Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN Sejak menjadi Negara net importer minyak untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri kedaulatan energy

nasional dari sisi supply dan harga menjadi sangat rawan. cadangan energy kita sekarang hanya sanggup untuk 21 hari saja. Saat ini ketegangan di Selat Hormuz yang dapat menjurus terjadinya perang menurut beberapa pengamat akan melambungkan harga minyak dunia pada level yang mengerikan bagi kemampuan fiscal Negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Sementara sumber energy di luar minyak, baik gas dan batubara posisi saat ini lebih banyak diekspor dibandingkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Maka tidak heran jika pembangkit listrik, industry petro kimia, dan industry lainnya di dalam negeri sangat kekurangan pasokan gas. Dengan demikian setiap saat harga minyak dunia mengalami kenaikan kebijakan konversi energy sudah dipastikan akan mandul karena sumber energy lainnya juga langka pasokan. Akibatnya menaikan harga BBM masyarakat merupakan kebijakan pragmatis meski harus menghadapi gejolak social di masyarakat. Kedaulatan energy dapat dicerminkan dari kemampuan Negara mencadangkan energinya dalam mengantisipasi hal-hal yang bersifat diluar kebiasaan. Sayangnya cadangan minyak kita hanya mampu untuk 21 hari saja. Bayangkan jika depo plumpang atau kilang di plaju berhenti karena sesuatu hal maka Jakarta akan lumpuh. Betapa seriusnya masalah kedaulatan energy kita saat ini. Sejak awal kemerdekaan para pendiri republic Indonesia sudah menyadari betapa pentingnya kedaulatan Indonesia yang berarti pula adalah kedaulatan energy bagi Negara kita. Energi adalah untuk gerak, menggerakan seluruh sector kehidupan bagi pembangunan Indonesia. Tidak heran negaranegara lain di dunia begitu terobsesi dengan penguasaan energy di Negara lainnya. Kolonialisme, penguasaan energy memlalui perusahaan, mengatur pasar merupakan cara-cara penguasaan ini. Menguasai energy berarti menguasai dunia. China dan Amerika Serikat adalah contoh Negara yang paling getol mencadangkan energy dengan mengimpor kebutuhan energy dari luar negeri sementara kekayaan energynya tetap disimpan. Baru sekarang, selama 40 tahun Amerika Serikat melakukan ekspor minyak disaat harga minyak dunia melambung tinggi.

PERJALANAN REGULASI DI BIDANG ENERGI Pada awal kemerdekaan, penguasaan sumberdaya alam dikuasai oleh penjajah dan perusahaan asing. Bung Karno menyadari betapa sumberdaya alam energy adalah yang paling diinginkan Negara-negara asing. Betapa strategisnya sector energy sehingga Bung Karno memerintahkan Djuanda untuk menyusun regulasi Nasionalisasi sumberdaya alam dari perusahaan-perusahaan Asing. Adalah Tengku Mohammad Hassan, sebagai ketua Komisi Perdagangan dan Industri DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara), pada tahun 1951 mengadakan suatu penelitian yang akhirnya menyimpulkan dua hal penting: Pertama, terdapat alasan kuat bahwa jika dilakukan nasionalisasi, hasil minyak Sumatera Utara bisa dipakai sebagai alat pembayaran. Kedua, Indonesia tidak memperoleh bagian yang wajar dari perusahaan minyak asing berdasarkan Let Alone Agreement dan sistem

