Anda di halaman 1dari 7

Nama Nim Prodi/Kelas

: Oki Hardianto : 10518244026 : PT.Mekatronika/F

TAWURAN PELAJAR
Bila kita mendengar kata tawuran yang ada dipikiran kita pasti tawuran antar geng motor, geng pembuat onar dan lain-lain. Tawuran identik dengan perkelahian yang membuat kerusuhan disuatu tempat. Di sebagian besar wilayah Indonesia pasti selalu ada tawuran, misalnya di Jakarta, Bandung, Jogjakarta dan dibeberapa kota lainnya. Di kota-kota besar biasanya sering terjadi tawuran antar suku, geng motor, mahasiswa dan juga antar pelajar. Di Jogjakarta juga sering terjadi tawuran antar geng. Jogjakarta ada banyak geng, misalnya ada HRZ (HUMORIZT), QZR (QZRUH), JXZ (JOXZIN) dan masih banyak lagi. Para geng itu sering membuat kerusuhan yang membuat masyarakat merasa resah. Tetapi akhir-akhir ini sudah mulai aman. Akan tetapi, geng itu tak hanya ada di kalangan masyarakat umum. Di Jogja sekarang banyak geng di sekolah-sekolah. Hampir semua sekolah di Jogja di dalamnya ada segerombolan pelajar yang membuat geng sekolah. Tidak hanya sekolah di daerah kota yang ada geng sekolah. Saat ini juga banyak geng-geng di sekolah-sekolah di desa. Sekolah yang ada geng biasanya mereka akan membuat tanda-tanda, misal dengan mencoret-coret tembok, pagar, pintu gerbang, pintu toko dan lain-lain untuk menandakan bahwa mereka memiliki geng. Pelajar yang melakukan tawuran seperti itu biasanya kurang pengawasan ddari para orang tua, kurangnya kasih sayang dari keluarga, depresi akan tekanan yang ada pada dirinya dan fasilitas sekolah yang tidak memadai. Hal tersebut tidak benar. Sebagian besar sekolah yang siswanya terlibat tawuran memiliki fasilitas pembelajaran yang memadai. Selain itu, para pelajar yang terlibat tawuran berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Orang tua seharusnya juga menberi pengawasan yang lebih untuk pelajar yan seperti ini. Bila pelajar mendapatkan itu kemungkinan besar perbuatan tidak terpuji itu akan bekurang. Berdasarkan pengamatan, penyebab utama tawuran antarpelajar adalah adanya dendam warisan dan kaderisasi

tawuran oleh kakak kelas yang akan dibahas dalam uraian berikut, pertama karena dendam warisan dari kakak kelas. Pelajar-pelajar dari sebuah sekolah yang terlibat tawuran biasanya tergabung dalam sebuah komunitas yang biasa disebut geng. Masing-masing geng sekolah memiliki nama. Komunitas tersebut sering nongkrong atau melakukan aktivitas lain yang tidak bermanfaat dan tidak berhubungan dengan kegiatan belajar. Kegiatan tersebut biasa dilakukan di lingkungan sekolah sebagai upaya mempertahankan sekolah dari serangan sekolah lain. Di beberapa sekolah, keanggotaan bersifat paksaan. Setelah masuk sekolah, siswa sekolah baru (kelas X) langsung diajak dan dipaksa kakak kelas mereka (umumnya kelas XI) untuk masuk ke dalam komunitas tawuran. Pemaksaan dapat terjadi sepulang sekolah atau selama kegiatan ekstrakurikuler dengan bimbingan kakak kelas berlangsung. Di beberapa sekolah lain, keanggotaan bersifat sukarela. Siswa baru ingin meneruskan jejak kakak kelas mereka yang sering tawuran karena tawuran memang sudah menjadi tradisi. Kesukarelaan ini dapat terjadi karena siswa baru tersebut berasal dari sekolah yang juga sering tawuran. Selain itu, setelah lulus sekolah SMP, siswa baru tersebut sengaja mendaftar di sekolah tingkat selanjutnya yang sering tawuran karena dia ingin mengikuti tawuran. Komunitas ini mulai menanamkan prinsip solidaritas dan dendam terhadap para pelajar dari beberapa sekolah lain. Siswa baru diberitahu mengenai sekolah- sekolah musuh. Jika salah satu anggota komunitas diserang pelajar sekolah lain, anggota lain harus membalas sebagai wujud rasa solidaritas. Proses ini merupakan proses awal dan vital bagi para pelajar sekolah sebelum memasuki dunia tawuran. Jika proses ini dihambat, tawuran dapat dicegah. Penyebab kedua adalah kaderisasi tawuran. Ini adalah setelah rasa solidaritas menguat dan dendam warisan membara, proses lanjutan dalam dunia tawuran dimulai. Proses ini diperuntukkan bagi siswa baru dengan bimbingan kakak kelas. Secara intern dan intensif, siswa baru mulai dilatih berkelahi dengan lawan tanding teman atau kakak kelas. Siswa baru juga dikenalkan kepada teknik, taktik, dan strategi tawuran. Setelah mantap, siswa baru turun ke jalan raya untuk melakukan tawuran dengan menyerang pelajar sekolah lain. Debut tawuran bagi siswa baru ini masih dibimbing dan dikomandoi kakak kelas. Setelah proses ini sukses, para siswa baru sudah mulai diijinkan oleh kakak kelas untuk melakukan penyerangan sendiri. Kakak kelas selalu men-support tawuran tersebut. Mereka memanas-manasi adik kelas supaya menyerang pelajar sekolah lain yang merupakan musuh.

