Anda di halaman 1dari 2

The one-China policy holds that there is but one China and that Taiwan is part of China.

The leaders of both countries have long subscribed to the one-China policy--each insisting on their own government's legitimacy--but the Taiwanese position has eroded over the past few decades as the People's Republic has gained international prominence. Taiwan's softened position is spelled out in its 1991 Guidelines for National Unification, which insists only that a unified China must be "democratic" and "free," not necessarily led by Taiwan. The People's Republic position remains fundamentally unchanged. The controversy dates back to 1949, when the victorious Communists established the People's Republic of China on the mainland, and the defeated Nationalists fled to Taiwan where they continued to claim sovereignty over all of China. Following talks between President Nixon and Chairman Mao Tse-tung in 1972, the U.S. endorsed the one-China policy in the Shanghai communiqu, issued jointly with the People's Republic. The communiqu stated that "all Chinese on either side of the Taiwan Strait maintain there is but one China and Taiwan is a part of China. The United States does not challenge that position." While the U.S. endorsement did not specify which government was legitimate, President Carter formally recognized Beijing as the sole government of China in 1978 and closed its embassy in Taiwan the next year. While the U.S. officially adheres to the one-China policy, it practices a de facto two-China policy. Under the 1979 Taiwan Relations Act, the U.S. sells Taiwan military weapons, and the language of the act warns the People's Republic that any coercive unification efforts would be "of grave concern to the United States." Beginning in the late 1980s, the two Chinas flouted their one-China policies by establishing economic and cultural but not political ties. Last summer Taiwan's President Lee Teng-hui upset this delicate balance by referring to the "state to state relations" between Taipei and Beijing. Chen Shui-bian, elected Taiwan's president in March on a pro-independence platform, has continued to pay lip service to independence--two Chinas--but, out of fear of provoking China, has refrained from explicitly repudiating the one-China policy.

KETUA MPR DUKUNG ONE CHINA POLICY JAKARTA (Majelis) Delegasi Chairman of the National Committee of Chinese Peoples Political Consultative Conference (CPPCC) yang diketuai, Jia Qinglin menemui Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid dalam rangka meminta dukungan pemerintah Indonesia terhadap Kebijakan Satu Cina (One China Policy). Bagi Cina, penyatuan Cina dengan Taiwan merupakan harga mati. Menanggapi permohonan Jia Qinglin tersebut, Hidayat menyatakan dukungannya atas kebijakan One China Policy sebagai salah satu bentuk realisasi prinsip hubungan luar negeri Republik Indonesia yang bebas aktif. Demikian dikatakan Hidayat Nur Wahid usai menerima rombongan delegasi Cina yang dipimpin Jia Qinglin, di Gedung Nusantara III, lantai IX, Senin (27/3). Bentuk dukungan tersebut menurut Hidayat, dapat menjadi modal bagi Cina untuk menyelesaikan persoalan konflik Cina dengan Taiwan dengan cara damai dan benar, karena jika penyelesaian konflik Cina-Taiwan dilakukan secara militer akan berpengaruh terhadap ekonomi dan stabilitas perdamaian di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Dalam kesempatan yang sama Hidayat juga menyampaikan bahwa Cina mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari upaya kelompok yang ingin memisahkan wilayah dari Indonesia. Menurut Hidayat, dalam era globalisasi diperlukan penguatan hubungan termasuk hubungan antara pemerintah dengan pemerintah dan juga antara parlemen dengan parlemen untuk penguatan antar negara, khususnya Indonesia dan Cina.Dalam kesempatan tersebut, kedua pimpinan delegasi juga membicarakan perlunya hubungan kedua negara diperdalam lagi dan implikasinya dalam berbagai bidang, khususnya bidang ekonomi antara kedua negara yang saling menguntungkan.

Menanggapi pertanyaan wartawan soal kunjungan Jia Qinglin, Hidayat menyampaikan, bahwa kunjungan Jia Qinglin adalah dalam rangka pengembangan demokratisasi yang sesuai dengan kondisi negara masing-masing yang khas. Selain itu, Hidayat menilai hubungan Indonesia-Cina tidak hanya dikuatkan dari sisi bisnis tapi juga perlu penguatan antar parlemen. Dijelaskan Hidayat, kunjungan Jia Qinglin selama 4 hari tersebut juga memfokuskan pada kesatuan Cina dengan Taiwan. Jia Qinglin merupakan orang kedua di Cina yang menginginkan hubungan kedua negara lebih dipererat lagi dengan harapan dapat memberikan keuntungan dan mensejahterakan warga dari kedua negara, ungkap Hidayat. Ditambahkannya bahwa agenda Jia Qinglin berikutnya adalah pertemuan dengan Pimpinan DPD dan siangnya akan menemui Wakil Presiden dan Presiden. (ne2ng)

Cina Minta Indonesia Dukung One China Policy Besar Kecil Normal TEMPO Interaktif, Jakarta:Cina meminta Indonesia mendukung secara konkret One China Policy. Hal ini disampaikan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Cina Jia Qinglin ketika menemui Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Hidayat Nurwahid di gedung MPR/DPR RI kemarin. Menurut Hidayat, dalam pertemuan itu Jia menyatakan bahwa kesatuan Cina merupakan harga mati. "Mereka menyatakan tidak ada kemerdekaan Taiwan," kata Hidayat kepada pers. Hidayat menyatakan MPR mendukung permintaan Cina itu. Ini dilakukan dalam rangka saling memberikan dukungan kedaulatan bagi masing-masing negara. "Dan itu harus dilakukukan oleh Pemerintah Cina dengan cara damai," ujarnya. Penyelesaian dengan cara damai itu agar tidak terjadi gonjang-ganjing politik yang dapat berakibat negatif. Karena, menurut Hidayat, hal itu tidak hanya berpengaruh bagi Cina saja. Bahkan dapat meluas hingga Asia Selatan dan Asia Tenggara. Kalau diselesaikan dengan cara militer, jelas akan mengganggu dan menimbulkan dampak buruk yang berkepanjangan," tutur Hidayat. Kondisi tersebut tentunya juga akan mempengaruhi perekonomian dan keamanan. Dalam pertemuan tersebut Cina juga menyatakan mendukung kedaulatan penuh bagi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai