber-sumber tradisi lisan ini (lihat, misalnya Vatter, 1984; Graham, 1985; Petu,
.1967; Van Wouden, 1985). Dalam tulisan inii dimanfaatkan sumber tradisi lisan dan.
beberapa sumber tertulis.
Sejarah kependudukan masyarakat NTT pada umumnya menunjukkan bahwa
propinsi ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas
yang hampir-hampir eksklusif sifatnya. Masing-masing etnik menempati wilayah tertentu
lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota
masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989:12; Mubyarto, 1991:5). Kenyataan ini
membawa tantangan tersendiri, terutama jika heterogenitas itu menimbulkan konflik
kebudayaan. Khusus dalam masyarakat Flores Timur, gejala heterogenitas terlihat dalam
sejarah asal usul, suku, bahasa (dialek), filsafat dan pandangan dunia. Pembicaraan
mengenai aspek-aspek tersebut acap kali memunculkan perdebatan sengit antara berbagai
orang yang memegang „otoritas‟ (Vatter, 1984:71). Suatu persoalan yang menarik untuk
dikaji lebih dalam adalah, bagaimana masyarakat yang pluralistik seperti itu membangun
sebuah komunitas hidup bersama dan mengembangkan semacam „lembaga peredam
konflik‟.
Dari berbagai tradisi lisan, dapat diketahui bahwa yang disebut suku asli Flores
Timur adalah kelompok suku Ile Jadi (yakni suku yang leluhurnya —Wato Wele Oa
Dona dan Lia Nurat Nuru Nama— dilahirkan dari dalam gunung Ile Mandiri). Sedangkan
suku-suku pendatang/imigran adalah suku Tena Mau (yang datang ke Flores Timur
karena perahu (tena) mereka terdampar (mau); kelompok Sina Jawa (adalah kelompok
pendatang yang berasal dari berbagai wilayah di Nusantara bagian Barat); kelompok
Kroko Puken ( kelompok imigran dari Pulau Lepan Batang, pulau yang dipercaya telah
tenggelam ke dasar laut). Pengaruh-pengaruh luar yang masih dapat diketahui adalah
pengaruh Jawa (diduga berasal dad masa Hindu abad ke-13); Bugis Mákassar (diduga
bermula dari abad ke-16, terbukti sampai sekarang masih terdapat naskah lontar
bertulisan Bugis di Pulau Solor), Ambon/Maluku (terutama dalam zaman pemerintahan
Belanda pada awal abad ke-17), Portugis (yang tiba di Solor tahun 1556, disertai migrasi

Struktur Birokasi dan Sistem Kekuasaan Tradisional di Flores Timur 2


besar-besaran penduduk Melayu Kristen ketika Portugis ditaklukkan Belanda tahun 1641
di Malaka) (Soewondo, 1981 : 22-24; Fernandez, 1984; Taum, 1993).
Menurut berbagai cerita rakyat, pendiri Kerajaan Larantuka adalah seorang tokoh
„pendatang‟ dari Sina Jawa bernama Pati Golo Arakiang (seringkali tokoh ini dihubung-
hubungkan dengan mitos tentang Majapahit. Misalnya: Nama „Pati‟ dan „Arakiang‟
disejajarkan dengan gelar „Patih‟ dan Rakryan‟ dari kerajaan Majapahit). Pati Golo
Arakiang memperoleh kekuasaan sebagai raja Larantuka berkat perkawinannya dengan
tokoh legendaris dan mitobogis setempat yakni Wato Wele Oa Dona. Seperti dinyatakan
di atas, Wato Wele yang bersaudara dengan Lia Nurat merupakan tokoh mitologis yang
menjadi cikal bakal penduduk suku Ile Jadi. Dengan demikian, terbangun suatu hubungan
kekerabatan antara Ile Jadi dengan keturunan Pati Golo Arakiang (Larantuka). Sekalipun
terdapat pola kekerabatan, ternyata hubungan itu banyak menimbulkan konflik dan
pertentangan. Permusuhan dan pertentangan antara kedua kelompok itu bahkan
menimbulkan peperangan yang berlangsung beratus-ratus tahun lamanya dan sukarI
didamaikan sampai dengan abad ke-19 (Vatter, 1984:23-24). Dalam perkembangan
selanjutnya, perang yang terkenal dengan nama Perang Paji Demon itu bergeser menjadi
perang antara orang-orang Demon (yakni pengikut raja-raja Kristen dari Larantuka)
melawan orang-orang Paji (yakni pengikut raja-raja Islam dari Adonara dan Solor, tanpa
melihat apakah mereka Islam, Kristen atau kafir). Selaras dengan itu dibedakan antara
„tanah Paji‟ dan „tanah Demon‟; Paji Nara dan Demon Nara (Vatter, 1984:24-25;
Graham, 1985:59-60).
Dari perkawinan Pati Gob dan Wato Wele, lahir tiga putra yakni : Kudi Lelen Bala
(yang kelak menurunkan orang Waibalun), Padu Ile (yang kelak menurunkan raja-raja
Larantuka), dan Lahalapan (yang kelak menurunkan orang-orang Balela). Yang dikenal
sebagai raja pertama Kerajaan Larantuka adalah Sira Demon Pagong Molang, karena raja
inilah yang meletakkan dasar pemerintahan dan penataan kerajaannya.

