Anda di halaman 1dari 22

SYEIKH MUHAMMAD NAFIS AL-BANJARI

Ad-Durrah an-Nafisah bahasan tasawuf, guna bahasa beradab Bersama Wan Mohd Shaghir Abdullah Kitab dipercayai dikarang Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari SEBUAH kitab tasawuf peringkat tinggi yang cukup terkenal di dunia Melayu yang banyak kali dicetak adalah Ad-Durr an-Nafis karya Syeikh Muhammad Nafis bin Husein al-Banjari. Kitab ini ditulis pada 1200 hijrah/1785 masihi dan dicetak pertama kalinya seratus tahun kemudian iaitu pada 1300 hijrah/1882. Cetakan pertama ditashhih oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani. Kitab yang saya perkenalkan dalam artikel ini bukan Ad-Durr an-Nafis, tetapi Ad-Durrah an-Nafisah fi Bayan Wahdah fi al-Af'al wa al-Asma' wa ash-Shifat wa az-Zat al-Muqaddasah yang ditulis kira-kira 39 tahun selepas Ad-Durr an-Nafis. Tarikh tepat penulisan mulai waktu Dhuha, Jumaat, 15 Rabiulakhir 1239/19 Disember 1823. Ia selesai ditulis pada tengah malam Isnin, 9 Muharam 1240/3 September 1824. Kitab ini belum pernah diterbitkan dalam bahan cetakan. Manuskrip yang ada hanya sebuah dan ada dalam simpanan saya. Sungguhpun tidak ada nama pengarang, dapat diduga ia adalah karangan Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari. Ia adlah syarah kitab beliau yang berjudul Ad-Durr an-Nafis. Jadi, manuskrip yang sekarang menjadi koleksi peribadi saya adalah asli tulisan tangan Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari. Sebelum memasuki kandungan Ad-Durrah an-Nafisah, sebagai mukadimah Syeikh Muhammad Nafis bin Husein al-Banjari memperkenalkan dua karya ringkas mengenai tasawuf. Sebuah 18 muka dan satu lagi 14 halaman. Kedua-duanya tanpa judul. Sebuah tanpa tahun dan sebuah lagi selesai penulisan pada malam, 30 Jamadilawal 1235/16 Januari 1820. Pada mukadimah risalah yang pertama, Syeikh Muhammad Nafis bin Husein al-Banjari menyebut mengenai diri ada empat jenis. Kata beliau: Pertama, diri yang berdiri, iaitu diri jasad atau tubuh badan. Kedua: diri yang terperi. Ketiga, diri yang nyata pada ilmu Allah. Keempat, diri yang sebenar-benar diri. Keempat-empat diri dihuraikan dengan agak panjang menurut kaedah dalam ilmu tasawuf. Kedua-dua risalah yang dianggap sebagai mukadimah Ad-Durrah an-Nafisah, saya tinggalkan dan langsung saja kepada manuskrip yang sedang diperkenalkan. Syeikh Muhammad Nafis bin Husein al-Banjari memulakan bicara dengan katanya: Aku memulai akan risalah ini pada hijrah Nabi SAW seribu dua ratus tiga puluh sembilan tahun, pada tahun Alif, pada lima belas hari bulan Rabiulakhir, yaum al-Jumah, waktu Dhuha, jam pukul dulapan (maksudnya: Jumaat, jam 8 pada 15 Rabiulakhir 1239 pen:) Sebab beliau menulis kitab itu juga dinyatakan dalam mukadimah pada halaman berikutnya.

Kata beliau: Kemudian daripada itu, maka tatkala adalah tahun seribu dua ratus tiga puluh lima tahun, daripada tahun hijrah, pada hari yang ketiga puluh cukup, daripada bulan Jamadilawal, (maksudnya: pada 30 Jamadilawal 1235, pen:). Selanjutnya beliau jelaskan: Sanya memintalah kepadaku setengah daripada saudaraku yang telah dibukakan [oleh] Allah hatiku dan hatinya dengan cahaya terang musyahadah, yakni cahaya terang memandang dan mengenal. Beliau jelaskan selanjutnya: "Bahawa itu aku perbuatkan baginya akan suatu risalah yang simpan (maksudnya: yang ringkas) perkataannya dengan bahasa Jawi-Melayu yang lemah lembut... Barangkali oleh kerana kandungan keseluruhan Ad-Durrah an-Nafisah adalah tasawuf peringkat tinggi, maka diperlukan bahasa yang beradab. Itulah yang dimaksudkannya dengan bahasa Jawi-Melayu yang lemah lembut bukan bahasa Melayu yang kasar, yang tiada beradab atau tiada berakhlak atau boleh juga dikatakan tiada berbudi bahasa. Sebelum memasuki bahasan tasawuf, Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari terlebih dulu membicarakan mazhab dalam akidah. Megenai perkara ini ada yang beliau bicarakan dalam Ad-Durr an-Nafis. Tetapi, selepas dibanding ternyata dalam manuskrip Ad-Durrah anNafisah penambahan dan bahasan jauh lebih banyak serta perbicaraan jauh lebih luas dan mendalam. Mengenai dua mazhab iaitu Qadariyah dan Jabariyah tidak banyak tambahan, tetapi mengenai mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah dalam Ad-Durrah an-Nafisah ada tambahan yang sangat banyak. Dalil mengenai mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah, beliau jelaskan ketika turun ayat al-Quran mengenai kaum yang kasih kepada Allah salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah. Nabi menjawab dan menunjuk sahabat Baginda, Abu Musa al-Asy'ari. Manakala muncul keturunan beliau, iaitu Imam Abu Hasan al-Asy'ari, maka sepakatlah ulama bahawa Imam Abu Hasan al-Asy'ari R.A adalah imam mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah. Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari menyebut pula, mazhab yang berpegang kepada iktikad Imam al-Asy'ari ini, iaitu Imam Malik ibnu Anas dan Imam Muhammad anak Idris Syafie. Maka, mazhab Imam Abu Hanifah ibnu Tsabit dan Imam Ahmad ibnu Hanbal itu adalah mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah yang pada iktikad itu, iaitu Imam Abu Manshur Maturidi. Selepas membicarakan tiga mazhab di atas, Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari membahas pula mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah golongan Ahl al-Kasyaf dan Musyahadah. Walaupun karya Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari judul Ad-Durr an-Nafis yang pernah dicetak berlaku kontroversi dengan beberapa tokoh ahli zahir, namun bagi saya Ad-Durrah an-Nafisah yang juga syarah Ad-Durr an-Nafis mesti diperkenalkan. Kedua-dua kandungan kitab itu tidak salah menurut ulama ahli sufi

SYEIKH MUHAMMAD NAFIS AL-BANJARI

Syeikh Muhammad nafis al-Banjari


Oleh: H. Ahmadi Isa Siapa sebenarnya Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari? Ternyata sampai saat ini riwayat hidupnya masih sulit untuk dilacak. Walaupun demikian, riwayat hidup Syeikh Muhammad Nafis ini tidak seluruhnya berada dalam kegelapan, apabila diikuti teori yang diutarakan oleh Karel A, Steenbrink tentang cara untuk memperoleh gambaran dari sosok seorang tokoh yang pernah membuat karya tulis. Menurut Karel A, Steenbrink, usaha untuk menemukan gambaran dari seseorang tokoh yang pernah menulis karya tulis dapat ditelusuri melalui dua cara. Cara pertama melalui sumber intern, yaitu mencari data dari karangannya sendiri, khususnya yang terdapat di dalam mukaddimah atau khutbah al-kitab dan penutup kitab. Cara kedua, yaitu mencari data dari cerita atau tulisan keturunannya atau orang yang datang kemudian. Setelah diikuti cara pertama, mencari data dari karya tulis Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari sendiri, maka ditemui pada penutup kitab yang ditulisnya, suatu keterangan yang menyatakan, bahwa nama lengkapnya adalah Muhammad Nafis bin Idris bin al-Husein al-Banjari. Kemudian di halaman pertama, di halaman judul tertera gelar yang diberikan oleh pengagumnya, yaitu Maulana al-Allamah al-Fahhamah alMursyid ila Tariq al-Salamah al-Syeikh Muhammad Nafis Ibn Idris al-Banjari. Walaupun Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari diberikan gelar kehormatan yang tinggi di kalangan para pengagum sufi di zamannya, namun, gelar itu bukan atas keinginannya sendiri, karena dia sebagai seorang sufi tentu selalu menghindari gelar-gelar kehormatan dan hal-hal yang merupakan kebanggaan yang bersifat duniawi, karena hal itu bisa membuat sombong atau

