Anda di halaman 1dari 7

Banjarmasin kota Seribu Sungai ,Seribu Masalah dan Seribu Ruko

Permukiman tepi sungai Banjarmasin "Kota Seribu Sungai" Kalimantan Selatan kini semakin tua dan semakin semrawut. Selain disebabkan belum jelasnya orientasi tata ruang kota, juga disebabkan minimnya perhatian pemerintah terhadap arti pentingnya bantaran sungai. Bahkan, pemerintah sendiri ikut-ikutan menguruk bantaran Sungai Martapura sampai 30 meter ke arah badan sungai. Pemandangan di permukiman penduduk di sepanjang Sungai Barito dan Sungai Martapura kini semakin beranjak menjadi kumuh. Beberapa rumah tua bahkan sudah miring dan rawan roboh, sehingga membahayakan penghuni dan tetangganya. Di pinggir-pinggir sungai kecil lainnya permukiman penduduk yang mayoritas berbahan kayu sudah berjubel layaknya permukiman tua di bantaran sungai Jakarta. Lanting- lanting (rumah terapung) yang menjadi ciri khas budaya dan bisa menarik wisatawan itu kini semakin tak tertata dan tak sedap dipandang mata (Kompas, 2003). Air sungainya berwarna coklat dan kadang kehitam-hitaman. Enceng gondok, ranting, dahan kayu, dan pelbagai jenis sampah serta bangkai pelbagai jenis binatang yang berserakan di sungai itu, makin menambah buruknya kualitas air. Belum lagi soal pendangkalan dan kehilangan garis pantai sehingga sungai menjadi pendek dan menyempit. Masyarakat sekitar mengeluhkan buruknya kualitas air sungai tersebut, juga akibat berbagai limbah pabrik yang beroperasi di tepi sungai. Pelebaran Jalan Piere Tendean dan Jalan Sudirman telah memakan badan sungai Martapura. Di antara ratusan anak-anak sungai Martapura terdapat puluhan yang cuma tinggal nama, sungainya sudah berubah menjadi permukiman, badan jalan, bangunan kantor, dan peruntukan lainnya. Sungai yang hilang antara lain Sungai A Yani di kiri-kanan Jalan Jenderal A Yani, sepanjang 15 kilometer lebar 15 meter sudah menjadi badan jalan. Masalah pengerukan alur Barito sepanjang 14 kilometer, lebar 55 meter, dari muara Sungai Barito menuju dermaga pelabuhan yang memakan anggaran Rp 6-7 milyar per tahun lantaran endapan lumpurnya sangat tinggi 2,5 juta3 juta meter kubik per tahun sampai saat ini belum juga tuntas dan selesai. Hal ini jelas mengganggu arus transportasi dan distribusi barang ke dan dari Banjarmasin. Dan persoalan pengerukan sungai Barito tersebut, sampai saat ini masih menjadi polemik dan masalah yang serius yang melibatkan para pejabat tinggi pemerintah termasuk Gubernur.

Permasalahan Sampah
Sampah merupakan persoalan lingkungan klasik di perkotaan. Namun, sampai saat ini, masih menjadi masalah yang serius. Di samping rendahnya kesadaran masyarakat akan kebersihan, upaya yang dilakukan pemerintah juga belum optimal. Kalau kita lihat di beberapa tempat pembuangan sampah sementara (TPS), pada siang hari masih banyak tumpukan sampah yang tidak terangkut. Belum lagi, berapa banyak anak sungai yang mati akibat adanya sampah yang terus menumpuk. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh pengelola kota adalah masalah sampah. Berdasarkan data-data BPS pada tahun 2000, dari 384 kota yang menimbulkan sampah sebesar 80.235, 87 ton setiap hari, penanganan sampah yang diangkut ke dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah sebesar 4,2 %, yang dibakar 37,6%, yang dibuang ke sungai 4,9%, dan tidak tertangani sebesar 53,3%. Di Kalimantan Selatan, dengan jumlah penduduk kota 1.347.527 yang tersebar di 11 kota, cakupan yang terlayani oleh adanya pelayan pemerintah dalam pengelolaan sampah hanya 550.017 jiwa atau 40,8% (Bappenas, 2002).

