Anda di halaman 1dari 14

Jilid 02 Bab 2 Ken Padmi Namun sekali lagi guru mereka itu berkata Kalian tidak perlu berbuat

apa-apa lagi . Cepat, tinggalkan tempat ini, dan pergilah merebus air dan menanak nasi. Kalia n dapat menangkap dua ekor ayam yang paling gemuk untuk menjamu tamu kita Para cantrik masih termangu-mangu .Namun merekapun kemudian bergeser seorang dem i seorang, sehingga akhirnya yang tinggal hanyalah Gemak Werdi, Makerti dan gadi s yang masih tetap memandang Mahisa Bungalan dengan curiga. Kemarilah. Duduklah di pendapa ajak orang tua itu. Melihat sikapnya, Mahisa Bungalan lambat laun ditumbuhi juga kepercayaan kepadan ya, bahwa ia tidak akan berbuat jahat. Sehingga karena itu, maka iapun kemudian mengikutinya naik ke pendapa. Makerti yang mengikutinya di belakang berdesis di telinga Mahisa Bungalan Aku moh on maaf. Aku tidak dapat melihat guruku mengalami kesulitan Mahisa Bungalan tersenyum Katanya Aku mengerti. Kau adalah murid yang baik Sejenak kemudian merekapun telah duduk di pendapa mengelilingi minuman hangat ya ng dihidangkan. Dengan nada datar orang tua Itupun kemudian berkata Angger Mahisa Bungalan. Ternyata kami salah menilai angger. Meskipun aku sudah menduga bahwa angger memang memiliki kemampuan, tetapi ternyata yang ada sangat jauh dari perh itunganku semula Mahisa Bungalan tidak menjawab. Perkenankanlah kami memperkenalkan diri. Aku adalah seorang tua yang memimpin pad epokan ini. Orang menyebutku Ki Kenanga, namun kadang-kadang juga disebut Ki Sel abajra. Gadis itu adalah anakku yang disebut Amrik yang juga kadang-kadang dipan ggil Ken Padmi. Sedangkan dua orang muridku yang lain tentu sudah kau kenal Mahisa Bungalan mengangguk hormat. Katanya Terima kasih Kiai. Aku senang sekali d apat berkenalan dengan Kiai Sekali lagi aku minta maaf atas penerimaan yang tidak ramah ini Aku juga minta maaf Kiai. Mungkin kedatanganku telah mengguncangkan ketenangan pa depokan ini, meskipun maksudku bukan demikian Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya Aku mengerti. Akupun me nyadari bahwa yang kau lakukan bukannya dengan sengaja menghina perguruan ini. T etapi rasa-rasanya adalah terlalu berat untuk menerima belas kasihan dari seseor ang yang belum kami kenal Aku melakukannya tanpa maksud buruk Karena itulah, maka yang ingin kami lakukan sebenarnya hanyalah sekedar menunjukk an harga diri. Namun agaknya perasaan ini tidak lagi dapat kami kuasai. Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Pengakuan yang jujur itu telah membua t penilaiannya atas orang-orang padepokan itupun agak berubah. Karena itu ngger berkata Ki Kenanga yang juga sering disebut Ki Selabajra anggaplah yang terjadi itu betul-betul suatu kekhilafan Marilah kita lupakan Kiai. Jika maksud kedatanganku kemari sudah dapat dimengerti , aku sudah mengucapkan beribu terima kasih Kami mengerti ngger. Bahkan lebih daripada itu. Ternyata meskipun usia angger mas ih jauh lebih muda dari umurku, namun angger adalah seorang yang telah dewasa la hir dan batin Mahisa Bungalan mengangkat Wajahnya sejenak. Namun udiam sambil menundukkan kepa lanya ia bergumam Jangan memuji Kiai. Aku tidak lebih dari yang ada ini Yang ada itulah yang luar biasa sahut Ki Selabajra aku ingin mohon agar angger bers edia bermalam di sini untuk satu dua malam Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling kepada Makerti, maka sorot mata Makertipun seolah-olah telah mempersilahkannya pula. Karena itu maka katanya Terima kasih Kiai. Jika Kiai sudi menerima aku bermalam Tentu, tentu ngger. Aku senang sekali menerima angger bermalam di sini Mahisa Bungalan mengangkat wajahnya pula sejenak, seolah-olah ia ingin tahu, apa kah orang tua itu berkata dengan jujur. Namun nampak pada sorot matanya, maka ya ng dikatakannya itu benar-benar terloncat dari hatinya. Nampaknya ia benar-benar menerima Mahisa Bungalan bermalam dengan senang. Ketika kemudian beberapa jamuan makan dihidangkan, maka Mahisa Bungalanpun minta diri untuk mencuci tangan dan kakinya di sumur, di halaman samping padepokan it

u. Pada saat Mahisa Bungalan turun itulah, Makerti telah menceriterakan, bahwa sebe narnya Mahisa Bungalan sama sekali tidak dicengkam oleh ilmu yang dilontarkan Ki Selabajra semalam. Mahisa Bunglan sama sekali tidak tertidur nyenyak sehingga t idak menyadari apa yang telah terjadi. Dan kau juga mampu melepaskan diri dari pengaruh ilmuku? bertanya guru Makerti. Sebenarnya aku tidak mampu lagi guru. Tetapi ketika Mahisa Bungalan memegang tang anku, rasa-rasanya ada semacam arus yang hangat mengalir ke seluruh tubuhku, seh ingga aku dapat bertahan diri dari pengaruh ilmu guru yang sebenarnya tidak terl awan itu Jadi kau juga telah dibebaskan dari pengaruh ilmu itu oleh Mahisa Bungalan? Ya guru Ki Selabajra itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Makerti sejenak. Kemud ian Gemak Werdi dan anak gadisnya yang menunduk. Jika demikian, ia benar-benar anak muda yang luar biasa. Ia tentu memiliki ilmu y ang belum pernah kita ketahui dan tidak dapat kita bayangkan tingkat kemampuanny a berkata orang tua itu. Pembicaraan itupun segera terputus, karena Mahisa Bungalan telah datang kembali, dan duduk diantara mereka. Sejenak kemudian merekapun telah menikmati hidangan makan bersama. Meskipun sudah tidak ada masalah lagi diantara mereka, namun rasa-rasanya masih saja ada jarak antara Gemak Werdi dan Mahisa Bungalan. Anak muda itu masih saja dibayangi oleh sikap Mahisa Bungalan di Watan Di hadapan banyak orang, Mahisa Bu ngalan telah memperkecil arti kehadirannya. Kenapa ia tidak dengan tulus membantuku pertanyaan itulah yang selalu menggangguny a Bahkan ia telah memperkecil arti kehadiranku di padukuhan itu. Seharusnya orang -orang Watan merasa bahwa aku telah membebaskan mereka dari tingkah laku yang ja hat dari Ki Lambun dan orang-orangnya Namun Gemak Werdi menahan semuanya itu di dalam hatinya. Ia sadar, bahwa gurunya sudah mulai terpengaruh oleh anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu. Apalag i setelah anak muda itu menunjukkan kemampuannya. Bahkan gurunya menganggap bahw a Mahisa Bungalan memiliki ilmu yang tatarannya tidak dapat dibayangkan. Seperti yang diminta oleh Ki Selabajra, maka Mahisa Bungalan telah tinggal untuk dua tiga hari di padepokan kecil itu. Dengan demikian, maka Makertipun tidak se gera pulang ke rumahnya. Iapun tinggal pula di padepokan itu untuk mengawani Mah isa Bungalan. Demikian pula Gemak Werdi. Namun dalam pada itu, yang sangat mengherankan Mahisa Bungalan adalah gadis yang bernama Ken Padmi itu. Ketika ia melihat gadis itu untuk pertama kalinya, ia me nganggap bahwa gadis itu adalah gadis yang sombong. Ia dengan dada tengadah tela h menantangnya memasuki arena perkelahian atas nama perguruannya. Tetapi yang dilakukan itu agaknya adalah sekedar perintah ayahnya. Dalam pergaul an sehari-hari, ternyata gadis itu adalah gadis yang luruh. Hampir setiap saat i a selalu menundukkan kepalanya. Langkahnya lembut dan sorot matanya terasa lunak . Pada malam pertama Mahisa Bungalan berada di padepokan itu, ia telah melihat, ba hwa sebenarnya padepokan itu termasuk padepokan yang tenang. Namun agaknya karen a Ki Selabajra terlalu yakin akan perguruannya yang terpencil itu, sehingga bebe rapa orang muridnya yang kurang perbendaharaan pengalaman, menganggap bahwa perg uruan itu adalah perguruan yang terbaik di seluruh muka bumi. Mereka sudah mener ima ilmu cukup dari padepokan ini menganggap bahwa mereka akan dapat berbuat apa saja terhadap orang lain. Meskipun Ki Selabajra tidak mengajarkan kejahatan, tetapi satu dua orang muridny a yang merasa dirinya tidak terkalahkan itu, kadang-kadang dapat menyulitkan dir i mereka sendiri. Seperti yang telah dilakukan oleh Gemak Werdi yang hampir saja merenggut nyawanya sendiri, karena di luar per-hitungannya ia telah bertemu den gan orang yang bernama Ki Lambun yang memiliki ilmu yang tinggi pula. Tanpa mengajukan permintaan, Ki Selabajra telah memberi kesempatan kepada Mahisa Bungalan untuk menyaksikan latihan-latihan bagi dua orang murid pada tataran te rtinggi dari perguruan Kenanga. Jika mereka sudah dapat menguasai ilmu pada tata ran tertinggi itu, maka mereka berdua akan dapat dilepas seperti Gemak Werdi.

