Anda di halaman 1dari 5

MATI LISTRIK HIDUPLAH IMAJINASI

Arubisama

Sore itu saya sedang asyik mengedit gambar yang saya buat sambil memutar lagu 'Shine On You Crazy Diamond!' dari Pink Floyd keras-keras karena saya tidak mau dianggap pelit oleh tetangga yang mungkin ingin ikut mendengarkan. Lalu.. 'Anjing!' Saya melolong seperti kata yang saya ucapkan. Listrik mati dengan tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan apapun sebelumnya. Tapi hal seperti itu sudah dianggap wajar dan sudah sering terjadi di kota ini. Untung saja saya sempat menekan tombol CTRL dan tombol S sesaat sebelum kematian sang listrik sehingga saya tidak usah mengulang proses pengeditan yang rumeuk itu dari awal. Saya lalu membaringkan badan di karpet yang terhampar di ruangan. Bukan karena karpetnya atau ruangannya yang luas, tapi karena tidak ada perabotan kecuali komputer, tape deck yang harus digebrak agar menyala sebagai speaker dari komputer itu, kipas angin, mug yang berisi teh panas, asbak, dua bungkus rokok, pematik api yang harganya seribu per tiga buah dan sebuah stoples kripik tahu di ruangan itu. Didalam keheningan dan keremangan ruangan, saya berpikir bahwa kematian listrik mungkin adalah kesempatan bagi saya untuk mengistirahatkan pikiran dari pekerjaan di waktu luang tersebut sekaligus mengistirahatkan mata yang setiap hari tidak lepas dari layar komputer. Lagipula gambar yang saya kerjakan itu untuk dipakai bulan depan. Jadi istirahatpun, tidak menghambat aktivitas. Anggota dewan saja yang tanggung jawab pekerjaannya besar bisa mengistirahatkan mata dengan cara tidur siang di gedung sidang yang ber-AC atau mengistirahatkan pikiran keluar negeri dengan biaya yang ditanggung rakyat, masa saya yang hanya bertanggung jawab kepada dua orang tidak boleh istirahat dengan alasan yang jelas-jelas bukan dari kemalasan atau kebodohan saya. Saya tersenyum sendiri membayangkan asyiknya tidur di gedung ber-AC daripada berbaring di karpet kasar dalam ruangan yang panas dengan kipas angin yang ikut-ikutan mati seperti sang listrik. Walaupun begitu, saya termasuk beruntung karena sempat menyimpan hasil pekerjaan saya. Coba bayangkan seandainya saya adalah seorang mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi atau seorang arkeolog yang sedang menerjemahkan naskah kuno atau seorang karyawan yang sedang mengerjakan laporan produksi untuk audit dan tiba-tiba listrik mati tanpa sempat menyimpan pekerjaan saya terlebih dulu. Kalau saya tidak ingat pada harga monitor yang mahal, saya pasti sudah membakarnya. Kalau saya seorang samurai, pasti saya akan segera seppuku. Kalau saya tidak ingat bahwa listrik diatur oleh negara melalui perusahaannya, saya pasti sudah menyalahkan tikus yang belum tentu melancarkan aksi kamikaze dengan cara menggerogoti kabel listik. Listrik diatur oleh negara. Untuk siapa? Saya kurang tahu. Yang saya tahu, apabila tiba-tiba saya mematikan lampu kamar ketika istri sedang membaca buku, pasti kemarahan istri saya meledak dan sayapun terpaksa harus gigit jari karena tidak diberi jatah MC alias Making Child. Meski sering memadamkan listrik secara mendadak, nampaknya tidak ada satu orangpun yang berani marah secara langsung kepada perusahaan listrik negara atau menuntut penguasa listrik tersebut secara hukum untuk selanjutnya menghitam putihkan benar dan salah di meja hijau yang juga belum tentu benar. Tapi memang menuntut perusahaan negara itu seperti melempar batu ke kepala naga yang sedang tidur. Kalau naganya marah, bisa-bisa kita yang ditelan bulat-bulat tanpa sempat mengucapkan apa-apa. Belum lagi birokrasi pengadilan yang membutuhkan biaya besar. Jangankan perusahaan negara, menuntut perusahaan biasa saja bisa-bisa malah kita yang dikurung. Perusahaan itu uangnya banyak. Dengan uang yang banyak, apapun bisa disewa atau dibeli, termasuk menyewa pengacara handal dan membeli hukum. Kenapa hukum bisa