pembayaran pajak yang berlaku. Penelitiannya juga membawa terhadap sebuah Mosi mengenai usaha pertambangan yang sesuai dengan jiwa pasal 33 UUD 1945 yang disetujui oleh Kabinet secara Aklamasi. Pemerintah memenuhi Mosi tersebut dengan membentuk Panitia Negara Urusan Pertambangan (PNUP)yang bertugas menyelidiki masalah-masalah pertambangan termasuk pertambangan minyak dan gas bumi dan menyusun rancangan undang-undang untuk menggantikan IMW 1899. Akhirnya babak baru pengelolaan pertambangan yang sesuai dengan jiwa pasal 33 UUD 1945 dimulai dengan dikeluarkannya UU Nomor 37 Prp. Tahun 1960 Tentang Pertambangan Umum dan UU Nomor 44.Prp. 1960 tentang Usaha Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Kedua UU ini memberikan landasan yang kuat dan penegasan akan arti kekayaan alam dikuasai oleh Negara dalam pasal 33 UUD 1945 bukan hanya sebatas regulasi tetapi juga mutlak berarti kepemilikan. Kedua UU ini juga menunjukan bahwa Negara berdaulat atas sumberdaya alam strategis termasuk energy. Seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan politik dalam negeri, kekuatan modal asing tidak pernah berhenti untuk merebut kembali penguasaan sumberdaya alam Indonesia. Pada era perubahan Orde Lama menjadi Orde Baru , perusahaan asing telah berhasil mengganti UU No.37 Prp. Tahun 1960 Tentang Usaha Pertambangan Umum yang berdaulat menjadi UU Nomor 11 Tahun 1967, sehingga pemerintah secara regulasi sengaja menyerahkan kedaulatan pengelolaan usaha pertambangan umum kepada perusahaan tambang asing. Dalam UU yang baru ini, Negara hanya menguasai mineral right, namun mining right dan economic right diserahkan kepada perusahaan asing. Sehingga pemilikan atas cadangan pertambangan umum menjadi genggaman perusahan swasta. Maka tidak heran jika sekarang PT Freeport, PT INCO, PT Newmont, PT Arutmin mengalahkan PT Aneka Tambang, PT Timah, PT Bukit Asam. Maka tidak heran pula jika sekarang keinginan pemerintah untuk melakukan renegoisasi pertambangan umum menjadi sangat sulit dan tidak kunjung selesai. Di sector migas, UU No.44 Prp. tahun 1960 telah dirubah pada era reformasi menjadi UU No. 22 Tahun 2001 Tentng Minyak dan Gas Bumi. Sekali lagi, kedaulatan energy telah diserahkan kepada pihak asing dan swasta secara lebih halus. UU ini merubah economic right dari BUMN kepada lembaga pemerintah (Badab Hukum Negara) sehingga merubah prinsip pengelolaan usaha dengan MOC dari business to business menjadi government to business. Konsekuensinya adalah pemerintah tidak memiliki soveregnity atas claim arbitrase internasional sehingga semua kebijakan lembaga pemerintah merupakan objek claim arbitrase internasional. UU ini juga telah memposisikan BUMN Pertamina sejajar dengan MOC atau swasta, memisahkan usaha pertamina menjadi usaha hulu dan hilir, serta liberalisasi sector hilir migas yang bisa kita saksikan secara langsung keberadaannya di jalan-jalan.

REVITALISASI PASAL 33 UUD 1945 Regulasi di sector pertambangan dan energy telah terbukti menjauhkan Negara Indonesia untuk berdaulat atas sektor tersebut. Pemahaman pasal 33 UUD 1945 telah diartikan abu-abu mengenai prinsip dikuasai tidak berarti memiliki sehingga mining right dan economic right telah diserahkan kepada pihak asing dan swasta. Oleh karena itu sulit sekali bagi Indonesia untuk membentuk struktur modal dari kekayaan sumberdaya alam dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Padahal sekarang ini peta investasi global telah berubah banyak negara-negara kaya di Timur Tengah, China, Rusia, singapura menggunakan struktur modal nasional dan membentuk apa yang dinamakan Sovereign Wealth Fund (SWF) sebuah struktur modal nasional yang digunakan untuk mengakuisisi banyak perusahaan di negara asing. Mengembalikan pemahaman pasal 33 UUD 1945, dikuasai dan berarti dimiliki Negara menjadi keharusan karena para pendiri bangsa sudah meyakini dan melakukannya. Kedaulatan atas sumberdaya alam dan energy sebagai modal dasar untuk sebesar-besarnya kemakmuran bangsa. Kedaulatan atas sumberdaya alam khusus nya energy haruslah menjadikan perusahaan Negara menjadi kuat dan berkembang. Cadangan dan produksi kekayaan alam yang menjadi milik perusahaan Negara harus dijadikan leverage. Seandainya cadangan migas, emas, batubara menjadi asset Negara dan menjadi laverage financing akan merubah system keuangan Negara yang tadinya menganut spending budget menjadi financing budget maka, terdapat kebebasan pemerintah dan pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan berdasarkan kekayaan alam yang dimiliki. Dengan demikian revitalisasi jiwa pasal 33 UUD 1945 tidak saja akan melepaskan kita dari ketergantungan sumberdaya energy pada pihak asing yang berarti berdaulat tetapi juga memperbesar kekayaan nasional untuk kepentingan bangsa dan Negara melalui perusahaan Negara dan perusahaan daerah yang kuat. Semoga.

