Anda di halaman 1dari 18

3 .

Pembentukan Badan Keamanan Rakyat

Badan Keamanan Rakyat (BKR) ditetapkan sebagai bagian dari Badan Penolong Keluarga
Korban Perang (BPKKP), yang merupakan induk organisasi yang ditujukan untuk memelihara
keselamatan masyarakat. BKR tugasnya sebagai penjaga keamanan umum di daerah-daerah
di bawah koordinasi KNI Daerah. Para pemuda bekas anggota Peta, KNIL, dan Heiho segera
membentuk BKR di daerah sebagai wadah perjuangannya. Khusus di Jakarta dibentuk BKR
Pusat untuk mengoordinasi dan mengendalikan BKR di bawah pimpinan Kaprawi. Sementara
BKR Jawa Timur dipimpin Drg. Moestopo, BKR Jawa Tengah dipimpin Soedirman, dan BKR
Jawa Barat dipimpin Arudji Kartawinata. Pemerintah belum membentuk tentara yang bersifat
nasional karena pertimbangan politik, mengingat pembentukan tentara yang bersifat nasional
akan mengundang sikap permusuhan dari Sekutu dan Jepang. Menurut perhitungan, kekuatan
nasional belum mampu menghadapi gabungan Sekutu dan Jepang. Sementara itu para
pemuda yang kurang setuju pembentukan BKR dan menghendaki pembentukan tentara
nasional, membentuk badan-badan perjuangan atau laskar bersenjata. Badan perjuangan
tersebut misalnya Angkatan Pemuda Indonesia (API), Pemuda Republik Indonesia (PRI),
Barisan Pemuda Indonesia (BPI), dan lainnya. Selain itu para pemuda yang dipelopori oleh
Adam Malik membentuk Komite van Actie.
Pada tanggal 5 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah yang menyatakan berdirinya
Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sebagai pimpinan TKR ditunjuk Supriyadi. Berdasarkan
maklumat pemerintah tersebut, maka segera dibentuk Markas Tertinggi TKR oleh Oerip
Soemohardjo yang berkedudukan di Yogyakarta. Di Pulau Jawa terbentuk 10 Divisi dan di
Sumatra 6 Divisi. Berkembangnya kekuatan pertahanan dan keamanan yang begitu cepat
memerlukan satu pimpinan yang kuat dan berwibawa untuk mengatasi segala persoalan akibat
perkembangan tersebut. Supriyadi yang ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi TKR ternyata tidak
pernah muncul. Pada bulan 
November 1945 atas prakarsa dari markas tertinggi TKR diadakan pemilihan pemimpin tertinggi
TKR yang baru. Yang terpilih adalah Kolonel Soedirman, Komandan Divisi V/Banyumas.
Sebulan kemudian pada tanggal 18 Desember 1945, Soedirman dilantik sebagai Panglima
Besar TKR dengan pangkat jenderal.

Oerip Soemohardjo tetap menduduki jabatan lamanya sebagai Kepala Staf Umum TKR dengan
pangkat Letnan Jenderal (Letjen). Terpilihnya Soedirman merupakan titik tolak perkembangan
organisasi kekuatan pertahanan keamanan. Pada bulan Januari 1946, TKR berubah menjadi
Tentara Rakyat Indonesia (TRI). Pada bulan Juni 1947 nama TRI berubah menjadi Tentara
Nasional Indonesia (TNI). Sampai dengan pertengahan 1947, bangsa Indonesia telah berhasil
menyusun, mengonsolidasikan dan sekaligus mengintegrasikan alat pertahanan dan
keamanan. TNI bukanlah semata-mata alat negara atau pemerintah, melainkan alat rakyat, alat
“revolusi” dan alat bangs

Sejarah TNI - Handarun - 6 May 2010 22:44 

Tentara Nasional Indonesia (TNI) lahir dalam kancah perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan
kemerdekaan dari ancaman Belanda yang berambisi untuk menjajah Indonesia kembali melalui kekerasan
senjata. TNI merupakan perkembangan organisasi yang berawal dari Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Selanjutnya pada tanggal 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan untuk
memperbaiki susunan yang sesuai dengan dasar militer international, dirubah menjadi Tentara Republik
Indonesia (TRI).

Dalam perkembangan selanjutnya usaha pemerintah untuk menyempurnakan tentara kebangsaan terus
berjalan, seraya bertempur dan berjuang untuk tegaknya kedaulatan dan kemerdekaan bangsa. Untuk
mempersatukan dua kekuatan bersenjata yaitu TRI sebagai tentara regular dan badan-badan perjuangan
rakyat, maka pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden mengesyahkan dengan resmi berdirinya Tentara Nasional
Indonesia (TNI).

Pada saat-saat kritis selama Perang Kemerdekaan (1945-1949), TNI berhasil mewujudkan dirinya sebagai
tentara rakyat, tentara revolusi, dan tentara nasional. Sebagai kekuatan yang baru lahir, disamping TNI
menata dirinya, pada waktu yang bersamaan harus pula menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam
maupun dari luar negeri. Dari dalam negeri, TNI menghadapi rongrongan-rongrongan baik yang
berdimensi politik maupun dimensi militer. Rongrongan politik bersumber dari golongan komunis yang
ingin menempatkan TNI dibawah pengaruh mereka melalui “Pepolit, Biro Perjuangan, dan TNI-
Masyarakat:. Sedangkan tantangan dari dalam negeri yang berdimensi militer yaitu TNI menghadapi
pergolakan bersenjata di beberapa daerah dan pemberontakan PKI di Madiun serta Darul Islam (DI) di
Jawa Barat yang dapat mengancam integritas nasional. Tantangan dari luar negeri yaitu TNI dua kali
menghadapi Agresi Militer Belanda yang memiliki organisasi dan persenjataan yang lebih modern.

bersambung

RE: Sejarah TNI - Handarun - 6 May 2010 22:49 

Sadar akan keterbatasan TNI dalam menghadapi agresi Belanda, maka bangsa Indonesia melaksanakan
Perang Rakyat Semesta dimana segenap kekuatan TNI dan masyarakat serta sumber daya nasional
dikerahkan untuk menghadapi agresi tersebut. Dengan demikian, integritas dan eksistensi Negara
Kesatuan Republik Indonesia telah dapat dipertahankan oleh kekuatan TNI bersama rakyat.

