Anda di halaman 1dari 5

Bermain-Main Dengan Domain

Ketika suatu saat kita hendak mengakses suatu situs web tertentu, biasanya kita cukup
mengetikkan alamat situs web tersebut pada browser, dan dalam beberapa saat,
tampilan situs yang kita tuju akan segera terpampang pada layar monitor. Demikian
pula saat kita saling berkirim email, yang kita butuhkan hanyalah sebuah alamat email
untuk menentukan kemanakah pesan kita akan dilayangkan. Semua kemudahan itu
tidak lepas dari peranan domain.

Sebenarnya, apa sih domain itu? Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai
pengertian domain, kita perlu sedikit mengetahui tentang bagaimana sebuah host di
lingkungan internet diakses. Internet terdiri dari jutaan komputer sebagai host yang
tersebar di seluruh dunia yang kesemuanya saling berhubungan melalui suatu bentuk
jaringan dengan hirarki tertentu. Host-host tersebut saling berkomunikasi melalui
suatu protokol standar yang disebut TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet
Protocol). Agar setiap komputer yang membentuk jaringan internet dapat
berkomunikasi satu sama lain, maka masing-masing haruslah memiliki alamat
tertentu. Alamat ini haruslah unik, jadi, tidak bolah ada dua host yang memiliki alamat
yang sama.

Sistem pengalamatan yang digunakan berupa kombinasi 4 deret bilangan antara 0 s/d
255 yang masing-masing dipisahkan oleh tanda titik (.), mulai dari 0.0.0.1 hingga
255.255.255.255. Deretan angka-angka ini dikenal sebagai alamat IP (IP address).
Setiap host yang tersambung dalam jaringan internet harus memiliki alamat IP sebagai
pengenal agar dapat bekomunikasi dengan host lain dalam jaringan. Pengalamatan
berbasis IP ini memungkinkan internet mengalamati lebih dari 4 milyar host. Pada
kenyataannya, tidak semua kombinasi alamat IP bisa dipergunakan. Ada beberapa
kombinasi khusus yang dicadangkan untuk keperluan tertentu sehingga tidak boleh
digunakan untuk keperluan pengalamatan, contohnya adalah IP 127.0.0.1 yang
diperlukan untuk menunjuk (lookup) ke host lokal.

Walaupun secara teknis sistem pengalamatan berbasis IP ini cukup handal, tetapi ia
masih memiliki kelemahan. Otak manusia umumnya tidak mudah untuk mengingat
kombinasi angka dalam jumlah besar. Solusinya adalah mengasosiasikan nomor IP
tersebut dalam kombinasi huruf yang membentuk sebuah nama yang mudah diingat.
Nah, nama host sebagai pengenal di jaringan internet inilah yang kita sebut sebagai
domain, sedangkan sistem pengalamatan berbasis domain dikenal sebagai Domain
Name Service (DNS).

Penamaan Domain

Tentu saja untuk menamai sebuah host tidak bisa dilakukan secara sembarangan, Ada
aturan-aturan teknis tertentu yang harus dipatuhi agar domain tersebut dapat
dipandang sebagai domain yang valid. Pengalamatan berbasis domain menggunakan
sistem berjenjang, mulai dari level paling atas (dikenal sebagai TLD, Top Level
Domain), hingga jenjang di bawahnya. Ambil contoh situs web ini. Dari nama
domainnya dapat dilihat bahwa alamat situs ini (http://dhani.singcat.com) merupakan
subdomain dari domain Singcat yang bernaung dibawah TLD .com.

