Anda di halaman 1dari 7

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

PENGARUH BEBERAPA BAHAN PENGAWET NABATI TERHADAP NILAI HAUGH UNIT, BERAT DAN KUALITAS TELUR KONSUMSI SELAMA PENYIMPANAN
(The Effects of Several Concerning Plants Preservative Materials on Haugh Unit Value, Weight and Consumption-Eggs Quality During Preservation)
MARSUDIN SILALAHI
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung, Jl. Hi. Z.A. Pagar Alam No. 1A Rajabasa, Bandar Lampung 35145

ABSTRACT A research was conducted to know the effects of concerning plants preservative materials on haugh unit value, decreasing weight and consumption-eggs quality during preservation. As much as three kinds of concerning plants preservative materials used, i.e.: acacia skins, mangrove skins, and guava leaves, each concentration was 0.05%. Eggs were submerged in treatments solutions for seven days. To know the effect of treatments, Haugh unit, eggs weight, and consumption-eggs quality were observed every week. Research data were analyzed statistically using ANOVA continued with Least Significant Range 0.05 and 0.01. Results showed that eggs diminution on control treatment at 5th week were different with concerning plants preservative treatments. More over, at 6th week until 8th week were significantly different with concerning plants preservative treatments, while there was no difference between concerning plants preservative treatments. Haugh unit value and eggs quality on control treatment was significantly different at 2nd week with concerning plants preservative treatments. The best concerning plants preservative material showed on acacia skin, which maintain good eggs quality (grade A) until 7th week. Key Words: Egg, Plants, Preservative ABSTRAK Suatu penelitian telah dilakukan untuk melihat pengaruh bahan pengawet nabati terhadap nilai Haugh Unit, penurunan berat dan kualitas telur konsumsi selama penyimpanan. Digunakan sebanyak tiga macam bahan pengawet yaitu: Kulit Acasia (K. Acasia), Kulit Bakau (K. Bakau), dan Daun Jambu Biji (D. Jambu Biji) dengan konsentrasi masing masing larutan adalah 0,05 %. Telur direndam dalam larutan selama tujuh hari. Untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap Haugh Unit, berat dan kualitas telur dianalisa tiap minggu. Data hasil penelitian dianalisa secara statistik dengan menggunakan Daftar Sidik Ragam dan pengujian Least Significant Range 0,05 dan 0,01. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyusutan telur perlakuan kontrol pada minggu kelima sudah berbeda nyata dengan telur perlakuan dengan bahan pengawet nabati dan bahkan pada minggu keenam hingga minggu kedelapan sudah berbeda sangat nyata dengan perlakuan bahan pengawet nabati akan tetapi antar perlakuan pengawet nabati tidak ditemukan adanya perbedaan. Nilai haugh Unit dan kualitas telur pada perlakuan kontrol sudah berbeda sangat nyata pada minggu kedua dengan perlakuan pengawet bahan nabati. Bahan pengawet nabati terbaik ditampilkan oleh bahan pengawet nabati akasia yang dapat mempertahankan kualitas telur baik (A) hingga minggu ketujuh. Kata Kunci: Telur, Tanaman, Pengawet

PENDAHULUAN Telur adalah salah satu sumber protein hewani yang memilik rasa yang lezat, mudah dicerna, dan bergizi tinggi. Selain itu telur mudah diperoleh dan harganya murah. Telur dapat dimanfaatkan sebagai lauk, bahan

pencampur berbagai makanan, tepung telur, obat, dan lain sebagainya. Telur terdiri dari protein 13%, lemak 12%, serta vitamin, dan mineral. Nilai tertinggi telur terdapat pada bagian kuningnya. Kuning telur mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan serta mineral seperti: besi, fosfor, sedikit kalsium,