Keduanya memiliki dasar yang sangat baik desis Mahisa Bungalan ketika Ki Selabajra minta pendapatnya tentang kedua orang muridnya. Mereka akan menjadi seorang anak muda yang mengagumkan seperti Gemak Werdi berkata Ki Selabajra tetapi mereka tentu tidak banyak berarti bagi angger Mahisa Bungala n Mahisa Bungalan tidak menyahut. Dalam pada itu, kedua murid Ki Selabajra itu memperlihatkan, bahwa cara yang dit empuh oleh orang tua itu untuk menurunkan ilmunya, termasuk cara yang baik menur ut penilaian Mahisa Bungalan. Meskipun tidak seluruh yang ada di dalam perbendah araan pengetahuan Ki Selabjra dituangkan, namun keduanya, seperti juga Gemak Wer di dan Makerti, mendapat kemungkinan untuk mengembangkan ilmunya sebaik-baiknya. Seseorang yang memiliki ketajaman penglihatan dan kecerdasan pikiran, akan dapa t mengembangkan ilmunya setinggi-tingginya. Adalah di luar dugaannya, bahwa pada saat itu tiba-tiba saja Ken Padmi masuk ke dalam sanggar. Tetapi gadis itu terkejut ketika ia melihat Mahisa Bungalan ada d i dalam sanggar itu pula. Dengan tergesa-gesa ia berbalik dan melangkah keluar. Tetapi ayahnya memanggilnya Kemarilah Duduklah di sini Gadis itu termangu-mangu. Namun iapun kemudian mendekati ayahnya dan duduk diseb elahnya pula. Setelah keduanya selesai, maka akan datang giliranmu Ah tiba-tiba saja gadis itu berdesah aku tidak ingin berlatih malam ini Kenapa? bertanya ayahnya. Gadis itu menjadi gelisah. Di luar sadarnya, teringat olehnya saat Mahisa Bungal an menangkap kakinya Jika saja anak muda itu ingin memperolok-olokkannya, ia ten tu dapat melakukannya saat itu. Rasa-rasanya tubuh gadis itu meremang dan wajahnyapun menjadi kemerah-merahan. Untuk sesaat gadis yang duduk di sebelah ayahnya itu hanya menundukkan kepalanya saja. la sama sekali tidak berani berpaling. Apalagi kepada Mahisa Bungalan. Dalam pada itu kedua murid yang sudah hampir menyelesaikan ilmunya itu berlatih semakin cepat. Akhirnya keduanya sampai pada tingkat tertinggi dari ilmu yang pe rnah dipelajarinya. Cukup berkata Ki Selabajra kalian dapat beristirahat. Keduanya mengangguk dalam-dalam. Kemudian keduanyapun keluar dari sanggar. Yang ada di dalam sanggar itu kemudian hanyalah Ki Selabajra, Mahisa Bungalan da n Ken Padmi menunduk. Sejenak mereka berdiam diri. Namun kemudian Ki Selabajrapu n berkata kepada anak gadisnya Bagaimana dengan kau? Gadis itu menggeleng lemah Suaranya hanya terdengar seperti berbisik Aku tidak in gin berlatih sekarang ayah Kenapa tidak anakku. Di padepokan ini, kau adalah muridku yang memiliki ilmu pali ng lengkap dan kemampuan yang paling tinggi. Tidak ada seorangpun, meskipun ia s eorang laki-laki, yang dapat mengimbangimu dalam kecepatan bergerak dan ketrampi lan ilmu pedang. Karena itu, aku ingin kau menunjukkan kemampuan itu kepada angg er Mahisa Bungalan Ken Padmi tetap menggelengkan kepalanya meskipun ia tidak menjawab. Anakku berkata ayahnya aku mengerti, bahwa kau menjadi sangat malu setelah kau meny adari, bahwa ilmu yang paling sempurna di padepokan ini, masih jauh dibawah kema mpuan angger Mahisa Bungalan. Aku, orang yang dianggap paling mumpuni disini, te rnyata sama. sekali tidak berarti apa-apa. Namun justru karena itu, kau tidak pe rlu malu kepadanya Ken Padmi masih menunduk. Cobalah Gadis itu masih saja menggelengkan kepalanya. Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa anak gadisnya menjadi malu bukan karena perbandingan ilmunya yang jauh lebih rendah dari Mahisa Bungalan. Tetapi gadis itu malu justru karena ia seorang gadis. Karena itu, maka Ki Selabajrapun tidak memaksanya, Mahisa Bungalan masih akan be rada di padepokan itu untuk satu atau dua hari, sehingga ia masih dapat berharap , bahwa pada suatu saat, Mahisa Bungalan akan melihat anak gadisnya menunjukkan puncak kemampuannya. Bukan untuk me-nyombongkan diri, namun dengan harapan, bahw a Mahisa Bungalan akan dapat memberikan beberapa petunjuk bagi kemajuan ilmu ana