Dalam kesimpulan yang diajukan ke MK, para pemohon sempat menyampaikan fakta bahwa saat ini peta investasi global sudah telah berubah. Dana-dana mi l ik negara seni lai total $ 2,8 trilyun dari China, Timur Tengah, dan negara-negara lain didunia yang mengubahnya. Laponn dalam Business Week Indonesia No. 31, 28 November 2007 memuat betapa dalam dunia f inansial saat ini badan usaha mi l ik negara Rusia, China, negara-negara di Teluk Persia (Arab Saudi, Kuwait, Qatar), Singapura, telah mengumpulkan kekayaan dari ekspor minyak, gas, atau produk-produk manufaktur. Fakta tersebut, menurut Morgan Stanley, secara keseluruhan, lembaga-lembaga milik negara tersebut, saat ini mengendalikan lebih banyak dana tunai daripada total gabungan dana lindung ni lai dunia: $2,8 t r i l iun dibanding $1,7 t r i l iun .Pada2007, diperki rakan angka i tu dapat mencapai $8 triliun. Pesan apa yang hendak disampaikan? Amerika dan Eropa sekalipun khawatir terhadap rencana negara-negara tersebut, utamanya terhadap Rusia (Gazprom), China (Gao Xiqing, Bank of

Chlna) dan negara-negara di Timur Tengah. Jack Ewing Business Week dalam laporannya menyatakan:

banyak negara-negara kaya seperti Dubai, Arab Saudi, Cina dan Singapura menggunakan struktur modal nasional dan membentuk apa yang dinamakan Sovereign Wealth Fund (SWF) sebuah struktur modal nasional yang digunakan untuk mengakuisisi banyak perusahaan di negara asing, salah satunya apa yang dilakukan Temasek dengan menguasai saham Indosat.

Tidak heran kalau Dirjen Pajak beberapa waktu yang lalu menyampaikan ke media alangkah bodohnya jika perusahaan migas asing tidak berbuat curang dalam laporannya karena memang tidak pernah diperiksa. Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany mengaku tak percaya terhadap produksi (lifting) minyak yang berasal dari laporan perusahaan minyak offshore maupun onshore. Hal ini karena hingga sampai saat ini pemerintah tidak memeriksanya, jadi bodoh dan konyol jika perusahaan minyak tidak curang atau memainka data produksi.
Hasan, dalam pidatonya mengenai mosi tersebut mengatakan bahwa kelompok Tiga [8] Besar (Shell, Stanvac dan Caltex) pada hakekatnya menerima lima kali lebih banyak dari pada yang dilaporkannya. Ia berpendapat bahwa hal itu disengaja agar harga minyak mentah lebih murah dari yang semestinya, dan sebagai bukti dia mengutip sebuah penawaran dari suatu kelompok perusahaan minyak Jepang yang bersedia membayar minyak mentah Rp.950 per ton, dibandingkan dengan Rp.100 per ton yang dilaporkan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia dalam kaitannya dengan pembayaran pajak. Kedua, menurut Mr. T. M Hasan, perusahaan-perusahaan minyak itu dengan sengaja mempertinggi ongkos operasinya secara tidak wajar. Yang menarik di sini adalah pembicaraan yang dilakukan oleh Hasan dengan para pejabat perusahaan minyak asing tidak lama setelah isi mosi itu diumumkan. Mereka mengusulkan pembagian keuntungan berdasarkan pola 50:50. Hal ini dijawab Hasan bahwa dengan pola demikian dikhawatirkan biaya operasi akan bisa di mark-up menjadi lebih tinggi. Ia kemudian mengajukan usul balasan agar hasil produksi minyak di Indonesia dibagi saja antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan minyak asing atas dasar sama banyak. Usulan Hasan tersebut membuat para bos perusahaan minyak asing tercengang [9][10] dan tidak berani bersuara. . Efek dari mosi ini adalah dibentuknya Panitia Negara Urusan Pertambangan (PNUP), dan [11] pada Maret 1956 Mr. T.M. Hasan ditunjuk sebagai ketua , dan berhasil menasionalisasi beberapa perusahan minyak asing menjadi Permina (1957) dan Pertamin (1961). Kedua perusahaan ini pada [12] [13] tahun 1968 digabung menjadi Pertamina. .

dikuasai dan dimiliki.

menyimpan potensi energy dalam negeri dan mengimpor energi yang menginginkan komoditas Pemikiran inilah yang mendorong Tengku Mohammad Hassan

Kapitalisasi energi dan dominasi asing merupakan permasalahan penting di bidang energi di negaranegara Dunia Ketiga. Penguasaan bidang energi oleh korporasi-korporasi besar telah menimbulkan persoalan yang tidak sebatas kepada bidang energi dan teknologi energi itu sendiri. Tetapi juga merambah kepada kehidupan sosial budaya dan kemasyarakatan. Sebut saja kasus kontrak karya yang rumit, kebocoran subsidi BBM, kasus Freeport yang menjadi pembahasan dunia, hingga kasus pertambangan di Bima. Kesemuanya itu merupakan sebagian kisah dari serangkaian kerapuhan bidang energi di Indonesia.