Sesuai dengan keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), pada akhir tahun 1949 dibentuk Republik
Indonesia Serikat (RIS). Sejalan dengan itu, dibentuk pula Angkatan Perang RIS (APRIS) yang
merupakan gabungan TNI dan KNIL dengan TNI sebagai intinya. Pada bulan Agustus 1950 RIS
dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk Negara kesatuan. APRIS pun berganti nama menjadi
Angkatan Perang RI (APRI).

Sistem demokrasi parlementer yang dianut pemerintah pada periode 1950-1959, mempengaruhi
kehidupan TNI. Campur tangan politisi yang terlalu jauh dalam masalah intern TNI mendorong terjadinya
Peristiwa 17 Oktober 1952 yang mengakibatkan adanya keretakan di lingkungan TNI AD. Di sisi lain,
campur tangan itu mendorong TNI untuk terjun dalam kegiatan politik dengan mendirikan partai politik
yaitu Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI) yang ikut sebagai kontestan dalam Pemilihan
Umum tahun 1955.

Periode yang juga disebut Periode Demokrasi Liberal ini diwarnai pula oleh berbagai pemberontakan
dalam negeri. Pada tahun 1950 sebagian bekas anggota KNIL melancarkan pemberontakan di Bandung
(pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil/APRA), di Makassar Pemberontakan Andi Azis, dan di
Maluku pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS). Sementara itu, DI TII Jawa Barat melebarkan
pengaruhnya ke Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Aceh. Pada tahun 1958 Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta) melakukan
pemberontakan di sebagian besar Sumatera dan Sulawesi Utara yang membahayakan integritas nasional.
Semua pemberontakan itu dapat ditumpas oleh TNI bersama kekuatan komponen bangsa lainnya.

Upaya menyatukan organisasi angkatan perang dan Kepolisian Negara menjadi organisasi Angkatan
Bersenjata Republika Indonesia (ABRI) pada tahun 1962 merupakan bagian yang penting dari sejarah
TNI pada dekade tahun enampuluhan.

Menyatunya kekuatan Angkatan Bersenjata di bawah satu komando, diharapkan dapat mencapai
efektifitas dan efisiensi dalam melaksanakan perannya, serta tidak mudah terpengaruh oleh kepentingan
kelompok politik tertentu. Namun hal tersebut menghadapi berbagai tantangan, terutama dari Partai
Komunis Indonesia (PKI) sebagai bagian dari komunisme internasional yang senantiasa gigih berupaya
menanamkan pengaruhnya ke dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia termasuk ke dalam tubuh ABRI
melalui penyusupan dan pembinaan khusus, serta memanfaatkan pengaruh Presiden/Panglima Tertinggi
ABRI untuk kepentingan politiknya.

Upaya PKI makin gencar dan memuncak melalui kudeta terhadap pemerintah yang syah oleh G30S/PKI,
mengakibatkan bangsa Indonesia saat itu dalam situasi yang sangat kritis. Dalam kondisi tersebut TNI
berhasil mengatasi situasi kritis menggagalkan kudeta serta menumpas kekuatan pendukungnya bersama-
sama dengan kekuatan-kekuatan masyarakat bahkan seluruh rakyat Indonesia.

Dalam situasi yang serba chaos itu, ABRI melaksanakan tugasnya sebagai kekuatan hankam dan sebagai
kekuatan sospol. Sebagai alat kekuatan hankam, ABRI menumpas pemberontak PKI dan sisa-sisanya.
Sebagai kekuatan sospol ABRI mendorong terciptanya tatanan politik baru untuk melaksanakan Pancasila
dan UUD 45 secara murni dan konsekwen.

Sementara itu, ABRI tetap melakukan pembenahan diri dengan cara memantapkan integrasi internal.
Langkah pertama adalah mengintegrasikan doktrin yang akhirnya melahirkan doktrin ABRI Catur
Dharma Eka Karma (Cadek). Doktrin ini berimplikasi kepada reorganisasi ABRI serta pendidikan dan
latihan gabungan antara Angkatan dan Polri. Disisi lain, ABRI juga melakukan integrasi eksternal dalam
bentuk kemanunggalan ABRI dengan rakyat yang diaplikasikan melalui program ABRI Masuk Desa
(AMD).

Peran, Fungsi dan Tugas TNI (dulu ABRI) juga mengalami perubahan sesuai dengan Undang-Undang
Nomor: 34 tahun 2004. TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan
tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. TNI sebagai alat pertahanan negara,
berfungsi sebagai: penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar
dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa, penindak terhadap
setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud di atas, dan pemulih terhadap kondisi keamanan negara
yang terganggu akibat kekacauan keamanan.

bersambung 

RE: Sejarah TNI - Handarun - 6 May 2010 22:52 

Sementara dalam bidang reformasi internal, TNI sampai saat ini masih terus melaksanakan reformasi
internalnya sesuai dengan tuntutan reformasi nasional. TNI tetap pada komitmennya menjaga agar
reformasi internal dapat mencapai sasaran yang diinginkan dalam mewujudkan Indonesia baru yang lebih
baik dimasa yang akan datang dalam bingkai tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahkan, sejak tahun 1998 sebenarnya secara internal TNI telah melakukan berbagai perubahan yang
cukup signifikan, antara lain:

Pertama, merumuskan paradigma baru peran ABRI Abad XXI; kedua, merumuskan paradigma baru
peran TNI yang lebih menjangkau ke masa depan, sebagai aktualisasi atas paradigma baru peran ABRI
Abad XXI; ketiga; pemisahan Polri dari ABRI yang telah menjadi keputusan Pimpinan ABRI mulai 1-4-
1999 sebagai Transformasi Awal; keempat, penghapusan Kekaryaan ABRI melalui keputusan pensiun
atau alih status. (Kep: 03/)/II/1999); kelima, penghapusan Wansospolpus dan Wansospolda/Wansospolda
Tk-I; keenam, penyusutan jumlah anggota F.TNI/Polri di DPR RI dan DPRD I dan II dalam rangka
penghapusan fungsi sosial politik; ketujuh; TNI tidak lagi terlibat dalam Politik Praktis/day to day
Politics; kedelapan, pemutusan hubungan organisatoris dengan Partai Golkar dan mengambil jarak yang
sama dengan semua parpol yang ada; kesembilan, komitmen dan konsistensi netralitas TNI dalam
Pemilu; kesepuluh, penataan hubungan TNI dengan KBT (Keluarga Besar TNI); kesebelas, revisi Doktrin
TNI disesuaikan dengan Reformasi dan Peran ABRI Abad XXI; keduabelas, perubahan Staf Sospol
menjadi Staf Komsos; ketigabelas, perubahan Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) menjadi Kepala Staf
Teritorial (Kaster); keempatbelas, penghapusan Sospoldam, Babinkardam, Sospolrem dan Sospoldim;
kelimabelas, likuidasi Staf Syawan ABRI, Staf Kamtibmas ABRI dan Babinkar ABRI; keenambelas,
penerapan akuntabilitas public terhadap Yayasan-yayasan milik TNI/Badan Usaha Militer; ketujuhbelas,
likuidasi Organisasi Wakil Panglima TNI; kedelapanbelas, penghapusan Bakorstanas dan Bakorstanasda;
kesembilanbelas, penegasan calon KDH dari TNI sudah harus pensiun sejak tahap penyaringan;
keduapuluh, penghapusan Posko Kewaspadaan; keduapuluhsatu, pencabutan materi Sospol ABRI dari
kurikulum pendidikan TNI; keduapuluhdua, likuidasi Organisasi Kaster TNI; keduapuluhtiga, likuidasi
Staf Komunikasi Sosial (Skomsos) TNI sesuai SKEP Panglima TNI No.21/ VI/ 2005; keduapuluh empat,
berlakunya doktrinTNI “Tri Dharma Eka Karma (Tridek) menggantikan “Catur Dharma Eka Karma
(Cadek) sesuai Keputusan Panglima TNI nomor Kep/2/I/2007 tanggal 12 Januari 2007.
Sebagai alat pertahanan negara, TNI berkomitmen untuk terus melanjutkan reformasi internal TNI seiring
dengan tuntutan reformasi dan keputusan politik Negara

Demokrasi Liberal

Sementara para elit politik sibung dengan kursi kekuasaan, rakyat mengalami kesulitan karena
adanya berbagai gangguan keamanan dan beratnya perekonomian ysng menimbulkan labilnya
sosial-ekonomi. Adapun gangguan-gangguan keamanan tersebut antara lain :

DI TII

B. DI/TII
1. JAWA BARAT
Dipimpin oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo karena tidak setuj terhadap isi perjanjian
Renville. Sewaktu TNI hijrah ke daerah RI ( Yogyakarta ) ia dan anak buahnya menolak dan
tidak mau mengakui Republik Indonesia dan ingin menyingkirkan Pancasila sebagai dasar
negara. Untuk itu ia memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia dengan nama Darul
Islam ( DI )

2. JAWA TENGAH
Dipimpin oleh Amir Fatah dan Kyai Sumolangu. Selama Agresi Militer Belanda ke II Amir Fatah
diberi tugas menggabungkan laskar-laskar untuk masuk dalam TNI. Namun setelah banyak
anggotanya ia beserta anak buahnya melarikan diri dan menyatakan bagian dari DI/TII.

3. SULAWESI SELATAN
Dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakar. Dia berambisi untuk menduduki jabatan sebagai
pimpinan APRIS ( Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat ) dan menuntut aga45r
Komando Gerilya Sulawesi Selatan ( KGSS ) dimasukkan ke dalam APRIS dengan nama Brigade
Hasanuddin. Tuntutan tersebut ditolak oleh pemerintah sebab hanya mereka yang memenuhi
syarat saja yang akan menjadi tentara maka terjadilah pemberontakan tersebut.

4. ACEH
Dipimpin oleh Daud Beureueh Gubernur Militer Aceh, karena status Aceh sebagai daerah
Istimewa diturunkan menjadi sebuah karesidenan di bawah propinsi Sumatera Utara. Ia lalu
menyusun kekuatan dan menyatakan dirinya bagian dari DI/TII. Pemberontakan ini dapat
dihentikan dengan jalan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh ( MKRA ).

5. KALIMANTAN SELATAN
Dipimpin oleh Ibnu Hajar, ia menyatakan dirinya bagian dari DI/TII dengan memperjuangkan
kelompok rakyat yang tertindas. Ia dan anak buahnya menyerang pos-pos kesatuan tentara
serta melakukan tindakan pengacauan yang pada akhirnya Ibnu Hajar sendiri ditembak mati.

C. APRA ( Angkatan Perang Ratu Adil )


Pemberontakan ini dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling bekas tentara KNIL. Tujuannya
agar pemerintah RIS dan negara Pasundan mengakui APRA sebagai tentara negara Pasundan
dan agar negara Pasundfan tidak dibubarkan/dilebur ke dalam NKRI.