merasa tinggi diri. Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari justru mengaku dirinya seorang , faqir yang hina, semiskin-miskin hamba Allah. Pengakuan Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari tentang dirinya ini, tentu bukan dalam arti kata sebenarnya, bahwa dia seorang fakir yang hina, dan seorang hamba Allah yang termiskin. Tetapi pernyataan seorang sufi yang selalu bersifat merendahkan dirinya, guna menghindari perasaan riya (pamer), takabbur (sombong), dan ujub (membanggakan diri). Hal ini sesuai dengan ajaran tasawuf, bahwa seseorang yang berusaha menjalani kehidupan kesufian (salik) akan gagal meraih kerelaan Allah apabila di dalam dirinya terdapat syirik khafi (syirik tersembunyi) Syirik tersembunyi itu antara lain dicontohkan oleh Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari Nafis, seperti riya (pamer), sumah (memperdengarkan diri), ujub (membanggakan diri), dan lainlain. Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dilahirkan di salah satu desa Martapura yang terletak di Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan, dari kalangan keluarga Kerajaan Banjar. Tanggal kelahirannya sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Yang dapat diketahui secara pasti adalah saat dia menulis kitab karangannya yang berjudul Al-Durr al-Nafis, yaitu pada tahun 1200 H. Andaikata pada waktu Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari menulis kitab tersebut (1200 H./1785 M.), dia sudah berusia 50 tahun, maka dapat diperkirakan, bahwa dia dilahirkan pada tahun 1150 H./1735 M. Dalam beberapa riwayat lain disebutkan, bahwa Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari hidup sezaman dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banajari (1710-1812M.) Jika riwayat ini benar, Maka Syeikh Muhammad Nafis alBanjari ini mengalami masa-masa pemerintahan Sultan Tahlilullah, Raja Banjar XIV (1707-1745 M.), dan Sultan Tamjidillah Raja Banjar XV (1745-1778 M.), serta Sultan Tahmidillah, Raja Banjar XVI (1778-1808 M.). Berdasarkan pengakuan atau pernyataan Syeikh Muhammad Nafsi alBanjari, di dalam kitabnya Al-Durr al-Nafis, bisa kita pahami bahwa: 1. Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari mempunyai sifat suka merendahkan diri di hadapan manusia, apalagi di hadapan Allah. Malah dia mengaku dirinya berdosa, kemudian mengharapkan ampunan dari Allah. Pengakuan seperti ini adalah wajar, karena dia seorang sufi, sebentar saja terlengah dari atau terabaikan dalam dirinya mengingat Allah, dia sudah merasa berdosa, apalagi kalau dia bersikap atau berbuat yang melebihi dari itu. Dari pengakuan Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari tersebut, tersirat pula makna, dia selalu berusaha menghindarkan dirinya dari perasaan takabbur (sombong), riya (pamer), ujub (membanggakan diri), sumah (minta didengar atau diperhatikan) karya tulisnya. 2. Dia bernama Muhammad Nafis, orang tuanya adalah Idris dan kakeknya adalah Husein;

3. Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dilahirkan di Banjarmasin, berasal dari suku Banjar, Kalimantan Selatan; 4. Dia pernah tinggal di Makkah. Pada waktu menulis karya tulisnya Al-Durr alNafis, dia berada di Makkah. Tidak diperoleh keterangan, kapan dia pergi ke Makkah, berapa lama dia belajar di sana, dan kapan dia kembali ke kampung halamannya atau ke Banjarmasin; 5. Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari adalah seorang penganut maazhab Syafii dalam bidang fikih, menganut aliran Asyari dalam bidang iktikad, bidang ushuluddin/tauhid. Dalam bidang tasawuf dia adalah pengikut Junaid. Dari sini diketahui bahwa dia adalah pengikut aliran Sunni (ahl al-sunnah wa aljamaah). 6. Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari menganut berbagai tarikat, yaitu tarikat Qadiriah, tarikat yang mengikuti Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani, tarikat Sattariah, tarikat yang mengikuti aliran Abdullah al-Sattari, tarikat Naqsabandiah, ialah tarikat yang mengikuti aliran Bahauddin al-Naqsabandi, tarikat Khalwatiah yang disebut pula tarikat Anfasiah, dan tarikat Samaniyah, ialah tarikat yang mengikuti aliran Syeikh Muhammad Ibn Abd al-Karim Saman al-Madani. Di dalam mengungkapkan tarikat yang dia pegang, Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari menggunakan simbolis, yaitu tariqah (jalan), pakaian, makanan, dan minuman. Apakah yang dimaksud oleh Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dengan kata-kata simbol yang dia pergunakan itu, kita tidak tahu pasti. Mungkin fungsi tarikat itu bagi dirinya bagaikan jalan, pakaian, makanan, dan minuman bagi tubuh dan jasmaninya; ataukah bermakna semua tarikat itu diamalkannya bagaikan dia selalu harus berjalan, berpakaian, makan dan minum setiap hari, merupakan keperluan yang sangat mendasar dalam kehidupannya; ataukah ada makna lain lagi dari kata-kata simbolis itu, wallahu alam. Semua tarikat yang dianut oleh Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari ini adalah tergolong tarikat yang masyhur atau tarikat yang mutabarah, tarikat yang diakui keabsahannya oleh para sufi atau ahli tarikat. Tasawuf sepertinya adalah bidang studi yang diminati oleh Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari. Bidang ini menjadi spesialisasinya, dan kemudian dia memang dikenal dalam bidang tasawuf ini. Kecenderungannya ke arah ilmu tasawuf ini nampaknya berasal dari pengalamannya sejak dia belajar di tanah airnya, yang sejak Islam masuk ke sana, sudah kenal pada tasawuf dan banyak yang meminatinya, baik di kalangan rakyat maupun di kalangan keluarga bangsawan Banjar. Jadi besar kemungkinan dia sudah belajar ilmu tasawuf untuk tingkat permulaan sebelum dia berangkat belajar ke Makkah. Pada Waktu Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari berada di Makkah, tepatnya pada tahun 1200 H., atas permintaan beberapa orang sahabatnya, dia menulis kitabnya yang diberi nama Al-Durr al-Nafis. Kitab tersebut dia tulis

a. b. c. d. e.