dibeli? Karena hakim dan perangkat hukum gajinya kecil. Tapi walau gajinya sudah lebih dari cukup, kalau gaya hidupnya edan, pasti tetap cari insentif. Karena keahlian lain tidak punya, maka penawaran pihak pembeli hukum pun dijadikan penghasilan alternatif dan keadilanpun tidak lagi buta terhadap materi. Bahkan setelah melamun hingga merembet ke hukum, listrik belum juga menyala. Saya bangkit dan mulai menyulut sebatang rokok. Manusia modern memang benar-benar ketergantungan pada listrik. Saat listrik mati, rasanya seperti dimasukkan ke kardus lalu ditutup dari luar. Apalagi dengan adanya berbagai macam perangkat elektronik dari kulkas hingga smartphone yang telah berhasil mengalihkan perhatian bahkan eksistensi beberapa penggunanya dari dunia nyata ke dunia maya yang, tidak seperti dunia nyata, bisa disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan masing-masing penggunanya. Tanpa disadari listrik secara tidak langsung telah menjadi kebutuhan primer dalam keberlangsungan hidup manusia. Tanpa listrik, kita seolah-olah tidak tahu harus melakukan apa. Padahal sebelum listrik ditemukanpun, manusia bisa melangsungkan kehidupannya tanpa merasa ada yang kurang. Malah lebih teratur dari jaman sekarang. Kita lihat saja kehidupan masyarakat pada suatu desa sebelum mereka mengenal listrik. Saat malam hari, semua orang berada di rumahnya masing-masing dan hanya keluar apabila ada urusan penting yang tidak bisa ditunda hingga keesokan harinya. Dengan penerangan seperti cempor, obor, lilin atau api dari tungku, mereka menerangi tempat tinggalnya masing-masing dan melewati malam dalam khidmatnya keheningan dan nyanyian jangkrik serta gaang yang syahdu seolah me-nina bobo-kan pendengarnya. Beda dengan kehidupan saat ini, terutama di kota-kota yang hidup dalam 24 jam setiap hari, jalan raya tidak pernah sepi dari kendaraan dan lampu-lapu kota seolah berusaha menggantikan matahari untuk menerangi malam. Ketika saya sedang menjelajahi gunung Gede bersama kawan-kawan pencinta alam, saya dapat melihat bintangbintang yang tidak pernah saya lihat di kota karena tingginya tingkat polusi cahaya dan asap knalpot. Malam hari di gunung itu gelap dan udaranya bebas asap kendaraan yang selain menyesakkan nafas, juga membentuk semacam lapisan penghalang saat berkonsentrasi di langit. Karena itulah bintang-bintang dapat dilihat dan indahnya membuat saya tidak mau tidur meski kelelahan karena sepanjang hari berjalan mendaki hingga ke puncaknya. Meski demikian, sebagai manusia modern yang dididik melalui beragai institusi pendidikan pemerintah, kita tidak dapat hidup di gunung. Kenapa? Karena kita tidak bisa lepas dari gaya hidup yang selama ini secara tidak sadar telah membentuk suatu kewajaran dan ketergantungan terhadapnya. Di sekolah, kita tidak pernah dididik secara praktek untuk menanam padi, memanennya, memprosesnya dari gabah menjadi beras hingga kita dapat mengkonsumsinya. Kita juga tidak pernah diajarkan caranya untuk mengumpulkan bahanbahan makanan dari hutan setelah memilah mana yang bisa dimakan dan mana yang tidak. Jangankan belajar membuat perangkap atau memburu binatang, kita bahkan tidak pernah diajarkan untuk menyembelih binatang dengan baik, mengulitinya, mengeluarkan isi perutnya, memilah bagian-bagian yang tidak bisa dimakan untuk kemudian kita masak dan makan. Kita hanya belajar teori saja di sekolah. Sehingga apabila seorang sarjana dari kota mengobrol dengan seorang petani atau pemburu dari desa terpencil, ia dapat berbicara fasih mengenai kehigienisan bahan pangan atau teknik bercocok tanam yang baik tapi pada prakteknya nihil dan tertinggal jauh dari pengalaman petani atau pemburu dari desa terpencil tersebut. Ya, pengalaman adalah akar dari apa yang diperlukan untuk bertahan hidup. Oleh karena pengalaman yang didapatkan melalui pendidikan selama 12 tahun bahkan lebih itu sebagian besar didasarkan pada penguasaan materi yang berupa teori saja, maka jangan harap kita bisa bertahan hidup di gunung yang tidak bisa diajak berdialog atau berargumentasi dan hanya menuntut keahlian serta kebijaksanaan yang berakar dari pengalaman tersebut. Maka

