Anda di halaman 1dari 15

KONSEP DASAR MEDIS BPH (BENIGNA PROSTAT HIPERPLASI) A.

PENGERTIAN Hiperplasia prostat jinak adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker, (Corwin, 2000) Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Price&Wilson (2005) BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002) B. ETIOLOGI Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan bantuan enzim 5- reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan bahwa sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan hormon androgen dan estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen secara retatif. Diketahui estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian tengah, lobus lateralis dan lobus medius) hingga pada hiperestrinism, bagian inilah yang mengalami hiperplasia Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah : a. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut; b. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat;

c. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati; d. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan. Pada umumnya dikemukakan beberapa teori : a. Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel srem. Oleh karena suatu sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral. b. Teori kedua adalah teori Reawekering (Neal, 1978) menyebutkan bahwa jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya. c. Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa dengan bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan terjadinya konversi testoteron menjadi setrogen. ( Kahardjo, 1995). Ada 2 stadium yang mempengaruhi perubahan pada dinding kemih yaitu : a. Stadium dini Hiperplasi prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menyumbat aliran urine sehingga meningkatkan tekanan intravesikel b. Stadium lanjut Terjadi dekompensasi karena penebalan dinding vesika urinaria tidak bertambah lagi residu urine bertambah. Gejala semakin menyolok ( retensi urine clonis ), tonus otot vesika urinaria menurun. Persyarafan para simpatis melemah dan akhirnya terjadi kelumpuhan detsrusor dan spinter uretra sehingga terjadi over flow incontinensia ( urine menetes sacara periodik ) C. PATOFISIOLOGI Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo

(2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat. Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria). Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis

urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

Phatway Perubahan estrogen, testosterone pada laki-laki usia lanjut Peranan growth hormon Lama hidup sel prostat Proliferasi abnormal sel stem

BPH Penyempitan lumen uretra prostatik Aliran urine terhambat Perubahan sekunder kandung kemih

Stadium lanjut Dinding vesika menurun Residu urine Tonus vesika urinaria menurun Saraf parasimpatis melemah

Stadium dini Tekanan intravesika meningkat Kompensasi musculus destrusor Penebalan vesika urinaria Sulit kencing

Kelemahan muscle destrusor Keluhan LUTS (Lower Urinary Tract Symptom) Bertahan lama Mikroorganisme Resiko infeksi Pembedahan (TUR-P) Distensi vesika urinaria

Gangguan rasa nyaman nyeri Resiko ketidak efektifan jalan nafas

Pemasangan kateter Resiko infeksi Resiko inkontinensia pasca kateter

Anastesi -

Nyeri akut Resiko perdarahan Resiko kekurangan cairan Penurunan pengetahuan post operasi Resiko retensi urine pasca operasi

D. MANIFESTASI KLINIS Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow. Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000) 1. IPPS ( International Prostat Symptoms Score ) adalah kumpulan pertanyaan yang merupakan pedoman untuk mengevaluasi beratnya LUTS a. Skor 0-7 : gejala ringan b. Skor 8-19 :gejala sedang c. Skor 20-35 : gejala berat Gejala : a. Obstruktif : hesitansi, pancaran miksi lemah, intermitten miksi tak puas, menetes setelah miksi