dengan bahasa Jawi (bahasa Melayu) huruf Arab, dengan maksud supaya dapat dimanfaatkan oleh mereka yang belum mengerti bahasa Arab dengan baik. Barangkali yang dimaksud oleh Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dengan mereka yang belum mengerti bahasa Arab dengan baik itu adalah mereka yang berasal dari negara-negara yang menggunakan bahasa Melayu, termasuk negara Indonesia, dan sedang menuntut ilmu pengetahuan di Makkah ketika itu. Sehubungan dengan hal ini Snouck Hurgronje dalam penelitian yang dilakukannya pada akhir abad XIX M. mengatakan, bahwa satu-satunya lembaga yang berfungsi sebagai perguruan tinggi di Makkah adalah Masjid alHaram. Di sanalah para ulama besar memberikan kuliah setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu, masing-masing ulama besar menghadapi sejumlah murid yang berkelompok membentuk satu lingkaran (halaqah) ; setiap penuntut ilmu yang datang ke Tanah Suci itu belum merasa puas atau tercapai cita-citanya kalau dia belum mampu mengikuti pelajaran di sana. Bahasa pengantar di dalam menyampaikan pelajaran digunakan bahasa Arab, sehingga mereka yang datang dari negara-negara yang tidak berbahasa Arab, terutama mereka yang datang dari negara-negara yang tidak berbahasa Arab yang berbahasa Melayu, termasuk Indonesia, kebanyakannya harus mempersiapkan diri terlebih dahulu di bawah bimbingan para guru yang mengajar dalam bahasa masing-masing di luar masjidil Haram itu. Pada waktu itulah Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari diminta oleh beberapa orang sahabatnya untuk menulis kitab tasawuf Al-Durr al-Nafis dalam bahasa Melayu. Hal ini barangkali disebabkan karena mereka ingin mempelajari ilmu tasawuf, sedangkan mereka belum menguasai bahasa Arab dengan baik, mempelajari terlebih dahulu kitab yang berbahasa Melayu, sambil mempelajari bahasa Arab. Sehingga pada saatnya mereka sudah mampu berbahasa Arab dengan baik, akan mudah bagi mereka mempelajari berbagai kitab yang ditulis dengan bahasa Arab, karena mereka sudah merintisnya dengan cara mempelajari kitab-kitab yang berbahasa Melayu. Dalam pengetahuan kesufian dan tarikat, Syeikh Muhammad Nafis alBanjari pernah berguru kepada beberapa orang ahli tasawuf dan tarikat, antara lain ialah: Syeikh Abdullah Ibn Hijazi al-Syarqawi al-Misri; Syeikh Siddiq Ibn Umar Khan; Syeikh Muhammad Ibn Abd al-Karim Saman al-Madani; Syeikh Abd al-Rahman Ibn Abd al-Aziz al-Maghribi; Syeikh Muhammad Ibn Ahmad al-Jauhari. Nampaknya Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari ini dalam bidang tasawuf dan tarikat seguru dengan Syeikh Abdus Samad al-Palimbani, ternyata dia juga pernah berguru tasawuf dan tarikat dengan guru yang sama dengan guru Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari, yaitu Syeikh Abd al-Rahman Ibn Abd al-Aziz

al-Maghribi dan Syeikh Muhammad Ibn Abd al-Karim Saman al-Madani, seorang wali qutub (wali Allah yang tertinggi) pada zaman itu. Dalam bidang tasawuf dan tarikat ini, Syeikh Muhammad Nafis alBanjari seguru pula dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, karena Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, juga pernah tasawuf dan tarikat kepada Syeikh Muhammad Ibn Abd al-Karim Saman al-Madani yang mengajar di Madinah di kala itu. Dari guru tasawuf dan terikatnya inilah, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari memperoleh ijazah khalifah, yang membuatnya berhak mengajarkan ilmu tasawuf dan tarikat yang didapatkannya dari gurunya tersebut. Karena ketiga tokoh ini, yaitu Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, dan Syeikh Abdus Samad al-Palimbani adalah seguru dalam bidang tasawuf dan tarikat, ini bisa berarti bahwa mereka adalah hidup sezaman dan sumber-sumber ajaran tasawuf dan tarikat mereka adalah sama pula. Kalau Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat ijazah dari guru sufi dan terikatnya, dia diperkenankan mengajarkan ajaran tasawuf dan tarikat yang didapatkannya dari gurunya. Demikian pula halnya dengan Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari. Dia diakui gurunya sudah menguasai ilmu tasawuf dan tarikat yang diajarkan kepadanya, dia pun diberi gelar oleh gurunya dengan gelar Syeikh Mursyid, yang merupakan pengakuan dari gurunya, bahwa dia boleh mengajarakan ilmu tasawuf dan tarikat kepada orang lain. Setelah beberapa lama menetap dan belajar di tanah suci, Muhammad Nafis pulang ke kampung halamannya atau Banjarmasin. Kapan ia pulang ke kampung halamannya, tidak ada riwayat yang memberitakan secara pasti. Yang diketahui secara pasti ialah bahwa ia menulis kitabnya Al-Durr al-Nafis pada tahun 1200 H., dan pada saat itu dia berada di Makkah. Andaikata Muhammad Nafis masih bermukim di Makkah selama 10 tahun setelah dia menulis kitabnya tersebut (1200 H./1785 M.), kemudian dia pulang ke kampung halamannya atau Banjarmasin, maka dapat diperkirakan, bahwa dia pulang ke kampung halamannya pada tahun 1210 H./ 1795 M. Di daerah Banjarmasin, Muhammad Nafis dikenal sebagai seorang juru dakwah yang sering melakukan aktifitasnya berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya, terutama daerah-daerah terpencil yang mempunyai kedudukan strategis dalam upaya penyebaran ajaran Islam. Diduga dia banyak berdakwah di daerah Kelua (225 km dari Banjarmasin). Menurut sebahagian tokoh masyarakat setempat, Muhammad Nafis pindah ke Kelua dari Martapura, daerah kelahirannya karena dia tidak senang kepada penjajah Belanda yang sudah mulai menguasai pusat kerajaan Islam Banjar di kala itu, sedangkan Kelua merupakan daerah yang strategis untuk menyebarkan ajaran Islam, karena tempat tersebut terletak di bahagian Utara kerajaan Islam Banjar, yaitu terletak di perbatasan antara Kalimantan Selatan, Kalimantan

Tengah, dan Kalimantan Timur. Karenanya, Muhammad Nafis sebagai seorang juru dakwah memilih daerah tersebut. Pilihan Muhammad Nafis terhadap daerah ini ternyata sangat tepat. Buktinya pada abad XVIII dan abad XIX M. daerah Kelua menjadi pusat penyiaran Islam di Bahagian Utara daerah Kalimantan Selatan dan memiliki andil yang besar dalam gerakan-gerakan penyebaran Islam sampai saat gerakan perebutan kemerdekaan. Kapan Muhammad Nafis wafat, tidak penulis temui keterangan tentang itu. Dia berbeda dengan dua tokoh lainnya yang sedaerah dan hidup sezaman dengan dia (XVIII M.), yakni Abdul Hamid dan Muhammad Arsyad . Kedua tokoh agama ini diketahui secara pasti di mana mereka dikebumikan. Abdul Hamid dikebumikan di Abulung, kampung Sungai Batang Martapura, dan Muhammad Arsyad dikebumikan di kampung Dalam Pagar Martapura. Sedangkan Muhammad Nafis diperselisihkan orang di mana dia dikebumikan. Ada yang menyatakan bahwa dia dikebumikan di daerah Kusan Kotabaru, dan yang lain mengatakan bahwa dia dikebumikan di desa Tungkaran Pleihari. Pendapat lain lagi mengatakan, bahwa dia dikebumikan di desa Pakulat Kelua Kabupaten Tabalong. Yang jelas, Muhammad Nafis dikebumikan di daerah Kalimantan Selatan , karena semua tempat yang disebut sebagai makam Muhammad Nafis itu adalah terletak di daerah Kalimantan Selatan.

MUHAMMAD NAFIS AL-BANJARI

Sejarah permulaan masuk dan perkembangan Islam di Banjarmasin pada dasarnya tidak lepas dari jasa, peranan dan perjuangan para ulama dan tokoh-tokoh Islam yang hidup pada masa dulu. Salah satu dari sekian banyak para ulama dimaksud yang cukup populer namanya tidak hanya di banua, akan tetapi juga di Asia Tenggara adalah Syekh M. Nafis bin Ideris bin Al Husien Al Banjary. Di samping dikenal sebagai ulama yang ahli di bidang syariat (fiqih) beliau juga ahli di bidang tasawuf, dan telah menulis sebuah kitab yang berjudul Al-Durr alNafis, di mana sampai sekarang isi dari kitab tersebut masih menjadi materi perdebatan kontroversi para ulama, karena ajaran-ajaran tasawufnya yang dianggap beraliran Wahdatul Wujud. Siapakah Syekh Muhammad Nafis? Bagaimana sejarah kehidupan dan perjuangan dakwahnya? Dan bagaimanakah pemikiran paham tasawufnya? Adalah sejumkah pertanyaan menarik untuk dikaji lebih jauh lagi. Tulisan singkat ini berusaha untuk membutiri kembali sejarah kehidupan, perjuangan dan pemikiran beliau. Muhammad Nafis merupakan seseorang yang berasal dari kalangan bubuhan keluarga