k gadisnya itu. Maka ketika Ki Selabajra menyadari bahwa pakaian anak nya sudah basah oleh kerin gat, berkata Jika demikian, kau boleh pula meninggalkan ruangan ini. Tetapi pada suatu saat, kau akan menunjukkan betapa dungunya orang terbaik di padepokan ini Ken Padrni ragu-ragu untuk bangkit Tegapi akhirnya, ketika ayahnya mengangguk ke padanya, iapun melangkah keluar dari ruangan itu. Demikian ia sampai keluar pint u, maka rasa-rasanya kakinya menjadi ringan, sehingga langkahnya menjadi semakin cepat. Tetapi langkahnya terhenti ketika tiba-tiba saja ia berpapasan dengan Gemak Werd i. Sejenak keduanya saling memandang. Namun kemudian Gemak Werdi bertanya Darima na kau Padrni? Ken Padrni termangu-mangu. Tetapi iapun kemudian menjawab Dari Sanggar kakang Gem ak Werdi Siapa yang berada di sanggar? Ayah dan Mahisa Bungalan Apa yang mereka lakukan? bertanya Gemak Werdi. Mahisa Bungalan melihat kawan-kawan kita berlatih jawab Ken Padrni Termasuk kau? Ken Padrni menggeleng. Jawabnya Aku tidak berbuat. apa-apa. Ketika aku masuk, aku tidak mengerti bahwa Mahisa. Bungalan ada di dalam bersama ayah Gemak Werdi mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun meneruskan langkahnya tu run ke halaman. Kemana kau? Ken Padrni masih bertanya. Gemak Werdi menggeleng. Jawabnya Tidak kemana-mana. Aku hanya akan berada di hala man saja Ken Padrni tidak bertanya lagi. Iapun kemudian masuk ke ruang dalam langsung ke dalam biliknya. Dengan serta merta iapun merebahkan dirinya di pembaringannya. Untuk beberapa saat Ken Padrni masih berangan-angan. Sekilas ia membayangkan, be tapa anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu memiliki kemampuan tiada taranya . Meskipun umurnya masih sebaya dengan Gemak Werdi, namun ia sudah dapat mengala hkan ayahnya yang juga gurunya dalam olah kanuragan. Dari mana ia mendapatkan ilmu itu? pertanyaan itulah yang mengganggunya, namun kem udian tetapi tentu dari sumber yang jernih. Nampaknya ia bukan orang yang sombong , keras kepala atau orang-orang yang merasa dirinya paling besar diseluruh dunia ini. Ia nampaknya seorang yang rendah hati. Jika ayah tidak memaksa, maka ia sa ma sekali tidak ingin menunjukkan kemampuannya. Bahkan ayah dahululah yang telah kehilangan pengamatan diri di arena Tetapi yang terjadi adalah jauh dari yang di maksudkan. Ken Padrni menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia menjadi sangat ma lu mengenang, bahwa ia berdiri dengan wajah tengadah, mengumpati anak muda itu s ebagai anak yang dungu. Saat itu iapun yakin, akan dapat menunaikan tugas yang d iberikan oleh ayahnya, mengajari anak muda yang baru datang itu untuk menghormat i padepokan ini. Beberapa saat lamanya gadis itu berangan-angan. Penyesalan, malu dan berbagai ma cam perasaan campur baur. Bahkan ia pun tidak dapat ingkar lagi, bahwa ia mengag umi Mahisa Bungalan sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tiada bandingnya, ya ng dilakukan itu belum merupakan puncak dari kemampuannya yang sebenarnya. Lambat laun, semua bayangan diangan-angannya itu menjadi kabur. Sehingga akhirny a ketika matanya terpejam, maka yang nampak adalah sebuah mimpi yang indah. Dalam pada itu, Ki Selabjra dan Mahisa Bungalan masih berada di sanggar. Sejenak mereka masih berbicara tentang berbagai macam persoalan olah kanuragan. Sehingg a dengan demikian maka Ki Selabajra menjadi semakin yakin, bahwa Mahisa Bungalan memang seorang anak muda yang luar biasa. Ketika kemudian malam menjadi semakin dalam, dan padepokan itu menjadi sepi, mak a Ki Selabajra telah mempersilahkan Mahisa Bungalan untuk beristirahat. Digandok sebelah kiri, Mahisa Bungalan dipersilahkan beristirahat bersama Makert i. Untuk beberapa saat mereka masih berbicara tentang peristiwa yang pernah mere ka alami. Di Watan dan di padepokan itu. Kau adalah murid yang setia berkata Mahisa Bungalan Dalam keadaan yang gawat kau te lah menentukan sikap terpuji. Kau berdiri di pihak perguruanmu

Makerti tersenyum betapapun kecutnya. Katanya Untunglah bahwa guru menyadari kead aannya dan keadaan murid-muridnya. Jika tidak, mungkin kepalaku sudah terbelah Ah desis Mahisa Bungalan apakah kau mempunyai kesan bahwa aku adalah seorang pembunu h? Memeng tidak Mahisa Bungalan. Tetapi dalam keadaan terpaksa, dan untuk membela di ri, mungkin seseorang yang bukan seorang pembunuh akan dapat membunuh lawannya sa hut Makerti. Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Ia tidak membantah karena hal itu memang dapat terjadi. Untuk beberapa saat mereka masih berbicara. Namun akhirnya Mahisa Bungalanpun me rebahkan dirinya di amben bambu sambil berdesis Di Watan aku tidur di Banjar pad ukuhan. Di sini aku mendapat kehormatan tidur di gandok namun kemudian sambungnya itu bukan berarti bahwa aku tidak mendapat kehormatan di Watan. Sikap Ki Buyut s angat baik dan mudah-mudahan Watan akan tetap dalam suasana yang baik setelah Ki Lambun menyadari keadaannya Makertipun kemudian berbaring pula. Namun angan-angannya masih terbang hilir mud ik beberapa saat. Namun kemudian matanyapun terpejam seperti Mahisa Bungalan. Se hingga beberapa saat kemudian, keduanyapun telah tertidur nyenyak. Pagi-pagi benar, ketika langit menjadi merah, Mahisa Bungalan telah terbangun. K etika ia bangkit, dilihatnya Makertipun telah membuka matanya pula. Tetapi nampa knya Makerti masih malas untuk meninggalkan pembaringannya, sehingga Mahisa Bung lanpun kemudian meninggalkannya di dalam bilik seorang diri. Dengan tarikan nafas panjang, Mahisa Bungalan merasakan sejuknya udara pagi. Mes kipun langit masih suram, namun di halaman beberapa ekor ayam telah turun. Suara burung liar yang berkicau di dahan pepohonan rasa-rasanya bagaikan kidung menya mbut datangnya hari baru. Mahisa Bungalanpun kemudian turun ke halaman pula. Dilihatnya seorang cantrik se dang menyapu di sudut. Sementara yang lain sedang sibuk dengan kerja masing-masi ng. Dengan ragu-ragu Mahisa Bungalanpun pergi ke pakiwan. Untuk menghangatkan ba dannya, maka iapun kemudian pergi ke sumur untuk menimba air, mengisi tempayan d i pakiwan. Beberapa saat lamanya ia menarik senggot turun dan melepaskannya naik. Kemudian menuang air di dalam upih ke dalam tempayan di pakiwan. Namun tiba-tiba saja ia menjadi berdebar-debar ketika ia melihat dalam keremanga n dini hari, seorang gadis pergi mendekatinya. Namun tiba-tiba saja langkah gadi s itu terhenti. Wajahnya menegang sejenak ketika ia menyadari bahwa yang sedang menimba air itu adalah Mahisa Bungalan. O terdengar gadis itu berdesah aku kira, aku kira kakang Gemak Werdi atau paman Mak erti atau anak-anak padepokan ini Mahisa Bungalanpun menjadi bingung sesaat. Namun kemudian ia memaksa diri untuk menjawab Apakah ada bedanya? Aku terbiasa melakukannya pula di rumahku. Juga sela ma aku berada di banjar padukuhan di Watan Tetapi, tetapi disini banyak anak-anak padepokan yang dapat melakukannya desis Ken Padrni. Ah sahut Mahisa Bungalan tidak ada bedanya. Biarlah aku mengisi jambangan di pakiwa n itu. Apakah kau akan mandi? Ken Padrni menundukkan kepalanya. Ia merasa bingung, apakah yang sebaiknya dilak ukan, sehingga karena itu, maka ia berdiri saja sambil menundukkan kepalanya. Tetapi gadis itu terkejut ketika Mahisa Bungalan melepaskan senggot timba sambil berkata Jambangan telah penuh. Silabkan kau mandi lebih dahulu .Aku akan melihat -lihat kebun padepokan ini O Ken Padrni masih bingung. Ia tidak tahu, apakah yang akan dikatakannya. Namun ia pun kemudian melihat Mahisa Bungalan meninggalkan sumur dan berjalan kekebun di belakang padepokan. Sejenak Ken Padrni masih termangu-mangu. Namun ia hampir terlonjak ketika ia men dengar suara seseorang Apakah yang kau renungkan, Ken Padrni? Tidak, tidak apa-apa desisnya gagap. Makerti tersenyum. Sementara Ken Padrni meneruskan Kau mengejutkan aku, paman Mak erti O, sejak kapan kau menjadi demikian mudah, terkejut dan menjadi gagap? bertanya Ma