Masalah Kesehatan
Kawasan yang kumuh dan lingkungan yang tidak hijienis menyebabkan munculnya berbagai penyakit. Berdasarkan laporan Banjarmasin Post, 23 September 2004, setidaknya ada 4 jenis penyakit yang masih menjadi masalah Kota Banjarmasin, karena selalu ada sepanjang tahun. Demam berdarah, sampai bulan September 2004 telah ditemukan 111 kasus dengan 1 kematian. Diare selalu terjadi sepanjang tahun, setiap bulan selalu ada ditemukan kasus diare dan selalu mengalami peningkatan di musim kemarau. Penggunaan air sungai untuk konsumsi dan kebutuhan sehari-hari, termasuk membuang kotoran biologis dan non-biologis memicu tumbuh kembangnya kuman penyebab diare. Berdasarkan penelitian Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Banjarmasin pada bulan Mei 2004, menunjukkan adanya kuman tersebut pada badan air sungai maupun air bersih yang menjadi obyek penelitian. TBC, di kota Banjarmasin sampai bulan September 2004 ada 650 penderita dan diobati dengan angka kesembuhan 87,5%. Artinya, masih 12,5% yang tidak tersembuhkan. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat polusi udara ditambah dengan kondisi perumahan yang kurang sehat dan kekurangan gizi cenderung meningkat pada tahun 2004. Peningkatan tersebut sangat dipengaruhi oleh asap kendaraan bermotor, industri, asap rokok, asap bakaran sampah, asap kebakaran hutan dan lahan, asap dapur, dan lain-lain.

Tata RuangKota
Tata ruang kota merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup. Perkembangan kota yang cenderung mengabaikan kawasan hijau kota, berupa ruang terbuka hijau, hutan kota, dan taman kota, sangat disayangkan. Ketiadaan hutan kota yang mestinya dapat berfungsi sebagai penyerap karbon, peredam kebisingan, pengatur tata air, dan peredam kebisingan, makin membuat kondisi lingkungan kota Banjarmasin makin parah. Pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan kota Banjarmasin yang notabene adalah kawasan rawa sangat berpengaruh terhadap tata air. Akibat adanya pengurukan kawasan rawa menyebabkan kemampuan kawasan rawa sebagai kawasan penyangga yang mampu menyerap air di musim hujan dan mendistribusikannya kembali di musim kemarau menjadi rusak. Saat ini, sudah dirasakan oleh masyarakat kota Banjarmasin di mana terjadi banjir atau genangan air pada musim hujan dan masuknya air laut lebih jauh ke daratan (infiltrasi air laut). Hal ini diperparah dengan tidak tertatanya drainase sebagai pengatur keluar masuknya air. Kawasan industri yang lokasinya berada di bantaran sungai dan di tengahtengah masyarakat tidak dilakukan penataan kembali. Padahal, hal ini sangat mengganggu bagi kesehatan masyarakat sekitar, misalnya, pabrik karet dan stock file batubara di Pelambuan. Tidak adanya ruang tempat bermain dan hiburan yang representatif yang dapat dijangkau oleh kalangan bawah merupakan salah satu penyebab tingginya tingkat stres masyarakat. Di tengah kesibukan kota yang begitu tinggi, orang perlu sarana untuk menuangkan segala emosinya dengan positif sehingga diperlukan sarana hiburan dan tempat bermain rakyat. Areal parkir yang tidak memadai menambah semakin semrawutnya masalah transportasi di Banjarmasin. Banyak bangunan pertokoan yang tidak menyediakan tempat parkirnya sehingga, memakai badan jalan. Hal ini tentunya berdampak pada ketidaklancaran transportasi. Penataan terminal yang sampai saat ini tidak jelas, makin menambah catatan buruk bagi penataan kota Banjarmasin. Pembangunan perkotaan yang dilakukan masih tidak mengindahkan kaidah-kaidah lingkungan hidup dan penataan ruang kota yang ramah lingkungan. Polusi udara, pencemaran air, masalah sampah, buruknya pengelolaan sungai merupakan penyebab utama berbagai penyakit yang menyerang penduduk kota terutama kalangan bawah. Mesti dilakukan perubahan mendasar paradigma dan kebijakan dalam hal pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup ke depan di Kalimantan Selatan. Masyarakat mesti mendorong kerja-kerja Gubernur dan para Bupati serta para wakil rakyat yang baru duduk di DPRD, baik Propinsi maupun Kabupaten, agar bekerja lebih optimal dalam membangun manusia seutuhnya Kalimantan Selatan dengan bersandar pada aspek lingkungan hidup, sosial-budaya, selain aspek ekonomi.