bangsawan kerajaan Banjar. Beliau dilahirkan di salah satu desa yang sekarang termasuk sebagai bagian wilayah Martapura. Secara pasti tahun kelahiran beliau belum dapat dipastikan, namun menurut Laily Mansur merujuk pada kitab Al-Durr al-Nafis yang ditulisnya bertahun 1200 H atau 1785 M, dan jika umurnya waktu itu lebih kurang 50 tahun, maka diperkirakan beliau dilahirkan pada tahun 1150 H/1735 M. Akan tetapi karena beliau dikatakan hidup sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary yang lahir pada tahun 1122 H/1710 M maka penulis lebih condong dan berasumsi bahwa umur beliau tentu tidak jauh beda dengan usia Muhammad Arsyad. Karena itu besar kemungkinan tahun kelahiran Muhammad Nafis sama atau mendekati tahun kelahiran Muhammad Arsyad, bedanya hanyalah lebih muda atau lebih tua, yakni antara tahun 1700-1720. Adanya bakat dan kecerdasan yang tinggi dibanding dengan teman-teman sebayanya waktu itu, kelebihan-kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh anak-anak yang lain, dan tandatanda akan menjadi seorang ulama besar, sebagaimana yang juga terlihat dalam diri Syekh Muhammad Arsyad, membuat Sultan Banjar tertarik. Sehingga pada akhirnya Muhammad Nafis pun dikirim ke Mekkah bersama Muhammad. Arsyad untuk belajar dan mendalami ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu lainnya yang berguna untuk diterapkan dalam pengembangan dan pemberdayaan masyarakat Banjar ketika itu. Salah satu dari ilmu agama yang digelutinya, bahkan menjadikan ia populer adalah ilmu tasawuf. Dalam ilmu tasawuf dan tariqat ini Muhammad Nafis telah berguru kepada Syekh Abdullah Ibn Hijazi al Syarkawi al Misri, Syekh Siddiq Ibn Umar Khan, Syekh Muhammad Ibn Abdul Karim Samman al Madani, Syekh Abdurrahman Ibn Abdul Aziz al Maghribi dan Syekh Muhammad Ibn Ahmad al Jauhari. Karena itu sebenarnya di bidang ilmu tasawuf dan tariqat yang seguru dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary dan Abdussamad Al Palimbani. Ahmadi Isa memperkirakan bahwa Muhammad Nafis pulang ke Banjarmasin pada tahun 1210 H/1795. Di mana pada masa itu yang memerintah di kerajaan Banjar adalah Sultan Tahmidillah (Raja Islam Banjar XVI, 1778-1808 M). Setelah kembali ke Banjarmasin ia lebih mengarahkan dakwahnya ke daerah Kelua (Kabupaten Tabalong) dan sekitarnya sebagai daerah penting di pedalaman Kalimantan Selatan, jantung penyebaran Islam dan kunci masuk menuju daerah Kalimantan Timur. Sehingga dalam abad XVIII dan abad XIX daerah Kelua merupakan pusat penyiaran Islam di bagian Utara Kalimantan Selatan dan memiliki andil dalam gerakan-gerakan penyebaran Islam sampai kepada masa perjuangan merebut kemerdekaan. Melihat lokasi yang menjadi medan gerak dakwahnya di atas penulis berasumsi bahwa besar kemungkinan kembalinya Syekh Muhammad Nafis ke banua terkemudian dari Syekh Muhammad Arsyad, itulah sebabnya ia lebih mengarahkan gerakan dakwahnya ke daerah Kelua dan sekitarnya yang masih kosong dan memerlukan pembinaan keagamaan. Karena perjuangan dakwah untuk Banjarmasin, Martapura dan daerah sekitarnya telah diisi oleh Syekh Muhammad Arsyad, sedangkan perjuangan dakwah untuk daerah bagian Selatan Banjarmasin seperti Rantau, Tambarangan dan sekitarnya dilakukan oleh Datu Sanggul, dan daerah Paringin-Balangan oleh Datu Kandang Haji. Di samping itu boleh jadi pula bahwa dijadikannya Kelua sebagai pusat gerakan dakwahnya, disebabkan oleh ketidaksenangan Muhammad Nafis terhadap Belanda yang waktu itu sudah mulai ikut campur dan menguasai pusat kerajaan Islam Banjar. Kelua juga merupakan daerah yang strategis untuk kegiatan dakwah dan penyebaran agama Islam, karena letaknya di bagian utara kerajaan Islam Banjar waktu itu merupakan kunci masuk dan wilayah perbatasan antara wilayah kekuasaan kerajaan Banjar (Kalimantan Selatan) dengan wilayah Kalimantan

bagian Tengah dan Kalimantan Bagian Timur. Berbeda dengan Syekh Muhammad Arsyad yang lebih populer sebagai ulama syariat (ahli fiqih), Muhammad Nafis lebih dikenal sebagai seorang yang ahli tasawuf atau ulama tasawuf sampai ke negara-negara Asia Tenggara melalui bukunya Al-Durr al-Nafis. Judul lengkapnya adalah Al Durr al Nafis fi Bayan Wahdat al Afal wa al Asma wa al Sifat wa al Zat, Zat al Taqdis, artinya Mutiara yang Indah yang Menjelaskan Kesatuan Perbuatan, Nama, Sifat dan Zat yang Suci, yang menurut riwayat ditulis dalam bahasa Arab Melayu berdasarkan permintaann kawan-kawannya dengan harapan dapat dibaca oleh mereka yang tidak pandai berbahasa Arab, ketika ia masih mukim di Mekkah. Sebagaimana Syekh Muhammad Arsyad yang mendapatkan ijazah khalifah dalam Tariqat Sammaniyah (Zafri Zamzam), maka Muhammad Nafispun diakui oleh gurunya menguasai ilmu tasawuf dan tariqat yang diajarkan kepadanya dengan baik, sehingga dia diberi gelar oleh gurunya sebagai Syekh Mursyid. Gelar ini merupakan pengakuan bahwa ia boleh mengajarkan tasawuf dan tariqat kepada orang lain. Ketinggian ilmu tasawuf yang dimiliki oleh Muhammad Nafis juga terlihat dari gelar yang diberikan kepadanya, sebagaimana tercantum pada halaman pertama kitab Al-Durr al-Nafis yang ditulisnya, yakni Maulana al Allamah al Fahhamah al Mursyid ila Tariq al Salamah al Syekh Muhammad Nafis Ibn Idris al Banjary. Itulah sebabnya wajar jika kitabnya tersebut memiliki pengaruh yang luas terhadap orang-orang yang hidup di zamannya, dan sesudahnya, serta tersebar ke berbagai daerah di Nusantara, bahkan Timur Tengah. Berdasarkan kajian bahasan, kitab Al-Durr al-Nafis tersebut berisikan ajaran-ajaran tasawuf yang tinggi sehingga dikatakan, adalah rahasia yang amat halus dan perkataannyapun amat dalam, tiada mengetahui yang demikian kecuali ulama yang rasikh/ulama yang tinggi ilmu agama. Sayangnya naskah asli yang di tulis tangan sendiri oleh pengarang, sampai sekarang belum ditemukan. Padahal menurut Laily Mansur pengaruh kitab ini cukup luas di kalangan masyarakat dan cukup dikenal oleh kaum muslimin di daerah Asia Tenggara yang berbahasa Melayu, selalu dibaca orang sejak terbitan pertama hingga sekarang, dicetak di Saudi Arabia, Mesir, Singapura dan Indonesia serta berpengaruh dalam risalah Amal Marifah karangan Abdurrahman Siddiq Al Banjary tahun 1322 H dan risalah Kasyful Asrar karang Muhammad Saleh bin Abdullah Mangkabawi tahun 1344 H. Berdasarkan naskah kitab tersebut oleh Laily Mansur disimpulkan bahwa kitab tersebut mengandung ajaran-ajaran tasawuf yang berintikan tauhid dalam struktur yang sistematis, pokok-pokok ajaran tasawuf yang terkandung di dalamnya meliputi maqamat, Tuhan, kejadian manusia, hubungan manusia dengan Tuhan yang kesemuanya mempunyai hubungan diales antara yang satu dengan yang lain hingga bernatijah bahwa wujud itu hanya satu. Laily Mansur menilai bahwa ajaran tasawuf Muhammad Nafis dipengaruhi oleh filsafat khususnya filsafat Neo Platonisme. Kemudian tauhid dalam ajaran Muhammad Nafis adalah tauhid sebagaimana yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al Jilli, yakni yang ada hanyalah Allah dan selain Dia adalah tidak ada, kalau selain Dia itu ada maka cara beradanya adalah melalui tajalli atau kezahiran hingga Dia berada di tiap zarrah ujud, dengan demikian paham tasawuf yang dikandung dalam kitabnya tersebut adalah paham wahdatul wujud yang melihat bahwa segala yang ada terdiri dari aspek luar (aradh dan al Khalq) dan aspek dalam atau batin/jauhar (yakni al haq), paham ini dipelopori oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim Jilli, Jalaluddin Rumi. Pokok pembahasan tentang tauhid tersebut mencakup tauhid afal, tauhid asma, tauhid sifat dan tauhid zat.

