Discover millions of ebooks, audiobooks, and so much more with a free trial

Only $11.99/month after trial. Cancel anytime.

Merdeka Square (Indonesian)
Merdeka Square (Indonesian)
Merdeka Square (Indonesian)
Ebook761 pages12 hours

Merdeka Square (Indonesian)

Rating: 3.5 out of 5 stars

3.5/5

()

Read preview

About this ebook

Indonesia - Intrik Perebutan Takhta Istana, 1965-1967

"Bagaimana kalau kita memanfaatkan tanggal Lima Oktober?" Saran Yani, ketika Dewan Jenderal mengadakan rapat untuk melakukan perlawanan terhadap Komunis pada 5 Oktober.

"...kita harus melangsungkan gerakan sebelum 5 Oktoberodan menangkap (anggota) Dewan itu pada hari Kermerdekan Cina," kata Soebandrio, ketika mereka (Aidit, Soebandrio dan Omar Dhanai) membahas rencana untuk menghalangi rencana Nasution mengambil alih Negara.

Peristiwa 1965 merupakan puncak dari segala pertarungan ideologis. Skenario-skenario politik pelbagai pihak dimainkan seperti kisah "Bharatayudha". Akibat konflik ini rakyat sipil yang tidak tahu apa-apa menjadi korban, layaknya wayang, yang siap "dikorbankan" oleh dalangnya.

MERDEKA SQUARE ditulis berdasarkan penelitian atas fakta-fakta sejarah serta ingatan pribadi Kerry B. Collison selama bertugas di Jakarta. Memaparkan tentang pertarungan dua kubu, Angkatan Darat dan PKI yang klimaks pada 30 September 1965. Bagainman kisah selanjutnya? Dan siapakah pemenang konflik perebutan kukasa ini?

Reviewers praised Kerry Collison's bestselling first novel, Timor Man.
"... hard to put down..." The Canberra Times
"... certainly a powerful doomsday thriller..." Australian Book Review
"... inspired by his long experience... intriguing plot... vivid descriptions." Sydney Morning Herald
LanguageBahasa indonesia
Release dateDec 1, 2016
ISBN9781925282313
Merdeka Square (Indonesian)

Related to Merdeka Square (Indonesian)

Related ebooks

Related categories

Reviews for Merdeka Square (Indonesian)

Rating: 3.25 out of 5 stars
3.5/5

4 ratings0 reviews

What did you think?

Tap to rate

Review must be at least 10 words

    Book preview

    Merdeka Square (Indonesian) - Kerry B Collison

    chap1

    Para petani bergerak dengan malas karena panas, angin muson yang kering bermain dengan debu yang menyebabkan beberapa pusaran udara menusuk bergelombang. Sementara penduduk desa pergi melakukan kegiatan monoton mereka dengan mengenakan kain petutup kepala untuk melindungi wajah mereka dari panas yang menyengat dan debu. Tubuh mereka mengalami dehidrasi karena kekeringan, dalam keadaan yang dapat menghanguskan seharian, dan kemudian diganggu oleh keringat yang tidak nyaman akibat kelembaban yang tetap tinggal, di malam tropis itu.

    Desa mereka, Kampung Blitar, terletak dalam sebuah kawasan kantung yang terpencil dan terisolasi, terkunci di belakang sebuah gunung berapi di sebelah utara, dalam sebuah pulau berhutan tropis yang paling lebat yang diketahui oleh manusia. Ini adalah kawasan yang tidak menonjol, didera dengan kasar oleh pola musim tertentu, yang hampir tidak diketahui oleh dunia luar. Tetapi Kampung Blitar tidaklah terlalu terisolasi masih dapat melarikan diri dari perhatian Tuhan yang mengatur kerajaan Jawa mereka yang kaya raya. Mereka memperhatikan, dengan sabar, hingga planet ini mencapai konjungsi yang sesuai dan, pada saat yang tepat, bergerak untuk merubah takdir dari segala sesuatu di bawahnya.

    * * * * * *

    Masyarakat Blitar yang miskin terletak di tengah satu-satunya daerah bayangan hujan di Jawa. Keadaan kering dan tanah yang gersang tidaklah menarik bagi petani Vereenigde Oost-Indische Compagnie ( V.O.C ). Sebaliknya, kawasan terpencil ini menjadi sebuah tempat perlindungan bagi ribuan rakyat pribumi yang lari penjajah mereka selama berabad-abad dominasi Hindia Belanda di Timur.

    Awalnya, beberapa distrik yang berpenduduk terdiri dari pelarian tahanan polisi. Hampir semuanya dinyatakan bersalah karena pelanggaran kecil yang, pada waktu itu, mengalami hukuman dan kadang-kadang kejam seperti dicambuk di depan umum. Pelanggar kriminal kecil ini lari ke wilayah Blitar yang tahu bahwa tentara Belanda tidak akan mengejar mereka. Kawasan ini berbahaya dan telah mengambil nyawa diantara orang kulit putih asing yang telah berusaha di dalam daerah yang bergunung-gunung ini. Penghukuman yang tidak berhasil ini mengakibatkan keluarnya perintah dari Gubernur V.O.C untuk tidak mengejar tawanan yang telah lari ke wilayah ini. Kompeni menyatakan daerah ini sebagai tanah-bandit dan distrik ini terus dilupakan selama ratusan tahun penjajahan Belanda di seantero kepulauan.

    Sementara Hindia Belanda Timur memasuki abad ke duapuluh dan perubahan sosial berlangsung perlahan menghasilkan sebuah kelas terdidik diantara penduduk asli, Blitar juga menjadi rumah pertama bagi pelarian politik. Meskipun jumlah mereka terbatas, kehadiran mereka diterima oleh para petani di dunia terpencil mereka sebagai intelektual yang akan dapat memberikan kemajuan pendidikan bagi petani yang tidak terpelajar beserta anak-anak mereka.

    Penduduk desa hampir semuanya Jawa yang menganut kepercayaan sebagai Muslim dan hidup dalam lingkungan perumahan yang tersebar dalam wilayah yang tertutup. Kampung ini hampir tidak dibangun tanpa sebuah masjid dimana para penganutnya dipanggil berkumpul untuk berdoa. Karena lima kali sehari berkumpul maka seluruh penduduk dapat mengikuti perkembangan pemerintahan, dan melanjutkan dengan pembersihan diri sebelum mulai berdoa. Terdapat sedikit sekali pengacualian. Ritual ini amatlah penting bagi kehidupan mereka. Penduduk Blitar telah menderita beberapa kali kekerasan dan amat bergantung pada kepercayaan spiritual demi untuk ketenangan dan kenyamanan mereka.

    * * * * * *

    Penduduk kepulauan itu memiliki semuanya tetapi melupakan kerusakan langsung yang menimpa mereka oleh letusan Krakatau ketika mereka dilanda oleh hujan deras yang nampaknya tidak akan berhenti. Ini terjadi di tahun Seribu Sembilanratus Satu.

    Hujan-badai mendera lingkungan pedesaan itu menyebabkan banjir melanda dataran penuh padi, dan tanah longsor di pegunungan. Blitar menjadi kebih terisolasi dan tersembunyi dari jutaan penduduk Jawa lainnya.

    Disebuah desa yang agak besar sebuah sekolah kecil telah dibangun dari bata-lumpur tradisional dan pohon jati. Tidak terdapat bangku. Anak-anak duduk begitu saja pada secarik tikar kecil yang mereka hamparkan di atas lantai tanah sebelum mereka membungkuk untuk duduk bersila di sebuah ruangan. Bangunan itu mereka gunakan juga sebagai Balai Desa. Kadang para ibu bergabung dengan anak-anak dan membantu mereka dengan mengajar. Hanya terdapat satu kelas bagi semua murid, tidak peduli umurnya.

    Sekolah itu merupakan lebih dari sekedar pendidikan dasar yang mereka berikan. Merupakan lambang yang dihormati oleh rakyat yang bersahaja dan menjadi gantungan lingkungan yang teramat miskin itu. Tetua kampung telah mengatur dirinya untuk mendirikan bangunan itu karena mereka mengerti akan perlunya memiliki fasilitas dasar bagi anak-anak mereka. Ruangan itu membuthkan waktu hampir lima bulan untuk membangunnya dan seluruh warga desa ikut berpartisipasi, berkerja bersama dalam kebiasaan yang mereka sebut sebagai gotong-rojong.

    Inilah salah sebuah sekolah dimana Raden Sukemi Sosrodihardjo mengajar. Iapun membantu sekolah di desa tetangga juga, tetapi sulit untuk menghabiskan waktu terlalu banyak kali ini. Isterinya yang orang Bali, Ida Njoman Rai sedang hamil tua, mengandung anak mereka yang pertama dan ia berharap dapat hadir ketika kelahiran itu tiba.

