Anda di halaman 1dari 8

Pong! Bandung, 15 Juni 2012 Assalaamualaikum, Pong!

Aku yakin bahwa di suatu tempat di sana, kamu bisa membaca suratku ini. Surat yang kutulis dengan sedikit sesal; dengan lelehan air mata yang sesungguhnya, bukan tangisan artifisial yang hanya jadi seremoni wajib di pemakaman. Kutuliskan surat ini untukmu, hanya untukmu, walau mungkin kubiarkan segenap semesta ikut membaca suratku ini. Pong! Kamu masih ingat saat pertama kali kita bertemu? Aku yakin kamu pasti tidak terlalu mengingatnya. Ingatanmu kan payah? :-D Biar kuberitahu, aku masih bisa mengingat dengan jelas kapan pertama kali aku bertemu denganmu: Pada hari Senin tanggal 23 Agustus 1999, hari pertama Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) FPBS IKIP Bandung (Waktu itu IKIP belum menjadi UPI) di Lembur Bitung. Saat acara pengkondisian Mahasiswa Baru, salah seorang anggota Komisi Disiplin (Komdis) mendorong tubuhku terlalu keras, hingga aku terjatuh dan telapak tanganku berdarah. Salah seorang panitia lainnya lalu menyuruhku menuju Pos P3K untuk mendapatkan obat antiseptik. Di Pos P3K itulah pertama kalinya aku melihatmu. Aku melihat sesosok manusia kuruskering dengan barisan gigi yang tidak lengkap sedang duduk di atas blankar. Kau tahu kesan pertama di otakku saat melihatmu? Waktu itu, pikiranku berkata: Ieu jelema pasti pecandu Narkoba, soalna awakna begang jeung huntuna beak. Pasti huntuna beak alatan loba ngaganja jeung nginum. Aku juga masih ingat: Adalah seorang Epong dengan gaya ceplas-ceplosnya yang pertama kali membuka percakapan saat itu, Kunaon, maneh? tanyamu. Getihan, jawabku sambil memperlihatkan telapak tangan yang berdarah, Disuntrungkeun ku Komdis. Ai maneh kunaon?. Urang gering, teu bisa milu pengkondisian. Gering naon?

Jantung. Itulah saat pertama aku mengenalmu, menjadi saat pertama pula aku tahu bahwa kau memiliki sesuatu dengan jantungmu. Pong! Setelah momen pertama itu, kau tak lebih dari seorang kenalan biasa untukku. Kau ingat? Waktu itu kita cuman bilang hay-hay sambil saling melambaikan tangan jika bertemu. Sudah, tak lebih dari itu. Tapi, kau juga tentu ingat bahwa kita memang relatif sering bertemu, atau berpapasan. Mudah dipahami, bukan? Karena saat itu banyak kegiatan mahasiswa baru yang membuat kita sering beririsan, seperti Tutorial PAI, kaderisasi di level fakultas, dan lainnya. Pong! Apa kau ingat? Bahwa momen yang mulai mendekatkanku denganmu terjadi sekira awal tahun 2000, antara bulan Maret atau April. Saat itu ada isi ulang keanggotaan Kongres Mahasiswa FPBS, kita sama-sama menjadi anggota Kongres: kau mewakili AESF (yang saat itu baru terbentuk, setelah HMJ Diksasi pecah), sementara aku mewakili ESA. Sejak saat itu, kita sering berdiskusi tentang berbagai hal: mulai dari gosip selebriti, sampai karut-marutnya korupsi di Indonesia. Seiring intensitas pertemuan dan percakapan ketika itu, lambat laun, aku mulai memahami bahwa sebetulnya kita memiliki banyak sekali perbedaan lebih banyak perbedaannya daripada kesamaannya. Tapi saat itu pula kita belajar bahwa berbeda bukan berarti tak bisa bersahabat. Justru perbedaan itulah yang membuat kita sering berdiskusi berjam-jam untuk membicarakan sudutpandang masing-masing: saling mengritik, saling memberikan masukan, dan yang paling seru adalah saling meledek. Apa kau ingat? Aku sering meledekmu soal gigimu yang tidak lengkap, sementara kau sering meledek cara berpakaianku yang menurutmu mirip hippies Amerika tahun 70-an. Tapi kita tidak pernah tersinggung atau sakit hati, adu-ledek itu justru membuat aku dan kamu semakin akrab. Pong! Soal diskusi ini, aku belum pernah menemukan orang sepertimu: orang yang bisa duduk berjam-jam hanya untuk mengobrol denganku. Selain dirimu, hanya istriku yang bisa melakukan itu, Pong. :-D Pong! Masihkah kau ingat? Masa-masa paling emosional dan syahdu dalam rentang persahabatan kita antara tahun 2001 hingga 2002. Awalnya, kau menjadi Ketua Komisi Pengkajian Kebijakan dan Strategi Gerakan di Senat KM FPBS UPI. Kebetulan aku menjadi salah seorang anggota di

