Anda di halaman 1dari 9

BAB I PENDAHULUAN

Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Terdapat 3000 spesies ular, 200 spesies
diantaranya termasuk ular berbisa.1 Ular berbisa sebagian besar berasal dari 3 famili yaitu, Hydrophidae (ular laut), Elapidae (contohnya cobra) dan Viperidae (Crotalidae).1 Kasus gigitan ular berbisa 95% disebabkan oleh gigitan ular dari famili Crotalidae. Hawaii merupakan negara bagian amerika serikat yang sering ditemukan ular laut berbisa. Hampir dari seluruh jangkuan wilayah geografik dapat ditemukan ular laut berbisa, namun data yang akurat mengenai penyebarannya tidak tersedia. Korban-korban gigitan ular laut berbisa pada umunya para nelayan yang menggunakan jaring untuk menangkap ikan maupun ular.1

Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini adalah ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus). Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae, Hydropiidae, atau Viperidae.2 Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah). Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan mata (Gbr.1). Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris).2

Gambar 1. Organ pendeteksi panas (pit organ) pada Crotalinae terletak di antara lubang hidung

Korban gigitan ular terutama adalah petani, pekerja perkebunan, nelayan, pawang ular, pemburu, dan penangkap ular. Kebanyakan gigitan ular terjadi ketika orang tidak mengenakan alas kaki atau hanya memakai sandal dan menginjak ular secara tidak sengaja. Gigitan ular juga dapat terjadi pada penghuni rumah, ketika ular memasuki rumah untuk mencari mangsa berupa ular lain, cicak, katak, atau tikus. Tidak ada cara sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa. Beberapa spesies ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun, beberapa ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna, kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saat merasa terancam. Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka bekas gigitan terdapat bekas taring.2
Kasus gigitan ular di Amerika Serikat dilaporkan setiap tahun sekitar 45.000 kasus, namun yang disebabkan oleh ular berbisa hanya 8000 kasus.1-3 .Selama 3 tahun terakhir, the American Association of Poison Control Centers melaporkan bahwa dari 6000 kasus gigitan ular, 2000 diantaranya merupakan gigitan ular berbisa.1 .Kematian diperkirakan terjadi pada 5 sampai 15 kasus dan biasanya terjadi pada anak-anak, orang yang lanjut usia, dan pada kasus yang tidak atau terlambat mendapatkan anti bisa ular. Pasien korban gigitan ular berbisa 15% sampai 40% akan meninggalkan gejala sisa.1 Menurut catatan medik RSCM, kejadian kasus gigitan ular berbisa selama 5 tahun terakhir sebanyak 37 pasien. Pada umumnya korban gigitan ular adalah laki-laki dengan usia antara 17 sampai tahun 35, seringkali dalam kondisi mabuk, sedang melakukan aktifitas berkebun, atau sedang menangkap bahkan bermain dengan ular. Waktu gigitan biasanya terjadi pada malam hari dan gigitan lebih sering terjadi pada ekstremitas. Malik dkk, pada tahun 1992 melakukan penelitian terhadap korban gigitan ular, mendapatkan tempat gigitan pada tungkai atau kaki (83,3%) dan lengan atau tangan (17,7%).1

BAB II BAHASAN

ULAR LAUT BERBISA Ular-ular laut berbisa dari famili elapidae merupakan ular-ular laut yang

menghuni lingkungan laut,

kelompok ini merupakan spesies yang paling banyak

dan merupakan reptil berbisa yang tersebar luas di dunia. Kelompok ini terdiri dari sekitar 70 spesies, 50 di antaranya adalah anggota famili Hydrophiidae.3 Ular laut memiliki ciri-ciri, badan yang kompresi ke arah lateral dan ekor vertikal dan lubang hidung dengan katup seperti flap sehingga tampak seperti belut. Bentuk ciri yang paling khas adalah ekor dayungseperti pedal yang meningkatkan kemampuan renang kelompok spesies ini. Tidak seperti belut, ular-ular laut memiliki sisik dengan sedikit sirip. Meskipun spesies ini

menghabiskan banyak waktu di bawah air namun harus muncul ke permukaan secara teratur untuk bernapas. Ukuran panjang biasanya sekitar 1 meter, tetapi beberapa spesies dapat tumbuh hingga 3 meter. (Lihat gambar 1). 3

Gbr.1 Yellow-belly pelagic sea snake.

