Anda di halaman 1dari 56

Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Diterbitkan oleh: Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan

Lingkungan Penasihat/Pelindung: Direktur Jenderal Tata Perkotaan dan Perdesaan, DEPKIMPRASWIL Penanggung Jawab: Direktur Permukiman dan Perumahan, BAPPENAS Direktur Penyehatan Air dan Sanitasi, DEPKES Direktur Perkotaan dan Perdesaan Wilayah Timur, DEPKIMPRASWIL Direktur Bina Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna, DEPDAGRI Direktur Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, DEPDAGRI Pemimpin Redaksi: Oswar Mungkasa Dewan Redaksi: Hartoyo, Johan Susmono, Indar Parawansa, Poedjastanto Redaktur Pelaksana: Maraita Listyasari, Rewang Budiyana, Rheidda Pramudhy, Joko Wartono, Essy Asiah, Mujiyanto Desain/Ilustrasi: Rudi Kosasih Produksi: Machrudin Sirkulasi/Distribusi: Anggie Rifki Alamat Redaksi: Jl. Cianjur No. 4 Menteng, Jakarta Pusat. Telp. (021) 31904113 e-mail: redaksipercik@yahoo.com redaksi@ampl.or.id oswar@bappenas.go.id Redaksi menerima kiriman tulisan/artikel dari luar. Isi berkaitan dengan air minum dan penyehatan lingkungan dan belum pernah dipublikasikan. Panjang naskah tak dibatasi. Sertakan identitas diri. Redaksi berhak mengeditnya. Silahkan kirim ke alamat di atas.
foto cover: www.firstmilesolution.com

Dari Redaksi Suara Anda Laporan Utama Air Minum Masih Jadi Impian Filosofi Air Minum Dorong Perbaikan PDAM Sekilas Kondisi Air Minum dan Sanitasi Indonesia Menilik MDGs Air Minum Peringkat Cakupan Layanan Air Minum Per Kabupaten/Kota Tahun 2002 Wawasan Batam: Air Mengalir Lewat Kios Air di Australia dan Pembangunan Berkelanjutan Sekali Lagi tentang Privatisasi Penanganan Kebocoran di PDAM Makassar Strategi Peningkatan Kesadaran Masyarakat Teropong The Real Air Minum Dirut PDAM Kota Bogor: Bisa Dikembangkan Lebih Luas Reportase Pedagang Air, Antara Dibutuhkan dan Disayangkan Wawancara Ketua Umum Perpamsi: Perlu Badan Pengelola Air Info Buku Info Situs Info CD Seputar WASPOLA Perbaikan Draft Kebijakan Nasional AMPL Berbasis Lembaga Fasilitasi Kebijakan Nasional AMPL Berbasis Masyarakat di Daerah Seputar AMPL Hari Monitoring Air Sedunia Menangani Kebocoran Perlu Komitmen Seminar Hari Habitat Dunia 2004 Lokakarya NAP Air Minum, Air Limbah, dan Persampahan Pemaparan Konsep CLTS Lokakarya Nasional Sumber Air Domestik Diseminasi Petunjuk Teknis Pembangunan Prasarana dan Sarana Kawasan Agropolitan dan Penyehatan Lingkungan Permukiman di Wilayah Barat Konsolidasi Interim Proyek WSLIC 2 Sosialisai Manual Pengelolaan Sarana AMPL Tingkat Desa Handwashing: Soap Saves Lives! Kunjungan Monitoring WSLIC 2 ke Kab. Belitung Seminar Nasional Sosialisasi UU No. 8 Tahun 2004 SANIMAS Balong Asri, Mojokerto Terawat Pertemuan Tim Koordinasi Propinsi dan Kabupaten Proyek WSLIC 2 Peresmian Proyek WSLIC 2 di Kab. Kediri Pertemuan Perencanaan dan Evaluasi Proyek Pro Air Lokakarya Penyempurnaan Proposal Program Pembangunan Sanitasi Indonesia Lokakarya Penyusunan Rencana Kerja WASPOLA Tahun 2005 Kunjungan WSLIC 2 Ubah Desa Pakel Jadi Desa Sehat Pustaka AMPL Agenda Glossary

1 2 3 7 8 10 11 13 15 17 20 21 24 25 26 28 31 32 33 34 35 37 38 39 39 40 41 41 42 43 43 44 45 46 46 47 47 48 48 49 50 51 52

DARI REDAKSI
embaca, Percik kembali menyapa Anda. Dua bulan rasanya begitu lama. Kami berharap edisi ini akan mengobati rasa rindu Anda. Kalau edisi sebelumnya, Percik mengangkat isu sampah, kali ini kami membahas air minum. Mengapa? Karena ini masalah yang sangat penting. Air minum adalah kebutuhan dasar manusia. Bahkan posisinya tidak bisa digantikan dengan yang lain. Apakah kita sudah menyadari hal ini? Sayangnya perhatian terhadap air minum belum seperti yang diharapkan. Hampir semua daerah di Indonesia sudah memiliki Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), tapi hampir semua juga tidak memberikan layanan sebagaimana nama yang disandangnya yakni perusahaan yang menghasilkan air minum. Yang terjadi, PDAM baru melayani konsumennya dengan air bersih. Tentu ini sebuah tantangan baru bagi PDAM. Mengingat sebagian besar PDAM masih menanggung beban utang. Jumlahnya pun cukup besar. Sebagian yang lain masih berkutat dengan persoalan inefisiensi dan mismanajemen. Di sisi lain, tuntutan terhadap pelayanan yang optimal tak bisa dibendung lagi apalagi Indonesia telah menyepakati komitmen yang dicanangkan oleh pemimpin dunia pada Johannesburg Summit 2002 sebagai manifestasi dari Millennium Development Goals (MDGs). Di sana dinyatakan bahwa pada tahun 2015, separuh dari penduduk dunia yang saat ini belum mendapatkan akses terhadap air minum (safe drinking water) harus telah mendapatkan akses tersebut. Selanjutnya pada tahun 2025, seluruh penduduk dunia harus telah mendapatkan akses terhadap air minum. Tentu untuk mencapai hal itu harus terjadi perubahan paradigma dari air bersih menjadi air minum. Perubahan filosofi inilah, yang menurut Direktur Permukiman dan Perumahan Bappenas, Basah Hernowo, akan memberikan

KARIKATUR:RUDI KOSASIH

Segenap Redaksi Majalah Percik mengucapkan Selamat Idul Fitri 1425 H Mohon Maaf Lahir dan Batin

dampak yang signifikan tidak hanya bagi PDAM tetapi juga kepada masyarakat pelanggan air minum. Lalu bagaimana dengan PDAM sendiri untuk memenuhi tuntutan itu, Percik mengadakan wawancara dengan Ketua Umum Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) Ridwan Syahputra Musagani. Berbagai hal menyangkut PDAM terungkap darinya, termasuk gagasannya agar air minum bisa memperoleh subsidi sebagaimana bahan bakar. Tak kalah menariknya, pengalaman PDAM Tirta Pakuan, Kota Bogor, yang telah berhasil mengembangkan layanan air minum dalam arti sebenarnya. Air produknya telah memenuhi kualitas yang ditetapkan untuk diminum. Hanya saja memang masih dalam skala kecil. Kendati begitu, ini adalah cikal bakal untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang

terus berkembang saat ini. Pembaca, rubrik wawasan kali ini mungkin tak seperti biasanya. Ada satu tulisan yang cukup panjang mengenai Strategi Peningkatan Kesadaran Masyarakat. Isinya cukup menarik berkaitan dengan bagaimana menggerakkan kesadaran masyarakat dari berbagai sudut pandang dan oleh berbagai kalangan terhadap konservasi air. Perlu kami informasikan, kegiatan Kelompok Kerja AMPL cukup banyak dan kami tampung di rubrik Seputar AMPL. Informasi lainnya, lomba penulisan tentang penyelenggaran air minum dan penyehatan lingkungan telah memasuki tahap penilaian. Pada November ini pemenang akan diumumkan. Akhirnya kami berharap Percik akan terus menjadi salah satu referensi Anda di bidang air minum dan penyehatan lingkungan. Wassalam.

Percik 1 Oktober 2004

S UARA ANDA
Ingin Dapat Percik
Sebelumnya saya memperkenalkan diri, nama saya Kesit Kanigoro. Saya bekerja di sebuah NGO (World Vision International) di Jakarta. Saya mengetahui majalah ini dari teman yang mengikuti pertemuan dengan beberapa lembaga sekitar bulan September lalu. Ketika saya membaca isinya ternyata bagus sekali dan amat membantu saya untuk menambah wawasan saya tentang sanitasi. Saya kebetulan baru mendapatkan tugas untuk menangani hal ini, jadi saya harus belajar banyak tentang sanitasi dan air minum. Untuk itu saya perlu informasi bagaimana mendapatkan majalah ini. Saya sudah mencoba akses ke internet memang ada dalam situs AMPL, tapi saya kesulitan untuk men-download-nya. Di manakah saya bisa mendapatkan cetakan majalah ini atau CD-nya. Atas bantuannya kami ucapkan terima kasih.
Kesit Kanigoro Jakarta

P E R C I K A RT U N

KARIKATUR:RUDI KOSASIH

Percik bisa didapatkan di kantor Pokja AMPL atau sekretariat redaksi Percik di Jl. Cianjur No. 4 Menteng, Jakarta Pusat, setiap hari kerja. Anda bisa datang langsung atau menghubungi kami melalui telepon.(Redaksi)

Ingin Dapat CD dan Buku


Dalam rangka pengembangan Perpustakaan Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang untuk peningkatan wawasan para mahasiswa bersama ini kami memohon kepada bapak/ibu Ketua Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan untuk dapat mengirimkan kepada kami beberapa CD dan buku sebagai berikut: 1. Reducing Energy Cost ini Municipal Water Supplay Operations 2.Water Supply and Sanitation for Small Towns and Multivillage Schemes,

Proceeding International Conference. 3. Pedoman Pengelolaan Persampahan Perkotaan bagi Pelaksana, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, 2003. 4. Pedoman Pengelolaan Persampahan Perkotaan bagi Eksekutif dan Legislatif Pemerintah Kota/Kabupaten, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, 2003 5. Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Bidang Air Minum, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, 2003. 6. Pedoman Penanggulangan Limbah Cair Domestik, Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, 2003. Atas bantuan, kerja sama serta perhatian Bapak/Ibu demi kepentingan mahasiswa kami atas nama jurusan, kami mengucapkan banyak terima kasih.
Ir. Syafrudin CES, MT. NIP. 131 764 877 Jurusan Teknik Lingkungan An. Dekan Fakultas Teknik UNDIP Semarang

Tema yang Aktual


Terima kasih kami ucapkan atas kiriman Percik edisi Juni ke kantor kami, sebagai media pertukaran informasi bidang AMPL. Kami nilai isi media tersebut sudah cukup variatif, dari laporan utama, wawasan, reportase, dan rubrikrubrik lain. Untuk penyempurnaan, kami menyarankan agar pada penerbitan-penerbitan selanjutnya, tema yang diangkat merujuk pada isu-isu yang akan atau sedang menjadi persoalan kita bersama seperti kekeringan saat ini dan mungkin masalah banjir lagi pada bulan-bulan mendatang, dikaitkan dengan pengelolaan AMPL pada keadaan tersebut.
radi_az@plasa.com Bapeda Subang

Kami akan membantu sesuai dengan kemampuan dan ketersediaan CD atau buku yang ada. (Redaksi)

Terima kasih atas sarannya. Kami akan berusaha terus memperbaiki isi majalah Percik. Berbagai masukan dari para stakeholder, bagi kami sangat berharga demi kemajuan majalah ini. Bahkan kami amat senang jika para stakeholder di seantero Nusantara bisa menuliskan hal-hal aktual yang terjadi di wilayahnya masing-masing, termasuk berbagai pengalaman menyangkut AMPL, untuk kemudian kami muat di Percik. (Redaksi)

Percik Oktober 2004

L APORAN UTAMA

Air Minum Masih Jadi Impian


A
FOTO: OSWAR MUNGKASA

ir adalah kehidupan. Kalimat itu begitu dalam maknanya, tapi sebagian besar orang/pengambil keputusan (pemerintah) tidak menyadarinya. Buktinya, air minum belum masuk dalam daftar kebutuhan pokok manusia. Yang umum disebut sebagai kebutuhan pokok adalah makanan, pakaian, dan perumahan. Lebih spesifik lagi, khalayak sering menyebut sembako (sembilan bahan pokok) sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Terus di mana posisi air minum? Padahal kalau kita mau berpikir sejenak, betapa air minum/bersih peranannya tak bisa tergantikan. Kalau kita tak mempunyai beras, kita bisa makan singkong atau jagung atau lainnya. Tak punya minyak goreng, kita bisa memasak tanpa minyak goreng. Tapi kalau tidak ada air, apa yang bisa kita lakukan dengan sembako yang ada? Jadi barang teronggok yang tak berguna. Memang saat ini kita bisa menjumpai air di mana-mana. Tapi apakah air itu memenuhi syarat secara kualitas untuk diminum/dimasak? Nanti dulu. Jika kita sembarangan menggunakan air, alih-alih bisa sehat, justru sebaliknya bisa mendatangkan penyakit. Dr. John Snow, epidemologis, pada tahun 1855 menemukan bahwa penyakit kolera menyebar bersama air yang rusak. Ada keterkaitan erat antara sumber air minum yang tercemar dan berjangkitnya wabah kolera di Inggris saat itu. Pada tahun 1880-an, Louis Pasteur mengembangkan teori the germ theory of disease yang menjelaskan penularan penyakit dari mikroba melalui media air. Studi

pelayanan air minum. Untuk itu, laporan utama kali ini akan banyak menyoroti kinerja PDAM. Latar Belakang Pendirian PDAM Keberadaan PDAM merupakan cerminan pelaksanaan pasal 5 ayat 4 UU No. 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah yang berbunyi "Cabang-cabang produksi yang penting bagi daerah dan yang menguasai hajat hidup orang banyak di daerah yang bersangkutan diusahakan oleh perusahaan daerah yang modalnya untuk seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan". Jumlah PDAM Berdasar data terakhir yang tertera dalam dokumen Perpamsi Direktori 2000, maka jumlah PDAM telah mencapai 290 perusahaan. Selain itu, saat ini tercatat 6 perusahaan swasta yang telah beroperasi, yaitu PT Palyja dan PT. Thames Water Jaya yang mendapatkan konsesi dari PAM Jaya; PT. Tirta Artha Mulia di Bali yang merupakan patungan swasta dengan PDAM Kabupaten Badung memberikan pelayanan di kawasan Nusa Dua Bali; PT. Aditia Tirta Batam, perusahaan patungan swasta Indonesia dengan Biwater dari Inggris, mendapatkan konsesi untuk melayani seluruh pulau Batam dari PT. Otorita Batam; PT. Dream di Ambon, merupakan perusahaan patungan antara PDAM Ambon dengan perusahaan DRENTE dari Belanda untuk melayani sebagian wilayah kota Ambon.

Bank Dunia (1992) mengungkapkan bahwa penyakit diare yang berasal dari air yang tidak layak minum telah menyebabkan kemaitan lebih dari 3 juta penduduk per tahun, jumlah terbesarnya anak-anak. Ini semua menunjukkan betapa pentingnya air minum bagi kesehatan dan kehidupan. Air minum adalah kebutuhan dasar manusia. Usaha untuk memenuhi kebutuhan air minum di Indonesia termasuk memenuhi target MDGs tidak terlepas dari kiprah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Bahkan untuk daerah perkotaan, PDAM merupakan tulang punggung

Percik 3 Oktober 2004

L APORAN UTAMA
Cakupan Pelayanan PDAM Pelayanan air minum di kawasan perkotaan umumnya ditangani oleh PDAM, berbeda dengan kawasan perdesaan yang lebih banyak ditangani oleh organisasi masyarakat setempat yang beragam bentuknya. Tak heran tingkat pelayanan air minum PDAM di perdesaan hanya mencapai sekitar 5 persen, sementara di perkotaan telah menjangkau 51,7 persen (BPS, 2000). Jumlah penduduk yang terlayani sebesar 56,6 juta jiwa, dengan jumlah sambungan rumah sebanyak 4,748 juta unit dan hidran umum sebanyak 85.700 unit. Walaupun demikian, baru sekitar 20,3 persen PDAM yang cakupan pelayanannya di atas 25 persen, sementara hanya 8,6 persen cakupan pelayanan di atas 50 persen, selebihnya sekitar 79,7 persen baru melayani dibawah 25 persen. Masalah dan Kendala Kontribusi pelayanan air minum PDAM tidak dapat dipungkiri cukup signifikan, walaupun sebenarnya kualitas air yang dihasilkan masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan masih sering PDAM diplesetkan sebagai Perusahaan Daerah Air Mandi. Usaha PDAM untuk meningkatkan

Terminologi Air Minum

ir Minum (drinking water) adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. (Keputusan Menkes No. 907 Tahun 2002) Air Bersih (clean water) adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak Pengertian air bersih dalam terminologi akademis adalah air yang dihasilkan dari rekayasa terhadap air kotor yang berasal dari tubuh manusia dan binatang serta berasal dari suatu kegiatan ekonomi agar layak disalurkan kembali sebagai air permukaan.

kualitas air yang dihasilkan banyak terkendala oleh ketersediaan sumber air baku, baik kuantitas maupun kualitas. Walaupun ketersediaan air Indonesia mencakup sekitar 6 persen persediaan air dunia atau sekitar 21 persen persediaan air Asia Pasifik (KLH, 2003), namun dari tahun ke tahun kelangkaan air makin mengemuka. Secara nasional, ketersediaan air masih mencukupi, tetapi jika dirinci per wilayah maka akan terlihat bahwa wilayah Jawa-Bali dan Nusa Teng-

gara mengalami defisit ketersediaan air terutama di musim kemarau. Kecenderungan konsumsi air meningkat tajam sementara ketersediaan air baku yang memadai semakin terbatas. Semakin langkanya air baku salah satunya disebabkan oleh pengelolaan air limbah yang tidak terkendali disamping kurangnya usaha konservasi sumber air. Berdasar data Departemen Pekerjaan Umum, sekitar 56,15 persen KK membuang langsung limbahnya ke sungai. Sementara sungai merupakan sumber air baku PDAM. Lebih dari 60 persen kapasitas produksi mempergunakan sungai sebagai air bakunya. Penggunaan sungai sebagai sumber air baku bahkan mencapai 95 persen di Kalimantan. Sumber air tanah hanya dipergunakan oleh sekitar 35 persen PDAM kecil. Tingkat kehilangan air secara nasional mencapai 32,18 persen, yang sangat bervariasi diantara PDAM yang ada. Sebagai misal, PDAM Medan yang hanya 20 persen dibanding PAM DKI Jaya yang mencapai 44 persen. Tingkat kehilangan air yang masih sedemikian besar sangat mengurangi penerimaan dari PDAM. Akibat selanjutnya kemampuan perusahaan untuk berkembang menjadi semakin terbatas. Tinjauan PDAM berdasar jumlah pelanggan menunjukkan masih banyak PDAM yang beroperasi dibawah skala ekonomi yang memadai (sekitar 10.000 pelanggan). Hanya 14 PDAM dengan jumlah pelanggan diatas 50.000, sementara tercatat sekitar 168 PDAM dengan

PDAM dengan air siap minum


Berdasar data terakhir, di Indonesia paling tidak terdapat 4 PDAM yang telah memproduksi air siap minum yaitu PDAM Buleleng, PDAM Kota Malang, PDAM Medan, dan PDAM Kota Bogor. Namun cakupan pelayanannya masih sangat terbatas.

Percik Oktober 2004

L APORAN UTAMA
jumlah pelanggan masing-masing dibawah 10.000 pelanggan. Kondisi jumlah pelanggan yang demikian kecilnya tidak memungkinkan bagi PDAM yang bersangkutan untuk beroperasi secara efisien. Dapat dipastikan bahwa pemerintah daerah setiap tahun harus memberi subsidi yang besar pada PDAM tersebut. Berdasar kondisi keuangan PDAM, maka (i) hanya 18 persen PDAM memiliki profitabilitas positif; (ii) 22 persen PDAM mempunyai ekuitas negatif; (iii) 44 persen PDAM tarifnya lebih kecil dari biaya operasi dan pemeliharaan; (iv) hanya 10 persen PDAM dengan kondisi keuangan sehat. Hutang PDAM sendiri secara keseluruhan telah menembus angka paling tidak Rp. 5 Triliun, dengan jumlah hutang pokok sebesar Rp. 3 Triliun. Hanya sekitar 89 PDAM yang bebas dari hutang. Prinsip yang mengedepankan air minum sebagai kebutuhan dasar manusia menjadikan PDAM dibebani tugas sosial oleh pemerintah daerah. Akibatnya tarif ditetapkan lebih banyak mempertimbangkan faktor sosial dan politik dibanding pertimbangan teknis dan keuangan. Pemasukan menjadi negatif karena harga jual menjadi lebih rendah dari biaya produksi, sehingga tarif yang ada tidak pernah mencerminkan prinsip cost recovery (pemulihan biaya). Di satu pihak tarif yang ditetapkan tidak dapat menutupi ongkos produksi, namun usulan kenaikan tarif selalu mendapat tantangan baik dari masyarakat maupun legislatif. Sepertinya penolakan ini lebih disebabkan oleh ketidakmengertian masyarakat maupun legislatif saja. Hal ini dapat dijelaskan dari (i) ratarata pengeluaran masyarakat untuk air minum masih rendah sekitar 2 persen; (ii) konsumsi air minum yang merupakan kebutuhan dasar menjadikan tidak sensitif terhadap perubahan tarif. Dapat disimpulkan kondisi PDAM yang masih memprihatinkan disebabkan oleh beberapa hal yaitu (i) campur tangan
FOTO: OSWAR MUNGKASA

Pada saat ini kebijakan nasional Pembangunan Air Minum Berbasis Lembaga yang merupakan payung kebijakan pengelolaan PDAM masih dalam taraf penyelesaian bahkan menjadi salah satu bagian dari program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu.
birokrasi dan politisi dalam pengelolaan PDAM; (ii) peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai lagi; (iii) makin sulitnya mendapatkan dan makin mahalnya biaya pengolahan air baku; (iv) jumlah pelanggan yang tidak mencapai skala usaha yang ekonomis; (v) masih tingginya tingkat kebocoran; (vi) tarif air yang tidak dapat menutup biaya produksi; (vii) kurangnya sosialisasi pada pelanggan dan legislatif tentang struktur tarif yang

seharusnya; (viii) kemampuan teknis dan manajerial yang masih rendah. Akumulasi kendala dan masalah yang ada menjadikan usaha PDAM memberi pelayanan yang baik pada masyarakat menjadi terkendala. Jangan lagi bermimpi untuk mendapatkan layanan berupa produk air siap minum. Kebijakan ke Depan Menentukan kebijakan air minum tidaklah mudah. Mengapa? Karena sektor ini melibatkan banyak pihak dengan berbagai kepentingan. Dan sebagaimana diketahui, ego sektoral begitu kental dalam struktur pemerintahan di Indonesia. Pada saat ini kebijakan nasional Pembangunan Air Minum Berbasis Lembaga yang merupakan payung kebijakan pengelolaan PDAM masih dalam taraf penyelesaian bahkan menjadi salah satu bagian dari program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu. Namun dalam buku Infrastruktur Indonesia yang diluncurkan Bappenas tahun 2003, dapat ditemui beberapa kebijakan yang relevan yaitu (i) perlu ada penataan kembali (deregulasi) peraturan

Percik 5 Oktober 2004

L APORAN UTAMA
perundang-undangan di bidang air minum. Dalam hal ini perlu ada upaya perbaikan peraturan perundang-undangan baik yang terkait dengan aspek teknis, kelembagaan, pembiayaan, kerja sama dengan swasta atau masyarakat, standar kesehatan air minum dan tarif. Selain itu perlu ada peningkatan partisipasi dunia usaha dan masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan air minum melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif; (ii) tak kalah pentingnya adalah peningkatan perlindungan sumber air dan kualitas lingkungan. Perlindungan sumber air baku perlu melibatkan lintas sektoral dan wilayah administrasi dengan membentuk water board authority yang beranggotakan pihak-pihak berkepentingan. Langkah ini harus didukung oleh program konservasi alam, lingkungan hidup, dan sumber daya air agar kehandalan ketersediaan air baku bisa dipertahankan. Di sisi pemakaian, pengelolaan dan penggunaan air baku harus berprinsip pada optimasi dan efisiensi

Sungai Besar di Jawa Barat Tidak Layak sebagai Bahan Baku Air Minum
enurut Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat, sungai Cisadane, Ciliwung, Cileungsi, Citarum, dan Cimanuk telah terce-

mar bakteri coli pada tingkat yang sudah sangatt mengkhawatirkan. Air sungai tersebut sudah tidak layak lagi jadi sumber air minum.
Sumber: Kompas, 8 Juli 2003

yang berbasis pada watershed; (iii) secara khusus tentang restrukturisasi pengelolaan PDAM maka perlu dilakukan pengelompokan (regrouping) institusi-institusi yang membangun dan mengelola air minum dalam satu wadah institusi regional. Fungsi regulator dan operator harus dipisahkan secara tegas agar PDAM bisa profesional dalam bekerja dan terbebas dari intervensi politik dan birokrasi. Mengenai tarif, perlu ada restrukturisasi berdasarkan prinsip pengembalian biaya investasi dan operasi (cost recovery),
FOTO: OSWAR MUNGKASA

penyetaraan sosial (social equity), keberlanjutan pelayanan air minum, pemberlakuan biaya konservasi sumber air (conservation cost) dan mempertimbangkan air sebagai benda ekonomi. Di samping itu, efisiensi perlu dilakukan terhadap pengelolaan PDAM melalui penurunan kebocoran teknis dan administratif. Menyangkut investasi, perlu dipikirkan untuk mengembangkan alternatif pembiayaan bagi pembangunan dan pengelolaan air minum melalui penerbitan municipal bonds yang dijamin oleh pemerintah daerah atau melalui penjualan sebagian saham PDAM kepada masyarakat dan swasta; (iv) kebijakan lainnya yakni reformasi dan peningkatan penyediaan dan pembangunan air minum melalui pengembangan pola pembiayaan bersama (cost sharing) antartingkatan pemerintah; (v) yang tak boleh ketinggalan adalah penyusunan rencana tindak dan rencana investasi di bidang air minum untuk mencapai sasaran pelayanan air minum bagi 50 persen penduduk Indonesia yang saat ini belum mempunyai akses terhadap air minum sesuai target. MDGs. Melihat kendala yang demikian banyak, maka mampukah PDAM mewujudkan mimpi kita untuk mendapatkan air minum dalam pengertian yang sebenarnya. Sepertinya untuk sementara air minum masih jadi impian kita semua. Atau dengan bahasa gaulnya "air siap minummimpi kali ye?".. (OM dan MJ)

Percik Oktober 2004

L APORAN UTAMA
Basah Hernowo, Direktur Permukiman dan Perumahan Bappenas

''Filosofi Air Minum Dorong Perbaikan PDAM''

FOTO: OSWAR MUNGKASA

ir minum termasuk kebutuhan dasar manusia. Dan ini sudah ada sejak jaman Belanda dulu. Namun ketika kita memasuki Pelita I dan II, saat kita sedang gencar membangun sarana dan prasarana air minum, pandangan terhadap air minum ini bergeser karena kita terlalu mementingkan fisiknya. Benar, secara fisik kita mampu mencapai target yang diharapkan, tapi secara manajemen kita tidak mampu mempertahankan kualitas air sebagai air minum. Saat itulah terjadi switch dari air minum menjadi air bersih. Padahal kalau kita lihat ke belakang, sebenarnya perbedaan costing-nya antara air bersih dan air minum itu tidak terlalu signifikan. Bedanya mungkin hanya pada manajemen, bagaimana menjaga kualitas air minum hingga sampai ke pengguna (user), misalnya menjaga tekanan dan tak ada kebocoran. Sebenarnya dengan filosofi air minum ini semua dituntut well performance baik PDAM-nya termasuk penggunanya. Misalnya kalau ada kenaikan tarif, ya memang harganya harus sebesar itu. Bandingkan dengan sekarang dengan kondisi 'bersih', kadang-kadang isinya cacing, kotoran dan sebagainya, maka orang akan malas untuk menerima kenaikan tarif karena mutu airnya rendah. Coba kalau kualitasnya bisa dibandingkan dengan air kemasan yang mahal itu, orang tak akan sulit menerima kenaikan tarif. Oleh karena itu, yang perlu ditekankan bahwa kualitas air itu menjadi tujuan akhir dari pelayanan air minum. Kalau kita bandingkan dengan Amerika, yang dimaksud dengan clean water di sana adalah air dari satu produk yang wajar masuk ke badan air. Jadi air itu tak boleh ada polutan lagi. Sedangkan air minum (safe drinking water) adalah kandungan kontaminan maksimum yang

diperbolehkan ada di air untuk tetap menjaga manusia aman/sehat. Jadi yang satu masuk ke badan air, yang satu masuk ke badan manusia. Dengan standar yang jelas PDAM tidak bisa main-main lagi. Kebocoran yang sekarang masih 35 persen mau tidak mau harus ditekan karena masyarakat akan menuntut. ''Ini Anda jual kepada saya air minum, kok tidak bisa diminum''. Dengan adanya pengawasan dari pengguna, PDAM akan memiliki kinerja yang baik. Kalau sekarang kan tidak ada yang counter. Jadi perubahan filosofi ini sangat penting. Mengapa? Karena sekarang kita menghadapi masalah dilema manajemen di PDAM. Menko yang lama sudah mengeluarkan strategi penyehatan PDAM, tidak jalan karena demikian banyak kepentingan yang terlibat di dalamnya.

