tersapu bias cahaya mentari sore, dan di ufuk barat, kau pasti sudah tahu, mentari sedang sibuk mempersiapkan tempat istirahat ketika bulan menggantikan tugasnya, namun, tahukah kamu, sesungguhnya mentari enggan bercengkrama lebih lama dengan tempat istirahatnya, dia selalu hadir di kala ayam sedang bersimfoni dengan kokokannya dan larut pergi kala burung-burung pentet sibuk menggurat ringkih sarangnya. Dan bulan, walau dengan sinarnya yang tak seterang mentari, mampu member ketenangan bagiku, karna hanya dengan sinarnya jalan yang terbentang di depanku serasa lebih damai dan nyaman untuk dilewati, walau terkadang aku pun masih tak mampu membelah jalanan di depanku dengan baik, ya, apalagi kalau bulan bersembunyi di balik awan, mungkin aku takkan pernah menyempatkan kakiku untuk melintas di atas jalanan itu. Jalanan itu, jalanan yang tak lagi sama, dulu, kanan kiri mata memandang, hijau sawah masih terbentang luas dan kupu-kupu masih terbang dengan bebasnya, tak hanya seekor dua ekor, mungkin ratusan ekor kupu-kupu yang transit melewati jalalan ini, namun kini, tak ada lagi anak-anak yang membawa toples makanan kosong di tangan kiri dan jarring kupu-kupu di tangan kanan berlarian kesana kemari menangkap kupu-kupu dan capung yang sedang bercinta di udara bebas jalanan ini, ya, aku masih mengingat masa kanakku dulu, beda dengan sekarang, kanan kiri mata memandang hanya tanah lapang kosong dan beberapa bangunan perumahan yang masih kinyis-kinyis mengganti sawah nan hijau tersebut, aah, sungguh aku merindukan kupu-kupu terbang dan anak-anak berlarian mengejarnya, bahkan mungkin, anak-anakpun harus berguling-guling untuk menangkap kupu-kupu.
Jalanan itu, kini tak lagi kuat menahan berton-ton beban yang naik di atas pundaknya, truk, mobil dan motor silih berganti melukai tubuhnya yang mungkin sudah puluhan tahun tak terawat itu, padahal, dulu, hanya pedati dan pit onthel yang melewatinya, itupun dengan laju yang pelan, karena orang tak ingin melukai tubuh rentan sang jalanan, kini, jalanan itu semakin ringkih dan luka, lobang-lobang menganga, tak sedikitpun luka itu diobati, bahkan untuk dilihapun tak pernah, hanya sumpah serapah mereka yang berleha-leha di atas kuda besi yang menghardik jalan ini, kenapa kau berlobang?? Kenapa kau bla bla bla.. sungguh ironis sekali, tak kasihankah kau dengan pohon yang terbatuk terkena asap dari kuda besimu?? Mereka tak lagi hijau, mungkin paru-paru sang pohon sedang terdesak, dan nafasnya terngal-engal, salah siapa?? Kenapa kupu-kupu terbang dan tak kembali ke jalanan ini?? Kenapa tak ada yang peduli dengan luka jalanan ini?? Dan kenapa pohon pun harus terbatuk-batuk menahan laju kuda besi?? Ahh sudah memang iklim sudah berubah, amnesia sudah banyak yang mau enaknya sendiri, tak mau introspekis, biarlah jalanan ini jadi saksi untuk mereka dalam kebisuannya..