Berdasarkan gambaran di atas pemikiran tasawuf Muhammad Nafis dapat dimasukan kepada corak pemikiran tasawuf falsafi yang berpaham Kesatuan Wujud atau Wahdatul Wujud. Sehingga ada beberapa ulama yang secara keras menyatakan bahwa ajaran yang terkandung dalam kitab Al-Durr al-Nafis tersebut haram untuk dipelajari dan dikaji. Bahkan ada pula yang lebih keras menyatakan bahwa barang siapa yang mempelajari bahkan meyakini isi dan ajaran dalam kitab tersebut maka ia menjadi kafir, sebab kitab tersebut mengajarkan paham Wahdatul Wujud sebagaimana difatwakan oleh mufti kerajaan Johor, Sayyid Alwi Thahir Haddad. Untuk itulah Hawash Abdullah penulis buku Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara menjelaskan bahwa pada zaman Indonesia dijajah oleh Belanda, mempelajari kitab ini diharamkan. Sehingga ada ulama yang kemudian juga menfatwakan bahwa kitab tersebut berisi ajaran yang sesat menyesatkan. Boleh jadi hal ini merupakan salah satu siasat politik Belanda, karena Belanda paham betul bahwa apabila orang sudah mempelajari ilmu tasawuf secara lurus dan mantap, maka orang tersebut tidak takut mati dan berjuang waja sampai kaputing memerangi penjajah yang dianggap kafir. Hawash Abdullah pada tahun 1972 juga pernah melakukan pelacakan ke berbagai daerah dan kepada para ulama untuk mengetahui secara pasti tanggapan mereka terhadap isi kitab tersebut, seperti di Pontianak Kalimantan Barat. Sayangnya di antara ulama yang mengecam kitab tersebut ada yang belum pernah membaca atau mempelajari kitab Al-Durr al-Nafis, tidak mengetahui secara pasti isi kitabnya dan bagian-bagian mana saja dari kitab tersebut yang dianggap salah dan menyimpang. Karena itulah selanjutnya argumentasi kelompok yang mengharamkan dan menganggap kitab Al-Durr al-Nafis sesat adalah lemah. Sebab kalau kitab Al-Durr al-Nafis tersebut menyesatkan, mengapa ia dipelajari oleh para ulama di Nusantara sejak beredarnya tahun 1200 H hingga sekarang, belum seorangpun di kalangan ulama sufi yang mengatakan bahwa kitab ini tidak berdasarkan Al Quran dan Hadits. Ahmadi Isa berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis yang dikarang oleh Muhammad Nafis itu berisi ajaran-ajaran Tauhid yang terjalin kelindan dengan tasawuf yang kadang-kadang sulit dan rumit, kecuali bagi ulama yang luas pengetahuan agamanya, paling tidak sudah mempunyai dasar-dasar ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf yang memadai. Pokok bahasan dan penjelasan di dalam kitab Al-Durr al-Nafis nampaknya berangkat dari ilmu tauhid, pengarangnya mendukung aliran tauhid Sunni Al Asyari sambil mengkirtik dan menyanggah aliran Mutazilah dan Jabariyah. Kemudian dia kembangkan tauhid para sufi sambil menolak paham hulul Al Hallaj dan Ittihad Abu Yazid Al Bustami. Di sisi lain dia menjembatani atau memadukan ajaran tasawuf sunni dengan tasawuf filosofis, antara lain dia padukan antara paham wahdatul syuhud dengan paham wahdatul wujud. Hal inilah yang pada akhirnya mengundang pendapat pro dan kontra terhadap ajaran tasawuf dalam karya tulisnya Al-Durr al-Nafis tersebut. Akibat kontroversi, pro dan kontra tersebut setidak-tidaknya menurut Asmaran.AS. ulama yang menilai ajaran tasawuf kitab Al-Durr al-Nafis terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama kelompok yang memandang bahwa kitab Al-Durr al-Nafis adalah kitab tasawuf yang tidak boleh diajarkan, karena dianggap banyak mengandung kesalahan, atau tidak sejalan dengan ajaran tasawuf mazhab ahlussunnah waljamaah. Kedua kelompok yang melihat bahwa karena kitab Al-Durr al-Nafis sebagai kitab tasawuf yang mengandung ajaran tinggi, sebagaimana dikatakan oleh pengarangnya sendiri bahwa hanya ulama yang rasikh (tinggi pengetahuan agamanya) sajalah yang dapat memahami isi dan materi kitab tersebut, maka ia tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang. Karena itulah menurut kelompok kedua ini hanya orangorang tertentu atau mereka yang memenuhi syarat saja yang boleh mempelajari dan membacanya. Kemudian kelompok ketiga berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis mempunyai kedudukan yang sama dengan kitab tasawuf pada umumnya. Karena itu sebagai