kita harus rela berdesak-desakkan di kendaraan umum, bersaing sambil sikut kiri-kanan bahkan hingga mengeluarkan biaya hanya untuk bertahan hidup melalui pekerjaan yang memberi kita uang untuk belanja segala macam kebutuhan hidup kita yang pada dasarnya dihasilkan dari desa-desa dan dihasilkan oleh orang-orang desa yang sering kita anggap ketinggalan jaman tersebut sehingga melahirkan istilah kampungan untuk orang-orang yang tidak tahu perkembangan diantara masyarakat kota. Yang lebih menyedihkan lagi, apabila anda dibesarkan di kota dengan segala kemudahan yang dapat dibeli oleh uang tapi kertas bernama ijazah yang menandai tingkat pendidikan yang anda miliki tidak memenuhi syarat untuk melamar pekerjaan, maka anda akan berhadapan dengan sebuah situasi yang dikenal sebagai pengangguran. Anda tidak dapat lari ke desa, hutan ataupun ke gunung karena anda sudah terbiasa dengan kehidupan kota. Di kotapun anda tidak bisa benar-benar bertahan hidup karena anda dianggap tidak memenuhi syarat untuk mendapat pekerjaan sebagai sumber uang yang dapat membeli kebutuhan serta kemudahan untuk hidup anda. Tidak semua orang yang menganggur itu tidak pintar atau tidak memiliki keahlian. Beberapa orang yang tidak mendapat pekerjaan berhasil membuat pekerjaan sendiri bahkan hingga mempekerjakan orang lain. Akan tetapi jumlah persentase penganggur yang akhirnya sukses seperti demikian sangatlah kecil. Pada kenyataannya, yang banyak didapati adalah gelandangan, pengamen yang bersifat memaksa karena skill musiknya hampir tidak ada sama sekali, pencopet, penjambret, pencuri, pengedar narkoba, residivis dan bentuk lain dari lapisan masyarakat kelas bawah yang menghidupi dirinya melalui kriminalitas. Ada banyak lembaga-lembaga pelatihan keterampilan untuk mempersenjatai masyarakat agar bisa bersaing di dunia kerja. Tapi untuk mendapatkan pelatihan tersebut, harus ada sejumlah uang yang dikeluarkan bahkan terkadang sama sekali tidak sedikit jumlahnya dan golongan masyarakat yang tidak memiliki cukup uang untuk mendapatkan pelatihan tersebut pada akhirnya akan menggunakan segala cara untuk bertahan hidup. Seperti yang telah ditulis sebelumnya, pengalaman adalah akar dari apa yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Sebaik-baiknya kemampuan dan keterampilan itu adalah yang lahir dari pengalaman. Maka apabila kemampuan seseorang adalah mencuri sepeda motor, ia akan kemampuan dan keterampilannya akan terasah seiring dengan pengalamannya dalam mencuri motor hingga akhirnya ia akan berprofesi tetap sebagai pencuri motor. Pasal 34 ayat 1 Undang Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa fakir miskin dan anakanak terlantar dipelihara oleh negara. Tahun 1945 tentulah tidak sama dengan tahun 2012. Pada tahun 1945, negara ini baru saja merdeka. Seluruh masyarakat yang secara bahu membahu telah memerdekakan negara ini masih dilandasi oleh semangat persatuan dan kesatuan yang dilatar belakangi oleh perasaan senasib dan rasa memiliki serta kecintaan terhadap bangsa dan negaranya. Semangat gotong royong masih begitu kentalnya sehingga semua orang dari berbagai lapisan masyarakat saling membantu untuk mencapai kesejahteraan bersama hingga akhirnya melahirkan suatu solidaritas dan persamaan dalam kehidupan masyarakat. Persamaan itulah pula yang mendasari alasan kenapa di sekolah kita memakai seragam. Melalui sistem didikan semi militer seperti halnya sikap memberi salam ketika guru masuk dan upacara penaikan bendera atau apel pagi dan larangan untuk berambut panjang serta aturan-aturan lainnya, murid-murid dididik untuk disiplin dalam sebuah semangat persamaan dan solidaritas tanpa adanya tingkat-tingkat status sosial yang membedakan si miskin dan si kaya. Sedikit nampak seperti Fasisme? Mungkin saja. Menurut saya Fasisme lebih baik daripada demokrasi yang carut marut, pemimpin yang lembek serta lamban atau sebuah negara yang tidak memiliki identitas dan harga diri sama sekali. Kembali ke tahun 2012 dimana berbagai jenis pemimpin sudah saling menggantikan satu sama lain, rasa gotong royong yang didasari oleh semangat persamaan itu sudah merupakan barang