3. Pembagian Wilayah Teritorial


Raja Sira Demong Pagong Molang membagi dan menetapkan wilayah Kerajaan
Larantuka atas 10 distrik kakang (kakangschap) yang disebut “Demon Lewo Pulo”, yang
dikuasai oleh raja Larantuka sebagal “Raja Koten Demon Lewo Pulo” Penetapan
kesepuluh wilayah kakang itu dilaksanakan dengan upacara ritual pemotongan kerbau.
Kesepuluh wilayah kakang itu adalah: Kakang Hadung dan Kakang Lamalera (di
Lembata), Kakang Boleng dan Kakang Horowura (di Adonara), Kakang Pamakayo dan
Kakang Lewolein (di Solor), Kakang Wobo, Mudakaputu, Lewingo, dan Lewotobi (di
ujung timur Flores Timur). Dari kesepuluh wilayah itu, kakang Hadung dan Boleng
menduduki posisi yang lebih penting, sebagai semacam pusat dari 4 wilayah lainnya,
sehingga Graham (1984:125) mengidentifikasi model organisasi politik di Flores Timur
adalah „2x4‟. Model pembagian organisasi wilayah seperti itu terlihat pula dalam
pembagian wilayah di pusat Kerajaan Larantuka. Pusat wilayah kerajaan adalah Lokea,
yang bersama-sama dengan 8 kampung lainnya (Posto, Pohonsirih, Pohonrau, Gegeb,
Renion, Kotta, Kottasau, dan Kottaruido) membentuk „rumah raja‟. „Rumah Raja‟
dikelilingi oleh 4 kompleks kampung (yang dikenal dengan istilah po atau pau) yakni
Lewonama, Waibalun, Balela, dan Lewerang. Ketika pemerintahan di Lewerang tidak