Kedaulatan energi merupakan mimpi yang tak kunjung terealisasi. Perkembangan demokrasi di Indonesia ternyata tidak berbanding lurus dengan pembangunan kedaulatan energi nasional. Pemanfaatan energi dewasa ini masih memperhitungkan faktor modal. Siapa yang memiliki kapital, dialah yang berkuasa. Menurut Ikhsanuddin Nursi, 95% sektor Minyak Bumi dan Gas Alam (MIGAS) Indonesia dikuasai oleh asing. Bahkan 44% porsi Migas Nasional dikuasai oleh Chevron yang notabenenya adalah korporasi asing. Sedangkan Pertamina hanya menguasai 16% saja. Sisanya 40% lagi dikuasai oleh perusahaan asing lainnya, seperti Total E&P (10%), Conoco Phillips (8%), Medco Energy (6%), China National Offshore Oil Corporation (5%), China National Petroleum Corporations (2%), dan British Petroleum, Vico Indonesia, serta Kodeco Energy (masing-masing 1%). Dengan kata lain, Pertamina malah dianak-tirikan di negeri sendiri. Belum lagi soal penguasaan blok-blok strategis energi. Blok Cepu misalnya yang diserahi kekuasaannya kepada ExxonMobile.

Energi yang merupakan jantung peradaban memiliki posisi kunci untuk mempertahankan hegemoni Barat. Peran vital energi ini melahirkan perebutan dan penguasaan. Kisah tragis Libya dan Irak sejatinya adalah upaya Amerika Serikat untuk menguasai tambang-tambang energi di kedua negara itu. Barat tentu masih ingat, selepas perang Arab-Israel negara-negara Arab dengan kekuatan energinya telah merusak tatanan kehidupan di belahan bumi mereka.

CONTOH MASALAH PERKEMBANGAN REGULASI SDA ENERGI

Pada tahun 1951, sebagai ketua Komisi Perdagangan dan Industri DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara), Mr. T. M Hasan mengadakan suatu penelitian yang akhirnya menyimpulkan dua hal penting: 1. Terdapat alasan kuat bahwa jika dilakukan nasionalisasi, hasil minyak Sumatera Utara bisa dipakai sebagai alat pembayaran. 2. Indonesia tidak memperoleh bagian yang wajar dari perusahaan minyak asing berdasarkan Let Alone Agreement dan sistem pembayaran pajak yang berlaku. Hasil penelitiannya tersebut kemudian diusulkan dalam sebuah mosi yang didukung oleh kabinet dan diterima secara aklamasi pada tanggal2 Agustus 1951. Mosi tersebut berbunyi antara lain : 1. Mendesak kepada pemerintah untuk dalam jangka waktu satu bulan membentuk sebuah Komisi Negara tentang masalah minyak, dengan tugas: 1. Segera melakukan penyelidikan terhadap masalah pengolahan minyak, timah, batu bara, emas, perak, dan hasil tambang lainnya. 2. Membuat rencana undang-undang perminyakan yang serasi dengan keadaan yang berlaku sekarang. 3. Membantu pemerintah dengan usul-usul pendapat mengenai sikap yang patut diambil pemerintah berkenaan dengan status tambang minyak di Sumatera Utara pada khususnya dan pertambangan lain pada umumnya. 4. Membantu pemerintah dengan usul-usul pertambangan di Indonesia. 5. Membantu pemerintah dengan usul-usul pendapat mengenai pajak produksi bahan minyak dan ketentuan harga. 6. Mengajukan usul-usul lain berkenaan dengan masalah pertambangan guna meningkatkan penghasilan negara, menyelesaikan tugasnya dalam waktu tiga bulan dan menyerahkannya kepada pemerintah dan parlemen. 2. Mendesak kepada pemerintah supaya menunda pemberian konsesi dan izin eksplorasi baru sampai tugas yang diberikan kepada Komisi Negara tentang masalah pertambangan selesai. Dalam mosi tersebut juga diusulkan agar pemerintah dalam waktu singkat meninjau kembali Indische Mijn Wet 1899, undang-undang kolonial yang masih tetap dipakai sebagai dasar pengelolaan minyak di [6] Indonesia. IMW dianggap tidak sesuai lagi dengan azas-azas pokok pemikiran bangsa Indonesia . Untuk memenuhi mosi tersebut pada tanggal 13 September 1951 pemerintah membentuk Panitia Negara Urusan Pertambangan (PNUP)yang bertugas menyelidiki masalah-masalah pertambangan termasuk pertambangan minyak dan gas bumi dan menyusun rancangan undang-undang untuk menggantikan [7] IMW 1899 .
[5]

