Anda di halaman 1dari 8

Fungsi Agama bagi Kehidupan

June 13th, 2010 | Tags: Agama, Fungsi Agama, kebutuhan manusia, Peranan agama

Ada beberapa alasan tentang mengapa agama (fungsi agama) itu sangat penting dalam
kehidupan manusia, antara lain adalah :

 Karena agama merupakan sumber moral


 Karena agama merupakan petunjuk kebenaran
 Karena agama merupakan sumber informasi tentang masalah metafisika.
 Karena agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia baik di kala suka, maupun
di kala duka.

Manusia sejak dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, serta tidak
mengetahui apa-apa sebagaimana firman Allah dalam Q. S. al-Nahl (16) : 78

Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Dia
menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi sedikit di antara mereka
yang mensyukurinya.

Dalam keadaan yang demikian itu, manusia senantiasa dipengaruhi oleh berbagai macam
godaan dan rayuan, baik dari dalam, maupun dari luar dirinya. Godaan dan rayuan dari dalam
diri manusia dibagi menjadi dua bagian, yaitu

 Godaan dan rayuan yang berysaha menarik manusia ke dalam lingkungan kebaikan,
yang menurut istilah Al-Gazali dalam bukunya ihya ulumuddin disebut dengan malak
Al-hidayah yaitu kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada hidayah
ataukebaikan.

 Godaan dan rayuan yang berusaha memperdayakan manusia kepada kejahatan,yang


menurut istilah Al-Gazali dinamakan malak al-ghiwayah, yakni kekuatan-kekuatan
yang berusaha menarik manusia kepada kejahatan

Disinilah letak “fungsi agama” dalam kehidupan manusia, yaitu membimbing manusia
kejalan yang baik dan menghindarkan manusia dari kejahatan atau kemungkaran.

Fungsi Agama Kepada Manusia

Dari segi pragmatisme, seseorang itu menganut sesuatu agama adalah disebabkan oleh
fungsinya. Bagi kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup.
Tetapi dari segi sains sosial, fungsi agama mempunyai dimensi yang lain seperti apa yang
dihuraikan di bawah:

- Memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.

Agama dikatakan memberi pandangan dunia kepada manusia kerana ia senantiasa memberi
penerangan mengenai dunia (sebagai satu keseluruhan), dan juga kedudukan manusia di
dalam dunia. Penerangan bagi perkara ini sebenarnya sukar dicapai melalui indra manusia,
melainkan sedikit penerangan dari falsafah. Contohnya, agama Islam menerangkan kepada
umatnya bahawa dunia adalah ciptaan Allah SWT dan setiap manusia harus menaati Allah
SWT.

-Menjawab pelbagai persoalan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.

Sebagian persoalan yang sentiasa ditanya oleh manusia merupakan persoalan yang tidak
terjawab oleh akal manusia sendiri. Contohnya persoalan kehidupan sesudah mati, matlamat 
menarik dan untuk menjawabnya adalah perlu. Maka, maka “fungsi agama” menjawab
persoalan-persoalan ini.

- Memberi rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.

Agama merupakan satu faktor dalam pembentukkan kelompok manusia. Ini adalah kerana
sistem agama menimbulkan keseragaman bukan saja kepercayaan yang sama, malah tingkah
laku, pandangan dunia dan nilai yang sama.

– Fungsi sosial.

Kebanyakan agama di dunia adalah menyeru kepada kebaikan. Dalam ajaran agama sendiri
sebenarnya telah menggariskan kode etika yang wajib dilakukan oleh penganutnya. Maka ini
dikatakan agama memainkan fungsi kawanan sosial

Fungsi Sosial Agama

Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat
positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat
negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor).

Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai
faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.

Fungsi Integratif Agama

Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam
menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat
maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini
dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama
oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam
masyarakat.

Fungsi Disintegratif Agama.

Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan
memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan
peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan
eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama
dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan
menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain

Tujuan Agama
Salah satu tujuan agama adalah membentuk jiwa nya ber-budipekerti dengan adab yang
sempurna baik dengan tuhan-nya maupun lingkungan masyarakat.semua agama sudah sangat
sempurna dikarnakan dapat menuntun umat-nya bersikap dengan baik dan benar serta
dibenarkan. keburukan cara ber-sikap dan penyampaian si pemeluk agama dikarnakan
ketidakpahaman tujuan daripada agama-nya. memburukan serta membandingkan agama satu
dengan yang lain adalah cerminan kebodohan si pemeluk agama

Beberapa tujuan agama yaitu :

 Menegakan kepercayaan manusia hanya kepada Allah,Tuhan Yang Maha Esa (tahuit).
 Mengatur kehidupan manusia di dunia,agar kehidupan teratur dengan  baik, sehingga
dapat mencapai kesejahterahan hidup, lahir dan batin, dunia dan akhirat.
 Menjunjung tinggi dan melaksanakan peribadatan hanya kepada Allah.
 Menyempurnakan akhlak manusia.