kerti. Ken Padmi menundukkan wajahnya yang menjadi kemerahan. Sementara Makerti berkata Jika kau akan mandi, mandilah. Aku akan mengawani Mahisa Bungalan melihat-lihat kebun belakang Ken Padmi tidak menjawab. Tetapi ketika Makerti meninggalkannya, ia memadanginya dari belakang sehingga hilang di balik sudut rumahnya. Sejenak gadis itu termangu-mangu. Namun iapun kemudian masuk ke dalam pakiwan un tuk mandi. Betapa sejuknya air di jambangan, yang rasa-rasanya lebih sejuk dari pagi sebelumnya. Namun dalam pada itu, percakapannya yang pendek dengan Mahisa Bungalan itu rasarasanya telah memecahkan batas antara keduanya. Dengan demikian keduanya merasa telah berkenalan, sehingga keduanya tidak lagi. merasa canggung untuk menyapa ji ka mereka berpapasan. Sikap dan sifat Ken Padmi ternyata telah mengikat Mahisa Bungalan untuk tidak te rgesa-gesa meninggalkan padepokan itu. Bahkan ketika Makerti dan Gemak Werdi min ta diri untuk kembali ke rumah masing-masing, Mahisa Bungalan tidak menolak perm intaan Ki Selabajra untuk tinggal barang satu dua hari di padepokan itu. Kau ragu-ragu meninggalkan padepokan itu Gemak Werdi? bertanya Makerti diperjalana n, beberapa saat setelah mereka memasuki bulak. Gemak Werdi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia menjawab Tidak paman. A ku tidak ragu-ragu Makerti mengangguk-angguk. Ia melihat sesuatu dalam tatapan mata Gemak Werdi. Te tapi ia tidak bertanya apapun juga. Ia yakin bahwa yang tersangkut itu akan hila ng karena kesadaran diri Gemak Werdi. Sebagai seorang yang lebih tua Makerti mengerti, bahwa ada sesuatu perasaan yang menyentuh hati anak muda itu terhadap Ken Padmi di padepokan Kenanga. Namun aga knya Gemak Werdipun menyadari keadaannya, sehingga ia telah memandang kemungkina n yang luas yang dapat terjadi di padepokan itu. Sementara itu, Mahisa Bungalan telah mencoba menyesuaikan dirinya dengan kehidup an di padepokan kecil itu. Semakin lama ia menjadi semakin tidak canggung lagi. Pagi-pagi ia bangun dan melakukan pekerjaan seperti murid-murid padepokan yang l ain. Bahkan kadang-kadang iapun telah pergi ke sawah pula bersama para cantrik. Dalam pada itu, batas antara Mahisa Bungalan dengan Ken Padmipun menjadi semakin kabur Meskipun mereka seakan-akan hanya bertemu sekejap dan berbicara sepatah, tetapi pertemuan itupun menjadi semakin sering. Tetapi Mahisa Bungalan tidak akan tetap berada di padepokan itu. Ia sadar, bahwa ia akan meninggalkan padepokan itu pada suatu saat. Dan iapun mulai memikirkan untuk melanjutkan perjalanannya yang tanpa tujuan, sebelum ia menetap pada waktu ikatan tugas keprajuritan. Itulah sebabnya, maka betapapun ia kerasan tinggal di padepokan itu, namun iapun mulai menyatakan niatnya untuk meneruskan perjalanan kepada Ki Selabajra. Jangan tergesa-gesa ngger. Tinggallah barang satu dua bulan disini berkata orang t ua itu. Mahisa Bungalan tersenyum. Jawabnya Maaf Kiai. Aku tidak dapat mengingkari maksud perjalananku sejak aku meninggalkan kampung halamanku. Aku ingin pergi menjelaj ahi daerah yang luas untuk mengembangkan pengalamanku sebelum aku mengikat diri pada suatu tugas tertentu Tugas apakah yang angger maksudkan? bertanya Ki Selabajra. Apa saja. Bukankah pada suatu saat aku harus mempunyai pegangan hidup tertentu? T etapi rasa-rasanya bekal hidup ini tidak lengkap tanpa pengenalan lingkungan yan g agak luas Ki Selabajra mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa agaknya demikianlah panggilan hidup Mahisa Bungalan. Sehingga karena itu, maka sudah barang tentu ia tidak ak an dapat menahannya lebih lama lagi. Namun dalam pada itu, sebagai orang tua ia melihat sesuatu yang menyentuh hati M ahisa Bungalan di padepokan itu. Tetapi Ki Selabajra tidak berani mengatakannya. Meskipun diam-diam ia memperhatikan hubungan antara Mahisa Bungalan dan anak ga disnya, tetapi perkenalan mereka masih terlalu singkat, sehingga jika hal itu me mang terjadi, maka keduanya tentu baru tersentuh oleh pengenalan lahiriah. Pada suatu saat Mahisa Bungalan akan meninggalkan padepokan ini berkata Ki Selaba

jra di dalam hatinya sebulan dua bulan ia akan tetap mengingat padepokan ini, dan mungkin juga Ken Padrni. Tetapi perjalanannya yang semakin jauh dan pengenalann ya yang semakin banyak, maka la tentu akan segera melupakannya. Demikian pula ag aknya dengan Ken Padrni. Ia melihat sepintas seorang anak muda yang mengagumkan. Namun jika anak muda itu telah tidak dilihatnya lagi, maka iapun akan melupakan nya Karena itulah maka Ki Selabajra tidak begitu memperhatikan hubungan antara anak gadisnya dengan Mahisa Bungalan. Ia menganggap bahwa yang terjadi itu hanyalah s entuhan perasaan sesaat dari seorang anak muda dan seorang gadis padepokan. Apalagi ketika pada suatu saat, Mahisa Bungalan benar-benar telah minta diri kep adanya. Ketika mereka berada di dalam sanggar setelah menyaksikan latihan yang b erat di malam hari, maka Mahisa Bungalanpun menyampaikan maksudnya, bahwa, di ke esokan harinya ia akan melanjutkan perjalanannya. Ki Selabajra mengangguk-angguk. Saat yang demikian memang pasti akan datang. Set elah beberapa kali ia minta agar Mahisa Bungalan menunda keberangkatannya, maka agaknya ia sudah tidak akan dapat mencegah keberangkatan anak muda itu lagi meni nggalkan padepokan Kenanga, Demikianlah, ketika fajar menyingsing, maka Mahisa Bungalanpun telah mempersiapk an dirinya. Betapa segarnya ia mandi di pancuran, di belakang padepokan. Apalagi Mahisa Bungalan tahu, bahwa sudah menjadi kebiasaan Ken Padrni untuk mandi di d ini hari, sehingga ia tidak mau mengganggunya mempergunakan pakiwan, meskipun se akan-akan di luar kehendaknya sendiri, Mahisa Bungalan telah menimba air dan men gisi jambangan pakiwan itu sehingga penuh. Ketika matahari mulai naik ke punggung bukit, maka Mahisa Bungalanpun telah siap . Sekali lagi minta diri kepada Ki Selabajra untuk meneruskan perjalanan. Tolong, sampaikan salamku kepada Makerti dan Gemak Werdi berkata Mahisa Bungalan k emudian. Ki Selabajra mengangguk-angguk. Namun katanya Aku masih ingin menahan sesaat kebe rangkatan angger. Aku mempersilahkan angger menunggu makan pagi yang sudah disia pkan Agaknya Ken Padmipun telah mengetahui dari ayahnya, bahwa Mahisa Bungalan akan m eninggalkan padepokan itu. Karena itu, ketika ia menghidangkan makan dan minuman panas, setiap kali ia memandang sekilas wajah anak muda itu, seolah-olah ia ing in memahatkan bentuk wajah itu di dalam dinding ingatannya untuk selama-lamanya. Tetapi sebagai seorang gadis, Ken Padrni tidak dapat berbuat lain. Betapapun hat inya bergejolak, namun setiap kali ia hanya dapa menundukkan wajahnya dan sekali -sekali mencuri pandang. Namun apabila kebetulan tatapan mata mereka bertemu, ma ka wajahnya menjadi merah, dan seolah-olah telinganya tersentuh bara api tempuru ng. Namun bagaimanapun juga, tidak seorangpun yang dapat mencegah keberangkatan Mahi sa Bungalan. Bahkan kemudian hampir seisi padepokan telah mengantarkannya sampai ke regol. Ketika Ki Selabajra sedang berbicara dengan seorang muridnya, maka Ken Padmi ber bisik di telinga Mahisa Bungalan yang berjalan di hadapannya Apakah kau tidak aka n kembali ke padepokan ini? Mahisa Bungalan berpaling. Di luar sadarnya, tiba-tiba saja Mahisa Bungalan meny ahut Tentu. Pada suatu saat aku akan kembali ke padepokan ini Pembicaraan itu terputus. Ken Padmipun memperlambat langkahnya, sehingga jarakny a dari Muhisa Bungalan menjadi semakin panjang, karena ayahnya sudah mulai mende kati Mahisa Bungalan lagi. Namun dalam pada itu, meskipun tidak terucapkan, seolah-olah Ken Padmi telah ber kata dengan sepenuh hati Aku akan menunggu kedatanganmu kembali Dalam pada itu ,maka Mahisa Bungalanpun kemudian benar-benar meninggalkan padepo kan itu. Dengan mengucapkan banyak terima kasih iapun kemudian minta diri kepada segenap isi padepokan yang mengantarkanya sampai ke pintu. Kemudian, betapapun beratnya, namun Mahisa Bungalan telah mengayunkan kakinya meneruskan perjalanann ya. Baru ketika Mahisa Bungalan hilang ditikungan, maka orang-orang padepokan itu me langkah memasuki regol halaman. Ki Selabajra tidak melepaskan perhatiannya kepada anak gadisnya yang tidak dapat