komisimu. Posisi itu hanya kau jabat sekira 4 bulan, sebelum kau mengundurkan diri. Inilah salah satu kelebihanmu, Pong: kau tidak pernah memaksakan sesuatu di luar kadar kemampuanmu. Aku masih mengingat alasan pengunduran dirimu waktu itu: bahwa kondisi fisikmu tidak memungkinkan dirimu terlalu sibuk. Kemudian, aku menggantikanmu pada posisi Ketua Komisi tersebut, sementara kau berganti menjadi anggota. Pada tahun itu juga kau mulai menetap di Gedung Pentagon, tinggal di Sekretariat AESF. Sementara aku sudah lebih dulu menetap di Pentagon, di sekretariat ESA, sejak beberapa bulan sebelumnya. Gedung butut itulah yang menjadi saksi bagaimana kita sering menghabiskan waktu bersama, terutama antara sore sampai malam. Pong! Apa kau juga ingat? Bagaimana kita sering makan siang bersama, duduk sambil minum kopi atau teh bersama di balkon muka jendela AESF sambil menatap bintang di waktu malam, berkebun (acara jalan-jalan sambil memetik buah-buahan atau dedaunan yang bisa dikonsumsi di antara pepohonan di kampus UPI), plus (tentu saja) makan malam ala Pentagon: nasi liwet pus sambel cap GOMIS (GOlongan MISkin). Masihkah kau ingat? Anak-anak Jurusan Bahasa Inggris dan Bahasa Perancis ketika itu memang sangat dekat, selain juga dengan anak-anak Bahasa Jerman kedekatan yang terpelihara selama bertahun-tahun. Oya, bicara soal Gomis, Gomis ini adalah kelompok yang sangat unik. Masing-masing anggota Gomis ini punya keunikan tersendiri. Adalah kau yang mendekatkan aku dengan personel Gomis lainnya; dan akhirnya aku tidak hanya bersahabat baik denganmu, Pong, tapi dengan semua personel Gomis lainnya terutama dengan Dante, yang masih tetap rutin keeping-in-touch denganku sampai sekarang. Itulah salah satu kelebihanmu, Pong: seorang Epong adalah jenis orang yang pandai menjaga silaturahim, juga menciptakan tali silaturahim baru di antara orang-orang yang mengenalnya. Pong! Kau ingat? Akhir tahun 2002, kita tidak lagi tinggal bersama. Saat itu aku memutuskan untuk kos di belakang Ledeng, sementara di kisaran waktu yang sama pula kau pindah jurusan ke FIP. Kita tidak lagi sering menghabiskan waktu bersama setiap hari. Tapi kita masih sering meluangkan waktu untuk bertemu dan berdiskusi. Intensitas pertemuanku denganmu lebih berkurang, tapi kualitas persahabatan kita tetap terjaga. Aneh, ya? Padahal kita tak pernah membuat