Menurut para peletak dasar ilmu sosial seperti Max Weber, Erich Fromm, dan Peter L
Berger, agama merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bagi
umumnya agamawan, agama merupakan aspek yang paling besar pengaruhnya –bahkan
sampai pada aspek yang terdalam (seperti kalbu, ruang batin)– dalam kehidupan
kemanusiaan.

Masalahnya, di balik keyakinan para agamawan ini, mengintai kepentingan para politisi.
Mereka yang mabuk kekuasaan akan melihat dengan jeli dan tidak akan menyia-nyiakan sisi
potensial dari agama ini. Maka, tak ayal agama kemudian dijadikan sebagai komoditas yang
sangat potensial untuk merebut kekuasaan.

Yang lebih sial lagi, di antara elite agama (terutama Islam dan Kristen yang ekspansionis),
banyak di antaranya yang berambisi ingin mendakwahkan atau menebarkan misi (baca,
mengekspansi) seluas-luasnya keyakinan agama yang dipeluknya. Dan, para elite agama ini
pun tentunya sangat jeli dan tidak akan menyia-nyiakan peran signifikan dari negara
sebagaimana yang dikatakan Hobbes di atas. Maka, kloplah, politisasi agama menjadi proyek
kerja sama antara politisi yang mabuk kekuasaan dengan para elite agama yang juga mabuk
ekspansi keyakinan.

Namun, perlu dicatat, dalam proyek “kerja sama” ini tentunya para politisi jauh lebih lihai
dibandingkan elite agama. Dengan retorikanya yang memabukkan, mereka tampil (seolah-
olah) menjadi elite yang sangat relijius yang mengupayakan penyebaran dakwah (misi
agama) melalui jalur politik. Padahal sangat jelas, yang terjadi sebenarnya adalah politisasi
agama.

Di tangan penguasa atau politisi yang ambisius, agama yang lahir untuk membimbing ke
jalan yang benar disalahfungsikan menjadi alat legitimasi kekuasaan; agama yang mestinya
bisa mempersatukan umat malah dijadikan alat untuk mengkotak-kotakkan umat, atau bahkan
dijadikan dalil untuk memvonis pihak-pihak yang tidak sejalan sebagai kafir, sesat, dan
tuduhan jahat lainnya.

Menurut saya, disfungsi atau penyalahgunaan fungsi agama inilah yang seyogianya
diperhatikan oleh segenap ulama, baik yang ada di organisasi-organisasi Islam semacam
MUI. Ulama harus mempu mengembalikan fungsi agama karena Agama bukan benda yang
harus dimiliki, melainkan nilai yang melekat dalam hati.
Mengapa kita sering takut kehilangan agama, karena agama kita miliki, bukan kita
internalisasi dalam hati. Agama tidak berfungsi karena lepas dari ruang batinnya yang hakiki,
yakni hati (kalbu). Itulah sebab, mengapa Rasulullah SAW pernah menegaskan bahwa segala
tingkah laku manusia merupakan pantulan hatinya. Bila hati sudah rusak, rusak pula
kehidupan manusia. Hati yang rusak adalah yang lepas dari agama. Dengan kata lain, hanya
agama yang diletakkan di relung hati yang bisa diobjektifikasi, memancarkan kebenaran
dalam kehidupan sehari-hari.

Sayangnya, kita lebih suka meletakkan agama di arena yang lain: di panggung atau di kibaran
bendera, bukan di relung hati

Fungsi pertama agama, ialah mendefinisikan siapakah saya dan siapakah Tuhan, serta
bagaimanakah saya berhubung dengan Tuhan itu. Bagi Muslim, dimensi ini dinamakan
sebagai hablun minaLlah dan ia merupakah skop manusia meneliti dan mengkaji kesahihan
kepercayaannya dalam menghuraikan persoalan diri dan Tuhan yang saya sebutkan tadi.
Perbincangan tentang fungsi pertama ini berkisar tentang Ketuhanan, Kenabian, Kesahihan
Risalah dan sebagainya.