b. Iritatif : nocturna, urgensi & disuria. 2. Rectal grading Didapatkan batas atas teraba, menonjal > 1 cm (seperti ujung hidung ) Lobus kanan/kiri simetri & tidak teraba nodul a. Grade 0 : penonjolan 0-1 cm b. Grade 1 : penonjolan 1-2 cm c. Grade 2 : penonjolan 2-3 cm d. Grade 3 : penonjolan 3-4 cm e. Grade 4 : penonjolan >4 cm 3. Clinical grading (berdasarkan residu urine) a. Grade 1 Sejak berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pasien mengeluh kencing tidak puas, pancaran urine lemah, harus mengedan, nocturia (belum terdapat sisa urine) b. Grade 2 Telah terdapat sisa urine (sistitis), nocturia makin sering dan kadang disertai hematuri pada cyctoscopy dinding vesika urinaria menebal karena trabekulasi (hipertropi musculus destrusor) c. Grade 3 Sisa urine mencapai 80-100 ml, infeksi semakin hebat (hiperplexi, menggigil & nyeri pinggang karena cystitis). Trabekulasi semakin banyak. d. Grade 4 Retensi urine total. E. KOMPLIKASI Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000) Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan laboratorium a. Darah lengkap - Untuk menilai kadar Hb, PCV (hematokrit), trombosit, leukosit dan LED - Untuk menilai kemungkinan inflasi akibat statis urine b. Sedimentasi urine - Untuk menilai kemungkinan inflamasi saluran kemih c. Kultur urine - Untuk menentukan jenis bakteri & terapi antibiotik yang tepat d. Renal fungsi tes (BUN/ureum, creatitin) - Untuk menilai gangguan fungsi ginjal akibat dari statis urine e. PSA (Prostatik Spesifik Antigen) - Untuk kewaspadaan adanya keganasan 2. Pemeriksaan radiology a. Foto abdomen polos (BNA/ Blass Nier Averzith) - Untuk melihat adanya batu pada system kemih b. Intravenus phielografi - Untuk menilai kelainan ginjal dan ureter - Untuk menilai penyulit yang terjadi pada fundus uteri c. USG (ultrasonografi) - Untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat 3. Pemeriksaan penendoscopy - Untuk melihat derajat pembesaran kelenjar prostat 4. Pemeriksaan pancaran urine (uroflowmetri) Flowrate maximal >15 ml/ dtk : non obstruktif - Flowrate maximal 10-15 ml/ dtk : border line - Folwrate maximal <10 ml/ dtk : obstruktif G. PENATALAKSANAAN Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan dengan: 1. Observasi

Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur. 2. Medikamentosa a. Penghambat alfa (alpha blocker) Prostat dan dasar buli-buli manusia mengandung adrenoreseptor-1, dan prostat memperlihatkan respon mengecil terhadap agonis. Komponen yang berperan dalam mengecilnya prostat dan leher buli-buli secara primer diperantarai oleh reseptor 1a. Penghambatan terhadap alfa telah memperlihatkan hasil berupa perbaikan subjektif dan objektif terhadap gejala dan tanda (sing and symptom) BPH pada beberapa pasien. Penghambat alfa dapat diklasifikasikan berdasarkan selektifitas reseptor dan waktu paruhnya b. Penghambat 5-Reduktase (5-Reductase inhibitors) Finasteride adalah penghambat 5-Reduktase yang menghambat perubahan testosteron menjadi dihydratestosteron. Obat ini mempengaruhi komponen epitel prostat, yang menghasilkan pengurangan ukuran kelenjar dan memperbaiki gejala. Dianjurkan pemberian terapi ini selama 6 bulan, guna melihat efek maksimal terhadap ukuran prostat (reduksi 20%) dan perbaikan gejala-gejala c. Terapi Kombinasi Terapi kombinasi antara penghambat alfa dan penghambat 5-Reduktase memperlihatkan bahwa penurunan symptom score dan peningkatan aliran urin hanya ditemukan pada pasien yang mendapatkan hanya Terazosin. Penelitian terapi kombinasi tambahan sedang berlangsung d. Fitoterapi Fitoterapi adalah penggunaan tumbuh-tumbuhan dan ekstrak tumbuhtumbuhan untuk tujuan medis. Penggunaan fitoterapi pada BPH telah popular di Eropa selama beberapa tahun. Mekanisme kerja fitoterapi tidak diketahui, efektifitas dan keamanan fitoterapi belum banyak diuji e. Terapi Bedah Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan: 1) TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)

Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra. 2) Prostatektomi Suprapubis Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih. 3) Prostatektomi retropubis Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih. 4) Prostatektomi Peritoneal Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan rektum. 5) Prostatektomi retropubis radikal Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat. f. Terapi Invasif Minimal 1) Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT) Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter. 2) Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP) 3) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD) H. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Perubahan pola eliminasi uri ; sehubungan dengan : a.Mekanisme obstruksi : bekuan darah, edem, truma, prosedur pembedahan. b. Tekanan dan iritasi kateter / balon c.Kehilangan tonus kandung kemih akibat over distersi pada preoperasi atau dekompresi terus-menerus. ditandai dengan : a.Sering kencing, dysuria, inkontinensia, retensi urin. b. Kriteria : Blas penuh, suprapubis tidak nyaman. Tujuan : Jumlah urine normal dan tanpa retensi.

