Anda di halaman 1dari 7

Artikel Penelitian

Skoring Psikopatologi dan Faktor yang Berhubungan pada Perempuan Usia Perimenopause

Felix Liauw,* Fitria Amalia Umar,* Florentinus Hendrianto,* Habsyiyah Idrus,* Helena Shinta Pinontoan,* Indah Suci Widyahening,** JM Seno Adjie***
*Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia **Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ***Departemen Obstetri & Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Abstrak: Usia 40-55 tahun merupakan usia wanita mengalami masa perimenopause. Pada masa itu terjadi perubahan kadar hormon reproduksi yang dapat menyebabkan berbagai perubahan fisik dan psikis (gejala psikopatologi). Perubahan psikis tersebut dapat pula disebabkan oleh faktor stresor psikososial. Seperti umumnya wanita usia perimenopause, perawat wanita dalam kisaran usia tersebut juga dapat mengalami berbagai gejala psikopatologi. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas pelayanan para perawat di tempat kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui skoring psikopatologi (menurut SCL-90) yang dialami perawat wanita usia perimenopause dan faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala psikopatologi tersebut. Penelitian ini menggunakan rancangan cross-sectional dengan subyek perawat di unit rawat jalan dan rawat inap RS X. Setiap responden mengisi data umum, kuesioner SCL-90, dan kuesioner skala Holmes-Rahe; semua kuesioner diisi sendiri oleh responden (self-administered). Dari total 59 responden, 18,6% subyek mengalami gejala psikopatologi. Didapatkan hubungan antara faktor stresor psikososial dengan terjadinya psikopatologi pada perawat usia 40-55 tahun (p=0,005; OR 12,9; 95%CI 1,5-108,6). Faktor lain yang juga mempunyai hubungan bermakna dengan gejala psikopatologi adalah usia (p=0,041; OR 7,8; 95%CI 0,965,7), lama bekerja (p=0,015; OR 6,0; 95%CI 1,5-24,6), jumlah perawat dalam satu kali shift (p=0,046; OR 4,4; 95%CI 1,0-18,9). Disimpulkan faktor psikososial, usia, dan faktor pekerjaan (lama bekerja dan jumlah perawat dalam satu kali shift) adalah faktor yang berperan dalam terjadinya gejala psikopatologi pada perawat berusia 40-55 tahun. Kata kunci: patologi, stresor psikososial

146

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 3, Mei 2007

Skoring Psikopatologi pada Perempuan Usia Perimenopause

Psychopathology Scoring and its Corresponding Factors Among Women in Perimenopause Age

Felix Liauw,* Fitria Amalia Umar,* Florentinus Hendrianto,* Habsyiyah Idrus,* Helena Shinta Pinontoan,* Indah Suci Widyahening,** JM Seno Adjie***
*Faculty of Medicine, University of Indonesia **Department of Community Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia ***Department of Obstetric & Gynecology, Faculty of Medicine, University of Indonesia

Abstract: Women in their 40-55 years age experience perimenopause. In this period, disturbance of reproductive hormones occurs, which can cause many physical and psychological changes. Those psychological changes (psychopathologic) can also be caused by psychosocial stressor factors. Female nurses in perimenopause age also have various psychopathology symptoms, which might affect their quality of service at work. Therefore, the aim of this study was to know the distribution of psychopathology scores (according to SCL-90) and the related factors among nurses in perimenopause age. A cross-sectional study was conducted among nurses in polyclinics and wards at X Hospital. Subjects were recruited with consecutive sampling method. All subjects filled in questionnaire on socio-demographic information, SCL-90 questionnaire, and Holmes-Rahe scale questionnaire by them selves (self-administered). Of 59 subjects, 18.6% had psychopathologic symptoms. There was an association between psychosocial stressor and the number of psychopathologic symptoms among nurses age 40-55 years (p=0.005, OR 12.9, 95%CI 1.5 to 108.6). Other factors that showed significant association with psychopathologic symptoms were age (p=0.041, OR 7.8, 95%CI 0.9 to 65.7), duration of working (p=0.015, OR 6.0, 95%CI 1.5 to 24.6), and numbers of nurses in a teamwork (p=0.046, OR 4.4, 95%CI 1.0 to 18.9). It was concluded that psychosocial factor, age, job history (duration of working and numbers of nurses in a teamwork) were associated with psychopathology manifestations among nurses age 40-55 years old. Key words: psychopatology, psychosocial stressor