    Tidak terdapat rumah sakit disana, hanya seorang bidan yang juga merawat orang terluka maupun sakit bila penduduk desa memerlukan pengetahuan medisnya yang terbatas itu. Pengobatannya dengan cara tradisional terdiri dari ramuan yang sering disertai dengan mantra dan doa. Ibu Arifin amatlah dihormati dan dihargai oelh kampung, dan ditakuti oleh beberapa orang yang menyatakan bahwa wanita Sumatera itu,kenyataannya, seorang dukun yang dapat tidak hanya mengobati orang sakit tetapi juga mengeluarkan keajaiban. Dukun yang baik dan jahat dapat ditemukan di setiap desa di seluruh kepulauan itu karena mistik merupakan komponen integral pada kebudayaan Indonesia, disajikan dalam paket yang banyak dalam inti cerita wayang Ramayana. Ibu Arifin adalah seorang penganut setia meski iapun menganut kepercayaan tradisional ini sejajar dengan takdir Muslimnya. Ia mengerti bahwa bintang telah meramalkan sebuah pengaruh kekuatan yang luar biasa terhadap kehadiran bumi mereka dan bahwa sebuah konjungsi dari matahari dan planet Neptunus dalam pertumbuhannya menjadi penting. Ini akan menjadi, ia tahu, sebuah penampilan kembali keadaan angkasa luar yang menyertai kelahiran Nabi Muhammad. Bila ia sedang bekerja, ia mengucapkan dalam hati sebuah doa pada Tuhan Yang Maha Satu dan Maha Benar, kemudian menambahkan sebuah permohonan pada para leluhurnya dan arwah yang tidak terlupakan lainnya.

    Kebutuhan akan waktu dan pengalaman wanita itu telah bertambah dengan pasti selama bertahun-tahun tetap ia tidak pernah mengeluh. Pada saat itu, nampaknya terdapat jumlah yang berlebihan gadis muda yang hamil sebagai kebiasaan yang muncul, hampir semuanya belum mengalami ulang tahun yang kelimabelas mereka. Bidan itu merawat mereka semua, tidak pernah memperingatkan gadis muda terhadap kesulitan mereka ini karena ia sendiripun telah melahirkan pada usianya yang ke-empatbelas. Bilamana kenangan jauh ini sering muncul, ia mendadak ingin memusatkan pikirannya pada waktu lampau yang telah berlalu meninggalkan kenangan pedih, dimana sesungguhnya Ibu Arifin lebih senang untuk dikuburkan di desanya sendiri nun jauh di dekat Padang.

    * * * * * *

    Di larut senja itu petir menyambar sehingga penduduk desa tetap tinggal di dalam sementara angin kering bertiup melintasi lembah mereka, menerpa pepohonan, membawa tanah lapuk dan menarik semua benda yang telah goyah ke dalam awan tebal terdiri dari debu yang menyesakkan. Sepanjang malam, anak-anak terbaring dekat ibu mereka, bergelung di dalam sarung mereka sementara angin berdesing keras diluar, membangkitkan penglihatan hantu liar seolah menari-nari melintasi kegelapan langit malam. Pohon Tjengkih, hanya nampak sosoknya ketika kilat cerah sedang menyambar, menggetar dahsyat menyebabkan kisaran membentur menyebabkan cengkih yang belum dipetik terenggut dini dari gagangnya. Sambaran kilat yang membutakan itu menghasilkan potret diam pada sosok asing yang nampak seolah menari sesaat bagaikan beberapa wanita bergegas dengan beraninya berkeliling diluar, mengumpulkan benda-benda yang tertinggal di belakang dalam kepanikan, ketika mereka harus secepatnya menutup diri dalam gubug mereka. Surga nampaknya seolah mengkoyak-koyak dirinya berkeping-keping ketika kilatan itu terus menyambar-nyambar, disekeliling, diikuti suara gemuruh letusan petir. Bagaikan Tuhan sedang bermain.

    Suara mengerikan membelah melintasi lembah mereka, nampak bersamaan saatnya dengan jajaran dinding pegunungan di kedua sisi mengalirkan kemarahan pada arah mereka. Penduduk desa mengerti bahwa petir yang meletus ribuan meter di atas kepala mereka dan sepanjang sisi pegunungan disebelah utara mereka dengan mudah membawa hujan yang mereka perlukan bagi tanah mereka yang kering. Tetapi nampaknya bahwa doa mereka tetap tidak terjawab. Surga meledak dengan kemarahan tawa Tuhan, letusan petir yang memekakkan merupakan sebuah pernyataan akan kekuatan yang mengelilingi mereka.

    Sendirian, di kegelapan lapangan desa, lurah membelitkan sarung diseputar badannya sementara ia berusaha untuk melindungi matanya dari gumpalan debu dan daun. Ia menutupi mata kanan dengan satu telapak tangannya, dengan susah payah berusaha untuk mengenali apakah hujan telah lewat jatuh di lembah di kejauhan. Lebih dari delapan bulan telah berlalu sejak desanya dianugerahi hujan. Dengan tidak sabar, ia menunggu kilatan petir selanjutnya. Disana! Pada saat singkat, pemimpin desa itu percaya ia telah melihat apa yang sedang menghampiri adalah jatuhnya hujan di kejauhan. Ia merasa dipermainkan. Nampaknya sekali lagi, hanya yang tinggal lebih tinggi akan lebih dekat dengan Tuhan akan mendapat keuntungan dari petir. Ia tetap tinggal di luar berdoa dengan tenang bahwa petir itu akan begerak mendekat, membawa hujan yang cukup sehingga tidak hanya mengupas lapisan atas dari tanah mereka. Tetapi petir itu tidak berhujan dan orang tua itu, kecewa, berbalik dari arah angin dan berjalan gontai masuk kedalam akomodasinya yang pas-pasan.

    Seorang gadis muda mendadak berlari dari salah satu gubug dan menuju langsung ke arah Balai Desa mencari bidan itu. Sudah sangat larut, ia tahu, bahkan mungkin sudah mulai pagi. Sementara ia melintasi tanah terbuka diantara gubug-gubug, kilatan petir menyambar dan ia bebralik ketakutan kemudian berlari kembali mencari perlindungan di rumahnya. Waktupun berlalu dan anak itu nampak kembali, berlari langsung ke arah bangunan sederhana seperti perintah ibunya. Ibu Rai adalah bukan ibu kandungnya tetapi di desa hal ini bukan merupakan masalah. Anak yatim itu telah diangkat oleh wanita Bali yang baik hati ini dan diasuhnya dengan kasih sayang. Setiap tahun di seluruh distrik, banyak anak-anak yang ditinggalkan karena orang tuanya menjadi korban penyakit atau sebuah keadaan yang menyedihkan dalam hidup. Kolera, cacar dan tiphus amat sering menimpa masyarakat ini. Kematian selalu terjadi setidaknya sekali dari empat anak, sebelum mereka dapat berjalan.

    Sebuah letusan petir meledak disekeliling gubug itu menyebabkan anak yang rapuh itu terjatuh. Sambil berteriak ketakutan ia melompat berdiri dan terus berlari. Jantungnya berdegup lebih keras sementara ia mencoba membuka pintu yang berat itu, hanya untuk menemukan bahwa pintu itu telah ditutup dengan kuat dari dalam. Ia berteriak sesuai dengan paru-parunya yang kecil itu mengijinkan tetapi teriakannya tidak terdengar. Ketakutan dalam gelap, ia berbalik dan kembali ke gubugnya hanya untuk mendapati ibunya telah terbaring di lantai, bersiap untuk menanti kelahirannya. Ia menggenggam tangan ibunya erat-erat dan duduk di atas tikat disampingnya sementara waktu terus mendekat. Ia takut dan ingin menangis. Ayahnya belum kembali dari kampung lainnya. Apa yang harus ia lakukan? Ayahnya belum pulang sama sekali sepanjang malam itu. Anak itu memanggil-manggil ibunya dengan khwatir, Bu! Bu!, tetapi ibu yang kesakitan sekarang hampir kehilangan kesadaran dan panggilan dengan tangis anak itu tidak didengarnya.