561

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

dan vitamin B kompleks. Sebagian protein (50%) dan semua lemak terdapat pada kuning telur. Adapun putih telur yang jumlahnya sekitar 60% dari seluruh bulatan telur mengandung 5 jenis protein dan sedikit karbohidrat. Meskipun telur merupakan produk hasil ternak yang bernilai gizi tinggi, tetapi telur juga mempunyai sifat-sifat yang kurang menguntungkan. Menurut SIRAIT (1986) sifatsifat tersebut antara lain: mudah mengalami penurunan kualitas yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti kelembaban, temperatur, ventilasi dan kualitas awal telur itu sendiri, kulit telur yang mudah pecah, retak dan tidak dapat menahan tekanan mekanis yang terlalu besar. Dengan demikian, telur tidak dapat diperlakukan secara kasar pada suatu wadah. Selain itu, ukuran telur yang tidak sama besar dan bentuk elipnya memberikan masalah dalam penanganan telur secara mekanis dalam suatu sistem yang kontinyu. Menurut data statistik Ditjen Bina Produksi Peternakan, produksi telur pada tahun 2003 mencapai 1,06 juta ton. Sedang kerusakan telur yang terjadi di Indonesia setelah panen mencapai sekitar 15 20%. Hal ini antara lain disebabkan oleh terbatasnya perlakuan teknologi, rantai pemasaran yang terlalu panjang serta keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan. Telur akan mengalami penurunan kualitas sejak 5 7 hari dari saat peneluran, yang ditandai dengan isi telur yang kopyor (kocak), atau bila dipecah isinya sudah tidak menggumpal lagi seperti telur segar (fresh egg). Menurut RIYANTO (2001) penurunan kualitas telur tersebut disebabkan oleh adanya kontaminasi mikrobia dari luar yang masuk melalui pori-pori kerabang telur dan kemudian merusak isi telur. Selain itu juga disebabkan oleh menguapnya air dan gas-gas seperti karbondioksida (CO2), amonia (NH3), nitrogen (N2) dan nitogen sulfida (H2S) dari dalam telur. Penguapan yang terjadi membuat bobot telur menyusut, dan putih telur menjadi lebih encer. Masuknya mikroba ke dalam telur melalui pori-pori kulit telur juga akan merusak isi telur. Untuk mengantisipasi penurunan kualitas telur pascapanen tersebut perlu suatu teknologi pengawetan. Pengawetan telur merupakan salah satu usaha untuk mencegah menurunnya kualitas telur. Terkadang di dalam rumah tangga, telur

sering disimpan dalam lemari pendingin/kulkas tetapi cara ini hanya dapat mempertahankan kualitas telur selama 2 3 minggu. Berbagai metode yang sering digunakan untuk pengawetan telur segar adalah dengan pengemasan kering yaitu mengemas telur dengan pasir, sekam dan serbuk gergaji dengan maksud mengurangi proses penguapan CO2 dan air. Cara yang lain dengan perendaman menggunakan air kaca/air kapur. Prinsip dari pengawetan khususnya telur ayam konsumsi adalah mencegah masuknya mikrobia ke dalam telur, dan mencegah penguapan air dan gas-gas dari dalam telur yang melewati pori-pori kerabang telur yang berjumlah 7.000 sampai 17.000 dengan variasi ukuran 13 mikron pada ujung yang tumpul, dan 6 mikron pada ujung yang runcing. Telur segar yang baik ditandai oleh bentuk kulitnya yang bagus, cukup tebal, tidak cacat (retak), warnanya bersih, rongga udara dalam telur kecil, posisi kuning telur di tengah-tengah, dan tidak terdapat bercak atau noda darah. Pada penelitian akan menggunakan bahan pengawet asal nabati yang banyak tersedia dilokasi petani seperti Akasia, kulit bakau dan daun jambu biji yang merupakan bahan pengawet yang murah dan mudah mendapatkannya serta tidak mempengaruhi citra rasa telur. MATERI DAN METODE Penelitian ini menggunakan telur segar yang berasal salah satu peternakan ayam petelur yang berada di Bogor. Penelitian ini di lakukan di Laboratorium Unggas fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Digunakan sebanyak 160 butir telur segar yang baru ditelurkan yang dikelompokkan menjadi 3 perlakuan bahan pengawet dan satu perlakuan tanpa diawetkan (kontrol perlakuan). Pembuatan bahan pengawet nabati dilakukan dengan mengeringkan masingmasing bahan pengawet (kulit Akasia, Kulit Bakau dan daun jambu biji) kemudian dihaluskan dengan blender dan disimpan dalam lemari pendingin sebelum digunakan. Selanjutnya bahan pengawet dilarutkan dengan air dengan konsentrasi 0,05%. Perbandingan berat telur dengan bahan pengawet adalah 1 : 5 artinya 1 kg telur : 5 liter bahan pengawet.