Pendahuluan Usia 40-55 tahun merupakan usia wanita mengalami masa perimenopause. Masa perimenopause merupakan masa perubahan antara premenopause dan menopause. Pada masa ini terjadi perubahan-perubahan kadar hormon reproduksi yang dapat menyebabkan berbagai perubahan psikis dan rasa tidak nyaman. Keadaan ini sebenarnya bukan suatu keadaan patologis, melainkan suatu proses yang menjadi bagian dalam perjalanan hidup wanita. Walaupun demikian, beberapa wanita dapat merasa terganggu bahkan hingga depresi dalam menghadapi berbagai perubahan tersebut, sehingga membutuhkan suatu penanganan khusus dalam bidang medis.1 Dalam hidup wanita, faktor estrogen berperan dalam pengaturan siklus menstruasi. Penurunan kadar hormon ini pada masa perimenopause menyebabkan wanita mengalami sindrom defisiensi estrogen, yaitu keadaan yang meliputi gangguan vasomotor, perubahan metabolik, osteoporosis,

penyakit jantung koroner, maupun gangguan psikologis. Gejala psikologis yang sering timbul antara lain depresi, ansietas, sakit kepala, insomnia, mudah lelah, gangguan gairah seksual, dan penurunan fungsi kognitif terutama fungsi memori.1 Dalam menilai seberapa berat gejala yang dialami wanita pada masa menopause, perlu diperhatikan juga faktor psikososial dan endogen (biologik dan genetik). Di antara ketiga faktor tersebut, yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah pengaruh faktor psikososial terhadap gejala psikopatologi pada wanita pada usia perimenopause.2,3 Perawat adalah bagian dari kelompok profesi kesehatan yang sebagian besar adalah wanita. Tugas pokok mereka adalah memberikan pelayanan keperawatan dengan sebaikbaiknya agar tercapai kesehatan pasien yang optimal. Gangguan kesehatan pada perawat dapat menghambat tercapainya tujuan pelayanan rumah sakit. Dalam pekerjaannya, hampir setiap hari mereka menghadapi tugas yang menuntut

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 5, Mei 2007

147

Skoring Psikopatologi pada Perempuan Usia Perimenopause profesionalitas dan tanggung jawab. Beberapa faktor pekerjaan perawat dapat merupakan sumber stres yang kuat. Hal ini dapat menimbulkan stres psikis yang lebih lanjut lagi akan menyebabkan gangguan psikopatologi.4 Saat memasuki usia perimenopause, para perawat wanita juga akan menghadapi gejala-gejala perimenopause yang juga dapat memperberat gejala psikopatologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gejala psikopatologi (menurut Symptom Check List/SCL-90) yang dialami perawat wanita usia perimenopause (40-55 tahun) dan faktor-faktor (faktor demografis, keluarga, pekerjaan, dan stresor psikososial) yang berhubungan dengan gejala psikopatologi tersebut. Metode Desain penelitian yang digunakan adalah metode survei yang bersifat cross sectional yang dilaksanakan pada bulan Maret 2006 di RS X, Jakarta. Responden penelitian adalah perawat wanita berusia 40-55 tahun yang bekerja di unit rawat jalan (poliklinik) dan rawat inap (bangsal) lingkungan RS X Jakarta yang memenuhi kriteria penelitian. Kriteria inklusi adalah perawat berusia 40-55 tahun di lingkungan RS X Jakarta dan bersedia menjadi responden. Sedangkan kriteria eksklusi adalah pernah menjalani operasi pengangkatan indung telur atau rahim. Sebanyak 59 responden dikumpulkan dengan cara consecutive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari data umum (karakteristik demografis, keadaan keluarga, pekerjaan), dan data khusus (skala Holmes-Rahe dan SCL-90).5,6 Setelah dikumpulkan, data diverifikasi, diedit dan dikoding data kemudian dimasukkan dan diolah dengan menggunakan program SPSS for Windows versi 12. Data yang telah diolah dianalisis secara analitik dengan uji kemaknaan yang sesuai (Chi-square atau Fisher exact test). Pada penelitian ini, batasan menstruasi teratur adalah siklus menstruasi sebulan sekali dengan jarak antar menstruasi 28-30 hari, sedangkan kriteria menopause adalah tidak mengalami siklus menstruasi selama minimal 3 bulan. Stresor psikososial dinilai menggunakan skala Holmes Rahe (The Social Readjustment Rating Scale). Skala berisi 43 pertanyaan mengenai kejadian sehari-hari yang dialami dalam satu tahun terakhir dan berpotensi menjadi penyebab stres, seperti perceraian, pisah ranjang, pemutusan hubungan kerja, kehamilan, pensiun, dan lain-lain. Interpretasi dari skala tersebut dibagi menjadi 3 tingkatan risiko depresi yaitu <150 (berarti 30% berisiko mengalami depresi), 150-299 (50% berisiko mengalami depresi), dan >300 (80%o berisiko mengalami depresi).5 Skor psikopatologi dinilai dengan SCL-90. Sensitivitas dan spesifisitas SCL-90 saat diuji coba pada pasien rawat jalan Poliklinik Jiwa Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta oleh Herianto M6 mencapai 82,92% dan 83%. SCL-90 adalah kuesioner berisi 90 pertanyaan gejala psikopatologi
148