    Ledakkan petir lainnya menerpa gubug sederhana itu dan mengoyak pintu kayu dan terlempar kedalam. Gadis muda itu melompat berdiri dan berusaha mengangkat pintu yang terhempas itu kembali ke tempatnya, tetapi gagal. Sementara ia masih berjuang dengan kepingan kayu itu ibunya mengerang lagi. Bingung atas apa yang harus ia kerjakan lebih dahulu anak itu tidak sadar akan sosok yang melewatinya kemudian bergerak dengan cepat memasuki ruangan untuk menolong ibunya. Sementara gadis itu berdiri di ambang pintu, angin dengan keras menerpa badannya yang kurus, ia menjadi waspada terhadap kehadiran orang asing, sensasi yang tidak biasa. Menutupi mukanya dengan tangan untuk perlindungan, anak itu menentang angin dan mengintip keluar. Mendadak ia tahu dari sengatan tajam yang menusuk lengan dan kakinya bahwa telah turun hujan. Petir menyambar lagi diikuti dengan beberapa letupan yang mengguncang sekelilingnya. Mendadak angin itu berhenti. Dan hujanpun terus mengguyur.

    Sementara ia berdiri disana tangannya yang mungil itu berada di telinganya agar dapat menangkap suara tangisan lebih jelas, sebuah tangisan akhir, dan gadis itu berbalik perlahan, dan menyaksikan kelahiran adiknya. Ia tetap berdiri disana untuk melihat apa yang nampaknya sebuah waktu yang amat berharga memperhatikan bayi itu lahir, hanya diterima dengan sigap oleh sang bidan dan menaruhnya di ruangan sempit sepanjang tikar itu. Beberapa menit berlalu sementara ibunya masih dibantu dan bayinya dibersihkan. Ia mendengar ibunya membisikkan beberapa kata yang terdengar olehnya seperti ari-ari tetapi ia tidak pasti, sementara Ibu Arifin mengambil sesuatu dengan cepat dan membungkusnya apapun itu dalam secarik kain katun, sebelum menaruh benda itu dalam sebuah jambangan pada sisi jauh ruang kecil itu. Ia memperhatikan, kagum, sementara bidan itu telah menyelesaikan tindakan utama sebelum menaruh bayi yang baru lahir di dekapan ibunya.

    Ketika ibu yang orang Bali itu berpikir bahwa saat itu adalah waktu yang tepat, ia mengeluarkan secarik kain dan isinya dan mencari tempat untuk mengubur ari-ari. Adalah budaya Bali untuk menempatkan placenta di suatu tempat yang diberkahi di kebun, dalam kepercayaannya bahwa hal ini mewujudkan setengah dari orok yang baru saha lahir, dan bahwa tindakan ini akan menjamin bahwa keduanya akan selalu bersatu. Orang Bali selalu diketahui untuk kembali ketempat dimana dilahirkan dan ketaatan pada tradisi ini akan, dimasa depan, akan menjadi lebih penting karena ibu bayi itu adalah seorang wanita Bali.

    Gadis muda itu dikejutkan oleh sebuah teriakan dari luar dan berbalik untuk melihat sosok ayahnya yang sedang bergegas melintasi lapangan-becek. Ketika ia pasti bahwa itu itu memang ayahnya, ia berlari secepatnya menuju orang itu dengan menangis dipenuhi dengan kegembiraan, memberitahukan bahwa bayinya telah lahir. Ketika ia mencapai sosok yang lelah itu, iapun membungkuk untuk menggendong anak itu kepelukannya, memeluknya erat-erat ke dadanya. Dekat halaman pusat masyarakat itu ia melihat bahwa para tetangganya telah berada di luar, saling bicara satu sama lain dengan penuh kegembiraan karena mendapat karunia dengan turunnya hujan deras. Para wanita berlari dengan gembira memasuki gubug kecil dan mengamati orok lelaki itu. Sebuah teriakan membawa mereka kembali keluar. Itu adalah Pak Lurah.

    Lihat! ia memerintah, menunjuk ke angkasa ketika matahari telah terbit sinarnya menyeruak diantara awan badai itu. Merekapun mengikuti arah yang ditunjuk oleh rentangan lengan itu dan sebuah kesunyianpun meliputi desa itu.

    Sementara awan menyebarkan sinar matahari menyelinap dalam kabut pagi yang hangat itu. Penduduk desa berdiri terkesima oleh sebuah pemandangan magis. Warna keemasan berbaur dengan warna merah dan hijau cemerlang. Terjadilah bisikan perlahan ketika pelangi itu nampaknya bergerak makin dekat dan lebih dekat lagi, warnanyapun makin cemerlang ketika menghampiri mereka. Tidak seorangpun pernah mengingat telah melihat sebuah pelangi yang luar biasa itu sebelumnya, dan sudah pasti tidak seorangpun pernah dapat menghampiri sedekat jangkauan tangan mereka. Kelihatan seolah gumpalan sinar berkekuatan itu keluar dari kampung mereka.

    Ibu Arifin menghampiri keluar dari dari gubug. Iapun tertegun oleh pendekatan pelangi dan kecemerlangannya. Dengan hati-hati, ia memanggil ayah bayi itu. Subuh, katanya, kepalanya mendongak ke angkasa, Anakmu telah lahir pada saat waktu shalat Subuh. Dan sang ayahpun menganggukkan kepalanya perlahan dengan hikmat. Adalah nama yang tepat yang berkenaan dengan waktu kelahiran dan kepercayaannya.

    Anak lelakinya akan dipanggil dengan nama Subuh. Seluruh penduduk desa berdiri tertegun oleh tanda mistik yang telah dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Benar, mereka tetap diam, hampir ketakutan, tahu bahwa mereka sedang menyaksikan sebuah kejadian dari tanda luar biasa, dan bagaimanapun anak yang baru saja lahir pada waktu shalat adalah berhubungan dengan anugerah berupa hujan yang mengguyur desanya.

    Satu persatu penduduk desa itu menghampiri ayah yang sedang berbangga dan dengan lembut membelai kaki bayi yang mungil itu. Sementara para wanita mengelilingi sang guru, terdengar tangisan perlahan dari belakang. Mereka segera berbalik ke arah suara tadi dan disana, berdiri ditengah gawang pintu yang daunnya rusak, Ida Nyoman Rai menaruh kedua tangan di wajahnya sementara ia melihat ke arah anak lelaki yang baru lahir pada jarak yang tidak terlalu jauh. Baru saja anaknya itu diliputi oleh pelangi yang luar biasa. Sebuah Aura. Itu adalah sebuah pertanda! Wanita itu berjalan mendekati suaminya yang orang Jawa itu yang segera merangkulnya di pinggang dan menuntunnya kembali untuk beristirahat.

    Kita akan memanggilnya Subuh, ia mendengar suaminya berkata ketika mereka memasuki gubug itu dan segera membaringkan tubuhnya di atas ranjang tanpa kasur. Muhammad Subuh Koesnososro, suaminya menaruh anak lelaki mereka dalam pelukannya dan tersenyum hangat pada mereka berdua sementara iapun berbaring disebelah mereka. Beberapa tahun kemudian, beberapa orang yang hadir di desa pada saat itu berani bersumpah bahwa aura yang berwarna-warni pada kenyataannya telah disaksikan oleh semua yang hadir, dan banyak lagi orang yang datang dari desa yang agak jauh untuk menengok bayi yang baru lahir itu. Itulah yang mereka rasakan bahwa anak yang baru lahir itu sudah ditentukan akan menjadi orang besar. Ia akan menjadi presiden pertama negeri mereka.

    * * * * * *

    Pada saat itu kejadian yang aneh itu meliputi tempat kelahiran anak yang dinamai Subuh, awan badai juga berkumpul meliputi Gunung Merapi. Dalam beberapa hari bumi ini sering bergetar karena gunung yang besar itu sedang mengeluarkan tanda-tanda bahwa sebuah letusan akan segera terjadi. Getaran itu mengguncang pulau Jawa berjalan dari epicentrum yang berjarak ribuan kilometer untuk memberi tanda ke tempat yang amat terpencil itu. Gumpalan awan yang besar terdiri dari debu dan asap beracun disemburkan oleh lubang kawah yang besar itu. Bumi terus berputar dan bergoyang sementara rangkaian letusan yang mengerikan itu terus berlansung keluar, menuju kota dan desa di seluruh kepulauan.

    Gabungan awan badai dan gumpalan asap memberikan sebuah pemandangan yang menakutkan pada semua yang melihat. Gumpalan gas beracun meluncur langsung ke bawah sepanjang punggung gunung itu tidak tertahankan lagi, menyapu desa yang tidak beruntung yang terletak diantara persawahan dengan padinya yang sedang menguning di kaki gunung itu. Tidak seorangpun dapat melarikan diri dari gumpalan awan beracun itu. Pemuda, orang tua, pemimpin desa, semua tewas dalam beberapa saat. Kambing dan ayam tergeletak dimanapun mereka jatuh.