komitmen soal itu, tidak seperti anak-anak sekarang dengan pola pertemanan artifisial mereka. Kau, Epong, tetap menjadi salah seorang sahabat terbaik bagiku. Kondisi seperti itu masih terus berlangsung hingga tahun 2005. Setelah tahun 2005, intensitas pertemuan kita jauh lebih berkurang karena kesibukan dalam pekerjaan dan rumah tangga masing-masing. Namun kau tentu masih ingat bahwa kita masih meluangkan waktu sesekali untuk bertemu. Pertemuan biasanya berlangsung di tempat di mana ada acara-acara yang berhubungan dengan buku. Oya, buku adalah salah satu dari sedikit kesamaan aku denganmu, ya? Aku mengingat jelas bahwa kita berdua sama-sama menyukai buku dan dunia tulis-menulis. Kamulah, Pong. Kamu adalah salah seorang yang ketika itu membuatku tidak ragu untuk menjadi seorang full-time writer, meninggalkan pekerjaan sebagai guru bahasa Inggris. Maneh mah boga sagalana keur jadi penulis nu sukses, Dhik, katamu dalam suatu kesempatan, enam bulan sebelum Rahasia Kaum Falasha diterbitkan. Betapa ucapan itu kuanggap sanjungan biasa saat itu, kalau bukan ledekan. Kau kan jago meledek? :-D Namun kini, aku menyadari bahwa ucapanmu itu menjadi doa yang mujarab bagiku: buku pertamaku itu sempat menduduki barisan best-seller dalam pasar buku di Indonesia selama 3 bulan. Belakangan, saat aku memutuskan untuk menjadi dosen dan tidak lagi menjadi full-time writer, kau tetap mendukungku dengan seloroh candaannya, Nya sahenteuna teu bisa poligami pamajikan ge ente bisa poligami pagawean. Pong! Kau masih ingat? Kemunculan Facebook di dunia maya pada akhir tahun 2008 menjadi titik-balik persahabatanku denganmu. Karena tidak bisa bertemu secara live, jejaring sosial telah membantu kita untuk bisa berinteraksi setiap hari. Seringnya, kita berbincang melalui facebook chat atau inbox message. Tentu saja, sering pula kita komen-komenan pada status masing-masing. Sejak awal 2009, nyaris tidak ada hari tanpa Epong buatku. Kamu adalah orang yang secara konsisten menghiburku di kala sedih, menyemangatiku di kala gundah, dan menasehatiku di kala aku memang butuh nasehat. Ketika itulah aku menyadari bahwa kau sudah menempati posisi lebih dari sekedar sahabat dalam kehidupanku. Kawan-kawan yang rutin membuka facebook mungkin bisa melihat bagaimana seringnya kita men-tag satu-sama lain dalam beragam posting dan status. Facebook telah mengembalikan masa-masa keemasan dalam persahabatan kita, Pong. Pong!