TLD .com (commercial) adalah suatu TLD internasional yang melingkupi host yang
menangani aktifitas komersial. Selain itu, dikenal pula TLD .net (network) untuk
jaringan, .org (organization) untuk organisasi lain-lain, .edu (educational) untuk
lembaga pendidikan, .gov (government) untuk lembaga pemerintahan dan .mil
(military) untuk kepentingan militer. Penetapan TLD internasional tersebut berada
dalam wewenang ICANN (The Internet Corporation for Assigned Names and
Numbers, www.icann.org), sebuah organisasi nirlaba internasional yang khusus
menangani hal-hal yang berkaitan dengan alokasi IP di Internet, protokol-protokol
yang digunakan, serta manajemen sistem penamaan berbasis domain. Sementara itu,
pengelolaan TLD secara administratif merupakan wewenang dari IANA (Internet
Assigned Numbers Authority, www.iana.org), yang juga merupakan sebuah organisasi
nirlaba yang mengemban fungsi koordinasi global di internet.

Pada mulanya, TLD .com, .net, maupun .org, digunakan sesuai peruntukannnya,
namun belakangan karena pemilikan domain dibawah TLD ini bersifat bebas dan
menerapkan prosedur yang otomatis, maka peruntukannya cenderung diabaikan.
Diantara seluruh TLD internasional tersebut, TLD .com merupakan TLD yang paling
laris. Mungkin ini berhubungan dengan demam DotCom yang saat ini sedang
melanda dunia sehingga setiap perusahaan akan merasa ketinggalan jaman apabila
belum memiliki domain sendiri dibawah TLD .com.

Dewasa ini, pengguna TLD internasional, terutama "trio" .net, .com, dan .org, sudah
sangat berjubel. Bagi calon pemilik domain baru, akan sulit sekali untuk menemukan
baik kata, maupun singkatan yang belum terpakai. Karenanya ICANN menetapkan
beberapa TLD baru, diantaranya .info, .news, .biz, .museum, .coop, .name, dan .aero.

TLD Lokal

Selain TLD internasional, kita juga mengenal TLD lokal yang mencakup suatu negara
tertentu (dikenal sebagai Country Code Top Level Domain, ccTLD). Sebagai contoh,
ccTLD untuk Inggris adalah .uk, Malaysia .my, dan India .in. Sebuah ccTLD
ditetapkan oleh ICANN, namun pengelolaannya diserahkan kepada lembaga yang
ditunjuk di negara bersangkutan. Indonesia sendiri memiliki ccTLD .id dan
pengelolaannya diserahkan kepada IDNIC (www.idnic.net.id)

Sebagai lembaga otoritas yang mengatur penggunaaan ccTLD Indonesia, IDNIC


menetapkan beberapa subdomain bagi ccTLD .id sesuai dengan peruntukannya
masing-masing. Subdomain yang tersedia adalah .co.id (corporate, perusahaan),
.net.id (network, jaringan atau ISP), .or.id (organization, organisasi lain-lain), go.id
(government, lembaga pemerintahan), .ac.id (academy, lembaga pendidikan), dan
.mil.id (military, lembaga militer). Belakangan ditambahkan pula subdomain .sch.id
(school, sekolahan), .web.id (situs pribadi) dan .war.net.id (untuk Warnet).

Berbeda dengan pemilikan TLD global yang relatif bebas, maka IDNIC menetapkan
aturan-aturan yang ketat untuk penggunaan domain berbasis Indonesia. Tujuannya
selain untuk mencegah penyalahgunaan, juga agar setiap domain hanya digunakan
oleh mereka yang betul-betul berhak.

Beberapa negara termasuk beruntung karena memiliki ccTLD yang mudah


diasosiasikan dengan istilah atau terminologi tertentu. Ambil contoh Tuvalu, sebuah
negeri mungil ditengah samudera Pasifik. TLD .tv milik negara ini laris manis
dikalangan pengelola stasiun televisi. Tidak heran, bahkan stasiun TV Indonesia,
RCTI sampai merasa perlu meninggalkan domain rcti.co.id untuk berpindah ke
domain rcti.tv. Nasib serupa dialami oleh Micronesia Prancis (French Micronesia)
dimana domain .fm milik negara ini kondang dikalangan pengelola stasiun-stasiun
radio. Tentu saja negara-negara bersangkutan dapat meraup devisa yang lumayan dari
hasil berjualan domain ini.