Seribu Ruko
Banjarmasin agaknya sudah berubah julukan. Bukan lagi Kota Seribu Sungai, tetapi sudah menjadi Kota Seribu Ruko. Ruko adalah istilah yang muncul 10 tahun belakangan ini, singkatan dari rumah dan toko. Istilah ini muncul di kota besar seperti Jakarta yang menghadapi masalah pelik di bidang transportasi, sehingga pemilik toko tak bisa bolak-balik pulang ke rumahnya setelah menutup toko. Ia langsung saja berdiam di sana. Model ruko ini kemudian berkembang ke kota-kota lain yang sebenarnya tidak memiliki masalah transportasi. Ruko jadi model pemukiman baru para pedagang kelas menengah ke bawah. Tutup toko langsung naik ke lantai atas, di sana sudah ada tempat tidur, kamar mandi, ruang makan, layaknya sebuah rumah. Banjarmasin menjadi Kota Seribu Ruko, bukan diakibatkan oleh masalah transportasi, tetapi lahan yang minim. Pemerintah kalah mengantisipasi masalah pemukiman ini dan pembangunan ruko tak bisa direm. Sejumlah ruko terus dibangun. Ruko di Banjarmasin pun menjadi Ruko Plus. Plusnya adalah bangunan ruko merangkap kantor. Banyak yang dibuat dengan ukuran minimal. Pemandangan menjadi unik, sebuah ruko yang langsung tingkat tiga, misalnya, dari atas ke bawah begitu kontras. Paling atas ada balkon yang indah berukir, di lantai tengah muncul jendela-jendela kaca, kadang terselip ruang jemuran, di bagian bawah semrawut dengan material dari pasir sampai kayu yang berseliweran. Maklum, pemiliknya menjual alat-alat bangunan. Yang kemudian menjadi lebih semrawut lagi pemandangan itu ketika ruko yang dibangun tidaklah sama tinggi. Mungkin awalnya sama, tetapi toko sebelah lebih kaya, lalu meninggikan bangunan atau justru untuk menambah kamar-kamar. Maka terlihatlah ada bangunan ruko yang tingginya tidak sama, yang satu melejit di atas, yang satunya sejajar dengan jemuran ruko tetangga. Kalau musim kampanye Pilkada, pemandangan lebih asyik lagi, ada umbul-umbul indah dari ruko yang satu, sementara di ruko sebelahnya ada seprei dan celana dalam berkibar di jemuran. Apakah sampeyan di Banjarmasin sudah begitu toleran dengan situasi seperti ini? Saya kira begitu, karena saya belum pernah mewawancarai sampeyan. Pertanyaannya kemudian, apakah para arsitek Banjarmasin sudah menyerah total dengan keadaan seperti ini? Tidak adakah lahan yang cukup untuk menerapkan praktik arsitektur yang sebenarnya, apalagi kalau mengikuti pola arsitektur Banjarmasin dalam konsep estetika rumah Banjar, misalnya. Ke mana para arsitek Banjarmasin? Mereka tidak ke mana-mana, mereka tetap bekerja dan dapat order lumayan. Masih ada yang membangun hotel, rumah pribadi, merancang bangunan, mal bahkan hypermarket. Bahwa urusan ruko dan rumah-rumah kaum urban yang semrawut di pinggiran kota ini, memang jarang dilirik para arsitek kita. Lagi pula, untuk membangun ruko atau rumah di lahan yang hanya seluas dua are, jarang yang menggunakan jasa arsitek. Namun,