a.Klien mampu mengosongkan kandung kencing setiap 2 - 4 jam. b. Intervensi a.Kaji pengeluaran urine dan sistem drainage atau kateter terutama selama blader irigasi. b. Kaji kemampuan klien untuk mengosongkan kandung kemih contoh, berapa kali klien kekamar mandi untuk buang air kecil. c.Catat waktu, jumlah, ukuran, urine setelah kateter diangkat. d. Anjurkan klien untuk mengosongkan kandung kemih setiap 2 - 4 jam. e.Anjurkan klien banyak minum 2500 - 3000 cc per hari jika tidak ada kontra indikasi. Kurangi minum pada malam hari setelah keteter dilepaskan. f. Anjurkan klien untuk perineal exercise, contoh dengan mengerutkan bokong, menahan urine, baru mengalirkan urine. 2. Resiko tinggi untuk kekurangan volume cairan : sehubungan dengan : a. b. a. b. Perdarahan pada area pembedahan Pembatasan intake preoperasi. Post TUR Prostat hari ke II Masih terpasang kateter dan irigasi drip NaCl 0,9 % Klien mampu melakukan perineal exercise. c.Klien B.a.k 1500 cc / 24 jam.

ditandai dengan :

Tujuan : Kebutuhan cairan klien terpenuhi. Kriteria : Jumlah cairan yang masuk dan keluar seimbang. Intervensi : a. Catat cairan yang masuk dan keluar tiap 8 jam dan total dalam 24 jam. b. Kaji mukosa mulut dan kekenyalan kulit. c. Observasi tanda vital tiap 4 jam atau sesuai kebutuhan. d. Berikan cairan peroral atau infus sesuai program medik ( 2500 - 3000 cc / 24 jam ). 3. Resiko tinggi untuk infeksi : sehubungan dengan : a. Prosedur invasif, instrumentasi selama operasi, kateter, seringnya irigasi kandung kemih.

b. c. d.

Jaringan traumatik, insisi bedah. Refluk urine ke dalam kandung kemih. Terbukanya sistem drainage urine. a. b. c. Post TUR Prostat hari ke II Masih terpasang kateter dengan irigasi drip NaCl 0,9 %. Tujuan : klien terhindar dari resiko infeksi saluran kemih.

ditandai dengan :

Kriteria : a. Tanda vital dalam keadaan normal. b. Urine bersih dan jernih. c. Tidak terasa nyeri. Intervensi : a. b. c. kemih. d. e. f. g. h. kontra i. j. k. l. m. a. b. indikasi Mengukur / mengamati tanda kardinal klien setiap 4 jam atau sesuai kebutuhan. Kolaborasi dengan Tim medis untuk penberian antibiotik atau diagnostik Dengan cara : menggantung urine bag lebih rendah dari kandung Gunakan tehnik aseptik pada saat mengosongkan urine bag. Ganti kateter setiap 7 - 10 hari dengan tehnik aseptik . Irigasi kateter dilakukan dengan tehnik aseptik dan antiseptik Anjurkan klien banyak minum 2500 cc - 3000 cc / hari bila tidak ada kemih.Dan klem kateter bila akan memindahkan klien. Memasang dan melepaskan kateter dengan cara aseptik dan antiseptik. Rawat kateter dengan tehnik aseptik dan antiseptik. Cegah terjadinya refluks urine yaitu kembalinya urine ke kandung

pemeriksaan 4. Nyeri akut : sehubungan dengan : Iritasi mukosa kandung kemih. Spasme otot sehubungan dengan prosedur operasi atau penekanan dari balon

(traksi) ditandai dengan :

a. bawah. b. c. Kriteria : a. b. c. Intervensi : a. b. c. d. e. f. g. h.

Dilaporkannya adanya nyeri pada pangkal alat kelamin dari perut bagian Wajah meringis kesakitan. Respon autonomik

Tujuan : nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan. Klien dapat mengontrol nyeri dengan menggunakan skala nyeri 1 - 10 Klien tampak rileks. Klien dapat beristirahat dengan tenang.