Rasanya baru kemarin.saat awal 2010, aku dan kamu mulai membuat agenda rutin untuk dihabiskan berdua. Aku masih mengingat kita bertemu sekurangnya satu kali dalam sebulan. Salah satu momen yang sangat berkesan bagiku adalah saat kita pernah sengaja datang ke Taman Balai Kota hanya untuk bertemu dan, seperti biasa, ngobrol selama berjam-jam. Kau ingat? Waktu itu kita duduk di kolam, di samping patung badak, lalu kau memintaku bercerita soal Badak Jawa (Rhinoceros Sondaicus) dan Harimau Jawa (Panthera Tigris Sondaica). Di akhir obrolan kita, masihkah kau ingat saat aku berkata, Harimau Jawa itu punah, Pong. Tapi eksistensinya sebagai simbol orang Sunda tidak pernah mati. Dia ada di logo Kodam Siliwangi, bendera Persib, dan mantra-mantra tradisional. Lalu kau menjawab, Urang ge hayang jiga kitu. Kalau saya mati, saya ingin tetap hidup sebagai simbol untuk sahabat-sahabat saya. Simbol naon? jawabku ketika itu. Simbol sahabat yang positif untuk semua orang. Yah, kini kau mendapatkan apa yang kau inginkan, Pong *hela nafas panjang* Pong! Masih segar dalam ingatanku bahwa salah satu cita-citamu adalah mengumpulkan kembali semua eksponen Pentagon, terutama dari lingkar Inggris-Perancis-Jerman. Lalu, masih hangat pula dalam benakku bahwa pada awal 2011, kau dan aku beberapa kali berkumpul dengan kawan-kawan lainnya. Awalnya aku, kau , Dante, dan Takdir mengagendakan pertemuan sebulan sekali. Selama beberapa bulan, acara kumpul-kumpul ini bisa berjalan dengan baik. Bahkan dalam beberapa kesempatan, anggota pertemuan bisa bertambah. Acara kumpul-kumpul terakhir yang kita adakan berlangsung pada bulan November 2011, saat itu, Eri Kurniawan yang baru pulang dari AS juga bergabung dalam kongkow bersama kita. Entahlah, tapi dalam acara kongkow terakhir itu juga aku mulai mendapat firasat bahwa aku tidak akan bertemu Epong lagi dalam waktu dekat. Perasaan itu juga yang membuatku secara tidak sadar memelukmu, erat sekali, pada saat kita berpisah. Sampai, kemudian kau mendorongku dan berkata, Geus ah, siah! Jiga homo wae nangkeup teh. =)) Waktu kemudian berlalu, Pong. Kita masih saling bertukar kabar. Sampai kemudian aku tahu kau sudah berhenti bekerja di Rumah Pensil pada awal-awal tahun 2012 ini. Dari beberapa chat

via internet, entah bagaimana, firasatku soal kepergianmu sebetulnya makin kuat. Masih hangat saat kau sering bercerita soal kondisimu. Beberapa kali juga ada bagian soal sakitmu yang tidak kau ceritakan, tapi bisa aku ketahui melalui Dante. Kau tentu mafhum bahwa dalam soal menjengukmu, Dante itu lebih rajin daripada aku. Pong! Kenangan pertemuan terakhir kita masih segardalam benakku: Pada hari Ahad tanggal 13 Mei 2012. Sepulang menghadiri acara walimatul ursy Indiana Ayu Alwasilah, aku memaksa Chandra mengantarku ke rumahmu. Saat itu, aku juga mengajak Fachrul Riza, selain Dante yang lebih dulu berinisiatif mengajakku menjengukmu. Kau ingat? saat kami datang, sudah ada Erfan di sana. Kau ingat? Saat kau membuat tweet: Buru kadarieu, ieu sambel bisi beak dilamotan si Erfan? Hahaha =)) Acara itu berlangsung penuh keceriaan, seperti biasanya. Walaupun sebetulnya aku tahu bahwa kedatangan kami saat itu mengganggu jadwal tidur siangmu, Pong. Oya, saat itu sudah hampir empat bulan kau harus selalu tidur siang untuk menjaga kondisi fisiknya. Kau tahu? Acara kita saat itu terasa bagaikan repetisi kumpulan makan di Pentagon: ada nasi, ayam, dan tentu sajasambel yang membuat kita semua makan dengan lahapnya. Ah benar-benar momen yang indah, Pong. Pong! Sayang sekali. Hari-hari terus berlalu, hingga pada awal Juni 2012, aku beberapa kali saling berkirim inbox message denganmu, bertanya soal kondisimu. Aku tahu bahwa kau tidak pernah berbohong soal sakit yang kau rasakan, tapi aku juga melihat bahwa kau tak pernah mengeluh berlebihan. Inilah kelebihanmu yang lain: berpikir positif dan selalu semangat dalam setiap kondisi. Pong! Sampai hari itu pun tibaAhad, 10 Juni 2012 Siapapun yang mengidap asma, tentu tahu bahwa serangan sesak nafas bisa muncul sewaktu-waktu. Pagi itu, masih teramat pagi, pukul enam, asmaku kumat. Padahal sudah hampir 15 tahun aku tak pernah sesak nafas lagi. Tapi saat itu nafasku tercekat, kepalaku pening, dan rasanya sakit sekali. Kabar itu membuatku hilang kesadaran selama beberapa saat. Kabar itu mengalihkan duniaku selama beberapa saat ke alam lain. Saat aku berjalan, saat aku duduk di angkot, orangorang menatap heran ke arahku: melihat bagaimana seorang laki-laki dewasa tanpa segan menangis

