Anda di halaman 1dari 8

Judul : Mafhum Mukhalafah dalam pandangan Ushul Fiqh

Ditulis pada : 2008-08-08 10:53:26, Oleh : admin (http://alhikmah.ac.id/)

Oleh : Ust. Fahmi Rusydi, Lc.Dosen STID DI AL-HIKMAH Jakarta Pada dasarnya ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang berdasarkan pada ijtihad para mujtahid dengan sumber utamanya al-Quan dan hadits. Karena itu kajian ilmu ushul fiqh terletak pada dilalah (petunjuk) yang ada dalam teks mengenai makna maupun petunjuk lainnya seputar teks. Dari sisi penunjukkan lafadz para Ulama ushul membagi dilalatul alfadz ini atas berlakunya hukum menjadi dua metode, 1) Metode Ulama Hanafiah 2) Metode Ulama Mutakallimin. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan bahasa yang nantinya dikaji dan ditinjau relasi antara lafadz dan makna sesuai dengan kaidah bahasa arab dan pendekatan lainnya dengan pendekatan syara. Penunjukkan lafadz menurut Ulama hanafiah terbagi menjadi empat macam: dilalah ibarah, dilalah nash, dan dilalah iqtidha. Apabila dua yang pertama berusaha menemukan maksud pembicara baik yang tersurat (ibarah) maupun yang tersirat (isyarah) dari makna secara langsung, maka dua yang terakhir berusaha menemukan tujuan syarI yang tidak tertulis dalam teks baik melalui perluasan makna teks (dilalah nash) maupun penyisipan (iqtidha). Adapun penunjukkan lafadz menurut Ulama mutakallimin dibagi menjadi dua: mantuq dan mafhum. Yakni berusaha menemukan maksud pembicara baik yang tersurat (manthuq) maupun yang tersirat (mafhum). Dilalah al-Alfadz Metode Ulama Hanafiah Dalam buku-buku hanafiah metode dilalatul alfadz dalam hukum ini dibagi menjadi empat bagian: 1. 2. 3. O 4. . Adapun cara memahami dengan beberapa cara: yakni dilalatu an-nas atas berlakunya hukum bisa menjadi tetap (tsabitah) atau tidak tetap dan dilalah yang ditetapkan dengan lafadz yang sama bisa diketahui maksudnya ( maksudah) atau tidak diketahui maksudnya (ghairu maksudah). Jika penunjukkan itu diketahui maksudnya maka ia adalah ibarah dan disebut juga ibaratu an-nas dan jika tidak diketahui maksudnya maka ia adalah isyarah dan disebut juga isyaratu an-nas. Penunjukkan yang tidak ditetapkan dengan lafadz yang sama: bisa penunjukkannya difahami dari lafadz baik secara bahasa dan istilah, jika difahami secara bahasa dinamakan dilalatu an-nas, jika difahami secara istilah atau akal dinamakan dilalah iqtidha.[1] Ibaratu an-Nas ( O) atau Dilalah Ibarah Definisi Ibaratu an-nas menurut Al-sarkhisyi sebagai berikut: O . oeApa yang terungkap ditunjukkan untuknya dan dapat diketahui sebelum adanya pemikiran yang mendalam bahwa zhahir nash diperuntukkan baginya.[2] Definisi yang dikutip oleh Said al-Khin: OO . oePenunjukkan lafadz atas pembicaraan yang diungkap baginya baik makna pokok atau tidak pokok dan dapat diketahui sebelum pemikiran yang mendalam bahwa zhahir nash diperuntukkan baginya.[3] Misalnya, Firman Allah Swt: oeDan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu

mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Qs.4:3. Dari paparan ayat ini dapat diambil dari lafadz dan ibarahnya beberapa hukum, yaitu: Pembolehan nikah. Pembolehan menikah lebih dari satu istri.Membatasi menikah dengan satu istri apabila suami khawatir tidak berlaku adil dalam poligami. Tiap-tiap pengambilan hukum di atas diambil melalui ibarot an-nas karena pembicaraan diungkap baginya dan lafadz diperuntukkan baginya sebelum pemikiran yang mendalam (taammul) sekalipun sebagiannya termasuk makna yang tidak pokok (tabai) seperti bolehnya menikah. Isyaratu an-Nas ( O) atau Dilalah Isyarah Definisi menurut As-sarkhasi sebagai berikut: OO. oeApa yang terungkap bukan ditujukan untuk itu, akan tetapi dengan pemikiran yang mendalam didapatkan suatu makna dari lafadz tersebut tanpa berlebih atau kurang.[4] Mengutip dari Said al-Khin: OU O . oePenunjukkan lafadz atas berlakunya hukum yang bukan dimaksud dan juga bukan diperuntukkan atas nash, akan tetapi merupakan kemestian hukum bagi pembicaraan yang diperuntukkan baginya dan bukan pula dari setiap segi zhahirnya.[5] Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa isyarah an-nas merupakan penunjukkan lafadz terhadap makna yang tidak dimaksudkan melalui susunan kalimatnya, baik makna yang pokok maupun yang tidak pokok. Nash tidak menunjukkan makna melalui shigoh dan pernyataannya (ibarah), hanya saja memberi isyarat dan menunjukkan melalui iltizam (kemestian), maksudnya makna yang menunjukkan nash itu dengan pernyataannya, mengharuskan makna ini yang diisyaratkan. Penunjukkan lafadz melalui isyarat bukan pernyataan (ibarah). Karenanya penunjukkan isyarat ini terkadang tersembunyi dan untuk mengetahuinya diperlukan analisis dan pemikiran yang mendalam.[6] Misalnya, Firman Allah Swt: oeDihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. Qs:2:187. Dalam ayat di atas ini menunjukkan dengan pernyataannya bahwa bolehnya makan, minum dan menggauli istri setiap malam pada bulan ramadhan sampai terbitnya fajar. Menunjukkan

isyarat dengan ayat ini bahwa barang siapa yang paginya junub maka puasanya pada hari itu sah. Jika saja menyambung itu boleh dalam setiap bagian malam, kemudian telah muncul fajar sedang dia junub, maka mandi bisa dilakukan setelah waktu fajar. Dilalatu an-Nas Dalam definisi dilalah nash ini dijumpai perbedaan pernyataan Ulama Hanafiah seputar batasan definisi dilalah nash ini, namun definisi itu mendapat titik temu dalam definisi sebagaiamana yang dikutip oleh Said al-Khin sebagai berikut: . oePenunjukkan lafadz atas berlakunya hukum dari masalah yang disebutkan (manthuq) bagi masalah yang tidak disebutkan (maskut) karena adanya makna di dalamnya yang dapat difahami oleh tiap ahli bahasa bahwa hukum yang disebutkan (manthuq) diperuntukkan baginya tanpa memerlukan nalar dan ijtihad. [7] Dengan demikian, berlakunya hukum dalam penunjukkan ini diambil dari makna nash bukan dari lafadznya. Cukup memahaminya dengan hanya menggunakan analisa kebahasaan dan tidak memerlukan ijtihad. Dilalah nash ini sering juga disebut dengan dengan fahwa al-khitab yang berarti tujuan pembicaraan. Syafiiyah menamakannya dengan mafhum al-muwafaqah. Sebagian Ulama lainnya menamakannya dilalah ad-dilalah dan sebagian menamakannya al-qiyas al-jalli.[8] Misalnya, firman Allah: oeDan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. Qs.17:23. Pernyataan ayat ini menunjukkan larangan mengatakan ah. Setiap ahli bahasa arab mengetahui bahwa dari makna yang diperuntukkan baginya dari ayat ini menunjukkan larangan mencaci dan menyiksa dan memukul kedua orang tua dan sejenisnya. Karenanya memukul, mencaci, dan seterusnya lebih utama pengharamannya daripada hanya mengatakan uff atau ah. Karena itu keharaman pada hal-hal yang tidak disebutkan dalam nash itu lebih pasti sebab alasan hukumnya lebih kuat dan jelas. Dengan demikian, hukum larangan mengatakan uff atau ah tetap berdasarkan nash, selanjutnya pengharaman lainnya didasarkan melalui dilalah nash. Dilalatu al-Iqtidha Definisinya sebagaimana dikutip oleh Said al-Khin: OO OOO . oePenunjukkan pembicaraan atas makna di mana kebenaran dan kesahihan pembicaraan itu dapat diterima secara akal dan syara.[9] Para Ulama Ushul membagi dilalah iqtidha menjadi tiga bagian: Sesuatu yang harus dimunculkan untuk kebenaran suatu ucapan. Misalnya, hadits Nabi Saw:

. oeDihapus dari umatku, kesalahan, lupa, dan segala sesuatu yang memaksa mereka lakukan. [10] Sesungguhnya kata-kata: kesalahan dan lupa tidak mungkin dihapus (dicabut), karena sifat kesalahan dan lupa tidak mungkin dihapus karena telah terjadi (berlalu), karenanya harus ditaqdirkan sehingga pembicaraan itu menjadi benar. Karena kata yang dimaksud adalah menghapus dosa. Maksudnya Allah memaafkan dosanya.[11] Sesuatu yang harus dimunculkan untuk kebenaran suatu ungkapan secara akal. Misalnya, firman Allah: oeDan tanyalah (penduduk) negeri yang Kami berada disitu, dan kafilah yang Kami datang bersamanya, dan Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang benar". Qs.12:82. Sesungguhnya dalam ungkapan ini harus ditakdirkan lafadz di dalamnya supaya dapat diketahui dan sah secara akal, karenanya kata yang dimunculkan adalah penduduk sebelum kata negeri, sehingga menjadi penduduk negeri. Karena tidak mungkin secara akal dilontarkan pertanyaan kepada negeri. Sesuatu yang harus dimunculkan untuk benarnya suatu ungkapan secara syara. Misalnya, Firman Allah: oeMaka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik. Qs.2:187. Dalam ayat ini tidak dinyatakan maaf secara syarI kecuali jika dilakukan diyat. Karenanya kata yang dmunculkan di sini adalah diyat.[12] Metode Ulama Mutakallimin. Metode dilalatul alfadz dalam Ulama mutakallimin terbagi menjadi dua, yaitu: 1) Mantuq, 2) Mafhum. Mantuq () Sebagaimana yang dikutip oleh Said al-Khin, definisinya sebagai berikut: oePenunjukkan lafadz menurut apa yang diucapkan.[13] Definisi ini mengandung arti bahwa kita memahami suatu hukum dari apa yang langsung tersurat dalam lafadz itu, baik penyebutannya langsung atau tidak. Misalnya, firman Allah: oeMaka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka Qs.17:23 Hukum yang tersurat dari ayat ini adalah larangan mengucapkan kata uff. Contoh lain, dalam surat An-Nisa: 23 (Diharamkan atas kamu mengawini) anak-anak tiri yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, Qs.4:23 Ayat ini menunjukkan larangan menikahi anak tiri yang berada dalam asuhan suami dari istri yang digauli. Dua masalah diatas ini menunjukkan lafadz berdasar apa yang diucapkan (manthuq). Mafhum () Definisinya sebagai berikut: . oePenunjukkan lafadz menurut yang tidak disebutkan bahwasanya berlakunya hukum bukan berdasar yang disebutkan.[14] Misalnya, firman Allah: oeMaka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" Qs.17:23. Ayat ini menunjukkan dan dapat dilihat dari sisi mafhumnya pelarangan memukul orang tua. Contoh lainnya dalam surat An-Nisa:25. oeDan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak

yang kamu miliki. Qs.4: 25. Ayat ini menunjukkan haramnya atau tidak bolehnya menikahi hamba sahaya yang tidak beriman. Dua hal diatas ini menunjukkan atas lafadz berdasar dengan yang tidak disebutkan (mafhum). Macam-macam Mafhum Mafhum terbagi menjadi dua bagian: Mafhum MuwafaqahMafhum Mukhalafah[15] Mafhum Muwafaqah (Mafhum Kesamaan) Definisi yang dikutip oleh Said dan al-Khin: . oePenunjukkan lafadz atas berlakunya hukum dari masalah yang disebutkan (manthuq) bagi masalah yang tidak disebutkan (maskut) dan penyesuaiannya baik secara tidak pasti (nafy) atau tidak pasti (itsbat) bagi pelibatan keduanya atas makna dan dapat diketahui dengan hanya memahami bahasa tanpa memerlukan nalar dan ijtihad . Selanjutnya masalah yang tidak disebutkan (maskut) lebih utama dari yang disebutkan (manthuq). mafhum ini juga dinamakan fahwa al-khitab dan juga ada kesamaan dengan lahnu al-khitab.[16] Misalnya, firman Allah: oeMaka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka. Qs.17:23. Pernyataan ayat ini menunjukkan larangan mengatakan uff karenanya disebut manthuq. Adapun larangan memukul adalah maskut (yang tidak disebutkan). Karena kedua makna ini masuk dalam makna menyakiti yang difahami dari lafadz uff bahkan memukul pelarangannya lebih utama. Berhujjah dengan Mafhum Muwafaqah Kita sudah memahami di atas bahwa mafhum mukholafah adalah sama dengan dilalah nash sebagaimana metode hanafiah. Dalam berhujjah dengan mafhum muwafaqah ini tidak ada perbedaan di antara para fuqoha kecuali pendapat dari mazhab Zahiri bahwa tidak bisa berhujjah dengan mafhum muwafaqah. Karena mereka menganggapnya masuk dalam bab qiyas, sedangkan mereka menafikan qiyas.[17] Atsar Ikhtilaf Bahwa perbedaan dalam kaidah ini memiliki pengaruh besar dalam perbedaannya dengan cabang, dari perbedaan cabang itulah yang menjadikan perbedaan yang muncul dalam kaidah ini. Berikut contoh yang dikutip dari Mustafa Said al-Khin.[18] Hukum orang yang berbicara dalam shalat baik lupa, salah maupun tidak tahu Dalam mazhab syafiI, Malik dan Hambali dan disebutkan oleh Nawawi bahwa orang yang berbicara dalam shalat dengan berbicara sedikit baik ia lupa atau salah maka shalatnya tidak batal. Mereka berhujjah dengan umumnya dalil hadits Nabi Saw: . oeDihapus dari umatku, kesalahan, lupa, dan segala sesuatu yang memaksa mereka lakukan. Mereka berpendapat bahwa lafadz hukum ini umum mencakup pula hukum duniawi, karenanya tidak batal. Mereka menguatkan juga masalah ini dengan hadits sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a: OU r OU OO} OE : OO} OU