kita bisa menggugat para arsitek Banjarmasin jika mereka tak peduli pada kesemrawutan pola bangunan di Banjarmasin, apalagi di jalur jalan-jalan utama. Citra Banjarmasin yang dulu punya arsitektur indah, kini sudah berangsur lenyap. Lahan tidak memungkinkan lagi. Tetapi, apakah karena itu kita harus diam dan tidak memperlakukan kelangkaan lahan ini sebagai sebuah tantangan? Ilmu arsitektur adalah paduan dari kejelimetan teori dan kepekaan rasa seni. Jika para arsitek Banjarmasin bicara dan kemudian memberi masukan kepada wali kota atau bupati atau gubernur bagaimana mengembalikan citra Banjarmasin yang hilang itu, saya rasa ini akan bermanfaat untuk peradaban Banjarmasin di masa depan. Di Yogyakarta pernah hidup seorang arsitek lulusan Jerman tetapi berhati Jawa, mendiang Romo Mangunwijaya. Ketika kaum urban dan gelandangan sudah memprihatinkan di Yogya karena mereka tinggal di bantaran Kali Code dengan rumah-rumah gubuknya yang semrawut, wali kota begitu cemas. Mau menggaruk kaum papa itu tidak menyelesaikan masalah. Kalau tidak digaruk, kota jadi tidak sedap dilihat, kalau banjir akan ada korban. Di situ tampil Romo Mangun dengan konsep arsitektur Kali Code. Dia membangun rumah model untuk kaum tak berpunya ini di pinggir Kali Code. Bahannya sederhana, bambu dan kayu. Rumah dibangun sedemikian rupa dengan memperhitungkan segala kemungkinannya, termasuk banjir, dan tentu estetika seni yang disesuaikan dengan lingkungan sekitarnya. Kalau dekat jembatan modelnya lain dengan yang di depan perkantoran, misalnya. Kesemrawutan Kali Code menjadi terpecahkan. Orang tidak lagi membuang muka jika melintas di jembatan Kali Code, tetapi orang justru tertarik untuk turun melihat pemukiman para pengamen, penyemir sepatu, dan pemulung ini. Yogya sebagai kota budaya, makin terangkat lagi karena membudayakan kaum tak berpunya. Kenapa para arsitek di Banjarmasin tidak meniru langkah Romo Mangun? Sumbangkanlah ilmu kita untuk masa depan Banjarmasin, misalnya, mulai merancang arsitektur model apa yang cocok untuk pemukiman warga banua tanpa meninggalkan ke-Banjarmasinan-nya. Bagian mana dari arsitektur itu yang masih menyisakan ke-Banjarmasinan-nya. Model itu oleh pemerintah dijadikan pola untuk penertiban pemukiman. Bukankah dalam peraturan semua yang membangun rumah harus punya IMB? Sebelum semuanya semrawut, orang seenaknya membangun rumah tanpa kontrol, para arsitek harus bicara, agar anak-anak banua masih tenang tinggal di Kota Seribu Sungai ini.