yang dialami dalam satu bulan terakhir, meliputi 13 pertanyaan yang mengacu pada gejala depresi, 10 ansietas, 10 obsesikompulsif, 7 fobia, 12 somatisasi, 9 sensitifitas interpersonal, 6 hostilitas, 6 paranoid, 10 psikosis, dan 7 item tambahan. Masing-masing pertanyaan diberi skala 0 (tidak sama sekali) sampai 4 (banyak) berdasarkan subjektivitas responden. Kemudian, skala dari 90 pertanyaan tersebut dijumlah sehingga didapatkan skor kasar (raw score). Lalu, skor kasar dikonversi menjadi total skor-T (T-score). Bila total skor T kurang dari 61 berarti tidak mengalami psikopatologi, sedangkan lebih sama dengan 61 berarti mengalami psikopatologi. Di samping menilai ada tidaknya psikopatologi secara keseluruhan, kecenderungan gejala psikopatologi yang dominan dialami responden dapat juga dinilai dengan cara mengelompokkan pertanyaan berdasarkan tiap gejala psikopatologi seperti yang telah diuraikan di atas (depresi, ansietas, dan selanjutnya). Skor kasar yang didapat lalu dikonversikan menjadi skor-T. Bila skor-T di atas 70 maka dianggap mengalami gangguan gejala tersebut. Sebagai contoh, dari 13 pertanyaan depresi didapatkan skor kasar 17 (dari maksimal 52) maka skor-T gejala depresi adalah 71. Hal itu menandakan bahwa responden mengalami gejala depresi. Dengan demikian, SCL-90 dapat memberi dua outcome, yaitu ada tidaknya psikopatologi secara keseluruhan dan gejala psikopatologi apa yang dominan dialami responden. Hasil Penelitian Karakteristik Sampel Penelitian Sebaran subyek penelitian dibagi menjadi karakteristik demografis (umur, pendidikan, status pernikahan, masih tidaknya mengalami menstruasi, dan penggunaan kontrasepsi hormonal), faktor keluarga (jumlah anak, bentuk keluarga, pendapatan dan pengeluaran per bulan), faktor pekerjaan (unit kerja, shift kerja, jabatan, jumlah perawat dalam satu kali shift, dan lama menjadi perawat), faktor stresor psikososial (menurut skala Holmes-Rahe), serta skor psikopatologi berdasarkan SCL-90. Hampir seluruh responden menyandang status menikah (94,9%), sedangkan sisanya adalah cerai mati (5,1%). Sebagian besar responden menganut bentuk keluarga inti (84,7%). Sebanyak 35 responden (59,3%) memiliki anak lebih dari dua, sedangkan yang memiliki 1-2 anak ada 23 responden (39%), dan hanya 1 responden yang tidak memiliki anak (Tabel 1). Gambaran Skor Psikopatologi (Menurut SCL-90) dan Stresor Psikososial (skala Holmes-Rahe) Didapatkan sebanyak 11 (18,6%) responden mengalami psikopatologi (skor SCL-90 > 61). Berdasarkan penilaian terhadap stresor psikososial dengan kuesioner Holmes-Rahe, terdapat 28 (47,5%) responden termasuk ke dalam kelompok yang mengalami 30% risiko depresi, 21 (35,6%) dalam kelompok 50% risiko depresi, dan 10 (16,9%) dalam kelompok 80% risiko depresi.
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 5, Mei 2007