Tapi kalau sekarang kita tembak bahwa PDAM harus melayani pengguna dengan kualitas air minum, pasti semua akan care (peduli). Dengan seperti ini PDAM akan evaluasi misalnya pipanya banyak yang bocor, administrasi tidak beres sehingga akan bekerja sama dengan pemerintah pusat untuk melakukan pembinaan. Apakah misalnya pemerintah pusat bisa memfasilitasi untuk mendapatkan budget atau memperbaiki sistemnya. Dari situ pemerintah pusat juga bisa menuntut PDAM agar memiliki performance dan manajemen yang baik. Pemerintah juga akan berbicara dengan pemiliknya yaitu pemerintah daerah. Oleh karena itu, ini sebenarnya salah satu upaya kita untuk memecahkan masalah pelayanan air minum kepada masyarakat yang dilakukan oleh PDAM. (MJ)

Percik 7 Oktober 2004

L APORAN UTAMA Sekilas Kondisi Air Minum dan Sanitasi Indonesia


aporan Pembangunan Manusia Tahun 2004 yang dikeluarkan bersama oleh Bappenas, BPS dan UNDP mengetengahkan beberapa fakta menarik terkait dengan air minum dan sanitasi. Dengan mengutip data BPS yang terdapat dalam buku tersebut, maka kondisi air minum dan sanitasi di setiap kabupaten/kota dan propinsi dapat diperbandingkan. Tujuan yang ditetapkan dalam MDG telah menjadi kesepakatan bersama. Salah satunya menyangkut air minum dan sanitasi dasar yaitu target 10 yang menyatakan bahwa separuh dari proporsi penduduk yang belum mendapatkan akses terhadap air minum dan sanitasi harus telah dapat terpenuhi pada tahun 2015. Sebagaimana kita maklumi bahwa target air minum Indonesia pada tahun 2015 sesuai dengan MDG adalah 70 persen, sementara target sanitasi 63,5 persen. Namun yang kurang disadari bahwa target tersebut berskala nasional yang artinya merupakan angka rata-rata nasional, sementara pengelolaan air minum dan sanitasi telah menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Seharusnya perhatian lebih diarahkan pada kondisi air minum dan sanitasi di kabupaten/kota. Sebagai ilustrasi, walaupun Indonesia memenuhi target tersebut tetapi jika dilihat lebih rinci lagi maka akan ditemukan masih banyaknya kabupaten/kota dengan kondisi air minum dan sanitasi yang jauh dari memadai. Secara teoritis maupun empiris ternyata peningkatan kualitas dan ketersediaan air minum dan sanitasi dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk yang berarti juga mengurangi tingkat kemiskinan. Tulisan ini mencoba memberi gambaran kondisi pelayanan air minum dan sanitasi dikaitkan dengan tingkat kemiskinan di kabupaten/kota. Tentunya metode yang dipergunakan
Tingkat Kemiskinan Di atas rata-rata

PRIORITAS I Kondisi air minum/ sanitasi di bawah rata-rata Indonesia Tingkat kemiskinan di atas rata-rata Indonesia PRIORITAS II Kondisi air minum/ sanitasi di bawah rata-rata Indonesia Tingkat kemiskinan di bawah rata-rata Indonesia
Kondisi air minum/sanitasi di bawah rata-rata

PRIORITAS III Kondisi air minum/ sanitasi di atas rata-rata Indonesia Tingkat kemiskinan di atas rata-rata Indonesia PRIORITAS IV Kondisi air minum/ sanitasi di atas rata-rata Indonesia Tingkat kemiskinan di bawah rata-rata Indonesia
Kondisi air minum/sanitasi di atas rata-rata

Tingkat Kemiskinan Di bawah rata-rata

sangat sederhana tapi paling tidak dapat menggambarkan kondisi daerah. Metode yang dipergunakan adalah dengan mengklasifikasikan kondisi kabupaten/kota maupun propinsi dalam empat kuadran seperti yang tertera di atas. Berdasar pada pengklasifikasian tersebut, maka dapat ditetapkan urutan prioritas penanganan yaitu prioritas I, prioritas II, prioritas III, dan prioritas IV. Daerah yang perlu untuk mendapatkan perhatian serius dalam penanganan air minum dan sanitasi adalah daerah dengan prioritas I. Berdasarkan pada pengklasifikasian di atas, maka secara umum dapat dihasilkan beberapa prioritas penanganan baik untuk air minum, sanitasi maupun gabungan air minum dan sanitasi di propinsi maupun kabupaten/kota. Terdapat 13 propinsi yang perlu men-

dapat perhatian serius terkait dengan kondisi air minum dan sanitasi tetapi yang prioritas utama hanya delapan yaitu NAD, Sumsel, Bengkulu, NTB, NTT, Sulteng, Gorontalo dan Papua. Sementara terdapat empat propinsi yang kondisi air minumnya perlu segera dibenahi tetapi prioritas utama perlu diberikan pada Propinsi Lampung. Kondisi sanitasi yang memprihatinkan terdapat pada 6 propinsi dengan prioritas utama pada empat propinsi yaitu Jateng, Jatim, Sultra, dan Maluku. Propinsi yang tidak termasuk dalam prioritas utama dalam penanganan air minum dan sanitasi mencapai delapan propinsi. Sementara yang tidak menjadi prioritas utama dalam penanganan air minum adalah Sumbar, Jateng, Jatim. Selain itu, penanganan sanitasi di Lampung, Riau, Jambi dan Jabar belum perlu menjadi prioritas utama.

Percik Oktober 2004

L APORAN UTAMA
PRIORITAS PENANGANAN AIR MINUM PROPINSI Lampung Riau, Jambi, Jabar. Jateng, Jatim, Sumbar.
DKI Jakarta DI Yogyakarta Kalimantan Timur Riau Lampung Sumatera Utara Jawa Barat* Sulawesi Utara Jambi Bali Kalimantan Selatan INDONESIA Sumatera Selatan* NTT Banten** Kalimantan Tengah Jawa Tengah Jawa Timur Maluku Utara** Bengkulu Sumatera Barat Nangroe Aceh Kalimantan Barat Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Bangka Belitung** Maluku Sulawesi Tengah Gorontalo** Papua*** NTB Bali DKI Jakarta Sulawesi Utara Jawa Timur Kalimantan Timur DI Yogyakarta Jawa Tengah Sulawesi Tenggara Kalimantan Selatan Sumatera Utara Sumatera Barat Maluku Utara** Maluku* INDONESIA Bengkulu Sulawesi Selatan Lampung NTT Jambi Nangroe Aceh Bangka Belitung** NTB Sumatera Selatan* Jawa Barat* Sulawesi Tengah Banten** Riau Papua*** Gorontalo Kalimantan Tengah Kalimantan Barat

Rumah Tangga yang Mempunyai Akses Sanitasi per Propinsi Tahun 2002

Rumah Tangga yang Mempunyai Akses Air Minum per Propinsi Tahun 2002

PRIORITAS PENANGANAN SANITASI PROPINSI Jateng, Jatim, Sultra, Maluku Sumbar, Malut Lampung Riau, Jambi, Jabar
PROPINSI

NAD, Sumsel, Bengkulu, NTB, NTT, Sulteng, Gorontalo, Papua Babel, Banten, Kalbar, Kalteng, Sulsel

DIY

Sumut, DKIJakarta, Bali, Kalsel, Kaltim, Sulut

Lebih rinci lagi, kondisi kabupaten dan kota juga dapat diklasifikasikan dengan menggunakan metode ini. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut. PRIORITAS PENANGANAN AIR MINUM DAN SANITASI KABUPATEN/KOTA
I 87 28 26 141 PRIORITAS II III IV 37 27 79 40 31 15 15 18 40 92 76 134
Sumber: Indonesia Human Development Report 2004 Keterangan: * = Propinsi yang mengalami pemekaran ** = Propinsi baru hasil pemekaran *** = propinsi berubah nama

Air Minum dan Sanitasi Air Minum Sanitasi Total

Berdasar tabel di atas, terlihat bahwa kabupaten/kota yang perlu mendapat perhatian relatif berimbang dengan kabupaten/kota yang relatif baik kondisi air minum dan sanitasinya. Secara umum, kabupaten/kota yang perlu mendapat prioritas utama dalam penanganan air minum dan sanitasi adalah sebanyak 87 kabupaten/kota. Sementara kabupaten/kota yang perlu mendapat prioritas utama

dalam penanganan air minum saja sebanyak 28 kabupaten/kota, dan penanganan sanitasi saja sebanyak 26 kabupaten/ kota. Tentunya pemeringkatan menurut prioritas seperti yang dilakukan di atas tidak perlu diterjemahkan secara harfiah dalam arti bahwa ketika daerah tidak masuk dalam prioritas utama maka daerah tersebut tidak perlu melakukan pembangunan di sektor air minum dan sanitasi. Gambaran di atas hanya ingin mem-

beri ilustrasi lebih rinci tentang kondisi air minum dan sanitasi Indonesia dan tidak hanya pada skala rata-rata nasional sehingga akan terlihat betapa kondisi kita sangat beragam. Diharapkan ini akan memberi masukan bagi langkah pencapaian target MDG di masa depan. Hasil selengkapnya dari kondisi air minum dan sanitasi per kabupaten/kota dapat diakses pada situs AMPL www.ampl.or.id (OM)

PROPINSI

PRIORITAS PENANGANAN AIR MINUM DAN SANITASI PROPINSI

Percik 9 Oktober 2004

L APORAN UTAMA

Menilik MDGs Air Minum


Mengapa MDGs penting? MDGs merupakan kesepakatan pemimpin dunia untuk bersama-sama menanggulangi masalah yang dihadapi oleh sebagian besar negara berkembang di dunia seperti kemiskinan, buta huruf, kelaparan, tingginya angka kematian bayi, kekurangan pendidikan, kekurangan air minum dan sanitasi, serta degradasi lingkungan. Masalah tersebut tak dapat terselesaikan tanpa adanya bantuan dan kerjasama dari seluruh negara di dunia. Kesadaran ini yang mendasari dideklarasikannya MDGs yang diharapkan dapat menjadi alat pemersatu seluruh negara di dunia dalam memerangi masalah mendasar manusia. Tujuan dan Target Air Minum dalam MDGs Dari 8 tujuan dan 18 target MDGs, maka air minum bersama sanitasi terkait langsung dengan Tujuan 7 yaitu Pengelolaan Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan dan Target 10 yakni mengurangi separuh, pada tahun 2015, dari proporsi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air minum dan sanitasi dasar. Indikator apa yang dipergunakan dalam menghitung pencapaian kinerja target MDGs? Setiap negara diberi keluwesan untuk menentukan sendiri indikator yang dipergunakan dalam mencapai target yang ditetapkan. Di Indonesia sesuai dengan yang tercantum dalam dokumen Indonesia: Progress Report on the Millenium Development Goals' yang diluncurkan Februari 2004, maka indikator yang dipergunakan adalah proporsi penduduk yang mempunyai akses terhadap sumber air yang memadai. Terdapat dua kondisi yang dianggap masuk dalam kategori sumber air yang memadai yaitu (i) air perpipaan; (ii) sumber air terlindungi yang berjarak paling sedikit 10 meter dari lokasi pengumpulan tinja (cubluk, septic tank dan sejenisnya). Sehingga sumber air yang memadai termasuk air perpipaan, air pompa, air dari sumur terlindungi atau sumber air terlindungi atau air hujan. Bagaimana Cara menghitung target MDG? Pertama kali perlu disepakati jumlah proporsi penduduk yang mempunyai akses kepada sumber air yang memadai pada tahun 1990, yaitu sekitar 40 persen. Kemudian proporsi penduduk selebihnya yaitu 60 persen merupakan proporsi penduduk yang belum mempunyai akses terhadap sumber air yang memadai. Sehingga pada tahun 2015, proporsi penduduk yang harus mendapat akses adalah sebesar 30 persen (setengah dari 60 persen). Berarti penduduk yang punya akses 40 persen (1990) ditambahkan dengan tambahan proporsi penduduk yang harus mempunyai akses sebesar 30 persen (2015), sehingga keseluruhan proporsi penduduk yang harus mempunyai akses pada tahun 2015 menjadi 70 persen. Sebenarnya cara menghitungnya sederhana. Bagaimana Kondisi kita dalam mencapai tujuan pembangunan milenium (MDGs) pada tahun 2015? Secara nasional pada saat ini (2002) sekitar 50 persen penduduk mempunyai akses kepada sumber air yang memadai. Masih dibutuhkan tambahan sekitar 20 persen penduduk yang perlu disediakan akses pada tahun 2015. Berdasar perkiraan kasar, sebagaimana tercantum dalam buku Infrastruktur Indonesia (Bappenas), maka kebutuhan investasi per tahun untuk mencapai target tersebut adalah sekitar 4-5 Triliun. Sementara ketersediaan dana setiap tahun hanya mencapai sekitar 600 M sampai 1 Triliun. Dibutuhkan sumber dana lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut seperti dana kontribusi masyarakat, swasta, hibah dan pinjaman luar negeri. Namun yang perlu lebih mendapat perhatian adalah bahwa sebenarnya tanggungjawab pengelolaan air minum telah diserahkan ke pemerintah daerah sesuai dengan amanat undang-undang yang ada. Sehingga untuk mencapai target MDGs, keterlibatan pemerintah daerah menjadi keniscayaan. Jika menyimak lebih jauh kondisi cakupan pelayanan air minum di masingmasing kabupaten/kota, maka akan didapati masih banyak daerah yang cakupan pelayanannya masih jauh tertinggal. Misalnya masih terdapat sekitar 45 kabupaten/kota dengan cakupan pelayanan dibawah 35 persen. Ketika secara nasional kita dapat mencapai target 70 persen pada tahun 2015, maka bagaimana dengan kemungkinan masih banyaknya kabupaten/kota yang masih tertinggal. Sebaiknya pencapaian target 70 persen tersebut sejauh mungkin juga memperhatikan kondisi dari masing-masing kabupaten/kota. Sehingga pada tahun 2015, ketika target tersebut tercapai secara nasional maka sekaligus juga jumlah kabupaten/kota yang masih tertinggal sudah jauh berkurang. Ini sesuai dengan semangat kebersamaan dari MDGs. (OM)

Salah Kaprah tentang MDGs


anpa disadari terjadi beberapa kesalahkaprahan dalam menyikapi MDGs, diantaranya (i) MDGs diterjemahkan hanya sekedar sekumpulan target yang harus dipenuhi. Sebenarnya target yang ditetapkan dalam MDGs harus dipandang sebagai suatu cara untuk menggalang kesepakatan diantara seluruh pemimpin dunia untuk menyelesaikan permasalahan mendasar negara berkembang. Disini yang dipentingkan adalah semangatnya. Bagaimana agar permasalahan yang ada menjadi perhatian kita semua. Kebersamaan menjadi kuncinya; (ii) Target air minum dan sanitasi dasar dalam MDGs menggunakan proporsi dan sama sekali tidak mencantumkan angka absolut. Hal ini untuk menghindari perdebatan tentang perkiraan penduduk pada tahun 2015; (iii) Tahun yang dipergunakan sebagai tahun dasar adalah tahun 1990. Dokumen National Action Plan Air Bersih masih menggunakan tahun dasar 2000; (iv) Definisi air minum bukanlah definisi sebagaimana yang tercantum dalam Keputusan Menkes No. 907 Tahun 2002, tetapi setiap negara diberi keleluasaan untuk mendefinisikan secara lebih luwes. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, semangat kebersamaan menyelesaikan masalah lebih dikedepankan. (OM)

10

Percik Oktober 2004

L APORAN UTAMA
Peringkat Cakupan Layanan Air Minum Per Kabupaten/Kota Tahun 2002
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 Kabupaten/Kota Cakupan ( % ) 98,2 97,7 95,4 94,6 94,3 93,0 92,4 92,0 90,7 90,5 89,3 88,6 88,1 86,9 85,9 85,4 85,3 84,7 84,3 84,1 83,4 82,9 82,3 81,7 80,9 80,2 79,8 79,7 79,0 79,0 78,2 78,1 78,1 77,9 77,9 77,7 76,9 76,4 76,3 76,0 75,5 74,6 74,3 74,1 73,4 73,0 72,8 72,7 72,4 72,2 71,6 70,8 70,7 70,4 70,0 69,9 69,9 69,6 69,0 68,8 No. 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 Kabupaten/Kota Cakupan ( % ) 68,6 68,5 68,2 68,1 67,7 67,6 67,3 66,9 66,7 66,7 66,6 66,1 66,0 65,9 65,8 65,6 65,6 65,6 65,3 65,3 65,3 65,0 64,8 64,7 64,6 64,1 63,6 63,4 63,4 63,1 63,1 62,9 62,6 62,4 62,3 62,1 62,0 62,0 61,8 61,8 61,6 61,6 61,6 61,5 61,3 61,3 61,3 60,7 60,5 60,4 60,3 60,2 60,1 60,1 60,0 59,9 59,9 59,8 59,5 59,3 No. 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 Kabupaten/Kota Cakupan ( % ) Kota Surabaya Jakarta Utara Kota Banjarmasin Kota Pematang Siantar Kota Solok Kota Balikpapan Kota Sibolga Kota Ujung Pandang Kota Banda Aceh Kota Jayapura Kota Tegal Kota Salatiga Magetan Kota Bontang Kota Buleleng Kota Magelang Jakarta Pusat Gianyar Kota Samarinda Kota Tanjung Balai Kota Padang Panjang Jakarta Barat Kota Pasuruan Kota Bukit Tinggi Rembang Kota Kupang Kota Semarang Kota Medan Kota Manado Kota Sorong Kota Bitung Kota Payakumbuh Ngada Kota Cirebon Kota Ternate Kota Kendari Pati Sumba Timur Kulon Progo Sidoarjo Kota Ambon Kota Baru Kota Madiun Klungkung Kota Batam Batanghari Kota Sawah Lunto Kota Palembang Wonosobo Bangkalan Semarang Kota Jambi Badung Sampang Grobogan Aceh Utara Purbalingga Soppeng Jepara Blora Karanganyar Tabanan Ngawi Langkat Kota Sabang Nganjuk Kota Bandung Timur Tengah Utara Ponorogo Kota Denpasar Lamongan Kota Bandar Lampung Gunung Kidul Kota Padang Lampung Timur Muaro Jambi Karangasem Tabalong Kota Pangkalpinang Kota Surakarta Lumajang Kota Sukabumi Tulungagung Magelang Kota Pare-Pare Gresik Malang Pacitan Kendari Bekasi Kupang Pamekasan Kota Cilegon Minahasa Aceh Tenggara Banggai Kepulauan Solok Wonogiri Temanggung Kota Malang Lima Puluh Kota Bangli Maluku Tengah Trenggalek Asahan Karo Kerinci Jembrana Pasaman Sragen Purwakarta Bengkulu Rejang Lebong Blitar Sukoharjo Tanah Datar Kediri Sumenep Banyumas Siak Lampung Tengah 59.3 Kota Probolinggo 59.3 Kota Gorontalo 59.3 Kendal 59.0 Madiun 58.9 Tuban 58.9 Purworejo 58.6 Luwu 58.6 Kota Mojokerto 58.4 Mojokerto 58.2 Gowa 58.2 Nias 58.0 Pesisir Selatan 58.0 Bungo 58.0 Jombang 57.8 Bantul 57.7 Sleman 57.6 Kota Kediri 57.6 Sumedang 57.4 Probolinggo 57.1 Tapin 56.9 Pasir 56.8 Muna 56.8 Kota Yogyakarta 56.7 Banggai 56.5 Tana Toraja 56.5 Halmahera Pusat 56.5 Bengkayang 56.4 Kota Bekasi 56.1 Deli Serdang 56.0 Bolaang Mongondow 56.0 Pangkajene Kepulauan 55.8 Bengkulu Utara 55.7 Kota Banjar Baru 55.7 Jakarta Timur 55.4 Kota Mataram 55.4 Alor 55.2 Kota Binjai 54.9 Boyolali 54.3 Dompu 54.3 Cilacap 54.0 Sumbawa 54.0 Pandeglang 53.9 Kota Depok 53.8 Lampung Selatan 53.5 Kota Bogor 53.5 Jember 53.5 Buton 53.5 Enrekang 53.3 Pinrang 53.1 Ende 53.0 Poso 52.9 Tenggamus 52.8 Maluku Tenggara Barat 52.6 Aceh Tengah 52.4 Sanghite Talaud 52.4 Sinjai 52.1 Labuhan Batu 52.0 Maros 52.0 Simeuleu 51.8

Percik 11 Oktober 2004

L APORAN UTAMA
No. 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 Kabupaten/Kota Demak Tebo Kota Metro Majalengka Pidie Wajo Klaten Simalungun Banjarnegara Kolaka Bima Kutai Kutai Timur Sindenreng Rappang Kampar Tulang Bawang Sukabumi Tanah Laut Bangka Pemalang Kota Tebing Tinggi Lampung Utara Kudus Lombok Tengah Merangin Brebes Bojonegoro Tangerang Hulu Sungai Utara Maluku Tenggara Morowali Kota Pekalongan Tapanuli Utara Pelalawan Luwu Utara Hulu Sungai Selatan Pasuruan Banyuwangi Agam Tegal Sikka Fak Fak Belitung Lembata Flores Timur Bone Kebumen Bireuen Kota Tangerang Ciamis Ogan Komering Ulu Kota Blitar Lombok Barat Musi Rawas Bogor Majene Bengkulu Selatan Kota Pekan Baru Karimun Belu Cakupan ( % ) 51,8 51,3 51,3 51,2 50,9 50,6 50,5 50,3 50,3 50,3 50,2 50,2 50,2 50,1 49,9 49,9 49,9 49,9 49,6 49,6 49,4 49,3 49,3 49,3 49,0 48,7 48,5 48,5 48,4 48,4 48,3 47,9 47,7 47,7 47,7 47,5 47,3 47,2 47,0 46,8 46,5 46,5 46,3 46,3 46,3 46,1 45,9 45,6 45,2 44,9 44,8 44,8 44,6 44,1 44,1 44,1 43,9 43,8 43,6 43,6 No. 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 Kabupaten/Kota Cakupan ( % ) 43,4 43,2 43,0 43,0 42,9 42,8 42,5 42,2 42,1 42,1 42,0 42,0 42,0 41,9 41,9 41,8 41,8 41,7 41,3 41,1 41,0 40,8 40,8 40,8 40,7 40,4 40,3 40,3 40,2 40,2 40,1 40,0 39,8 39,7 39,4 39,4 39,3 39,0 38,9 38,8 38,8 38,8 38,6 38,6 38,4 38,3 38,1 37,7 37,7 36,5 36,4 36,2 36,0 35,9 35,7 35,1 35,0 34,8 34,6 32,8 No. 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325 326 327 328 329 330 331 332 333 334 335 336 337 338 339 340 341 Kabupaten/Kota Kota Dumai Aceh Selatan Aceh Barat Serang Way Kanan Ketapang Bulungan Mimika Aceh Besar Toba Samosir Jeneponto Bengkalis Aceh Singkil Puncak Jaya Tapanuli Selatan Mandailing Natal Lampung Barat Rokan Hulu Barito Kuala Kapuas Tanjung Jabung Barat Kutai Barat Boalemo Biak Numfor Sintang Barito Utara Sanggau Merauke Kapuas Hulu Landak Selayar Kota Pontianak Sambas Manokwari Kepulauan Mentawai Yapen Maropen Malinau Pontianak Nabire Indragiri Hilir Tanjung Jabung Timur Cakupan ( % ) 32,6 32,4 32,4 31,7 30,9 30,7 30,6 30,6 30,5 30,1 29,6 29,2 29,1 29,1 28,5 28,1 27,9 27,8 27,4 26,9 26,8 26,0 25,9 25,2 24,7 23,6 22,1 21,1 19,6 19,4 19,2 14,5 13,5 13,3 11,8 10,4 9,1 7,7 7,6 4,3 1,1 55,2 Kotawaringin Barat Bulukumba Cirebon Toli-Toli Paniai Polewali Mamasa Indramayu Sorong Soralangun Cianjur Padang Pariaman Bondowoso Mamuju Lombok Timur Berau Jakarta Selatan Situbondo Subang Sumba Barat Lahat Musi Banyuasin Dairi Garut Pekalongan Hulu Sungai Tengah Natuna Manggarai Buoi Batang Kota Palangkaraya Tapanuli Tengah Kuningan Buru Jayapura Aceh Timur Kepulauan Riau Maluku Utara Sawah Lunto / Sijunjung Kuantan Sengingi Rokan Hilir Bandung Banjar Muara Enim (Liot) Barru Jayawijaya Indragiri Hulu Timur Tengah Selatan Ogan Komering Hilir Donggala Kota Tarakan Tasikmalaya Gorontalo Kota Palu Bantaeng Kotawaringin Timur Takalar Nunukan Lebak Karawang Barito Selatan

INDONESIA

Sumber: Laporan Pembangunan Manusia 2004, Bappenas -- BPS -- UNDP

12

Percik Oktober 2004

WAWASAN
BATAM: Air Mengalir Lewat Kios
FOTO: ISTIMEWA

Oleh: Tri Dewi Virgiyanti

*)

i Batam, urusan air bukan urusan gampang. Pulau di sebelah timur Sumatera ini tak cukup punya sumber air tawar alami. Tak ada sungai yang bisa dijadikan sumber air tawar dan air tanah untuk memenuhi kebutuhan 600 ribu penduduknya. Kondisi alam seperti itulah yang mendorong Otorita Batam untuk membuat enam situ buatan untuk menadah air hujan. Air hujan itu lalu diolah untuk memenuhi kebutuhan air warga Batam. Air danau itu diolah PT. Adhya Tirta Batam (ATB) menjadi air baku untuk air minum. Sejak 1995, perusahaan ini memiliki konsensi pengelolaan air minum selama 25 tahun. PT. ATB yang merupakan perkongsian antara perusahaan asing dari Inggris, Cascal, dan perusahaan lokal, Bangun Cipta Kontraktor serta Syabata Cemerlang mengalirkan air ke rumahrumah penduduk. Namun tak semua penduduk mendapat jatah air. Peraturan setempat melarang ATB mengalirkan air ke rumah-rumah yang ada di kawasan ilegal yang dikenal dengan sebutan ruli alias rumah liar. Persoalanpun muncul. Pasalnya tak kurang dari 80 ribu warga yang menempati ruli sama-sama membutuhkan air seperti warga yang lain. Sebenarnya penduduk ruli berusaha mendapatkan air lewat penampungan air hujan serta membeli air dari lori (truk penjual air). Sayangnya kualitas air yang mereka beli tak bisa digunakan untuk minum. Karena kebanyakan lori mendapatkan air dari selokan. Akibatnya, munculah aksi-aksi pencurian air. Warga kawasan ruli, kemudian membuat sambungan-sambungan liar ataupun merusak pipa untuk mendapatkan air. Aksi ini cukup merugikan ATB, karena jumlah air yang hilang (non revenue water/NRW) bisa mencapai lebih dari 30 persen. Ongkos produksi air tak bisa ditutupi oleh pembayaran langganan air

gara-gara air yang hilang. Sementara itu, aksi pencurian ini juga potensial merugikan para pelanggan. Bayangkan kalau seandainya, ongkos produksi yang hilang itu harus dibebankan ke pelanggan. Selain itu, kualitas dan tekanan air yang sampai ke rumah pelanggan pun menurun karena kebocoran pipa. Pengawasan terhadap jaringan pipa air bersih pun tak gampang dilakukan. Luasnya jaringan pipa yang mencakup seluruh Pulau Batam mempersulit pengawasan. Usaha-usaha pengawasan ternyata tak mengurangi jumlah air yang hilang. Seperti permainan kucing-kucingan. Kebocoran pipa di satu titik dapat diatasi, muncul kebocoran di titik lain. Menyikapi hal ini, ATB bersama dengan Otorita Batam mencoba mencari jalan keluar. Kepentingan bisnis untuk mengurangi NRW bukan satu-satunya pertimbangan. Ikut dipertimbangkan juga kebutuhan air bersih warga ruli. Meski mereka tinggal di daerah illegal, mereka juga ikut menyumbang pertumbuhan ekonomi di Batam. Mereka yang kebanyakan bekerja sebagai buruh, satpam, tukang ojek ternyata punya pendapatan dan daya beli yang cukup tinggi.