menyembunyikan perasaan kecewanya. Tetapi seperti yang pernah terbersit di hati nya, bahwa perasaan itu tentu hanya perasaan sesaat. Sebentar saja ia akan melupakannya. Demikian juga angger Mahisa Bungalan berkata K i Selabajra di dalam hatinya. Sementara itu, diperjalanannya, Mahisa Bungalanpun merasa gelisah. Seolah ada ya ng menahannya untuk tetap tinggal di padepokan itu. Namun Mahisa Bungalanpun men ggeretakkan giginya. Katanya kepada diri sendiri Aku tidak boleh terganggu oleh p erasaan yang lemah ini. Aku harus meneruskan perjalanan yang sudah aku rencanaka n sebelumnya Langkah Mahisa Bungalan rasa-rasanya menjadi semakin panjang. Ia ingin segera men jadi semakin jauh dari padepokan yang tidak sengaja telah mempersilahkannya sing gah. Beberapa saat kemudian Mahisa Bungalan memaksa dirinya untuk mengalihkan perhati annya kepada keadaan di sekitarnya. Sawah yang hijau. Air yang tergenang memberi kan warna yang segar. Di kejauhan nampak beberapa buah padepokan yang bagaikan b eberapa buah pulau yang hijau kehitam-hitaman. Daerah ini termasuk daerah yang subur desisnya sambil memandangi beberapa orang ya ng sibuk bekerja di sawah. Ketika kemudian matahari melampaui puncak langit, maka terasa lehernya menjadi h aus. Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun kemudian singgah di sebuah halaman ruma h di padepokan yang kemudian dilaluinya untuk minta seteguk air. Silahkan pemiliknya mempersilahkannya dengan ramah di sudut padukuhan ini pun telah disediakan jambangan air bagi orang-orang yang kepanasan di perjalanan O Mahisa Bungalan mengangguk-angguk aku mohon maaf Ketika Mahisa Bungalan merasa lehernya menjadi segar kembali, maka setelah mengu capkan terima kasih, maka iapun meneruskan perjalanannya. Tetapi di luar padukuh an itu, ketika ia melalui bayangan di bawah sebatang pohon preh yang rimbun, mak a timbullah keinginannya untuk beristirahat sejenak. Sambil duduk di alas akar yang bagaikan jam raksasa mencengkeram bumi, Mahisa Bu ngalan bersandar pada batangnya yang besar. Angin yang sejuk mengusap wajahnya y ang kotor oleh debu. Namun Mahisa Bungalan tidak membiarkan dirinya menjadi meng antuk. Karena itu, maka iapun berusaha untuk memperhatikan keadaan di sekeliling nya dengan saksama. Namun dalam pada itu, maka perhatiannya tertarik kepada segumpal debu yang berha mburan. Ia melihat beberapa ekor kuda menuju ke arahnya. Karena itulah, maka iap un kemudian bergeser agar tidak menarik perhatian beberapa orang berkuda yang te ntu akan lewat dijalan itu pula. Sejenak kemudian, maka beberapa ekor kuda itupun menjadi semakin dekat. Ternyata bahwa bukan orang-orang berkuda itulah yang tertarik kepada Mahisa Bungalan, te tapi justru Mahisa Bungalanlah yang tertarik kepada mereka. Karena itu, meskipun ia duduk bergeser, namun akhirnya ia menjengukkan kepalanya untuk melihat, siap akah orang-orang berkuda itu. Tiba-tiba saja hatinya menjadi ber-debar-debar. Diantara mereka terdapat seorang anak muda dengan pakaian yang baik dan terawat. Bahkan nampaknya ia memang deng an sengaja mengenakan pakaian yang lain dari pakaiannya sehari-hari. Sementara p engiringnyapun mempergunakan pakaian yang baik-baik pula. Nampaknya mereka bukan orang-orang bepergian seperti kebanyakan orang bepergian gu mam Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Dadanya justru berdesir ketika ia melihat orang-orang berkuda itu disapa oleh se orang petani yang sedang bekerja di sawah. Tetapi jarak itu sudah agak jauh, seh ingga Mahisa Bungalan tidak mendengar dengan jelas apakah yang dikatakan oleh or ang-orang berkuda itu. Namun yang dilihatnya kemudian, kuda-kuda itu sudah berpa cu kembali. Nampaknya mereka datang dari padukuhan di sekitar tempat ini berkata Mahisa Bungal an di dalam hatinya. Ternyata Mahisa Bungalan tidak dapat menahan perasaan ingin tahunya. Sekali-seka li dipandanginya petani yang sedang bekerja di sawahnya itu. Agaknya petani itu mengenal orang-orang berkuda itu desisnya. Karena Mahisa Bungalan tidak dapat menahan perasaan ingin tahunya, maka iapun ke mudian berjalan mendekati petani yang sedang bekerja di sawah itu.

Kedatangannya membuat petani itu heran. Apalagi ketika Mahisa Bungalan bertanya K i Sanak, apakah aku boleh bertanya tentang orang-orang berkuda itu? Petani itu mengerut keningnya. Dengan heran ia bertanya pula Siapakah kau Ki Sana k? Aku adalah seorang perantau yang tidak mempunyai tujuan. Aku lewat jalan ini sepe rti aku lewat jalan-jalan yang belum pernah aku kenal sebelumnya Petani itu meletakkan cangkulnya. Dengan tatapan mata yang tajam ia bertanya Apak ah kepentinganmu dengan orang-orang berkuda itu? Tidak ada kepentingan apa-apa Ki Sanak. Tetapi nampaknya mereka tidak sedang dala m perjalanan biasa Petani itu nampak menjadi bimbang. Lalu katanya Kau tidak mempunyai kepentingan a papun juga. Kau tidak mengenal daerah ini, sehingga tidak ada sangkut paut segel ugutpun dengan orang-orang berkuda itu, juga dengan aku Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Ia sudah terlanjur mengatakan keasinganny a dengan daerah ini. Dan ia pun telah menyebut dirinya sebagai seorang perantau. Dengan demikian maka ia memang tidak mempunyai kepentingan apapun dengan orangorang berkuda itu. Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Bungalan ingin menyebut dirinya bukan sebagai orang yang asing sama sekali dengan daerah jni. Karena itu maka katanya kemudian Ki Sa nak. Aku memang orang yang asing dengan daerah ini. Aku memang seorang perantau. Namun meskipun sedikit sekali ada juga sentuhannya dengan daerah ini, karena ak u masih keluarga meskipun agak jauh dengan daerah padepokan Kenanga He? petani itu terbelalak kau mempunyai hubungan darah dengan Ki Selabajra di padep okan Kenanga? Ya. Apakah Ki Sanak mengenal paman Selabajra? Aku mengenalnya meskipun tidak secara pribadi dan akrab. Tetapi aku pernah bertem u. Tetapi lebih daripada itu, namanya memang sudah dikenal oleh banyak orang. Ju ga oleh orang-orang dari padukuhan ini petani itu berhenti, lalu tetapi jika demik ian, kau seharusnya mengetahui siapakah orang-orang itu. He, apakah kau sudah te rlalu lama tidak berkunjung ke padepokan Kenanga? Aku baru saja dari padepokan Kenanga meskipun hanya beberapa hari. Baru hari ini aku meninggalkan padepokan itu, karena aku akan meneruskan perantauanku, meskipu n paman Selabajra menahanku Petani itu termangu-mangu. Kemudian katanya Aneh Agaknya Ki Selabajra benar-benar tidak ingin mengumumkan hubungannya dengan padepokan Watu Kendeng Aku tidak mengerti desis Mahisa Bungalan. Apakah Ki Selabajra tidak pernah menyebut padepokan Watu Kendeng yang terkenal it u? Tidak Ki Sanak Petani itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya Aneh Jika kau datang dari padepokan itu, apalagi hari ini, kau tentu mengetahui serba sedikit tentang orang-orang b erkuda itu. Kecuali jika kedatangan mereka ke padepokan Kenanga memang tidak mem beritahukan terlebih dahulu Apakah hubungan mereka dengan padepokan Kenanga? Itulah yang aneh jika keluarga padepokan itu sendiri tidak mengetahui jawab petani itu. Mahisa Bungalan menjadi semakin ingin tahu. Karena itu, maka iapun mendesaknya Ji ka kau mengetahui Ki Sanak, apakah salahnya jika kau mengatakannya? Anak muda, rumahku tidak terlalu jauh dari padepokan Watu Kendeng. Karena itu, ak u pernah mendengar serba sedikit keinginan keluarga Watu Kendeng untuk menjadi k eluarga dari padepokan Kenanga Dada Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Sementara petani itu berkata selanj utnya Apakah kau mengetahui bahwa Padepokan Kenanga mempunyai seorang anak gadis? Ya. Ken Padmi sahut Mahisa Bungalan. Petani itu mengangguk-angguk. Dengan menyebut nama gadis itu, petani itupun menjadi semakin percaya bahwa Mahisa Bungalan mem ang seorang yang mempunyai hubungan dengan Kenanga. Maka katanya selanjutnya Nah, jika kau mengetahui bahwa padepokan Kenanga mempuny ai seorang gadis, maka kau tentu dapat menduga, apakah hubungan kedatangan orang orang berkuda dari padepokan Watu Kendeng itu ke padepokan Kenanga Apa maksudmu Ki Sanak?