Skoring Psikopatologi pada Perempuan Usia Perimenopause


Tabel 1. Sebaran Responden Menurut Karakteristik Demografis, Faktor Keluarga, dan Faktor Pekerjaan (n=59) Karakteristik Tingkat usia 40-44 tahun* 45-49 tahun* 50-55 tahun Tingkat pendidikan SPK Diploma* Sarjana* Pendapatan keluarga <Rp 1.000.000* Rp 1.000.000-Rp Rp 2.000.000-Rp >Rp 3.000.000 Pengeluaran keluarga <Rp 1.000.000* Rp 1.000.000-Rp Rp 2.000.000-Rp >Rp 3.000.000 Unit kerja Rawat jalan Rawat inap* IGD* Pangkat Kepala ruangan Pelaksana Jumlah perawat shift 0-3 4-6* >6* Lama bekerja <20 tahun* 20-30 tahun* >30 tahun Masih menstruasi Ya, teratur* Ya, tidak teratur* Tidak Kontrasepsi hormonal Ya Tidak *Digabung saat analisis f 9 13 37 34 22 3 0 6 21 32 2 10 26 21 21 37 1 8 51 33 18 8 5 40 14 22 13 24 11 48 % 15,3 22,0 62,7 57,6 37,3 5,1 0 10,2 35,6 54,2 3,4 16,9 44,1 35,6 35,6 62,7 1,7 13,6 86,4 55,9 30,5 13,6 8,5 67,8 23,7 37,3 22 40,7 18,6 81,4

Gejala psikopatologi digolongkan ke dalam 10 gejala. Dari 11 subyek yang mengalami gejala psikopatologi didapatkan gejala terbanyak adalah gejala fobia (54,54%) diikuti oleh somatisasi, dan item tambahan (Tabel 2). Gejala depresi hanya didapatkan pada satu subyek (9,1%). Distribusi gangguan dalam golongan nonpsikopatologi tidak berbeda; gejala terbanyak adalah fobia (4,2%).
Tabel 2. Pembagian Gejala Psikopatologi Menurut Frekuensi Psikopatologi dan non Psikopatologi (n=59) + Tipe Psikopatologi (n=11) 1 2 3 6 5 1 2 1 2 4 (9,1%) (18,2%) (27,3%) (54,5%) (45,5%) (9,1%) (18,2%) (9,1%) (18,2%) (36,4%) Nonpsikopatologi (n=48) 1 0 0 2 0 0 0 0 0 1 (2,1%) (0%) (0%) (4,2%) (0%) (0%) (0%) (0%) (0%) (2,1%)

1.999.999* 2.999.999*

1.999.999* 2.999.999*

Depresi Ansietas Obsesif Kompulsif Fobia Somatisasi Sensitifitas Interpersonal Hostilitas Paranoid Psikotisisme Tambahan
+

Persentase di atas berjumlah >100% karena 1 subyek dapat memiliki lebih dari 1 gejala

Hubungan Karakteristik Demografis dengan Gejala Psikopatologi Hubungan antara karakteristik demografis dan faktor keluarga dengan gejala psikopatologi dapat dilihat pada Tabel 3. Hanya usia >50 tahun yang meningkatkan secara bermakna risiko gangguan psikopatologi.

Tabel 3. Hubungan Antara Karakteristik Demografis dan Faktor Keluarga dengan Gejala Psikopatologi (n=59) Psikopatologi Nonpsikopatologi Kemaknaan OR (95% CI)

Usia 50-55 tahun 40-49 tahun Pendidikan Pendidikan tinggi (Diploma & Sarjana) Pendidikan menengah (SPK) Status Pernikahan Cerai mati Menikah Bentuk Keluarga Keluarga non-inti Keluarga inti Jumlah Anak >2 anak 0-2 anak Pendapatan Keluarga >3 juta rupiah <3 juta rupiah Pengeluaran Keluarga >3 juta rupiah <3 juta rupiah

10 (27%) 1 (4,5 %) 6 (24%) 5 (14,7%) 1 (33,3%) 10 (17,9%) 3 (33,3%) 8 (16%) 7 (20%) 4 (16,7%) 7 (21,9%) 4 (14,8%) 5 (23,8%) 6 (15,8%)

27 (73%) 21 (95,5%) 19 (76%) 29 (85,3%) 2 (66,7%) 46 (82,1%) 6 (66,7%) 42 (84%) 28 (80%) 20 (83,3%) 25 (78,1%) 23 (85,2%) 16 (76,2%) 32 (84,2%)

p=0,041(bermakna)

7,8 (0,9-65,7)

p=0,502 (tidak bermakna)

1,8 (0,5-6,9)

p=0,468 (tidak bermakna)

2,3 (0,2-27,9)

p=0,347 (tidak bermakna)

2,6 (0,5-12,7)

p=1,000 (tidak bermakna)

1,3 (0,3-4,9)

p=0,488 (tidak bermakna)

1,6 (0,4-6,2)

p=0,498 (tidak bermakna)