Pendapatan rata-rata penduduk ruli berkisar antara Rp. 600 ribu rupiah hingga Rp 1,5 juta. ATB dan Otorita pun harus memeras otak. Di satu sisi dia harus bisa melayani kebutuhan air warga ruli -- karena memang hanya inilah cara jitu memberantas aksi pencurian air-- di sisi lain ada peraturan yang melarang buat mengalirkan air ke kawasan ruli. Akhirnya, ATB dan Otoritas Batam memutuskan membangun kios-kios air di dekat kawasan ruli. Untuk tahap pertama dibuat delapan kios air. Kios-kios ini diserahkan kepada pihak tertentu untuk dikelola. Tentu saja tak sembarangan pihak bisa mengelola. Setidaknya ada dua syarat untuk bisa mengelola kios air. Pertama, institusinya harus berbadan hukum, seperti koperasi atau CV, sehingga institusi itu bisa jadi pelanggan legal ATB. Kedua, pengelola ini harus mendapat dukungan dari penduduk ruli sekitarnya. Orang-orang yang mengelolanya pun ditunjuk oleh warga ruli. Tujuannya untuk mengurangi konflik di masa datang serta memastikan bahwa penduduk ruli membeli air dari kios itu. Kios air yang dibuat dari kontainer

Percik 13 Oktober 2004

W AWASAN
bekas ini dihubungkan ke jaringan air bersih ATB. Kios ini dilengkapi meteran air serta keran pengatur. Kios ini juga bersifat portable, mudah dipindahkan ke tempat lain jika diperlukan. Antara pengelola dan ATB dibuatlah perjanjian-perjanjian yang mengikat antara kedua belah pihak. Isinya antara lain pihak pengelola harus memelihara kios air dan melakukan pembayaran ke ATB. Pihak pengelola juga yang mengatur pendistribusian air ke penduduk setempat. Hanya warga sekitar yang mendaftar yang dapat membeli air dari kios. Tujuannya untuk menghindari penjualan air ke penjual komersial seperti lori. Berkaitan soal harga, kios-kios air itu dikenakan tarif terendah oleh ATB. Namun, pihak pengelola berhak menjual air di atas harga dari ATB. Meskipun begitu, pihak kios tak bisa memasang tarif semena-mena. Pasalnya harga air yang dijual harus disepakati antara pengelola dan warga. Sayangnya karena yang menjadi patokan harga adalah harga air lori yang memang mahal, maka harga air yang dijual dari kios ini cukup tinggi jika dibandingkan harga air dari ATB. Kondisi demikian memungkinkan pendistribusian keuntungan yang agak tidak berimbang, karena pengelola bisa mendapatkan keuntungan yang cukup tinggi dari penjualan air ini. Omset penjualan mereka per bulan berkisar antara 9-25 juta rupiah. Harga air dari ATB hanya Rp. 3.000 per meter kubik. Setelah dijual kepada penduduk, harga bisa mencapai Rp. 12.500-Rp. 25.000 per meter kubik. Ratarata pengeluaran rumah tangga untuk air berkisar antara Rp. 150 ribu-Rp. 250 ribu per bulan. Oleh karena itu, pengadaan kios air ini masih perlu kajian lebih mendalam, apakah benar-benar menguntungkan bagi ATB maupun masyarakat, baik masyarakat ruli atau masyarakat pelanggan ATB lainnya. Karena seiring dengan pembangunan kios air ini juga bermunculan protes dari masyarakat pelanggan air ATB

Pengadaan kios air ini masih perlu kajian lebih mendalam, apakah benar-benar menguntungkan bagi ATB maupun masyarakat, baik masyarakat ruli atau masyarakat pelanggan ATB lainnya.

yang merasa dirugikan dengan adanya kios air ini. Terutama soal tarif terendah yang dikenakan pada kios air. Selain itu muncul juga tudingan bahwa keberadaan kios air malah mengukuhkan keberadaan ruli di Batam yang selama ini memang sulit diberantas. Meski demikian, warga kawasan ruli umumnya menyambut baik keberadaan kios-kios air itu. Warga senang karena bisa dapat air bersih yang mudah dan lebih murah. Selain itu kesehatan serta

kenyamanan hidup para penghuni ruli pun meningkat. Keluhan penyakit kulit serta penyakit pencernaan kini jauh berkurang. Tentu saja masih banyak hal yang perlu terus dipantau dalam pelaksanaan kios air agar di kemudian hari keberadaan kios air ini secara kontinu dan berkelanjutan bisa memberikan akses air bersih yang layak bagi seluruh warga dan pekerjaan rumah pihak otorita untuk memberantas ruli dapat dicapai. Mungkin keberadaan kios air dan keuntungan yang diperoleh dari penjualan air ini dapat mulai dipergunakan untuk memberdayakan masyarakat ruli untuk tinggal secara legal dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Jika memang kios air ini nantinya terbukti sukses, daerah perkotaan lain di Indonesia yang mengalami hal yang sama dalam memberikan akses air kepada penduduk ilegalnya atau daerah kumuh dapat belajar dari Batam.
*)

Staf Direktorat Permukiman dan Perumahan Bappenas, dan anggota Pokja AMPL
FOTO: ISTIMEWA

14

Percik Oktober 2004

WAWASAN
Air di Australia dan Pembangunan Berkelanjutan
ir merupakan topik pembicaraan yang tak pernah lekang dimakan waktu. Ini karena air merupakan kebutuhan vital setiap orang yang tak bisa tergantikan. Tiap-tiap negara memiliki pengalaman dalam pengelolaan air. Ada yang berhasil, ada yang gagal. Salah satu negara yang dianggap cukup berhasil dalam pengelolaan air adalah Australia, negara tetangga kita. Ada sejumlah perbedaan dalam pengelolaan air minum antara Australia dan Indonesia. Pertama dalam distribusi air minum. Seperti juga di negara-negara maju lain, mendapatkan air minum di Australia sangatlah mudah. Fasilitas air minum domestik dapat dipastikan berupa potable water, atau air yang bisa langsung diminum dari kran. Begitu pula fasilitas-fasilitas umum seperti di taman, sekolah, kantor dan tempat-tempat umum lainnya tidak akan lepas dari kemudahan untuk mendapatkan air minum. Kran-kran umum yang tersebar, semuanya bisa digunakan untuk minum. Hal inilah yang menjadi sebab utama, orang-orang di sana termasuk turis dan pelajar internasional selalu membawa botol minuman ke manapun pergi. Botolbotol minuman inilah yang kemudian bisa diisi ulang dari kran-kran umum tersebut. Dilihat dari segi lingkungan, tentu ini sangat baik karena dengan demikian makin sedikit botol minuman yang akan dibuang ke lingkungan. Ini berarti pula berkurangnya beban untuk mengolah buangan padat yang biasa dilakukan oleh masyarakat ataupun pemerintah daerah setempat. Sedangkan dilihat dari sudut pandang customer, ini berarti adanya penghematan yang signifikan untuk membeli air minum. Seperti yang telah dimaklumi bersama, biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli air minum tidaklah kecil. Bahkan, bisa dikatakan

Iwan Juwana

*)

untuk volume yang sama, harga air minum lebih mahal dari bensin. Walaupun demikian, tentu saja tidak dipungkiri bahwa pembangunan instalasi pengolahan air minum, jaringan distribusi dan pemeliharaan untuk tercapainya potable water di Indonesia membutuhkan dana yang besar. Memang, sepertinya bangsa kita masih harus bermimpi panjang hingga terealisasinya air langsung minum dari kran. Dana terbesar yang harus dialokasikan tentunya pada jaringan distribusi perpipaan dan pemeliharaan, karena sebetulnya untuk instalasi pengolahan hampir semua PDAM dan perusahaan air minum di Indonesia telah memenuhi standar baku mutu air minum yang ditetapkan Depkes maupun WHO. Contoh paling dekat, pernah satu waktu salah satu program televisi Indonesia menampilkan profil perusahaan air minum di Pulau Batam, PT. Adhya Tirta Batam. Diperlihatkan dalam acara tersebut, beberapa karyawan meminum air dari kran hasil instalasi pengolahan air minum. Namun, dapat dipastikan tidak ada seorang pun yang berani meminum air dari kran rumahnya, terutama rumah yang berlokasi jauh dari tempat pengolahan air minum. Sebab, makin jauh lokasi rumah berarti pula makin besar kemungkinan air minum yang sampai ke kran rumah telah melalui jaringan pipa yang lebih panjang, dimana kualitas pipa banyak berkarat. Perbedaan signifikan kedua adalah adanya water restriction, pada saat-saat tertentu di hampir seluruh wilayah Australia. Ketika menghadapi musim kemarau yang panjang, ditandai dengan menurunnya muka air waduk sebagai sumber utama air bersih, pemerintah nasional dan daerah memberlakukan pembatasan

penggunaan air. Pembatasan ini sifatnya mengikat dan ditunjang oleh berbagai instrumen pendukung yang dapat diandalkan. Instrumen pendukung yang dimaksud salah satunya ialah upaya controlling dan penegakan hukum. Sebagai contoh, salah satu bentuk water restriction yakni larangan penggunaan air dari kran untuk mencuci mobil dan menyiram pekarangan di siang hari. Ketika peraturan ini ditetapkan, pada saat yang bersamaan diterjunkan pula petugas yang mengontrol penggunaan air di siang hari. Jika saja ditemukan ada pelanggaran, petugas tidak segan-segan memberikan denda kepada yang bersangkutan di tempat kejadian sesuai ketentuan yang berlaku. Tidak dikenal adanya istilah 'kompromi' atau tawar menawar ketika pelanggaran terjadi. Begitu pula dengan media, ketika water restriction ditetapkan, media televisi, radio, surat kabar dan media-media cetak lainnya memberikan sosialisasi kepada masyarakat luas. Tidak ada alasan bagi pelanggar untuk mengatakan tidak tahu aturan yang sedang berlaku. Pada tahap tertentu, kesadaran akan pentingnya fungsi air di kalangan masyarakat, pemerintah dan aktor lainnya di Australia sudah tinggi, terutama jika pembandingnya Indonesia. Lalu apa yang menjadi dasar tindak kesadaran ini? Penulis mengamati, yang menjadi dasar munculnya kesadaran akan pentingnya sumber air ini adalah konsep sustainable development, pembangunan berkelanjutan. Pemerintah federal Australia menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan ini dalam lima pilar atau lima prinsip. Prinsip pertama dikenal dengan nama precautionary principle. Prinsip ini menekankan, jika suatu kegiatan diduga akan berdampak lingkungan, maka harus dilakukan upayaupaya segera untuk mencegah timbulnya dampak tersebut tanpa harus menunggu

Percik 15 Oktober 2004

WA W A S A N
adanya kepastian ilmiah atau scientific certainty. Dalam pengelolaan air misalnya, jika diketahui bahwa sumber air utama adalah waduk dan kondisi waduk semakin menurun, maka salah satu upaya pencegahan yang dilakukan adalah dengan water restriction terhadap kegiatan-kegiatan yang banyak menggunakan air. Hal ini perlu dilakukan sekalipun belum ada penelitian khusus yang menjelaskan hubungan langsung antara menyiram pekarangan dengan turunnya muka air waduk. Prinsip kedua ialah intragenerational equity, atau dengan kata lain kesetaraan intragenerasi. Maksudnya perlu sekali ditanamkan kesadaran bahwa selain kita pribadi yang membutuhkan air misalnya, ada sekitar 6 milyar manusia lain yang juga membutuhkan air. Jika perilaku menghambur-hamburkan air untuk kepentingan yang sekunder bahkan tersier dibiarkan, jelas akan mempengaruhi ketersediaan air untuk 6 milyar manusia lain tersebut. Penanaman kesadaran dan empati terhadap sesama akan sangat mempengaruhi seseorang dalam memanfaatkan air minum. Prinsip ketiga ialah intergenerational equity, atau bisa disebut dengan kesetaraan antargenerasi. Telah sering disebut dalam konferensi, seminar dan diskusi ilmiah bahwa paradigma lingkungan yang harus ditanamkan: lingkungan itu bukanlah warisan dari nenek moyang namun merupakan titipan dari anak cucu, generasi mendatang. Dalam penggunaaan air, tidaklah dibenarkan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini saja, tapi pula harus diperhatikan bagaimana nasib generasi mendatang. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, generasi mendatang harus mendapatkan sumber daya alam yang minimal sama dengan yang diperoleh generasi mendatang. Tidaklah merupakan tindakan yang bijaksana jika mewariskan kondisi lingkungan yang lebih buruk dari sekarang. Keempat, prinsip biodiversity conserFOTO: WWW.CSIRO.AU

Dalam penggunaaan air, tidaklah dibenarkan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini saja, tapi harus diperhatikan nasib generasi mendatang.
vation, konservasi keanekaragaman hayati. Berkenaan dengan pengelolaan sumber air, perlu diingat pula bahwa air tidak hanya dibutuhkan spesies bernama manusia, namun pada saat bersamaan juga merupakan unsur vital bagi kelangsungan hidup flora dan fauna. Prinsip terakhir ialah environmental economic internalization, internalisasi nilai-nilai ekonomi lingkungan. Selama ini banyak sekali kasus dimana ketika kita membeli suatu produk, dampak lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas produksi barang tersebut tidak diperhitungkan dalam harga barang. Misalnya, ketika kita membeli sebuah kendaraan, polusi yang dihasilkan oleh kendaraan tersebut tidak

termasuk dalam harga mobil. Harga mobil hanya ditentukan oleh suku cadang, tenaga ahli, tenaga mekanik dan marketing serta variable-variabel lain, namun tidak memperhitungkan variabel dampak lingkungan. Contoh lain, ketika kita membeli air minum kemasan botol, harga air tidak menghitung kerusakan pada sumber air, tidak pula memperhitungkan flora dan fauna yang terganggu dengan adanya pengambilan sumber air tersebut. Nah, dengan prinsip-prinsip yang disusun oleh berbagai elemen masyarakat dan juga diterapkan secara sistematis dengan pengawasan yang ketat sejauh ini telah memberikan dampak yang signifikan bagi peningkatan kualitas lingkungan di Australia. Bagaimana dengan Indonesia?
*) Penulis adalah lulusan Environmental Management Program, University of New South Wales, Australia. Saat ini tercatat sebagai dosen tetap di Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Nasional, Bandung.

16

Percik Oktober 2004

W AWASAN
Sekali Lagi tentang Privatisasi
Tulisan Pertama dari Dua Tulisan
alam literatur awal ekonomi pembangunan, ekonom melihat negara sebagai pelaku yang baik dan pemersatu, dengan tujuan tindakannya selalu bersifat sosial. Pemerintah dipandang mempunyai kemampuan mendapatkan informasi dan dilengkapi dengan pengetahuan dan instrumen kebijakan yang memadai, dapat mencampuri pasar untuk membenahi kegagalan pasar dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pandangan tersebut dinodai oleh kenyataan bahwa campur tangan pemerintah (baik di negara maju maupun negara berkembang) sering malah berakibat buruk. Tentu saja, kegagalan pemerintah pada kebanyakan kasus menunjukkan hasil yang lebih buruk dari kegagalan pasar. Hal ini menjadikan campur tangan pemerintah khususnya dalam bentuk banyaknya Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) pada berbagai bidang usaha kemudian dianggap berdampak negatip bagi perekonomian nasional. Kondisi ini kemudian menyuburkan pandangan agar pemerintah mengurangi campur tangannya dalam perekonomian melalui BUMN/D. Akhirnya privatisasi BUMN/D dilihat sebagai salah satu cara yang efektif mengurangi campur tangan tersebut. Walaupun kemudian ternyata alasan privatisasi tidak melulu karena adanya campur tangan pemerintah. Namun pada akhirnya privatisasi telah menjadi suatu gejala yang umum dimanapun di dunia saat ini. Walaupun demikian perlu disadari bahwa privatisasi tidak selamanya lebih baik. Privatisasi bukan Panacea (obat bagi semua penyakit). Banyak bukti empiris yang menunjukkan itu. Sehingga sebenarnya pilihan privatisasi atau tidak terpulang kembali kepada tujuan dari pendirian sebuah perusahaan yang melayani kepentingan publik. Sepanjang pilihan tersebut baik untuk publik maka menjadi tidak relevan lagi dikotomi swasta atau pemerintah. Namun pertanyaan yang lebih valid adalah pada saat kapan privatisasi me-

Oleh: Oswar Mungkasa*) nunjukkan kinerja yang lebih baik, dan bagaimana menciptakan kondisi tersebut, serta prasyarat apa saja yang harus terpenuhi. Tulisan ini berusaha memaparkan jawaban dari pertanyaan tersebut dari berbagai sumber, yang dimulai dengan memberi pemahaman tentang privatisasi, baik definisi, manfaat, kendala, pengalaman negara lain, dan prasyarat keberhasilan privatisasi. Versi lengkap dari tulisan ini dapat dilihat pada newsletter AMPL edisi 26 Nopember 2004 atau di situs AMPL www.ampl.or.id Beberapa Bukti Empiris tentang Kinerja BUMN Riset oleh Savas (1974, 1977) dan Stevens (1978) di Amerika Serikat, Hamer di Jerman, Hartley dan Huby di Inggris menunjukkan hasil yang sama bahwa biaya produksi sektor publik lebih besar, berkisar rata-rata 20-40 persen dari sektor swasta. Di Inggris, biaya sektor publik lebih besar 30 persen, di Amerika Serikat lebih besar 40 persen, di Jerman mendekati angka 50 persen. Ketiga penelitian tersebut bermuara pada kesimpulan bahwa efsiensi sektor swasta lebih baik dari sektor publik (Pirie, 1988). Ayub dan Hegstad dalam majalah Research Observer Volume 2 No. 1 Januari 1987 melakukan penelitian terhadap 500 perusahaan besar yang bukan perusahaan AS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak satupun perusahaan pemerintah yang menunjukkan kinerja lebih baik dari perusahaan swasta (Simarmata, 1991). Perusahaan Boardman dan Vining yang melakukan penelitian terhadap 500 perusahaan terbesar yang berada di luar AS dan bukan monopolis, menunjukkan kesimpulan yang sama swasta lebih unggul dari BUMN dilihat dari segi laba dan efisiensi. Bagaimana di sektor air minum dan sanitasi? Pada studi yang membandingkan ki-

nerja 50 perusahaan penyedia air minum di negara berkembang Asia dan Pasifik ditemukan bahwa perusahaan swasta lebih efisien (Estache, 1999). Di negara maju, dengan asumsi bahwa perusahaan pemerintah relatif lebih efisien maka diharapkan keterlibatan swasta menjadi kurang signifikan. Namun, kenyataan menunjukkan sebaliknya. Ahli ekonomi Trent University meneliti 3 studi di AS sejak tahun 1970an. Studi pertama terhadap 112 penyedia air menunjukkan bahwa produktifitas perusahaan pemerintah hanya 60 persen dari perusahaan swasta. Ketika sebuah perusahaan pemerintah menjadi perusahaan swasta, output per pegawai meningkat 25 persen, dan sebaliknya ketika perusahaan swasta menjadi perusahaan publik maka output per pegawai menurun 40 persen. Studi kedua terhadap 143 penyedia air minum, ditemukan bahwa biaya lebih besar 15 persen pada perusahaan pemerintah. Studi ketiga menunjukkan bahwa perusahaan pemerintah lebih mahal 20 persen (Brubaker, 2001). The Reason Foundation telah berulangkali menemukan perusahaan swasta di AS lebih efisien dari perusahaan pemerintah. Sebuah studi tahun 1992 menyimpulkan bahwa pelayanan yang dipihak ketigakan dapat mengurangi biaya operasi sampai 50 persen. Salah satu contohnya adalah pengolahan air limbah di New Orleans dan New York. Selain itu, dalam suatu studi yang membandingkan kinerja 10 perusahaan pemerintah negara bagian California dengan tiga perusahaan swasta terbesar di California, The Reason Foundation menemukan bahwa biaya operasi rata-rata setiap sambungan per tahun perusahaan swasta lebih rendah, perusahaan pemerintah menggunakan pegawai lebih banyak, dan menghabiskan tiga kali lebih banyak biaya operasi untuk gaji. Selanjutnya, perusahaan pemerintah menghabiskan dua kali lipat biaya pemeliharaan untuk menghasilkan jumlah produksi yang sama (Brubaker, 2001)

Percik 17 Oktober 2004

W AWASAN
Bukti di atas pada kenyataannya tidak dengan otomatis mengarah pada kesimpulan sektor swasta lebih efisien dari sektor publik. Beberapa hasil penelitian empiris membuktikan sebaliknya. Misalnya penelitian oleh Caus dan Christensen (1980) membandingkan perusahaan KA Canadian National (BUMN) dan Canadian Pacific (swasta). Kinerja Efisiensi Produksi (Productive Efficiency Performance) dari kedua perusahaan tersebut tidak berbeda secara signifikan. Hasil studi literatur Siahaan (2000) yang dikemukakan dalam disertasinya menunjukkan bahwa kesimpulan BUMN mempunyai tingkat biaya yang lebih tinggi dibanding swasta masih sangat kabur, karena perbandingan dilakukan antara BUMN monopoli dan swasta yang bersaing mendapatkan proyek (Stevens 1978, Savas 1974, 1977, dan Ahebrand 1973). Karenanya beberapa peneliti (Meyer 1975, Pescutrice dan Trapani, 1980 dalam bidang listrik; Teeples dan Glyer, 1987 dalam bidang penyediaan air) membandingkan antara BUMN dan swasta yang sama-sama monopolis, dan hasilnya menunjukkan bahwa perbedaan biaya antara keduanya sangat kecil bahkan kadang terbalik. Namun yang kurang dicermati bahwa BUMN tersebut dibandingkan dengan swasta monopolis yang mengalami regulasi (misal penentuan harga), sehingga implikasi 'property rights' (kepemilikan) terhadap swasta tersebut sama kaburnya. Alkinsen dan Halvosen (1986) menghitung 'cost efficiency' (efisiensi biaya) untuk sampel 30 monopolis BUMN dan 123 monopolis swasta yang bergerak dalam pembangkitan listrik, menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan kecuali bahwa tingkat biaya keduanya lebih tinggi dari seharusnya. Dalam sektor air minum pun berlaku hal yang sama. Perbandingan antara perusahaan air minum milik pemerintah di Swedia dan swasta di Inggris untuk ukuran perusahaan yang sama menunjukkan bahwa biaya penyedia air minum swasta lebih besar. Kontrak manajemen di Puerto Rico, Trinidad, dan Budapest menunjukkan bahwa keterlibatan swasta tidak membawa perubahan berarti (PSI, 2000). Di Perancis, perbandingan antara perusahaan yang dikelola swasta dan pemerintah menunjukkan bahwa perusahaan swasta menerapkan tarif yang 13 persen lebih tinggi (Hall, 2001). Pada survei menyeluruh terhadap 24 studi yang membandingkan kinerja perusahaan swasta dan publik dalam bidang infrastruktur 30 tahun terakhir, ternyata separuh dari studi menunjukkan bahwa kinerja perusahaan swasta secara nyata lebih baik dari perusahaan publik, tujuh studi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi terdapat lima studi yang menyatakan perusahaan publik lebih baik dari perusahaan swasta (Shirley, 2000). Hal yang menarik lainnya, bahwa perusahaan 'mixed-enterprise' (kerjasama dengan BUMN) ternyata tidak lebih unggul terhadap BUMN. Namun penelitian Jones (1992) di Malaysia membantah hal tersebut. BUMN yang diprivatisasi secara parsial tidak kalah dengan BUMN yang diprivatisasi total. Jika mendasari pada kepemilikan, maka hasil penelitian Vikers dan Yarrow (1988), Boardman dan Vinning (1989) menyatakan bahwa pengaruh kepemilikan badan usaha bukan merupakan hal yang dominan dibandingkan dengan pengaruh keadaan kompetisi dan regulasi yang harus dihadapi perusahaan (Siahaan, 2000). Sementara disertasi Siahaan (2000) tentang efisiensi teknik BUMN di Indonesia menunjukkan bahwa (i) BUMN kurang efisien dibanding swasta; (ii) BUMN skala usaha besar dan bergerak pada pasar domestik relatif kurang efisien dibanding swasta dengan karakteristik yang sama; (iii) perbedaan efisiensi pada BUMN dan swasta dengan skala usaha kecil tidak signifikan. Berdasar beberapa hasil survei perbandingan kinerja perusahaan swasta dan BUMN serta dampak privatisasi BUMN pada berbagai negara, ternyata hasilnya menunjukkan bahwa (i) kinerja perusahaan swasta bisa lebih efisien dari BUMN dan sebaliknya; (ii) perubahan pemerintahan tidak berdampak pada kinerja perusahaan (swasta dan BUMN); (iii) privatisasi dapat meningkatkan pertumbuhan produktifitas tenaga kerja dan total faktor, dan sebaliknya tidak mempunyai pengaruh yang signifikan; (iv) perubahan kepemilikan berdampak kecil; (v) BUMN dengan pasar kompetitif lebih baik kinerjanya (Pollitt, 1999) Beberapa kesimpulan penelitian di atas mengarahkan kita pada kenyataan bahwa (i) efisiensi bukan hanya didominasi sektor swasta saja, namun secara keseluruhan efisiensi perusahaan swasta masih lebih baik dari perusahaan pemerintah; (ii) sulit untuk melakukan perbandingan antara BUMN dan swasta karena keduanya tidak berada pada 'playing field' yang setara; (iii) kinerja suatu perusahaan baik BUMN maupun swasta sangat tergantung pada karakteristik perekonomian dimana usaha tersebut berada, terutama karakteristik kompetisi dan karakteristik regulasi yang berlaku. Definisi Pada awalnya privatisasi biasanya merujuk pada pengalihan pemilikan dan kendali dari publik ke sektor swasta khususnya penjualan aset. Ini mencakup pengalihan sebagian atau seluruhnya, yang berarti mengurangi peran pemerintah dan meningkatkan peran sektor swasta, dalam kegiatan atau pemilikan asset (Savas, 1987). Berjalannya waktu membuat privatisasi tidak selalu dikaitkan dengan penjualan. Konsepnya telah diperluas mencakup perubahan struktural yang lebih luas yaitu mencakup satu atau lebih kombinasi dari pengalihan peranan pemerintah pada swasta dalam hal pemilikan, pembiayaan, pelaksanaan produksi,

18

Percik Oktober 2004

W AWASAN
Dikatakan juga bahwa privatisasi sebagai proses memperkenalkan disiplin kekuatan pasar (Ramandham, 1989), termasuk konsep 'marketisasi' yang mendorong penghilangan monopoli atau pengurangan langsung dan tidak langsung hambatan keluar-masuk pasar (PBB, 1989). Cara pandang lain adalah bahwa privatisasi memungkinkan BUMN dan pihak swasta mempunyai kesempatan dan perilaku yang sama. Lebih jelasnya Mar'ie (1996) menyatakan bahwa privatisasi tidak sekedar menjual aset BUMN pada swasta tetapi (i) memberikan kesempatan swasta menjadi pemain utama dalam bidang bisnis; (ii) menjadikan BUMN bertingkahlaku sebagai suatu 'entrepreneur'; (iii) BUMN bisa bertingkahlaku sebagai swasta. Definisi dan pengertian privatisasi akan sangat beragam sebagaimana dijelaskan terdahulu tetapi secara umum tetap dapat dirangkum sebagai berikut (i) Perubahan bentuk usaha dari "perusahaan negara" menjadi perusahaan berbentuk perseroan terbatas; (ii) Pelepasan sebagian (besar/kecil) atau seluruh saham dari suatu perusahaan yang dimiliki negara kepada swasta, baik melalui 'private placement' maupun 'public offering'; (iii) Pelepasan hak atau aset milik negara atau perusahaan yang sahamsahamnya dimiliki negara pada swasta, baik pelepasan untuk selamanya (antara lain melalui jual beli, hibah atau tukar guling) maupun pelepasan untuk sementara waktu (termasuk dengan cara Build Operate Transfer); (iv) Pemberian kesempatan pada swasta untuk menggeluti bidang usaha tertentu yang sebelumnya merupakan monopoli pemerintah; (v) Membuat usaha patungan atau kerjasama dalam bentuk lain dengan memanfaatkan aset pemerintah; (vi) Membuka dan meningkatkan adanya persaingan sehat dalam dunia usaha (Soebagjo, 1996). Konsep Privatisasi Alasan dan Tujuan Privatisasi Berdasarkan hasil survei pada bebera-

Kinerja suatu perusahaan baik BUMN maupun swasta sangat tergantung pada karakteristik perekonomian dimana usaha tersebut berada, terutama karakteristik kompetisi dan karakteristik regulasi yang berlaku.
pa negara tentang alasan privatisasi, maka terdapat 5 (lima) alasan terbesar yaitu: (i) mengembangkan ekonomi pasar atau meningkatkan efisiensi bisnis; (ii) mengurangi beban aktifitas negara; (iii) mengurangi hutang negara atau menutup defisit anggaran; (iv) mendapatkan dana untuk tujuan lain; (v) memperluas pasar modal dalam negeri. Khusus negara berkembang terdapat beberapa alasan khusus seperti (i) mendapatkan peluang usaha dengan dunia internasional, yang diharapkan mendorong masuknya modal asing dan sekaligus alih teknologi; (ii) membuka kesempatan kerja sebagai konsekuensi masuknya modal asing dan berkembangnya dunia usaha; (iii) mendapatkan pengetahuan majerial dan menggantikan birokrat pengelola BUMN dengan tenaga profesional (Sumarlin, 1996). Gouri (1991) mengklasifikasikan alasan privatisasi dalam 4 (empat) kelompok yaitu (i) tekanan finansial, seperti defisit anggaran, neraca pembayaran; (ii) tekanan ekonomi, berupa ketidakefisienan BUMN; (iii) tekanan non-ekonomis, berupa pemerataan pendapatan, meningkatkan motivasi manajer; (iv) tekanan eksternal misalnya tekanan dari lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (Siahaan, 2000)

Metode Privatisasi Berdasar pengalaman privatisasi di Inggris, maka menurut Pirie (1988) metode privatisasi dapat dikelompokkan secara garis besar menjadi: (i) Transfer kepemilikan berupa (a) penjualan total pada swasta langsung dan melalui pasar modal; (b) penjualan sebagian pada publik, karyawan, atau joint venture. Transfer kepemilikan dapat dilakukan melalui lelang, negotiated sale (harga dan syarat transaksi disetujui bersama dalam negosiasi langsung), tender (ii) Transfer kendali manajemen berupa (a) transfer sebagian, terdiri dari pemisahan manajemen dengan kepemilikan, joint venture, perubahan manajemen total; (b) sub kontrak manajemen, pemerintah menyewa swasta untuk mengelola BUMN; (c) leasing, swasta menyewa hak pengelolaan dari pemerintah; (d) Build-Own-Operateand-Transfer (BOO dan BOT). Biaya pembangunan dari swasta, kemudian diberi hak pengelolaan untuk jangka waktu panjang, dan setelah akhir kontrak aset dikembalikan pada negara (iii) Kebebasan pasar. Manajemen BUMN dibebaskan dari kendali pemerintah dengan pemberian otonomi lebih besar, kebebasan menentukan harga, kebijakan investasi, pembiayaan, dan rekrutmen tenaga kerja. Dalam sektor air minum dan sanitasi hanya sekitar 6 pilihan yang paling sering terpilih yaitu kontrak jasa (service contract), kontrak manajemen (management contract), sewa (lease), Build-operatetransfer (BOT), konsesi (concession), dan pelepasan (divestiture). Dalam praktiknya, pilihan privatisasi sering merupakan kombinasi dari pilihan yang tersedia. Misalnya BOT untuk penyediaan air dikombinasikan dengan kontrak manajemen untuk operasi sistem distribusi. (Bersambung)
*)

Staf Direktorat Permukiman dan Perumahan Bappenas Anggota Pokja AMPL

Percik 19 Oktober 2004

WAWASAN

Penanganan Kebocoran di PDAM Makassar

ebocoran atau kadang disebut kehilangan air merupakan permasalahan yang umumnya dialami oleh PDAM di Indonesia. Secara ratarata nasional tingkat kebocoran mencapai angka sekitar 30 persen. Sementara tingkat kebocoran air di PDAM Makassar mencapai 46 persen (Juli 2004). Yang menarik, kebocoran teknis disebut kebocoran air, sementara kebocoran non teknis disebut sebagai kehilangan air. Walaupun belum terdapat kesepakatan pengkategorian kebocoran air namun PDAM Kota Makassar mengklasifikasikan penyebab kebocoran air sebagai berikut: (i) Teknis berupa penyebab alamiah, akibat pemasangan baru, buka tutup, pencucian pipa, pakai sendiri, bantuan, meter bermasalah, pelanggan liar. (ii) Non teknis berupa 'pembacaan jarak jauh'; salah 'entri' data, dan persekongkolan. Kehilangan air teknis mencapai 27% dan non teknis 19%.