D. ANDI AZIS
Beliau merupakan komandan kompi APRIS yang menolak kedatangan TNI ke Sulawesi Selatan
karena suasananya tidak aman dan terjadi demonstrasi pro dan kontra terhadap negara
federasi. Ia dan pasukannya menyerang lapangan terbang, kantor telkom, dan pos-pos militer
TNI. Pemerintah mengeluarkan ultimatum agar dalam tempo 4 x 24 jam ia harus
mempertanggung jawabkan perbuatannya.

E. RMS ( Republik Maluku Selatan )


Pemberontakan ini dipimpin oleh Dr. Christian Robert Stevenson Soumokil bekas jaksa agung
NIT ( Negara Indonesia Timur ). Ia menyatakan berdirinya Republik Maluku Selatan dan
memproklamasikannya pada 25 April 1950. Pemberontakan ini dapat ditumpas setelah dibayar
mahal dengan kematian Letkol Slamet Riyadi, Letkol S. Sudiarto dan Mayor Abdullah.

F. PRRI/PERMESTA
Setelah Pemilu I dilaksanakan, situasi semakin memburuk dan terjadi pertentangan . Beberapa
daerah merasa seolah-olah diberlakukan secara tidak adil ( merasa dianaktirikan ) sehingga
muncul gerakan separatis di Sumatera yaitu PRRI
( Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia ) dipimpin oleh Kolonel Ahmad Husen dan
PERMESTA ( Piagam Perjuangan Rakyat Semesta ) di Sulawesi Utara dipimpin oleh D.J. Somba
dan Kolonel Ventje Sumual.