Kategori pertama ini, adalah daerah yang tidak terlibat di dalam dialog antara agama.
Pluralisma agama yang disebut beberapa kali oleh satu dua penceramah, TIDAK bermaksud
menyamaratakan semua agama dalam konteks ini. Mana mungkin penyama rataan dibuat
sedangkan sesiapa sahaja tahu bahawa asas agama malah sejarahnya begitu berbeza. Tidak
mungkin semua agama itu sama!

Manakala fungsi kedua bagi agama ialah mendefinisikan siapakah saya dalam konteks
interpersonal iaitu bagaimanakah saya berhubung dengan manusia. Bagi pembaca Muslim,
kategori ini saya rujukkan ia sebagai hablun minannaas.

Ketika Allah SWT menurunkan ayat al-Quran yang memerintahkan manusia agar saling
kenal mengenal (Al-Hujurat 49: 13), perbezaan yang berlaku di antara manusia bukan sahaja
meliputi perbezaan kaum, malah agama dan kepercayaan. Fenomena berbilang agama adalah
seiring dengan perkembangan manusia yang berbilang bangsa itu semenjak sekian lama.

Maka manusia dituntut agar belajar untuk menjadikan perbedaan itu sebagai medan kenal
mengenal, dan bukannya gelanggang krisis dan perbalahan.

Untuk seorang manusia berkenalan dan seterusnya bekerjasama di antara satu sama lain,
mereka memerlukan beberapa perkara yang boleh dikongsi bersama untuk menghasilkan
persefahaman. Maka di sinilah, dialog antara agama (Interfaith Dialogue) mengambil tempat.
Dialog antara agama bertujuan untuk menerokai beberapa persamaan yang ada di antara
agama. Dan persamaan itu banyak ditemui di peringkat etika dan nilai.
Pengertian Agama
January 3rd, 2010 | Tags: Agama, Allah, din, ibadah, iman, Islam, Muhammad, Nabi, religi, Tuhan

Ada tiga istilah yang dikenal tentang agama, yaitu: agama, religi dan din.

Secara etimologi, kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta, yang berasal dari akar kata
gam artinya pergi. Kemudian akar kata gam tersebut mendapat awalan a dan akhiran a, maka
terbentuklah kata agama artinya jalan. Maksudnya, jalan untuk mencapai kebahagiaan.

Di samping itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa
Sangsekerta yang akar katanya adalah a dan gama. A artinya tidak dan gama artinya kacau.
Jadi, agama artinya tidak kacau atau teratur. Maksudnya, agama adalah peraturan yang dapat
membebaskan manusia dari kekacauan yang dihadapi dalam hidupnya, bahkan menjelang
matinya.

Kata religi–religion dan religio, secara etimologi — menurut  Winkler Prins dalam Algemene
Encyclopaedie–mungkin sekali berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata religere atau
religare yang berarti terikat, maka dimaksudkan bahwa setiap orang yang  ber-religi adalah
orang yang senantiasa merasa terikat dengan sesuatu yang dianggap suci. Kalau dikatakan
berasal dari kata religere yang berarti berhati-hati, maka dimaksudkan bahwa orang yang ber-
religi itu adalah orang yang senantiasa bersikap hati-hati dengan sesuatu yang dianggap suci.

Sedangkan secara terminologi, agama dan religi ialah suatu tata kepercayaan atas adanya
yang Agung di luar manusia, dan suatu tata penyembahan kepada yang Agung tersebut,  serta
suatu  tata  kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan yang Agung, hubungan manusia
dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam yang lain, sesuai dengan tata
kepercayaan dan tata penyembahan tersebut.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada agama dan religi terdapat empat unsur penting,
yaitu: 1) tata pengakuan atau kepercayaan terhadap adanya Yang Agung, 2) tata hubungan
atau tata penyembahan terhadap yang Agung itu dalam bentuk ritus, kultus dan pemujaan, 3)
tata kaidah/doktrin, sehingga muncul balasan berupa kebahagiaan bagi yang berbuat
baik/jujur, dan kesengsaraan bagi yang berbuat buruk/jahat, 4) tata sikap terhadap dunia,
yang menghadapi dunia ini kadang-kadang sangat terpengaruh (involved) sebagaimana
golongan materialisme atau menyingkir/menjauhi/uzlah (isolated) dari dunia, sebagaimana
golongan spiritualisme.
Selanjutnya, kata din–secara etimologi–berasal dari bahasa Arab, artinya: patuh dan taat,
undang-undang, peraturan dan hari kemudian. Maksudnya, orang yang berdin ialah orang
yang patuh dan taat terhadap peraturan dan undang-undang Allah untuk mendapatkan
kebahagiaan di hari kemudian.