salah satu aspek ajaran Islam ia tidak boleh dirahasiakan, setiap orang mukmin boleh mempelajari dan membacanya. Penulis sendiri melihat bahwa adanya kontroversi terhadap isi ajaran tasawuf yang terkandung dalam kitab tersebut merupakan salah satu kekayaan intelektual di antara mereka yang berdebat, selama perbedaan dalam memahaminya bersifat profesional dan proporsonal serta bisa melahirkan gagasan-gagasan baru yang lebih baik dan sempurna. Karenanya dalam menilai permasalahan mengenai keberadaan dan paradigma pemikiran tasawuf Syekh Muhammad Nafis ini ada beberapa hal yang menjadi catatan penulis. Pertama, naskah asli kitab tersebut sampai sekarang masih belum ditemukan sebagaimana pernah dilakukan oleh Ilham Masykuri Hamdi (1989) ketika melacaknya kepada beberapa ulama dan tokoh masyarakat, sehingga naskah yang ada sekarang diragukan keasliannya sebagai tulisan Muhammad Nafis dilihat dari sebagian isinya yang bertentangan dengan paham tasawuf Ahlussunnah wal Jamaah sebagaimana pengakuan Muhammad Nafis bahwa Syafii adalah mazhab fiqihnya, Asyary itiqad tauhid atau ushuluddinnya, Junaidi ikutan tasawufnya, Qadariyah tariqatnya, Satariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya, Khalwatiyah makanannya dan Samaniyah minumannya. Terlebih-lebih lagi selama mengkaji ilmu tasawuf dan tariqat Muhammad Nafis seguru dengan Muhammad Arsyad dan Abdussamad Al Palimbani. Bahkan umumnya penerbit buku Al-Durr al-Nafis selalu mengingatkan bahwa mereka tidak pernah secara langsung menemukan naskah asli yang ditulis oleh Muhammad Nafis sendiri, karenanya tidak mustahil terdapat kekeliruan atau percampuran terhadap isi kitab tersebut. Kedua, seandainya paham dan pemikiran tasawuf Muhammad Nafis adalah Wahdatul Wujud yang mirip dengan tasawuf Hulul Husien Mansur Al Hallaj, konsep tasawuf Al Fana dan Al Baqa atau Al Ittihad Abu Yazid Al Bustami yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun, atau konsep Wahdatul Wujud (unity of existence) Muhyidin Ibnu Arabi yang merupakan bentuk lain dari paham Ittihad, ataukah pula Manunggaling Kawula Gustinya Syekh Siti Jenar, mengapa keberadaan Muhammad Nafis atau bukunya Al-Durr al-Nafis tidak menimbulkan dan memicu terjadinya pergolakan di masanya sebagaimana yang terjadi dengan Abdul Hamid Abulung, Siti Jenar, atau Hamzah Fansuri? Lebih daripada itu sebagaimana penjelasan Ahmadi Isa di atas tasawuf yang dikembangkan oleh Muhammad Nafis tidaklah murni wahdatul wujud, sebagaimana kesimpulan Laily Mansur, tetapi lebih kepada wahdatul syuhud. Ketiga, buku tersebut secara luas telah menjadi rujukan masyarakat dalam memahami ilmu tasawuf ketika itu bahkan sekarangpun di beberapa daerah negara-negara di Asia Tenggara masih dipelajari dan diajarkan secara lisan serta mengalami beberapa kali cetak ulang oleh beberapa penerbitan yang ada di Mekkah, Mesir, Basrah, Singapura, Surabaya, dan mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap upaya pencerahan pemikiran dan spiritual umat, sehingga menurut H. Muhammad Djanawi (Ulama dari HSU Amuntai) orang yang sudah mempelajari ajaran tasawuf dalam kitab ini mereka akan merasa bangga. Namun walaupun menjadi rujukan dan berpengaruh luas terhadap masyarakat Islam diberbagai daerah, terutama di Kalimantan Selatan, namun tidak pernah terbetik adanya berita terhadap pencekalan isi atau larangan pengajarannya oleh pihak kerajaan Banjar baik pada masa pemerintahan Sultan Tahmidillah 1778-1808 M, Sultan Sulaiman 1808-1825 M maupun Sultan Adam Al Watsiq Billah 1825-1857 M dan masa-masa Sultan kerajaan Islam Banjar yang memerintahnya sesudahnya. Kecuali larangan yang dikeluarkan oleh Belanda, karena ketakutan mereka terhadap bangkitnya semangat orang-orang bumi putera dalam berjuang,

berjihad guna mencapai kemerdekaannya. Sehingga mereka berkepentingan sekali untuk menghembuskan isu bahwa mempelajari kitab tasawuf seperti Al-Durr al-Nafis haram hukumnya. Keempat, boleh jadi pasca peristiwa dihukum bunuhnya Syekh Abdul Hamid Abulung (Datu Abulung) yang dipancung karena perkataannya yang menyatakan bahwa syariat yang diajarkan pada masanya adalah kulit dan belum sampai kepada hakikat, untuk itu ia menyatakan statement baru bahwa Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia, tiada aku melainkan Dia, Dialah aku dan aku adalah Dia, serta eksistensi dan luasnya pengaruh buku tasawuf Al-Durr al-Nafis karya syekh Muhammad Nafis ini menjadi salah satu faktor penyebab ditulisnya risalah tasawuf Kanzul Marifah oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary, yang menurut berita pada akhirnya dihadiahkan kepada salah seorang sultan Aceh. Al-Durr al-Nafis dan Martabat 7: Tajuk Asal kitab Durrun Nafis ialah Ad-Dur An-Nafis Fi Bayan Wahidah Al-Af'al wa AlAsma' wa As-Sifat wa Az-Zat Zat At-Taqdis, Ertinya: Permata yang bernilai pada menerangkan keesaan perbuatan, Nama, Sifat dan Zat Allah. Tarikh kitab ini ditulis - tahun hijrah 1200. Martabat pertama daripada segala martabat tanazzul zat itu iaitu martabat AHADIYAH. Maka zahir padanya segala sifat dan asma' tetapi binasa keduanya itu di dalam zat dan iaitu martabat kunhi zat Allah s.w.t. Tiada di atas martabat itu martabat yang lain. Sekalian martabat yang tersebut itu di bawah martabat ini jua. Martabat kedua daripada segala martabat tanazzul zat itu iaitu martabat WAHDAH namanya. Iaitu zahir daripadanya segala sifat dan asma' dengan ijmal yakni perhimpunan iaitulah hakikat nabi kita Muhammad s.a.w. yang iaitu asal daripada segala yang maujud dan hayatnya. Martabat ketiga daripada segala martabat tanazzul zat itu iaitu martabat WAHIDIYAH iaitu zahir padanya segala sifat dan asma' dengan mentafsilkan akan barang yang ada ia mujmal pada hadrat WAHDAH. Pada hadrat WAHIDIYAH ini hasillah khitob dengan ini daripada Allah Taala itu firmannya: INNAHU ANALLAH ertinya bahawasanya Aku Allah. Martabat keempat daripada segala martabat tanazzul zat itu ialah martabat alam AL-ARWAH iaitu sunyi daripada bersusun lagi keadaannya itu terhampar luas iaitulah hakikat segala ruh yang zahir ia atas segala zatnya dan seumpamanya. Martabat kelima daripada segala martabat tanazzul zat itu ialah martabat alam AL-MISAL ertinya segala perkara yang dijadikannya berupa yang halus yang tiada menerima bahagi. Martabat keenam daripada segala martabat tanazzul zat itu ialah martabat alam AL-AJSAD ertinya iaitu segala perkara yang dijadikan berupa lagi kasar yang menerima bahagi. Martabat ketujuh dari segala martabat tanazzul zat (penurunan Zat) itu menghimpunkan bagi segala martabat yang enam dahulu ialah martabat tajalli dan libas (pakaian) yang akhir iaitu martabat INSAN namanya maka inilah tujuh martabat.

SYEIKH ABDUL QADIR JAILANI

Sering kita mendengar tentang nama seorang sufi besar dan ulama besar bernama Syekh Abdul Qodir Jaelani, atau ada yang menyebut Jiilani. Siapakah sebenarnya beliau? Apa yang menjadi pandangan beliau yang jelas tentu tetap berpegang pada junjungan kita Nabi Besar Sayyidina Muhammad SAWberikut informasi dikumpulkan dari berbagai macam sumber Syeikh Abdul Qodir Jaelani (bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani) lahir di Jailan atau Kailan tahun 470 H/1077 M, sehingga diakhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al Jiliydan.(Biaografi beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali). Beliau wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib, pada tanggal 9 Rabiul Akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Masa Muda Beliau meninggalkan tanah kelahiran, dan merantau ke Baghdad pada saat beliau masih muda. Di Baghdad belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra dan juga Abu Saad Al Muharrimi. Beliau belajar sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Suatu ketika Abu Saad Al Mukharrimi membangun sekolah kecil-kecilan di daerah yang bernama