a. Pemberontakan Kahar Muzakar


Kahar Muzakar adalah putra Sulawesi yang pada zaman perang kemerdekaan berjuang di Jawa.
Setelah kembali ke Sulawesi bergabung dengan Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan
pada tahun 1950 menuntut agar pasukannya masuk APRIS. Tuntutannya ditolak tetapi kepada
anggotanya yang memenuhi syarat diperbolehkan masuk, sedangkan sisanya dimasukkan ke
dalam Corps Cadangan Nasional. Kahar akan diberikan pangkat letkol, tetapi saat pelantikan,
tanggal 17 Agustus 1951, ia bersama anak buahnya melarikan diri ke hutan dan mengacau.
Januari 1952 menyatakan diri ikut sebagai bagian anggota Kartosuwiryo. Selama empat belas
tahun memberontak, namun akhirnya berhasi dilumpuhkan setelah salah seorang anak
buahnya, yaitu Bahar Matiliu menyerahkan diri. Ia berhasil ditembak oleh pasukan Divisi
Siliwangi pada bulan Februari 1965.
b. Pemberontakan di Jawa Tengah
Pengaruh DI meluas di Jawa Tengah, yaitu di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan yang
dihadapi pemerintah dengan operasi-operasi militer. Di Kebumen pemberontakan dilakukan
oleh Angkatan Umat Islam (AUI) di bawah pimpinan Kyai Somalangu, yang setelah intinya
dapat ditumpas, sisanya bergabung dengan DI/TII. Di lingkunganAngkatan Darat juga terjadi
perembesan pemberontakan ini, sehingga Batalyon 426 di Kudus dan Magelang juga
memberontak dan bergabung dengan DI/TII (Desember 1951). Sebagian dari mereka
mengadakan gerilya di Merbabu-Merapi Complex (MMC). Untuk menghadapi mereka,
pemerintah membentuk pasukan khusus yang diberi namaBanteng Raiders. Juni 1954 kekuatan
mereka bisa dipatahkan.
c. Pemberontakan di Aceh
Pengikut DI di Aceh memproklamirkan daerahnya sebagai bagian dari NII pada tanggal 20
September 1953. Pemimpinnya adalah Daud Beureueh, seorang ulama dan pejuang
kemerdekaan yang pernah menjabat gubernur Militer Daerah Aceh tahun 1947. Pada mulanya
mereka dapat menguasai sebagian besar daerah Aceh termasuk kota-kotanya. Setelah
pemerintah mengadakan operasi, mereka menyingkir ke hutan. Panglima Kodam I/Iskandar
Muda, Kol. M. Jasin mengambil prakarsa mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh
yang berhasil mengembalikan Daud Beureueh ke masyarakat (Desember 1962).
d. Peristiwa 17 Oktober 1952
Peristiwa ini bersumber pada kericuhan yang terjadi di lingkungan Angkatan Darat. Kol.
Bambang Supeno tidak menyetujui kebijaksanaan Kol. A.H. Nasution selaku KSAD. Ia
mengajukan surat kepada Mentri Pertahanan dan Presiden dengan tembusan kepada parlemen
berisi soal tersebut dan meminta agar Kol. A.H. Nasution diganti. Manai Sophian selaku
anggota parlemen mengajukan mosi agar pemerintah segera membentuk panitia untuk
mempelajari masalahnya dan mengajukan pemecahannya. Hal ini dianggap usaha campur
tangan parlemen terhadap tubuh Angkatan Darat. Pimpinan AD mendesak kepada Presiden
untuk membubarkan Parlemen. Desakan ini jugas dilakukan oleh rakyat dengan mengadakan
demonstrasi ke gedung parlemen dan Istana Merdeka. Presiden menolak tuntutan ini dewngan
alasan tidak ingin menjadi seorang diktator, tetapi akan berusaha segera mempercepat pemilu.
Kol. A.H. Nasution akhirnya mengundurkan diri, diikuti oleh Mayjen T.B. Simatupang. Jabatan
ini akhirnya digantikan oleh Kol. Bambang Sugeng.
e. Peristiwa 27 Juni 1955
Peristiwa ini merupakan lanjutan peristiwa sebelumnya. Karena dianggap bahwa pemerintah
belum mampu menyelesaiakan persolan tersebut. Bambang Sugeng mengundurkan diri dari
jabatannya. Sementara belum terpilih KSAD yang baru, pimpinan KSAD dipegang oleh Wakil
KSAD yaitu Kol. Zulkifli Lubis. Kemudian pemerintah mengangkat Kol. Bambang Utoyo sebagai
KSAD yang baru, tetapi pada saat pelantikannya, 27 Juni 1955, tidak ada satupun perwira AD
yang hadir. Peristiwa ini menyebabkan kabinet Ali-Wongso jatuh. Kemudian pada masa Kabinet
Burhanudin Harahap, bekas KSAD yang lama, yaitu Kol. A.H. Nasution, kembali diangkat
menjadi KSAD (7 November 1955). Peristiwa di Angkatan Perang yang bersifat liberal juga
terjadi pada tanggal 14 Desember 1955. Yaitu ketika Komodor Udara Hubertus Suyono dilantik
menjadi Staf Angkatan Udara di Pangkalan Udara Cililitan (Halim Perdanakusuma),
segerombolan prajurit pasukan kehormatan maju dan menolak pelantikan tersebut. Kemudian
mereka meninggalkan barisdan diikuti oleh pasukan pembawa panji-panji Angkatan Udara,
sehingga upacara batal.
f. Dewan-dewan Daerah
Diawali dengan pembentukan Bewan Banteng oleh Kol (pensiun) Ismail Lengah di Padang (20
November 1956), dengan ketuanya Ahmad Husein, Komandan Resimen IV Tentara Teritorium
(TT) I di Padang. Mereka mengajukan tuntutan kepada pemerintah pusat tentang otonomi
daerah. Larangan KSAD agar tentara tidak berpolitik tidak dihiraukan. Mereka malah
mengambil alaih pemerintahan daerah Sumatra Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyodiharjo
(20 Desember 1956).
Tindakan tersebut diikuti oleh daerah-daerah lain seperti pembentukan Dewan Gajah di
Sumatra Utara (Kol. M. Simbolon), Dewan Garuda di Sumatra Selatan (Kol. Barlian), dan
Dewan Manguni di Sulawesi Utara (Letkol. H.N.V. Samual). Peristiwa-peristiwa ini
dilatarbelakangi oleh karena pembangunan yang tidak merata, padahal daerah-daerah tersebut
telah memberikan devisa bagi negara.
Pemerintah berusaha mengatasi masalah tersebut dengan mengadakan perundingan dan janji
pemerataan pembangunan. Namun usaha tersebut tidak berhasil. Akhirnya operasi militerpun
dilancarkan (17 Desember 1957).
g. Usaha Pembunuhan terhadap Kepala Negara
Rasa tidak puas golongan ekstrim kanan memuncak dan dilampiaskan dalam bentuk usaha
pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Perguruan Cikini Jakarta (30 November 1957).
Usaha tersebut gagal, tetapi menimbulkan banyak korban. Para pelaku dapat ditangkap, dan
dijatuhi hukuman mati.
Usaha kedua terjadi pada saat Idhul Adha di halaman Istana Jakarta. Kemudian terjadi lagi.
Pelakunya Letnan Udara II D.A. Maukar dengan mempergunakan pesawat Mig 17. Istana
Merdeka dan Bogor ditembakinya dari udara (9 Maret 1960). Dilakukan Maukar bersama
kelompoknya, Manguni, dengan tujuan agar pemerintah mau berunding dengan PRRI dan
Permesta. Usaha tersebut sia-sia.
h. Pemberontakan PRRI dan Permesta
Akhmad Husein, beserta para tokoh Masyumi dan dewan daerah mengadakan rapat di Sungai
Dareh, Sumatra Barat (9 Januari 1958). Keesokan harinya pada saat rapat akbar di Padang,
Akhmad Husein mengultimatum pemerintah agar Kabinet Juanda dalam waktu 5×24 jam
menyerahkan mandat kepada Drs. Moh. Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX agar
membentuk zaken kabinet dan agar Presiden kembali sebagai Presiden Konstitusional.
Ultimatum tersebut ditolak oleh Pemerintah. Akhirnya Husein membentuk Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) berikut pembentukan kabinetnya dengan Syafrudin
Prawiranegara sebaga Perdana Mentri (15 Februari 1958). Hal tersebut diikuti oleh Sulawesi
Utara di bawah pimpinan Letkol D.J. Somba yang membentuk Gerakan Piagam Perjuangan
Semerta (Permesta). Pemberontakan ini ditumpas dengaan operasi militer selama beberapa
tahun.

Demokrasi Terpimpin

Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh
keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja.

Pada bulan 5 Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan konstitusi di


bawah dekrit presiden. Soekarno juga membubarkan Konstituante yang ditugasi untuk
menyusun Undang-Undang Dasar yang baru, dan sebaliknya menyatakan diberlakukannya
kembali Undang-Undang Dasar 1945, dengan semboyan "Kembali ke UUD' 45". Soekarno
memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-
posisi yang penting.
PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI
mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara nasionalisme, agama (Islam)
dankomunisme yang dinamakan NASAKOM.

Antara tahun 1959 dan tahun 1965, Amerika Serikat memberikan 64 juta dollar dalam bentuk
bantuan militer untuk jendral-jendral militer Indonesia. Menurut laporan di "Suara Pemuda
Indonesia": Sebelum akhir tahun 1960, Amerika Serikat telah melengkapi 43 batalyon angkatan
bersenjata. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira militer sayap kanan. Di antara tahun 1956
dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di AS, dan ratusan perwira
angkatan rendah terlatih setiap tahun. Kepala Badan untuk Pembangunan Internasional di
Amerika pernah sekali mengatakan bahwa bantuan AS, tentu saja, bukan untuk mendukung
Sukarno dan bahwa AS telah melatih sejumlah besar perwira-perwira angkatan bersenjata dan
orang sipil yang mau membentuk kesatuan militer untuk membuat Indonesia sebuah "negara
bebas".