562

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

Telur yang akan diawetkan, sebelumnya dicuci terlebih dulu dengan air hangat guna mempermudah pelepasan kotoran yang menempel di kerabang telur. Setelah bersih telur dikeringkan kembali (dilap). Selanjutnya telur tersebut disusun dalam ember plastik secara teratur sesuai perlakuan, selanjutnya bahan pengawet dimasukan ke dalam wadah (ember plastik) untuk menjaga keamanan permukaan, wadah tersebut ditutup dengan plastik dan telur didiamkan dalam wadah tersebut selama 7 hari. Setelah itu telur dikeluarkan dari wadah dan dilap hingga kering. Telur yang sudah kering disusun dalam egg tray, selanjutnya egg tray disimpan dalam rak telur pada suhu kamar. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap berat telur, Nilai Haugh Unit dan penurunan kualitas telur maka tiap minggu telur dianalisa selama delapan minggu. Pengaruh perlakuan terhadap berat telur, nilai Haugh Unit dan kualitas telur dianalisis dengan menggunakan sidik ragam. Bila sidik ragam menunjukkan ada pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji Least Significant Range (LSR) (STEEL dan TORRIE, 1993). Untuk menentukan Nilai Haugh Unit yaitu dengan mengkonversikan berat telur dengan tinggi putih telur sesuai dengan rumus OLUYEMI dan ROBERT (1979) sebagai berikut: H.U. = 100 log (H + 7,57 1,7 W0,37), H = tinggi putih telur dan W = berat telur utuh.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh perlakuan terhadap berat telur Rataan penyusutan berat telur selama 8 minggu penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 1. Pada minggu pertama terlihat bahwa telur yang diberi perlakuan bahan pengawet belum ada penyusutan berat telur sedangkan yang tidak diberi perlakuan (kontrol) sudah mengalami penyusutan berat sebesar 0,14 gram. Pada minggu ke-dua hingga minggu ketiga penyusutan berat telur pada ketiga perlakuan masih kecil dan yang terkecil penyusutannya (0,12 g) dengan pengawet kulit Akasia diikuti daun jambu biji (0,14 gram) dan kulit bakau (0,28 g) dan yang terbesar penyusutannya adalah pada perlakuan kontrol sebesar 1,92 g. Dari Tabel 1 terlihat bahwa penyusutan berat telur dari minggu pertama hingga minggu keempat tidak ditemukan perbedaan yang nyata antar perlakuan, akan tetapi pada minggu ke-lima terlihat bahwa penyusutan berat telur antara perlakuan kontrol dan perlakuan pengawet nabati sudah berbeda nyata dan penyusutan terbesar terjadi pada perlakuan kontrol (2,88 g), namun antar perlakuan pengawet nabati tidak berbeda nyata dan penyusutan terkecil ditampilkan bahan pengawet kulit Akasia (1,80 g). Pada minggu ke-lima hingga minggu ke-delapan perbedaan

Tabel 1. Rataan penyusutan berat telur (g) selama delapan minggu penyimpanan Lama penyimpanan (mgg) 0 1 2 3 4 5 6 7 8
*) **)

Bahan pengawet Kontrol 0,00 0,14 1,07 1,92 2,40 2,88*) 3,46 3,87
**) **)

Akasia 0,00 0,00 0,02 0,12 1,00 1,80 1,98 2,05 2,24

Kulit bakau 0,00 0,00 0,16 0,28 1,70 1,98 2,42 2,75 2,87

Daun jambu biji 0,00 0,00 0,07 0,14 1,13 1,85 2,18 2,51 2,63

4,19**)

Penyusutan berat nyata Penyusutan berat sangat nyata

563

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

penyusutan berat telur perlakuan kontrol namun antar perlakuan pengawet nabati belum terlihat adanya perbedaan. Semakin lama penyimpanan maka penyusutan berat telur semakin tinggi, yang ditampilkan perlakuan kontrol (4,19 g) pada minggu ke-delapan dan bila telur digoyang sudah koclak dan putih telur sudah encer dan kuning telur sudah pecah sehingga telur tidak layak untuk dikonsumsi, sedangkan telur yang diberi perlakuan pengawet nabati penyusutan berat telur relatif rendah. Untuk lebih jelasnya bagaimana pengaruh perlakuan terhadap penyusutan berat telur selama delapan minggu penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 1. Dari Gambar 1 terlihat bahwa telur perlakuan kontrol dari minggu pertama hingga minggu kedelapan memperlihatkan tren penyusutan yang cukup besar hingga mencapai 4.19 g dan perlakuan pengawet nabati penyusutan berat telur baru terlihat dari minggu ketiga. Dari ke-tiga bahan pengawet nabati yang digunakan ternyata bisa memperlambat terjadinya penguapan air, Nitrogen (N), gas carbon dioksida (CO2) dan nitrogen Sulfida (N2S) serta mencegah masuknya mikrobia kedalam telur. Bahan Pengawet nabati terbaik ditampilkan oleh kulit Akasia. Hal ini diduga karena kandungan