    Aliran lava raksasa bergerak kebawah dengan kecepatan yang mengerikan sepanjang sisi gunung berapi itu sambil membawa kumpulan batu panas cair di jalurnya. Desa-desapun segera lenyap dalam beberapa saat ketika aliran lava menelan kumpulan gubug itu. Sementara masa berbuih mengerikan itu menelan desa-desa satu persatu, udarapun dipenuhi dengan suara buah kelapa yang meletus di pohon ketika udara sekelilingnya menjadi amat panas, menyebabkan suhu udara melonjak dengan amat cepat diatas titik didih. Rumah beratap meledak habis ketika gelombang panasa menelan desa-desa, segera membakar apa saja yang terperangkap di dalamnya oleh gas yang mematikan itu hanya dalam beberapa menit. Gunung berapi itupun menggeram sepanjang malam. Hanya beberapa orang desa yang dengan ketakutan masih tersisa dapat berlari menyelamatkan diri.

    * * * * * *

    Di sebuah desa kecil bernama Woboro yang terletak dalam jarak penglihatan dari kejadian mengerikan itu yang hanya berjarak kurang dari sepuluh kilometer. Karena terletak di arah utara pada kaki gunung, aliran lava dan gas beracun dengan penuh ampunan tidak menyentuh desa kecil itu. Sementara letusan terus berlanjut, semua penduduk kampung menunggu dengan cemas diluar, berkumpul bersama sambil berdoa untuk mendapat perlindungan. Tidak seorangpun penduduk desa dapat mengingat kejadian luar biasa dari gunung itu, meskipun ada beberapa cerita rakyat untuk kejadian yang sama menyebutkan kejadian dimasa lalu oleh nenek-mojang mereka.

    Doa mereka dipimpin oleh seorang pemimpin Islam tua yang kembali ke desanya untuk menghadiri kelahiran seorang anak. Kehadirannya membuat penduduk desa ini merasa aman, untuk kepandaian ini adalah sebuah perwujudan nyata dari Allah mereka yang tercinta dan memberikan kenyamanan spiritual yang amat mereka butuhkan pada saat itu. Doa itu terus berlangsung sepanjang malam dan, ketika bahaya telah lewat, merekapun jatuh tertidur kelelahan. Terkadang, beberapa orang terbangun karena getaran bumi, tetapi yang lainnya tetap tertidur hingga mereka dipanggil untuk shalat subuh.

    Begitu doa selesai orang suci itu berkumpul dalam ruangan kecil dimana isterinya sedang beristirahat. Ia tersenyum lelah, kelelahan karena melahirkan, dan meraih suami dengan tangan kanannya. Ia membelai dengan mesra bayinya yang digendong oleh bidan itu dan menyodorkan padanya untuk dilihat. Gelombang perasaan menelannya ketika ia melepas tangan isterinya dan mengambil bayi itu ke dalam pelukannya. Ia berbalik dan berjalan keluar menuju lapangan desa dimana ia berdiri menghadap ke arah gunung berapi yang sedang marah itu. Matahari telah terbit tetapi kecerahan sinarnya terhalang oleh awan gelap dan asap yang mematikan. Bidan itu, mengkhawatirkan bahwa butiran debu dapat melukai bayi itu atau setidaknya mengganggu pernafasannya, menyarankan agar sang ayah mengembalikan bayi itu kepada ibunya. Sang ayah menolak. Sebaliknya, iapin mulai bersenandung sambil menggoyang-goyang si orok maju mundur di lengannya. Ia sedang berdoa. Segera ia dikerumuni oleh penduduk desa lainnya yang telah selesai shalat lebih dulu, selama Subuh itu, dan sekarang ingin mengamati tambahan penduduk desa itu.

    Satu jam berlalu, dan kemudian datanglah hujan badai yang mengerikan. Para petani itupun kembali masuk ke gubugnya dan menunggu hujan deras itu berlalu. Segera mereka dapat keluar lagi untuk melihat bahwa tidak hanya hujan itu berhenti, melainkan sinar matahari mampu menyeruak diantara gumpalan awan dan debu gelap itu. Mendadak terdengar sebuah seruan bersama yang membawa penduduk desa lainnya berlarian keluar.

    Mereka semua berdiri dalam keheranan menatap ke arah pemandangan itu. Di kejauhan, ke arah timur tetapi dibelakang dan meliputi gunung berapi raksasa itu, terdapat awan biru. Sementara mereka bergumam diantara mereka, sang ayah menghampiri sambil tetap menggendong sang bayi yang baru lahir.

    Mendadak, mereka menarik napas karena terkesima, pada saat itu, sinar matahari yang cerah cemerlang itu bergemerlapan di semua arah dan sebuah pelangi luar biasa turun menghampiri lembah itu. Penduduk desa semua berbalik ke arah lelaki yang menggendong bayi itu dan terkejut melihat ia tersenyum pada anaknya, sementara melihat sebuah pemandangan luar biasa menyelimuti mereka. Pelangi itu nampaknya berujung pada kaki bayi itu. Mendadak, ayah yang baru itu mengangkat kepalanya dan memanggil mereka untuk ikut bergembira. Ia mengutarakan bahwa keajaiban ini adalah sebuah tanda yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Benar, Allah! Mereka segera menanggapi, berlutut sementara orang itu memimpin mereka berdoa. Kemudian pada hari itu, gunung berapi itu berhentu meletus dan cuaca kembali normal.

    Sperti di Blitar, banyak penduduk desa yang bersiap untuk bersumpah pada Qu’an Suci bahwa mereka menyaksikan keajaiban dari pelangi yang cemerlang dan letusan gunung berapi itu berhenti. Banyak orang percaya bahwa mereka melihat dengan jelas dimana pelangi itu mulai, kelihatannya amat dekat sehingga mereka percaya dapat menyentuh sinar luar biasa itu. Beberpa juga menghubungkan, dalam suara yang menghormat, bahwa, pada saat itu ketika warna cemerlang itu menyebar di kawasan bukit mereka, mereka memperhatikan juga terdapat senuah aura menyelimuti anak yang baru lahir itu.

    Mereka ini adalah rakyat yang sederhana. Mereka lebih waspada terhadap hal-hal magis yang dengan jelas mengerti apa yang sedang terjadi : bahwa mereka menjadi saksi kenyataan pada pemenuhan sebuah ramalan yang telah meramalkan kelahiran tiga orang raja pada saat ini.

    Pertama, ramalan itu menyatakan, akan menjadi raja rakyatnya, memimpin mereka keluar dari tekanan kegelapan. Kedua juga akan lahir dalam kedahsyatan alam, untuk bangkit memimpin rakyatnya menjauh dari penderitaan spiritual. Ketiganya akan lahir dalam kulit berwujud kuning pucat di kepulauan jauh ke utara, dan akan menjajah dunia disebut sebagai Timur Jauh.

    Sebelum menutup hari penuh mistik itu, sementara matahari menyelinap dengan cepat menjauh dan para penganut mengikuti shalat Maghrib, anak yang baru lahir itu telah diberi nama. Ayahnya merasakan sebuah saat yang luar biasa telah tiba meskipun ia tidak tahu bahwa anak lelakinya akan tumbuh dan menjadi salah seorang pemimpin besar spiritual yang memperkenalkan filasafat Susila Budi Dharma, atau SUBUD yang akan dikenal.

    Pada hari kelahirannya, orang tuanya memilih namanya dan menuliskan agar diingat. Ia dipanggil dengan nama Soekarno.

    * * * * * *

    Tidak seorangpun dari penduduk dari kedua desa itu mengalami kejadian mistik pada hari yang sama waspada terhadap kebetulan yang aneh meliputi masyarakat mereka, atau bagaimana mereka menghubungkan satu dengan lainnya. Kedua anak yang yang perpilih yang lahir pada jam-jam awal pagi hari itu akan menderita penyakit yang sama dalam hari-hari awal kelahirannya tidak akan mencatat tanda-tanda menonjol, meskipun orang-orang bersahaja ini mengetahui kejadian tersebut.

    Ayah Subuh menggendong anaknya beberapa minggu selama kesehatannya terganggu. Ibu Arifin belum pernah melihat hal seperti ini sebelumnya. Ia tidak dapat mengerti apa yang menyebabkan anak itu sakit, bahwa adanya serangan penyakit itu adalah sebagai tebusan atas diri bayi tersebut.

    Dan, di desa mereka, orang tua Soekarno juga terus berdoa, sementara mereka menunggu, dalam ketidak percayaan, sementara anak mereka terus menderita penyakit yang tidak menentu.