Di tahun 1962, perebutan Irian Barat secara militer oleh Indonesia mendapat dukungan penuh
dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan terhadap perlawanan penduduk
adat.

erjuangan dan Pengkhianatan

I. Perjuangan Pembebasan Irian Barat

Perjanjian KMB yang menyelesaikan pertikaian antara Indonesia-Belanda, ternyata masih


meninggalkan masalah Irian Barat. Dalam perjanjian disebutkan bahwa penyelesaian masalah
Irian Barat “ditunda” selama satu tahun.

Setelah perjuangan pembebasan Irian Barat melalui cara-cara diplomasi mengalami kegagalan,
pemerintah menempuh cara berikut :

1) Pembatalan secara sepihak perjanjian KMB yang dilakukan dengan UU No.13 Th.1956 tgl 3
Mei1956

2) Pembentukan Propinsi Irian Barat dengan ibukota Sou Siu dan dengan gubernur pertama
Zainal Abidin Syah
3) Sesudah kegagalan di PBB dalam bulan September 1957 maka gerakan pembebasan Irian
Barat dimulai dengan rapat umum di Jakarta pada tgl 18 November 1957, diikuti oleh
pemogokan umum buruh-buruh yang bekerja di perusahaan Belanda pada tgl 2 Desember
1957, dan larangan-larangan terbitan dan film berbahasa Belanda. Kemudian KLM dilarang
terbang dan mendarat di wilayah Indoensia, serta penutupan kegiatan konsuler Belanda di
Indonesia

4) Pengambil-alihan perusahaan bermodal Belanda mula-mula dilakukan oleh para buruh yang
bekerja di perusahaan itu, kemudian diambil alih oleh Pemerintah dengan PP No.23 Th.1958.
Dengan demikian, perusahaan Belanda dinyatakan menjadi milik negara Republik Indonesia

5) Pembentukan Front Nasional Pembebasan Irian Barat pada tgl 10 Februari 1958 untuk
menggalang kesatuan gerak rakyat alam perjuangan pembebasan Irian Barat.

6) Pemutusan hubungan diplomatic dengan Belanda pad tgl 17 Agustus 1960 sebagai jawaban
terhadap Belanda yang pada awal Agustus 1960 mengadakan “pameran bendera” dengan
mengirimkan kapal induk “Karel Doorman” untuk memperkuat militer Belanda di Irian Barat.
Dengan demikian, perjuangan pembebasan Irian Barat memasiki fase baru, yakni perjuangan di
bidang militer.

7) Sejalan dengan langkah di atas, dilakukan pembelian senjata dari Uni Soviet

8) Pada tgl 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat (Trikora)
:

a. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda Kolonial!

b. Kibarkan Sang Merah utih di Irian Barat Tanah Air Indonesia!

c. Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air
dan Bangsa!

9) Sebagai tindak lanjur dari Trikora, dibentuklah Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat
yang terdiri atas :

Panglima Besar : Presiden/Panglima Tertinggi Soekarno


Wakil Panglima Besar : Jenderal A.H. Nasution

Kepala Staf : Mayor Jenderal Achmad Yani

Untuk melaksanakan operasi pembebasan Irian Barat secara militer dibentuklah Komando
Mandala Pembebasan Irian Barat dengan susunan :

Panglima Mandala : Mayor Jenderal Soeharto

Wakil Panglima I : Kolonel Laut Subono

Wakil Panglima II : Kolonel Udara Leo Wattimena

Kepala Staf : Koloner Ahmad Tahir

Tugas Komando Mandala :

1) Merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operas-operasi militer dengan


tujuan mengembalikan wilayah Propinsi Irian Barat ke dalam kekuasaan Negara Republik
Indonesia

2) Mengembalikan situasi militer di wilayah Propinsi Irian Barat sesuai dengan taraf-taraf
perjuangan di bidang diplomasi, dan menciptakan secara de facto di wilayah Irian Barat daerah-
daerah yang bebas dari kekuasaan Belanda atau mendudukkan untsur
kekuasaan/pemerintahan RI

Dalam pertempuran laut melawan Belanda di Laut Aru, 15 Januari 1962, Komodor Yos Sudarso
gugur bersama Kapten Wiratno. Mereka tenggelam bersama MTB Macan Tutul.

Perkembangan sikap diplomasi dan konfrontasi militer akhirnya berhasil mengubah sikap
Belanda menjadi bersedia menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.

Akhirnya pada tgl 15 Agustus 1962 tercapailah Perjanjian New York antara Indonesia dengan
Belanda yang isi pokoknya :
1) Belanda mengakhiri penjajahannya di Irian Barat dan menyerahkannya kepada PBB paling
lambat tgl 1 Oktober 1962. Pada 1 Januari 1963 bendera Belanda diturunkan dari Irian Barat
sedangkan bendera Merah Putih dikibarkan.

2) Setelah enam bulan di bawah kekuasaan PBB, Irian Barat diserhkan kepada Pemerintah
Republik Indoensia paling lambat tanggal 1 Mei 1963. Untuk melaksanakan tugas itu, PBB
membentuk United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA)

3) Pemerintah Republik Indonesia wajib menyelenggarakan penentuan pendapat rakyat


(Pepera) paling lambat akhir tahun 1969

Irian Barat menjadi propinsi ke-26 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan nama
Irian Jaya. Pada tahun 1969 diselenggarakan pepera dalam tiga tahap dari 24 Maret 1969 - 4
Agustus 1969. Lewat pepera, penduduk Irian Barat memilih tetap menjadi bagian dari Republik
Indonesia.

Era "Demokrasi Terpimpin", yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis
nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah.