Struktur Birokasi dan Sistem Kekuasaan Tradisional di Flores Timur 3


berjalan, raja mengambil alih kampung itu dan memindahkan pusat wilayah dari Lokea
ke Larantuka.
Kelompok-kelompok imigran (Sina Jawa dan Kroko Puken) ditempatkan dalam
wilayah tertentu. Kelompok Sina Jawa menempati tanah di Tengah dan Lebao.
Kelompok Kroko Pukeng (yang terdiri dari dua gelombang kedatangan) ditempatkan di
Lewolere (yang dikepalai oleh seorang kepala kampung) dan di Lehayong (yang
dikepalai oleh raja dari Kroko Pukeng). Dalam hal struktur administrasinya, masing-
masing kelompok imigran itu dipimpin oleh ketuanya sendiri, sedangkan raja dari Kroko
Pukeng diangkat mengepalai para ketua itu, sehubungan dengan posisi awal otoritasnya.
Wilayah yang terletak antara Lewotala dan Kawaliwu di teluk kepala yang
berdekatan dengan distrik kakang Mudakaputu disebut „kakang di dalam rumah‟ yang
mengacu pada rumah inti raja. Subdistrik ini secara langsung berada di bawah raja
Larantuka dan bertugas sebagai tuan rumah jika kesepuluh kakang lainnya —yang lebih
bebas— dipanggil ke Larantuka untuk melakukan pertemuan ataupun upacara korban.
Kesepuluh distrik kakang digambarkan oleh Graham (1985:127) sebagai „vassal
state‟ (negara jajahan). Masing-masing kakang memiliki sistem administrasinya sendiri
tetapi tetap mengakui kekuasaan Raja Larantuka. Dalam situasi perang, negara-negara
jajahan itu wajib menyerahkan upeti dan menyumbangkan serdadu.
Selain wilayah kakang yang dihuni oleh kaum Demon, wilayah Flores Timur zaman
itu mengenal pula wilayah „watan‟ (pantai) yang dihuni oleh kaum Paji. Ada lima
wilayah Paji, yang disebut Paji Watan Lema, yakni: Lewotolok, Labala, dan Kedang (di
Lembata), Lamahala dan Trong (di Adonara), Lamakera dan Lewayong (di Solor), dan
Tanjung Bunga (di ujung timur Flores Timur). Wilayah Paji Watan Lema itu dikuasai
oleh Raja Adonara sebagai Raja Paji Watan Lema. Dalam pertempuran-pertempuran
yang berulang-ulang terjadi antara Belanda dan Portugis dalam abad ke-17, orang-orang
Belanda selalu bersekutu dengan raja-raja Islam dari wilayah Paji; sedangkan Portugis
bertumpu pada Kerajaan Larantuka yang rajanya dibaptis pada tahun 1645 (Vatter, 1984:
21).
Di Lewayong (Solor) terdapat tradisi kerajaan Islam yang mempunyai supremasi
yang mantap terhadap kerajaan-kerajaan Islam lainnya, terutama sekitar tahun 1680
dalam masa pemerintahan Ratu Nyai Chili Muda.

4. Bentuk-bentuk Hierarki Jabatan


Sekalipun dalam kerajaan Larantuka sudah dikenal adanya penguasa „ tunggal ‟
yakni raja, pola kekuasaannya tidak dapat disamakan dengan pola kekuasaan raja-raja
tradisional di berbagai wilayah lainnya di Indonesia. Raja Larantuka tidak memiliki pola
kekuasaan „permanen dan rutin.‟ Kekuasaannya bersifat „temporal dan berasal dari
berbagai sumber‟ serta „dilegimitasi melalui indentifikasi mitos dan ritus‟ ( Graham,
1985: 130-131 ). Bandingkan dengan pola kekuasaan Jawa yang terletak pada “karisma”
yang permanen dan rutin sebagai prinsip dalam organisasi negana (Anderson, 1972:67).
Menurut Anderson, di Jawa memang terdapat birokrasi, tetapi mereka hanya
mendapatkan legitimasi dan otoritasnya dari „pancaran pusat‟ yang melingkupi
keseluruhan struktur dengan energinya.