r : OE : OE : OO : OE r OU . [19] "Rasulullah Saw shalat bersama kami shalat ashar, kemudian ia salam dalam dua rekaat. Kemudian dzil yadain bangun dan berkata: Apakah anda singkatkan shalat ya rasululloh atau anda lupa? Maka Rasululloh Saw bersabda: Tidaklah demikian, orang tadi mengatakan: sungguh baru sebagian ya Rasulloh. Maka Rasul Saw menghadap kepada para shahabat dan berkata: Apakah benar dzulyadain ini? Shahabat berkata: benar ya rasul. Kemudian Rasul Saw menyempurnakan sisa shalat tadi lalu ia sujud diantara dua sujud sementara ia duduk setelah melakukan salam". Imam Syafii mengatakan dalam kitabnya al-Umm bahwa orang yang berbicara dalam shalat dan ia menganggap shalatnya telah sempurna atau ia lupa bahwasanya ia dalam keadaan shalat kemudian ia berbicara, maka shalatnya sah dengan melaksanakan sujud sahwi berdasar hadits dzil yadain. Sementara siapa yang berbicara dalam keadaan seperti ini dan dia menganggap itu bukan dalam shalat, maka berbicara di luar shalat itu adalah mubah. Hal ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Masud dan hadits dzil yadain, karena hadits Ibnu Masud menunjukkan pembicaraan secara umum. Hadits dzil yadain menunjukkan bahwa Rasulullah Saw membedakan antara berbicara dengan sengaja atau lupa, karena hal itu dalam shalat, atau si pembicara berpandangan bahwa ia telah menyempurnakan shalatnya.[20] Hadits Ibnu Masud yang disebutkan Syafii sebagai berikut: r OU OU OE UOU OE OE OU OE : . OU. oeKami pernah mengucapkan salam kepada Rasululloh Saw dan Rasul sedang shalat sebelum kami datang ke Habasyah, maka Rasul menjawab salam kami sementara ia sedang shalat. Namun ketika kami pulang dari Habasyah, saya datang memberi salam kepadanya, saya dapatkan Rasul sedang shalat dan saya mengucapkan salam kepadanya tapi ia tidak menjawabnya. Kemudian saya mendekatinya dan saya duduk sampai Rasul selesai shalat, saya menghampirinya. Rasul bersabda: Sesungguhnya Allah memutus permasalahannya dengan apa yang Ia kehendaki. Dan sesungguhnya