Operasi Militer Indonesia 1959-1965


Periode Demokrasi Terpimpin
Pendahuluan: Operasi Militer Indonesia 1959-1965

Di periode 1959-1965, jumlah operasi militer yang dilakukan Indonesia meningkatsecara

signifikan. Dalam periode demokrasi terpimpin, Angkatan Bersenjata RepublikIndonesia

mengadakan 77 operasi militer yang sebagian besar dikerahkan untuk menghadapiancaman

neokolonialisme Malaysia, ancaman internal DI-TII, serta ancaman disintegrasioleh

pendudukan Belanda di wilayah Irian Barat. Lingkungan strategis Indonesia padaperiode ini

yang dikelilingi ancaman neokolonialisme membuat Indonesia mengintegrasikansikap

antikolonialisme dan antiimperialisme dalam pertahanan negara. Dalampaper ini,penulis akan

membahas dua komando operasi militer yang mengoperasionalisasikan sikapantikolonialisme


tersebut dalam strategi militernya, yaitu Komando Mandala PembebasanIrian Barat dan

Komando Ganyang Malaysia.

Pembahasan kelompok kami dalam makalah ini akan berdasarkan pada dua pertanyaan:

(a) bagaimanakah operasi militer Indonesia dilakukan di Indonesia; dan (b) apakah

doktrinmiliter Indonesia koheren denganaplikasi lapangan dalam bentuk operasi militer

Indonesia.

Dalam tulisan ini kami akan mengambil dua studi kasus, yaitu terhadap

Operasipembebasan Papua barat (Operasi Mandala) dan operasi Ganyang Malaysia. Dari

keduaoperasi itu kami ingin mengargumentasikan bahwa Indonesia melakukan operasi

militernyasecara disintegratif terhadap doktrin. Ada ruang bagi inovasi terhadap penyesuaian

bentukoperasi militer Indonesia dengan kondisi keadaan dan kalkulasi lapangan, namun

semuanyamasih sesuai dengan idealisasi strategi pertahanan semesta yang dimiliki Indonesia

Indonesia mengembangkan perang berlarut untuk suatu serangan ofensif yang

cenderungmengandalkan strategi perang konvensional. Konsepsi Trikora membutuhkan

AngkatanBersenjata yang lebih kuat daripada kekuatan Belanda di Irian Barat agar Belanda

secarasukarela menyerahkan hak mutlak Indonesia atas wilayah Irian Barat serta ABRI yang

telahdisiapsiagakan penuh mengadakan penyerbuan militer fisik dan frontal.6 Dapat dilihat

bahwa
concern Indonesia bukanlah strategi perang gerilya yang tidak bertempur di lapangan terbuka
dan frontal, melainkan strategi decisive battle yang menekankan penghancuran center of
gravity.

Untuk Rencana Operasi Gabungan Irian Barat, Indonesia juga memilih Operasi B-1,

dimana Indonesia merebut dan mempertahankan seluruh Irian Barat dalam waktu secepat-

cepatnya dengan tujuan memperoleh kekuasaan de facto atas seluruh wilayah tersebut,

bukanalternatif course of action, yaitu Operasi B-2, operasi militer dengan sasaran terbatas di

manaIndonesia merebut dan mempertahankan suatu bagian di daerah Irian Barat dengan
tujuanmenimbulkan suasana politik yang menguntungkan serta mendapatkan basis terdepan

untukmerebut seluruh Irian Barat, serta Operasi B-3, operasi militer denganscope infiltrasi

dimana Indonesia melakukan infiltrasi militer untuk memperoleh pangkalan bagi

seranganselanjutnya. Hal ini disebabkan Operasi B-2 hasilnya tidak menentukan, sementara

OperasiB-3 risikonya sulit diperhitungkan, sehingga GKS menyarankan agar Operasi B-1

yangdilaksanakan.7 Hal ini juga mencerminkan operasionalisasistrategi perang

konvensional,karena kalah-menangnya perang dipandang dari segi kehancuran enemy

forces danpendudukan wilayah sebagai kemenangan perang.

Bukti lain dari inovasi baru militer Indonesia untuk mengandalkan strategi

perangkonvensional terlihat dari penahapan operasi militer dalam Komando Mandala untuk

secaraberangsur-angsur menduduki bagian-bagian dari wilayah Irian Barat dalam jangka waktu

tigatahun, yaitu sebagai berikut.8

1.Tahap infiltrasi: Infiltrasi dalam jangka waktu 10 bulan dimulai awal 1962 sampaiakhir 1962,

diharapkan 10 kompi inti Angkatan berhasil masuk dan membentukkantong-kantong daerah

bebas Republik Indonesia di Irian Barat untuk menciptakan


dan mempertahankan daerah-daerah bebas tersebut dan mengikat kekuatan-kekuatan
Belanda setempat sehingga kekuatan musuh tercerai berai.

2. Tahap eksploitasi: Gerakan-gerakan yang terang-terangan oleh operasi-operasi militer

secara besar-besaran untuk merebut dan menduduki pulau Biak sebagai pusatpertahanan

strategis Belanda di Irian Barat dimulai awal 1963 untuk melumpuhkaninti kekuatan militer

musuh sedemikian rupa, sehingga seluruh wilayah Irian Baratdapat dikembalikan pada

kekuasaan Republik Indonesia. Operasi terbuka yangdimaksudkan dalam tahap ini pada

saatnya dinamakan Operasi Jayawijaya.


3.Tahap konsolidasi: Konsolidasi kekuasaan Republik Indonesia di seluruh wilayah
Provinsi Irian Barat yang dimulai akhir 1963 setelah selesai tahap eksploitasi.