Mereka biasanya melakukan tawuran bila teman mereka mendapat ancaman dari sekolah musuh ataupun mendapatkan tantangan dari pihak lawan. Tidak hanya itu, mereka juga sering memulai tawuran tanpa ada sebab apapun. Terkadang pelajar sebuah sekolah menyerang pelajar sekolah lain yang bukan musuhnya. Hal ini menyulut amarah teman-teman dari pelajar yang diserang. Mereka segera menyatakan bahwa sekolah yang menyerang tersebut adalah musuh dan segera melakukan pembalasan.Hal yang menarik adalah ketika pelajar dari sebuah sekolah menginjak jenjang perguruan tinggi, dendam terhadap pelajar sekolah lain hilang. Hal ini merupakan kode etik dalam tawuran di Kota Yogyakarta. Tawuran antarpelajar hanya untuk siswa sekolah Pelajar yang terlibat tawuran bukan berarti pelajar tersebut rela mengorbankan keselamatannya. Sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Perlindungan diri bukanlah hal sulit bagi mereka karena mereka mampu melengkapi diri dengan berbagai peralatan

perlindungan. Contohnya motor, helm, senjata dan lain-lain. Ketika tawuran berlangsung, pelajar tidak hanya menggunakan tangan kosong, tetapi juga berbagai senjata baik tajam maupun tidak tajam untuk memaksimalkan penyerangan terhadap musuhnya. Senjata bisa secara khusus disediakan (seperti kayu atau besi pemukul) ataupun didapat dari lingkungan sekitar (seperti batu). Langkah awal perkelahian antarpelajar SMA adalah survei. Beberapa pelajar suatu SMA meninjau persebaran pelajar SMA lain yang merupakan musuhnya. Ketika melakukan survei, para pelajar tersebut tidak mengenakan seragam sekolah. Terkadang survei juga dapat dilakukan oleh pelajar putri. Setelah lokasi para pelajar SMA musuh diketahui, penyerangan dapat dimulai. Para pelajar melakukan penyerangan dengan mengendarai motor. Satu motor wajib dinaiki 2 orang, satu sebagai pengendara/joki dan yang lain sebagai penumpang. Penumpang diperbolehkan turun dari motor dan melakukan penyerangan. Pengendara harus selalu stand by di atas motor. Setelah menaiki motor secara berpasangan, para pelajar membentuk kelompok-kelompok penyerangan. Tidak ada aturan pasti mengenai jumlah motor setiap satu kelompok. Dalam perjalanan kelompok mencari musuh, pasangan yang berada di depan

disebut leader (penanggung jawab seluruh pergerakan kelompok), sedangkan yang berada di