Pemecahan Masalah
Saya akan menjelaskan satu persatu bagaimana cara menyelesaikan berbagai macam maslah yang ada di Banjarmasin dengan pemikiran saya sendiri kalau ada kekurangan mohon di maklumi maka akan saya mulai dengan menyelesaikan permaslahan pemukiman yang ada di pinggiran sungai banjarnasin sebenar nya masalah ini akan dapat di selesaikan dengan cara menggusur rumah-rumah atau bangunan yang ada di pinggir sungai dan tentu saja rumah rumah yang kena gusur tersebut dapat bangunan pengganti seperti di bangunkan rumah susun yang tentu nya tidak menyalahi aturan tata kota Banjarmasin dan sebenar nya ini juga akibat masalah budaya orang Banjarmasin yang sering membangun bangunan di pinggir sungai dan menurut saya budaya seperti itu seharus nya sudah harus bisa di tinggalkan karena sangat tidak cocok lagi di massa sekarang. Dan permasalahan ke-2 adalah permaslahan sampah,permasalahan sampah ini bagaikan terus di ulang-ulang dan spertinya pemkot Banjarmasin hanya menutup mata dan hanya melakukan pekerjaan itu-itu saja tanpa mencari solusi yang lain jadi menurut saya permsalahan sampah yang ada di Banjarmasin dapat di atasi dengan cara lebih menegaskan hokum yang telah ada sejak dulu tapi tidak di tegaskan yaitu memberikan denda dengan sapa saja kepada orang membuang sampah sembarangan dan juga agar memberikan jam husus buat orang untuk membuang sampah di tempat nya yaiutu pada malam hari tentu nya pada jam 9 malam keatas agar bau sampah tidak tersebut tidak meluap karena panas bila di buang pada siang hari akan menimbulkan bau yang tak sedap dan menggangu orang. Masalah Ke-3 adalah Masalah kesehatan yang menimpa kota Banjarmasin setiap tahun adalah penyakit demam berdarah seperti nya penyakit ini sudah seperti buah saja karena penyakit ini dating nya musiman karena dating nya musiman itu seharus nya kita akan lebih mudah memecahkan maslah ini seperti yang saya akan jelaskan dan tentu saja maslah ini akan terpecahkan dengan mudah apabila setiap warga Banjarmasin toleran dengan keadan lingkungan yang ada di dekat rumah nya dengan ada nya lingkungan yang bersih maka penyakit akan jauh dari masyarkat dan maslah nya lagi kurang ada nya penyuluhan hidup sehat di banjarmasi ini maka seharus nya ada nya penyuluhan hidup sehat di setiap kecamatan husus nya di lingkungan kumuh. Masalah ke 4 adalah m,aslah tata ruang kota Banjarmasin yang semerawut dan asal bangun saja yang dikarenakan tata kota Banjarmasin yang asal dapat uang saja memperbolehkan membangun bangun asal-aslan saja yang seharus lahan kosong buat menampung air malah dibangun RUKO dan parah nya lagi ruko yang sudah di bangun tidak di gunakan dan malah mengundang kemacetan yang luar biasa yang sering terjadi di wilayah pasar lama pada saat jam 8 pagi dan jam 4 sore pasti ada kemcetan yang melanda tempat tersebut jadi maslah ini akan bisa terselesaikan apabila tata kota Banjarmasin ikut andil dalam memperbaiki kota seperti lebih tegas dalam memperbolehkan membangun bangunan dan juga maslah yang lain seperti masalah parker yang sampai menjorok ke badan jalan sehingga membuat jalan macet maslah ini pun juga akan mudah terselasaikan apabila di bangunkan lahan parker kosong dengan cara menghancurkan bangunan yang sudah tua dan tak berguna dan di buatkan lahan parkir.

Dan masalah yang terakhir adalah masalah Ruko yang di bangun di Banjarmasin ini sehingga dapat memudarkan image Banjarmasin yang seribu sungai dengan seribu ruko,seharus nya pembuatan ruko di Banjarmasin ini seharus nya di hentikan saja dan tidak perlu ada lagi bangun membangun ruko yang dapat merusak citr Banjarmasin ini yang seharus nya ruko di Banjarmasin ini seharus nya sudah mencukupi karena di setiap badan jalan pasti kita akan bertemu dengan yang nama nya ruko tambah parah nya lagi ruko-ruko sekarang ini malah menyumbat system drainase yang ada sehingga menimbulkan masalah yang lain seperti jalan yang terendam.

Anda mungkin juga menyukai