Anda di halaman 1dari 4

Soft power di Kepemerintahan Global Dalam global governance, power bersifat sakral dalam jalannya pemerintahan.

Dengan terhubungnya negara satu sama lain telah membawa dunia ke dalam level baru yang membutuhkan regulasi dan order untuk menjaga kestabilan dan menciptakan suasana aman dalam sistem internasional. Oleh karena itu, power sangatlah dibutuhkan dalam global governance. Power secara umum terbagi menjadi dua, yakni hard power dan soft power. Penggunaan keduanya dalam global governance telah dilakukan sejak lama. Pertama-tama, mari membahas penggunaan hard power pada global governance. Sebagai contoh, fokus dan runtuhnya LBB. Kegagalan LBB menjadi contoh gagalnya global governance yang terlalu berpusat pada keamanan dan aspek hard power.1 Permasalahannya adalah fokus negaranegara saat itu (dan saat ini) tidak hanya keamanan negara dan ideologi, namun kesejahteraan masyarakat, pendidikan dan permasalahan sosial-budaya lainnya. LBB sebagai contoh dari global governance kurang membahas agenda-agenda tersebut. Terlebih lagi saat itu terdapat dua kekuatan besar yang sama-sama bersaing untuk menjadi kekuatan terbesar saat itu. Global governance telah dipertimbangkan untuk menyelesaikan permasalahan tradisional dan juga permasalahan pasar global, dan menjaga stabilitas yang ada, selain itu global governacnce dibutuhkan untuk mengatisipasi permasalahn global seperti perubahan cuaca, penyakit, keamanan pangan, dan perkembangan teknologi. Jika hanya mengandalkan hard power saja, tentunya akan sulit untuk mengatur hal-hal semacam itu. Sehingga dibutuhkan soft power yang terkesan lebih halus untuk mengatur hal yang besrsifat non-militer dan mempunyai daya tarik tersendiri sesuai dengan agenda apa yang akan dibahas. Dalam global governance, soft power mempunyai beberapa fungsi. Yang pertama adalah fungsi regulasi. Penerapan soft power pada level negara dapat dilihat dalam interaksi
1

Pernyataan ditarik ketika menyimpulkan global governance sebagai kumpulan aturan internasional, traktat, dan institusi yang negara bertindak dan berkoordinasi dalam level internasional dan global.

hubungan politik antar negara, tapi di level global governance, penerapannya dilihat pada bagaimana soft power tersebut mengatur interaksi antar negara tersebut. Mengambil contoh, pada aspek ekonomi, WTO dan IMF telah menjadi institusi yang memegan peran penting dalam membuat regulasi moneter dan mengawasi kegiatan perdagangan dunia. IMF juga memberikan sanksi kepada negara anggotanya jika melakukan pelanggaran terhadap regulasi yang telah diciptakan. Tabel 1. Gambaran dari Global Governance pada 20102
Issues Area Global Security Trade Type of Global Governance UN; Alliances WTO, G8, G20 Locus of Power US Hegemony, Regional Powers Quad Facing G22 (China, Brazil, India) US, UK, Japan, China US, China, Japan, EU Diffuse US, China, EU, BASIC group US vs EU, China and India balancer Degree of Stability In Flux, Low Coordination Stable basis, in transition, paralysis In flux, China rising In flux, tensions Fragmented Under negotiation, paralysis Fragmented, disputed

Finance Currency FDI Climate GMO / Biosafety

IMF, US-UK, G7, G20 US Hegemony Bilateral FTAs Kyoto P UN Context, G20 UN Biosafety Protocol vs WTO

Fungsi kedua soft power dalam global governance adalah untuk mengatasi konflik dan ancaman. Dalam pernyataan ini, global governance dapat berbentuk institusi ataupun negara yang mempunyai kekuatan (power) yang paling besar. Kaum institusional liberal memprediksi bahwa institusi global dapat menyelesaikan permasalahan komitmen kredibel dan mengurangi tensi antar negara [Keohane 1984]. Penerapan soft power sebagai cara untuk mengatasi konflik dapat dilihat pada misi perdamaian yang telah dilakukan UN dan
2

Tiberghien, Yves, 2010, Global Power Shifts and G20: A Geopolitical Analysis at the Time of the Seoul Summit.

juga perundingan yang disediakan untuk sarana berunding bagi pihak yang sedang berkonflik. Penerapannya akan efektif hanya jika dimensi-dimensinya diterapkan secara bersamaan dan konsisten, yakni soft power sebagai cara atau pendekatan (dialog, perundingan), sebagai instrument (nilai, values, citra) yang digunakan dan sebagai kebijakan (yang diterapkan melalui kerjasama atau diplomasi) [Djumala 2012]. Contoh kasus terdapat pada penanganan perubahan cuaca yang menjadi ancaman global. Protokol Tokyo menjadi sarana untuk membahas agenda ini. Memang belum keluar kebijakan dan terkesan tersendat. Namun kegiatan perundingan yang telah dilakukan menandakan semakin sakral nya soft power dalam kegiatan global governance (dalam hal ini, G20). Penggunaan soft power semakin banyak digunakan pada kegiatan global governance. Beberapa alasan mendukung pernyataan ini. Yang pertama adalah agenda yang dibahas di sistem internasional saat ini tidak lagi bersifat keamanan dan politik saja. Pergeseran kepentingan dari pendekatan tradisional ke saat ini membuat global governance yang bertanggung jawab tidak lagi menggunakan hard power namun menggunakan soft power. Globalisasi telah membukakan mata bagi para politisi dunia bahwa saat ini sumber dan justifikasi kekuasaan bukan lagi ditekankan pada perang, akan tetapi pada sumber teknologi dan informasi. Oleh karena itu, sumber kekuasaan dan minat pemimpin saat ini bukan lagi identik dengan hard power yang ditandai dengan militer dan perang, akan tetapi kepada Soft Power yang ditandai dengan munculnya teknologi, informasi, budaya, nilai dan norma sebagai medianya. Mendukung alasan pertama, alasan kedua adalah polaritas yang bias. Runtuhnya Uni Soviet di perang dingin membuat kekuatan (militer) yang paling kuat adalah Amerika Serikat. Namun saat ini, muncul kekuatan baru, yakni China, yang mempunyai keunggulan pada aspek ekonomi. Jika global governance yang ada lebih mengandalkan hard power saja, maka setiap kebijakan akan didominasi kepentingan Amerika Serika, sedangkan global governance membawahi berbagai negara dengan berbagai kepentingan. Dengan menggunakan soft power, kepentingan setiap negara dapat didengar dan dipertimbangkan pada instrument yang akan digunakan.

Alasan terakhir adalah dilemma terhadap penggunaan militer untuk menyelesaikan masalah global pasca perang dunia dan perang dingin. Bangkrutnya Jerman pasca perang dunia dan ketakutan yang dirasakan Uni Soviet dan Amerika Serikat saat perang dingin membuat banyak negara enggan menggunakan militer dalam menyelesaikan konflik. Terlebih global governance bertanggung jawab atas kesejahtereaan anggotanya dan penggunaan militer dalam kegiatan pemerintahan dunia lebih dapat menimbulkan rasa ketidakamanan dan menggangu ketidakstabilan yang ada daripada dampak penggunaan soft power.

Anda mungkin juga menyukai