belakang disebut penjaring. Akhir dari perjalanan kelompok-kelompok penyerangan tersebut berbeda-beda. Penyerangan didalam tawuran ada beberapa bentuk, misalnya penyerangan skala kecil. Penyerangan skala kecil dalam bahasajawa adalah klitih terjadi di jalan raya. Hal ini dilakukan oleh kelompok penyerangan suatu SMA terhadap kelompok pelajar SMA musuh yang jumlahnya lebih sedikit dan sedang beraktifitas selain tawuran. Pelajar yang boleh diserang oleh pelajar lain hanyalah pelajar putra dari SMA musuh. Pelajar putri tidak boleh diserang. Selain itu, pelajar yang boleh diserang hanya pelajar yang sedang mengendarai motor. Ada juga penyerangan antar kelompok, penyerangan ini adalah bila kedua kelompok yang bermusuhan bertemu dijalan. Dalam bahasa jawa adalah tempuk. Ada juga penyerangan dalam skala besar. Penyerangan skala besar atau dalam bahasa jawa ngedrop adalah sebagian besar pelajar putra suatu SMA mendatangi kampus SMA musuh untuk melakukan penyerangan terhadap pelajar dan bangunan sekolah. Dalam hal ini, perkelahian atau penyerangan yang dimaksud adalah melakukan tindak kekerasan terhadap pelajar musuh berupa pemukulan, penendangan, dan atau penusukan menggunakan anggota badan, senjata tidak tajam, dan atau senjata tajam dengan tujuan mencederai, melukai, melumpuhkan, dan atau membunuh pelajar musuh. Para pelajar juga sering menyerang sekolah, tidak hanya gengnya yang mereka anggap musuh. Perilaku anarki selalu dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat. Mereka itu sudah tidak merasa bahwa perbuatan itu sangat tidak terpuji dan bisa mengganggu ketenangan masyarakat. Sebaliknya mereka merasa bangga jika masyarakat itu takut dengan

geng/kelompoknya. Seorang pelajar seharusnya tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti itu. Tawuran yang dilakukan juga memiliki dampak. Dampak terjadinya tawuran ini tidak hanya merugikan mereka yang terlibat dalam tawuran tersebut, tetapi juga merugikan masyarakat sekitarnya seperti para pejalan kaki, pengendara sepeda motor, pedagang kaki lima, pekerja toko, dan masyarakat setempat. Menurut Raymond Tambunan, S.Psi., dampak negatif dari perkelahian pelajar adalah sebagai berikut. 1. Pelajar yang terlibat perkelahian dapat mengalami cedera atau bahkan tewas.

2. Rusaknya fasilitas umum (seperti bus, halte) serta fasilitas pribadi (seperti kaca toko, kendaraan). 3. Terganggunya proses belajar di sekolah. 4. Berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian, dan nilai-nilai hidup. Para pelajar belajar bahwa kekerasan adalah yang paling efektif untuk memecahkan masalah. Dampak terakhir adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik karena hal tersebut memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia. Selain itu, orientasi pelajar berangkat ke sekolah berubah. Pelajar tidak lagi berangkat sekolah untuk menuntut ilmu. Pelajar berangkat sambil membawa senjata untuk tawuran, masuk kelas namun tidak mengikuti pelajaran, dan hanya menunggu bel pulang berbunyi untuk segera tawuran. Sebenarnya ada solusi untuk mencegah terjadinya tawuran. Sekolah-sekolah yang siswanya terlibat tawuran telah mengadakan seminar dan pelatihan sebagai bentuk pendekatan moral berupa penanaman nilai-nilai positif kepada para siswa untuk mencegah tawuran. Akan tetapi, upaya pencegahan tawuran berupa pendekatan moral tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Sekolah perlu melakukan tindakan fisik secara nyata. Beberapa sekolah mencoba menghentikan tawuran dengan cara mengeluarkan, memindahkan, atau memberlakukan aturan naik kelas bersyarat (bisa naik kelas jika pindah sekolah) terhadap siswa-siswa pemrakarsa tawuran. Namun, hal ini tidak efektif karena siswa yang dikeluarkan tersebut masih sering berkumpul dengan anggota geng sekolah asalnya. Siswa tersebut tetap menjadi motivator, peserta, dan pembantu dalam tawuran. Solusi alternatif lain untuk menghentikan tawuran yang diuraikan sebagai berikut. Pertama penyamaran identitas sekolah. Dengan dibantuPemerintah setempat melalui Dinas Pendidikan dan seluruh kepala sekolah perlu melakukan tindakan nyata dengan menghapus pemakaian seragam sekolah yang dapat menunjukkan identitas atau asal sekolah dari pelajar yang memakainya. Pemerintah dapat membuat peraturan yang memuat ketentuan seragam putih abu-abu untuk SMA dan SMK, putih biru untuk SMP, serta putih merah untuk SD tetap dikenakan pada hari biasa, tetapi badge identitas sekolah yang dijahit di lengan baju