Penahapan operasi militer dalam tiga tahun ini merupakan inovasi baru militerIndonesia,

yang selama ini mengandalkan strategi gerilya dengan organisasi pertahananmelingkar yang

digelar selama masa perang kemerdekaan atau strategi kontra-gerilya yangmengandalkan

konsolidasi pertahanan wilayah yang digelar untuk menumpas pemberontakanbersenjata dalam

negeri.9
Operasionalisasi Konsep Force-to-Space Ratio Liddell Hart

Dalam Operasi Jayawijaya, yang merupakan tahap eksploitasi Komando

Mandala,Indonesia menerapkan strategi yang berbasis penguasaan kantong-kantong daerah

bebasRepublik Indonesia di Irian Barat. Indonesia menghadapi musuh dengan front line yang

kuat,di mana secara teoritis, sistem pertahanan Belanda nampak kuat, ketat, dan sukar

ditembus.Terdapat jumlah unsur-unsur militer Belanda yang besar yang ditempatkan di Irian

Barat,namun itu baru sebagian kecil dari kekuatan militer seluruhnya yang dimiliki,

sehinggaapabila keadaan memaksa, Belanda akan dapat menggerakkan bala bantuannya ke

IrianBarat. Belanda juga telah membagi daerah pertahanan menjadi lini pertama, lini kedua,

danlini ketiga. Pesawat-pesawat militer dipusatkan di Biak. Terdapat warning

system berupapatroli pesawat terbang Neptune (P2V7) dengan pangkalan-pangkalan tolak

Sorong,Kaimana, dan Biak, patroli kapal-kapal jenis fregat, perusak, dan kapal selam di Biak

danSorong atau Kaimana, kesatuan buru-sergap pesawat-pesawat terbang jenis Hawker Hunter

diBiak, serta stasiun-stasiun radar di berbagai tempat.


6
Untuk menghadapi operasi-operasi tersebut, disusun komposisi pasukan Komando Mandala
Terdiri dari bagian pertahanan,bagian penipuan/pengikat, bagianpenghubung/penyelidik,
bagian pengangkut, bagian perawatan/logistik, dan bagianpenyerang. Dalam hubungannya
dengan kesiapan tempur di bidang pertahanan udara, AULA(Angkatan Udara Komando
Mandala) membentuk Kesatuan-kesatuan Tempur yang terpencardi pangkalan-pangkalan
udara. Kesatuan-kesatuan yang telah disusun untuk mempersiapkanbidang pertahanan laut
meliputi Kesatuan Kapal Cepat Torpedo KKCT-16, Kesatuan Kapal
SelamKKS- 15, Angkatan Tugas Amfibi ATA-17, dan Pasukan PendaratPAS R AT-45.
Seluruh kekuatan yang dapat dikerahkan ini diperkirakan tiga kali lebih besar dari kekuatan
yang dimiliki Belanda.11
Strategi ini sejalan dengan konsep penting Basil Liddell Hart tentangoffense- defense
balancedalam force-to-space ratio (strategi yang berbasis penguasaan zona pertahanan).

Liddell Hart mengungkapkan bahwa apabila front line musuh kuat, berlaku rumus 3:1,

yaituketika suatu pasukan ingin menyerang dengan force to force, pasukan tersebut harus tiga

kalilipat lebih kuat daripada pasukan lawan. Dalam hal ini, Komando Mandala menjadi suatu
theatre campaign, sebuah upaya kontestasi pada area dan skala besar dengan komitmen

geografis dan operasional strategis yang terbatas pada wilayah Irian Barat. Sayangnya,kegiatan-

kegiatan Operasi Jayawijaya dihentikan dengan semua persiapannya denganditandatanganinya

Perjanjian New York yang secara resmi mengakhiri sengketa Indonesiadengan Belanda
mengenai masalah Irian Barat. Sehingga, perang decisive battle antaraIndonesia dan Belanda

tidak terjadi.

Komando Operasi Ganyang Malaysia: Konfrontasi Indonesia-Malaysia


Periode sejarah pada tahun 1959-1965 juga ditandai dengan sebuah peristiwa
sensasionaldi mana dapat dikatakan Indonesia dan Malaysia hampir terlibat konflik besar.
PeristiwaKonfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan serangkaian konflik bersenjata yang
terjadi dipulau Kalkimantan (Borneo) dalam rangka memperebutkan kekuasaan total
pulauKalimantan, antara Malaysia dan Indonesia pada tahun 1962-1966. Perang ini berawal
darikeinginan otoritas politik Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan
Sarawakdengan Persekutuan Tanah Melayu yang dimerdekakan oleh Inggris pada tahun
1961.Keinginan itu ditentang habis-habisan oleh Presiden Soekarno yang
menganggappembentukan dan penguatan Malaysia sebagai ‟upaya imperialis membentuk negara
boneka

yang dapat mengancam Indonesia di kemudian hari‟. Konflik ini sebetulnya bermula dari
ketidaksukaan Indonesia terhadap tindakan Malaysia yang dianggap melanggar
perjanjiankesepakatan dengan Indonesia perihal masa depan wilayah kekuasaanya dimana
Mayasiatidak menunggu hasi referendum para penduduk di daerah kalimantan
sebelummemasukannya menjdai bagian dari negara federasi Malaysia.12
Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio pada 20 Januari 1963, mendeklarasikanbahwa
Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia, dan bersiap memasukfase konflik
bersenjata. Pada tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar diJakarta, Presiden
Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora)13yang isinya:
(a)Tingkatkan ketahanan revolusi Indonesia
(b)Membantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah,
untuk menghancurkan Malaysia
Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang
Malaysia".Operasionalisasi perang yang dilakukan oleh Indonesia berdasarkan pada dua macam
strategi:(a)penggunaan strategi perang gerilya dengan memanfaatkan mobilisasi masyarakat
sebagai
pasukan ‟tidak resmi‟; dan (b)penggunaan pasukan resmi, dalam proyeksi perang untuk
merebut beberapa obyek vital-strategis, terutama untuk meraih center of gravity dari konflik
antara dua negara ini.

Anda mungkin juga menyukai