Fakta Singkat PDAM Makassar (2004)


Kapasitas terpasang 2.340 l/detik, produksi air 2.147 l/detik, konsumsi ratarata 1.138 l/detik Panjang pipa distribusi 2.861 km meningkat 6,4% dibanding tahun 2000. Cakupan pelayanan mencapai 71,46% (838 ribu jiwa) meningkat 39% dibanding tahun 2000 Total pelanggan aktif 121.128 Rasio karyawan/pelanggan 1:182 Pelanggan non komersil 93,55% dan komersil 6,45% Pendapatan air 72,95% non komersil dan 27,05% komersil Efisiensi penagihan 92,86%, meningkat dibanding 62,32% tahun 2000 Tarif berjalan rata-rata Rp.2.256/m3, dari Rp.2.750/m3 yang disetujui.

Kehilangan air Hasil Pengukuran Kehilangan Air secara alamiah terZona Uji Coba Sub Z17 Blok 2 utama disebabkan Tanggal 16 - 17 September 2004 oleh kondisi pipa yang sudah sangat tua. Tower yang ada Total Aliran Masuk 297 m3 100 % sudah berusia 80 Pemakaian Air (297 pelanggan) 163 m3 55,1 % tahun, bahkan baKehilangan Air 133 m3 44,9 % nyak pipa yang tertanam sedalam Aliran Malam Minimum (AMM) 3 meter. Akibatnya atau kehilangan banyak kebocoran yang sulit terdetekair fisik (3,36 m3/jam) 80 m3 27,1 % si. Pada tahun 2004 Kehilangan air non fisik 53 m3 17,8 % berhasil dideteksi Tekanan rata-rata 0,26 Atm 3.212 titik bocor. Penyebab lainSumber: Litbang PDAM Makassar nya yang cukup signifikan adalah meter bermasalah. lah tagihan yang tidak sesuai dengan konBerdasar data Juli 2004, proporsi meter disi sebenarnya. bermasalah mencapai 5.884 unit (5% dari Menghadapi kondisi ini PDAM Kota total meter). Proporsi terbesar yakni Makassar merencanakan untuk melakuberbentuk meter mati, meter buram dan kan beberapa langkah penanganan. Dameter rusak. Sedangkan masalah lainnya lam jangka pendek langkah tersebut berupa meter hilang, meter tidak normal, antara lain (i) percepatan penanganan meter tertimbun, meter terbalik, meter kebocoran; (ii) penyerahan pada pihak terendam, dan meter lepas. Sambungan ketiga untuk penggantian meter berillegal atau pelanggan liar yang berhasil masalah; (iii) aktif melakukan penyegelditemukan sepanjang tahun 2004 hanya an sambungan liar; (iv) meningkatkan 19 sambungan. kualitas petugas teknik; (v) meningKehilangan air non teknis banyak katkan pengawasan; (vi) meningkatkan disebabkan oleh faktor kualitas dan rapat monitoring. Penanganan jangka integritas karyawan, di antaranya bermenengah berupa (i) penekanan kehibentuk penetapan besarnya pemakaian langan air; (ii) pembenahan jaringan air pelanggan dengan cara menebak secara setempat; (iii) pembenahan zona tanpa melakukan pengecekan langsung. pelayanan. Penanganan jangka panjang Selain itu, pada banyak kasus petugas berupa (i) pengembangan unit penabersepakat dengan pengontrak rumah nganan kehilangan air; (ii) reinvestasi jauntuk hanya membayar sebagian kecil ringan dan meter air pola zonisasi. (OM) dari tagihan. Akhirnya sisa tagihan terpaksa dibebankan pada pemilik rumah. (Berdasarkan hasil kunjungan kerja dan Selain itu, tidak dilakukannya verifikasi pertemuan PDAM Metropolitan terhadap data tagihan yang di 'entri' oleh di Makassar) karyawan sehingga mengakibatkan jum-

20

Percik Oktober 2004

W AWASAN
Strategi Peningkatan Kesadaran Masyarakat
(Dengan Rujukan Khusus Terhadap: "Kampanye Kepedulian Masyarakat mengenai Konservasi Air di Kawasan Asia Pasifik" - Di bawah Koordinasi UN-ESCAP)
Pendahuluan alam upaya penyusunan kerangka kerja yang baik dalam penyusunan strategi pengembangan atau peningkatan Kepedulian Konservasi Air (KKA), pertama-tama Pemerintah dengan komitmen penuh dianjurkan menyusun suatu strategi nasional untuk konservasi air. Beberapa pemerintahan di wilayah Asia dan Pasifik telah melakukannya. Sebagai contoh, Pemerintah Filipina telah membentuk sebuah Komisi Nasional untuk Konservasi dan Pengelolaan Kebutuhan Air (National Committee on Water Conservation and Demand Management). pada tahun anggaran 1995 yang menggambarkan perhatian presiden negara tersebut terhadap konservasi air. Tugas yang diberikan kepada Komisi tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut: (1) Penyiapan suatu rancangan konservasi air nasional; (2) Pelaksanaan kampanye nasional untuk menciptakan kepedulian terhadap konservasi air; (3) Mendorong partisipasi aktif dari pihak swasta dalam kegiatan konservasi air ; dan (4) Menggalang dana untuk kampanye. Tugas ini telah dipelajari dan dikembangkan oleh lima Sub-Komisi yang juga melakukan pemantauan terhadap umpan balik dari para stakeholders. Komisi ini kemudian mulai membuat sebuah rancangan konservasi air nasional. Pemerintah Indonesia juga beberapa waktu yang lalu telah melakukan kajian untuk menyusun strategi konservasi airnya berdasarkan hasil survei lintas sektoral yang telah dilakukan terhadap 134 Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan membandingkan parameter-parameter seperti ketersediaan sumber air, penggunaan air, hidrologi, tata guna tanah dan keadaan sosial ekonomi. Dalam kajian tersebut sebanyak 41 DAS di antaranya perlu mendapat prioritas pertama untuk buhan air tanah, pengawasan pembuangan air limbah, pembentukan daerah perlindungan air, dan pembentukan kelompok-kelompok pemakai air maupun perusahaan pengelolaan dan pemeliharaan air. Pemerintah Republik Demokrasi Rakyat Laos telah membentuk sebuah Komisi Koordinasi Sumber Daya Air (Water Resources Coordination Committee) pada tahun 1999 untuk kegiatan pemakaian air nasional. Prioritas yang dilakukan mencakup program pendidikan masyarakat tentang pentingnya air sebagai salah satu sumber daya alam, dengan target awal kegiatan ini ditujukan kepada para staf yang bekerja di sektor pengairan. Pemerintah Republik Taiwan melalui pidato Presiden Chen Sui-Bian pada salah satu peresmian seminar internasional tentang Pengairan dan irigasi pada tanggal 11 November 2003, menyampaikan komitmen politis untuk mendukung pembangunan sumber daya air dan irigasi berkelanjutan dengan mengambil langkah-langkah : (1) Persuasi kerjasama Asosiasi Irigasi dan unit pemakai air; (2) Komitmen membangun tiga bendungan besar untuk promosi wisata air & suplai air baku dalam waktu lima tahun; (3) Inisiatif menyiapkan - mendorong Revisi UU-SDA-Irigasi Taiwan untuk pemberdayaan Asosiasi Irigasi; (4) Komitmen besar-besaran: a) meningkatkan infrastruktur Irigasi; b) Beutifikasi saluran irigasi dan drainase; dan c) Revitalisasi daerah-daerah pertanian di kawasan perdesaan Taiwan. Sebelas Langkah Strategis Dari berbagai pengalaman penyelenggaraan kampanye kepedulian konservasi air di Kawasan Asia Pasifik yang dikoordinasikan oleh UN-ESCAP, disimpulkan sementara sebuah strategi untuk penyiapan program peningkatan kesadaran

Tulisan Pertama dari Dua Tulisan

Oleh: A. Hafied A. Gany, PhD*)

konservasi sumber air, karena kondisinya sangat kritis. Lokasi DAS tersebut sebagian besar berada di sekitar kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Melalui Pasal 14 Ayat (h) UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air telah diamanatkan juga tugas Pemerintah untuk membentuk Dewan Sumber Daya Air Nasional, Dewan Sumber Daya Air Wilayah Sungai lintas propinsi, dan Dewan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Strategis Nasional, untuk pengaturan pengelolaan SDA. Selanjutnya dalam BAB III, diamanatkan secara khusus tentang 'Konservasi SDA' dengan segala strategi pelaksanaannya, namun saat ini masih menunggu pelaksanaannya yang akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah. Di Republik Islam Iran, pemerintah telah menugaskan Organisasi Pengelolaan Sumber Daya Air (Water Resources Management Organization) untuk melaksanakan beberapa kebijakan konservasi air yang penting antara lain peningkatan kesadaran masyarakat, pengenalan pemanfaatan kembali air limbah dan im-

Percik 21 Oktober 2004

WA W A S A N
FOTO: ISTIMEWA

masyarakat yang terdiri atas 11 langkah kerja yang perlu disesuaikan dengan institusi spesifik, keadaan sosial dan sosial ekonomi serta budaya yang berkembang dari daerah/negara yang jadi sasaran. Kesebelas langkah itu yaitu : Langkah Pertama: Membentuk Komisi Pengelola 1. Keahlian yang Diperlukan dan Struktur Umum Pengelolaan peningkatan KKA memerlukan keahlian tambahan selain keahlian yang biasanya dibutuhkan dalam proyek sumber air atau suplai air bersih. Komisi Pengelola harus melibatkan tenaga-tenaga dengan keahlian dan pengalaman dalam sosialisasi, hubungan masyarakat, pendidikan, media dan komunikasi. Suatu hal yang menguntungkan, jika beberapa keahlian dalam sosialisasi umum dan media telah diterapkan pada bidang-bidang fungsional yang terkait seperti pengelolaan lingkungan, kesehatan masyarakat dan irigasi. Komisi (sesuai dengan kondisi setempat) dapat diberi kekuasaan apakah sebagai suatu Komisi Penasehat atau sebagai Badan Pengelola. (a) Komisi Penasehat: Bentuk Komisi ini sangat tepat jika sebuah kementerian atau departemen pemerintah bertindak sebagai sponsor utama dan bertanggung jawab penuh untuk mencapai tujuan program, menyediakan dana dan mengatur pengeluaran. Masing-masing anggota Komisi Penasehat memberikan pandangan dan berbagai pengalaman dari organisasi yang mereka wakili. Agar supaya Komisi tidak menjadi terlalu luas, dianjurkan agar jumlah anggota dibatasi sampai 12 orang. (b) Badan Pengelola. Jika diberi kekuasaan sebagai sebuah badan, anggotaanggota Komisi mempunyai tanggung jawab pribadi maupun bersama dalam pencapaian tujuan dan untuk pengelolaan keuangan. Hal ini merupakan pendekatan

tama tugas utama Komisi Pelaksana adalah menentukan stakeholders KKA. Dalam kaitan ini, stakeholders adalah mereka yang mempunyai keinginan untuk menjadi mitra kerja dalam pengembangan KKA (termasuk mereka yang pada saat ini sedang menderita karena tidak memiliki kepedulian terhadap konservasi), maupun memiliki kelompok sasaran yang menerima pesan KKA. Untuk itu, pertamatama, Komisi perlu melakukan seleksi terhadap semua calon stakeholder. yang lebih efisien dan efektif untuk biayanya, namun perlu mendapat kepercayaan dari penyandang dana. Secara perorangan anggota Badan Pengelola dapat diberi tanggungjawab untuk menyampaikan komponen khusus dari strategi peningkatan KKA. Berdasarkan pengalaman, Badan Pengelola baru dapat berfungsi dengan efektif jika beranggotakan 6-10 orang. 2. Tujuan, Maksud dan Acuan Kerja Bentuk struktur apapun atau bentuk komisi yang digunakan, tujuan dan maksud komisi harus ditetapkan secara jelas, dan acuan kerja yang pasti harus dibuat untuk menentukan tanggung jawabnya. Pemisahan tanggung jawab yang jelas diperlukan dalam pelaksanaan harian arah strategi program. Pendekatan 2 (dua) tingkat dapat diterapkan di mana Komisi Pengelola akan bertanggung jawab terhadap strategi dan arah program secara keseluruhan, dan Tim Proyek akan melapor kepada Komisi Pengelola. Langkah Kedua: Identifikasi Para Pihak Terkait Keberhasilan pengembangan KKA dapat ditingkatkan dengan menggalang kemitraan dengan para pihak pemangku kepentingan yang memiliki tujuan yang sama dan saling melengkapi. PertamaLangkah Ketiga: Analisis Masalah Kebijakan Tugas Komisi Pengelola selanjutnya adalah mengkaji secara rinci masalah kebijaksanaan yang harus dicapai oleh pengembangan strategi KKA. Kerangka acuan yang ditetapkan Komisi perlu ditinjau kembali untuk mendapatkan permasalahan inti yang perlu disampaikan secara langsung, atau dikomunikasikan. Masalah kebijakan tersebut dapat mencakup antara lain: (i) Alasan kekurangan air lokal dan musiman; (ii) Kekuatan dan kelemahan institusi dalam pengelolaan sumber air dan sektor suplai air bersih; (iii) Tingkat pelayanan, khususnya kepada masyarakat yang kurang mampu dan besarnya komitmen politis menyediakan air kepada semua lapisan masyarakat; (iv) Tingkat kepedulian saat ini dalam berbagai tingkatan masyarakat mengenai biaya pelayanan secara keseluruhan; dan (v) Bentuk tarif yang ada maupun tentang kesanggupan dan keinginan masyarakat untuk membayar, baik dengan pertimbangan ekonomi maupun sosial lainnya. Langkah Keempat: Kajian Faktor Lokal/ Setempat 1. Membuat Analisis Tentang Keadaan Lokal Keadaan setempat perlu diperhitung-

22

Percik Oktober 2004

WA W A S A N
kan dalam rangka pengembangan KKA. Selanjutnya diperlukan pengkajian dan pemahaman keadaan setempat di mana strategi pengembangan KKA akan direncanakan dan dilaksanakan. Bidang-bidang khusus turut menentukan keadaan setempat adalah: politik, sosial, kesehatan masyarakat, lingkungan, perkembangan ekonomi, jender, kebudayaan, geografi, perubahan iklim, koordinasi. Untuk analisis, berbagai cara biasa dilakukan, namun yang paling banyak dilakukan adalah dengan pendekatan untuk 1. menentukan kondisi atau mengetahui kondisi lokal dengan melakukan analisis SWOT (kekuatan, kelemahan, kesempatan dan bahaya) dalam bentuk pembahasan kelompok. Belakangan ini mulai banyak dilakukan pembahasan kelompok melalui pendekatan "Multi Stakeholder Process" (MSP) sebagai bagian dari dialog yang dikenal dengan "Dialogue on Water Foof and Environment" (DWFE). 2. Bekerja dengan Kerangka Kerja Resmi Kerangka kerja resmi yang tepat akan memberikan suatu keadaan lokal yang lebih khusus. Beban yang makin meningkat terhadap sumber-sumber air menyebabkan perlunya disusun peraturan perundang-undangan secara nasional maupun daerah supaya tercipta pengelolaan yang efisien, dan alokasi air yang seimbang. Jika kerangka kerja resmi yang masih lemah, maka salah satu tugas strategi adalah meningkatkan pemberlakuan undang-udang konservasi air. Undang-undang baru di beberapa negara termasuk UU No. 7 /1994 tentang Sumber Daya air di Indonesia, mencakup kebutuhan akan pengembangan sumber daya air yang berkelanjutan. Dengan undang-undang ini akan memberikan penekanan khusus dalam upaya memperkuat pengembangan KKA. Di beberapa negara juga terdapat undang-undang, standar perpipaan dan peraturan-peraturan daerah lainnya yang memerintahkan penggunaan peralatan air yang efisien di bangunan pribadi. Langkah Kelima: Identifikasi Kelompok Sasaran Identifikasi kelompok sasaran utama yang akan diberi informasi dan diyakinkan mengenai manfaat pengembangan KKA merupakan langkah pertama. Mereka selanjutnya akan mengenalkan KKA tersebut kepada masyarakat umum. Pesan-pesan KKA harus disesuaikan dan disampaikan kepada setiap kelompok dengan cara yang sesuai karakteristiknya masing-masing. Kelompok sasaran utama adalah: (i) Pembuat kebijakan; (ii) Para pakar sumber daya air; (iii) Para pakar sanitasi dan suplai air bersih; (iv) Badan Pemerintah dan para pemuka masyarakat; (v) Organisasi non pemerintah/LSM ; (vi) Guru dan pendidik ; (vii) Para medis; (viii) Media massa; (ix) Artis dan pekerja seni; dan (x) Para pemuka agama 1. Pembuat Kebijakan Tugas paling utama bagi Komisi Pelaksana adalah mendapatkan dukungan dan bimbingan yang luas dari para pembuat kebijakan. Para menteri dan politisi, pejabat tinggi negara, pembuat rancangan ekonomi dan pembangunan, dan pembuat keputusan dalam bidang pengairan adalah mereka yang termasuk kelompok pembuat kebijakan negara untuk strategi KKA. Cara-cara untuk mendapatkan dukungan mereka dapat meliputi hal-hal sebagai berikut: (i) Para politisi akan mendapat dukungan pemilih jika terlihat bahwa mereka sangat menyadari akan pentingnya konservasi air sebagai usaha untuk meningkatkan kehidupan sosial dan mengurangi kemiskinan ; (ii) Sejak pembuat keputusan mempengaruhi setiap orang maka masalah air akan menjadi suatu pengikat yang penting, untuk membentuk aliansi antara pemerintah dan rakyatnya; (iii) Para pengelola air akan menyadari bahwa peningkatan KKA merupakan unsur penting untuk mengembangkan pengelolaan sumber daya air terpadu ; (iv) KKA juga akan membantu meningkatkan tanggung jawab pribadi dalam pembangunan sosial. 2. Para Pakar Sumber Daya Air Pengertian dan dukungan yang diberikan oleh mereka yang bekerja dibagian sumber daya air di lembaga atau departemen pemerintah sangat diperlukan agar strategi pengembangan KKA dapat berhasil, dengan memahami pendekatan dua jalur dalam konservasi air: Konservasi sumber daya air, melalui penyimpanan air dalam bendungan, pengaturan sungai, pengelolaan terpadu antara DPS dan akuifer dan alokasi air yang efisien merupakan prioritas setiap negara. Hal ini sangat penting untuk negara yang bersama-sama memiliki satu sungai yang melintasi batas-batas negara tersebut. Konservasi suplai air bersih, melalui kegiatan dan pemeliharaan sistem suplai air dan distribusi air masyarakat maupun pemakaian air secara lebih efisien oleh konsumen. Pesan konservasi sangat penting untuk dapat disampaikan kepada pejabat pengelola DAS, khsususnya kepada pengelola yang DASnya melintasi batas-batas administrasi pemerintahan negara, atau pemerintahan Daerah Otonom. 3. Para Pakar Sanitasi dan Suplai air bersih Kelompok sasaran yang lain adalah para pakar sanitasi dan suplai air bersih, para pakar senior yang bekerja dalam perusahaan air. Selain para pengelola dan perencana yang menjadi sasaran, staf non teknis perlu dipilih, misalnya yang mereka yang bekerja sebagai humas akan memegang peran penting dalam penyampaian pesan KKA kepada kelompok konsumen air. (Bersambung)

*) Widya Iswara Utama Departemen Kimpraswil

Percik 23 Oktober 2004

T EROPONG
Zona Air Minum Prima (ZAMP) PDAM Kota Bogor

The Real Air Minum


amanya Perusahaan Daerah Air Minum, tapi kenapa airnya tak bisa diminum langsung? Itu pertanyaan yang sering muncul di tengah masyarakat. Tapi itu dulu. Saat ini beberapa PDAM telah bisa memenuhi fungsinya sebagai penyedia air minum (potable water) sesuai dengan namanya PD 'Air Minum'. Salah satunya adalah PDAM Tirta Pakuan, Kota Bogor. Hampir setahun ini PDAM tersebut telah memiliki zona pelayanan di mana airnya bisa langsung diminum. Zona itu diberi nama Zona Air Minum Prima (ZAMP). Tak beda dengan distribusi air minum (baca: air bersih) lainnya, sistem distribusi airnya pun sama persis dengan sedikit modifikasi. Hanya saja, mutu airnya telah memenuhi standar mutu air minum sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 907/Menkes/SK/VII/2002. ZAMP berada di perumahan Pakuan, Tajur, Bogor. Ada 400 pelanggan di sana. Tapi mereka bukanlah pelanggan baru ketika ada ZAMP. Jaringan distribusi telah ada di zona ini sejak tahun 1993. Modifikasi yang dilakukan antara lain penambahan wash out (pipa penguras), gate valve untuk mengisolasi bila ada gangguan jaringan, dan alat khusus monitoring sisa Chlor. Direktur Teknik PDAM Tirta Pakuan Ir. Syaban Maulana, Dipl. SE, menjelaskan ada tiga aspek yang harus dipenuhi dalam pembangunan ZAMP, yakni aspek teknis, manajemen, dan sosial-komunikasi. Aspek teknis antara lain (i) memiliki jaringan pipa yang memenuhi syarat; (ii) pengaliran 24 jam; (iii) adanya alternatif suplai; (iv) tekanan cukup dan kebocoran rendah; (v) usia pipa relatif baru; (vi) peta dan jaringan selalu di-up date dan jelas; (vii) suplai air mencukupi; (viii) kualitas memenuhi syarat air minum; (ix) pengaliran dapat

FOTO: PDAM KOTA BOGOR

diisolasi; (x) adanya program perbaikan dan emergency; dan (xi) SOP (Standard Operational Procedure). Sedangkan aspek manajemennya yaitu (i) kinerja, kemampuan perusahaan, visi dan misi, dan kualitas SDM perusahaan; (ii) Tiga K meliputi kuantitas, kualitas, dan kontinuitas; (iii) Full cost recovery yakni pengembalian investasi, kemampuan konsumen bayar lebih, kesesuaian dengan tarif pelayanan, keterjangkuan biaya operasional dan pemeliharaan, dan menghasilkan keuntungan bagi perusahaan dan konsumen; (iv) aspek legal yakni tidak ada hambatan hukum di wilayah tersebut. Aspek sosial dan komunikasi terdiri atas internal seperti SOP pelayanan, ada service point, hubungan yang baik dengan stakeholder dan media, dan aspek eksternal berupa tingkat pendapatan yang baik, penggunaan air yang cukup tinggi, pengaduan yang rendah, pendidikan memadai, mendukung inovasi yang dilakukan PDAM, dan adanya forum pelanggan. ''Dengan kriteria itu, kita pilih perumahan Pakuan ini sebagai ZAMP,''

kata Syaban yang sering dipanggil Ade ini. Terlebih lagi perumahan itu merupakan bagian hilir dari sistem jaringan PDAM Tirta Pakuan. ''Kalau di hilir saja kondisinya siap minum, tentu di hulu juga bagus,'' katanya. Meski hampir setahun proyek ini berjalan, deklarasi ZAMP baru dilangsungkan Agustus lalu. Ini terkait dengan jaminan kualitas yang diharapkan. PDAM tak ingin di tengah jalan air minum itu bermasalah sehingga tak bisa memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Monitoring dilakukan terus menerus setiap hari di laboratorium milik PDAM. Hasilnya, air itu memang benar-benar air siap minum. Kendati siap minum, ternyata tidak mudah mengubah kebiasaan masyarakat untuk langsung minum air tersebut dari kran. Banyak masyarakat masih enggan. Berdasarkan survei oleh PDAM Tirta Pakuan, mereka tak mengkhawatirkan masalah kualitas dan tarif, tapi begitu pertanyaan kesiapan mereka untuk meminumnya, para responden menjawab masih pikir-pikir. Karenanya PDAM Tirta Pakuan terus melakukan sosialisasi melalui berbagai acara seperti arisan dan mengundang walikota dan tokoh-tokoh masyarakat untuk meminum air di zona tersebut. Keberadaan ZAMP sebenarnya sangat menguntungkan masyarakat. Tarif per meter kubiknya tak jauh berbeda dengan tarif air bersih yang biasa. Misalnya setiap rumah tangga menggunakan 25 meter kubik air maka tagihan per bulannya Rp. 47.000/bulan. Sedangkan harga untuk air minum di ZAMP sebesar Rp. 56.400/bulan. Harga air minum ini juga jauh lebih murah dibandingkan dengan air kemasan. Untuk satu galon (19 liter) air kemasan harganya Rp. 8.500, sedangkan air ZAMP hanya Rp. 43. Wow. (mujiyanto)

24

Percik Oktober 2004

T EROPONG
Dirut PDAM Tirta Pakuan Drs. Helmi Soetikno, MM, MBA.