dengan pengawet nabati sudah sangat nyata, tannin yang terdapat pada kulit akasia mengandung asam gallat yang tinggi yang berperan penting dalam proses pengawetan telur. Lebih lanjut HAPITANINGSIH (2003) menyatakan bahwa prinsip dasar dari pengawetan menggunakan penyamak nabati adalah terjadinya reaksi penyamakan pada bagian luar kulit telur oleh zat penyamak (tannin) akibatnya kulit telur menjadi impermiabel (tidak dapat bersatu atau bercampur) terhadap air dan gas. Dengan demikian, keluarnya air dan gas dari dalam telur dapat dicegah sekecil mungkin. Nilai Haugh Unit selama delapan minggu perlakuan Nilai Haugh Unit sebagai parameter mutu kesegaran telur yang dihitung berdasarkan tinggi putih telur dan bobot telur. Menurut NORTH (1990) telur digolongkan atas empat kelompok berdasarkan Haugh Unit (2000) dengan simbol HU yaitu kelompok AA = > 72, kelompok A = 60 72 HU, kelompok B = 50 60 HU dan kelompok C = < 50 HU. Nilai Haugh unit selama delapan minggu pengamatan ditampilkan pada Tabel 2.

Penyusutan berat telur, g

5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 0 1 2 3 4 5 6 7 8

Lamanya penyimpanan, mgg Kontrol Akasia Kulit bakau Daun jambu biji

Gambar 1. Grafik pengaruh perlakuan terhadap penyusutan berat telur

564

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

Tabel 2. Rataan nilai Haugh Unit perlakuan selama delapan minggu perlakuan Lama penyimpanan (mgg) 0 1 2 3 4 5 6 7 8
**)

Bahan pengawet Kontrol 87,06 79,66 54,57**) 35,92


**)

Acasia 87,61 87,36 85,71 75,22 70,48 66,86 66,84 64,32 50,60

Kulit bakau 87,69 86,85 85,27 68,71 61,98 56,02 44,20 36,48 31,21

Daun jambu biji 87,40 87,16 86,53 77,31 71,36 69,41 63,98 40,57 37,42

31,08 29,24 26,70 23,37 16,97 Penurunan Haigh Unit sangat nyata

Dari Tabel 2 terlihat bahwa pada minggu pertama nilai Haugh Unit dari kempat perlakuan belum terlihat adanya perbedaan akan tetapi pada minggu ke-dua telur yang tidak diberi perlakuan (kontrol) sudah terjadi perubahan yang sangat nyata dibandingkan dengan telur yang diberi perlakuan bahan pengawet nabati. Penurunan Nilai Haugh Unit tercepat ditampilkan oleh perlakuan kontrol yaitu dari 87,06 HU pada minggu pertama

turun menjadi 16,97 HU pada minggu kedelapan dan penurunan Nilai Haugh Unit terendah (terbaik) ditampilkan oleh bahan pengawet akasia yaitu dari 87,61HU minggu pertama turun menjadi 50,60 HU minggu kedelapan. Untuk lebih jelasnya bagaimana pengaruh perlakuan terhadap Nilai Haugh Unit telur selama delapan minggu penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 2.

100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Lama penyimpanan, mgg

Rataan nilai Haugh Unit

Kontrol Acasia K. Baku D. jambu biji

Gambar 2. Pengaruh perlakuan terhadap Nilai Haugh Unit selama delapan minggu penyimpanan

565

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

Dari Gambar 2 terlihat bahwa pada minggu kedua nilai Haugh Unit telur perlakuan kontrol sudah dibawah 60 HU sementara dengan pengawet nabati nilai rataan enam puluh HU baru terjadi pada minggu keempat pada perlakuan dengan pengawet kulit bakau (61,98HU) dan minggu ke keenam pada bahan pengawet daun jambu buji (63,98 HU) dan pada minggu ketujuh dengan pengawet nabati akasia (64,32 HU). Dari Gambar 2. jelas terlihat bahwa penurunan nilai HU terbesar ditampilkan oleh perlakuan kontrol, dikuti perlakuan kulit bakau, perlakuan daun jambu biji dan yang terkecil ditampilkan oleh bahan penget nabati akasia. Rendahnya penurunan nilai HU pada perlakuan akasia diduga akibat tingginya dosis tanin pada kulit akasia.