diganti badge yang tidak menunjukkan asal sekolah pemakai, contohnya badge dapat bertuliskan Pelajar Kota Yogyakarta, bagi pelajar di Yogyakarta. Selain itu, sekolah yang memiliki seragam khas sekolah dapat menggantinya dengan pakaian khas daerah, seperti pakaian batik bercorak Yogyakarta, bagi pelajar di Yogyakarta. Selain mengurangi tawuran, ketentuan tersebut bertujuan melestarikan pakaian khas daerah sebagai salah satu kekayaan daerah tersebut. Alasan lain penggantian seragam khas sekolah ini adalah agar pelajar yang tidak ikut tawuran tidak diserang di jalan hanya karena pelajar tersebut memakai seragam khas sekolahnya. Kedua adalah pengurangan waktu tatap muka dengan kakak kelas Pemaksaan yang dilakukan kakak kelas terhadap siswa baru untuk bergabung ke dalam komunitas tawuran dilakukan selama kegiatan ekstrakurikuler berlangsung. Hal ini dapat dicegah dengan cara memisah senior dan junior dalam kegiatan ekstrakurikuler. Sebagai ganti, siswa baru dapat dibimbing oleh orang yang lebih ahli. Selain itu, kegiatan lain yang mengharuskan senior dan junior bertatap muka, seperti kepengurusan OSIS dan kepanitiaan suatu event, pertemuan dapat dilakukan di bawah pengawasan guru pembimbing. Ketiga adalah pengembangan kelompok keaganaab sekolah. Di beberapa SMA, keanggotaan komunitas tawuran bersifat paksaan. Para siswa yang lolos dari paksaan kakak kelas tersebut biasanya melarikan diri ke kelompok keagamaan. Di beberapa SMA, dari tahun ke tahun, keanggotaan kelompok keagamaan sudah berubah, dari pelarian menjadi perekrutan dan kesukarelaan. Jumlah anggotanya juga semakin banyak karena pelajar berpikiran bahwa kelompok ini memiliki kegiatan yang lebih bermanfaat. Sekolah dapat memanfaatkan keberadaan kelompok ini untuk mencegah siswanya terjun dalam dunia tawuran. Tenaga para pelajar yang agak berlebih dapat tersalurkan melalui kegiatan sosial dan keagamaan. Terakhir adalah pembentukan sekolah khusus wanita. Jika ketiga cara di atas belum dapat menanggulangi tawuran pelajar, SMA yang bersangkutan dan Dinas Pendidikan setempat bisa mengambil suatu kebijakan. Kebijakan itu adalah SMA tersebut hanya menerima siswa putri minimal selama 3 tahun ajaran. Jika tidak dapat diatasi pada taraf dini melalui keluarga, lingkungan, pendidikan, agama, dan agen-agen sosial lain, hal ini akan menjadi masalah sosial yang akut, berdampak luas, dan sukar dihentikan. Tawuran antarpelajar akan membuat kota menjadi menyeramkan, setiap warga tidak merasa aman, serta remaja sebagai generasi muda penerus bangsa menjadi bobrok. Generasi

muda yang tidak berkualitas seperti ini akan menambah beban pemerintah karena dapat menimbulkan pengangguran dan kekerasan di masyarakat. Upaya penghentian tawuran antarpelajar harus dimulai dari pelajar itu sendiri. Seorang pelajar harus pandai membentengi diri dari pengaruh buruk lingkungan serta harus mampu mengembangkan potensi diri untuk melakukan hal yang bermanfaat. Untuk itu, nilai-nilai positif juga perlu ditanamkan sejak dini melalui keluarga. Sekolah harus mendukung segala bentuk kreativitas pelajar agar tenaga berlebih para pelajar tidak tersalurkan ke hal negatif. Selain itu, sekolah juga perlu mengadakan seminar dan pelatihan sebagai bentuk pendekatan moral berupa penanaman nilai-nilai positif kepada para siswa untuk mencegah tawuran. Jika upaya pencegahan tawuran berupa pendekatan moral tidak menunjukkan hasil yang signifikan, sekolah harus berani melaksanakan solusi penghentian tawuran yang ditawarkan di atas sebagai tindakan fisik secara nyata untuk menghentikan tawuran.

Anda mungkin juga menyukai