DISUSUN OLEH :
IPS “ KEBUDAYAAN DAERAH ACEH “ XI TKJ
1
XI TKJ 1
PETA KONSEP
KELUARGA BATIH
Sistem kelompok keluarga masyarakat aceh umumnya menganut sistim keluarga batih.
Rumah tangga terdiri atas keluarga kecil, yaitu ayah, ibu, dan anak-anak yang belum kawin. Apabila
anak sudah kawin, ia akan mendirikan rumah tangga sendiri sebagai keluarga batih pula. Seseorang
yang baru kawin tidak berapa lama menetap bersama-sama dalam keluarga batih orang tua atau
mertuanya.
Namun, Lembaga-lembaga adat itu sekarang terkesan hilang dalam masyarakat Aceh,
karena derasnya arus globalisasi dan westernisasi yang mencoba merubah peradaban masyarakat
Aceh. Sedangkan, jika lembaga-lembaga adat tersebut dihidupkan pada suatu gampông, kampung
tersebut akan tetap kokoh seperti jayanya masa-masa kesultanan Aceh karena hukum adat selalu pro
rakyat
Upacara Agama
Upacara Adat Membangun Rumah Upacara adat adalah sejenis kegiatan yang dilakukan
oleh masyarakat secara turun-temurun yang telah menjadi kebiasaan mereka. Upacara adat dalam
mendirikan rumoh Aceh banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Islam. Sebab di samping
diadakannya do’a-do’a sesuai menurut ajaran Islam, dalam upacara tersebut juga terlihat adanya
unsur-unsur kepercayaan terhadap roh-roh gaib dan benda-benda yang dianggap keramat.
Upacara adat dalam mendirikan rumoh Aceh dilaksanakan secara tiga tahap, yaitu :
✔ Pertama dilaksanakan pada saat pengambilan bahan-bahan rumah dari hutan.
✔ Tahap kedua ketika hendak mendirikan rumah dan
✔ Tahap yang ketiga dilaksanakan upacara adat ketika rumah adat telah siap untuk
dihuni/ditempati.
Tari ini diciptakan gerak dan gayanya oleh anak Teungku Abdurrahim alias Habib
Seunagan (Nagan Raya), sedangkan syair atau ratéb-nya diciptakan oleh Teungku Chik di Kala,
seorang ulama di Seunagan, yang hidup pada abad ke XIX. Isi dan kandungan syairnya terdiri dari
sanjungan dan puji-pujian kepada Allah dan sanjungan kepada Nabi, dimainkan oleh sejumlah
perempuan dengan pakaian adat Aceh. Tari ini banyak berkembang di Meudang Ara Rumoh Baro di
kabupaten Aceh Barat Daya.
Pada mulanya Ratéb Meuseukat dimainkan sesudah selesai mengaji pelajaran agama malam
hari, dan juga hal ini tidak terlepas sebagai media dakwah. Permainannya dilakukan dalam posisi
duduk dan berdiri. Pada akhirnya juga permainan Ratéb Meuseukat itu dipertunjukkan juga pada
upacara agama dan hari-hari besar, upacara perkawinan dan lain-lainnya yang tidak bertentangan
dengan agama.
Tari Saman
Tari Saman adalah sebuah tarian yang biasa ditampilkan untuk merayakan peristiwa-
peristiwa penting dalam adat. Syair dalam tarian Saman mempergunakan bahasa Arab dan bahasa
Gayo. Selain itu biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad
SAW. Tari saman merupakan salah satu media untuk pencapaian pesan (dakwah). Tarian ini
mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan.
Lagu dan syair pengungkapannya secara bersama dan kontinu, pemainnya terdiri dari pria-
pria yang masih muda-muda dengan memakai pakaian adat. Penyajian tarian tersebut dapat juga
dipentaskan, dipertandingkan antara group tamu dengan grup sepangkalan (dua grup). Penilaian
IPS “ KEBUDAYAAN DAERAH ACEH “ XI TKJ
1
ditititk beratkan pada kemampuan masing-masing grup dalam mengikuti gerak, tari dan lagu (syair)
yang disajikan oleh pihak lawan.
Kepercayaan individu atau masyarakat dan kondisi alam di mana individu atau masyarakat
hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk arsitektur bangunan, rumah, yang dibuat. Pintu
utama Rumoh Aceh tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian
pintu ini hanya berukuran 120-150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus
menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam
rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari
bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan.
Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap
Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui Rumoh Aceh kita dapat melihat budaya,
pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap
lingkungannya dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangganya
ang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga
dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka tidak menggunakan
paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Walaupun hanya terbuat dari kayu,
beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan paku, Rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.
Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat
pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan
menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat
mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka‘bah yang berada
di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang
penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak
tangganya yang berjumlah ganjil.
IPS “ KEBUDAYAAN DAERAH ACEH “ XI TKJ
1
Pengantin laki-laki (linto baro) maupun pengantin perempuan (dara baro), keduanya sama-
sama menggunakan baju, celana panjang dan sarung songket. Bahan dasar pakaian pengantin ini
dahulu ditenun dengan benang sutera. Pada masa sekarang bahan pakaian banyak yang terbuat dari
kain katun, nilon, planel dan sebagainya. Bagi pengantin laki-laki baju dan celana berwarna hitam,
sedangkan pengantin perempuan baju berwarna merah atau kuning dengan celana panjang hitam.
IPS “ KEBUDAYAAN DAERAH ACEH “ XI TKJ
1