Ular laut ditemukan di perairan pesisir terutama di perairan tropis dan subtropis di Pasifik Barat dan lautan Hindia. Spesies ini biasanya ditemukan di perairan pantai yang terlindungi dan dekat muara sungai. Namun, spesies ini mampu untuk berkembang dalam berbagai habitat, mulai dari air kotor atau keruh untuk membersihkan perairan dan terumbu karang. Sebagian besar spesies lebih menyukai perairan dangkal tidak jauh dari darat, terutama di sekitar pulau. Ular laut Pelagis, Pelamis dan platurus, memiliki

jangkauan penyebaran geografis sangat luas hingga mencapai pantai barat Amerika, utara dan Amerika Selatan dari semenanjung Baja ke Ekuador, bahkan sepanjang perairan

sekitar Hawaii. Ular

laut

tidak

ditemukan di

Samudera

Atlantik,

Karibia, atau

di

sepanjang Amerika Utara dan pantai utara Baja. Secara umum, ular laut tidak terlalu agresif dan biasanya cukup jinak. Spesies ini tidak agresif terhadap manusia tanpa diprovokasi terlebih dahulu dan tidak terlalu aktif berenang saat mengejar mangsa. Namun kelompok spesies ini lebih agresif saat diangkat keluar dari air dan menunjukan gerakan yang tidak menentu bahkan menyerang mangsa disekitar.3

BISA ULAR (Venom)


Bisa ular atau venom terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin saja. Venom yang sebagian besar (90%) adalah protein, terdiri dari berbagai macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein non-toksik. Berbagai logam seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin (suatu enzim prokoagulan dari E.carinatusvenom yang mengaktivasi protombin). Karbohidrat dalam bentuk glikoprotein sepertiserine protease ancord merupakan prokoagulan dari C.rhodostoma venom (menekan fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan dipakai untuk mengobati kelainan trombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam jumlah dan variasi yang besar pada Viperidae, mungkin bertanggungjawab terhadap timbulnya rasa nyeri pada gigitan ular. Sebagian besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel vaskular. Enzim venom lain seperti fosfoesterase, hialuronidase, ATP-ase, 5-nuklotidase, kolinesterase, protease, RNA-ase, dan DNA-ase perannya belum jelas.4 Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun.4 Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang ditimbul kannya seperti neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik, sitotoksik, antifibrin, antikoagulan, kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak tunika intima). Selain itu ular juga merangsang jaringan untuk menghasikan zat zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat lambat.4

KLASIFIKASI GIGITAN ULAR BERBISA Klasifikasi gigitan ular berbisa dapat dilihat pada tabel berikut (tabel 1),5

PATOFISIOLOGI DAN GAMBARAN NEUROLOGI Diantara kelompok spesies ini, ada beberapa spesies ular laut yang paling berbisa. Bagian bisa atau venom dari ular laut berbisa sangat sederhana, terdiri dari 2-4 taring pendek di rahang atas, berongga dan saling terkait dengan kelenjar yang memproduksi bisa atau venom. Saluran racun terbuka dekat ujung taring, taring-taring dapat terlepas dari rongganya dan dapat tertanam di kulit tubuh korban saat menyerang mangsa.3 Hampir 80 % dari gigitan ular laut berbisa gagal atau tidak dapat menghasilkan bisa (envenomasi) yang signifikan, gigitan tidak terlalu mencolok, tidak nyeri dan tidak ada edema. Biasanya ada pembengkakan sedikit atau tidak ada dan sangat jarang untuk setiap kelenjar getah bening di dekatnya akan terpengaruh. Namun, bisa ular laut sangat kuat, bahkan oleh ular laut dewasa dapat mengandung cukup racun atau bisa untuk membunuh 3 orang dewasa. Secara klinis, toksin dari ular laut berbisa relevan dengan neurotoksin dan myotoxins. Neurotoksin yang utama menyebabkan paralisis perifer dengan cara mengikat reseptor asetilkolin nikotinat post sinaps

pada neuromuskuler juntion. Potensi miotoksin menjelaskan nekrosis otot yang signifikan dengan konsekuensi adanya myoglobinemia dan hiperkalemia yang mungkin terjadi setelah terkena bisa ular. Bisa ular laut tidak mempengaruhi pembekuan darah pada tingkat yang bermakna.3 Diagnosis envenomasi ular laut mengharuskan pembentukan potensi pemaparan terhadap ular laut (misalnya, terpapar air di daerah yang dikenal dengan ular-ular laut pelabuhan), identifikasi gejala envenomasi, dan menunjukan bukti gigitan