Ah, bukankah sudah jelas? Padepokan Watu Kendeng mempunyai seorang anak muda yang tampan dan memiliki ilmu yang mantap mewarisi seluruh ilmu padepokan Watu Kende ng. Sedangkan padepokan Kenanga mempunyai seorang gadis yang memiliki kelebihan dari gadis kebanyakan, karena gadis padepokan Kenanga mewarisi ilmu yang temurun dari ayahnya Tiba-tiba saja dada Mahisa Bungalan menjadi bergejolak. Keterangan itu membuatny a berdebar-debar, seolah-olah jantungnya berdenyut semalkin cepat. Namun dengan susah payah ia berusaha untuk melenyapkan kesan itu dari wajahnya. Meskipun demikian, kata-katanyapun kemudian menjadi gagap Baik, baiklah Ki Sanak. Aku minta diri. Aku mengucapkan terima kasih atas keterangan Ki Sanak Petani itupun mengangguk sambil menjawab Itulah yang aku dengar dari orang-orang padepokan Watu Rendeng. Aku tidak tabu pasti, apakah yang aku dengar ini benar a tau salah Mahisa Bungalanpun kemudian minta diri. Dengan langkah yang ragu-ragu ia menerus kan perjalanan. Namun rasa-rasa-nya hatinya lidak tenang karena ia telah mendeng ar keterangan petani di sawah itu tentang kedatangan orang-orang Watu Rendeng ke padepokan Kenanga. Karena itu, beberapa langkah kemudian ia berhenti. Dari kejauhan ia melihat peta ni itu bekerja kembali di sawahnya. Apakah benar-benar kata-katanya pertanyaan itu selalu mengganggunya. Meskipun ia s udah berusaha menjawab Benar atau tidak benar, apakah hubungannya dengan perjalan anku?. Aku akan meneruskan perjalanan. Yang terjadi di padepokan itu adalah urus an orang-orang padepokan itu sendiri Namun bagaimanapun juga ia tidak dapat mengingkari kegelisahannya. Bahkan ketika kemudian ia melihat petani itu beristirahat di gubugnya, ia berkata kepada diri sendiri Aku akan membuktikan, apakah yang dikatakannya itu benar Tetapi Mahisa Bungalan tidak mau dilihat oleh petani itu. Karena itulah, maka ia telah mencari jalan lain, menuju ke padepokan Kenanga. Pengalamannya merantau telah membawanya melalui sebuah jalan sempit dan kemudian menelusuri pematang menuju ke sebatang pohon yang dilihatnya dari kejauhan. Ia mengenal pohon itu tumbuh di pinggir jalan yang dilaluinya dari padepokan Kenang a sehingga jika ia sudah mencapai pohon itu, maka ia akan dapat dengan mudah men gikuti jalan kembali ke padepokan itu. Meskipun ada kemungkinan petani disawah itu melihatnya dari kejauhan saat-saat i a menelusuri pematang, tetapi agaknya petani itu tidak akan dapat mengenalinya a tau karena petani itu tidak akan memperhatikannya lagi. Langkah Mahisa Bungalan yang gelisah itu semakin lama menjadi semakin cepat. Ia sadar, bahwa kaki-kaki kuda akan dapat melangkah lebih cepat dari kakinya. Namun ia berjalan terus menuju ke padepokan Kenanga. Aku akan mencapai padepokan itu di malam hari berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri tetapi itu lebih baik daripada aku tidak melibat sama sekali, apakah yang akan terjadi di padepokan itu Oleh kegelisahannya, Mahisa Bungalan berjalan tanpa berhenti menuju ke padepokan yang baru ditinggalkannya di pagi hari. Meskipun ia baru sekali melalui jalan k e arah sebaliknya, namun ia mengenal jalan itu dengan baik, sehingga ia tidak ak an mudah tersesat. Sementara itu, beberapa orang berkuda itu benar-benar sekelompok orang dari pade pokan Watu Kendeng. Seperti yang dikatakan oleh petani di tengah sawah, itu, ora ng-orang Watu Kendeng memang sedang menuju ke padepokan Kenanga. Tetapi kedatangan mereka memang tildak diberitahukan lebih dahulu kepada Ki Sela bajra, sehingga orang-orang padepokan Kenanga tidak mengira bahwa pada hari itu, orang-orang dari padepokan Watu Kendeng akan datang dengan maksud tertentu, buk an sekedar kunjungan dari sebuah padepokan ke padepokan yang lain. Karena itulah, maka ketika sekelompok orang-orang berkuda itu mendekati regol pa depokan Kenanga, maka orang-orang di padepokan itu terkejut karenanya. Seorang c antrik dengan tergopoh-gopoh menyongsong orang-orang berkuda itu dan bertanya, s iapakah mereka. He, apakah kau tidak mengenal kami? orang-orang Watu Kendeng itu justru bertanya. Cantrik itu terheran-heran. Sementara salah seorang Watu Kendeng itu meneruskan K ami datang dari padepokan Watu Kendeng