Struktur Birokasi dan Sistem Kekuasaan Tradisional di Flores Timur 4


Dalam sistem pemerintahannya, Raja Larantuka memiliki satu wakil (deputy) yang
disebut „Raja Kedua‟. Selain itu raja dapat menunjuk 2 kapiten dari keluarga dekatnya
dan 2 kapitan yang biasanya diambil dari keluarga Fernandez. Raja, Raja Kedua, Kapiten,
dan Kapitan membentuk dewan pemerintahan yang disebut Kumpulan Anggota Besar.
Dalam mengambil keputusan, Kumpulan Anggota Besar masih harus mempertimbangkan
saran dari Paoe Suku Lema (baca: Po Suku Lema) sebelum keputusan itu disampaikan
kepada pimpinan 10 distrik kakang (Graham, 1985:127). Paoe Suku Lerna (dari istilah
bahasa Portugis: payao artinya payung) adalah para kepala perang, tentara raja, yang
disebut sebagai Koten Larantuka. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah: Waibalun,
Lewerang, Lewolere, dan Lebao. Istilah Koten mengacu pada kedudukan dalam upacara
pengorbanan hewan dalam rumah adat (korke).
Dalam penelitian Kennedy (1955: 155-156), terungkap bahwa kekuasaan dan
otoritas raja Larantuka tidak secara langsung berasal dari relasinya dengan tanah, bukan
pula karena dukungan dari tuan tanah (tana alant), melainkan lebih ditentukan oleh
legitimasi magis dari leluhur pertama yang bermula dari episode-episode mitos asal usul
(jadi: intensifikasi mitologis). Kekuatan magis leluhur itu dipercaya dapat diturunkan
melalui batu pemujaan (nuba nara) kepada keturunannya. Di samping intensifikasi
mitologis dan ritual melalui nuba nara, terdapat dua simbol ritus lainnya yang dianggap
penting, yakni: rumah adat (korke) dan tempat menari (namang). Akan tetapi yang paling
menentukan (no‟o ikeng) di antara keempat sumber legitimasi itu, menurut Kennedy,
adalah intensifikasi mitologis yang bermula dari tutu maring usu-asa (kisah mitos asal
usul). Dengan demikian, pembagian hierarki jabatan didasarkan atas pemikiran tentang
bentuk hubungan yang harmonis antara penduduk pribumi dan imigran, dan antara
jabatan duniawi dan jabatan rohani.

5. Bentuk-bentuk Organisasi Pemerintahan dan Aparatnya


Upacara ritual pengorbanan hewan menduduki posisi penting dan mernperigaruhi
berbagal struktur dan proses sosial pada berbagal lapisan sistem politik Flores Timur.
Kohesi sosial dan legitimasi status sosial melalui ritus memiliki peranan khas dalam
berbagai organisasi sosial-politik di Flores Timur (Graham, 1985:141). Selain dalam
upacara ritual pembagian kakang, ritus juga tampak pada upacara penerimaan imigran
Kroko Pukeng.
Ritus pengorbanan hewan yang pertama kali ditetapkan oleh Raja Sira Demong
Pagong Molang ini dilaksanakan di setiap kampung (Lewo) oleh „panitia empat‟ yang
disebut suku raja (suku besar). (Istilah suku berasal dari kata Melayu. Istilah asli Flores
Timur untuk menyebut suku adalah Ama atau Wung. Organisasi suku dalam kampung
tidak sama tinggi kedudukan dan fungsinya. Pada prinsipnya, nama-nama suku „besar‟ itu
berkaitan erat dengan fungsi para kepala suku dalam upacara ritual pengorbanan hewan.
Selain itu, mereka juga memangku kekuasaan duniawi ataupun yang berkaitan dengan
dunia ilahi. Keempat suku itu adalah: Ama Koten, Ama Kelen, Ama Marang, dan Ama
Hurint.
Dalam ritus pengorbanan hewan, Ama Koten memegang kepala hewan korban. Dia
adalah kepala dari „panitia empat‟, tuan tanah, dan memegang kekuasaan dalam
kampung. Ama Kelen memegang bagian belakang hewan korban. Dialah yang bertugas