Membaca sejarah, sejak UUD 1945 berlaku, pemerintah saat itu, dengan semangat antipenjajahan, mengambil alih semua perusahaan-perusahaan migas Asing, disejumlah wilayah, termasuk Sumatera lJtara, Jambi, Sumatera Selatan, Cepu dan Kalimantan. Selanjutnya, dibentuklah 3 perusahaan migas milik negara PT MNRI, PERMIRI dan PTMN - yang keraudian berubah menjadi PT PERMINA, PT PERTAMIN dan PT PERMIGAN, dan pada 1968 bergabung menjadi PN PERTAMINA. Bahkan, hasil persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, yang meminta pengembalian ke perusahaan migas Asing, tidak pemah dijalankan oleh Pemerintah RI. Pada 1950, muncul resolusi Tengku Mohamad Hassan di DPR, dengan tegas, tidak akan mengembalikan ke pihak Asing atau Belanda, dan tetap akan dikuasasi oleh negara. Kemudian, lahir UU No 8/1971 yang memberikan kuasa pertambangan kepada Pertamina untuk menyelenggarakan semua kegiatan usaha perminyakan - yang berkesesuaian dengan jiwa dan semangat Pasal 33 ayat (1) , (2) dan (3) . Dalam penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan UUD 1945, dinyatakan, "hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ditangan orang seorang". Norma hukum tersebut, oleh UU No 2212001, dihancurluluhkan, yang mengatur sistem konsensi - yang mirip dengan sistem yang diberlakukan penjajah Hindia Belanda. Dalam sistem konsensi ini, wewenang sesungguhnya atas produksi migas di Indonesia, berada ditangan perusahaan orang seorang, termasuk MNC/TNCS yang menjalankan BU (Badan Usaha) dan BUT (Badan Usaha Tetap), seperti diatur dalam Pasal I angka 5 UU Migas. Faktanya, penyerahan kuasa pertambangan kepada perusahaan orang seorang menghilangkan kendali negara untuk mengatur kegiatan pengelolaan dan pengusahaan migas disektor hulu. Selanjutnya, Pasal 23 ayat (1) juga memberikan kesempatan bagi perusahaan orang seorang untuk menguasai sektor hilir' Tidak

berlebihan, filosofi y*g *"iutu, belakangi UUfuigas ZOOf yat<ni kepemilikan investasi Asing dan swasta dan persaing"* btbut, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 ayat (3)' Di awal-awal berdirinya RI, UU Nomor 44lPtpll960 dan selanjutnya ditegaskan dalam UU No 8llg7l. dengan tegas dinyatakan, negatu ..-iliki kuasa pertambangan atas bahan galian, yang mel iput i ekplorasi , eksploi tasi , pengangkutan, pomumian/pengolahan, da1 dist r ibusi /pemasaran' Untuk endapan migas, pelaksanaan pertambangan migas juga hanya diusahakan oleh negara' dan dilakukan oleh perusahian negara yang diberi kuasa pertambangan oleh negara'.

REVITALISASI PASAL 33 UUD 1945 Dalam kesimpulan yang diajukan ke MK, para pemohon sempat menyampaikan fakta bahwa saat ini peta investasi global sudah telah berubah. Dana-dana mi l ik negara seni lai total $ 2,8 trilyun dari China, Timur Tengah, dan negara-negara lain didunia yang mengubahnya. Laponn dalam Business Week Indonesia No. 31, 28 November 2007 memuat betapa dalam dunia f inansial saat ini badan usaha mi l ik negara Rusia, China, negara-negara di Teluk Persia (Arab Saudi, Kuwait, Qatar), Singapura, telah mengumpulkan kekayaan dari ekspor minyak, gas, atau produk-produk manufaktur. Fakta tersebut, menurut Morgan Stanley, secara keseluruhan, lembaga-lembaga milik negara tersebut, saat ini mengendalikan lebih banyak dana tunai daripada total gabungan dana lindung ni lai dunia: $2,8 t r i l iun dibanding $1,7 t r i l iun .Pada2007, diperki rakan angka i tu dapat mencapai $8 triliun. Pesan apa yang hendak disampaikan? Amerika dan Eropa sekalipun khawatir terhadap rencana negara-negara tersebut, utamanya terhadap Rusia (Gazprom), China (Gao Xiqing, Bank of