1,7 (0,4-6,3)

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 5, Mei 2007

149

Skoring Psikopatologi pada Perempuan Usia Perimenopause Lama bekerja > 30 tahun sebagai perawat secara bermakna meningkatkan risiko gangguan psikopatologi lebih dari enam kali lipat (Tabel 4). Frekuensi gangguan psikopatologi lebih tinggi pada perawat yang sudah tidak mengalami menstruasi dibandingkan yang masih mengalami menstruasi, tetapi secara statistik perbedaan ini tidak bermakna (Tabel 5).
Tabel 4. Hubungan Antara Faktor Pekerjaan dengan Gejala Psikopatologi (n=59) Psikopatologi Unit kerja Rawat inap Non-psiko Kemak- OR (95% CI) patologi naan

subyek (32,2%) mengalami psikopatologi dan 21 subyek (67,8%) tidak terdapat psikopatologi. Penelitian ini tidak mendapatkan hubungan bermakna antara psikopatologi dengan stresor psikososial (Tabel 6).
Tabel 6. Hubungan Antara Stresor Psikososial dengan Gejala Psikopatologi (n=59) Psikopatologi Non-psikopatologi Kemak- OR (95% CI) naan

4 (10,8%)

Rawat jalan 7 (31,8%) Jabatan Kepala Ruangan 2 (25%)

33 (89,2%) p=0,08 0,3 (0,7-1,0) (tidak bermakna) 15 (68,2%) 6 (75%) p=0,63 1,6 (0,3-9,0) (tidak bermakna)

Stresor psiko- 10 (32,2%) 21 (67,8%) sosial tinggi (skor Holmes p=0,005 12,9 Rahe > 150) (bermakna) (1,5-108,6) Stresor psiko- 1 (3,6%) 27 (96,4%) sosial rendah (skor Holmes Rahe <150)

Pelaksana 9 (17,6%) Jumlah Perawat dalam 1 kali shift >3 orang 8 (30,8%) 0 3 orang Lama Kerja Perawat >30 tahun <30 tahun 3 (9,1%)

42 (82,4%)

18 (69,2%) p=0,046 4,4 (1,0-18,9) (bermakna) 30 (90,9%)

6 (42,9%) 5 (11,1%)

8 (57,1%) p=0,015 6,0 (1,5-24,6) (bermakna) 40 (88,9%)

Tabel 5. Hubungan Antara Status Menstruasi dan Kontrasepsi Hormonal dengan Gejala Psikopatologi Psikopatologi Non-psiko- Kemak- OR (95% CI) psikopanaan tologi

Status menstruasi Tidak 7 (29,2%)

Ya (mens tera- 4 (11,4%) tur/tidak) Kontrasepsi hormonal Tidak 11 (22,9%) 37 (77,1%) p=0,104 (tidak bermakna) Ya 0 (0%) 11 (100%)

17 (70,8%) p=0,102 3,2 (0,8-12,5) (tidak bermakna) 31 (88,6%)

-; -

Hubungan Stresor Psikososial dengan Gejala Psikopatologi Di antara responden dengan stresor psikososial rendah (skor Holmes Rahe <150) didapatkan 1 subyek mengalami gejala psikopatologi dan 27 subyek tidak mengalami psikopatologi. Sedangkan pada subyek dengan stresor psikososial tinggi (skor Holmes Rahe >150), terdapat 10
150

Diskusi Hubungan antara Karakteristik Demografis dengan Gejala Psikopatologi Pada penelitian ini terdapat hubungan bermakna antara usia dengan gejala psikopatologi berdasarkan usia (p=0,041; OR 7,8; 95%CI 0,9-65,7). Semakin tinggi usia, dalam penelitian ini usia <50 tahun, kejadian psikopatologi semakin banyak. Hal ini sesuai dengan teori bahwa kadar estrogen pada wanita yang dalam masa perimenopause akan semakin rendah sesuai dengan bertambahnya usia.7 Hormon estrogen berperan dalam memodulasi serotonin sehingga jika kadar estrogen turun, maka serotonin tidak dapat dimodulasi secara baik. Hal ini dapat mencetuskan perubahan mood atau psikis.8 Namun Ballinger et al 9 menemukan prevalensi psikopatologi paling tinggi pada perempuan usia 45-49 tahun. Perbedaan hasil penelitian ini dipikirkan akibat perbedaan subyek dan parameter penelitian. Penelitian Ballinger dilakukan pada populasi umum perempuan berusia 40-55 tahun yang merupakan pasien dari 6 dokter umum. Responden diminta mengisi 60 pertanyaan general health questionnaire (GHQ). GHQ biasanya digunakan sebagai alat tapis (screening) gangguan psikiatri terutama depresi dan gangguan neurotik. Interpretasi GHQ dinilai berdasarkan metode Goldberg dengan cut-off point 11, artinya bila wanita yang diteliti memiliki nilai lebih dari 11 maka kemungkinan ia menderita gangguan psikiatri. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara status menikah dan gejala psikopatologi. Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Becker D et al.10 Pada penelitian ini juda tidak ditemukan hubungan bermakna antara tingkat pendidikan dengan gejala psikopatologi. Di kalangan perawat, pengalaman dan ketrampilan lebih berperan dibandingkan dengan tingkat pendidikan. Hal ini terlihat dengan banyaknya jabatan kepala ruangan dipegang oleh perawat lulusan SPK.
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 5, Mei 2007