    Tuhan rupanya melihat misteri ini dan bergerak untuk melakukan koreksi ketidak pastian mereka. Pada suautu hari yang tepat, sementara keadaan yang membingungkan terus mendera kedua anak itu, beberapa orang suci mengunjungi kedua kampung itu dan memberikan restu pada kedua bayi tersebut. Menurut adat tradisional setempat, kedua orang tua dar bayi-bayi itu harus mencari nama bagim kedua bayi yang selalu sakit-sakitan itu, untuk membantu mereka dengan permulaan kehidupan baru bagi keduanya.

    Di desa kecil Blitar dimana hujan yang secara mistis telah turun begitu anak itu lahir, orang tuanya membuat kenduri untuk anaknya dari nama Subuh, menamai kembali anak lelaki mereka. Mereka memanggilnya dengan nama Soekarno.

    Hampir seratus kilometer ke arah utara di desa Wiboro, kenduri yang sama diselenggarakan pula. Kedua orang tua ini juga berdoa bagi kharma anak lelaki mereka, memeperbaikinya dengan memberi nama baru.

    Nama anak mereka diubah dari Soekarno menjadi Muhammad Subuh.

    * * * * * *

    Dan Tuhanpun akan tersenyum pada kedua anak itu dan memberkahi mereka, dan kesehatan merekapun pulih kembali dan merekapun mulai tumbuh, dan terus maju kedepan dengan kehidupan mereka, kearah tujuannya masing-masing untuk memenuhi ramalan para pendahulunya.

    chap1

    Soekarno bersandar dan menatap keluar jendela melihat ke arah jalanan yang sedang lengang. Penduduk ibukota propinsi itu sedang menikmati istirahat siang mereka berlindung dari sengatan udara panas. Di segenap penjuru wilayah, tuan-tuan Belanda dan orang Indonesia mengikuti kebiasaan setempat beristirahat dari sengatan panas. Kala itu adalah waktu yang ia tentukan untuk nantinya kembali larut dalam kegiatan mereka di senja hari. Kota Bandung hampir serasa tidur. Orang Belanda telah mengetahui bahwa kota ini memiliki iklim sedang yang tidak menyediakan kesesuaian untuk tubuh seperti orang berjemur di sepanjang pantai. Disini, di senja hari, seseorang meskipun telah mengalami keadaan tertentu untuk kebutuhan baju hangat bagi orang bule mengenakan pakaian tebal ini malah menjadika tidak nyaman, atau diluar perasaan rindu rumah asal mereka.

    Soekarno sangat cinta pada Bandung dengan taman dan kebunnya, sekolah dan perguruan-tingginya. Khususnya pada perguruan-tinggi. Ia tersenyum kecil pada dirinya sendiri dan bersandar menjauh dari pemandangan, berguling perlahan ke atas ranjang. Keharuman aroma gadis itu masih tetap merebak dan iapun menutup matanya, membayangkan mahasiswi tanpa busana itu lagi. Ia tetap berbaring, mengatur napasnya seraya pikirannya melayang ke saat sewaktu ia meluangkan waktunya bersama gadis yang berkulit lembut dan pucat.

    Sejak ia ingat, teman dekat memanggilnya Djago, si Ayam Jantan, atau juara yang berbeda terhadap kekuatan yang jelas pada halaman sekolah itu. Dan kemudian, sementara sosok yang tampan dan kharismatik itu berkembang, kelebuhannya dalam merebut hati wanita itupun sesuai dengan julukan tersebut. Soekarno senang dengan julukan itu yang telah disandangnya sejak awal masa remajanya di Suranya meskipun, pada hari-hari ini, ia lebih memilih dikenal sebagai Bung Karno yang dirasakannya akan lebih mendekatkan dirinya pada rakyat, dan ambisi politiknya.

    Sementara pikirannya melayang dari para mahasiswi yang menawan dan telah rela berbagi ranjang dengannya pada jam awal senja itu, insinyur muda yang tampan ini membiarkan pikirannya mengingat kembali pada para wanita lain yang telah dikenalnya. Soekarno selalu menikmati kepuasan rasa ini yang akan membuahkan ketenangan pikiran dan kenyamanan. Kemewahan akan menjadi semakin langka, dan terkadang untuk menyempurnakan aktifitas politik dan kebutuhannya akan saat pribadi membutuhkan berbagai selingan.

    Iapun teringat masa remajanya di sebuah kota kecil Tulungagung diama ia dibesarkan dibawah asuhan kakeknya. Dia amat mencintai dan selalu mengingatnya, hampir setiap hari memimpikan kehidupan yang sederhana yang telah hilang darinya kini, di kota. Hidup yang jauh dari orang tua kandungnya sendiri tidaklah membosankan bagi sang remaja. Kenyataannya, dia menikmati jauh dari kehidupan sederhana di kampung meskipun dia merasa kehilangan ibu, pada awalnya. Ini terjadi pada awal perkembangannya, hidup bersama kakeknya, ketika dia memperhatikan pertunjukan wayang kulit yang menyajikan episode cerita Hindu Ramayana.

    Adalah cerita tanpa akhir yang merasuki hati dan jiwanya. Dia selalu ingat dikala menghabiskan malam yang langka di panggung di tepi jalan desa menimati cerita kuno disajikan dalam bentuk yang menghidangkan jantung budaya Jawa. Dari malam ke malam ia membujuk neneknya agar diijinkan pergi ke alun-alun desa dimana pertunjukan itu digelar. Disana dia duduk diantara teman-temannya menyaksikan bayangan bergerak-gerak dari balik layar putih selama drama tersebut digelar. Ki Dalang separung bicara dan separuh lagi menyenandungkan cerita, membuat pemerhatinya terkesima terutama anak-anak. Terkadang mereka jatuh tertidur, selagi permainan tetap berlangsung pada kehangatan malam di Jawa.

    Pada suatu ketika sang Djago muda itu melihat beberapa gadis duduk tidak jauh dari temannya. Saat itu ia tahu mereka menunjuk-nunjuk ke arahnya sambil tertawa kecil, iapun dengan tepat menyangka bahwa mereka sedang membicarakan ketampanannya. Meskipun baru limabelas tahun, ia sadar bahwa telah mampu menarik lawan jenisnya dan sama sekali tidak merasa risih dengan keadaan ini. Sementara para gadis itu asyik berbincang dan menarik perhatian grupnya, Djago segera bangkit dari duduknya dan menghampiri gadis siswa sekolah menengah pertama itu yang dengan serta merta merasa malu. Sebelumnya tidak pernah ada anak lelaki lain yang melakukan hal seperti itu! Sejam kemudian, telah mendapati dirinya sedang bercanda dengan salah satu dari gadis itu di bawah pohon Palem di belakang alun-alun desa itu. Keesokan harinya, kakeknya mengirim dirinya ke Surabaya dengan sebuah bis. Dia tidak pernah mengerti mengapa kejadian di semak-semak tersebut menimbulkan akibat yang berdampak begitu jauh. Setelah pengalaman seksuak yang hanya sekejap dan tidak berarti itu, gadis sekolahan tersebut bercerita kepada ibunya, yang segera meneruskan hal memalukan ini kepada suaminya, setelah dia pulang larut malam itu. Pagi berikutnya sang kakek dengan bijak mengemas kopor dan mengirimnya ke kota yang berada diluar jangkauan kemarahan ayah yang bergolok setajam pisau silet itu.

    Pertama-tama, Soekarno tidak kerasan berada di kota besar. Dia menghabiskan waktu beberapa minggu dengan saudara-saudaranya yang tinggal di kawasan berpenduduk padat dekat pelabuhan Surabaya. Beberapa minggupun berlalu sebelum dia menerima surat dari ayahnya yang meminta bantuan kepadanya untuk menyampaikan kepada seorang rekan lama. Soekarno menyampaikan surat ini dan dengan segera dibawa oleh pembantu rumah dimana dia tinggal selama masa pendidikannya di sekolah menengah atas. Ini adalah rumah Oemar Said Tjokroaminoto, tokoh masyarakat dan pemuka ulama yang tekenal.