apa yang telah diputuskan Allah Swt hendaknya kalian jangan berbicara dalam shalat. [21] Pendapat yang kedua adalah pendapat mazhab Hanafi yang menyebutkan bahwa orang yang berbicara dalam shalat baik sengaja maupun lupa maka shalatnya batal. Mereka berpendapat dengan hadits dari Muawiyah bin Hakam sebagaimana Rasululloh bersabda: OU UOU . oeSesungguhnya shalat ini tidak boleh di dalamnya pembicaraan manusia, dan sesugguhnya shalat itu tasbih, takbir dan membaca Al-Quran.[22] Mereka juga berhujjah dengan hadits Ibnu Masud dan hadits " .." yang berarti menghapus dosa dan mereka tidak mengatakan umumnya dalil ( ). Dengan demikian perlu mendapat perhatian bahwa Syafii tidaklah mengemukakan dalam kitabnya al-umm dalil (penunjukkan) tentang masalah ini dengan umumnya dalil, hanya penunjukkan dalilnya terbatas pada hadits dzil yadain saja. Bahwa telah dijawab argumentasi hanafiah dengan dua hadits: hadits Ibnu Masud dan hadits Muawiyah bin Hakam, bahwa hadits dzil yadain belakangan daripada hadits Ibnu Masud dan bahwasanya Rasul Saw tidak memerintahkan Muawiyah bin Hakam untuk mengulang shalat. Serta dijawab pula bahwa sangkaan dzil yadain terbunuh di perang Badar, padahal Abu Hurairah masuk Islam paska penaklukan khaibar dan antara keduanya masa yang panjang. Dijawab bahwa dzil yadain bernama khirbaq[23]. Adapun yang terbunuh di Badar adalah dzu syamalain[24]. Sekiranya keduanya disebut dzul yadain hanya nama saja seperti nama yang bermiripan.[25] Penutup Dari pemaparan di atas, dapat difahami bahwa para Ulama mempunyai dua metode dalam dilalah. pertama, metode Ulama Hanafiah. Kedua, metode Ulama Mutakallimin. Dilalah dalam metode Ulama Hanafiah melalui empat dilalah, yakni dilalah ibarah, dilalah nash, dan dilalah iqtidha. Sedangkan metode Ulama melalui empat dilalah yang terangkum di dalam Manthuq dan Mafhum. Selanjutnya ada persamaan antar dua metode ini yaitu dilalatu al-iqtidha dan dilalatu an-nas hanafiah. Hanya saja dilalatu an-nas hanafiah dengan nama mafhum muwafaqah pada Ulama mutakallimin. Adapun ibaratu an-nas sama dengan manthuq pada Ulama mutakallimin. Telah menjadi terang bahwa perbedaan mereka pada perbedaan metode dalam pembagian masing-masing, walaupun keduanya sampai pada nilai-nilai yang berdekatan. Perbedaannya hanya pada nama bukan pada substansi. [1] Mustafa Said al-Khin, Atsaru al-Khilaf fi al-Qowaid al-Ushuliyah fi al-ikhtilafi al-Fuqoha (Beirut: Muassasah ar-Risalah, cet 7, 1998) hal 128. [2] Abu Bakar Muhammad bin Ahmad al-Sarkhasi, Ushul al-Sarkhasi (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah,1993) hal 236. [3] Mustafa Said al-Khin, op.cit, hal 128. [4] Abu Bakar Muhammad bin Ahmad al-Sarkhasi, op.cit,. hal 236. [5] Mustafa Said al-Khin, Loc.cit, hal 129. [6] Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, tt) hal 356. [7] Mustafa Said al-Khin, hal 133. [8] Abdul Karim Zaidan, op.cit, hal 361. [9] Mustafa Said al-Khin, hal 136. [10] Hadits diriwayatkan oleh at-Tabrani dalam kitabnya al-Kabir dari Tsauban. [11] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Cairo: Daar al-Fik al-Arabi, 1997) hal 128. [12] Ibid, hal 129. [13] Mustafa Said al-Khin, hal 138. [14] Ibid, hal 139. [15] Mafhum Mukhalafah

tidak dibahas disini karena akan dibahas oleh pemakalah berikutnya. [16] Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa fi ilmi al-Ushul, jilid 1, hal 191. [17] Mustafa Said al-Khin, hal 150. [18] Ibid, hal 157. [19] Muslim, dalam Bab Sujud Sahwi, Hadits No. 573, Bukhori Jilid 2/66 dalam Sujud Sahwi. [20] Muhammad bin Idris, Al-Umm, Jilid 1 (Beirut: Darul Kutub ilmiyyah, 1993), hal 237). [21] Bukhari, (Juz 2, hadits 59) dalam bab pelarangan berbicara dalam shalat. [22] Muslim (Juz 2, hadits 75) dalam bab larangan berbicara dalam shalat. [23] Dzul Yadain bernama Abdu Amr bin Nadhlah l-Khuzai , disebutkan bahwa Dzu Syamalain mati syahid di Badar. Hadits yang riwayatkan oleh Abu Hurairah bahwasanya Nabi Saw shalat bersama Abu Hurairah setelah ia masuk Islam pada tahun khaibar, 5 tahun setelah perang Badar. Ditetapkan juga dalam Riwayat Ibnu Sirin dari Abu Hurairah bahwasanya ia shalat bersama Nabi. (Ibnu Hajar al-Asqolani, Al-Ishobah fi Tamyizi as-Shahabah, juz 4, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 1995, hal 316) [24] Umair bin Abdi Amr bin Nadhlah al-Khuzai, ikut menyaksikan perang Badar dan syahid di dalamnya (lihat:Al-Ishabah, Juz 2, hal 345) [25] Muhammad bin Idris, op.cit, hal 237-238. Versi Online: http://alhikmah.ac.id//index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=116

Anda mungkin juga menyukai