Skoring Psikopatologi pada Perempuan Usia Perimenopause Penelitian ini tidak mendapatkan hubungan bermakna antara pemakaian kontrasepsi hormonal dengan gejala psikopatologi, sesuai dengan temuan Hidayet NM et al11 bahwa tidak ada hubungan antara pemakaian kontrasepsi hormonal dengan keterlambatan waktu menopause. Meskipun demikian, pada penelitian ini semua responden yang mengonsumsi kontrasepsi hormonal tidak memiliki gejala psikopatologi. Hasil tersebut sesuai dengan teori yaitu pemakaian kontrasepsi hormonal akan menghambat FSH sehingga awal menopause terjadi pada usia yang lebih tua dan kemungkinan timbulnya gejala psikopatologi akibat masa perimenopause akan terjadi lebih lambat.12 Hubungan antara Faktor Keluarga dengan Gejala Psikopatologi Faktor keluarga yang meliputi bentuk keluarga, jumlah anak, dan sosioekonomi (pendapatan dan pengeluaran keluarga) tidak berhubungan bermakna dengan gejala psikopatologi. Hal ini mungkin dikarenakan sampel penelitian yang relatif homogen sehingga tidak terdapat variasi faktor keluarga yang mencolok. Hubungan antara Faktor Pekerjaan dengan Gejala Psikopatologi Stres kerja adalah suatu kondisi di mana satu atau beberapa faktor di lingkungan tempat kerja berinteraksi dengan pekerja sehingga mengganggu keseimbangan fisiologi dan psikologi. Stres kerja dalam lingkungan rumah sakit dapat dibagi menjadi dua, yaitu stres intrinsik dan ekstrinsik. Contoh stres intrinsik adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita sakit berat, keputusan mengandung risiko, ancaman tugas, beban kerja berlebih kuantitatif, dan tanggung jawab terhadap pekerjaan. Sementara itu, contoh stres ekstrinsik adalah hal-hal yang berhubungan dengan ketidakjelasan peran (role ambiguity), konflik peran, pembatasan ekonomi, dan masalah gaji yang tidak memadai. Dalam hal jabatan, kepala ruangan memiliki risiko lebih tinggi mengalami psikopatologi daripada pelaksana. Hal itu dikarenakan mereka mengemban tanggung jawab yang besar dan dituntut pula untuk membuat keputusan yang tepat. Sesuai dengan penelitian Suwarni E13, tidak ditemukan hubungan bermakna antara unit kerja dengan gejala psikopatologi. Dibandingkan perawat rawat jalan, perawat rawat inap umumnya lebih berisiko mengalami psikopatologi karena beban kerja lebih banyak dan diikutsertakan dalam tugas malam. Ketidakbermaknaan tersebut mungkin dikarenakan jumlah sampel penelitian ini terlalu kecil dan cara perekrutan yang konsekutif menye-babkan proporsi yang tidak seimbang antara responden dari unit rawat jalan dan rawat inap, serta antara kepala ruangan dengan pelaksana. Responden dengan lama kerja >30 tahun secara bermakna berisiko enam kali lebih besar mengalami gejala psikopatologi. Penjelasan untuk hal ini adalah semakin lama subyek bekerja maka tingkat kejenuhan semakin tinggi. Selain itu, semakin lama seseorang bekerja, khususnya pekerjaan seorang perawat, semakin banyak terpajan stresor yang ada dalam dunia pekerjaannya sehingga frekuensi mengalami psikopatologi semakin tinggi. Dalam penelitian Suwarni E13 tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara lama bekerja dengan gejala psikopatologi. Hal itu disebabkan penggologan lama bekerja pada penelitian Suwarni E13 dibedakan menjadi lama bekerja kurang dari 3 tahun dan lebih sama dengan 3 tahun. Dalam penelitian ini, tidak dilakukan analisis bivariat untuk menentukan faktor mana yang lebih dominan antara usia dengan lama bekerja dalam hubungannya dengan gejala psikopatologi. Selain itu, tidak diketahui juga apakah usia menjadi faktor perancu hubungan antara lama bekerja dengan gejala psikopatologi. Oleh karena itu, masih ada kemungkinan perawat yang berusia >50 tahun dan telah bekerja >30 tahun memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami gejala psikopatologi. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, faktor jumlah tim kerja dalam satu shift juga berhubungan bermakna dengan kejadian psikopatologi (p=0,046; OR 4,4; CI 1,0-18,9). Bekerja dalam tim yang terdiri dari lebih dari 3 orang berisiko empat kali lebih tinggi mengalami gejala psikopatologi. Semakin banyak jumlah perawat yang terlibat dalam satu tim, akan timbul hubungan interpersonal yang semakin kompleks. Menyatukan individu dengan pola pikir yang berbeda-beda dalam satu tim yang menuntut kerjasama serta tanggung jawab yang tinggi meningkatkan kemungkinan terjadinya konflik sehingga frekuensi psikopatologi semakin besar. Hubungan Stresor Psikososial dengan Gejala Psikopatologi Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil sebaran psikopatologi pada perawat wanita dalam usia perimenopause (usia 40-55 tahun) adalah sebesar 18,6%, sedikit lebih tinggi daripada hasil penelitian Suwarni E13, yaitu sebesar 15,38%. Perbedaan untuk kelompok ini mungkin dikarenakan oleh perbedaan usia responden yang diteliti. Pada penelitian Suwarni E13 responden adalah wanita usia >40 tahun (41-60 tahun). Angka 18,6% dalam penelitian ini cukup tinggi bila dilihat dalam populasi normal. Tingginya frekuensi tersebut dapat disebabkan oleh faktor hormonal ataupun faktor genetik, yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Selain itu, juga dipengaruhi oleh faktor stresor kerja, di antaranya perawat mempunyai tanggung jawab besar, misalnya merawat pasien, mendengarkan keluh kesah keluarga pasien, dan menjalankan perintah atasan, yang semuanya itu terjadi berulang-ulang selama puluhan tahun. Meskipun kepala ruangan (atasan) terkesan kurang memiliki beban kerja fisik yang lebih berat daripada pelaksana, mereka cenderung berisiko lebih besar mengalami gejala psikopatologi karena memiliki beban mental berupa tanggung jawab yang sangat besar terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan.