''Bisa Dikembangkan Lebih Luas''


mati air minum tersebut. Harapan kita masyarakat tak khawatir lagi. Sebab, kami menjamin bahwa memang air itu layak minum. Tak ada komplain sama sekali? Ada yaitu bau kaporit. Ya kita jelaskan bahwa Chlor itu berfungsi untuk mencegah munculnya kuman dan bakteri. Tapi tetap aman untuk dikonsumsi. Jadi kalau masyarakat merasa ada 'bau kaporit', justru ini menunjukkan bahwa air mereka telah melalui pembasmian kuman sehingga aman diminum dan digunakan. Bila ada yang terganggu dengan aroma chlor tersebut, kita jelaskan cara mengatasinya. Yaitu dengan menampung air itu dalam gelas bersih dan steril. Biarkan beberapa saat maka gas chlor akan menguap dan 'bau kaporit ' akan berkurang. Sejauh ini pelanggan kita sudah bisa mengerti. Sejauh ini adakah kebocoran dalam jaringan pipa air minum ini? Sampai saat ini kita belum menerima komplain. Kalau untuk Kota Bogor secara umum tingkat kebocoran memang sekitar 30 persen. Jaringan pipa distribusi di zona ini telah kita perbaiki sejak tahun 2003 lalu. Jaringan ini dilengkapi dengan wash out dan gate valve. Juga ada alat monitoring sisa chlor dalam air. Jadi kalaupun ada kebocoran kita mudah memantau dan mengatasi. Tempat yang bocor bisa kita isolasi. Sejauh ini tidak ada kebocoran. Mudah-mudahan ini bisa berlangsung terus. Tapi kami siap 24 jam bila ada kebocoran. Kan kita punya SOP dan petugas jaga 24 jam. Makanya kita berharap ada dukungan pelanggan seperti memberikan informasi hal-hal penting tentang kondisi air dan jaringan kepada petugas di lapangan atau langsung ke kantor kita. Berapa investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan ZAMP? Sekitar Rp. 200 juta. USAID melalui
FOTO: MUJIYANTO

i s a Anda jelaskan awal mula pembangunan Zona Air Minum Prima (ZAMP) ini? Kita ditunjuk oleh Perpamsi (Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia) yang bekerja sama dengan USAID. Ada tiga kota yang ditunjuk yakni PDAM Kota Medan, PDAM Kota Malang, dan PDAM Kota Bogor. Kita dituntut mewujudkan pelayanan air minum dalam arti sebenarnya, siap minum. Maka kita mengembangkan wilayah atau zona yang memenuhi syarat baik teknis, manajemen, dan sosial-komunikasi. Perpamsi dan USAID memberikan bantuan berupa alat monitoring melalui proyek sertifikasi dan pelatihan untuk perbaikan jaringan perpipaan (CATNIP). Nantinya melalui proyek ini akan didapatkan sebuah pola yang bisa dikembangkan oleh PDAM di seluruh Indonesia, sehingga kelak semua PDAM bisa melayani konsumen dengan mutu air minum. Mengapa PDAM Kota Bogor yang dipilih? Yang bisa menjawab itu Perpamsi. Yang jelas secara manajemen kita memenuhi kriteria yang ditetapkan. Untuk diketahui, kita merupakan salah satu dari beberapa PDAM yang memiliki kinerja cukup baik. Dan yang pasti memang kita siap karena sebenarnya kita sudah memproduksi air sesuai baku mutu yang ditetapkan untuk diminum. Hanya kita belum pernah mendeklarasikannya. Sejauh mana tanggapan masyarakat dengan adanya proyek ini? Positif. Masyarakat menyambut gembira. Itu bisa kita lihat dari survei yang kita lakukan. Namun dari sisi penggunaan, mereka masih belum berani meminumnya langsung. Mungkin ini karena image air PAM selama ini. Tapi kita mencoba terus berusaha meyakinkan mereka. Saat launching Agustus lalu, kita mengundang Walikota Bogor untuk langsung meminum air tersebut di hadapan masyarakat. Air langsung dari kran. Tak ada rekayasa. Kita juga ajak para tokoh untuk menik-

Perpamsi membantu alat monitoring senilai kurang lebih Rp. 60 juta. Sisanya kita sendiri. Dari dana tersebut, alokasi mana yang paling besar? Monitoring. Baik itu monitoring pipa distribusi, maupun peralatan monitoring kualitas air. Belum lagi kita harus melatih SDM laboratorium kita dan melakukan sertifikasi. Kita juga harus menyusun SOP. Monitoring ini terus menerus sampai sekarang. Nggak pernah berhenti. Bersama itu kita lakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sanggupkah PDAM-PDAM dalam kondisi sekarang membuat proyek sejenis? Saya kira itu tergantung kinerja PDAM masing-masing. Saya kira tidak semua bisa, karena yang sehat masih sedikit. Barangkali yang sedikit ini yang bisa. Soalnya kan butuh investasi. Sementara PDAM-PDAM sekarang sebagian besar masih harus menanggung beban utang. Ini kendalanya. Apakah ada rencana PDAM Tirta Pakuan mengembangkan zona ini? Tentu. Kita sekarang sedang mendiskusikannya. ZAMP sekarang berada di kawasan elite dimana persoalan tarif tak terlalu dipedulikan. Kota mencoba memikirkan bagaimana jika zona ini berada di kawasan menengah ke bawah. Harapan kita, ZAMP bisa masuk ke sana karena dengan adanya ZAMP berarti bisa mengurangi biaya masak air. Ini kan potensi. Artinya proyek ini bisa diperluas menjadi skala lebih besar? Ya. Mengapa tidak. Toh sebenarnya tak banyak perubahan jaringan. Sedikit modifikasi. Dan ada investasi. Kan bisa juga kita bekerja sama dengan swasta. Di Tangerang sudah ada. Jadi air bakunya dari PDAM, tapi yang membangun jaringan dan sebagainya swasta. (MJ)

Percik 25 Oktober 2004

R EPORTASE
Pedagang Air, Antara Dibutuhkan dan Disayangkan
FOTO: MUJIYANTO

Potret Kecil Pelayanan Air di Kawasan Padat

Onih enam. Keduanya membeli air kepada Ny. Muamanah, tetangganya. Onih mengaku rata-rata menghabiskan tujuh pikul air (14 jerigen=Rp. 7 ribu) untuk kebutuhan keluarganya sedangkan Kasmani lima pikul. Keduanya menyatakan sebenarnya mahal membeli air seperti ini dibandingkan berlanggganan PAM. Ny. Muamanah, sang pedagang, tak mengaku berapa uang yang diraupnya setiap hari termasuk mengapa air di rumahnya tetap mengocor padahal tetangganya mati semua. ''Saya cuma membantu saja, kasihan kalau mereka tak ada air,'' katanya. Tapi dari balik dinding rumahnya terdengar suara jet pump. Tak jelas apakah itu untuk menyedot air PAM. Yang pasti tak mungkin untuk menyedot air tanah karena airnya asin. Di kawasan ini dan sekitarnya, model beli air ke rumah sangat jarang. Justru yang banyak yakni para pedagang air yang mendatangi rumah-rumah penduduk. Mereka mendorong gerobak berisi jerigen. Kadang isinya sampai 20 jerigen. Sugeng, pedagang air di kawasan Rawa Badak mampu menjajakan rata-rata 200 jerigen (100 pikul) air per hari. Per pikul (2 jerigen) harganya seribu rupiah. Sementara ia membeli air dari 'hidran umum' -begitu ia menyebut-per lima pikul harganya seribu rupiah. Oleh karena itu setiap hari, ia rata-rata bisa meraup uang sebanyak Rp. 80 ribu. ''Tapi itu kalau air lancar. Kadang-kadang air mati, kita nggak bisa apa-apa,'' kata Sugeng dengan logat Jawanya yang medok. Dengan penghasilan seperti itu, ia bisa bertahan hingga 20 tahun menjadi pedagang air. ''Saya sudah punya langganan. Yah, nggak jauh-jauh dari sini. Paling jauh

anyak orang yang belum menyadari bahwa air minum merupakan kebutuhan dasar manusia. Saking dasarnya, kebutuhan air minum tak bisa tergantikan. Maka tak heran, usaha dan uang dikeluarkan untuk mendapatkannya. Bahkan harga tak lagi menjadi pembatas bila kondisinya mengharuskan. Masyarakat di sekitar Pelabuhan Tanjung Priok misalnya. Mereka harus rela merogoh kocek seribu rupiah untuk memperoleh sepikul air -terdiri atas dua jerigen yang berukuran masing-masing sekitar 35 liter. ''Lha kalau nggak beli, dari mana lagi kita dapat air. Nggak mungkin kita minum air sumur. Asin,'' kata Onih, ibu lima anak yang tinggal di kawasan Rawa Cabe, Cilincing, Jakarta Utara. Onih sebenarnya adalah pelanggan PAM (Perusahaan Air Minum) Jaya.

Namun ia mengaku sudah setahun ini air tak mengocor sedikitpun ke rumahnya, kendati ia harus membayar uang abonemen Rp. 10.400 per bulan. ''Tapi empat bulan ini sudah nggak saya bayar. Biarin,'' paparnya. Ia mengatakan tak takut bila PAM memutus saluran air ke rumahnya. ''Biarin aja. Wong airnya kagak ngalir,'' kata wanita asli Betawi ini. Nasib serupa dialami oleh Kasmani. Bapak tiga anak ini mengaku sudah empat bulan ini tak mendapatkan air dari PAM. ''Setetes pun tak keluar,'' katanya seraya mengatakan bahwa hal serupa juga dialami sebagian besar warga di RTnya. ''Herannya, di beberapa rumah sekitar sini air PAM tetap ngocor. Ini kan aneh. Kita udah lapor, tetap saja tak ada tindakannya,'' jelasnya. Baik Onih maupun Kasmani tiap hari harus mendorong gerobak berisi jerigen. Gerobak Kasmani berisi delapan jerigen.

26

Percik Oktober 2004

R EPORTASE
FOTO: MUJIYANTO

200 meter. Umumnya rumah tangga. Ada juga yang punya PAM tapi nggak ngalir airnya,'' katanya sambil memasukkan selang air ke jerigen. Pengalaman serupa diungkapkan Zaenal Mubarok. Pria setengah baya ini berprofesi seperti ini sejak 20 tahun lalu. Ia setiap hari harus mendorong gerobak berisi 12 jerigen air yang disewa dari majikannya. ''Sewa gerobak ini Rp. 2.000 per hari,'' jelasnya. Selain menyewa gerobak sang majikan, ia bersama empat temannya sekaligus tidur di rumah sang majikan tersebut. Ia mengaku telah memiliki 30 pelanggan tetap. Menurutnya, rata-rata pelanggannya bukan pelanggan PAM. Banyak di antara mereka adalah pengontrak. Kebutuhan air per hari bervariasi, ada yang dua pikul, ada yang sampai lima pikul. ''Tergantung orang yang tinggal di situ,'' paparnya seraya menjelaskan setiap 1,5 bulan sekali ia pulang kampungnya di Tasikmalaya untuk libur dua minggu. Seperti halnya Sugeng, Zaenal juga tak terlalu jauh menjajakan airnya. Para pedagang air itu mengambil air dari hidran umum. Sebagian hidran itu memang ada papan namanya: Hidran Umum Percontohan. Tapi bagaimana asal-usul hidran itu ada di tengah-tengah kawasan padat penduduk ini, seorang lurah di kawasan tersebut yang dihubungi mengaku tidak tahu menahu. Menurutnya, hidran itu sudah ada sejak lama. Mungkin sebagian orang membayangkan yang namanya hidran umum itu seperti sebuah bangunan yang di sekelilingnya ada kran-kran air. Hidran umum di kawasan ini sangat berbeda. Hidran umum hanya sebuah bangunan tertutup. Di dalamnya ada bak penampung yang ditanam di bawah permukaan tanah. Luasnya bervariasi. Di atas penutup bak penampung itu teronggok sebuah jet pump untuk mengalirkan air. Bukan ke warga, tapi ke para pedagang melalui selang. Konon hidran itu kini bukan lagi milik umum tapi milik perorangan.

Karno, salah satu penjaga hidran umum, mengaku hidrannya selain diperuntukkan bagi para pedagang air juga bagi masyarakat sekitarnya. Di situ dibangun MCK. Tapi diakuinya bahwa kontribusi warga masyarakat ini jauh lebih kecil dibandingkan para pedagang. Setiap hari ia memperoleh pendapatan rata-rata Rp. 60-70 ribu rupiah. ''Kalau dapat, langsung saya setor ke bos,'' katanya. Ia tak mengetahui berapa meter kubik pemakaian air ini per bulan dan berapa uang yang disetorkan ke PAM. ''Itu bos yang tahu,'' jelas pria yang telah empat tahun menjaga hidran tersebut. Yang pasti, ia menyatakan air di hidran umum yang dijaganya merupakan air resmi dari PAM karena ada meterannya. Berdasarkan penelusuran Percik di lapangan, tidak semua hidran itu legal. Percik menemukan hidran yang 'bodong'. Ternyata hidran itu langsung mengambil air dari pipa di pinggir jalan. Tanpa meteran. Air langsung mengocor ke bak secara terus menerus. Untuk mengelabui, sebuah seng ditutupkan pada sebuah selokan yang diperkirakan dulunya merupakan tempat meteran. Selang ke bak penampung ternyata hanya numpang lewat saja di bawah seng tersebut. Pedagang air yang berada di situ pun mengatakan ada

meteran di bawah seng itu. Airnya mengalir cukup deras. Padahal tak sampai 100 meter dari hidran itu, air PAM warga tak mengalir sama sekali. Adakah kemungkinan semua air PAM jatuh kepada para pengelola hidran seperti ini? Tak ada yang tahu dan perlu penelurusan lebih mendalam. Terlepas dari kenyataan itu, kebutuhan air minum bagi warga di kawasan padat penduduk sekitar Pelabuhan Tanjung Priok tak bisa ditawar tawar lagi. Mereka rela memberikan kontribusi besar untuk memperolehnya. Hanya saja, kontribusi itu kini yang menikmati baru para pedagang air minum dan para pemilik hidran. Bukannya pedagang air minum tidak boleh, karena memang mereka dibutuhkan oleh masyarakat utamanya yang tidak memiliki sambungan PAM. Tapi yang perlu dipikirkan apakah selama ini seluruh pelanggan PAM yang ada di wilayah tersebut telah dapat terlayani dengan benar? Jangan sampai air minum yang seharusnya diperuntukkan bagi mereka, dihentikan di tengah jalan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab demi kepentingan pribadi dan bisnis semata dengan memanfaatkan keberadaan para pedagang air. Kalau ini benar, ini sungguh disayangkan. Air adalah milik kita bersama. (MJ)

Percik 27 Oktober 2004

W AWANCARA
Ketua Umum Perpamsi, Ir. H. Ridwan Syahputra Musagani

''Perlu Badan Pengelola Air''


Air bersih, khususnya air minum, merupakan kebutuhan dasar manusia. Namun penanganan selama ini terkesan kurang serius. Belum ada institusi yang bisa menjadi payung besar dalam pengelolaan air bersih, khususnya air minum. Mengapa? Ternyata penanganan air bersih itu tidak hanya bagaimana mengolah air yang sudah ada tapi juga bagaimana agar sumber air baku bisa lestari dan berkelanjutan. Dan ini tak mungkin hanya dibebankan pengelolaannya kepada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Begitu sebagian pendapat Ketua Umum Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi), Ir. H. Ridwan Syahputra Musagani saat wawancara dengan Percik beberapa waktu lalu di Jakarta. Berikut petikannya:
FOTO: ISTIMEWA

ini? Secara nasional, kemampuan kita dalam melayani masyarakat rata-rata baru mencapai 20 persen. Sebanyak 80 persen lainnya belum bisa dilayani oleh PDAM seluruh Indonesia. Kalau dibandingkan dengan kebutuhan publik lainnya, kita jelas jauh tertinggal. Banyak faktor yang menyebabkan itu terjadi. Cukup komprehensif persoalan dan cara pemecahannya. Maka masalah ini harus ditangani secara serius di masa yang akan datang. Apa kendalanya? Yang paling bertanggung jawab terhadap pelayanan air minum kepada masyarakat adalah institusi PDAM. Tapi ada faktor yang sangat mempengaruhi sehingga PDAM kurang mampu memberikan pelayanan lebih baik seperti telkom dan sebagainya. Ini disebabkan

ejauh mana pelayanan PDAM kepada masyarakat hingga saat

beberapa asumsi yaitu pertama, dari sisi eksternal, kapital (modal) yang ada sangat sulit untuk melakukan recovery terhadap persoalan-persoalan yang harus dilakukan. Misalnya saja untuk daerah yang cakupan pelayanannya 25-30 persen, untuk menaikkan cakupan sekian persen bukan hal yang mudah. Butuh modal yang sangat besar. Katakanlah untuk meningkatkan 1 liter per detik saja kita butuh dana Rp. 50-75 juta. Kalau 100 liter per detik berarti minimal butuh Rp. 5 milyar. Itu belum termasuk jaringan. Oleh karena itu sebenarnya banyak hal yang belum dilihat oleh banyak pihak dibanding dengan komitmen bangsa kita bahwa air bersih adalah kebutuhan utama dalam hidup sehari-hari. Sayangnya masih belum banyak dibicarakan oleh konsumen atau stakeholder. Ini menyulitkan bagi PDAM. Di sisi lain, tanpa mengungkit masa lalu yang memang cukup pahit itu, PDAM masih menghadapi masalah pinjaman. Sebanyak 168 PDAM mengalami masalah ini, yang memang sangat sulit diatasi untuk mengembalikan pinjaman itu. Ini perlu perhatian banyak pihak demi kelancaran pembayaran utang-utang tersebut.

Bagaimana langkah PDAM mengatasi masalah-masalah itu? Telah berbagai upaya dilakukan oleh Perpamsi dan teman-teman PDAM lainnya, tapi belum mendapat keseriusan dari departemen keuangan. Direktoratnya belum memproses masalah pinjaman PDAM, padahal secara prinsip masalah ini telah mendapat persetujuan DPR melalui Komisi IX untuk menyelesaikannya. Yang aneh, departemen keuangan kelihatannya sangat sulit memberikan jalan keluar terhadap persoalan ini. Kita sekarang punya utang 5,3 trilyun, seluruhnya. Mengapa BLBI yang jumlahnya 144 trilyun itu mudah-mudah saja menyelesaikannya, kenapa PDAM sulit? Kita setuju semua aset bangsa harus diselamatkan. Tapi seharusnya kebijakan pemerintah harus benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat, khususnya menyangkut kebutuhan pokok masyarakat. Air bersih adalah kebutuhan utama bagi kehidupan kita. Kelihatannya ada segelintir orang di Depkeu yang kurang memahami persoalan ini. Kami tidak minta dimanjakan, kami juga tak minta untuk pengampunan, tapi ini kondisi eksisting kita sekarang bagaimana kita memberikan pelayanan kepada masyarakat. Anggaran pemerintah bagi air bersih seperti apa? Pemerintah belum memberikan alokasi anggaran yang layak bagi air bersih. Tahun lalu hanya 300 milyar. Tapi kalau kita ingin mencapai target dalam MDGs, kita membutuhkan kurang lebih 50 triliun. Katakanlah sekarang tinggal 10 tahun, berarti dana yang harus turun Rp. 5 triliun. Sekarang cuma 300 milyar, ini bagaimana? Tapi kita bisa mengerti. Ada potensi lain yakni pinjaman. Itu bisa ditinjau dan dibicarakan karena itu menyangkut air bersih. Kami melihat penanganan pinjaman PDAM oleh Depkeu sangat kaku, konservatif, dan tradisional.

28

Percik Oktober 2004

W AWANCARA
Mereka tidak melihat suatu saat pelayanan PDAM bisa drop dalam melayani air bersih di suatu daerah. Kalau itu terjadi, itu dosa siapa? Kita sebenarnya sudah menyampaikan beberapa solusi kepada Dirjen di departemen keuangan dan oke. Tapi jajaran di bawahnya mementahkannya. Jelas kami sangat kecewa. Bagaimana dengan tarif? Ini adalah kendala kami yang ketiga. Banyak yang mengatakan bahwa PDAM ini tidak dikelola secara profesional sehingga terus merugi padahal perusahaan ini melakukan monopoli. Itu oke. Kami memang monopoli dalam arti perusahaan milik daerah yang bertugas memberikan layanan air bersih kepada masyarakat secukupnya. Ini fungsi sosial yakni bagaimana memberikan layanan secara merata dan adil. Layanan tidak hanya diberikan kepada kelompokkelompok yang mampu. Katakanlah harga dasarnya atau harga break event point sekian, kita tetap memberikan harga di bawah itu. Itu yang kita sebut sebagai harga subsidi. Sedangkan bagi kalangan bisnis kita memberikan harga progresif sehingga dari situ kita memperoleh keuntungan. Persoalan sekarang adalah bagaimana dengan kekuatan dan kekuasaan PDAM dalam menjalankan profesionalisasi terhadap penetapan tarif misalnya. Nggak ada. Begitu tarif dinaikkan, masyarakat pada ramai. Stakeholder pada tidak setuju. Oke, terus kita bertanya bagaimana harga subsidi itu? Misalnya untuk daerah A, biaya produksi untuk 1 liter per detik Rp 2,5 rupiah atau Rp 3. Karena ada kelompok masyarakat yang masih harus dibantu dengan membayar Rp 1 rupiah per liter, di sini kan harus ada subsidi. Oleh siapa? Oleh PDAM. Padahal PDAM dalam kondisi tak punya modal, investasi, punya pinjaman dan sebagainya. Jadi PDAM itu ibarat orang miskin yang berlagak seperti orang kaya. Anehnya semua orang menutup mata terhadap ini. Bagaimana kita bisa maju? Jelas ini tidak adil. BLBI, pupuk dan lainnya memperoleh kebijakan pemerintah, mengapa PDAM tidak? Soal harga, kenapa kita tidak diperlakukan seperti Pertamina, ada subsidi BBM? Kenapa uangnya tidak dari pemerintah? Harusnya subsidinya dari pemerintah seperti di Bangkok, Thailand. Ini jelas ada arogansi dari pihak-pihak yang tidak mau ada perbaikan air bersih. Saya sangat tidak setuju bila dikatakan bahwa apa yang dialami PDAM sekarang ini akibat ketidakprofesionalan PDAM. Kita mestinya justru bersyukur PDAM masih bisa memberikan pelayanan yang baik dalam kondisi yang demikian. dengan bisnis yang lainnya. Contoh misalnya Pertamina ada harga subsidi, lha PDAM mana? Kendala lainnya? Masalah keempat, kondisi air baku. Kondisi air baku sekarang tidak sama dengan 20 tahun lalu. Banyak air sungai sekarang tak bisa digunakan lagi sebagai sumber air baku. Ini tanggung jawab siapa? Dalam kondisi empat faktor itu dibiarkan, sementara kemampuan pelayanan sekarang seperti tercekik, kemudian sumber air yang akan diproduksi makin habis, itu salah siapa? Apa kelemahan manajemen saja? Nggak bisa dong. Kita harus fair dalam hal ini. Kalau kita belum bisa membuka mata dan pikiran dengan baik mengenai persoalan air bersih secara nasional maka jangan heran pada 2015 kita menjadi bangsa yang tidak mampu mengelola sumberdaya alam untuk kepentingan rakyat. Faktor kelima, mungkin yang mengurus air bersih di negara kita ini tidak ada. Makanya adanya UU SDA itu bagus, meski ada kelemahan-kelemahannya. Tapi sedikit lebih maju terhadap bagaimana pengembangan PDAM-PDAM yang selama ini mengelola air bersih. Jadi jangan sampai ada orang atau institusi yang mengatakan bisa mengelola air bersih tanpa PDAM. Tidak mungkin. Kalau mau diganti, ganti saja namanya. Tapi barangbarang yang ada sekarang itu barangbarang PDAM. Selama ini tidak ada yang mengurus air bersih. Yang ada hanya di tingkat pusat yakni di Kimpraswil, itu namanya subdit air bersih. Kalau begini bagaimana? Dengan adanya UU yang baru telah diamanahkan untuk dibentuk badan pengelola air. Dengan adanya badan pengelola air bersih ini maka air bersih akan muncul di permukaan dan menjadi pembicaraan di tingkat departemen dan rapat-rapat kabinet. Kalau ada badan ini maka ada semacam sugesti moral bahwa perhatian pemerintah terhadap penyelenggaraan pelayanan air bersih secara nasional akan meningkat.

Kalau kita belum bisa membuka mata dan pikiran dengan baik mengenai persoalan air bersih secara nasional maka jangan heran pada 2015 kita menjadi bangsa yang tidak mampu mengelola sumberdaya alam untuk kepentingan rakyat.

Artinya PDAM butuh kebijakan pemerintah? Kita butuh kebijakan yang serius dan jujur. Kita harus friendly dan menjunjung prinsip keterusterangan. Jangan memberikan pendapat-pendapat yang justru menimbulkan distorsi dan kesimpulan yang menghasilkan rumusan yang keliru. Kami dengar lima tahun lalu ada format metoda penyehatan PDAM dengan 6 formula. Ini nggak bisa dilakukan kalau semuanya belum stabil. Mengubah PDAM menjadi PT, bukan itu dasar permasalahannya. Sekarang seharusnya kebijakan terhadap PDAM itu diperlakukan sama

Percik 29 Oktober 2004

W AWANCARA
Badan ini kita harapkan membicarakan seluruh aspek yang menjadi masalah utama air bersih di Indonesia. Mulai masalah pinjaman, keuangan, air baku dan lain-lain. Apa yang menyebabkan PDAM bisa bertahan? Semangat. Kita mengoptimalkan apa yang ada supaya bisa berjalan. Banyak daerah dengan kondisi yang terbatas bisa berkembang. Tapi banyak daerah yang justru drop. Oleh karena itu PDAM, Perpamsi, Badan pengelola air nasional, nanti harus menjadi satu ikatan yang sangat rekat demi proses percepatan pembangunan air bersih nasional sesuai MDG kita. Berarti secara internal sulit bagi PDAM berkembang? Faktor internal sangat dipengaruhi faktor eksternal. Ini seperti tekanan, bahkan invasi ke dalam. Makanya ganti manajemen 5-10 kali manajemen ya begitu juga. Kalau kita bicara PDAM milik daerah, apakah kemudian pemerintah pusat lepas tanggung jawab begitu saja? Padahal bicara air bersih adalah bicara kepentingan negara. Bagaimana dengan target 2015? Saya setuju kita harus mencapai itu. Tahun 2002 lalu presiden Mega telah menyepakati konvensi Johannerburg terhadap komitmen negara di dunia ini terhadap cakupan pelayanan air minum menjadi 80 persen bagi masyarakat pada 2015. Kalau target itu tercapai, bisa saja badan pengelola air bersih itu tak perlu lagi. Apakah Target MDG bisa tercapai pada 2015 dengan kondisi sekarang? Saya kira bisa. Karena kita hanya butuh Rp. 50 trilyun sampai tahun tersebut untuk melengkapi instalasi kita. Jadi tiap tahun kita butuh Rp. 5 trilyun. Saya kira pemerintah bisa kok. Buktinya untuk memaafkan BLBI saja pemerintah mau mengeluarkan 15 trilyun tahun lalu. Kenapa kita tidak? Harapan Anda terhadap pemerintahan baru? Kalau nanti kabinet dilantik, kami minta anggota kabinet yang terkait dengan air bersih, apapun namanya, segera membentuk badan tersebut. Jangan ditunda-tunda lagi. Dalam pembentukannya kami minta faktor-faktor terhadap perumusannya tetap memperhatikan institusi-institusi yang selama ini berkecimpung di bidang air bersih. Karena merekalah yang mengenal implementasi pelayanan air bersih. Mari kita lepaskan ego sektoral masing-masing. Tak mungkin PDAM-PDAM ditinggalkan begitu saja. Marilah kita bersama-sama bersatu demi suksesnya MDG 2015. Kapan kira-kira seluruh masyarakat bisa terlayani air minum? Jadi 10 tahun lagi kita bisa, jika semua institusi berjalan bersama-sama. Sekarang kita berharap ada positif thinking terhadap pengelolaan air bersih. Apa PDAM sudah siap bila keinginannya dikabulkan pemerintah? Siap. Sebab banyak orang gagal karena tidak memahami persoalannya. Kalau PDAM sangat memahami betul apa persoalannya. Strategi PDAM apakah sudah sesuai dengan MDG? MDG itu kan ada muatan baru. Yang namanya muatan itu kan harus disesuaikan dengan mobilnya. Kenapa kita harus siapkan mobil yang besar, sementara muatannya tak ada atau sangat sedikit? Tapi kita sangat memahami kita harus bagaimana. Dukungan apa yang diharapkan PDAM dari masyarakat? Masyarakat sebenarnya adalah subyek dan obyek. Mereka bisa menentukan pelayanan PDAM dalam bentuk kontribusi tarif. Tapi makin tahun kecukupan kemampuan PDAM makin berkurang. Kondisi ini bisa mengakibatkan kepercayaan masyarakat makin berkurang. Oleh karena itu faktor utama masyarakat harus percaya. Mereka bisa menerima air secara cukup dan kualitas air yang baik dan pasti jika kuantitas, kualitas, dan kontinuitas terjaga. Kalau itu berjalan, masyarakat tak ada masalah untuk membayar sesuatu. (mujiyanto)
FOTO: ISTIMEWA

30

Percik Oktober 2004

NFO BUKU

Mengubah Paradigma Berpikir dalam Pengelolaan Air


Judul:

Editor: Caroline M. Figueres, Cecilia Tortajada, and Johan Rockstrom Penerbit: Earthscan Publication Ltd., London Tebal: xiii + 242 halaman

Rethinking Water Management. Innovative Approaches to Contemporary Issues

i awal abad ke-21, dunia berada pada titik kritis dalam manajemen air. Menurut laporan Dewan Air Dunia untuk Abad 21 (2000), air baku yang bisa diperbaharui tak akan bisa mencukupi kebutuhan industri, penduduk, dan pertanian pada tahun 2020. Ini karena makin banyak air yang terpolusi, pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan salah manajemen. Banyak negara telah menghadapi krisis air, terutama di wilayah kering dan semi kering. Pengelola air generasi baru dengan cara pandang baru sangat dibutuhkan pada abad ini. Mereka diharapkan dapat mengembang-

kan dan menerapkan cara kerja dan kebijakan yang inovatif. Singkatnya, pengelolaan air pada abad 21 harus berubah. Pengelolaan air ke depan dalam skala global, regional, dan lokal memerlukan kepedulian bersama antara profesional, pembuat keputusan, dan publik secara umum. Ini dikarenakan ada kecenderungan yang menunjukkan bahwa kelangkaan air akan terus berlangsung dan mengancam 50 persen dari penduduk dunia termasuk generasi mendatang. Selain itu kesalahan pengelolaan air yang terus berlangsung akan mengakibatkan menurunnya kualitas air baik secara lokal maupun regional.