Bagaimana dengan Indonesia? Walaupun ccTLD .id milik Indonesia dapat dengan
mudah diasosiasikan dengan "identifikasi" atau "identitas" -- yang pasti akan menarik
perhatian mereka yang menginginkan domain yang unik-namun setidaknya hingga
saat ini, IDNIC masih belum berniat untuk menjual domain berbasis Indonesia kepada
pihak-pihak, baik perusahaaan, organisasi, atau perorangan yang tidak memiliki
kaitan dengan Indonesia.

Cybersquatter dan Domain Pelesetan

Untuk memiliki sebuah domain, maka kita haruslah mendaftar pada


badan/lembaga/perusahaan yang yang memiliki hak untuk menambahkan domain
baru dibawah TLD yang sudah ada. Lembaga ini disebut dengan Registrar.
Bergantung kepada jenis TLD yang kita inginkan, apakah global atau regional, kita
bisa mendaftar kepada registrar yang sesuai. Registrar untuk TLD global ada cukup
banyak dan mereka mematok harga yang cukup bervariasi, mulai dari dibawah USD
10 hingga yang termahal USD 35/domain/tahun, sedangkan TLD berbasis Indonesia
sendiri dapat dibeli di situs IDNIC seharga Rp. 150.000,- /domain/tahun.

Proses registrasi akan memberikan akses ke control panel pada situs web registrar
yang bersangkutan dimana pemilik domain dapat melakukan pengesetan lebih lanjut,
terutama untuk mengaitkan domain miliknya dengan alamat IP host yang akan
menggunakan domain tersebut.

Sepintas biaya yang harus dikeluarkan untuk sebuah domain relatif kecil, namun
dalam kenyataannya hal yang sebaliknya bisa saja terjadi. Apa pasal? Sebagai suatu
identitas di dunia maya, domain memiliki peran yang signifikan bagi pelaku bisnis.
Setiap pemilik domain tentu berharap agar nama domain mereka berkorelasi dengan
nama perusahaan atau produk yang hendak ditampilkan melalui media internet. Ini
tentu tidak menjadi masalah apabila domain yang diincar tersebut memang belum ada
yang memiliki. Tapi kalau sudah? Tentu hanya ada dua alternatif. Yang pertama,
adalah mencari domain lain yang juga cocok (dan belum ada yang punya), dan
alternatif kedua adalah dengan membeli domain tersebut dari pemiliknya, tentu saja
dengan harga yang ia minta.

Kenyataan semacam ini membuat domain sering dimanfaatkan sebagai objek


spekulasi yang menguntungkan. Para "spekulan domain" bekerja dengan modus
membeli domain-domain tertentu untuk kemudian dianggurkan dengan harapan suatu
saat ada pihak yang membutuhkan domain tersebut dan kemudian bersedia membeli
dengan harga tinggi. Aktifitas ini dikenal sebagai cybersquatting, dan pelakunya biasa
disebut cybersquatter.

Banyak cerita menarik yang berhubungan dengan aktifitas ini. Salah satu pihak yang
pernah merasakan "dikerjai" cybersquatter adalah Digital Corp. Sebuah perusaan
hardware ternama di AS. Bermula dari sebuah situs mesin pencari (search engine)
yang dikembangkan oleh pihak digital. Entah karena masih percobaan atau kurang
"pede" bersaing dengan situs mesin pencari lain yang sudah kondang, alamat situs
mesin pencari-yang dinamai Altavista-tersebut hanya ditempatkan sebagai sebuah
subdomain dari situs Digital. Belakangan ketika diluar dugaan mesin pencari ini
menjadi aplikasi yang begitu populer, terbersit niat dikalangan para pengembangnya
untuk membuatkan domain tersendiri untuk mesin pencari tersebut dengan domain
altavista.com. Celakanya, domain tersebut ternyata sudah ada yang punya. Walhasil
pihak Digital harus merogoh kocek hingga puluhan ribu USD untuk menebus domain
ini dari tangan sang spekulan.

