Dua seniman besar, dua galeri, dan dua idealism estetika yang dijunjung. Ketika
arsitektur dituntut untuk memiliki nilai keindahan yang di atas batas ‘biasa’, terlebih jika
harus merepersentasikan citra seorang seniman ternama, bagaimanakah konsep keindahan
yang diciptakan?
Di sisi lain, keindahan yang tidak terang-terangan merupakan salah satu makna dari
seni. Herbert Read (1951) menegaskan, “For art is not necessarily beauty: that cannot be
said too often or too blatantly.” Pada akhinya, sesuatu yang indah menurut suatu zaman,
belum tentu indah pada zaman setelahnya. Konsep keindahan hakiki tidak muncul dari
kosmetik yang meminta apresiasi berlebihan.
Galeri sebagai suatu ruang yang berfungsi sebagai wadah memamerkan suatu karya
seni merupakan mediator antara seniman dan masyarakat umum. Karena itu, arsitektur galeri
harus bersedia untuk mengalah dengan objek yang dipamerkan dalamnya. Pada titik ini,
konsep keindahan wabi-sabi memiliki benang merah dengan fungsi mendasar pada galeri.
Kesahajaan dan kesederhanaan dalam arsitektur menjadi standar suatu galeri.
Selasar Sunaryo dan NuArt Gallery merupakan galeri dengan skala yang cukup besar
di Bandung. Sebagai wadah karya seni, keduanya memiliki caranya masing-masing untuk
tampil dan mengantarkan objek di dalamnya kepada masyarakat umum. Idealisme seorang
seniman besar muncul di sini. Lalu apakah kesahajaan dan kesederhanaan tersebut ada?
Selasar Sunaryo Artspace memunculkan satu dogma baru dalam definisi galeri.
“Awalnya, galeri didefinisikan sebagai ruang penghubung dalam satu ruang yang lebih
besar,”ungkap Baskoro Tedjo, “Sunaryo menginginkan impresi galeri sebagai tempat yang
humble. Ia sederhana dan merupakan bagian dari kesatuan yang lebih besar, karenanya
disebut selasar.” Saliya(2008) menyebutkan, “Selasar lebih terbuka dan mendekati kenyataan
sehari-hari daripada museum yang bersumber pada mitologiYunani klasik. Bagaimanapun,
2
bagi Sunaryo gagasan Selasar yang lebih terbuka akan memungkinkan penjelajahan
berkesenian yang lebih luas dan beragam, alih-alih gagasan museum yang berat dan kaku,
atau galeri yang cenderung komersil dan berselera pasar itu. ”Hal ini sejalan dengan sejarah
wabi yang berlatarbelakang ketidaksetaraan social ekonomi Jepang pada abad 16. Dari
kondisi senada, Selasar Sunaryo menawarkan suatu gagasan bahwa nilai keindahan terletak
pada kedekatan dengan alam dan manusia yang diturunkan pada konsep selasar yang
merepresentasikannya. Pada aspek desain, makna tersebut juga diwujudkan pada simplisitas
massa, elemen arsitektur, detail, dan lanskap.
3
Gambar2 Bata merah, batu kali, dan material lain yang larutdalamusia
Batu kali yang gelap dan batu merah yang terang atau serat kayu, beton bertekstur
yang ditunjukkan apa adanya merupakan pilihan-pilihan bahan yang paling dominan dipakai
pada desain bangunanyang meraih penghargaan IAI Award 2002 ini. Pemanfaatan material
alam membuat Selasar seakan ‘menyapa’ dan ‘berdialog’ dengan tapaknya yang berada di
lembah bukit. Batu bata telanjang dan beton bercat abu-abu kini menua dengan seiring
perputaran waktu sejak 10 tahun Selasar berdiri. Lumut menghitam dan perubahan fisika
kibat berjalannya waktu dan cuaca tidak lepas dari konsep sabi dalam estetika Jepang.
Perubahan persepsi makna keindahan bahwa semakin menua, semakin layu dan termakan
usia seperti takdirnya, semakin nilai estetika dapat terlihat adalah satu nilai yang dikenalkan
oleh Selasar. Dari segi perawatan, penanganan lapuknya material ini tentu butuh pehatian
khusus agar tidak mengganggu fungsi dasarnya sebagai wadah aktivitas seniman dan
komunitas dalam berkarya.
Transformasi atap julang ngapak memunculkan suatu bentuk galeri yang geometris.
Penggunaan material meton bercat abu-abu membuat galeri membaur dengan lingkungan
sekitar. Bukaan kaca seperlunya membuat efek solid void yang dramatis dan memperkuat
keutuhan massa yang sederhana. Simplisitas dan konsistensi bentuk menjadikan Selasar
memiliki karakter keindahan seperti dalam wabi.
Adalah satu impian panjang Sunaryo untuk menciptakan wadah bagi seni miliknya,
satu pusat aktivitas budaya yang didedikasikan untuk dunia seni Indonesia. Selasar Sunaryo
Artspace adalah wujud mimpi itu. Ia hadir dengan keindahannya sendiri. Karya-karya
Sunaryo sebagai objek keindahan yang ditawarkan cuma-cuma untuk diapresiasi dan di alam
bawah sadar, sementara nilai keindahan pada fisik Selasar tertoreh, menua dalam kesahajaan.