Chlna) dan negara-negara di Timur Tengah. Jack Ewing Business Week dalam laporannya menyatakan:

banyak negara-negara kaya seperti Dubai, Arab Saudi, Cina dan Singapura menggunakan struktur modal nasional dan membentuk apa yang dinamakan Sovereign Wealth Fund (SWF) sebuah struktur modal nasional yang digunakan untuk mengakuisisi banyak perusahaan di negara asing, salah satunya apa yang dilakukan Temasek dengan menguasai saham Indosat.

Tidak heran kalau Dirjen Pajak beberapa waktu yang lalu menyampaikan ke media alangkah bodohnya jika perusahaan migas asing tidak berbuat curang dalam laporannya karena memang tidak pernah diperiksa. Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany mengaku tak percaya terhadap produksi (lifting) minyak yang berasal dari laporan perusahaan minyak offshore maupun onshore. Hal ini karena hingga sampai saat ini pemerintah tidak memeriksanya, jadi bodoh dan konyol jika perusahaan minyak tidak curang atau memainka data produksi.
Hasan, dalam pidatonya mengenai mosi tersebut mengatakan bahwa kelompok Tiga [8] Besar (Shell, Stanvac dan Caltex) pada hakekatnya menerima lima kali lebih banyak dari pada yang dilaporkannya. Ia berpendapat bahwa hal itu disengaja agar harga minyak mentah lebih murah dari yang semestinya, dan sebagai bukti dia mengutip sebuah penawaran dari suatu kelompok perusahaan minyak Jepang yang bersedia membayar minyak mentah Rp.950 per ton, dibandingkan dengan Rp.100 per ton yang dilaporkan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia dalam kaitannya dengan pembayaran pajak. Kedua, menurut Mr. T. M Hasan, perusahaan-perusahaan minyak itu dengan sengaja mempertinggi ongkos operasinya secara tidak wajar. Yang menarik di sini adalah pembicaraan yang dilakukan oleh Hasan dengan para pejabat perusahaan minyak asing tidak lama setelah isi mosi itu diumumkan. Mereka mengusulkan pembagian keuntungan berdasarkan pola 50:50. Hal ini dijawab Hasan bahwa dengan pola demikian dikhawatirkan biaya operasi akan bisa di mark-up menjadi lebih tinggi. Ia kemudian mengajukan usul balasan agar hasil produksi minyak di Indonesia dibagi saja antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan minyak asing atas dasar sama banyak. Usulan Hasan tersebut membuat para bos perusahaan minyak asing tercengang [9][10] dan tidak berani bersuara. . Efek dari mosi ini adalah dibentuknya Panitia Negara Urusan Pertambangan (PNUP), dan [11] pada Maret 1956 Mr. T.M. Hasan ditunjuk sebagai ketua , dan berhasil menasionalisasi beberapa perusahan minyak asing menjadi Permina (1957) dan Pertamin (1961). Kedua perusahaan ini pada [12] [13] tahun 1968 digabung menjadi Pertamina. .

dikuasai dan dimiliki.

PENGELOLAAN KEDEPAN mengembalikan kedaulatan energy kita. migas dan pertambangan dan kaitannya dengan otonomi daerah.

Tanah air Indonesia adalah tanah air yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang sangat besar dan melimpah. Terbukti bahwa Indonesia merupakan produsen Timah nomer satu di dunia, batubara nomer tiga di dunia, nikel nomer lima di dunia, emas nomer tujuh di dunia, minyak bumi sempat terbesar di asia tenggara dan gas alam cair sebesar 35 % di dunia.

Namun semua posisi istimewa di atas bertolak belakang dengan ukuran kemakmuaran Negara kita di dunia. Pendapatan per kapita penduduk Indonesia adalah nomer 158 di dunia. 17 % penduduk Indonesia digolongkan miskin. Pendidikan dan kesehatan masih merupakan barang mahal. APBN selalu deficit.

Anda mungkin juga menyukai