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 5, Mei 2007

151

Skoring Psikopatologi pada Perempuan Usia Perimenopause Berdasarkan sebaran gejala psikopatologinya terlihat bahwa tiga gejala yang paling banyak ditemukan pada kelompok psikopatologi positif adalah fobia (54,54%), disusul oleh somatisasi (45,45%), dan gejala tambahan (36,36%). Temuan ini berbeda dengan penelitian Suwarni E13 yang menemukan bahwa tiga gejala psikopatologi paling banyak adalah somatisasi (55,8%), ansietas (34%), dan depresi (30,8%). Penelitian Hidayet NM et al11 pada 300 wanita usia menopause menemukan bahwa gejala psikopatologi yang dominan adalah somatisasi (53,63%), diikuti oleh depresi (49,13%), dan obsesif kompulsif (46,37%); ansietas dan fobia menempati urutan di bawah. Selain itu, berdasarkan sebaran gejala psikopatologi, didapatkan juga hasil positif pada kelompok non-psikopatologi. Gejala yang ditemukan sama dengan kelompok psikopatologi positif, yaitu gejala fobia, depresi, dan gejala tambahan. Walaupun menurut skor SCL-90 gejala psikopatologi secara umum tidak mencapai > 61, namun gejala spesifik untuk psikopatologi dapat ditemukan. Hal ini dapat terjadi jika skor positif tersebut terdapat pada pertanyaan-pertanyaan yang spesifik untuk suatu gejala. Skor SCL-90 berguna untuk skrining gejala psikopatologi baik secara umum maupun spesifik namun skor ini tidak dapat mendiagnosis gejala psikopatologi secara pasti. Untuk menegakkan diagnosis pasti kelainan psikopatologi harus menggunakan sarana dan teknik psikiatrik (wawancara psikiatri). Pada penelitian ini terdapat hubungan bermakna antara faktor stresor psikososial dengan gejala psikopatologi. Analisis menunjukkan bahwa kelompok stresor tinggi (skor Holmes-Rahe >150) mempunyai risiko 12 kali lebih besar untuk mengalami gejala psikopatologi daripada kelompok stresor rendah (skor Holmes-Rahe <150), walaupun rentang kepercayaan sangat lebar (95%CI 1,5-108,6). Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menjelaskan bahwa psikopatologi dipengaruhi oleh faktor stresor psikososial dan faktor endogen (hormonal dan genetik). Dalam penelitian ini tidak diketahui faktor mana, apakah faktor stresor psikososial atau faktor endogen, yang paling berperan dalam mengakibatkan psikopatologi karena faktor endogen, yaitu faktor hormonal dan genetik, tidak diteliti. Kelebihan dan Kelemahan Penelitian Keunggulan penelitian ini adalah masih sedikitnya penelitian lain yang membahas hubungan psikopatologi dengan faktor eksternal (bukan faktor hormonal atau genetik) terutama pada wanita usia perimenopause di Indonesia. Dalam penelitian cross-sectional ini terlihat nilai 95% confidence interval berada dalam rentang yang lebar di hampir setiap tabulasi silang. Hal itu menandakan kurang banyaknya sampel penelitian. Kesimpulan Pada penelitian terhadap perawat usia perimenopause
152