Babul Azaj. Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim disana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang yang ada tersebut. Banyak sudah orang yang bertaubat setelah mendengar nasehat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau, sehingga sekolah itu tidak muat menampungnya. Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama terkenal. Seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Juga Syeikh Qudamah penyusun kitab fiqh terkenal Al Mughni. Perkataan ulama tentang beliau : Syeikh Ibnu Qudamah rahimahullah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir, beliau menjawab, kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu. Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar Alamin NubalaXX/442). Beliau adalah seorang alim. Beraqidah Ahlu Sunnah, mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, thariqah yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Diantaranya dapat diketahui dari perkataan Imam Ibnu Rajab, Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syeikh, baik ulama dan para ahli zuhud. Beliau banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri (Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir Al Lakh-mi Asy Syath-Nufi. Lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya ). Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkaraperkara yang jauh ( dari agama dan akal ), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas. (Seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya.) semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Jafar Al Adfwi (Nama lengkapnya ialah Jafar bin Tsalab bin Jafar bin Ali bin Muthahhar bin Naufal Al Adfawi. Seoarang ulama bermadzhab Syafii. Dilahirkan pada pertengahan bulan Syaban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452.) telah menyebutkan, bahwa Asy Syath-nufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqadah 1415 H / 8 April 1995 M.). Imam Ibnu Rajab juga berkata, Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu

marifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Beliau membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah. Syeikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, Dia (Allah ) di arah atas, berada diatas arsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu. Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadist-hadist, lalu berkata Sepantasnya menetapkan sifat istiwa ( Allah berada diatas arsyNya ) tanpa takwil ( menyimpangkan kepada makna lain ). Dan hal itu merupakan istiwa dzat Allah diatas arsy. (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 515). Ali bin Idris pernah bertanya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, Wahai tuanku, apakah Allah memiliki wali (kekasih ) yang tidak berada di atas aqidah ( Imam ) Ahmad bin Hambal? Maka beliau menjawab, Tidak pernah ada dan tidak akan ada.( At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 516). Perkataan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani tersebut juga dinukilkan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Istiqamah I/86. Semua itu menunjukkan kelurusan aqidahnya dan penghormatan beliau terhadap manhaj Salaf. Samani berkata, Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau. Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar Alamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat. Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.( Siyar XX/451 ). Imam Adz Dzahabi juga berkata, Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak diantara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi. Syeikh Rabi bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, Aku telah mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul Qadir Al Jailani ) didalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidahaqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syiah, Rafidhah,Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf. (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqadah 1415 H / 8 April 1995 M.) Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang alim Salafi, Sunni, tetapi banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu alam bishshawwab.

Kesimpulannya beliau adalah seorang ulama besar. Apabila sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka itu adalah suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah shollallahualaihi wasalam, maka hal ini merupakan kekeliruan yang fatal. Karena Rasulullah shollallahu alaihi wasalam adalah rasul yang paling mulia diantara para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan disisi Allah oleh manusia manapun. Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah ( perantara ) dalam doa mereka, berkeyakinan bahwa doa seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaranya. I Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syariah. Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M. Syeikh Abdul Qadir Jaelani juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah. Awal Kemasyhuran Al-JabaI berkata bahwa Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani juga berkata kepadanya, tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat, dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dan memakai lilin dan obor dan memenuhi tempat tersebut. Kemudian aku dibawa keluar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat disekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali RadhiAllahu anhum. Kemudian Syaikh Abdul Qadir melanjutkan, Aku melihat Rasululloh SAW sebelum dzuhur, beliau berkata kepadaku, anakku, mengapa engkau tidak berbicara ?. Ayahku, bagaimana aku yang non arab ini berbicara di depan orang-orang fasih dari Baghdad?. Beliau berkata, buka mulutmu, lalu beliau meniup 7 kali ke dalam mulutku kemudian berkata, bicaralah dan ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah dan peringatan yang baik. Setelah itu aku shalat dzuhur dan duduk dan mendapati jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga membuatku gemetar. Kemudian aku melihat Ali r.a. datang dan berkata, buka mulutmu. Beliau lalau meniup 6 kali kedalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya mengapa beliau tidak meniup 7 kali seperti yang dilakukan Rasululloh SAW, beliau menjawab bahwa beliau melakukan itu karena rasa hormat beliau kepada RasuluLloh SAW. Kemudian akku berkata, Pikiran, sang penyelam, mencari mutiara marifah dengan menyelami laut hati,

mencampakkannya ke pantai dada , dilelang oleh lidah sang calo, kemudian dibeli dengan permata ketaatan dalam rumah yang diizinkan Allah untuk diangkat. Beliau kemudian menyitir : Idan untuk wanita seperti Laila seorang pria dapat membunuh dirinya, dan menjadikan maut dan siksaan sebagai sesuatu yang manis Dalam beberapa manuskrip saya mendapatkan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata, Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri, kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang. Akupun masuk Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka. sesungguhnya kata suara tersebut ,mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan dirimu. Apa hubungan mereka dengan keselamatan agamaku / keyakinanku tanyaku. Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu jawab suara itu. Akupun menbuat 70 perjanjian dengan Allah. Diantaranya adalah tidak ada seorangpun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah. Suatu ketika saat aku berceramah , aku melihat sebuah cahaya terang benderang mendatangi aku. Apa ini dan ada apa?tanyaku. Rasululloh SAW akan datang menemuimu untuk memberikan selamat jawab sebuah suara. Sinar tersebut makin membesar dan aku mulai masuk dalam kondisi spiritual yang membuatku setengah sadar. Lalu aku melihat RasuLulloh SAW di depan mimbar, mengambang di udara dan memanggilku, wahai Abdul Qadir. Begitu gembiranya aku dengan kedatangan RasuluLloh SAW , aku melangkah naik ke udara menghampirinya. Beliau meniup ke dalam mulutku 7 kali. Kemudian Ali datang dan meniup ke dalam mulutku 3 kali. mengapa engkau tidak melakukan seperti yang dilakukan RasuluLloh SAW? tanyaku kepadanya. sebagai rasa hormatku kepada Rasulullah SAW jawab beliau. RasuluLlah SAW kemudian memakaikan jubah kehormatan kepadaku. apa ini ? tanyaku. ini jawab Rasulullah, adalah jubah kewalianmu dan dikhususkan kepada orang-orang yang mendapat derajad Qutb dalam jenjang kewalian. Setelah itu , akupun tercerahkan dan mulai berceramah. Saat Khidir as. Datang hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan kepada para wali sebelumku, Allah membukakan rahasianya dan apa yang akan di katakannya kepadaku. Aku berkata kepadanya, Wahai Khidir, apabila engkau berkata kepadaku Engkau tidak akan sabar kepadaku, maka aku akan berkata kepadamu Engkau tidak akan sabar kepadaku. Wahai Khidir, Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku termasuk golongan Muhammad, maka inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti sebuah bola dan lapangan, yang ini Muhammad dan yang ini Ar-Rahman, ini kuda berpelana, busur terentang dan pedang terhunus. Al-Khattab pelayan Syaikh Abdul QAdir meriwayatkan bahwa suatu hari ketika beliau sedang berceramah tiba-tiba beliau berjalan naik ke udara dan berkata, Hai orang Israel, dengarkan apa yang dikatakan oleh kaum Muhammad lalu kembali ke tempatnya. Saat ditanya mengenai hal tersebut beliau menjawab, Tadi Abu Abbas Al-Khidir as lewat, maka akupun berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia berhenti.

Guru dan teladan kita Syaikh Abdul Qadir Al-Jilli berkata, seorang Syaikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya yaitu : Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang Sattar (menutup aib) dan Ghaffar (Maha pemaaf). Dua karakter dari RasuluLlah SAW yaitu penyayang dan lembut Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya. Dua karakter dari Umar yaitu amar maruf nahi munkar Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur. Dua karakter dari Ali yaitu aalim (cerdas/intelek) dan pemberani. Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepada beliau dikatakan : Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syaikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan. Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah Syaikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syaikh Al-Junaid mengajarkan standar AlQuran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang Syaikh. Apabila ia tidak hapal AlQuran, tidak menulis dan menghapal Hadits, maka dia tidak pantas untuk diikuti. Menurut saya (penulis buku) yang harus dimiliki seorang Syaikh ketika mendidik seseorang adalah dia menerima si murid untuk Allah, bukan untuk dirinya atau alasan lainnya. selalu menasihati muridnya, mengawasi muridnya dengan pandangan kasih. Lemah lembut kepada muridnya saat sang murid tidak mampu menyelesaikan Riyadhah. Dia juga harus mendidik si murid bagaikan anak sendiri dan orang tua penuh dengan kasih dan kelemah lembutan dalam mendidik anakknya. Oleh karena itu dia selalu memberikan yang paling mudah kepada si murid dan tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya. Dan setelah sang muuriid bersumpah untuk bertobat dan selalu taat kepada Allah baru sang syaikh memberikan yang lebih berat kepadanya. Sesungguhnya baiat bersumber dari hadits RasuluLlah SAW ketika beliau mengambil baiat para sahabatnya. Kemudian dia harus mentalqin si murid dengan zikir lengkap dengan silsilahnya. Sesungguhnya Ali ra. Bertanya kepada RasuluLloh SAW, Yaa Rasulullah, jalan manakah yang terdekat untuk sampai kepada Allah, paling mudah bagi hambanya dan paling afdhal di sisi Nya. RasuluLlah berkata,Ali, hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada Allah dalam khalwat (kontemplasinya). Kemudian Ali ra. Kembali berkata , Hanya demikiankah fadhilah zikir, sedangkan semua orang berzikir. RasuluLlah berkata,Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang yang