Banyak pemerintahan, lembaga internasional, dan para ahli telah memulai untuk memusatkan perhatian bagaimana untuk merancang agenda baru dalam bidang pengelolaan air, mengingat saat ini kepedulian terhadap krisis air sangat kurang. Buku yang merupakan kumpulan tulisan dari para ahli air generasi baru dari berbagai belahan dunia ini memberikan banyak hal baru tentang pengelolaan air dari sudut pandang yang sangat beragam. Bahasan yang ada antara lain manajemen air hujan dan air permukaan, daur ulang dan penggunaan kembali, hak air, akses air lintas batas, dan keuangan dalam pengelolaan air. Para penulisnya menawarkan perspektif baru yang sangat penting untuk digunakan; pengelolaan dan konservasi air tawar, baik secara kualitas dan kuantitas, untuk penduduk, pertanian, dan sektor industri; dan bagaimana untuk membangun paradigma baru yang dapat diterapkan dalam pengelolaan air di masa mendatang. (MJ)

Mendalami Masalah Banjir di Jabotabek


akarta dapat dipastikan menjadi langganan banjir setiap tahun. Apakah skala banjirnya kecil, atau besar seperti yang terjadi pada awal tahun 2002. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasinya, tapi hasilnya belum memuaskan. Ini karena banjir merupakan masalah yang sangat kompleks sampai sulit ditelusuri kembali kesalahan-kesalahan apa yang telah dilakukan di masa lalu dan siapa yang bertanggung jawab. Perhatian terhadap banjir tak konstan. Pada saat banjir tiba, semua pemangku kepentingan seolah ingin berusaha menangani persoalan ini. Namun di saat banjir reda, kepedulian itu seakan luntur. Ini jelas tidak setara dengan pengorbanan dan penderitaan para korban banjir. Di sisi lain, banyak orang membuat perkiraan-

Judul:

Penulis: A.R. Soehoed Penerbit: Djambatan Tebal: x + 238 halaman

Membenahi Tata Air Jabotabek Seratus Tahun dari Bandjir Kanaal hingga Ciliwung Floodway

perkiraan yang terkadang jauh dari kenyataan, misalnya banjir tahun depan tak akan sebesar tahun ini dan sebagainya. Tiba-tiba orang kaget begitu air bah datang jauh lebih besar dari yang diduga. Semua hanya bisa terbengong. Buku ini mencoba mengajak pembaca

untuk memperluas dan mendalami masalah banjir yang lebih tepat disebut masalah tata air wilayah Jakarta dan sekitarnya, mencakup kawasan seluas lebih dari 6.000 kilometer persegi. Menurut penulisnya, persoalan ini tak bisa hanya diatasi oleh satu atau dua instansi teknis. Banyak instansi harus terlibat dan dilibatkan. Selain itu, penanganan masalah ini butuh banyak langkah dan harus didukung oleh masyarakat secara aktif agar penanganannya berkelanjutan. Berbagai data historis dan dokumen kebijakan disajikan secara menarik. Termasuk pula di dalamnya ditampilkan peta tata air Jabotabek dari berbagai kurun waktu. Ada pula pendapat-pendapat para ahli tata air Belanda tentang pengelolaan sungai di Batavia. (MJ)

Percik 31 Oktober 2004

NFO SITUS

Air Permukaan dan Air Minum


www.epa.gov/safewater/
Situs Drinking Water Resources ini memang dibangun khusus menyediakan berbagai informasi mengenai keamanan dan kualitas air minum. Isi situs ini antara lain kontaminan (bahan pencemar) yang ada di dalam air minum dan bagaimana perlakuannya agar kontaminan itu tidak masuk ke dalam tubuh melalui air minum. Selain itu, pengelola situs ini mengajak pengunjungnya memilih cara pemurnian air minum apa yang terbaik bagi tubuh, apakah filtrasi (penyaringan), destilasi, air kemasan, dan sebagainya. bahan-bahan pelatihan bagi upaya memperoleh kualitas air yang standar.

LSM Air Internasional


www.wateraid.org.uk/
aterAid adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional yang bergerak secara khusus di bidang air minum domestik, sanitasi, dan pendidikan kesehatan kepada masyarakat miskin di dunia. Begitu masuk ke situs ini, pengunjung disuguhi peta dunia. Pengunjung bisa mengetahui apa saja yang telah, sedang, dan akan dikerjakan LSM ini di suatu negara.

itus milik Badan Perlindungan Lingkungan (Environmental Protection Agency) Amerika Serikat ini menyajikan banyak hal mengenai air minum dan air permukaan. Di dalamnya ada berbagai menu seperti kualitas air minum di negara-negara bagian lengkap dengan petanya, perlindungan terhadap sumber air, standar air minum, sistem air minum masyarakat, dan pengendalian pengeboran air tanah. Yang menarik, situs ini menyediakan menu khusus yang berkaitan dengan anak-anak. Namanya Drinking Water Kids' Stuff. Di dalamnya ada game/permainan bagi anak-anak yang mengarahkan kepada pengetahuan terhadap seputar air. Ada pula tentang air yang aman untuk dikonsumsi anak-anak yang dilengkapi dengan standarnya. Pada bagian ini ada juga materi untuk program pembelajaran bagi anak-anak di kelas yang dilengkapi dengan panduan, posterposter, dan teknik percobaan dengan memperhatikan strata umur anak.

Asosiasi Air Internasional


www.iwahq.org.uk/

S
Situs ini bisa dibilang cukup lengkap karena dilengkapi pula dengan link ke situs pemerintah, organisasi lingkungan, kelompok industri air dan fasilitasnya, universitas yang melakukan penelitian di bidang ini, dan media publikasi.

Kualitas Air Minum


www.who.int/water_ sanitation_ health/dwq/en/

itus ini milik asosiasi air internasional. Organisasi ini merupakan jaringan global para profesional dari berbagai bidang yang terkait dengan air. Anggotanya banyak tersebar di Asia Pasifik. Situs ini memberikan informasi kegiatan asosiasi ini dan publikasi-publikasi yang telah diterbitkan. Termasuk pula di dalamnya ada pernyataan John Briscoe saat berbicara pada kongres IWA di Marrakech bahwa pertumbuhan ekonomi berkelanjutan merupakan dasar untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan layanan air dan sanitasi.

Seputar Air Minum


www.cyber-nook.com/water
nda ingin tahu tentang air minum tapi tidak tahu harus bertanya ke mana? Begitulah pengantar situs yang berlatar belakang biru ini bila dibuka.

itus milik Badan Kesehatan Dunia (WHO) ini menyediakan informasi mengenai kualitas air minum berkait dengan kesehatan. Air minum yang terkontaminasi berperan menimbulkan penyakit di negara sedang berkembang dan miskin di seluruh dunia. Melalui situs ini WHO memberikan panduan kualitas air minum, informasi tentang bahan kimia berbahaya dalam air minum, berbagai penyakit yang disebabkan air minum yang tercemar, dan

SITUS-SITUS

TERKAIT DENGAN AIR MINUM:

Federasi Air Dunia: www.wef.org Air Dunia (The World's Water): www.worldwater.org World Water Assesment Programme: www.unesco.org/water/wwap Forum Kerjasama Air Dunia: www.gwpforum.org

32

Percik Oktober 2004

NFO CD

Infrastruktur Swasta Bagi Kalangan Miskin


emerintah di seluruh dunia sedang berupaya untuk menjadikan sektor swasta sebagai bagian reformasi dengan tujuan untuk memunculkan efisiensi dalam layanan, menarik investasi, dan mengurangi beban keuangan di sektor publik. Perlu ada jaminan keuntungan bagi kaum miskin dari reformasi tersebut. Selain itu peraturan dan tarif perlu didesain secara hati-hati. Pengalaman menunjukkan bahwa kesuksesan reformasi bagi kaum miskin ditentukan oleh masuknya pemasok alternatif, kerja sama antara pengguna dan pemasok alternatif, mekanisme regulasi yang menjamin perbaikan layanan bagi kelompok-kelompok kecil, dan skema subsidi yang menargetkan rumah tangga miskin. Yang penting adalah proses yang dilalui senantiasa dapat dipertanggungjawabkan.

Mengapa reformasi ke arah itu harus memperhatikan kalangan miskin? Sebab kebanyakan mereka adalah para pengguna layanan publik dan yang menikmati sistem subsidi. Dalam rangka partisipasi swasta untuk membawa keuntungan

besar bagi kalangan miskin maka para pembuat kebijakan harus berhati-hati dalam menentukan desain kontrak dan peraturan kelembagaan dan organisasi. Kepentingan pemerintah untuk melakukan reformasi yang memihak kalangan miskin. Kualitas dan cakupan dari layanan listrik, air, sanitasi, telekomunikasi, dan transportasi memiliki pengaruh yang besar dalam standar kehidupan dan pertumbuhan ekonomi-faktor yang mempengaruhi stabilitas politik. Layanan air dan sanitasi juga memiliki pengaruh langsung terhadap kesehatan. CD ini menyediakan petunjuk keikutsertaan sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur dan pengentasan kemiskinan. Ada berbagai pengetahuan mengenai bagaimana reformasi dan transaksi dapat didesain dan diimplementasikan. (MJ)

MCK Plus-Plus-Plus
alah satu dampak negatif dari urbanisasi perkotaan adalah masalah sanitasi terutama di permukiman padat penduduk. Minimnya air bersih, sanitasi yang tidak memadai, sampah berserakan menjadi pemandangan sehari-hari di tempat tersebut. Keadaan ini mengakibatkan kualitas kesehatan di permukiman padat penduduk menjadi buruk. Mereka pun telah berusaha memperbaiki kondisi ini. Tapi karena keterbatasan mereka, usaha ini tak membuahkan hasil. Karenanya tanpa bantuan pihak luar terutama pemerintah daerah maka sulit bagi mereka meningkatkan kondisi sanitasinya. Bina Ekonomi Sosial Terpadu (BEST) yang bergerak di Tangerang dan Surabaya berusaha memberikan alternatif pemecahan dengan pendekatan partisipatif. Oleh karenanya, untuk membangun sanitasi diperlukan musyawarah terlebih dahulu dengan masyarakat. Bentuknya pertemuan warga. Warga difasilitasi untuk berdiskusi tentang pemecahan masalah berdasarkan pengalaman atau pilihan-pilihan yang bisa diterapkan. Setelah ada kesepakatan barulah diba-

ngun WC, kamar mandi, tempat cuci, serta sarana air bersih. Bangunan ini disebut MCK Plus Plus Plus. Diberi nama itu karena MCK ini didesain dengan mengkombinasikan sarana mandi, cuci, kakus, dan sistem pengolah dewats yaitu sistem pengolah limbah rumah tangga dengan sistem biologis. Keuntungan sistem ini antara lain biaya operasional rendah, tidak menggu-

nakan peralatan berteknologi tinggi, dan dapat menurunkan kadar air limbah 7090 persen,sehingga air limbah yang keluar dari MCK Plus Plus Plus sudah memenuhi syarat baku mutu lingkungan. Selain itu, tidak mencemari air tanah karena desain konstruksi kedap air dan udara, dapat menghasilkan gas bio untuk keperluan rumah tangga. Waktu pengurasan lumpur atau tinja relatif lama yakni 2-3 tahun. Karenanya teknologi ini sangat cocok diterapkan di wilayah padat penduduk. Partisipasi masyarakat tidak hanya ketika membangun tapi juga ketika MCK itu beroperasi. Yang jelas, pembangunan sarana sanitasi ini berdampak positif pada masyarakat sekitar yakni peningkatan kebersihan dan keindahan lingkungan, mendorong perbaikan kampung dan sarana publik lainnya. Itulah sekelumit keberhasilan BEST dalam mendampingi masyarakat perkotaan mengatasi permasalahan sanitasinya. CD ini bisa menjadi bahan perbandingan bagi para pemangku kepentingan di bidang penyehatan lingkungan. (MJ)

Percik 33 Oktober 2004

S EPUTAR WASPOLA
Perbaikan Draft Kebijakan Nasional AMPL Berbasis Lembaga

egiatan formulasi Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Lembaga terus berlangsung hingga saat ini. Diharapkan penyusunan kebijakan berbasis lembaga ini dapat diselesaikan pada akhir tahun 2004. Konsep rumusan, nantinya akan dibicarakan dalam rapat tim pengarah (PCC-Project Coordinating Commitee). Proses penyelesaian ini merupakan momentum yang penting karena diharapkan akan memberikan konsistensi dan kepastian bagi kerangka kebijakan dalam sektor AMPL secara menyeluruh. Untuk mencapai tujuan tersebut, Kelompok Kerja WASPOLA membentuk empat tim kerja yakni, Tim Air Minum, Tim Air Limbah, Tim Persampahan, dan Tim Drainase. Tim kerja tersebut merupakan tim inti dalam formulasi kebijakan berbasis lembaga. Tim tersebut didukung oleh beberapa sub tim yakni lingkungan, pembiayaan, kelembagaan, dan sosial. Tim bertanggung jawab dalam proses perbaikan dokumen kebijakan yang telah ada (draft 1) dan memperdalam aspek penyehatan lingkungan sehingga kebijakan yang tersusun, tidak didominasi oleh sektor Air Minum. Pelaksanaan Kegiatan Tim telah melakukan rapat dan diskusi secara rutin. Masing-masing tim melakukan pengembangan isu dan kebijakan sektor secara spesifik dalam tim sektor, setelah itu hasilnya dipresentasikan di rapat pleno tim kerja. Lokakarya pengembangan dokumen kebijakan draft 2 telah dilakukan di Bogor tanggal 1-2 September 2004. Lokakarya ini dihadiri oleh tim Pokja WASPOLA, perwakilan penyedia jasa AMPL (diantaranya: PDAM, PDAL, PD Kebersihan, Palyja) dari beberapa daerah, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, asosiasi profesi, swasta,

FOTO-FOTO: DORMARINGAN HS

dan donor. Hasilnya lokakarya dijadikan masukan penting dalam penyusunan kebijakan yang saat ini sedang dalam perumusan dan penulisan. Kegiatan Periode Mendatang Saat ini, proses penulisan dokumen kebijakan sedang dilakukan. Konsep kebijakan (Draft 2) diperkirakan selesai pada awal bulan Oktober 2004, untuk kemudian didistribusikan ke kelompok kerja dan pelaku sektor lain yang terlibat untuk mendapatkan masukan lebih lanjut. Setelah itu akan dilakukan perbaikan dokumen untuk selanjutnya dibahas dalam lokakarya berikutnya yang direncanakan pada awal Desember 2004. Proses ini juga melibatkan tim kerja melalui rapat pembahasan yang rencananya akan dilakukan secara berkala. Lokakarya kedua akan lebih memfokuskan pada formulasi strategi pelaksanaan kebijakan dan me-review rumusan kebijakan umum dan kebijakan sektor

dalam dokumen kebijakan konsep kedua (draft 2). Kegiatan ini akan melibatkan para pelaku sektor dari berbagai kalangan. Diharapkan melalui kerja keras semua pihak Kebijakan Nasional AMPL Berbasis Lembaga, dapat diselesaikan pada akhir 2004. (DHS)

34

Percik Oktober 2004

S EPUTAR WASPOLA
Fasilitasi Kebijakan Nasional AMPL Berbasis Masyarakat Di Daerah
asilitasi operasionalisasi pelaksanaan Kebijakan Nasional AMPL Berbasis Masyarakat (KEBIJAKAN) yang sampai saat ini, tujuannya untuk membantu daerah dalam pengembangan kerangka kebijakan daerah dan rencana kerja sektor AMPL. Kegiatan yang telah dilaksanakan mencakup: Kaji ulang (review) kebijakan nasional AMPL berbasis masyarakat di daerah Identifikasi isu dan permasalahan AMPL daerah Kajian terhadap faktor keberlanjutan pembangunan AMPL di daerah Dialog-dialog kebijakan dalam rangka menumbuhkan kepedulian berbagai pihak terhadap upaya mengatasi permasalahan AMPL. Penyusunan rencana daerah sektor AMPL Sampai saat ini, seluruh propinsi dan kabupaten, lokasi fasilitasi, telah melakukan kaji ulang pokok-pokok KEBIJAKAN dengan melibatkan stakeholder luas, melalui forum lokakarya daerah, dan merumuskan kesamaan persepsi, tantangan serta upaya yang perlu dilaksanakan daerah. Dilakukan juga kunjungan lapangan ke lokasi proyek yang dianggap berhasil maupun gagal, untuk mempelajari faktor penyebabnya dan mengambil pelajaran (lesson learned) atasnya sebagai suatu kajian faktor keberlanjutan. Lokakarya I di Daerah dan Pencapaian Lokakarya di propinsi maupun di kabupaten telah dilaksanakan antara tanggal 2-25 September. Hasil penting yang telah dicapai adalah adadnya kesamaan persepsi mengenai KEBIJAKAN antar pemangku kepentingan (stakeholder) di daerah, khususnya peserta lokakarya. Di tingkat propinsi, diskusi dan lokakarya menghasilkan kesepakatan rencana sosialiasi/diseminasi KEBIJAKAN ke ka-

bupaten lain dengan stakeholder yang lebih luas, sedangkan pada lokakarya kabupaten difokuskan pada identifikasi permasalahan/isu AMPL PROPINSI
1. Kesamaan persepsi terhadap pokok-pokok KEBIJAKAN 2. Daftar isu dan permasalahan keberlanjutan pembangunan AMPL 3. Kesadaran terhadap pentingnya upaya mengatasi permasalahan pelayanan AMPL 4. Masukan terhadap fungsi dan peran kelompok kerja 5. Pemahaman peran propinsi dalam fasilitasi operasionalisasi pelaksanaan kebijakan di daerah pada tahun 2005 dan selanjutnya 6. Komitmen untuk melakukan kegiatan operasionalisasi kebijakan, dan akan dicantumkan dalam RAPBD tahun 2005 (rincian kegiatan perlu dibahas lebih lanjut). 7. Rencana sosialisasi/diseminasi KEBIJAKAN dan pemetaan permasalahan pembangunan AMPL ke kabupaten lainnya. Diantaranya: Propinsi Sumbar akan melakukannya di tiga kabupaten, yaitu : Kabupaten Pesisir Selatan, Pasaman dan Sijunjung Di Propinsi Bangka Belitung akan dilakukan ke semua kabupaten Banten ke semua kabupaten Jawa Tengah ke semua kabupaten, yang dibagi menjadi 3 cluster berdasarkan wilayah badan koordinasi lintas. Sulawesi ke semua kabupaten (secara bertahap) NTB ke semua kabupaten Gorontalo ke semua kabupaten

Beberapa keluaran penting dari lokakarya I di daerah adalah sebagai berikut:

LOKAKARYA I KABUPATEN
1. Kesamaan persepsi terhadap pokok-pokok KEBIJAKAN dan beberapa pilihan prioritas sesuai kondisi daerah. 2. Kesadaran akan pentingnya dilakukan upaya khusus untuk mengatasi permasalahan pelayanan AMPL 3. Masukan terhadap tugas, fungsi dan peran kelompok kerja 4. Pemahaman stakeholder terhadap proses fasilitasi untuk pengembangan rencana dan kebijakan di bidang AMPL. 5. Pemahaman daerah akan pentingnya rencana yang jelas dan menyeluruh pembangunan sektor AMPL 6. Rencana kajian lapangan untuk mempertajam isu dan permasalahan faktor keberlanjutan AMPL 7. Rencana dialog kebijakan untuk memperoleh masukan dan rekomendasi pelaksanaan pembangunan AMPL berkelanjutan.

Catatan dari pelaksanaan lokakarya di daerah pada bulan September adalah sebagai berikut: Adanya keinginan propinsi untuk mengundang seluruh kabupaten. Hal ini terjadi di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah, faktor keberlanjutan pembangunan AMPL dijadikan isu bersama. Rendahnya peran serta masyarakat dan kecenderungan penurunan kualitas lingkungan dan debit air merupakan salah satu faktor dari gagalnya keberlanjutan proyek AMPL.

Keberagaman pemahaman terhadap pelaksanaan kebijakan AMPL berbasis masyarakat. Tujuan fasilitasi operasionalisasi KEBIJAKAN untuk membantu daerah dalam mengembangkan kebijakan dan rencana kerja sektor AMPL telah dipahami secara jelas. Pelibatan media massa dalam diseminasi KEBIJAKAN, dinilai positif dan memperlancar proses. Di Bangka Belitung, Jawa Tengah dan Gorontalo media terlibat aktif dalam penyebaran hasil-hasil lokakarya ke kalangan luas.

Percik 35 Oktober 2004

S EPUTAR WASPOLA
Sedangkan lokakarya II dan III di kabupaten dan lokakarya II di propinsi direncanakan akan berlangsung sampai dengan akhir November dengan keluaran yang diharapkan sebagai berikut:
Kegiatan Lokakarya II Propinsi 1. Strategi yang disepakati dalam pelaksanaan fasilitasi operasionalisasi kebijakan di tingkat kabupaten oleh Propinsi 2. Rencana kerja fasilitasi kebijakan di kabupaten. Kabupaten 1. Daftar permasalahan dan isu pembangunan AMPL berdasarkan hasil kajian lapangan 2. Kesepakatan prioritas permasalahan yang perlu ditangani daerah dalam rangka keberlanjutan pembangunan AMPL 1. Rumusan tujuan pembangunan AMPL daerah 2. Rumusan program strategis dalam pembangunan AMPL daerah 3. Rumusan kebijakan dan strategi daerah dalam pembangunan AMPL yang berkelanjutan 4. Rencana Kerja Daerah jangka menengah dan pendek.

Lokakarya III

Alokasi Dana Daerah Alokasi dana daerah tidak seperti yang diharapkan. Pada beberapa daerah terjadi revisi dari DPRD terhadap usulan dana yang diajukan, dengan pertimbangan waktu pengusulan. Tetapi secara umum kegiatan tetap berlangsung. Di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan, NTB dan Banten, dana pendamping untuk fasilitasi KEBIJAKAN disalurkan melalui sektor. Sedangkan propinsi yang mengalokasikan dana pendamping yaitu Gorontalo, Bangka Belitung dan Sumatera Barat. Beberapa Isu Penting Dari serangkaian pertemuan koordinasi dan pelaksanaan lokakarya beberapa isu penting yang berhasil dicatat sebagai berikut: Adanya komitmen yang lebih jelas dari daerah untuk melanjutkan kegiatan pelaksanaan kebijakan pada tahun 2005. Propinsi NTB, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan mengagendakan kegiatan khusus untuk diseminasi kebijakan kepada semua kabupaten guna mempertajam gambaran permasalahan AMPL di daerah serta memperluas target pemangku kepentingan dalam sosialisasi kebijakan. Adanya pemikiran di Jawa Tengah

untuk melakukan diseminasi kebijakan khusus untuk anggota DPRD. Hal ini dirasa penting karena proses pelaksanaan kebijakan dan penyelenggaraan pembangunan AMPL

berbasis masyarakat tidak terlepas dengan peran DPRD khususnya dalam proses persetujuan perencanaan dan anggaran pembangunan. Perlunya kesamaan persepsi mengenai peran pusat, propinsi, dan kabupaten dalam pelaksanaan kebijakan. Pemerintah daerah mengharapkan ada dukungan alokasi dana dalam fasilitasi pelaksanaan kebijakan. Informasi tentang kejelasana pelaksanaan lanjutan operasionalisasi Kebijakan dan bantuan teknis pada tahun 2005. Diharapkan informasi tersebut sudah diperoleh sebelum bulan Desember 2004, sehingga memberikan kesempatan daerah melakukan persiapan khususnya untuk alokasi dana. Dukungan minimal yang diperlukan berupa pemberian informasi resmi tentang rencana pelaksanaan kebijakan tahun 2005, serta gambaran besaran biaya yang perlu dipersiapkan oleh daerah. (DHS)
FOTO: DORMARINGAN HS

36

Percik Oktober 2004

S EPUTAR AMPL

Hari Monitoring Air Sedunia


Diperingati Melalui Pendidikan Kualitas dan Konservasi Air

FOTO: FORKAMI

erangkaian acara peringatan Hari Monitoring Air Sedunia (World Water Monitoring Day), 18 Oktober, berlangsung di Jakarta. Peringatan ini digagas dan dilaksanakan oleh Forum Komunikasi Pengelolaan Kualitas Air Minum Indonesia (FORKAMI) bekerja sama dengan PT Thames PAM Jaya (TPJ). Peringatan ini berlangsung dua kali. Pertama pada 26 September 2004, berlangsung di Danau Cibubur dan dihadiri masyarakat sekitar serta siswa-siswa SLTP 147 Cibubur. Kedua pada 3 Oktober 2004, berlangsung di Instalasi Pengolahan Air Buaran PT Thames PAM Jaya, Jakarta Timur. Hadir pada acara itu masyarakat sekitar Kalimalang dan 45 siswa-siswi SLTP 252 Jakarta Timur. Kegiatan ini bertujuan untuk menyebarluaskan kesadaran akan pentingnya usaha perlindungan sumber air pada masyarakat luas dan generasi muda. Dr. Hening Darpito, salah satu ketua bidang FORKAMI, di Cibubur menyatakan air kini menjadi sumber daya yang terbatas karena untuk memulihkan ketersediaan dan kualitasnya butuh biaya dan usaha yang besar. Untuk itu, usaha perlindungan sumber air harus dilakukan oleh semua orang dimulai dari anakanak, masyarakat, profesional yang bergerak dibidang air, pihak swasta, LSM, dan pemerintah. Drs. Abdullah Muthalib, MM, Ketua Umum FORKAMI, di Kalimalang berharap acara seperti ini dapat memercikkan kesadaran bersama akan pentingnya usaha perlindungan sumber air dan kemudian secara bersama bekerja untuk meningkatkan ketersedian maupun kualitas dari sumber air, demi kehidupan kita kini, dan generasi selanjutnya. Rhamses Simanjuntak, External Relations and Communication Director

TPJ mengatakan, TPJ merasa bangga bekerja sama dengan Forum Komunikasi Pengelolaan Kualitas Air Minum Indonesia (FORKAMI) dan selalu siap membantu FORKAMI dalam menyosialisasikan aspek-aspek pengelolaan kualitas air kepada masyarakat luas dengan harapan agar upaya tersebut dapat sedikit demi sedikit mengubah perilaku masyarakat dalam mengelola dan memelihara sumber daya air. Sejak awal, katanya, TPJ memiliki komitmen untuk terus bekerja dalam upaya pendidikan masyarakat, tentunya dengan harapan agar di masa mendatang sumber daya alam kita dapat diperbaiki sehingga mampu membantu manusia meningkatkan kualitas hidupnya. ''Hari Monitoring Air Sedunia dapat menjadi langkah pertama bagi generasi muda untuk ambil bagian dalam usaha perlindungan sumber daya air," ungkapnya. Kegiatan peringatan ini berupa pe-

mutaran film tentang konservasi air, penulisan spanduk berisi pesan/ide konservasi air serta petisi dari anak-anak tentang air. Masyarakat dan siswa juga diberi kesempatan untuk melakukan 'tour' ke Instalasi Pengolahan Air Buaran yang dikelola PT. TPJ. Di sana masyarakat dan siswa diberi penjelasan mengenai proses pengolahan air dari air baku sampai siap didistribusikan ke pelanggan. Keikutsertaan para peserta dalam acara ini juga berarti bahwa mereka turut bergabung bersama dengan ribuan sukarelawan lain di seluruh dunia yang menganalisa kualitas sumber air di sekitar mereka. Hasil dari analisa ini akan dilaporkan pada organisasi World Monitoring Day dan dapat dilihat di website www.worldwatermonitoringday.org setelah tanggal 18 Desember 2004 yang akan datang. (MJ)

Percik 37 Oktober 2004

S EPUTAR AMPL
Pertemuan PDAM Metropolitan di Kota Makassar

Menangani Kebocoran Perlu Komitmen


irektorat Metropolitan Ditjen TPTP Departemen Kimpraswil bekerja sama dengan PDAM Makassar memfasilitasi pertemuan PDAM kota metropolitan pada 21-23 Oktober 2004. Pertemuan tersebut membahas permasalahan kebocoran PDAM. Hadir dalam pertemuan itu Direktur Permukiman dan Perumahan, Bappenas, Basah Hernowo, serta perwakilan dari delapan PDAM yaitu Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi/Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Palembang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Denpasar, dan Kota Makassar sebagai tuan rumah. Basah Hernowo menjelaskan Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) Berbasis Masyarakat dan Konsep Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Lembaga. Sedangkan Direktur PDAM Kota Makassar H. Ridwan Syahputra Musagani menjelaskan permasalahan kebocoran di PDAM Kota Makassar. Untuk mengatasi masalah kebocoran tersebut maka pihak PDAM Kota Makassar telah melakukan langkah penanggulangan. Diantaranya membentuk Unit Penanggulangan Kehilangan Air (UPTKA). Dari diskusi yang terjadi selama pertemuan tersebut, mengemuka beberapa isu yaitu (i) belum disepakati formulasi untuk menghitung kebocoran, dan institusi yang bertanggung jawab membuat formulasi tersebut; (ii) beberapa pekerjaan diserahkan kepada pihak ketiga seperti pembacaan meter, dan entri data. Menjadi pertanyaan adalah sejauh mana efektifitas penyerahan pekerjaan kepada pihak ketiga. Berdasar pengalaman PDAM Kota Semarang, pembacaan meter oleh petugas PDAM lebih efektif dengan syarat ada insentif dan hukuman yang jelas; (iii) secara teknis terdapat bias sebesar sekitar 5 persen karena pembacaan meter tidak serempak antara meter induk dan meter pelanggan; (iv) usia

FOTO: OSWAR MUNGKASA

meter air berpengaruh terhadap keakuratan. Pengalaman PDAM Kota Bogor menunjukkan bahwa meter yang berusia di atas 5 tahun ternyata sekitar 45 persen sudah tidak berfungsi baik. PDAM Bekasi melakukan penggantian meter air yang berusia 5 tahun ke atas dan berdampak pada pengurangan angka kebocoran sebesar 10 persen; (v) banyaknya jenis meteran yang dipergunakan juga menyulitkan dalam melakukan pemeliharaan; (vi) penanggulangan kebocoran air dibutuhkan komitmen yang kuat dari direksi dan badan pengawas. Hal ini dikarenakan besarnya biaya yang harus disediakan. Pengalaman PDAM Kota Tangerang menunjukkan bahwa untuk setiap zone (300 KK) dibutuhkan tenaga kerja sebanyak sembilan orang. PDAM Bekasi membentuk unit non struktural beranggotakan 100 orang. Hal ini untuk memastikan tidak terjadi kebocoran. PDAM Bekasi mengemukakan bahwa komitmen tersebut diimplementasikan dalam bentuk pertemuan rutin setiap minggu untuk membahas masalah tersebut. Diharapkan akan timbul 'gerakan' penanggulangan kebocoran.