langka. Rakyat sudah tidak percaya pada pemimpinnya yang terlalu sering mengumbar janji tanpa bukti. Belum lagi kemunculan borjuisme dalam masyarakat yang melahirkan suatu golongan kebal hukum, bergelimang kemewahan dan mendapat perlakuan khusus dari negara. Keadaan seperti sekarang ini melahirkan suatu masyarakat individualis yang tidak lagi peduli kepada lingkungan sekitarnya. Sejak tahun 1945 sekalipun, kita tidak dapat memungkiri bahwa rakyat sudah mulai dididik untuk saling curiga. Kemunculan beberapa pemberontakan hingga yang terbesar yaitu pemberontakan PKI yang mengarah pada pembantaian massal di beberapa daerah, isu ninja serta dukun santet, aksi bom bunuh diri teroris dan lainnya perlahan telah membangun sekatsekat pemisah dalam tubuh masyarakat yang dicekam oleh rasa takut dan curiga. Lalu televisi ikut menyukseskan propaganda teror dengan memberitakan berbagai aksi kriminalitas, membeberkan trik penipuan atau pencurian dengan hipnotis, mencemarkan nama baik usahausaha kecil dengan cara membesar-besarkan kabar tentang bakso dari daging tikus, gorengan yang digoreng dengan minyak bercampur plastik, pemberian zat pewarna untuk pakaian pada beberapa makanan dan masih banyak lagi yang mungkin memang ada tapi tidak semua bahkan sangat sedikit sekali dapat ditemui diantara rakyat yang benar-benar berusaha untuk mencari nafkah dengan jujur. Maka jangan heran apabila hampir tidak ada lagi tegur sapa, ramah tamah dan senyuman di kota. Semuanya takut dan akan merasa curiga kepada orang yang tidak mereka kenal. Tidak ada lagi istilah tenggang rasa, kepedulian terhadap sesama, solidaritas dan persamaan hak sebagai manusia sehingga sikap gotong royong dan bahu membahu dalam kehidupan masyarakatpun menghilang, kecuali saat memukuli maling. Situasi tersebut menyudutkan golongan masyarakat kelas bawah yang semakin tersudut oleh ke-individualis-an golongan masyarakat lainnya sementara desakan untuk bertahan hidup semakin berat dengan adanya berbagai kenaikan harga hingga akhirnya beberapa individu yang tidak dapat beradaptasi mengambil jalan kriminal untuk bertahan hidup karena didasari oleh pengingkaran terhadap pasal dari UUD tadi yang mungkin terlupakan atau memang sengaja dilupakan atau bahkan memang tidak pernah dipelajari oleh pemerintah yang berkuasa dan sikap apatis dan menutup diri dari golongan masyarakat lainnya sehingga tidak ada lagi keterbukaan, penerimaan, kebersamaan dan kepedulian yang dapat membantu mereka untuk bertahan hidup dalam semangat gotong royong dan saling membantu seperti yang diajarkan oleh guru PPKn saya sewaktu SMU. Tak ada yang hidup selamanya. Demikian pula dengan rokok saya yang setelah menyala dengan gagah dengan asap yang mengepul, kini hanya menjadi bagian dari puluhan puntung rokok yang saling berhimpitan di asbak yang dipenuhi abu termasuk abu rokok itu sendiri. Sedari tadi saya melamun bahkan hingga menerawang ke segala arah namun listrik masih belum menyala kembali. Karena tidak mau melamun lagi tapi juga tidak tahu harus melakukan apa, saya lalu mengambil gitar yang juga harus dihubungkan dengan listrik untuk dapat bersuara dengan garang. Kemudian saya nyanyikan beberapa lagu kalem dari MuktiMukti yang saya hapal ada beberapa lagu kang Mukti yang mendapat tempat khusus di hati saya, khususnya Tak Ada Muda Dalam Hidupku, Menitip Mati, Kabut Tangkuban Parahu, dan sewaktu saya masih kuliah lalu jatuh cinta pada seorang mahasiswi fakultas pertanian yang duduk disebelah saya dalam bus DAMRI, Kembang Padang Ilalang. Tapi karena kamampuan bermain gitar saya hanya sebatas musik bergenre Death Metal, saya hanya bisa memainkan dua lagu kang Mukti saja lagipula lagu kang Mukti itu harus dinyanyikan oleh suaranya kang Mukti sendiri agar terasa jiwanya. Meskipun saya sebetulnya nge-fans, tapi saya hanya dapat tersenyum saja pada kang Mukti padahal kami sering bertemu dalam berbagai kesempatan di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. Kang Mukti seringkali menyuguhkan makanan ringan sambil beramah tamah ke meja saya yang kebetulan selalu