sesenggukan di muka umum. Tapi aku sedang berada di alam lain waktu itu. Aku lupa bagaimana rasanya malu. Aku tiba di rumahmu pukul 06.45, Pong. Sudah banyak pelayat yang hadir, tapi aku dan Fachrul menjadi eksponen UPI yang pertama hadir di rumahmu saat itu. Jenazahmu bahkan belum ada di sana saat itu. Ah masih terbayang rasanya duduk di teras rumahmu 28 hari sebelumnya, berbicara dan bercanda sambil makan-makan, lalu situasi kunjungan kami tiba-tiba berubah. 180 derajat. Aku merasa berada di alam mimpi, Pong Saat ambulan datang dan membawa jenazahmu, aku masih tetap merasa bermimpi mimpi yang buruk tentunya. Pong! Penyesalan terbesarku adalah bahwa pada pekan tersebut, aku sempat 3 kali berniat hendak menjengukmu, namun tak satu kalipun dari niat itu yang terlaksana. Aku tak sempat menjumpaimu di hari-hari terakhir perjuangan hidupmu di dunia ini, Pong. Itulah sesal terbesarku, sesal yang masih aku rasakan hingga kini. Maafkan aku, Pong Maaf karena aku tidak sempat menemuimu Tapi sejujurnya, di sisi lain, ada rasa syukur pula saat aku tiba paling awal di antara sahabatsahabatmu yang lain; saat aku ikut menggotong keranda yang membawa jenazahmu dari rumah ke masjid; kemudian menyalatkan jenazahmu; ikut menghantarmu ke peristirahatan terakhirmu; dan berdoa di depan pusaramu yang tanahnya masih basah, aku tahu bahwa tidak semua sahabatmu bisa mendapatkan kehormatan itu. Pong! Tahukah kamu? Satu hari setelah wafatmu, aku agak seperti orang gila. Sayang sekali bahwa aku harus ngantor di kampus yang memberikan sejuta kenangan untuk kita. Saat aku lewat di depan reruntuhan Pentagon, aku tak kuasa membendung air mataku. Masih teringat saat kita lari kejar-kejaran untuk saling banjur, saat kita duduk berdua di teras Pentagon di malam hari sambil menatap bintang. Tahukah kamu? Saat aku lewat di muka pohon nangka yang berada di depan bangunan bekas rumah Pak Syamsul itu, aku lagi-lagi menangis karena ingat kamu. Ah, Epong. Mungkin, di surga nanti, Tuhan akan membuatkan banyak pohon nangka dan pepaya untuk kita panjat, banyak pohon pisang untuk kita ambil daunnya, dan kita jadikan alas makan nasi liwet dan sambel. :-)

Baiklah. Aku akan sudahi saja surat ini. Tanpa harus kuingatkan pun, kuyakin bahwa kau selalu mengingat kisah-kisah yang menjadi kenangan persahabatan kita. Terakhir, sebelum kututup surat ini, biar kukatakan sesuatu: Kamu, Epong, Priyatna, akan selalu mendapatkan tempat di hatiku, sebagai salah seorang sahabat terbaik yang pernah diberikan Tuhan untukku.

Wassalam,

Dhika

Anda mungkin juga menyukai