O cantrik itu meng-angguk silahkan. Aku akan menyampaikannya kepada Ki Selabajra Cantrik itupun kemudian berlari-lari masuk ke ruang dalam mencari Ki Selabajra. Dengan nafas terengah-engah ia mengatakan bahwa di luar sekelompok tamu dari Wat u Kendeng telah datang. Tetapi Ki Selabajra tersenyum Aku sudah melihatnya. Silahkan mereka duduk di pend apa. Aku akan berganti pakaian sepantasnya untuk menerima mereka Cantrik itu kemudian dengan tergesa-gesa mendapatkan sekelompok tamu dari Watu K endeng itu dan mempersilahkannya naik ke pendapa Sementara itu, beberapa orang m urid yang lain telah mengamati tamu mereka dari jarak yang jauh di halaman padep okan. Namun karena tamu itu nampaknya datang dengan maksud baik, maka merekapun telah kembali ketugas masing-masing. Sejenak kemudian, maka Ki Selabajrapun keluar dari ruang dalam memasuki pendapa. Sambil tersenyum cerah, iapun kemudian duduk menemui tamunya yang sudah duduk d i atas tikar yang terbentang. Seperti kebiasaan merekapun memenuhi sapa adat. Mereka saling mempertanyakan kes elamatan masing-masing dan keluarga yang mereka tinggalkan. Sementara itu Ki Wat u Kendeng telah memperkenalkan para pengiringnya. Sementara itu, para cantrikpun kemudian telah mempersiapkan jamuan bagi para tam u yang ada di pendapa. Setelah mereka menerima jamuan yang dihidangkan, serta setelah mereka minum sete guk dan makan sepotong makanan, maka mulailah mereka memasuki pembicaraan yang s ebenarnya. Ki Watu Kendeng bertanya Ki Selabajra dari padepokan Kenanga sebenarnya kedatangan kalian di padepokan ini agak mengejutkan hatiku. Sukurlah jika kalian hanya seke dar menengok keselamatan kami. Tetapi jika ada keperluan lain, maka hati kami da ri padepokan ini menjadi berdebar-debar karenanya Ki Watu Kendeng tersenyum pula. Jawabnya Kami minta maaf Ki Kenanga, bahwa kedata ngan kami agaknya telah merisaukan hati keluarga padepokan ini. Adalah kesalahan kami, bahwa kami tidak memberitahukan terlebih dahulu kedatangan.kami ini Ki Selabajra mengangguk-angguk. Katanya Kunjungan kalian sangat menggembirakan ha ti kami Terima kasih sahut Ki Watu Kendeng selebihnya, selain karena kami ingin menengok ke selamatan keluarga di padepokan ini, kami ingin melanjutkan pembicaraan yang per nah kita lakukan beberapa saat yang lalu Ki Selabajra mengerutkan keningnya. Seolah-olah ia sedang mengingat, pembicaraan yang manakah yang dimaksud oleh Ki Watu Kendeng itu. Ki Watu Kendeng desis Ki Selabajra dengan kerut-merut di kening aku minta maaf, bah wa mungkin sudah menjadi sifat orang-orang tua. Aku kurang dapat mengingat lagi, pembicaraan yang manakah yang kau maksud itu? Wajah Ki Watu Kendeng menegang sejenak. Namun kemudian iapun tersenyum pula samb il menjawab Mungkin kau benar, bahwa orang-orang tua memang menjadi pelupa. Mungk in aku juga sudah lupa pula, apakah hal ini pernah kita bicarakan. Tetapi seinga tku, aku pernah mengatakannya Ki Selabajra mengangguk-angguk. jawabnya Ya, memang mungkin. Tetapi persoalan yan g manakah yang kau maksud? Sekali lagi wajah Ki Watu Kendeng menegang. Namun iapun berusaha dengan susah pa yah untuk menghapus kesan itu dari wajahnya. Katanya kemudian Baiklah Ki Kenanga. Daripada pembicaraan ini akan berkepanjangan karena kau masih harus mengingat-i ngat masalahnya, baiklah aku mengulanginya saja. Kedatanganku kemari, adalah kar ena aku didesak oleh anakku. Ia pernah mendengar bahwa kita telah bersetuju, bah wa pada suatu saat kita akan mempertemukan anak-anak kita dalam hubungan keluarg a Wajah Ki Selabajra menjadi merah. Tetapi seperti Ki Watu Kendeng, iapun berusaha untuk melenyapkan kesan itu dari wajahnya. Bahkan kemudian ia mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya Aku benar-benar sudah menjadi pikun Ki Watu Kendeng. Rasa-rasanya aku ben ar-benar orang yang tidak mampu lagi mengingat sesuatu yang pernah terjadi ia ber henti sejenak, lalu tetapi apakah aku masih diperkankan mohon bertanya, apakah ak u memang pernah bersetuju dengan Ki Watu Kendeng mengenai hal yang sangat pentin g ini

Ah rasa-rasanya betapa sulitnya untuk menahan diri bukankah kita pernah berbicara t entang anak-anak kita. Bukankah kita pernah menyinggung masa depan padepokan kit a. Dan bukankah kira pernah berbincang panjang lebar tentang segala sesuatu yang menyangkut keluarga kita masing-masing. Jika kau masih belum teringat saat-saat itu, biarlah aku berceritera tentang sebuah pertemuan di padepokan Serut Sari Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata Aku m inta maaf. Aku minta maaf sebesar-besarnya. Sekarang aku ingat segalanya. Kita p ernah bertemu dalam pembicaraan yang menyenangkan di padepokan Serut Sari. Kita pernah berbicara tentang keluarga kita masing-masing. Aku ingat, ketika kita ber bicara bahwa kita mempunyai anak kita masing-masing. Kau seorang anak laki-laki dan aku seorang anak perempuan Nah, bukankah kita sudah bersepakat, bahwa kita akan mengikat diri dalam suatu ik atan keluarga yang besar? bertanya Ki Watu Kendeng anakku pernah bertemu dengan ana kmu meskipun hanya sepintas di perjalanan, saat anakku pergi berburu. Ceriterany a tentang anak gadismu, mengingatkan aku pada pembicaraan kita itu Ki Selabajra menanik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya Ki Watu Kendeng. Aku tid ak ingkar, bahwa aku pernah mengatakan alangkah senangnya untuk mengikat diri da lam satu keluarga. Tetapi aku tidak bermaksud mengambil suatu keputusan saat itu . Bukankah anak gadisku yang akan menjalani hubungan yang paling akrab, karena i alah yang akan menerima lamaran anak laki-lakimu. Karena itu, sebagai orang tua, aku akan mengarahkan perhatiannya kepada anakmu. Dan aku akan bertanya kepadany a, apakah ia dapat menerima lamaran ini Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Katanya Itulah sakap yang bijaksana. Sebaiknya kau memang bertanya kepada anak gadismu. Perkawinan bukan hubungan antara dua o rang tanpa ikatan batin. Karena itu, maka aku akan menjunjung tinggi keputusan a nak gadismu itu Terima kasih desis Ki Selabajra aku sangat berterima kasih atas sikapmu itu Namun dalam pada itu, anak muda yang berada diantara mereka yang datang dari Wat u Kendeng itu nampak menjadi gelisah. Sekali-sekali ia mencoba memandang Ki Watu Kendeng. Tetapi orang itu sama sekali tidak berpaling kepadanya. Karena itu Ki Watu Kendeng berkata Ki Kenanga aku akau mempersilahkan kalian bermal am barang satu atau dua malam. Aku akan bertanya kepada anakku, apakah ia sudah suap untuk memasuki dunia kekeluargaan Ki Watu Kendeng menjadi termangu-mangu. Dalam keragu-raguan itulah ia berpaling memandang pengikut-pengikutnya seorang demi seorang, seakan-akan ia ingin bertan ya, apakah yang sebaiknya dilakukan. Tetapi tidak seorangpun dari mereka yang memberikan kesan yang meyakinkan. Setia p orang menjadi ragu-ragu dan tidak mengerti apa yang sebaiknya dilakukan Karena itu, maka Ki Watu Kendengpun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil be rkata Tetapi Ki Kenanga, jarak antara padepokan kita tidak terlalu jauh. Apakah t idak sebaiknya aku kembali ke padepokan. Sepekan atau dua pekan lagi, aku dan da tang kemari Ki Kenanga mengerutkan keningnya. Di luar sadarnya ia memandang wajah seorang an ak muda yang datang diantara orang-orang Watu Kendeng itu. Dan Ki Selabajrapun s egera mengetahui, bahwa anak muda itu tentu anak laki-laki Ki Watu Kendeng, yang ingin memperisteri Ken Padmi. Dalam pada itu, Ki Kenangapun kemudian menjawab Segalanya terserah kepada Ki Watu Kendeng. Tetapi jika kau akan bermalam di padepokan kecil ini, kami akan menguc apkan terima kasih atas kesediaan itu Ki Watu Kendeng tersenyum, katanya Aku dapat datang setiap saat. Biarlah hari ini kami kembali ke Watu Kendeng. Sepekan lagi aku akan datang. Mudah-mudahan aku a kan dapat mendengar keputusan anak gadismu. Meskipun demikian, aku mohon, agar n iat ini akan dapat terjadi dengan baik dan selamat, meskipun sekali lagi aku men gerti, bahwa siapapun tidak akan dapat memaksa kesediaan sebuah hati, Tetapi set idak-tidaknya yang tua-tua dapat berdoa untuk kepentingan anak-anaknya. Ya, ya Ki Watu Kendeng. Pengertian sepenuhnya itu agaknya telah membesarkan hati kami. Seperti aku katakan, aku akan berusaha sebaik-baiknya Untuk beberapa saat kemudian, Ki Watu Kendeng masih berada di pendapa padepokan Kenanga. Meskipun keperluannya telah selesai, tetapi ia masih sempat berbicara p anjang lebar tentang berbagai macam keadaan di padepokan masing-masing. Tentang