dikerub buti oleh p pelaku-pelak Lembag Propaga ku ga anda dan s simpatisan anarkisnya Kang a. Muktipu selalu di un ikelilingi ol yang tem saya Ar leh man rman Djam mparing sebu golongan tua dari ut lingkup seni rupa yang oran p ngnya itu-itu saja di Bandung. P u B Padahal say ingin me ya engobrol banyak dengan ka Mukti, tapi saya s ang sadar bahwa saya dan kang Muk memiliki bentuk a kti i perlawa anan yang b berbeda terh hadap kead daan sehingg seringan apapun ob ga n brolan yang terjadi, g bisa me enjadi suatu perdebata yang tak berujung karena me u an k eskipun me emiliki tujua yang an sama, ideologi dan metode y n yang kami jalani berbe eda. Jadi, sa menjadi fans rahas yang aya i sia setia sa Saat itu saya sedan memain aja. u ng nkan lagu Nangela dan ketika liri N n iknya berka Ku ata: harus m melangkah d berkata dan a-kata.. Ku harus mena anam kata-kata.., ma saya tin aka nggalkan gitar tersebut dan berjalan ke eluar untuk menikmati suasana s k sore hari ta anpa listrik tersebut dengan rencana un ntuk menikm secangk kopi sam berbinc mati kir mbil cang dengan dua orang satpam n g yang se edang berjag di pintu m ga masuk perum mahan temp saya tinggal. pat

Bandung, 20 Juli 2012

Anda mungkin juga menyukai