Discover millions of ebooks, audiobooks, and so much more with a free trial

Only $11.99/month after trial. Cancel anytime.

Mandat dari Pakde: Satir Getir untuk Sebuah Negeri
Mandat dari Pakde: Satir Getir untuk Sebuah Negeri
Mandat dari Pakde: Satir Getir untuk Sebuah Negeri
Ebook93 pages1 hour

Mandat dari Pakde: Satir Getir untuk Sebuah Negeri

Rating: 0 out of 5 stars

()

Read preview

About this ebook

Apa asingnya demonstran menari, barangkali pikiran itu yang akan merasuk ke benak setiap orang jika ada yang mempermasalahkannya. Bukankah demonstrasi memang lazimnya seperti itu; orasi, manusia-manusia yang terkonsentrasi, barangkali juga sedikit moral dan ketegangan. Dan … tentu saja sebuah tarian!

Tapi sebuah tarian bagi Jera bisa berarti banyak hal. Masing-masing dengan kedalaman maknanya sendiri. Kedalaman makna yang menjadi lebih dalam lagi ketika ia memaknainya dengan cara yang begitu mendalam, cermin kedalaman perasaannya yang semakin dalam waktu ke waktu.

LanguageBahasa indonesia
PublisherPIMEDIA
Release dateMay 10, 2022
ISBN9781393052609
Mandat dari Pakde: Satir Getir untuk Sebuah Negeri

Related to Mandat dari Pakde

Related ebooks

Action & Adventure Fiction For You

View More

Related categories

Reviews for Mandat dari Pakde

Rating: 0 out of 5 stars
0 ratings

0 ratings0 reviews

What did you think?

Tap to rate

Review must be at least 10 words

    Book preview

    Mandat dari Pakde - Ahmad Maulana S

    Persembahan

    Bila umumnya sebuah karya dilahirkan satu kali oleh seorang penulis, ‘Mandat dari Pakde’ ini menjadi berbeda karena lahir berkali-kali serta bukan hanya oleh penulisnya semata.

    Dengan penuh kerendahan hati saya persembahkan karya ini untuk:

    Ikhwanul Halim

    dan

    ‘To Whom It May Concern’

    Selamat menikmati serta turut terlahir berkali-kali di setiap satir getir kisahnya.

    Ahmad Maulana S.

    Daftar Isi

    Persembahan

    Daftar Isi

    Tarian Seorang Demonstran

    Pelacur Bersayap Anjing

    Dibayar Berapa?

    Tanah Air Mata

    Instruksi Presiden yang Menggegerkan

    Korupsi Paling Brutal Sepanjang Sejarah

    Bukan Mantra Kemarahan

    Utopia, Indonesia

    Tanah Air Mata, Gembel Tanah Air

    Cara Aneh Menjadi Staf Khusus Penasehat Kepresidenan

    Apa Itu Presiden, dan Benarkah Ada Presiden di Negeri Ini?

    Ini Bukan Hanya Tentang Papua

    Jamuan Penyambutan yang Amat Mendebarkan

    Pendidikan yang Memang Amat Penting, Tapi untuk Siapa?

    Kakak Pembina: Hawa Maut yang Bikin Bergidik

    Deja Vu Papua

    Pergulatan Batin dan Gemuruh Perjamuan

    Pesta Bakar Batu dan Tradisi Potong Jari yang Menyisa Pilu

    Tersesat di Alas Borneo

    Ot Siau

    Ritual Kematian yang Membingungkan

    Siriq

    Tak Malukah Kau Mencuri Bendera?

    Tentang Penulis

    Tarian Seorang Demonstran

    Apa asingnya demonstran menari, barangkali pikiran itu yang akan merasuk ke benak setiap orang jika ada yang mempermasalahkannya. Bukankah demonstrasi memang lazimnya seperti itu; orasi, manusia-manusia yang terkonsentrasi, barangkali juga sedikit moral dan ketegangan. Dan … tentu saja sebuah tarian!

    Tapi sebuah tarian bagi Jera bisa berarti banyak hal. Masing-masing dengan kedalaman maknanya sendiri. Kedalaman makna yang menjadi lebih dalam lagi ketika ia memaknainya dengan cara yang begitu mendalam, cermin kedalaman perasaannya yang semakin dalam waktu ke waktu.

    Baru minggu kemarin Jera genap berusia dua puluh Desember. Dan baru Desember kemarin pula ia menggenapkan dua kali Desember di kampusnya, setelah melewati Desember-Desember itu dengan gerak yang tertatih.