Oleh karena itu, dalam din terdapat empat unsur penting, yaitu: 1) tata pengakuan terhadap
adanya Yang Agung dalam bentuk iman kepada Allah, 2) tata hubungan terhadap Yang
Agung tersebut dalam bentuk ibadah kepada Allah, 3) tata kaidah/doktrin yang mengatur tata
pengakuan dan tata penyembahan tersebut yang terdapat dalam al-Qur`an dan Sunnah Nabi,
4) tata sikap terhadap dunia dalam bentuk taqwa, yakni mempergunakan dunia sebagai
jenjang untuk mencapai kebahagiaan akhirat.

Sedangkan menurut terminologi, din adalah peraturan Tuhan yang membimbing manusia
yang berakal dengan kehendaknya sendiri untuk kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan
di akhirat.

Berdasarkan pengertian din tersebut, maka din itu memiliki empat ciri, yaitu: 1) din adalah
peraturan Tuhan, 2) din hanya diperuntukkan bagi manusia yang berakal, sesuai hadis Nabi
yang berbunyi: al-din huwa al-aqlu la dina liman la aqla lahu, artinya: agama ialah akal
tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal, 3) din harus dipeluk atas dasar kehendak
sendiri, firman Allah: la ikraha fi al-din, artinya: tidak ada paksaaan untuk memeluk din
(agama), 4) din bertujuan rangkap, yakni kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat
Mengapa manusia butuh agama ?
January 3rd, 2010 | Tags:

Adalah suatu pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Namun, kita melihat potensi-
potensi yang dimiliki manusia, maka kita akan menemukan beberapa jawaban terhadap
pertanyaan tersebut, antara lain adalah sebagai berikut :

1.   Manusia sebagai makhluk Allah memiliki banyak kelebihan dibanding dengan makhluk
yang yang lain; tetapi dibalik kelebihan yang banyak itu, manusia  juga tidak luput dari
banyak kekurangan, kelemahan dan kemampuan yang terbatas. Manusia terbatas pada alam
sekitarnya, warisan keturunan dan latar belakang kebudayannya/hidupnya,; yang
menyebabkan adanya perbedaan pandangan dalam menghadapi suatu masalah, bahkan
seringkali bertentangan antara satu dengan yang lainnya.

Pandangan yang simpang siur tersebut (subyektif) tidak akan dapat menimbulkan keyakinan
atas kebenaran, tetapi senantiasa diliputi oleh kabut keragu-raguan (dzanny), sehingga
manusia senantiasa gagal dalam menentukan kebenaran secara mutlak, ia tidak sanggup
menentukan kebaikan dan keburukan (haq dan batil), ia tidak dapat menentukan nilai-nilai
semua hal yang demikian itu adalah di luar bidang ilmu pengetahuan manusia.

Untuk mengatasi ataupun memberikan solusi terhadap kegagalan manusia sebagai akibat dari
kelemahannya, itu maka diperlukan agama/wahyu yang berasal dari luar manusia, yakni
Allah swt. melalui para Nabi dan Rasul-Nya. Hal ini dapat terjadi karena Allah swt. adalah
Maha Sempurna, sehingga wahyu yang diturunkan-Nya merupakan kebenaran mutlak dan
bersifat universal yang tak perlu diragukan lagi, sebagaimana  firman Allah dalam Q.S. al-
Baqarah (2) : 147,

َ‫ق ِمنْ َربِّ َك فَالَ تَ ُكونَنَّ ِمنْ ا ْل ُم ْمتَ ِرين‬


ُّ ‫ا ْل َح‬

“Kebenaran itu adalah berasal dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu
meragukannya”

2.   Dalam diri manusia terhadap hawa nafsu, yang senantiasa mengajak manusia kepada
kejahatan, apalagi kalau hawa nafsu tersebut sudah dipengaruhi oleh syaitan/iblis yang
senantiasa menyesatkan manusia dari jalan yang benar. Jika manusia dapat mengalahkan
pengaruh hawa nafsu dan syaitan tersebut, maka ia akan lebih tinggi derajatnya daripada
malaikat; tetapi, jika ia mengikuti ajakan hawa nafsunya dan syaitan tersebut, maka ia akan
turun derajatnya lebih rendah daripada binatang.