PDAM Kota Palembang menggalang komitmen dari internal PDAM melalui kegiatan apel pagi. Penekanannya adalah setiap pengurangan kebocoran 1 persen akan meningkatkan pendapatan sebesar Rp. 130 juta. Sehingga pengurangan kebocoran sebesar 5 persen akan menyamai pengeluaran gaji PDAM Kota Palembang. Peningkatan pendapatan dari pengurangan kebocoran diinvestasikan kembali pada lokasi tersebut. Selain itu, berdasar proporsi pendapatan, penerimaan dari pelanggan komersil (hotel, pelabuhan dan lainnya) mencapai 30 persen jauh lebih besar dibanding pangsanya yang hanya 10 persen. Untuk itu, pelanggan komersil menjadi prioritas utama pembenahan. Sebagai ilustrasi, meteran air di salah satu hotel besar ditengarai sudah tidak layak lagi. Kemudian dilakukan kalibrasi, dan hasilnya jumlah pendapatan meningkat. Pendapatan ini kemudian digunakan untuk menangani kebocoran pada segmen pelanggan rumah tangga. Kepada pelanggan yang menunggak lama diberikan insentif berupa pengurangan jumlah tagihan. Pihak RT juga diajak bekerja sama. Selain membicarakan kebocoran, peserta berkesempatan meninjau salah satu cabang PDAM Kota Makassar. Pembukaan cabang tersebut dimaksudkan untuk 'menjemput bola' sehingga diharapkan jumlah tunggakan dapat dikurangi dan kualitas pelayanan dapat ditingkatkan. Cabang tersebut melayani beberapa zona layanan. Bentuk pelayanan yang disediakan mirip dengan kantor pelayanan PLN, seperti keluhan pelanggan, pembayaran tagihan dan lainnya. Rombongan peserta pertemuan sempat bertemu dengan wakil Walikota Makassar, Herry Iskandar, yang menegaskan komitmennya untuk mengurangi kebocoran yang terjadi di PDAM Kota Makassar. (OM)

38

Percik Oktober 2004

S EPUTAR AMPL
Seminar Hari Habitat Dunia 2004
alam rangka memperingati Hari Habitat Dunia 2004, Pemerintah Indonesia menyelenggarakan Seminar Hari Habitat di Yogyakarta, 4 Oktober 2004. Seminar ini diikuti oleh akademisi, praktisi, baik dari perguruan tinggi, aparat pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Seminar mengambil tema "Peningkatan Kesetaraan Pembangunan Antara Kawasan Perdesaan dan Perkotaan melalui Pembangunan Kota-Kota Sekunder" dengan tiga isu utama, yaitu lingkungan hidup, pembangunan sosial ekonomi, dan pengelolaan kota sekunder. Makalah yang dipresentasikan antara lain Dukungan Internasional terhadap Pengembangan Perkotaan dan Perdesaan di Masa Depan; Permukiman dan Manajemen Lingkungan; Pembangunan Sosial, Ekonomi serta Pengentasan Kemiskinan; Hubungan Kota-Desa: Kasus Yogyakarta; Governance & International

Cooperation; Good Governance & Information Technology; Peran Masyarakat Peduli Perumahan dan Permukiman Indonesia (MP3I) dalam Menerapkan Good Governance; Penyediaan Air Minum Berbasis Masyarakat (PAM/BM); dan Hasil Pra-Seminar dan Kajian Akademis (Student Workshop) di Bandung Dari seminar itu terungkap bahwa upaya mewujudkan good governance untuk menyeimbangkan dan menyetarakan pembangunan perkotaan dan perdesaan harus dimulai di tingkat nasional. Selain itu dalam rangka mencari keseimbangan, kesetaraan dan keadilan pengembangan perkotaan dan perdesaan perlu dikaji kembali apakah layak untuk mengembangkan gagasan wadah koordinasi yang selama ini sudah dipikirkan dan disepakati agar mencakup pengembangan 'perkotaan dan perdesaan'. Perlu ada reformasi hukum dan perundang-undangan yang bisa memberikan landasan yang kuat

bagi pelembagaan fungsi dan tugas pengembangan perkotaan dan perdesaan dalam wadah kementerian dan wadah koordinasi antarinstansi Pusat. Kepedulian masyarakat pada penyelenggaraan perumahan penting karena adanya tuntutan penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang layak secara berkelanjutan yang harus memenuhi kelayakan teknis, ekologis, sosial dan ekonomi, disamping rasa aman, berkeadilan dan kesejahteraan. Peningkatan kepedulian masyarakat dalam pembangunan perumahan permukiman diwujudkan melalui pembentukan MP3I (Masyarakat Peduli Perumahan dan Permukiman Indonesia) sebagai wadah kepedulian masyarakat, yang beranggotakan pemangku kepentingan di pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha, perbankan, para profesional, perguruan tinggi dan lembaga masyarakat. (ML)

Lokakarya National Action Plan (NAP) Air Minum, Air Limbah dan Persampahan
okakarya National Action Plan (NAP) air minum, air limbah, dan persampahan berlangsung 13 Oktober 2004 di Jakarta. Kegiatan ini bertujuan untuk menyempurnakan NAP air minum, air limbah dan persampahan agar bisa diterima oleh semua pemangku kepentingan. Acara ini dihadiri sekitar 80 orang dari berbagai instansi dan anggota masyarakat. Lokakarya ini dibuka oleh Direktur Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen Kimpraswil, DR. Ir. Patana Rantetoding, MSc. Ia berharap NAP ini nantinya benar-benar bisa diterima semua pemangku kepentingan. Ia ti-

FOTO: OSWAR MUNGKASA

dak ingin apa yang terjadi pada masa lalu terhadap pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan terulang lagi. Semua pemangku kepentingan harus ikut andil sehingga prasarana dan sarana bisa berkelanjutan.

Acara inti lokakarya tersebut adalah presentasi dari kelompok air minum, air limbah, dan persampahan dengan dimoderatori oleh Direktur Perumahan dan Permukiman, Bappenas Basah Hernowo. Lokakarya menampung berbagai masukan dari para pemangku kepentingan sebagaimana yang diharapkan. Acara kemudian ditutup oleh Direktur Bina Teknik, Ditjen Tata perkotaan dan Tata Perdesaan, Ir. Bambang Goeritno, MSc, MPA. Ia menekankan pentingnya NAP ini bisa diterapkan dan diadopsi oleh pemerintah daerah. (FW)

Percik 39 Oktober 2004

S EPUTAR AMPL

Pemaparan Konsep
Community Led Total Sanitation (CLTS)
okakarya pemaparan konsep Community Led Total Sanitation (CLTS) berlangsung di Bappenas, 15 September lalu. Acara utama mendengarkan pemaparan Kamal Kar, pakar yang menguasai konsep tersebut. Lokakarya ini dibuka oleh Direktur Permukiman dan Perumahan Bappenas, Basah Hernowo. Menurutnya, keberhasilan CLTS di berbagai negara patut untuk dipelajari oleh Indonesia dalam rangka mencapai target MDG. Sambutan lainnya disampaikan Nilanjana dari Bank Dunia. Ia mengatakan pembangunan kesehatan di Indonesia lebih banyak menekankan fisik. Pola ini mesti diubah. Konsep CLTS bisa menjadi pilihan. Dalam presentasinya Kamal Kar menjelaskan konsep CLTS yang memiliki tiga tujuan yakni (i) Mengubah perilaku dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai kesehatan; (ii) Memberdayakan masyarakat; (iii) Mengurangi tingkat buang air besar (BAB) di daerah terbuka. Dalam penerapannya, katanya, CLTS ternyata mampu mengubah perilaku dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam waktu yang cukup singkat dibandingkan dengan konsep lainnya. Proses awal didahului dengan identifikasi kondisi dan fakta mengenai tingkat kesehatan (terutama pola BAB di daerah terbuka) yang ada di desa bersangkutan. Kemudian masyarakat diajak untuk berdiskusi mengenai kondisi dan fakta tersebut. Pada saat berdiskusi itulah masyarakat dihadapkan secara langsung dengan persoalan. Proses ini mempunyai sasaran agar masyarakat mulai sadar bahwa ternyata selama ini mereka tidak hidup bersih dan sehat. Selanjutnya adalah masyarakat mulai menanyakan bagaimana agar kondisi yang ada dapat diubah. Berarti pada proses awal CLTS, proses perubahan perilaku dan peningkatan kesadaran benarbenar datang dari bawah dan dalam waktu

FOTO: OSWAR MUNGKASA

CLTS ternyata mampu mengubah perilaku dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam waktu yang cukup singkat dibandingkan dengan konsep lainnya.
yang cukup singkat. Kesadaran masyarakat tersebut selanjutnya ditindaklanjuti dengan memberikan informasi sederhana mengenai hal-hal yang dapat dilakukan masyarakat untuk mengatasi kondisi kesehatan di daerahnya. Informasi yang diberikan berkenaan dengan pembuatan toilet-toilet "darurat". Sasaran yang diharapkan pada tahap ini yaitu masyarakat membuat desain toiletnya sendiri. Dari beberapa penerapan di berbagai negara, ternyata pada tahap ini masyarakat dengan antusias melakukan pembangunan toilet mereka sendiri. Pembangunan tersebut

benar-benar dibiayai oleh masyarakat tanpa ada subsidi dari pihak luar. Walaupun toilet yang dibangun merupakan toilet yang sangat sederhana, tetapi hal yang penting adalah bahwa saat ini toilet seperti itulah yang mereka butuhkan dan mampu membangunnya. Dari proses ini, sebenarnya tujuan kedua dan ketiga telah tercapai. Hal positif lainnya dari konsep CLTS yaitu masyarakat mulai memberlakukan sanksi terhadap sesamanya jika ternyata masih ada yang melakukan BAB di daerah terbuka dan mengawasi warga yang belum memiliki. Dalam konteks Indonesia, konsep ini bisa diterapkan karena Indonesia memiliki beberapa kesamaan dengan negara lain yang telah terlebih dahulu menerapkan konsep tersebut. Kelebihan masyarakat Indonesia adalah mempunyai tingkat kepedulian yang cukup tinggi, sehingga akan lebih mudah untuk menerapkannya. Namun tidak semua konsep bisa diterapkan mentah-mentah. Penyesuaian dengan kondisi alam dan masyarakat tetap diperlukan. (FW)

40

Percik Oktober 2004

S EPUTAR AMPL
Lokakarya Nasional Konservasi Sumber Air Domestik
okakarya nasional konservasi sumber air domestik berlangsung 13 Oktober lalu di gedung Ditjen Bina Pembangunan Daerah, Depdagri, Kalibata, Jakarta Selatan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk merumuskan berbagai pembelajaran mengenai pengelolaan sumber air skala domestik sebagai masukan kegiatan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan. Lokakarya ini dihadiri 30 orang. Acara dibuka oleh Direktur Jendral Bina Pembangunan Daerah, Depdagri. Ia menekankan pentingnya konservasi sumber air dikaitkan dengan kelangkaan air dan kontradiksi kepemilikan sumber air dengan batas wilayah administrasi. Lokakarya ini menampilkan tiga pembicara dari Depkimpraswil, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Pemda Kab. Lumajang. Dr. Hafied Gany (Kimpraswil) menyampaikan makalah mengenai perspektif konservasi sumber daya air skala kecil dalam konteks kelangkaan, hak guna dan pengelolaan. Ia menjelaskan mengenai hak guna, hak pakai dan hak guna usaha air. Selain itu masalah pengelolaan air lintas

FOTO: OSWAR MUNGKASA

wilayah dan pendekatan secara terpadu untuk konservasi sumber air skala kecil juga diberikan dengan porsi yang cukup. Edy Nugroho Santoso (KLH) mempresentasikan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Se-

dangkan Pemda Lumajang yang didampingi tim koordinasi WSLIC 2 menjelaskan pengalaman daerah tersebut dalam mengelola sumber air. Misalnya pola penggunaan bersama sumber air oleh beberapa desa. (FW)

Diseminasi Petunjuk Teknis Pembangunan Prasarana dan Sarana Kawasan Agropolitan dan Penyehatan Lingkungan Permukiman di Wilayah Barat
irektorat Perkotaan dan Perdesaan Wilayah Barat Ditjen Perkotaan dan Perdesaan Departemen Kimpraswil menyelenggarakan diseminasi petunjuk teknis dengan mengundang dinas terkait se-Pulau Sumatera pada tanggal 6-7 Oktober 2004 di Jakarta. Diseminasi dibuka secara resmi oleh Direktur Kotdes Wilayah Barat. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menyebarluaskan beberapa petunjuk teknis seperti National Action Plan Air Limbah dan Per-

sampahan, Pedoman Pengelolaan Air Limbah, Persampahan dan Drainase; serta Petunjuk Teknis Pembangunan dan Pengelolaan Prasarana Kimpraswil untuk menunjang Agropolitan. Pada kesempatan tersebut Direktur Permukiman dan Perumahan, Bappenas, Basah Hernowo menjelaskan Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan. Beberapa penggiat AMPL seperti Harini Bambang Wahono, Anton Sudjarwo (Dian Desa),

Hamzah Harun Al Rasyid (Best) berkesempatan menularkan pengalamannya dalam pengelolaan prasarana dan sarana perkotaan/perdesaan berbasis masyarakat. Pada akhir acara, peserta berkunjung ke Banjar Sari (Jakarta Selatan) untuk melihat langsung pengelolaan sampah swadaya masyarakat yang diprakarsai oleh Ibu Bambang (Reportase kegiatan Ibu Bambang pernah dimuat pada Percik edisi Agustus 2004). (OM)

Percik 41 Oktober 2004

S EPUTAR AMPL
Penyusunan Project Management Report (PMR)

Konsolidasi Interim Proyek WSLIC 2


ertemuan penyusunan Project Management Report (PMR) berlangsung di Mataram 25-29 Agustus 2004. Acara ini dihadiri oleh seluruh daerah yang mendapat alokasi dana WSLIC 2 yang mencakup 7 propinsi dan 34 kabupaten. Pertemuan dibuka dengan resmi oleh Wakil Kepala Dinas Kesehatan Propinsi NTB. Direktur Penyehatan Air dan Sanitasi, Depkes, Hening Darpito menjelaskan kemajuan pelaksanaan Proyek WSLIC 2. Pencapaian pelaksanaan WSLIC 2 secara nasional telah mencapai 27,38 persen. Ini artinya masih berada di bawah target nasional sebesar 40 persen. Daerah dengan pencapaian di atas target yakni Propinsi Jawa Timur (50 persen) dan NTB (42 persen). Pencapaian Propinsi Sumatera Barat (31 persen), Bangka Belitung (26 persen) dan Sumatera Selatan (24 persen) masih berada di bawah target. Propinsi Jawa Barat dan Sulawesi Selatan masih dalam tahap penyusunan Rencana Kerja Masyarakat (RKM). Berdasarkan kinerja proyek hasil audit tahun 2003 seluruh aspek pelaksanaan proyek memperoleh penilaian wajar. Sebagian terbesar (80 persen) temuan merupakan akibat kelalaian District Project Management Unit (DPMU), konsultan dan CFT. Di lain pihak, temuan akibat kelalaian Tim Kerja Masyarakat (TKM) dan masyarakat hanya mencapai 20 persen dari keseluruhan temuan. Selain itu berdasar hasil supervisi, kinerja proyek diberi status satisfactory dengan rekomendasi perbaikan pada komponen 2 (kesehatan dan perubahan perilaku), pengadaan, dan implementasi Management Information System (MIS)/Monitoring dan Evaluasi (Monev). Beberapa masalah utama yang dihadapi yaitu (i) pelaksanaan kegiatan lapangan di tingkat masyarakat baru dimulai per April 2002 pada lima propinsi sementara dua propinsi lainnya baru dimu-

lai pada September 2004; (ii) pendekatan proyek yang berbasis partisipasi masyarakat yang merupakan pendekatan baru membutuhkan proses pembelajaran yang memerlukan waktu relatif lebih lama; (iii) beban kerja tidak seimbang dengan ketersediaan fasilitator masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah menyebarnya lokasi desa sasaran. Pada kesempatan yang sama Direktur Permukiman dan Perumahan, Bappenas, Basah Hernowo menjelaskan Pencapaian Millenium Development Goals (MDG). Pencapaian target MDG memerlukan usaha dan kerja keras. Salah satu bentuk usaha ke arah pencapaian target MDG adalah reformasi kebijakan pembangunan nasional air minum dan penyehatan lingkungan melalui proyek WASPOLA (Water Supply and Sanitation Policy Formulation and Action Planning). Produk reformasi kebijakan salah satunya berupa Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) Berbasis Masyarakat. Kebijakan tersebut telah disepakati oleh enam eselon satu dari berbagai departemen terkait. Akhir tahun ini akan diselesaikan Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Lembaga. Pelaksanaan pembangunan AMPL di Indonesia selanjutnya akan mengadopsi kebijakan yang tercantum dalam kedua dokumen tersebut. Proyek WSLIC 2 merupakan salah satu proyek yang telah mengadopsi kebijakan tersebut. Perubahan paradigma yang diperkenalkan dalam kebijakan tersebut diharapkan dapat meningkatkan keberlanjutan, dan efektifitas hasil pembangunan AMPL. Selain reformasi kebijakan, beberapa langkah penting yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam usaha mencapai target MDG di bidang AMPL adalah (i) penyusunan laporan MDG Indonesia oleh Bappenas dan UNICEF; (ii) penyusunan indikasi rencana tindak pen-

capaian MDG bidang AMPL oleh Pokja AMPL; (iii) perumusan National Action Plan bidang air minum, air limbah, dan persampahan oleh Departemen Pekerjaan Umum; (iv) sosialisasi MDG melalui media informasi AMPL 'Percik', situs AMPL (www.ampl.or.id), pamflet dan buklet oleh Pokja AMPL; (v) penyusunan data base AMPL oleh Pokja AMPL. Sementara itu, Taufik Hanafi dari Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas menjelaskan Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Kesehatan. Menurutnya, sistem penganggaran pembangunan di Indonesia telah berubah. Hal tersebut dimulai dengan berlakunya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. UU tersebut membawa perubahan mendasar dalam APBN yaitu (i) rencana anggaran mencakup prakiraan kebutuhan anggaran tahun berikutnya; (ii) anggaran diklasifikasikan menurut fungsi/sub fungsi; (iii) sistem anggaran terpadu (unified budget); (iv) penyusunan anggaran berbasis kinerja. Terkait dengan pembangunan bidang kesehatan, Indonesia merupakan negara dengan rasio pembiayaan kesehatan per kapita terendah di Asia Tenggara. Tidak mengherankan derajat kesehatan dan gizi masyarakat kita relatif rendah dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya. Pembiayaan pembangunan kesehatan menunjukkan kecenderungan meningkat setelah mengalami penurunan pada tahun 2002. Pada tahun 2005, proporsi anggaran pembangunan kesehatan telah mencapai angka sekitar 8,9 persen dari total anggaran pembangunan. Dilain pihak, proporsi pinjaman luar negeri terhadap anggaran pembangunan sektor kesehatan cenderung menurun. Pada saat ini, proporsinya hanya sebesar 21,7 persen dari anggaran pembangunan sektor kesehatan. (OM)

42

Percik Oktober 2004

S EPUTAR AMPL
Sosialisasi Manual Pengelolaan Sarana Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) Tingkat Desa
alam rangka meningkatkan kemampuan pengelolaan sarana AMPL di tingkat desa, Direktorat Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna, Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Depdagri melaksanakan kegiatan Sosialisasi Manual Pengelolaan Sarana Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Tingkat Desa di Surabaya pada tanggal 6-9 Oktober 2004. Acara ini merupakan salah satu kegiatan Pokja AMPL. Peserta berasal dari instansi Bappeda, Dinas Kesehatan, dan Badan Pemberdayaan Masyarakat di tingkat Kabupaten pada Propinsi Sumatera Barat dan Propinsi Jawa Timur yang melaksanakan proyek WSLIC 2. Sosialisasi dibuka secara resmi oleh Syamsul Bachri (Direktur SDA dan Tek-

FOTO: OSWAR MUNGKASA

nologi Tepat Guna Ditjen PMD Depdagri). Ia menekankan bahwa pembangunan berbasis masyarakat sudah merupakan suatu keniscayaan. Pada kesempatan yang sama, Pokja AMPL menjelaskan Kebijakan Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat

Pada sesi diskusi beberapa isu muncul di antaranya (i) kebijakan pembangunan AMPL berbasis masyarakat hanya terfokus pada bagian hilir saja, sementara kebijakan air baku belum secara eksplisit tercantum dalam kebijakan tersebut. Oleh karena itu perlu segera ditetapkan suatu kebijakan yang bersifat menyeluruh mulai dari hulu sampai hilir; (ii) perlunya melibatkan instansi lain seperti departemen pendidikan nasional, dan departemen kehutanan; (iii) manual yang disosialisasikan hanya menyangkut aspek aspek adminsitrasi dan keuangan, sehingga sebaiknya dilengkapi dengan aspek teknis, sosial, dan lingkungan agar keberlanjutan sarana AMPL menjadi terjamin. (OM)

Lokakarya Global Practices Forum Health in Your Hands: Critical Importance of Hygiene Improvement for Health, Water and Sanitation Program in Indonesia.

Handwashing: Soap Saves Lives!


Hasil Pengamatan Rata-rata hanya 2 persen ibu yang mencuci tangan setelah membantu membersihkan anaknya.

edikit sekali orang yang mencuci tangan. Dari mereka yang seharusnya mencuci tangan, hanya sekitar 20 persen yang melakukan. Pernyataan ini disampaikan oleh Val Curtis PhD (London School of Tropical Medicine) pada lokakarya bertema Global Practices Forum Health in Your Hands: Critical Importance of Hygiene Improvement for Health, Water and Sanitation Program in Indonesia yang dilaksanakan di Bappenas pada 8 September 2004. Pertemuan tersebut dibuka oleh Suyono Dikun (Deputi Sarana dan

Prasarana Bappenas) dan dihadiri sekitar 60 orang dari berbagai kalangan. Menurut Val, motivasi orang mencuci tangan pun beragam di antaranya (i) status-Manusia berkeinginan untuk dapat diterima dalam lingkungan sosialnya; (ii) nurture-Keinginan menjaga dan melindungi anak; (iii) Terhindar dari penyakitKeinginan menghindari obyek terkontaminasi atau berbau agar tidak terjangkit penyakit.

Apakah yang harus dilakukan oleh Indonesia?. Menurut pandangan Val Curtis, Indonesia harus (i) menetapkan penanggungjawab program; (ii) menemukenali motivasi dan perilaku masyarakat; (iii) membangun kemitraan; (iv) merancang rencana kerja; (v) mengembangkan pendekatan berbasis masyarakat; (vi) melakukan kampanye publik dengan menetapkan institusi yang bertanggungjawab melaksanakannya. Negara yang telah ikut serta dalam program ini adalah Ghana, Peru, Senegal, Nepal, Afrika Selatan, Madagaskar dan berikutnya Indonesia. (OM)

Percik 43 Oktober 2004

S EPUTAR AMPL
Kunjungan Monitoring WSLIC 2 ke Kabupaten Belitung Propinsi Bangka Belitung
Tanggal 26-30 September 2004 Bank Dunia melaksanakan monitoring pelaksanaan proyek WSLIC 2 di propinsi Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan NTB. Terkait dengan monitoring WSLIC 2 tersebut, kelompok kerja AMPL bersama dengan instansi terkait seperti Departemen Pendidikan Nasional berkesempatan mengikuti kegiatan tersebut. Tulisan berikut merupakan laporan hasil perjalanan mengikuti kegiatan monitoring di Kabupaten Belitung, Propinsi Bangka Belitung pada tanggal 28-30 September 2004. royek dimulai pada tahun 2001, dan direncanakan proyek akan dilaksanakan di 28 desa secara bertahap. Tetapi kegiatan baru mulai dilaksanakan pada tahun 2002 di lima desa. Selanjutnya pada tahun 2003-2004 dilaksanakan di 12 desa. Rencananya pada tahun 2005 nanti proyek akan dilaksanakan di 11 desa yang tersisa. Penetapan desa yang akan dikunjungi didasarkan data aksesibilitas sarana air minum dan penyehatan lingkungan pada masing-masing desa. Data tersebut dikumpulkan melalui program sistem informasi yang telah disediakan oleh PMU. Tetapi ternyata pada hari pertama belum tersedia data dimaksud, sehingga disepakati untuk meninjau salah satu desa yang ditunjuk oleh DPMU yaitu Desa Kacang Botor, Kecamatan Badau. Pada hari kedua data telah tersedia dan disepakati untuk meninjau desa dengan tingkat aksesibilitas sarana air minum dan penyehatan lingkungan relatif rendah untuk ketiga kategori kesejahteraan (kaya, menengah, miskin). Untuk itu terpilih Desa Terong, Kecamatan Sijuk. Dalam diskusi mengemuka beberapa isu di antaranya (i) plafond sebaiknya tidak dipatok pada angka Rp. 200 juta. Kondisi di lapangan menunjukkan jumlah penduduk dan kondisi akses terhadap air minum dan penyehatan lingkungan beragam; (ii) jika memang tidak dapat Masyarakat menyepakati bahwa iuran merupakan nyawa bagi keberlanjutan sarana yang telah dibangun. Namun demikian belum terlihat adanya usaha untuk memungut iuran tersebut. Sebagian masyarakat masih enggan memenuhi kesepakatan pembayaran iuran. Penyediaan sarana cuci tangan di sekolah ternyata masih belum sesuai dengan yang seharusnya. Sarana yang tersedia berupa baskom kecil tanpa gayung sehingga murid SD mencuci tangan langsung di baskom tersebut. Keadaan ini dapat menyebabkan penyebaran penyakit lebih mudah bahkan dibanding ketika mereka tidak mencuci tangan. Praktek cuci tangan seharusnya mengikuti petunjuk dari CFT. Bisa jadi belum tersedia CFT yang kompeten.
FOTO: OSWAR MUNGKASA

melebihi patokan tersebut maka sebaiknya dimungkinkan melaksanakan proyek WSLIC 2 dalam 2 tahun berturut-turut pada satu desa; (iii) manajemen sistem informasi belum dapat diterapkan sehingga belum tersedia data yang memadai. Pembelajaran Beberapa pembelajaran yang bisa dipetik dari kunjungan ke desa WSLIC 2 di Kabupaten Belitung yaitu:

44

Percik Oktober 2004

S EPUTAR AMPL
Guru SD terlihat tidak berinisiatif mendorong penerapan prinsip PHBS. Hal ini terlihat dari tidak terpeliharanya sarana WC yang dibangun. Keterlibatan mereka termasuk kepala sekolah dalam proses ini kurang optimal. Pengetahuan tentang PHBS sudah memadai namun motivasi perlu lebih disentuh. Fungsi TKM ke depan perlu diperjelas. Investasi sumber daya manusia yang telah dialokasikan ke TKM tidak akan optimal ketika TKM hanya menjadi pengelola sarana pasca konstruksi. Sebaiknya TKM dilebur ke dalam Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) misalnya sebagai unit Air Minum dan Penyehatan Lingkungan sehingga fungsinya tidak hanya menangani WSLIC 2 saja tetapi menyeluruh menyangkut masalah Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di desa bersangkutan. Biaya sarana seperti jamban terlalu mahal sehingga peningkatan akses menjadi terkendala. Disamping itu, jamban merupakan barang privat sehingga pemberian jamban senilai Rp. 1,6 juta terlalu besar. Jika kontribusi masyarakat 20 persen maka sekitar Rp. 1,3 juta dihibahkan kepada setiap KK yang mendapat jamban. Kemudian nilai jamban sebesar tersebut tidak akan tergapai oleh penduduk miskin. Hal ini terlihat di lokasi dimana penerima jamban adalah penduduk yang dikategorikan menengah sementara masih banyak penduduk miskin yang memerlukannya. Disarankan nilai jamban tidak melebihi Rp. 200 ribu dan bentuknya sederhana saja yang penting sesuai dengan standar kesehatan minimum. Pembangunan jamban mengarah kepada 'salah sasaran' Pada salah satu desa, separuh dari pengurus TKM mendapat jamban atau sumur gali bahkan terdapat ketua TKM yang mendapat jamban sekaligus sumur gali. Walaupun tidak terdapat aturan yang menghalangi pengurus TKM sekaligus sebagai penerima manfaat, tetapi berdasar pengamatan, terlihat bahwa mereka bukan termasuk penduduk miskin yang seharusnya mendapat prioritas. Penduduk kaya dan menengah masih banyak yang menjadi penerima manfaat, sementara pada saat yang sama masih banyak penduduk miskin yang belum mendapat layanan. Perlu segera dilakukan evaluasi seberapa besar porsi penerima manfaat yang berasal dari penduduk kaya dan menengah. Berdasar pengamatan kami, kondisi ini terjadi di hampir seluruh daerah tidak hanya di Kabupaten Belitung Propinsi Bangka Belitung. Terkait dengan itu, perlu ditetapkan proporsi yang masih dapat ditolerir karena mengarahkan semua sarana ke penduduk miskin juga tidak akan mungkin. Ketua TKM yang sekaligus juga Ketua BPD tidak akan baik dampaknya karena fungsi BPD adalah untuk pengawasan sementara TKM adalah pelaksana. Fungsi pengawasan akan terabaikan. (OM)

Seminar Nasional Sosialisasi UU No. 8 Tahun 2004

ebuah seminar diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah) dan Direktorat Pengairan dan Irigasi (Bappenas) dalam rangka sosialisasi Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Seminar ini berlangsung di Yogyakarta, 5 Oktober 2004. Seminar tersebut dibuka oleh Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas Suyono Dikun dan dihadiri oleh pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota, LSM serta P3A (Persatuan Petani Pemakai Air). Dari seminar itu terungkap, pengelolaan air dengan pendekatan budaya diyakini telah muncul sejak awal manusia diciptakan karena air merupakan kebutuhan dasar manusia dan perannya tidak tergantikan. Namun kini budaya, yang dicerminkan melalui perilaku masyarakat, budaya transedensi mulai tumbuh dan

berkembang sehingga cenderung mengakibatkan dominasi perilaku eksploitatif. Hal tersebut juga didorong oleh berkembangnya teknologi baru. Tindakan itu diperkirakan akan memperbesar gap antara supply dan demand di bidang sumber daya air. Kebutuhan air, baik kuantitas maupun kualitas, akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya kualitas konsumsi masyarakat. Akan tetapi dari sisi supply, ketersediaan air secara kuantitas semakin langka akibat terdegradasinya sumber-sumber air dan kualitas air semakin memburuk akibat pencemaran. Selain itu, upaya pemerintah dalam meningkatkan kapasitas supply tidak signifikan mengingat semakin terbatasnya dana investasi pemerintah dan juga semakin kompleksnya permasalahan pembangunan pengairan. Perlu ditempuh berbagai upaya yang

didukung oleh ketersediaan modal dalam pengelolaan sumber daya air. Dikarenakan saat ini modal dana (monetary resources) semakin terbatas dan penyerapan tenaga kerja sektor formal rendah maka perlu dikembangkan modal sosial. Indonesia secara historis mempunyai potensi modal sosial yang kuat yang tercermin dengan adanya: pola komunikasi: interaksi dan intensif; pola transaksi: non-monetary dan monetary, tingkat resiko besar; broad-based participation dan sekaligus broad-based control; mengedepankan keseimbangan dan keharmonisan; mobilisasi sumberdaya: resource-based approach, mengutamakan penggunaan sumber daya yang dimiliki secara internal; bersifat konservatif; dan jangkauan umumnya terbatas pada komunitas tertentu. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut maka diperlukan upaya revitalisasi modal sosial. (ML)