Pengaruh perlakuan terhadap kualitas telur Rataan kualitas telur selama pengamatan yang didasarkan pada Haugh Unit yang juga didasarkan pada united States Grades Consumer Grades ditampilkan pada Tabel 3. Dari Tabel 3 terlihat bahwa sampai minggu kedua belum terdapat perbedaan kualitas telur

dari masing-masing perlakuan hal ini terlihat dari kuning telur masih tepat ditengah, berbentuk cembung, berwarna kuning terang. Pada minggu kedua terlihat bahwa telur perlakuan kontrol kualitasnya sudah berbeda sangat nyata dimana kualitas telur yang menggunakan pengawet nabati kualitasnya masih sangat baik. Pada minggu kelima telur perlakuan kontrol tidak bisa dikonsumsi hal ini ditandai dengan kuning telur sudah berada dipinggir, permukaannya mendatar, kuning telur sudah bercampur dengan putih telur dan aromanya sudah berubah sehingga kualitasnya jelek dan telur yang diberi perlakuan kulit bakau kualitasnya agak baik sementara dengan perlakuan degan akasia kualitas telur masih baik hingga minggu ke-tujuh sedangkan dengan daun jambu biji kualitas telur masih baik hingga munggu ke-enam. Pada akhir pengamatan terlihat bahwa telur dengan perlakuan pengawet nabati akasia kualitas telur masih agak baik atau masih bisa dikonsumsi akan tetapi telur yang diawetkan dengan bahan pengawet kulit bakau dan daun jambu biji pada minggu ketujuh kualitas telur sudah jelek dan yang terbaik ditampilkan oleh pengawet akasia, akan tetapi dengan perlakuan kontrol telur dari minggu ke-lima telur kualitasnya sudah jelek.

Tabel 3. Rataan kualitas telur menurut United States Consumer Grades Lama Penyimpanan (mgg) 0 1 2 3 4 5 6 7 8
**)

Kualitas telur Kontrol AA AA B**) C C C C C C Acasia AA AA AA AA AA A A A B Kulit bakau AA AA AA A A B C C C Daun jambu biji AA AA AA AA AA A A C C

Penurunan kualitas sangat nyata; AA = kualitas sangat baik; A = kualitas baik; B = kualitas agak baik; C = Kualitas jelek

566

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengunaan pengawet nabati dapat memperlambat penyusutan berat telur, penurunan Nilai Haugh Unit dan mempertahankan kualitas telur hingga minggu ketujuh dan antar perlakuan bahan pengawet nabati tidak ditemukan adanya perbedaan akan tetapi telur yang tidak diberi perlakuan hanya dapat bertahan hingga minggu kedua penelitian dan pengawet nabati terbaik ditampilkan oleh bahan pengawet nabati akasia. DAFTAR PUSTAKA
HATININGSIH, E. 2003. Pengaruh Penambahan Astrak Temulawak (Curcuma Xanthorriza, Roxb) dalam Ransum terhadap Kualitas Rongga Udara, Warna Kuning Telur dan Haugh Unit Telur pada Ayam Petelur Strain Lohmman. JIPTUMMPP. Universitas Muhammadiah, Malang.

HAUGH UNIT, R.R. 2000. The Haugh Unit for Meausering Egg Quality. U.S. Egg Poultry Megazine. NORTH. O.M. and D.D. BELL. 1990. Commercial Chicken Production Manual. Avi Publishing Co., Inc., Connecticut. OLUYEMI, J.A. dan F.A. ROBERT. 1979. Poultry Production, The Macmillan Press Ltd. RIYANTO, A. 2001. Sukseskan Menetaskan Telur Ayam. Andromedia Pustaka, Jakarta: RUMANOFF, A.L. and A. ROMANOFF. 1963. The Avian Egg, Jhon Weley and Sons Inc., New York. SIRAIT, C.H. 1986. Telur dan Pengolahannya. Puslitbang Peternakan, Bogor. STEEL, R.G.D. and J.H. TORRIE. 1993. Principles and Procedures of Statistic. 2th Ed. Mc Graw-Hill International Book Co., New Delhi.

567

Anda mungkin juga menyukai