40-55 tahun di RS X, Jakarta didapatkan gejala psikopatologi sebesar 18,6% dan jenis gejala yang paling tinggi frekuensinya adalah fobia. Analisis statistik menunjukkan faktor stresor psikososial dan faktor pekerjaan, khususnya lamanya bekerja dan jumlah tim dalam satu kali shift bekerja, berhubungan bermakna dengan gejala psikopatologi. Dari variabel karakteristik demografis, hanya usia yang memiliki hubungan bermakna dengan gejala psikopatologi; karakteristik demografis lainnya dan faktor keluarga tidak berhubungan bermakna dengan gejala psikopatologi. Beberapa faktor lain yang dapat berperan dalam menyebabkan gejala psikopatologi namun tidak diteliti pada penelitian ini di antaranya faktor hormonal dan genetik. Peneliti menganjurkan perlunya dilakukan penelitian sejenis dalam skala besar. Selain itu, peneliti menghimbau jajaran direksi rumah sakit atau perusahaan terkait untuk melakukan survei secara rutin guna mendeteksi gejala psikopatologi lebih dini pada kelompok pekerja wanita di usia perimenopause. Daftar Pustaka
1. Richardson et al. Menopause and depression: A review of psychology function and steroid neurobiology during the menopause. New York: Elsevier Science. Vol 7. Ed 6. 2000.p.215-22. 2. Direktorat Kesehatan Jiwa Depkes RI. Pedoman dan Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 1993.p.137-67. 3. Kaplan, Sadock. Mood disorder in behavioral sciences. Synopsis of Psychiatry. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Ed 8.p.520-73. 4 . Holmes T, Rahe R. Holmes-Rahe Social Readjustment Rating Scale. Journal of Psychosomatic Research 1967;11:213-8. 5 . Herianto M. Penentuan T score standar normal instrument psikometrik SCL-90, dan uji coba pada pasien rawat jalan Poliklinik Jiwa Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta. Tesis. Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1994. 6 . Lyndaker C, Hulton L. The influence of age on symptoms of perimenopause. J Obst Gynec Neonatal Nurses 2004;33:340-7. 7 . Carter DM. Depression and emotional aspects of the menopause. Br Columb Med J 2001;43(8):463-6. 8 . Ballinger CB. Psychiatric morbidity and the menopause: Screening of a general population sample. Br Med J 1975;3:3446. 9 . Becker D, Lomranz J, Pines A, Slumotkin D, Nitza E, BennAmitay, et al. Psychological distress around menopause. Psychosomatics 2001;42:252-7. 10. Hidayet NM, Aref SSR, Tawfik TA, Moubarak II. Correlates of age at natural menopause: A community-based study in Alexandria. Eastern Mediterranean Health Journal 1999;5(2): 307-19. 11. Sherman BM, West JH, Korenman SG. The menopausal transition: Analysis of LH, FSH, estradiol and progesterone concentrations during menstrual cycles of older women. J Clin Endocrinol Metab 1976;42:62936. 12. Suwarni E. Analisis hubungan antara stresor kerja dengan gangguan mental emosional perawat wanita di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (Tesis). 1998. Program Kajian Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

EV

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 3, Maret 2007

Anda mungkin juga menyukai