Untuk mengatasi pengaruh hawa nafsu dan syaitan itu, manusia harus memakai senjata
agama (iman), karena hanya agama (imanlah) yang dapat mengatasi dan mengendalikan
hawa nafsu dan syaitan/iblis itu; sebab agama merupakan sumber moral dan akhlak dalam
Islam. Itulah sebabnya, missi utama manusia, sebagaimana hadits beliau yang menyatakan:
Hanya saja aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

Melawan hawa nafsu dan syaitan adalah jihad akbar, sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw.
sewaktu kembali dari perang Badar: Kita kembali dari jihad (perang) yang paling kecil
menuju jihad yang paling besar, para sahabat bertanya: adakah perang yang lebih besar dari
perang ini ya Rasulullah? Nabi menjawaab : ada, yakni melawan hawa nafsu.

Di samping itu, ada hadits lain yang mengatakan: Tidak sempurna iman seseorang di antara
kamu sehingga hawa nafsunya semata-mata mengikuti agama Islam yang kaubawa.

3.   Manusia dengan akalnya semata, tidak mampu mengetahui alam metafisika, alam akhirat
yang merupakan alam gaib, dan berada di luar jangkauan  akal manusia, sebagaimana
firmana Allah dalam Q.S. al-Nahl (27) : 65,

َ ‫س َما ِء َما ًء فَأ َ ْحيَا بِ ِه ْاألَ ْر‬


ْ َ‫ض بَ ْع َد َم ْوتِ َها إِنَّ فِي َذلِكَ آليَةً لِقَ ْو ٍم ي‬
َ‫س َمعُون‬ َّ ‫َوهَّللا ُ أَنزَ َل ِمنْ ال‬

“Dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi
yang tadinya sudah mati. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran)”

Akal manusia mempunyai batas-batas kemampuan tertentu, sehingga tidak boleh melampaui
batas dan wewenangnya. Oleh karena itu, banyak masalah yang tidak mampu dipecahkan
oleh akal manusia, terutama masalah alam gaib; dan di sinilah perlunya agama/wahyu untuk
meberikan jawaban terhadap segala masalah gaib yang berada di luar jangkauan akal
manusia. Di sinilah letak kebutuhan manusia untuk mendapat bimbingan agama/wahyu,
sehingga mampu mengatasi segala persoalan hidupnya dengan baik dan menyakinkan.

4.   Para sainstis yang terlalu mendewakan ilmu pengetahuan –banyak yang kehilangan
idealisme sebagai tujuan hidupnya. Mereka dihinggapi penyakit risau gelisah, hidupnya
hambar dan hampa, karena dengan pengetahuan semata, mereka tidak mampu memenuhi
hajat hidupnya; sebab dengan bekal ilmu pengetahuannya itu, tempat  berpijaknya makin
kabur, karena kebenaran yang diperolehnya relatif dan temporer, sehingga rohaninya makin
gersang, sebagaimana bumi ditimpa kemarau, sehingga membutuhkan siraman yang dapat
menyejukkan. Di sinilah perlunya agama untuk memenuhi hajat rohani manusia, agar ia tidak
risau dan gelisah dalam menghadapi segala persoalan hidup ini.

5.   Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah banyak memberikan kebahagiaan dan
kesejahteraan bagi umat manusia. Namun, dibalik semuanya itu, kemajuan ilmu
pengetahuann dan tehnologi pula yang banyak menimbulkan kecemasan dan ancaman
keselamatan bagi umat manusia. Berbagai konflik yang maha dahsyat terjadi diberbagai
belahan dunia dewasa ini merupakan dampak negatif dari pada kemajuan ilmu pengetahuan
dan tehnologi itu, dengan ilmu dan tehnologi, manusia memproduksi senjata, namun dengan
senjata itu pula manusia  banyak menjadi korban. Di sinilah perlunya agama, karena hanya
agama (iman) lah   yang dapat mencegah agar ilmu dan tekhnologi tersebut tidak berubah
menjadi senjata makan tuan/pagar makan tanaman. Agamalah yang mampu menjinakkan hati
manusia  yang sesat, untuk berbuat baik kepada diri sendiri dan kepada orang lain.

Anda mungkin juga menyukai