mengucapkan Allah Allah. Bagai mana aku berzikir?. Tanya Ali. RasuluLlah bersabda, dengarkan apa yang aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan mendengarkan engkau mengulanginya sebanyak tiga kali pula. Lalu RasuluLlah berkata, Laa ilaaha illallah sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara kjeras. Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama RasuluLlah lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa ilaaha Illallah. Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut. Syaikh Abdul Qadir berkata, Kalimat tauhid akan sulit hadir pasda seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada RasulluLlah oleh Mursyidnya saat menghadapi sakaratil maut. Karena itulah Syaikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi : Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).

Ensiklopedia Nusantara: Ad-Durrah an-Nafisah bahasan tasawuf, guna bahasa beradab


Bersama Wan Mohd Shaghir Abdullah

Kitab dipercayai dikarang Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari SEBUAH kitab tasawuf peringkat tinggi yang cukup terkenal di dunia Melayu yang banyak kali dicetak adalah Ad-Durr an-Nafis karya Syeikh Muhammad Nafis bin Husein al-Banjari. Kitab ini ditulis pada 1200 hijrah/1785 masihi dan dicetak pertama kalinya seratus tahun kemudian iaitu pada 1300 hijrah/1882.

Cetakan pertama ditashhih oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani. Kitab yang saya perkenalkan dalam artikel ini bukan Ad-Durr an-Nafis, tetapi Ad-Durrah an-Nafisah fi Bayan Wahdah fi al-Af'al wa al-Asma' wa ash-Shifat wa az-Zat al-Muqaddasah yang ditulis kira-kira 39 tahun selepas Ad-Durr an-Nafis. Tarikh tepat penulisan mulai waktu Dhuha, Jumaat, 15 Rabiulakhir 1239/19 Disember 1823. Ia selesai ditulis pada tengah malam Isnin, 9 Muharam 1240/3 September 1824. Kitab ini belum pernah diterbitkan dalam bahan cetakan. Manuskrip yang ada hanya sebuah dan ada dalam simpanan saya. Sungguhpun tidak ada nama pengarang, dapat diduga ia adalah karangan Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari. Ia adlah syarah kitab beliau yang berjudul Ad-Durr an-Nafis. Jadi, manuskrip yang sekarang menjadi koleksi peribadi saya adalah asli tulisan tangan Syeikh Muhammad Nafis alBanjari. Sebelum memasuki kandungan Ad-Durrah an-Nafisah, sebagai mukadimah Syeikh Muhammad Nafis bin Husein al-Banjari memperkenalkan dua karya ringkas mengenai tasawuf. Sebuah 18 muka dan satu lagi 14 halaman. Kedua-duanya tanpa judul. Sebuah tanpa tahun dan sebuah lagi selesai penulisan pada malam, 30 Jamadilawal 1235/16 Januari 1820.

Pada mukadimah risalah yang pertama, Syeikh Muhammad Nafis bin Husein al-Banjari menyebut mengenai diri ada empat jenis. Kata beliau: Pertama, diri yang berdiri, iaitu diri jasad atau tubuh badan. Kedua: diri yang terperi. Ketiga, diri yang nyata pada ilmu Allah. Keempat, diri yang sebenar-benar diri. Keempat-empat diri dihuraikan dengan agak panjang menurut kaedah dalam ilmu tasawuf. Kedua-dua risalah yang dianggap sebagai mukadimah Ad-Durrah an-Nafisah, saya tinggalkan dan langsung saja kepada manuskrip yang sedang diperkenalkan. Syeikh Muhammad Nafis bin Husein al-Banjari memulakan bicara dengan katanya: Aku memulai akan risalah ini pada hijrah Nabi SAW seribu dua ratus tiga puluh sembilan tahun, pada tahun Alif, pada lima belas hari bulan Rabiulakhir, yaum al-Jumah, waktu Dhuha, jam pukul dulapan (maksudnya: Jumaat, jam 8 pada 15 Rabiulakhir 1239 pen:) Sebab beliau menulis kitab itu juga dinyatakan dalam mukadimah pada halaman berikutnya. Kata beliau: Kemudian daripada itu, maka tatkala adalah tahun seribu dua ratus tiga puluh lima tahun, daripada tahun hijrah, pada hari yang ketiga puluh cukup, daripada bulan Jamadilawal, (maksudnya: pada 30 Jamadilawal 1235, pen:). Selanjutnya beliau jelaskan: Sanya memintalah kepadaku setengah daripada saudaraku yang telah dibukakan [oleh] Allah hatiku dan hatinya dengan cahaya terang musyahadah, yakni cahaya terang memandang dan mengenal. Beliau jelaskan selanjutnya: "Bahawa itu aku perbuatkan baginya akan suatu risalah yang simpan (maksudnya: yang ringkas) perkataannya dengan bahasa Jawi-Melayu yang lemah lembut... Barangkali oleh kerana kandungan keseluruhan Ad-Durrah an-Nafisah adalah tasawuf peringkat tinggi, maka diperlukan bahasa yang beradab. Itulah yang dimaksudkannya dengan bahasa JawiMelayu yang lemah lembut bukan bahasa Melayu yang kasar, yang tiada beradab atau tiada berakhlak atau boleh juga dikatakan tiada berbudi bahasa. Sebelum memasuki bahasan tasawuf, Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari terlebih dulu membicarakan mazhab dalam akidah. Megenai perkara ini ada yang beliau bicarakan dalam Ad-Durr an-Nafis. Tetapi, selepas dibanding ternyata dalam manuskrip Ad-Durrah an-Nafisah penambahan dan bahasan jauh lebih banyak serta perbicaraan jauh lebih luas dan mendalam. Mengenai dua mazhab iaitu Qadariyah dan Jabariyah tidak banyak tambahan, tetapi mengenai mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah dalam Ad-Durrah an-Nafisah ada tambahan yang sangat banyak. Dalil mengenai mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah, beliau jelaskan ketika turun ayat al-Quran mengenai kaum yang kasih kepada Allah salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah. Nabi menjawab dan menunjuk sahabat Baginda, Abu Musa al-Asy'ari. Manakala muncul keturunan beliau, iaitu Imam Abu Hasan al-Asy'ari, maka sepakatlah ulama bahawa Imam Abu Hasan al-Asy'ari R.A adalah imam mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah. Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari menyebut pula, mazhab yang berpegang kepada iktikad Imam al-Asy'ari ini, iaitu Imam Malik ibnu Anas dan Imam Muhammad anak Idris Syafie. Maka, mazhab Imam Abu Hanifah ibnu Tsabit dan Imam Ahmad ibnu Hanbal itu adalah mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah yang pada iktikad itu, iaitu Imam Abu Manshur Maturidi.

Selepas membicarakan tiga mazhab di atas, Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari membahas pula mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah golongan Ahl al-Kasyaf dan Musyahadah. Walaupun karya Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari judul Ad-Durr an-Nafis yang pernah dicetak berlaku kontroversi dengan beberapa tokoh ahli zahir, namun bagi saya Ad-Durrah an-Nafisah yang juga syarah Ad-Durr an-Nafis mesti diperkenalkan. Kedua-dua kandungan kitab itu tidak salah menurut ulama ahli sufi.

- dipetik dari Berita Harian, Selasa 27hb. Disember. 2005

Anda mungkin juga menyukai