(misalnya,beberapa tusukan luka). Gejala yang timbul melibatkan beberapa sistem organ, dengan gejala neurologis yang lebih dominan. gejala mungkin terjadi pada 5 menit awal atau hingga 8 jam setelah gigitan, tetapi pada umumnya terjadi dalam 2 jam. Gejala awal berupa sakit umum, kekakuan dan kelemahan dari semua kelompok otot, serta nyeri otot dengan peregangan pasif, sering juga terjadi trismus. Keadaan ini diikuti dengan flasid paralisis progresif, dimulai dengan ptosis dan paralisis otot-otot volunter. Paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menelan dan respirasi dapat berakibat fatal. Dalam waktu 8 jam setelah envenomasi, mioglobin sebagai akibat dari kerusakan otot mulai meningkat dalam plasma darah, keadaan ini akhirnya mengarah pada mioglobinuria dan gagal ginjal akut. Jika kerusakan otot semakin berat, dapat terjadi hiperkalemia sehinnga dapat menyebabkan serangan jantung. Secara umum, gejala meliputi:3 Euforia Anxietas Malaise Sakit kepala Mialgia (lebih buruk saat bergerak dan biasanya mengenai empat ekstremitas serta leher dalam waktu 30-60 menit setelah envenomasi atau terkena bisa ular) Arthralgia Ptosis Midriasis dengan reaksi lambat terhadap cahaya Ophthalmoplegia yang dapat menyebabkan diplopia Sialorrhea Trismus Paralisis fasial Paralysis otot (biasanya otot asenden, tipe flasid maupun spastik) Dispnea

Mual, muntah, nyeri perut dan kram-kram Perubahan warna urin (kuning kehitaman sampai coklat kemerahan), dan Oliguria

Adapun temuan pemeriksaan fisik meliputi tanda taring (biasanya 2 atau lebih titik lingkaran kecil, yang awalnya sulit diidentifikasi), reaksi jaringan lokal (biasanya tidak ada atau minimal), paralisis (biasanya asenden), hiporeflexia, hipersalivasi, trismus, paralisis bulbar, ptosis, eksternal ophthalmoplegia, disarthria dan bicara cadel, disfagia, kesulitan dan gagal napas, takipnea, sianosis, apnea, gagal jantung, demam dan limfadenopati.3

BAB III PENUTUP

Berdasarkan bahasan dan referensi yang ada, maka dapat disimpulkan sebagai berikut, 1. Terdapat 3000 spesies ular, 200 spesies diantaranya termasuk ular berbisa. Ular berbisa
sebagian besar berasal dari 3 famili yaitu, Hydrophidae (ular laut), Elapidae (contohnya cobra) dan Viperidae (Crotalidae).

2. Ular-ular laut berbisa dari famili elapidae

merupakan ular-ular laut yang

menghuni lingkungan laut, kelompok ini merupakan spesies yang paling banyak dan merupakan reptil berbisa yang tersebar luas di dunia. Kelompok ini terdiri dari sekitar 70 spesies, 50 di antaranya adalah anggota famili Hydrophiidae. 3. Jangkauan penyebaran ular laut berbisa secara geografis sangat luas hingga mencapai pantai barat Amerika, utara dan Amerika Selatan dari semenanjung Baja ke Ekuador, bahkan sepanjang perairan sekitar Hawaii. Ular laut tidak ditemukan di Samudera Atlantik, Karibia, atau di sepanjang Amerika Utara dan pantai utara Baja. 4. Bisa ular atau venom terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga pengaruhnya tidak dapat
diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin saja. Venom yang sebagian besar (90%) adalah protein, terdiri dari berbagai macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein non-toksik.

5. Gejala awal berupa sakit umum, kekakuan dan kelemahan dari semua kelompok otot, serta nyeri otot dengan peregangan pasif, sering juga terjadi trismus. Keadaan ini diikuti dengan flasid paralisis progresif, dimulai dengan ptosis dan paralisis otototot volunter. 6. Dalam waktu 8 jam setelah envenomasi, mioglobin sebagai akibat dari kerusakan otot mulai meningkat dalam plasma darah, keadaan ini akhirnya mengarah pada mioglobinuria dan gagal ginjal akut. Jika kerusakan otot semakin berat, dapat terjadi hiperkalemia sehinnga dapat menyebabkan serangan jantung. 7. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda taring reaksi jaringan lokal (biasanya tidak ada atau minimal), paralisis (biasanya asenden), hiporeflexia, hipersalivasi, trismus, paralisis bulbar, ptosis, eksternal ophthalmoplegia, disarthria dan bicara cadel, disfagia, kesulitan dan gagal napas, takipnea, sianosis, apnea, gagal jantung, demam dan limfadenopati.

DAFTAR PUSTAKA
Nia niasari, abdul latif, dkk. Gigitan ular berbisa. Sari pediatri FK. UI, vol: 5 hal 92-98. Desember 2003. Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Pedoman Pertolongan Keracunan untuk Puskesmas, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2002. Snyder CC, Mayer TA. Animal, snake, and insect bite. Dalam: Matlak ME, Nixon GW, Walker ML, penyunting. Emergency management of pediatric trauma. Edisi ke-1. Philadelphia: WB Saunders Company. 1985. h. 466-83.

Anda mungkin juga menyukai