Peristiwa serupa dialami oleh Amien Rais. Ketua MPR-RI ini terpaksa urung
menggunakan domain amienrais.com untuk situs pribadinya yang baru dibuka tahun
2002 lalu karena domain tersebut sudah keburu disambar orang lain. Entah berapa
tebusan yang diminta oleh sipemilik domain atau mungkin pak Amien sendiri yang
tidak mau repot sehingga ia lebih memilih menggunakan domain e-amienrais.com.

Kisah yang tak kalah serunya dialami oleh sebuah grup band kondang dari tanah air
sekitar awal tahun 2002 lalu. Bermula ketika webmaster yang diserahi menjaga
situsnya lupa meng-update domain yang sudah kadaluwarsa. Hal ini belakangan
berakibat fatal karena domain yang sudah kadaluwarsa tersebut lantas diambil alih
seorang cybersquatter asal Hongkong dan diarahkan ke … situs porno! Belakangan
sang pemilik baru menawarkan untuk mengembalikan domain tersebut ke pemilik
semula. Tentu saja tawaran ini tidak gratis. Tidak tanggung-tanggung ia memasang
bandrol hingga USD 8000 untuk domain tersebut.

Tidak cuma kalangan bisnis dan selebritis (baik dari dunia hiburan maupun selebritis
politik) yang dipusingkan oleh soal domain. Tidak kurang dari pengelola situs
Gedung Putih (www.whitehouse.gov) juga direpotkan oleh hal yang sama.
Persoalannya karena ada pihak tertentu yang membuka situs khusus dewasa dengan
domain yang sama namun dibawah TLD berbeda dengan situs yang menampilkan
salah satu simbol negara adikuasa tersebut.

Kasus serupa (tapi tak sama) juga pernah terjadi di Indonesia antara situs
mustikaratu.com, situs resmi milik PT Mustika Ratu, sebuah perusahaan yang
bergerak dibidang obat-obatan tradisional, dengan mustika-ratu.com yang dimiliki
oleh pihak lain. Kasus ini bahkan bergulir hingga ke pengadilan dan konon tercatat
sebagai kasus hukum pertama yang berkaitan dengan penggunaan domain di
Indonesia.

Namun kasus pemelesetan domain yang paling fatal terjadi sekitar pertengahan tahun
2001 lampau, menimpa sebuah situs internet banking (i-banking) milik sebuah bank
papan atas di Indonesia. Kala itu seorang hacker, juga dari Indonesia, membuka
sejumlah situs dengan domain yang mirip dengan situs bank bersangkutan.
Berikutnya, dengan menjiplak isi situs asli ke dalam situs yang menggunakan domain
pelesetan tersebut, sang hacker berhasil menjaring ratusan nomor PIN milik nasabah
bank tersebut yang keliru melakukan transaksi i-banking di situs yang menggunakan
domain pelesetan miliknya. Para nasabah ini masuk ke situs pelesetan tersebut karena
salah mengetik alamat situs bank yang dituju. Untungnya, sang hacker tidak berniat
buruk. Konon tindakan itu hanya dilakukannya untuk kegiatan penelitian. Begitu pula
file yang menyimpan ratusan data nasabah, termasuk nomor PIN, yang terjaring telah
dimusnahkan dan tidak sampai disalahgunakan.

Peristiwa spekulasi domain maupun pemelesetan sebuah domain yang telah dikenal
publik seharusnya tidak sampai menimpa pemilik situs web berbasis Indonesia
apabila mereka menggunakan TLD regional Indonesia. Ini dikarenakan ketatnya
prosedur pendaftaran domain berbasis Indonesia sehingga sangat kecil kemungkinan
adanya penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungawab. Tapi mungkin
karena faktor gengsi atau dianggap lebih bonafid, sehingga banyak pihak yang
memilih menggunakan domain global, dengan segala resiko dan konsekuensinya.

Anda mungkin juga menyukai