ISNAINI SHALEH
AMANDIT TIKUS
Sungai amandit
Indonesia adalah rumah
Meliuk seperti ular
Pintunya terbuka
Berwarna kopi susu
Kret…kret..kret
Melewati hijau daun
Terlihat lantai hijau laksana daun
Membentur batu terjal
Bersulam emas padi
Membelah jantung kota Kandangan
Di atasnya kursi dan meja
Membawa bangkai hutan
Bertumpuk kertas
Bertebaran abu rokok
Asapnya bagai kebakaran hutan
Lalu berjalan ke dapur
Terlihat perabotan mewah
Sendok emas, panci perak, piring perunggu
Kulihat kiri kanan
Tak ada orangnya
Hanya sekelompok tikus
Menggragoti rumah
Menghancurkan dari dalam
HUTAN TERBALIK
ku duduk di depanmu
melihat asap nikotin melayang
menunggu goresan pena
pada kertas yang ku berikan
tapi kau selalu berkata
ada uang makan
aku bingung tak mengerti
apa kau lapar belum makan
ku lihat perutmu buncit
badanmu kalahkan sapi
aku bingung tak mengerti
ku tunggu terus ku tunggu
SENDIRI LAGI Aku takkan menangis
Takkan bersedih
Duduk Kau selalu kukenang
Termenung Kau teman terbaik
Mengkhayal Yang pernah kumiliki
Sendirian Semoga kau bahagia
Temanku telah pergi
Menjauh entah kenapa
Apa lacur dan dosaku
Hingga tak ada lagi cerita darimu
Untukku
Hatiku
Dan hidupku
Orang ketiga
Melihatmu
Mengenalmu
Dan merebutmu
Dariku
Dan ceritaku
Tapi tak apa
Asal kau Bahagia
Aku pun bahagia
Pergilah yang jauh
TIDUR MODEL JALANAN
Mata terpejam
Berlenggang lenggok
Senyum mengembang
Di atas trotoar
Tidurmu begitu tenang
Bergaya bak model
Tak ada ngorok tak ada ngigau
Memamerkan baju
Hanya menelentang
Setiap mobil lewat
Berselimut kain putih
Selalu ada kata ‘Hallo’
Bibir tersungging paksa
Demi uang dan anak
Rela memberi makan
Pada serigala berbulu domba
Tak ada yang peduli
Tangismu sedihmu
Serigala hanya tahu makan
Makan daging tak mau tulang
SEPERTI AKU Bakar puntungnya
Asapnya bisa di ekspor
Aku
Tetaplah aku
Bukan kamu
Tak bisa berganti
Aku
Memiliki nasibku
Bukan takdirku
Nasibku milikku
Takdirku milik-Mu
ANTARA BANJARMASIN-KANDANGAN
MATI
Tak banyak kata bisa kutuliskan Air mata ini belum kering
Kalian halaman di sebuah rumah Senyum belum mengembang
Terliat pertama sebelum ke dalam Tapi kenapa harus bersedih lagi
Penghias gerbang penuh kehijauan Airmata menetes kembali
Entah kenapa Tak pernah terpikir ini akan terjadi
Tuan rumah lupa pada kalian Nyawa ini seharga ego
Mereka sibuk mengurus perabotan Hingga kau tega mencabutnya
Hingga lupa pada keindahan luar Aku tak mengerti alasanmu
Rumput tetangga mulai menyenangkan Seakan Tuhan merestui langkahmu
Tak akan aku salahkan kalian meliriknya
Jadi puisi
Jadi buku
Senyum indah itu memang bukan yang pertama kudapatkan Hitam dan gelap mewarnai malam
Pandangan inipun bukan yang pertama kulakukan Bulan menatap bumi disertai bintang
Cinta pun bukan cinta pertama yang kurasakan Menggetarkan jiwa yang sunyi
Orang sering berkata cinta pertama begitu menggoda Menghadirkan cahaya dalam gelapnya hati
Sulit membeda antara hati, akal dan nafsu Sunyi dan sepi
Tapi kau kuharap, Insya Allah yang terAkhir Berharap ia jadi nyata
Semoga. Amin
MALAIKAT HITAM PAGI
Kau datang dengan segala janji Mentari telah menyapa lewat sinarnya
Menabur berbagai harapan Disambut oleh nyanyian burung dan ayam
Memberi segala yang diperlukan Diiringi gemercik air
Berjalan dengan penuh kejujuran Serta tawa dan canda anak sungai
Namun ternyata cuma luarnya Dipadu lembutnya suara angin
Hanya ragamu berbalut jubah putih Indahnya pagi
Tidak jiwamu Subhanallah
Pemberianmu penuh pamrih Terima kasih telah memberi nikmat pagi
Berharap bisa terpilih
Malaikat hitam