Struktur Birokasi dan Sistem Kekuasaan Tradisional di Flores Timur 5


mengurus hubungan dengan kampung-kampung lainnya dan mengatur masalah perang
dan damai. Ama Marang bertugas membacakan doa, menceritakan sejarah asal usul (tutu
rnaring usu-asa) untuk mendapat restu (ike kwaAt) dari kekuatan leluhur. Dialah yang
bertugas menjaga tatanan adat dalam kampung. Ama Hurint bertugas membunuh hewan
korban, meneliti urat hati hewan korban untuk meramal suatu kejadian. Ama Hurint dan
Ama Marang juga bertugas memberi nasihat atau saran bila terdapat perbedaan pendapat
antara Ama Koten dan Ama Kelen, mencari jalan keluar bersama-sama dengan pemuka-
pemuka atau tua-tua yang disebut Kelake.
Berfokus pada makna kedudukan dan fungsi di dalam upacara ritual pengorbanan
hewan itu, raja mengidentifikasikan dirinya sebagai „Tuan Tanah Besar‟ dan menjadi
bagian dari keseluruhan sistem tuan tanah asli, karena raja adalah Koten Demon Lewo
Pulo (koten artinya kepala dari kerajaannya). Akan tetapi, bagaimanapun, raja bukanlah
tuan tanah satu-satunya karena di samping dia ada tuan tanah lain yang merupakan
pemilik tanah, atau yang disebut raja tanah. Ada pula Koten yang merupakan pembantu
utama raja (po suku lema) yang juga sebenarnya tergolong tuan tanah. Dalam studi
Graham (1985:130), disebutkan bahwa istilah 'raja tanah' sesungguhnya mengekspresikan
derajat penghormatan raja terhadap tuan tanah pribumi, yang akhirnya diabdikan pula
kepada raja. Dalam struktur pemerintahan tradisional, tuan tanah pribumi (tana alant) ini
juga menjadi kepala kampung. Dalam kompleks perkampungan pusat kerajaan di
Lewonama, tuan tanah pribumi itu pun bertindak sebagai kepala kompleks. Jadi tuan
tanah itu berperanan baik dalam hal administrasi kerajaan maupun sebagai imam
kerajaan. Dalam pola pandangan seperti ini, Graham (1985:130) menyimpulkan bahwa
„Raja memiliki kekuasaan temporal tertinggi, tuan tanah memiliki kekuasaan spiritual
terbesar, dan dengan demikian relasi timbal-balik yang harmonis terjadi antara agama dan
politik kerajaan, pusat dan daerah, urusan jasmani dan urusan rohani..

6. Penutup
Dari seluruh uraian mengenai struktur birokrasi dan sistem kekuasaan tradisional
Flores Timur di atas, tampak bahwa ada hasrat yang kuat dalam masyarakat yang sangat
heterogen itu untuk membentuk „organisasi bersama‟ yang lebih kohesif dan efektif
mengatasi berbagai kelemahan struktural dalam masyarakatnya. Selalu ada pemikiran
tentang relasi timbal-balik yang harmonis antar berbagai faktor yang saling bertentangan.
Yang terjadi dalam kasus pembentukan birokrasi dan pola-pola kekuasaannya tak lain
adalah internalisasi dialektis atau dinamis dari unsur-unsur kebudayaan yang
heterogenetik dan ortogenetik.
Dari pengalaman dan penghayatan hidup bersama itu, terciptalah sistem nilai dalam
bentuk simbol-simbol yang akan menjadi acuan kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Demikian maka kekuasaan raja hanya bersifat temporal dan berasal dari berbagai sumber
(seperti Raja Kedua, Kumpulan Anggota Besar, Koten Larantuka, tuan tanah, dan kepala-
kepala distrik kakang). Tuan tanah memiliki kekuasaan dan segi administrasi kerajaan
maupun kekuasaan spiritual, sehingga terjadi interaksi timbal-balik yang harmonis antara
agama dan politik, pusat dan daerah, penduduk pribumi dan imigran. Legitimasi dan
kohesi sosial itu diperkuat lewat intensifikasi mitologis dan ritual yang khas.