4
Gambar3EksteriorGaleri
5
Berada pada satu bukit di
Bandung Selatan di tengah kompleks
perumahan elit, galeri Nyoman Nuarta
yang dikenal dengan nama NuArt
berjuang mempertahankan eksistensi
dan idealisme seorang seniman.
Seperti halnya sebuah patung,
arsitektur bagi Nyoman Nuarta adalah
media kreativitas, yakni wadah
terciptanya suatu bentukan unik dan
‘keluar dari kebiasaan’. Diresmikan
sejak tahun 2000denganErsat B.
Amidarmo dan Nyoman sendiri
sebagaiperancang, NuArt merupakan
satu wadah untuk Nyoman Nuarta
menjalani profesinya sebagai seniman
dari proses penciptaan karya hingga
Gambar4Perspektifbentukmassadarisculpture park pameran. Dengan kombinasi kubus
dan piramida di atasnya, NuArt berusaha menarik perhatian setiap orang yang lewat.
Permainan selubung bangunan berupa susunan tile lantai yang seakan tumbuh dari tanah lalu
rontok satu per satu dan memunculkan ‘kulit dalam’ berupa kaca hijau yang mencerminkan
pohon-pohon di sekitar seakan memunculkan sensasi tersendiri. Hal senada juga terkesan dari
atap piramida diatas kubus kaca yang muncul seakan melayang-layang di udara. “Citra rupa,
harus ada di arsitektur itu.”tegas Ersat B. Amidarmo, “Dia seniman juga kok, arsitek itu.”
Bagi Ersat, fasade tidak biasa yang membalut bentuk fungsional galeri NuArt adalah satu
solusi yang ditawarkan untuk mencapai imej galeri yang sudah selayaknya mencitrakan seni-
bermain dan bercerita dengan keunikannya.
Dengan visi fungsionalisme, bentuk kubus tercipta untuk mewadahi patung Nyoman
yang berukuran relatif besar. Namun, hal tersebut menjadi tidak sejalan dengan penggunaan
warna krem pada dinding dan lantai marmer yang sedikit mengganggu fokus penglihatan
menikmati karya, apalagi ditambah dengan permainan kolom bertekstur yang dibuat ‘retak’
yang menarik perhatian.Material kaca pun hanya kulit luar, panel gypsum tetap digunakan
untuk media display karya seni. Dalam kasus ini, konsep achitecture as sculpture dinilai
6
kurang relevan karena arsitektur mau tidak mau harus bernegosiasi dengan objek seni di
dalamnya.
Selain patung-patung tembaga berkarat yang diekspos di luar galeri, tidak terasa
adanya wabi-sabi yang murni. Keretakan dan kesan ‘tidak sempurna’ yang ada pada eksterior
dan interior bangunan justru menjadi banal jika dihubungkan pada
kekuranganatautidaksempurna (somatsunayosu)
dalamkonsepwabi.Permainangeometrimassadanselubungbangunan yang
menarikperhatianjugatidaksejalandengankonsepkesederhanaanatausimplisitas yang
menjadiciriutamawabi. Sabidalambentukekspos material yang
termakanwaktujugaterlihatkurangmaksimal.
Karya-karya yang indah bukanlah karena kesempurnaan wujud dan bingkai temanya
saja, namun juga memberikan petunjuk-petunjuk dan pertanda-pertanda adanya pertemuan
produktif. Baik pada Selasar Sunaryo Artspace maupun NuArt Gallery, nilai estetika menjadi
satu hal yang menyiratkan semangat khas seniman-seniman di dalamnya, bukan satu estetika
universal yang hanya mengikuti dogma tertentu apalagi selera pasar. Di atas itu semua,
arsitektur- dalam hal ini galeri- merupakan manifestasi fisik citra dan esensi seni yang harus
menampung aspirasi fungsi dan gejolak estetis. Ketika bicara mengenai fungsi sebagai hal
mendasar dalam arsitektur, konsep simplisitas Selasar Sunaryo dapat dinilai lebih baik
menonjolkan seni disbanding keunikan vocal NuArt Gallery. Wabi-sabi yang kental dengan
nilai-nilai universal merupakan salah satu jalur menciptakan suatu nilai estetika yang
berbeda. Dalam kasus galeri seni, kesahajaan dan kesederhanaan dapat menjadi satu solusi
untuk menjawab keindahan fungsional. Pada akhirnya, seni, arsitektur, dan wabi-sabi
menciptakan elegi, dimana ketiganya saling berdialog satu sama lain.
7
DaftarPustaka:
Read, Herbert. 1951. The Meaning of Art. London: Faber & Faber Limited.
Sadami, Suzuki & Iwai Shigeki. 2006. Wabi, Sabi, Yugen. Japan: Suiseisha.
Setiawa, Hawe & Agung Jyatnikajennong. 2008. Dedikasi Satu Dekade. Bandung: Yayasan
Selasar Sunaryo.