    Tjokro memperlakukan anak semangnya seperti anaknya sendiri. Kedua anaknya segera menjadi akrab sehingga yang tuapun melihat potensi siswa muda tersebut. Sebagai anak angkatnya, Soekarno menerima pelajaran bahasa dan agama sebelum beranjak untuk mulai bekajar politik dibawah bimbingan sang orang tua angkat. Seiring waktu berlalu dan sang pemudapun amat antusias menyerap semua ajaran yang diterimanya, Tjokroaminoto berangsur-angsur mengenalkannya ke beberapa tamu khusus yang datang untuk meminta nasehat sang pemuka masyarakat, bahkan sering melibatkan pemuda ini dalam diskusi umum yang sering berlangsung. Dalam kurun waktu inilah Bung Karno menyingkap bahwa terdapat hal-hal yang kompleks berkenaan dengan teman-teman setanah-airnya. Arus kehadiran yang tidak putus-putusnya baik aktifis politik maupun agama di rumah orang tua angkatnya yang telah menjadi forum baginya untuk belajar mengamati para pemimpin yang sedang tumbuh ini, yang menguraikan perkembangan spektrum politik di Indonesia.

    Tjokroaminoto acapkali memperhatikan pemuda asuhannya dan berharap kalau-kalau dapat menjadikan dia sebagai anaknya. Karena hal ini tidak mungkin terlaksana, diapun memutuskan tindakan terbaik selanjutnya, di usia enambelas tahun, akan menikahkan anak perempuannya Siti Oetari kepada Soekarno yang telah dapat meyakinkannya.

    Tantangan Soekarno dan perilaku yang menyulitkan ada pada pengikut Tjokroaminoto yang telah mencapai lebih dari empatratus tibu orang. Dia gagal dengan ayah mertuanya dan usia pernikahanyapun hanya berlangsung selama dua tahun sebelum Soekarno mengirimkannya kembali ke rumah, tanpa anak, karena telah menjalin hubungan dengan induk semangnya di Bandung, Inggit Garnasih, seorang wanita yang duabelas tahun lebih tua. Sebagai oportunis, dia menikahi wanita kaya raya ini yang menunjang suaminya yang tampan selama menuntut ilmu di Institut Teknologi Bandung.

    Inggitpun segera menyadari bahwa suaminya yang masih muda ini tidak menaruh perhatian yang tulus kepadanya tetapi dia tetap merindukan kemesraan dan semangatnya yang tinggi dan tetap mau menerimanya. Ketika usia pernikahannya menjelang lima tahun, Inggit menyadari, sekali lagi, seperti induk semangnya Soekarnopun ingin berhenti berbagi ranjang dengannya, memilih untuk hidup sendiri dan benar-benar bercerai darinya. Wanita ini akhirnya dapat menerima keadaan status quo, meski merasa sakit karena kehilangan si Dia sepenuhnya.

    Soekarno tahu bahwa dia mempunyai daya pikat terhadap wanita. Tidak terdapat kecenderungan bagi dirinya untuk tidak terbujuk, meskipun dia yakin bahwa dia punya tujuan khusus yang lebih besar dalam hidupnya. Sekarang dia telah lulus hingga dapat beralih ke langkah yang berbeda. Dia sesungguhnya tidak berniat untuk menjadi seorang insinyur teknik sipil, sebagaimana orang Belanda yang memimpin perguruan tingginya, dia hanya menganggap bahwa dirinya beruntung dapat mencapai titel ini. Selama bertahun kehidupannya di Bandung, secara konsisten tetap menjalin hubungan dengan sesama mahasiswa yang menyerap pandangan politiknya. Dia berlatih berpidato sendirian di dalam kamarnya yang sempit sebelum turun berbicara di sebuah taman umum untuk menguji gaya di depan teman-teman yang masih berada di bawah tingkatannya. Segeralah dia menjadi seorang pembicara yang berhasil memikat pendengarnya. Kepribadiannya yang kharismatik dan serta merta menyemarakkan beberapa pertemuan. Kepercayaan diri Soekarno tumbuh dengan pesat setelah diketahui bahwa popularitasnya tidak terbatas hanya dalam ibukota propinsi Bandung saja.

    Sambil berbaring terlentang mengingat masa lalunya, Soekarno tahu bahwa dia telah menempuh jalan pintas dalam karirnya. Ini menyebabkan dia dapat berharap memperoleh kesempatan sebagai seperti layaknya polisi Belanda yang selama ini mengawasi kegiatannya dari dekat dan dia telah diberi beberapa kali peringatan berkenaan dengan pidatonya. Dia tahu bahwa mereka mudah tersinggung. Gaya bicaranya bergantung pada kedongkolan dan penderitaan pendengarnya terhadap kolonial penjajah yang akan mendukung ambisi politiknya. Dan dia menjadi semakin sukses. Hari berikutnya dia harus berkunjung ke Semarang dan serangkaian lawatan yang telah direncanakan.

    Soekarno tersenyum dengan antisipasi. Dia hidup untuk massa yang histeris meletup-letup bila dia berpidato, adalah kesempatan untuk konsolidasi basis kekuatan politiknya dan, tentunya, kekuatan yang mengaliri nadinya seraya kerumunan orang berseru-seru memanggil namanya. ‘Soekarno! Soekarno! Hiduplah Soekarno!’

    Pagi berikutnya Soekarno bergabung dengan rekan-rekan yang akan mendukung lawatannya dan sekaligus bertindak sebagai pengawal apabila polisi rahasia Belanda akan mengganggu pahlawan mereka. Mereka semua berseragam, sederhana, mengenakan pitji hitam kebanggaan. Mereka berada dalam semangat yang tinggi. Mereka serasa sedang melakukan perubahan sejarah.

    Dan segeralah mereka berangkat, melewati jalan perbukitan menuruni jalur berbahaya pantai utara Jawa dan di kota teluk Tjiribon dan Semarang, mendahului lawatan yang akan membawa perubahan kehidupan mereka selamanya.

    * * * * * *

    Semarang

    Meskipun sesungguhnya merasa diri dalam bahaya karena besarnya jumlah mahasiswa yang ikut dalam lawatan itu. Penduduk kota ikut iring-iringan barisan massa manusia menuju lapangan sepak bola karena keingin tahuan mereka lebih dari segala-galanya. Para pedagang pemilik toko juga ikut dan, dalam jangka waktu yang relatif pendek kawasan itu seakan ada festival yang terorganisir karena kerumunan orang bergerak perlahan menjadikan pandangan seperti keadaan sewaktu ada karnaval. Pedagang kaki lima penjual sate hingga pelajar sekolah menengah atas yang berseru-seru, sementara Soekarno dan rombongannya menyiapkan sebidang area disisi lapangan dari mana ia akan berpidato pada kerumunan massa itu. Diapun amat senang dengan hasilnya. Kepercayaan dirinya tumbuh dan berjalan mondar-mandir sambil tersenyum dan bicara kepada siapapun yang peduli untuk mendengar. Itu adalah persiapan dirinya untuk menuju sebuah sasaran, mengumpulkan pemikirannya, seperti hampir semua pidatonya yang dilakukannya tanpa persiapan.

    Di bagian belakang kerumunan orang itu, seorang anak kecil mengeluh kapada ibunya karena panas dan lalat. Secara kebetulan, segumpal debu karena lewatnya pejalan kaki berhembus, diapun bersin dan menghapus hidung dengan punggung tangannya. Dia tidak ingin berada disini. Dia hanya ikut ibunya, yang ternyata, hanya ikut kerumunan orang ke lapangan tersebut karena ingin tahu apa yang sedang terjadi. Setelah ibunya tahu bahwa itu hanyalah berkumpulnya para mahasiswa, diapun segera duduk di sisi jalan menunggu seperti lainnya. Tidak ada kerja lain yang dapat dilakukan di kota ini. Bis mereka tidak akan berangkat menuju ke Djogyakarta dalam waktu paling tidak dalam tiga jam mendatangini, maka iapun memilih untuk menunggu apa yang akan segera terjadi. Putranya, Soenarko, duduk dengan kecewa di sampingnya.

    Wanita Jawa ini meletakkan tangannya ke punggung putranya, dengan perlahan dia menggerakkan jari-jemarinya ke atas di leher putranya dan mencubitnya dengan cepat untuk menarik perhatiannya akan apa yang sedang terjadi. Ibunya melihat ke arahnya dan puas bahwa dia dapat menahan panas, mengalihkan perhatiannya ke arah kerumunan orang itu. Duapuluh menit kemudian dibawah terik matahari suara gemuruh itupun mulai terdengar dan kerumunan orang itupun berdiri. Ibu muda tersebut juga ikut beranjak dari duduknya mengikuti yang lain dan kemudian membungkuk meraih anak itu ke sisinya. Ternyata anak itu tidak dapat melihat apa yang sedang terjadi, maka siputuskannya untuk beralih tempat dari tengah-tengah kerumunan tersebut. Dengan perlahan mereka bergerak ke belakang ke arah jalan masuk, dijumpainya tempat yang sedikit terbuka yang tidak terlalu penuh dengan orang. Sang ibu melihat kebawah ke arah putranya dan segera sadar bahwa Soenarko sulit bernapas. Ini adalah salah satu kejadian yang sering menyerang dan selalu mengganggunya semenjak dilahirkan. Ibunya sadar akan keadaan darurat ini dan segera duduk di samping dan membujuknya untuk tidur di sampingnya sementara punggungnya di pijat-pijat. Debu di sekelilingnya memperberat asma yang diderita anak itu yang segera terbatuk-batuk. Wanita itu menjadi panik, mengetahui hal ini, anak itu menjadi ikut panik.