Struktur Birokasi dan Sistem Kekuasaan Tradisional di Flores Timur 6


Organisasi kekuasaan di desa-desa juga tidak terlepas dari jiwa „organisasi bersama‟
yang kohesif, sehingga tidak dikenal adanya penguasa tunggal. Masing-masing kepala
suku: Ama Koten, Ama Kelen, Ama Hurint, dan Ama Marang memiliki kedudukan dan
fungsi tersendiri dalam pengaturan kekuasaan duniawi dan spiritual. Dengan simbol-
simbol kehudayaan seperti itulah masyarakat Flores Timur berkomunikasi, mewariskan,
dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang dan atas kehidupan di dalam dunia
yang penuh makna. Di dalamnya, mereka bisa merasakan kesinambungan dengan masa
lalunya sendiri serta merasa bangga dengan identitasnya.
Jika kita menerima pandangan bahwa mengakomodasikan faktor-faktor budaya
lewat perangkat dan praktik kebijaksanaan akan mampu membentuk suatu kekuatan
pembebas yang tangguh, maka berbagal entitas budaya dan „kemampuan pribumi‟ perlu
mendapat perhatian. Itu berarti, berbagai kebijaksanaan pengaturan sosial perlu dirancang
sedemikian rupa sehingga memberi peluang bagi hidup, gerak, dan berkreasinya kekuatan
kekuatan „internal‟. Kita menyaksikan, bahwa kebijaksanaan pembangunan terkadang
berakibat fatal terhadap identitas berbagai kelompok etnik yang „terpaksa‟ masuk ke
dalam arus besar sosial-ekonomi dan teknologi modern.
Dari uraian di muka terlihat bahwa ada perbedaan pola organisasi dan pola
kepemimpinan masyarakat Flores Timur dan masyarakat Jawa. Kepemimpinan
masyarakat pedesaan di Fores Timur sekaligus memiliki fungsi adat (ritual) dan fungsi
formal (administrasi). Sedangkan sifat dasar kepemimpinan desa di Jawa hanya menjadi
wakil pemerintah di daerah pedesaan. Raja dan pemimpin-pemimpin masyarakat desa
Flores Timur tidak memiliki kekuasaan yang mutlak (otonom) dan permanen. Pemimpin
pemimpin itu menjalankan fungsinya bersama dengan wakil-wakil dari suku, kakang, po
suku lema, dan lain-lain. Keputusan-keputusan yang diambil masih harus disetujui oleh
tetua desa (kelake).

Daftar Pustaka
Anderson, B.R.O.G. 1972. „The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Hoit. C., ed.
Culture and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
Barlow, Colin, et.al. 1989. Potensi-potensi Pengembangan Soslal Eko-nomi di Nusa
Tenggara Timur. Canberra: Australian National University.
Fernandez, F.K. 1981. Semana Santa: Upacara Devoci Tradisional di Larantuko.
Larantuka: Konfrerta Reriha Rosari.
Galtung, Johan. 1980. The True Worlds: A Transnational Perspectives. New York:
MacMillan Co.
Graham, Penelope. 1985. Issues in Social Structure in Eastern Indonesia. Oxford
University Press.
Kennedy, R. 1955. A Notes on Indonesia: Flores 1949-1950. Human Relations Area
Mubyarto, et.al. 1991. Etos Kerfa dan Kohesi Sosial Masyarokat Sumba, Rore, Sabu,
Timor di WIT. Yogyakarta: P3PK UGM.
Petü, Piet. 1967. Nusa Nipo: Nama Pribumi Nusa Flores. Ende: Nusa indah.

Struktur Birokasi dan Sistem Kekuasaan Tradisional di Flores Timur 7


Soewondo, Bambang, et.al. 1987. Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggom Timur. Jakarta:
Depdlkbud.

Soemargono, K. et.al. 1992. Profil Propinsi RI: Nusa Tenggara Timur. Jakarta: PT
lntermasa.

Taum, Yoseph Yapi. 1993. “Tradisi dart Transformasi Cerita Wato Weie-Lla Nurat
dalam Cerita Rakyat FIbres Timur Makalah Seminar Tradisi Lisan Nusan
tara. Jakarta: FS-U1.Van Wouderi, F.A.E. 1985. KIen, Mites don
Kekuasaan: Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur. Jakarta: Grafiti Pers.
Vatter, Ernst. 1984. Ata Kiwan. Diterjemahkan dari Ata Kiwan Unbekannte
Berguolker Im Tropisehen Holland (1932) oleh S.D. Sjah. Ende Nusa lndah.

Struktur Birokasi dan Sistem Kekuasaan Tradisional di Flores Timur 8

Anda mungkin juga menyukai