Percik 45 Oktober 2004

S EPUTAR AMPL
i sela-sela acara Sosialisasi Manual Pengelolaan Sarana AMPL di Surabaya tanggal 7 Oktober 2004, Pokja AMPL meluangkan waktu mendatangi lokasi SANIMAS di Baloncok, Kecamatan Balongsari, Kota Mojokerto. Pada kunjungan tersebut, Pokja AMPL didampingi oleh BEST Surabaya sebagai pelaksana SANIMAS di daerah tersebut. Kunjungan mendadak ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana kondisi sarana yang dibangun setelah 5 bulan beroperasi. Sarana itu berupa MCK umum yang dibangun di atas IPAL. Sarana tersebut melayani pelanggan 60 KK, ditambah layanan perorangan rata-rata sekitar 10 orang per hari. MCK umum terdiri dari 4 jamban, 2 kamar mandi,

SANIMAS Balong Asri, Mojokerto Terawat


dan 3 kran air untuk mencuci. Jamban yang dipergunakan hanya 3 unit. Sementara 1 unit hanya difungsikan sebagai cadangan saja. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kondisi MCK masih sangat baik. Hal ini dapat terjadi karena petugas membersihkan sarana dua kali sehari. Selain itu, perilaku masyarakat telah berubah. Sebelumnya banyak ditemukan anak kecil yang membuang hajat di selokan depan rumah dan penduduk dewasa membuang hajat di sawah atau lahan koFOTO: OSWAR MUNGKASA song kemudian tinjanya ditampung dalam kantong plastik lalu dibuang (flying toilet). Kini perilaku itu tak ada lagi. Sementara itu, Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) selama dua hari (29-30 Oktober 2004) meninjau langsung proyek Sanitasi
FOTO: OSWAR MUNGKASA

untuk Masyarakat (SANIMAS) di Propinsi Bali (Kota Denpasar) dan Propinsi Jawa Timur (Kediri, Pasuruan, Blitar, Mojokerto, Sidoarjo, dan Pamekasan). Temuan menarik di lapangan antara lain penyiapan masyarakat memegang peranan dalam keberlanjutan proyek, masuknya pihak ketiga sebagai pemasok bisa mengurangi akses langsung mereka ke pasar, kepemilikan lahan proyek perlu mendapatkan legalitas dari pemerintah daerah, dan proyek SANIMAS bisa direplikasikan oleh Pemda melalui pendekatan partisipatif kepada masyarakat. (OM)

Pertemuan Tim Koordinasi Propinsi dan Kabupaten Proyek WSLIC 2 Tahun 2004
ertemuan Tim Koordinasi Propinsi (TKP) dan Kabupaten (TKK) Proyek WSLIC 2 Tahun 2004 berlangsung di Pasuruan, 11-14 Oktober 2004. Acara ini dibuka oleh Hening Darpito (Direktur Penyehatan Air dan Sanitasi Depkes). Pertemuan tersebut dihadiri oleh sekitar 85 orang peserta yang berasal dari 7 propinsi dan 34 kabupaten yang mendapatkan alokasi WSLIC 2. Peserta merupakan wakil dari TKP dan TKK yang berasal dari Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten, Bappeda Propinsi dan Kabupaten. Pertemuan ini ber-

tujuan mengkoordinasikan TKK dan TKP agar pelaksanaan WSLIC 2 dapat dipercepat melalui penguatan TKK dan TKP. Pada kesempatan tersebut Taufik Hanafi (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas) menjelaskan tentang kebijakan sektor kesehatan. Sedangkan Oswar Mungkasa dari Direktorat Permukiman dan Perumahan Bappenas menguraikan tentang Millenium Development Goals (MDG) khususnya yang terkait dengan air minum dan sanitasi. Beberapa fakta yang terungkap pada

pertemuan itu antara lain cakupan pelayanan air minum Indonesia di Asia Tenggara ternyata lebih rendah dari Vietnam, sementara cakupan untuk sanitasi hanya sedikit lebih baik dari Vietnam, Laos dan Kamboja. Jika dibandingkan kondisi cakupan pelayanan air minum di antara propinsi yang mendapatkan WSLIC 2, hanya propinsi Jawa Timur dan Sumatera Barat yang cakupan pelayanannya berada di atas rata-rata nasional. Sementara hanya Jawa Barat yang cakupan sanitasinya di atas rata-rata nasional. (OM)

46

Percik Oktober 2004

S EPUTAR AMPL
Peresmian Proyek WSLIC 2 di Kabupaten Kediri

enteri Kesehatan Ahmad Sujudi 14 September lalu meresmikan sejumlah proyek WSLIC 2 di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Peresmian itu dipusatkan di Desa Siman, Kecamatan Kepung. Hadir dalam peresmian itu antara lain Tim Koordinasi Pusat, Tim Koordinasi Propinsi, Tim Koordinasi Kabupaten, DPRD Kabupaten Kediri, anggota TKM, CPMU, DPMU, konsultan maupun tim fasilitator. Di Kabupaten Kediri ada delapan desa yang memperoleh proyek WSLIC yakni Desa Siman (Kec. Kepung), Desa Banaran, Bukur, Jerukgulung, Medowo, Mlancu (Kec. Kandangan), Desa Manggis (Kec. Puncu), dan Desa Surat (Kec. Mojo). Proyek ini menelan dana sebesar Rp. 1,7 milyar yang berasal dari dana PLN (70 persen), GOI (10 persen), kontribusi masyarakat (20 persen), dan pengembangan masyarakat.

Peresmian itu ditandai dengan penyerahan aset secara simbolis disertai penyerahan bibit tanaman kepada masyarakat. Hal ini mencerminkan bahwa proyek WSLIC2, khususnya di Kabupaten Kediri sangat peduli pada pelestarian lingkungan untuk menjamin ketersediaan air baku untuk air minum. Usai peresmian itu Tim Koordinasi Pusat yang didampingi oleh CPMU, DPMU, konsultan, fasilitator dan TKM mengunjungi Desa Mlancu, Kec. Kandangan. Sumber air di desa ini tertimpa bencana longsor sehingga sistem perpipaan yang telah dibangun -dan dibiayai sebagian- oleh masyarakat tidak dapat berfungsi. Kejadian longsor ini terulang lagi setelah bronkapter (bangunan penangkap air) diperbaiki. Hasil pengamatan di lapangan, sistem perpipaan sudah dapat berfungsi, air dapat mengalir ke masyarakat, hanya saja kondisi ini sangat

rentan terhadap longsor terutama pada musim penghujan. Bencana ini terjadi akibat pembabatan hutan di sekitar sumber air. Menanggapi hal tersebut, Direktur Permukiman dan Perumahan, Bappenas, Basah Hernowo, menyarankan agar disediakan dana untuk mengantisipasi kondisi akibat disaster (bencana), terutama bencana alam. Hal ini mengingat ketersediaan prasarana dan sarana yang sangat mendesak bagi masyarakat serta mempertimbangkan aspek sosial, yaitu karena masyarakat telah banyak berkontribusi demi tersedianya air bersih bagi mereka. Selain itu juga perlu kerja sama dengan pihak-pihak lain yang terkait dengan pelestarian sumber daya alam maupun kehutanan dalam rangka menjamin ketersediaan air baku bagi masyarakat. (ML)

ertemuan perencanaan dan evaluasi Proyek ProAir berlangsung di Denpasar, 25 Agustus 2004 lalu. Pertemuan itu dihadiri instansi terkait dari pusat maupun daerah yang mendapatkan proyek ini. Dari pertemuan itu terungkap bahwa pelaksanaan ProAir di Propinsi NTT terlambat. Hal ini dibuktikan dengan belum adanya pelaksanaan konstruksi padahal proyek telah dimulai sejak tahun 2002 yang lalu. Penyebab keterlambatan itu yakni ada penyesuaian terhadap mekanisme penyaluran dana dan penyiapan masyarakat yang memerlukan waktu. Pemerintah daerah menyampaikan bahwa kemampuan mereka untuk menyediakan dana pendamping sangat terbatas. Oleh sebab itu, mereka mengharapkan pemerintah pusat dapat memberikan bantuan dana, khususnya bagi

Pertemuan Perencanaan dan Evaluasi Proyek Pro Air P


daerah yang kapasitas keuangannya rendah. Menanggapi hal tersebut Direktur Permukiman dan Perumahan menyatakan bahwa Pemerintah Pusat tidak dapat lagi memberikan dana bantuan seperti yang diharapkan. Berdasarkan hasil audit BPKP, Pemerintah Sumba Timur mengusulkan agar dibuat Surat Edaran dari Menteri Keuangan yang terkait dengan sisa dana APBD yang tidak digunakan agar dikembalikan kepada negara. Selama ini pengembalian dana sulit dilaksanakan mengingat dana tersebut telah bercampur dengan dana dari KfW pada rekening bersama. Pemda menyatakan bahwa masyarakat merasa kesulitan untuk mengumpulkan dana kontribusi sebesar 4 persen, sehingga memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan dana tersebut. Pem-

da mengusulkan untuk menurunkan nilai kontribusi in-cash tersebut dan menyediakan subsidi bagi masyarakat. Hal ini tidak disetujui oleh konsultan karena nilai 4 persen merupakan hasil studi dari beberapa negara yang menyatakan bahwa nilai tersebut adalah angka minimal yang dapat diberikan oleh masyarakat agar rasa kepemilikan terhadap prasarana dan sarana dapat tumbuh sehingga keberlanjutannya dapat tercapai. Saat ini pedoman umum telah disusun oleh Departemen Kesehatan. Namun berdasarkan diskusi masih diperlukan sedikit perbaikan. Sementara itu penyiapan kegiatan di Kabupaten Alor dan Ende akan dilaksanakan pada pertengahan tahun 2005 karena keterbatasan tenaga konsultan untuk melaksanakan seluruh kegiatan secara bersamaan. (ML)

Percik 47 Oktober 2004

S EPUTAR AMPL
Lokakarya Penyempurnaan Proposal Program Pembangunan Sanitasi Indonesia

elompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL), 18 Oktober 2004 lalu menyelenggarakan Lokakarya Penyempurnaan Proposal Program Pembangunan Sanitasi Indonesia di Jakarta. Lokakarya ini dimaksudkan untuk menyempurnakan proposal yang rencananya akan dibiayai oleh Pemerintah Belanda. Lokakarya ini dihadiri oleh berbagai instansi pemerintahan lintas sektor (Pokja AMPL), WSP-EAP, dan WASPOLA. Jumlah peserta yang mengikuti lokakarya ini kurang lebih 40 orang. Program hibah Belanda ini dikenal dengan nama Indonesia Sanitation Sector Development Program (ISSDP) atau Program Pembangunan Sektor Sanitasi Indonesia. Proposal yang diajukan dimaksudkan untuk menyokong pemerintah Indonesia dalam mengembangkan dan mengimplementasikan Program Pembangunan Sektor Sanitasi Indonesia dalam rangka memantapkan strategi institusi,

meningkatkan kapasitas dan kerangka investasi sektor sanitasi. Proposal ini difokuskan pada empat komponen utama, yaitu (i) Pengembangan kebijakan, strategi, dan kerangka koordinasi; (ii) Kampanye penyadaran publik; (iii) Pengembangan model dan implementasinya pada kota besar dengan fokus daerah miskin; (iv) Pengembangan program pemantauan terpadu yang akan menginformasikan tindakan, kebijakan dan kemajuan pencapaian sanitasi termasuk MDGs. Janelle Plumer (WSP-EAP) menjelaskan mengenai rasionalisasi proposal dan komponen proposal secara umum. Sementara Oswar Mungkasa (Bappenas) menerangkan dua isu penting yakni mengenai keterkaitan WASPOLA dengan ISSDP dan detil masing-masing komponen. Penjelasan Djoko Wartono (Ditjen PPM-PL, Depkes) tentang alternatif mekanisme pendanaan menutup acara presentasi. Selama lokakarya banyak tanggapan

yang muncul di antaranya mengenai perlunya komponen persiapan seleksi lokasi; perlunya exit strategi yang matang; indikator ekonomi; dan kampanye formal melalui pendidikan. Dari diskusi tersebut disepakati ada delapan kota yang akan menjadi pilot project dengan rincian empat kota yang telah memiliki sistem sewerage dan empat kota yang belum mempunyai sistem sewerage. Pada kesempatan membuka lokakarya, Direktur Permukiman dan Perumahan Bappenas, Basah Hernowo memaparkan kondisi dan tantangan sanitasi di Indonesia. Menurutnya, sektor sanitasi sangat tertinggal jauh dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Untuk itu perlu ada perhatian khusus terhadap sektor ini. Ia mengingatkan agar bantuan Belanda tersebut sinergi dengan kebijakan yang telah disusun, karena bantuan itu ditujukan untuk menyusun platform nasional sektor sanitasi di Indonesia. (FW)

Lokakarya Penyusunan Rencana Kerja WASPOLA Tahun 2005

e k r e t a r i a t W A S P O L A bersama dengan Pokja AMPL menyelenggarakan Lokakarya Penyusunan Rencana Kerja WASPOLA tahun 2005 di Jakarta, 19-20 Oktober 2004. Acara ini dihadiri sekitar 40 peserta. Lokakarya dimaksudkan untuk menyusun rencana kerja tahun 2005 dan memasukkan berbagai kegiatan tahun 2004 yang belum terlaksana ke dalam rencana tersebut. Acara ini dibuka oleh Kasubdit Sanitasi Lingkungan, Bappenas, Oswar

Mungkasa. Ia menjelaskan apa yang telah dicapai oleh WASPOLA tahun ini dan kendala-kendala yang dihadapi serta beberapa hal yang belum terlaksana. Menurutnya, kegiatan tahun depan lebih memfokuskan pada diseminasi kebijakan nasional pembangunan AMPL berbasis lembaga dan berbasis masyarakat dalam satu paket. Lokakarya ini diisi dengan diskusi yang terbagi dalam tiga kelompok yakni 1. Komponen pelaksanaan kebijakan berbasis masyarakat di daerah 2. Komponen Reformasi Kebijakan

3. Komponen Manajemen Pengetahuan (knowledge management) Diskusi berjalan dengan cukup aktif. Bahkan sempat muncul rasa pesimistis lokakarya ini akan menghasilkan rencana kerja. Namun kekhawatiran itu tak terbukti. Pada hari kedua, rencana kerja tersusun kendati masih per komponen. Hasil rumusan itu akan didiskusikan lagi lebih lanjut oleh Pokja AMPL dan WASPOLA. Acara diakhiri dengan kesepakatan untuk menyatukan masing-masing komponen dalam satu rencana kerja yang terpadu. (FW)

48

Percik Oktober 2004

K UNJUNGAN
WSLIC 2 Ubah Desa Pakel Jadi Desa Sehat

etika Pokja AMPL berkunjung ke Desa Pakel, Kecamatan Guci Alit, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, ada pemandangan menarik di sana. Desa itu terlihat bersih dan resik sehingga tidak heran desa tersebut menjadi salah satu pemenang lomba desa sehat. Apakah mungkin proyek seperti WSLIC 2 yang telah mengubah desa tersebut? Desa tersebut terletak sekitar 15 kilometer dari ibukota kabupaten atau sekitar 40 menit perjalanan darat. Terletak di kaki Gunung Tengger sehingga udara terasa sejuk dan nyaman. Penduduk desa itu 50 persen beragama Islam dan sisanya beragama Hindu. Sebagian besar penduduknya tidak tamat SD dan bahkan banyak yang tidak dapat berbahasa Indonesia. Jumlah penduduk desa yang terlayani oleh proyek WSLIC 2 mencapai 300 KK, dan masih terdapat sekitar 75 KK miskin yang belum terlayani. Walaupun proporsi penduduk yang beragama Islam dan Hindu sama, hal ini tidak menjadi kendala bagi pelaksanaan pembangunan desa. Keharmonisan hubungan antara kedua pemeluk agama ini tercermin dari semboyan IHIPA MANUNGGAL yang berarti Islam Hindu Pada Manunggal. Semboyan ini terpasang pada beberapa tempat strategis. Sebelum pembangunan sarana oleh Proyek WSLIC 2, penduduk harus mengambil air sejauh 1 km dan membutuhkan waktu 2 jam untuk 4 jerigen air. Ketersediaan air memungkinkan masyarakat mempunyai waktu yang lebih luang untuk, misalnya, mengunjungi posyandu. Kegiatan posyandu menjadi lebih ramai. Masyarakat telah menyepakati beberapa hal yakni (i) pengelolaan sarana yang dibangun diserahkan kepada sebu-

FOTO: OSWAR MUNGKASA

ah lembaga yang dibentuk masyarakat dan diberi nama GALAK SABER SIANTAN MAS yang merupakan singkatan dari Lembaga Pengelola Keuangan Sarana Air Bersih, Sanitasi, Kebersihan dan Kesehatan Masyarakat. Iuran pemanfaatan air digabung dengan iuran dana sehat. Besarnya iuran air Rp. 1.000 dan dana sehat Rp. 1.000 per KK per bulan; (ii) penetapan prosedur penanganan konflik dan masalah terkait dengan AMPL. Sebagai ilustrasi, ketika terjadi pencurian air di salah satu desa maka masyarakat melaporkan ke pihak berwajib. Kemudian yang bersangkutan dihukum mengganti kerugian. (iii) Sumber air hanya terdapat pada dua lokasi dengan debit air diperkirakan 2 liter/detik, sementara pengguna air tersebar di lebih dari dua kecamatan. Masyarakat kemudian melakukan musyawarah untuk menetapkan tata cara pemanfaatan sumber air tersebut. Disepakati bahwa desa lokasi sumber air mendapat kompensasi dalam bentuk pembangunan hidran umum. Selain itu pengguna air dipersyaratkan untuk menanam pohon untuk keperluan konservasi. Hal yang paling menarik, sebelum proyek dilaksanakan jumlah jamban yang

memenuhi persyaratan hanya 13 unit tetapi setelah proyek dimulai maka jumlah jamban tersebut meningkat tajam menjadi 155 unit. Sebagian besar penambahan jamban tersebut dibiayai sendiri oleh masyarakat. Berbeda dengan lokasi lain dimana program jamban bergulir jarang yang berhasil, di desa ini jumlah jamban bergulir telah bertambah dari 24 unit menjadi 31 unit hanya dalam waktu 6 bulan. Keberhasilan ini ditunjang oleh pilihan jamban yang diperkenalkan relatif murah hanya sebesar Rp. 130 ribu sehingga terjangkau oleh masyarakat. Pemicu lainnya, pelaksanaan lomba desa sehat yang memasukkan pemilikan jamban sebagai salah satu kriteria. Terlepas dari keberhasilan proses pengklasifikasian kesejahteraan penduduk dengan menggunakan metode MPA/PHAST, berdasar pengamatan, pengkategorian ini sendiri cenderung tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Sebagai ilustrasi, salah satu penduduk desa mengaku masuk dalam kategori sedang (tidak kaya, tidak miskin katanya). Tetapi berdasar hasil pemantauan langsung di lapangan, dengan jumlah ternak kambing 21 ekor, dan rumah permanen yang dimilikinya, selayaknya yang bersangkutan masuk kategori kaya. Perlu dipikirkan untuk juga melakukan klarifikasi terhadap hasil kategori kesejahteraan yang dilakukan penduduk. Walaupun demikian, wajah desa yang menjadi lebih asri, jumlah jamban yang semakin banyak, air minum yang semakin mudah didapat, kondisi sekolah yang telah dilengkapi dengan jamban sekolah dan sarana cuci tangan, merupakan jejak yang nyata dari proyek WSLIC 2 di Desa Pakel, Kecamatan Guci Alit, Kabupaten Lumajang. (OM)

Percik 49 Oktober 2004

P USTAKA AMPL
BUKU UMUM
Bergulat Melawan Sampah. Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok. Daur Ulang. Tony Hare. PT. Rosda Jayaputra Jakarta. Water and Poverty: The Themes. A Collection of thematic Papaers. ADB Water Awareness Program. The Impact of Water on the Poor. Summary of an Impact Evaluation Study of Slected ADB Water Supply and Sanitation Projects. ADB Water Awareness Program. Bringing Water to the Poor. Selected ADB Case Studies. ADB Water Awareness Program. Municipalities & Community Participation A Sourcebook for Capacity Building. Janelle Plummer. Earthscan Publication Ltd, London

PEDOMAN
Manual Pengelolaan Sarana Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Tingkat Desa. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 2004

P E R AT U R A N
Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan di Bidang Perumahan dan Pemukiman. Drs. Marsono. Penerbit Djambatan.

CD

MAJALAH
Company Profile PDAM Kota Makassar. PDAM Solo Selayang Pandang Pengolahan Air Limbah. UPT PAL Banjarmasin. SINERGI desa kota Edisi Kedua 2004 AIR MINUM Edisi Oktober 2004 Warta Proyek WSLIC II. Edisi 3 Tahun 2004

KAMUS
Kamus Istilah dan Singkatan Asing Teknik Penyehatan dan Lingkungan. Penerbit Universitas Trisakti.

50

Percik Oktober 2004

A GENDA
Tanggal
1

Bulan
Oktober

Kegiatan
Rapat Pokja AMPL: Pembahasan Penyusunan Materi Talkshow Rapat Pokja AMPL: Pembahasan Proses Perbaikan Kebijakan Nasional AMPL Berbasis Lembaga-Hasil Lokakarya Bogor. Hari Habitat Dunia di Yogyakarta Pelatihan Teknis ProAir Pelaksanaan dialog kebijakan membahas isu strategis dibidang AMPL di Kab. Kebumen Desiminasi Pedoman Air Limbah, Drainase dan Persampahan Perkotaan dan Sosialisasi Pengembangan Kawasan Desa Pusat Pertumbuhan di Wilayah Barat Sosialisasi Manual Pengelolaan Sarana AMPL di Tingkat Desa Pembahasan Tata Cara Perhitungan Tarif Air Minum Rapat Rutin Pokja AMPL Wrap Up Meeting Misi-Supervisi WSLIC 2 Rapat Pokja AMPL: Pembahasan NAP Air Limbah Lokakarya Konservasi Sumber Air Domestik Lokakarya ke II Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat di Kab. Pangkep Lokakarya National Action Plan Air Minum, Air Limbah dan Persampahan Persiapan Lokakarya Pembahasan ISSDP (Indonesia Sanitation Sector Development Program) Lokakarya Penyusunan Rencana Kerja WASPOLA 2005 Pengembangan Jaringan Komunikasi WASPOLA dengan NGO Rapat Rutin Pokja AMPL Rapat Pembahasan Draft RRP dan Draft Loan Agreement CWSH Workshop Mid Term Review dan Technical Audit Proyek WSLIC 2 Lokakarya ke II Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat di Kab. Bangka Selatan Rapat Rutin Pokja AMPL Rapat Penjelasan Rencana Program Jangka Menengah (RPJM) AMPL Rapat Sinkronisasi Kebijakan Sektor AMPL Monitoring proyek SANIMAS Pertemuan Pra Negosiasi Proyek CWSH Rapat Pembahasan Lap. Antara Penyusunan Modul Sistem Pengolahan Air Limbah Skala Kecil dan Penyusunan Data Base AB-PL Rapat Tim Persampahan Dialog Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL di Prop. Jawa Tengah Rapat Sinkronisasi Kebijakan Sektor AMPL Dialog Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL di Kab. Lombok Barat Dialog Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL di Prop. NTB dan di Prop. Bangka Belitung Negosiasi Proyek CWSH Pembahasan Juknis WSLIC 2 Lokakarya II Pembangunan Nasional AMPL Berbasis Masyarakat di Kab. Kab. Lombok Barat Rapat Persiapan Kunjungan CLTS ke Bangladesh Dialog Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL di Kab. Kebumen Lokakarya II Pembangunan Nasional AMPL Berbasis Masyarakat di Kab. Sijunjung dan di Kab. Gorontalo Diseminasi kebijakan oleh propinsi ke kabupaten, di Prop. Sulawesi Selatan Diseminasi Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL dan Jumpa Pers di Jakarta Diseminasi kebijakan oleh propinsi ke kabupaten, di Prop. Sumatera Barat Kunjungan CLTS ke Bangladesh Lokakarya Strategi Komunikasi Kajian keberlanjutan pembangunan AMPL di Kab. Sijunjung

4 5-12 6-7

Oktober Oktober Oktober

6-9 7 8 11 12 12-13 13 14 19-20 21 22 25 25-26 26-27 27 28 29 29-30 1 4

Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober November November

5 6 9 9-10 Minggu IV 24 25 24-25

November November November November November November November November

24-27 November 25-26 November 26-27 November 29 November-7 Desember 30 November Minggu V November

Percik 51 Oktober 2004

GLOSSARY
ACP (Asbestos Cement Pipe)
Pipa semen asbes--Jenis material pipa terbuat dari serat asbes dan semen. Direkomendasikan hanya untuk perpipaan drainase atau air limbah domestik. Mempunyai jenis sambungan spigot-socket yang dipasang searah alirannya.

ALOS (Agregate Level of Services) Aquaduck

Tingkat pelayanan agregatif-Suatu pendekatan estimasi jumlah sarana sanitasi suatu daerah yang akan dilayani. Disebut juga jembatan air atau talang air-Bangunan yang berfungsi menyeberangkan air dari suatu tempat ke tempat lain yang dipisahkan oleh suatu badan air atau badan jalan yang mempunyai elevasi lebih rendah dibandingkan dasar saluran air tersebut.

Aqua privies (Kakus rendam) Aquifer (Akifer)

Salah satu jenis kakus dengan tangki septik yang sederhana. Mempunyai satu ruang (kompartemen) sehingga lumpur tinja serta air bekas bilasannya terkumpul dan berproses dalam satu ruang. Formasi geologis lulus air yang menyimpan air di bawah tanah, berfungsi mengisi kembali sistem air tanah yang telah berubah. Misalnya akibat dieksploitasi dan dikonsumsi.

Artesian Well (Sumur Artesis) Backflow (Aliran Balik) Barns sewage

Sumber air yang mempunyai potensi tekanan hidrolis yang cukup untuk dapat memuncratkan airnya ke permukaan bumi. Potensi tekanan tersebut berasal dari beban lapisan-lapisan tanah di atasnya. Berbaliknya aliran (air) akibat adanya hambatan di muka aliran tersebut. Misalnya akibat pembendungan atau penutupan aliran secara mendadak atau terhentinya sumber tekanan air seperti matinya pompa. Air limbah yang berasal dari kotoran hewan yang sudah stabil.

Bedding (Selimut beton) Bentonite clay

Strukur beton yang menyelimuti batangan pipa yang ditanam di dalam tanah untuk tujuan perlindungan atau penyokongan. Sejenis tanah lempung yang digunakan sebagai material penolong proses pengolahan air. Dapat meningkatkan kepadatan partikel dan berat rata-rata suspensi pencemar air sehingga memudahkan untuk diikat koagulan. Ia juga mempunyai daya serap terhadap senyawa-senyawa organik.

BOD (Biochemical Oxygen Demand) COD (Chemical Oxygen Demand) Cleanwater (Air bersih)

Jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk mengoksidasi hampir semua zat organik yang terlarut dan sebagian zat organik yang tersuspensi di dalam air. Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik. Besarnya menggambarkan tingkat pencemaran oleh bahan-bahan organik yang secara alami dapat teroksidasi oleh proses mikrobiologis. Air yang memenuhi persyaratan kualitas untuk dikonsumsi (diminum) setelah dimasak terlebih dahulu.

Clear well (Tangki air bersih)

Salah satu unit bangunan di dalam IPA (instalasi pengolahan air bersih) yang berfungsi sebagai penampung/wadah sementara (reservoar) air hasil pengolahan. Pada beberapa instalasi, unit ini juga berfungsi sebagai tempat pembubuhan desinfektan.

Dead end (distribution) System Disposal (Pembuangan) Drain (System)

Disebut juga Tree System-Salah satu sistem/metode peletakan jaringan pipa distribusi air bersih dengan pola bercabang-cabang sehingga dapat ditentukan hirarki perpipaan tersebut, mulai dari pipa primer, bercabang menjadi pipa sekunder, kemudian tertier dan seterusnya. Pembuangan limbah (padat/cair) ke suatu tempat/lokasi yang dianggap aman terhadap lingkungan. Jaringan pipa, saluran dan semua kelengkapannya yang berfungsi untuk pengeringan bangunan atau halaman.

DWF (Dry Weather Flow)

Debit gabungan limbah domestik dan limbah industri (tanpa air hujan)

Dikutip dari Kamus Istilah dan Singkatan Asing Teknik Penyehatan dan Lingkungan. Penerbit Universitas Trisakti.

52

Percik Oktober 2004

Anda mungkin juga menyukai