    Tiba-tiba sesosok tubuh mendekat dan mengangkat anak lelaki ini ke atas. Tetap menahannya di atas sambil menutupkan secarik kain basah kemuka si anak, mengusap lehernya beberapa kali sambil mengucapkan beberapa patah kata perlahan kepada Soenarko yang sedang diserang asma ini. Beberpa saat kemudian lelaki ini mengajak ibu dan anak tersebut keluar menjauh dari lapangan yang penuh dengan kerumunan itu.

    ‘Berisirahatlah di sini!’ katanya, sambil menunjuk ke arah beberapa kursi kayu yang sudah lusuh, yang dicadangkan untuk berjualan bakmie goreng. Diapun mendekat ke arah si penjual dan mengatakan bahwa dia ingin segelas sirup manis beserta bakmie goreng.

    ‘Minumlah!’ katanya sambil menyodorkan larutan merah muda itu kepada Soenarko.

    ‘Terima kasih,’ si anak dengan sopan menjawab, tetapi sebelum dia sempat menempelkan bibirnya ke gelas sudah didahului oleh sebuah sentuhan lain. Akhirnya selama beberapa menit kemudian tetap memegang gelas tersebut. Dia duduk di kursi dirangkul oleh ibunya. Mereka tetap duduk bersama sambil berdiam diri beberapa saat hingga si anak itu hampir jatuh tertidur, tiba-tiba suasana dipecahkan oleh teriakan yang memekakkan telinga. ‘Hiduplah Bung Karno!’ mereka berseru bersama-sama, terus menerus hingga suasana menjadi tenang kembali.

    Saat tenang itu tiba kembali, kemudian wanita itu mendengan sebuah suara yang mengatasi mereka, bergema menarik perhatian karena kekuatannya.

    ‘Rakyat Semarang, kalian telah menjadi tawanan di tanah-airmu sendiri!’ Suara itu meninggi, disertai dengan gerakan tangan yang meyakinkan. ‘Rakyat Semarang, saatnya telah tiba bagi kalian untuk bersatu dan berjuang bersama untuk dirimu sendiri, anak-anakmu, masa depanmu dan kemerdekaanmu!’ Kemudian, dengan penuh semangat dan dengan segenap tenaga terdengar suara, ‘Rakyat Semarang, Merdeka!’

    Kerumunan itupun berteriak serentak, suaranya membelah langit bersamaan, ‘Merdeka! Merdeka! Merdeka!’ dengan perlahan berganti pola semangat, ‘Hiduplah Bung Karno! Hiduplah Bung Karno!’ Menyadari bahwa ajakannya mendapat tanggpan, Soekarno kemudian melanjutkan pidatonya hingga lebih dari satu jam. Tanpa henti dengan semangat retorikanya yang cemerlang. Mereka amat memujanya. Makin sering menyebut namanya makin lenyap semua keletihan, hingga seluruhnya berada di bawah pengaruh kata-katanya! Adalah satu dari karakter pewayangan yang dibawakannya dengan baik hingga dapat menyentuh semangat mereka! Mereka tidak ingin berhenti mendengar pidato ini. Mereka terdiam tatkala harus mendengar dan merasakan apa yang sedang mereka alami, mengingat apa yang saat ini sedang terjadi di sekelilingnya dan mengecam para guru yang tidak memapu membangkitkan api semangat di dada mereka, keinginan untuk merdeka dari penjajahan Belanda. Mereka mendengarkan dengan seksama seruan untuk bersatu padu, melupakan perbedaan suku, agama dan berjuang bersama bersatu membentuk barisan. Mereka tercenung bila suara pidato itu sedang melagukan irama perlahan penuh kasih sayang penuh kedamaian dan kesejahteraan untuk anak-anak, yang memukau. Mereka berseru mendukung ketika dia mengajak mereka untuk mengangkat senjata mengusir orang-orang asing itu keluar dari tanah-air mereka bila telah tiba waktunya.

    Soenarko dan ibunya duduk bersama orang itu yang belum dikenalnya yang telah membantu mereka dan mendengarkan sang orator melanjutkan pidatonya tanpa diselingi istirahat. Mereka sadar bahwa sesuatu yang istimewa memang sedang berlangsung di sekeliling mereka tanpa bertanya tentang hal ini sedikitpun. Orang yang tak dikenal itupun mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Soenarko. Dengan tersenyum dia melihat pada wajah anak itu sambil berkata, ‘Ketika saya masih kecil saya juga berpenyakit. Orang tuakupun berkata bahwa orang didesaku percaya bahwa saya mungkin akan mati. Tetapi, seperti yang kamu lihat, sekarang saya sehat kembali dan segar bugar sejak anak-anak.’

    Ibu Soenarko menatap wajah orang itu dan percaya akan apa yang baru saja diucapkannya. Nampak kebenaran terpancar dari orang itu dan ia ingin sekali meraih tangan orang tersebut dan menjabatnya untuk memperoleh ketenangan. Anaknyapun merasakan daya kekuatan orang itu tetapi masih bimbang tentang keberadaannya. Dia hanya merasakan bahwa serangan asmanya telah hilang dan sekarang dia merasa lebih nyaman. Dia menatap ke atas pada orang asing itu. ‘Apakah engkau menyandang penyakitku?’ dia bertanya.

    ‘Ya,’ dia menjawab kepada anak itu, ‘Tetapi seperti telah kukatakan padamu, sekarang sudah sembuh seterusnya.’

    ‘Mungkin engkau mengalihkannya kepadaku!’ Soenarko menimpali, menyebabkan ibunya segera menutup bibirnya dan menghardik atas ketidak sopanannya.

    ‘Mungkin, ya,’ orang asing itu menjawab, sambil tersenyum. ‘Bila memang kulakukan, sekarang aku wajib membawanya pergi.’

    ‘Jangan.’ Wanita itu menyela pembicaraan mereka. Dia tahu bahwa penyakit itu akan diderita oleh anaknya seumur hidup. Siapapun di desanya yang mengidap penyakit pernapasan akan menderita selama hidup dengan sesuatu yang mengerikan di dalam lehernya. Dia memandang dengan sedih ke arah orang asing yang tersenyum itu, kemudian menaruh tangannya kembali di pundak anaknya.

    Anak itu merasakan kehangatan tangan orang asing itu tanpa melawan sementara orang asing itupun memejamkan matanya dan berdoa dengan hikmat, baginya.

    ‘Nyonya,’ dia berkata, sambil memindahkan tangannya dari si anak ketika melihat ke arah ibunya. ‘Pada bulan apa anakmu ini lahir?’ Wanita itu terkejut atas pertanyaan itu tetapi menjawab sebisanya karena dia tidak melihat sesuatu yang akan mengganggu. Dia berpikir sejenak, mengumpulkan ingatannya. Ketika dia memberikanjawaban, wajah orang asing itu tersenyum kembali dan sorot matanya mencerminkan kepuasannya.

    Itu adalah bulan yang sama dengan saya dilahirkan. Hanya kamu lebih muda,’ ia berkata kepada si anak. ‘Siapa namanya?’ tiba-tiba dia bertanya, ingin tahu nama anak itu. Soenarko menjawab dengan sopan dengan logat Jawa yang kental. Wanita itu meletakkan lengan pada pundak sang anak dan mengusapnya perlahan.

    ‘Siapa nama tuan?’ ia bertanya, dengan bahasa Jawa halus ditujukan pada orang asing itu. Dia merasa senang melakukan hal ini, ketika orang asing itu menjawab, wanita itu akan segera mengetahui bahwa tidak hanya berpendidikan tetapi juga berasal dari daerah Jawa yang sama dengannya.

    ‘Saya akan menuliskan untuk anak ini. Saya ingin anak ini membawanya pulang bila engkau pergi dan jagalah agar tetap terlipat hingga pagi hari. Apakah engkau akan memenuhi permintaan aneh ini?’

    Wanita itu terkejut tetapi sopan santun orang itu menuntut agar dia setuju. Secarik kecil kertas dikeluarkan dan setelah selesai menulis, dia melipat kertas itu dan mengulurkan padanya.