Kaji intensitas nyeri dengan skala 1- 10. Fiksasi kateter dengan cara yang tepat agar tetap stabi sehingga tidak menimbulkan gesekan baru pada mukosa urethra. Fiksasi selang urine pada alat tenun disamping klien dengan menggunakan peniti atau klem yang telah tersedia pada set urine bag. Gunakan kateter menetap dengan nomor atau ukuran yang sesuai agar tidak menimbulkan iritasi pada urethra. Anjurkan pada klien untuk tehnik relaksasi dengan cara menarik napas panjang dan menghembuskannya. Hindari gerakan atau tarikan mendadak pada selang kateter untuk menghindari trauma baru pada urethra. Kempiskan balon kateter sampai habis sebelum melepaskan kateter dan keluarkan kateter secara perlahan. Kolaborasi pemberian analgetik dengan medik bila diperlukan.

5. Resiko tinggi untuk disfungsi seksual: sehubungan dengan : a. b. a. b. Situasi krisis (inkontinensia, kondisi area genital) Perubahan status kesehatan. Pola berkemih saat ini lewat kateter. Post TUR Prostat hari ke II (kemungkinan ada kerusakan N> Pudendes)

ditandai dengan :

Tujuan : klien dapat menerima dan beradaptasi terhadap keadaannya.

Kriteria : a. Klien tampak rileks. b. Klien menyatakan cemas berkurang. Intervensi : a. b. c. kateter. d. a. Berikan kesempatan pada klien untuk saling mengungkapkan perasaan Ciptakan suasana humor pada saat merawat klien. Bila perlu konsulkan dengan pasangannya. pada psikolog atau seksolog. 6. Kurangnya pengetahuan: sehubungan dengan : a. Misinterpretasi informasi b. Tidak familiar dengan informasi yang ada. ditandai dengan : a. Sering bertanya b. Menanyakan ulang informasi c. Kondisi miskonsepsi d. Menunjukkan secara verbal masalahnya. e. Tidak adekuat dalam mengikuti instruksi. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pengetahuan klien meningkat Kriteria : a. Intervensi : b. c. Kolaborasi dengan medik untuk menjelaskan pada klien tentang pengertian, tanda dan gejala, prognosa serta pengobatan Diskusi bersama klien untuk mencegah infeksi saluran kemih Klien memahami tentang : pengertian, tanda dan gejala, prognosa, perawatan dan pengobatan Diskusikan bersama klien tentang anatomi dan fisiologi fungsi seksual Jelaskan pada klien tentang tujuan dan manfaat pemakaian kateter yang Anjurkan klien untuk berdialog dengan sesama klien yang menggunakan secara singkat. menetap.

d. e.

Diskusikan tentang cara mempertahankan aliran urin Diskusikan cara mempertahankan volume cairan tubuh

7. Potensial terjadinya sumbatan/obstruksi aliran urin sehubungan dengan : a. b. Penyumbatan lubang /lumen kateter selang urin karena endapan urine atau bekuan darah Tertekuk atau terpelintirnya kateter Tujuan : Kelancaran aliran urine dapat dipertahankan Kriteria : a. Urine keluar lancar, 1500 cc/24 jam Intervensi : b. Jaga kateter atau selang urine tidak tertekuk/terpelintir c. Gantung urine bag lebih rendah dari kandung kemih d. Bila selang urine terlalu panjang, gulung dan difiksasi diatas tempat tidur disamping klien e. Lakukan irigasi kateter bila macet (kolaborasi dengan dokter) f. Berikan cairan peroral atau infus 2500 - 5000 cc/24 jam (kolaborasi dengan dr)

DAFTAR PUSTAKA Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, vol 1. Jakarta.:.EGC Sjamsuhidajat, R & Wim, de Jong. 200. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi ke-2. Jakarta: EGC Johnson, Marion, Maas, Meridean, and Moorhead, Sue. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) second edition. USA: Mosby.

McCloskey, Joanne and Bulecheck, Gloria M. 1996. Nursing Intervention Classification second edition. USA: Mosby North American Nursing Diagnosis Association. 2001. Nursing Diagnoses : Definition & Classification 2001-2002. Philadelphia

Anda mungkin juga menyukai