    Tapi kearifan memang bukan lagi tentang usia, juga bukan tentang pendidikan. Sebab itu adalah rahasia milik-Nya. Rahasia yang terus ia serap hari demi hari dengan penuh rasa syukur. Lewat tarian kehidupan yang terhampar luas penuh hikmah. Juga, lewat demonstrasi demi demonstrasi yang teramat kerap ia geluti.

    Dari hari ke hari, dari demonstrasi ke demonstrasi Jera semakin paham pada demonstrasi. Hingga suatu titik ia mampu membaca demonstrasi hanya dengan sepintas pandangan. Tentang asal kelompok, tujuan serta gaya yang digunakan. Bahkan tak jarang ia berhasil memprediksi ending mereka; rusuh, damai atau cuma hampa.

    Tak hanya sampai di situ, demonstrasi terus membukakan hakikatnya kepada Jera. Mengasah batinnya hingga sejernih udara. Tersibaklah baginya segala yang tak kasat mata, menyeruak bersama geletar-geletar makna yang terendap dalam selubung rahasianya. Dan ia pun menjadi semakin mengerti. Demonstrasi tak lagi dimaknainya hanya demonstrasi. Pun tariannya, tak lagi sekadar gerak tubuh penetralisir hati.

    Ketika para demonstran itu menari ia melihat sejarahlah yang menari, yang bergulir ke sana-kemari bersama angin perubahan yang terus dihembuskan. Juga ketika demonstrasi kemudian pecah bersama rebahnya jasad-jasad muda buah prosedur yang salah, ia melihat justru kekuasaanlah yang pecah, yang meluruh bersama segala tirani yang mengungkungnya.

    Tak hanya dalam demonstrasi, detak-detak kepekaan yang telah kencang dan memarginal erat di hatinya serta-merta melahirkan interpretasi baru. Kehidupan tak lagi sekadar hitam dan putih baginya. Kadang bercampur-baur, kadang selubung-menyelubungi. Bahkan tak jarang ia harus mengendapkan dulu semuanya hingga benar-benar mengerti bahwa hitam memang hitam, dan putih … bukan sekadar hitam yang dipoles.

    Seperti beberapa waktu yang lalu ketika ia menyaksikan kerentanan demi kerentanan melanda negerinya, yang memang terlalu rentan terhadap perubahan. Ketika Ambon rusuh ia menemukan mautlah yang rusuh, yang menari dengan beringas dari dalam mata-mata merah dan ikat kepala yang juga merah. Semerah tarian yang ditebarkan mereka: Atas Nama Maut!

    Begitu juga ketika negaranya dituding sebagai sarang teroris. Kenyataan seketika memberinya senyum, duka, marah, barangkali juga gemas bercampur geli sebab ia melihat justru merekalah teroris itu, yang terus saja membuat sarang di negerinya dengan segala macam penyelundupan, pencucian dan pemutihan uang, dan—terutama sekali—pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Berpura-pura sebagai pemberantas teroris dengan terus menarikan teror demi teror.

    Dan di usianya kini yang serba tanggung, Jera semakin merasa asing dengan dunianya. Perasaan asing yang semakin lama semakin terasa keasingannya. Terasa sukar baginya merasai lagi segala yang indah-indah dalam peradaban negerinya. Adat yang bersendikan syariat, yang kemudian bersendikan lagi kepada kitabullah. Semuanya telah menjadi sangat lekang di kelang zaman.

    Pun ketika—dengan segala rentang dan jaring yang telah ia bangun—dimasukinya lagi pergulatan demonstrasi yang tersisa, ia tak menemukan apapun lagi di sana selain kekosongan. Kekosongan yang terus menetaskan kebohongan demi kebohongan. Demonstrasi tak lagi suci baginya, tak lagi sakti seperti dulu.

    Penasaran, ia terus mencari. Tapi yang ia temukan adalah deja vu yang berulang-ulang. Kosong. Bohong.

    Juga ketika dengan harapan yang tersisa, ia masuki lagi bangun mentereng di daerah Kuningan, ia kembali terpuruk. Alih-alih memperoleh rasa lega dan tempat bersandar, justru kekecewaan menampar-nampar nuraninya. Sebab di sana, di dalam gedung yang pernah menjadi pusat organisasi orang-orang muda itu, tak sekadar kebohongan yang ia temukan. Dengan mata kepalanya sendiri

    Enjoying the preview?
    Page 1 of 1