    ‘Saya harus pergi sekarang. Saya yakin bahwa engkau akan selamat dalam perjalananmu pulang. Selamat tinggal!’ katanya, sambil beranjak perlahan dan mengusap untuk ketiga kalinya pundak si anak itu.

    ‘Selamat jalan, tuan, terima kasih’ wanita itu menjawab, sambil menangkupkan kedua telapak tangannya, kedua ibu jari tangan menyentuh bibirnya seperti berdoa.

    ‘Selamat jalan, Bapak,’ anak itupun menyapa saat orang berpakaian putih itu beranjak pergi. Dia menatap sosok itu berjalan menjauh ketika tiba-tiba orang itu membalik dan melambaikan tangannya kepada si anak sambil berseru. ‘Sampai ketemu lagi, Soeharto!’

    Ibu Soenarko terkejut karena hanya beberapa menit saja sang penolong itu, telah lupa nama anaknya dan tatkala sedang berpikir keras terdengan teriakan mendekat. Karena takut pada suara itu, iapun segera bangkit dengan menuntun anaknya menjauh. Sambil menuju ke jalan yang melewati pasar dimana barang-barang yang belum laku terjual digantung-gantung, mereka mendengar peluit polisi dan letusan pistol bersahut-sahutan di udara. Tiba-tiba ratusan orang berlarian melalui jalan di dekatnya, menghindari kejaran polisi yang berusaha menangkapnya. Mereka segera bersembunyi di salah satu kios dan menunggu gerombolan orang itu lewat. Segeralah mereka dapat meneruskan perjalanan dan, hingga hari senja, mereka menaiki bis yang akan membawa mereka dengan aman kembali ke rumah kecil mereka di Desa Kemusu, Argamuljo, Kulon Progo, Djogyakarta.

    Mereka sampai di rumah sudah larut malam, amat letih untuk makan. Soenarko segera jatuh tertidur dalam pengawasan ibunya. Sambil berdoa agar penyakit yang diderita anaknya segera hilang hingga anaknya dapat kembali hidup sebagai anak yang normal lainnya, iapun ingat orang asing tadi. Mencabut kertas yang telah diberikan kepadanya dari dalam tas, ibu Soenarko mendekat ke lampu minyak tanah agar dapat membaca isinya. Kemudian membungkukkan badannya dan mencium anaknya. Kemudian dia segera menyimpan kertas dengan nama Subuh di dalamnya di sisi tempat tidur anaknya dan membiarkannya sendiri dengan mimpi si bocah kecil itu.

    * * * * * *

    Setahun telah lewat tetapi penyakit itupun menjadi semakin sering menyerang hingga seorang ulama dipanggil ke sisi anaknya. Dia sekarang merasa bahwa agaknya anak itu akan meninggal, karena serangan penyakitnya. Dia duduk menunggui anaknya melewati siang dan malam yang mencekam, dia selalu berdoa agar anaknya segera sembuh, seperti yang dikatakan orang asing yang telah dijumpainya dulu. Kesehatan Soenarko memperoleh kemajuan, secara misterius, ketika si anak sudah cukup sehat untuk bersekolah lagi, temen-temannya tidak merasa heran bila anak itu berkata bahwa ibunya telah mengganti namanya agar penyakit itu tidak kembali. Di hari itu ketika guru memanggilnya, dengan sopan anak itu memohon untuk tidak menggunakan namanya yang lama.

    ‘Nama saya bukan lagi Soenarko, Bu. Nama saya sekarang Soeharto!’

    Dan hampir seperti ada keanehan magis, anak yang dipanggil Soeharto itu sembuh sama sekali dari penyakitnya. Dalam waktu singkat kemampuannya di sekolah maju pesat, amat menarik perhatian para guru. Dia telah diserang oleh penyakit yang menyeramkan dan tidak pernah lagi menderitanya.

    Setelah dia dewasa dan bijak, para tetua Jawa sadar bahwa kesembuhannya, beanr-benar suatu kemustahilan. Dan sesungguhnya hal ini menyebabkan dia memperhatikan bahwa kejadian-kejadian dalam hidup ini terkadang diliputi oleh misteri, dia amat yakin bahwa kata-kata lembut orang beragama yang menawarkan kenyamanan di hari itu telah memerankan sebagian dari awal kesembuhannya.

    Dan juga, Soeharto tidak pernah melupakan nama orang asing yang mereka temui ketika polisi menyerang salah satu lawatan politik di Semarang itu, menahan para aktifis pembicara, Soekarno, dan menjebloskannya ke dalam penjara. Dia masih tetap ingat teriakan orang-orang yang berkerumun pada waktu mereka meneriakkan nama pahlawannya dan bayangan ini sering muncul dalam mimpinya, membangunkannya dalam kegelapan malam dan suara-suara itu selalu bergema di telinganya, ‘Hiduplah Soekarno, Hiduplah Bung Karno!’

    chap1

    Mereka telah sepakat bahwa Pulau Putri memiliki tempat berlabuh yang terbaik, sekarang mereka telah mengambil putusan yang dijatuhkan pada sebuah pulau kecil putih, berpantai hampir menyerupai kristal, Murray telah setuju. Mereka semuanya ber-limabelas dalam satu kelompok. Pelayaran dari Tanjung Priok, pelabuhan Jakarta, sangat lancar. Murray sebenarnya lebih memilih untuk menggunakan kapal layar saja, tetapi tidak ada pilihan lain. Mereka telah mendekati Laksamana Laut dari ALRI yang telah menghimbau kepad Angkatan Laut, memohon sebuah kapal carter untuk para siswa dan teman-teman Australia mereka. Pada mulnya, perwira senior itu telah menerangkan bahwa armadanya tidak ada yang senggang untuk disewa tetapi ketika pemuda Australia yang penuh dengan senyum itu maju dan berbicara padanya dalam bahasa Indonesia yang fasih, keadaanpun menjadi berubah. Tentu saja tidak dengan serta merta. Perwira itu menjadi bertanya-tanya terhadap diri orang asing yang memiliki kepandaian yang tidak lumrah dapat menguasai bahasa lokal. Orang Belanda yang bisa telah meninggalkan Indonesia, dan yang tinggal hanya beberapa orang Eropah yang masih terpakai tenaganya saja, yang dapat berbicara dengan fasih. Kebanyakan mereka para teknisi dari Soviet.

    Ternyata mereka tidak memperoleh kemajuan yang berarti selama pembicaraan tersebut, beberapa siswa wanita beserta rombongannya keluar dari ruangan kantor itu sedangkan beberapa dari mereka tetap tinggal guna membujuk perwira yang keras kepala itu, untuk mempertimbangkan kembali putusannya. Meskipun beberapa rupian telah berpindah tangan, komandan pangkalan itu tetap meminta keyakinan bahwa orang-orang Australia tersebut bukan berasal dari Blok Timur.

    ‘Tunjukkan paspornya,’ dia meminta. Murray kemabli ke kantor itu dimana kedua gadis itu berada yang kemudian menyingkir. Dia meminta dokumen itu dengan sopan, dan mengamati paspor bersampul biru itu. ‘Murray Lloyd Stephenson,’ dibacanya perlahan dan dengan seksama. ‘Anda punya dollar?’

    Murray segera mengeluarkan dompetnya dari saku belakang celananya dan mencabut dua lembar uang kertas dollar Amerika. Satu jam kemudian, kelompok itu dengan gembira telah berlayar melewati penahan ombak menuju Pulau Edam dimana mereka lewat dekat mercusuar sebelum merubah haluan dengan arah 330o. Kapal yang mereka peroleh melebihi dari apa yang mereka harapkan. Kapal patroli buatan Rusia itu berlayar memecah laut yang tenang pada kecepatan 30 knot untuk mencapai jarak 40 mil dalam waktu satu jam lebih. Disela deru mesin diesel ganda yang membelah air, ikan lumba-lumba saling berlomba berenang mengikuti buritan kapal itu, seolah menghibur para siswa yang sedang diliputi suasana gembira. Kesemuanya kecuali dua orang dari mereka belum pernah mengarungi lebih dari seratus pulau karang yang berderet-deret pada laut yang dangkal di utara ibukota itu. Tujuan mereka adalah satu diantara pulau-pulau terpencil yang terletak di tengah sebuah lagoon besar, dilingkupi sebuah karang-atol besar yang berbentuk leher. Kesemuanya diselimuti oleh kerimbunan pepohonan kelapa yang tinggi dan bersemak. Kepulauan Seribu, kebanyakan tidak berpenghuni karena langkanya persediaan air minum lebih-lebih pada atol yang kecil.

    Enjoying the preview?
    Page 1 of 1