sawah dan ladang, tentang musim dan tentang binatang- binatang liar. Sementara itu, anak muda Watu Kendeng itu rasa-rasanya menjadi semakin gelisah. Ia duduk saja sambil menunduk, sementara ayahnya dapat berbincang dan kadang-kad ang tertawa berkepanjangan. Baru ketika kemudian mereka mendapat jamuan makan, anak muda itu sempat bergeser mendekati ayahnya. Sambil berbisik ia bertanya Jadi, kita masih harus menunggu b eberapa hari lagi? Ayahnya berpaling kepadanya dengan kerut-merut di dahinya. Jawabnya Tentu Pramuja . Itu sudah lajim. Ki Selabajra akan bertanya lebih dahulu kepada anak gadisnya, apakah ia bersedia atau tidak Jika tidak? desak anaknya. Apaboleh buat. Kita tidak akan dapat memaksakan kehendak kita atas Ken Padmi Anak muda itu menggeretakkan giginya. Dengan wajah yang merah padam ia berkata Ay ah jangan terlalu lemah. Kita dapat menekan Ki Kenanga agar ia memberikan anak g adisnya Yang akan kawin bukan Ki Kenanga. Tetapi anak gadisnya, Ken Padmi Ayahnya mempunyai wewenang untuk menentukan jodoh anak gadisnya tiba-tiba seseoran g berdesis dikebalakang Ki Watu Kendeng. Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Orang yang berdesis itu adalah adikny a. Adik kandungnya. Kau jangan memberikan pandangan yang salah kepada anakmu. Aku sudah memenuhi perm intaannya melamar gadis Padepokan ini. Tetapi aku bukan seseorang yang tidak tah u adat, sehingga aku akan memaksakan kehendakku atas orang lain Adik kandung Ki Watu Kendeng itu tertawa. Katanya Kakang memang seorang yang baik hati. Tetapi kebaikan kakang adalah gambaran dari kelemahan hati kakang Ki Watu Kendeng tidak sempat menjawab. Dalam pada itu, maka Ki Selabajrapun kemu dian mempersilahkan tamunya untuk makan bersama-sama. Baru setelah mereka selesai makan dan beristirahat sejenak, maka Ki Watu Kendeng pun kemudian minta diri untuk kembali ke padepokannya. Aku akan kembali dalam waktu sepekan. Aku akan menerima segala keputusan Ki Selab ajra setelah diperbincangkan dengan gadis yang akan menjalaninya Baiklah Ki Watu Kendeng Kami sangat menghargai kesudian Ki Watu Kendeng berkunjun g ke padepokan ini. Betapa besar rasa terima kasih kami, tidak dapat kami kataka n disini Namun dalam pada itu, Pramuja menjadi semakin gelisah. Sejak ia bertemu Ken Padm i di perjalanan ketika ia pergi berburu, serta setelah sempat berbicara satu dua patah kata dalam pertemuan yang tidak sengaja itu, hatinya bagaikan di cengkam oleh bayangan wajah gadis padepokan Kenanga itu. Tetapi ayahnya sudah terlanjut minta diri dan ia tidak akan dapat memaksa ayahny a untuk berbuat lain. Betapapun kecewa hatinya, namun iapun kemudian ikut pula m ohon diri dan mengikuti ayahnya kembali ke padepokannya. Jangan gelisah tiba-tiba saja pamannya berbisik di telinganya. Kuda Pramuja menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak sempat bertanya lebih ba nyak lagi, karena orang-orang padepokan Kenanga yang mengantar mereka sampai ke regol. Baru diperjalanan, ia mendekati pamannya sambil bertanya Apakah maksud paman sebe narnya? Pramuja desis pamannya ayahmu memang orang yang sangat baik. Ia bukan jenis orang y ang dapat memaksakan kehendaknya atas orang lain. Tetapi itu memang kelemahannya , sehingga seakan-akan ia menerima saja nasib buruk sekalipun yang menimpanya da n menimpa anaknya. Ia tidak akan berusaha apapun juga seandainya lima hari lagi Ki Kenanga itu menjawab Maaf Ki Watu Kendeng. Anakku tidak mau Jadi bagaimana menurut paman? bertanya Kuda Pramuja. Aku akan berusaha Pramuja jawab pamannya. aku akan menempuh jalanku sendiri. Mudahmudahan aku berhasil, meskipun aku harus sedikit menakut-nakuti orang Kuda Pramuja termangu-mangu. Namun kemudian ia bertanya Apakah orang-orang dari p adepokan Kenanga itu dapat ditakut-takuti paman? Mereka memiliki murid-murid pil ihan yang akan dapat mempertahankan sikap dan pendirian mereka, jika terjadi kek erasan Pamannya tertawa. Tetapi ia segera terdiam ketika ia melihat beberapa orang peng

iring berpaling kepadanya. Bahkan Ki Watu Kendengpun berpaling pula sambil berta nya Ada apa? Tidak kakang. Tidak ada apa-apa. Aku sedang mengajari Pramuja untuk .menjadi seor ang suami yang baik kelak jawab adiknya. Ki Watu Kendengpun tersenyum. Tetapi ia tidak tahu apakah sebenarnya yang dibica rakan oleh anak dan adiknya itu. Dalam pada itu, Pramujapun bertanya Bagaimana pendapat paman tentang orang-orang padepokan Kenanga? Mereka memang mengagumkan bagi orang-orang padukuhan terpencil. Juga mungkin masi h harus diperhitungkan oleh orang-orang dari perguruan Watu Kendeng. Tetapi bagi ku, mereka bukan apa-apa Pramuja. Jika aku sekedar menyadap ilmu Watu Kendeng, b arangkali aku masih juga seperti ayahmu. Baik hati dan membiarkan kepentingan di ri sendiri tersisihkan. Tetapi yang semuanya itu sebenarnya hanyalah gambaran da ri kelemahan hati Kuda Pramuja mengangguk-angguk. Ia mencoba mengerti keterangan pamannya. Namun i apun kemudian bertanya Apa yang akan paman lakukan untuk itu? Pamannya tersenyum. Jawabnya Serahkan kepadaku. Aku akan melakukannya tanpa sepen getahuan ayahmu Apa yang akan paman lakukan itu? Pamannya masih saja tersenyum. Sambil menggeleng ia berkata Aku belum tahu Paman merahasiakannya? Pamannya memandang Pramuja sambil menahan tertawanya. Katanya Mudah-mudahan aku b erhasil. Aku memang harus menunjukkan bahwa padepokan Watu Kendeng bukannya pade pokan yang lemah, dan bukan pula yang lemah lembut menghadapi persoalan- persoal an penting bagi hidup seorang penghulunya Kuda Pramuja tidak mendesak lagi. Tetapi ia percaya bahwa pamannya akan dapat me nyelesaikan persoalannya. Pamannya tentu berhasil mempengaruhi sikap dan keputus an Ki Kenanga untuk memberikan anak gadisnya kepada anak padepokan Watu Kendeng. Demikianlah, maka kuda-kuda itupun berlari tidak terlalu kencang di bulak panjan g. Sementara itu Kuda Pramuja masih saja selalu dibayangi oleh kegelisahannya, b ahwa maksudnya, akan urung karena sikap ayahnya. Untunglah ada paman di sini katanya di dalam hati. Dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang berjalan kembali ke padepokan Kenanga sudah menjadi semakin dekat. Ia terkejut ketika dari kejauhan ia melihat beberapa eko r kuda berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah perjalanannya. Orang-orang Watu Kendeng desisnya. Karena itu, maka Mahisa Bungalan kemudian menepi dan duduk di belakang sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan bulak. Ketika iring-iringan orang berkuda itu telah lewat, maka Mahisa Bungalanpun kemu dian berdiri termangu-mangu. Sambil memandangi debu yang berhamburan ia berdesis Ternyata mereka tidak terlalu lama berada di padepokan Kenanga. Tetapi apakah de ngan demikian pertanda bahwa sudah ada pembicaraan sebelumnya, sehingga kedatang annya itu hanyalah sekedar mematangkan persoalan saja? Mahisa Bungalan justru menjadi semakin gelisah. Sementara langit telah menjadi s emakin buram. Seburam hari anak muda itu. (Bersambung ke jilid 3)

Anda mungkin juga menyukai