Anda di halaman 1dari 15

Puasa dan Berhari Raya Bersama Pemerintah

Posted: 15 Jul 2012 04:00 PM PDT : Dari Abu Hurairah Radhiallahuanhu, bahwasanya Nabi Shallallahualaihi Wasallam bersabda: Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika orang-orang menyembelih (HR. Tirmidzi 632, Ad Daruquthni 385) Dalam lafadz yang lain: , Kalian berpuasa ketika kalian semuanya berpuasa, dan kalian berbuka ketika kalian semua berbuka (HR Ad Daruquthni 385, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya 238) Derajat Hadits At Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan gharib. An Nawawi berkata: Sanad hadits ini hasan (Al Majmu, 6/283). Syaikh Al Albani berkata: Sanad hadits ini jayyid (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/440). Faidah Hadits Pertama: Puasa dan lebaran bersama pemerintah dan mayoritas orang setempat At Tirmidzi setelah membawakan hadits ini ia berkata: Hadits ini hasan gharib, sebagian ulama menafsirkan hadits ini, mereka berkata bahwa maknanya adalah puasa dan berlebaran itu bersama Al Jamaah dan mayoritas manusia. Ash Shanani berkata: Hadits ini dalil bahwa penetapan lebaran itu mengikuti mayoritas manusia. Orang yang melihat ruyah sendirian wajib mengikuti orang lain dan mengikuti penetapan mereka dalam shalat Ied, lebaran dan idul adha (Subulus Salam 2/72, dinukil dari Silsilah Ash Shahihah 1/443)

Al Munawi mengatakan: Makna hadits ini, puasa dan berlebaran itu bersama Al Jamaah dan mayoritas manusia (At Taisiir Syarh Al Jami Ash Shaghir, 2/106) Syaikh Al Albani menjelaskan, bahwa makna ini juga dikuatkan oleh hadits Aisyah, ketika Masruq (seorang tabiin) menyarankan beliau untuk tidak berpuasa Arafah tanggal 9 Dzulhijjah karena khawatir hari tersebut adalah tanggal 10 Dzulhijjah yang terlarang untuk berpuasa. Lalu Aisyah menjelaskan kepada Masruq bahwa yang benar adalah mengikuti Al Jamaah. Aisyah radhiallahuanha berdalil dengan hadits: An Nahr (Idul Adha) adalah hari ketika orang-orang menyembelih dan Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berlebaran (Lihat Silsilah Ahadits Shahihah 1/444) Perlu diketahui, bahwa istilah Al Jamaah maknanya adalah umat Islam yang berkumpul bersama ulama dan penguasa muslim yang sah, mereka yang senantiasa meneladani ajaran Nabi Shallallahualaihi Wasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi. Mengenai istilah ini silakan baca artikel Makna Al Jamaah dan As Sawadul Azham. Maka mengikuti Al Jamaah dalam hal penentuan Ramadhan dan hari raya adalah mengikuti keputusan pemerintah muslim yang sah yang berkumpul bersama para ulamanya yang diputuskan melalui metode-metode yang sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahualaihi Wasallam. Hal ini juga dalam rangka mengikuti firman Allah Taala : Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta ulil amri kalian (QS. An Nisa: 59) Memang bisa jadi imam atau pemerintah berbuat kesalahan dalam penetapan waktu puasa, semisal melihat hilal yang salah, atau menolak persaksian yang adil dan banyak, atau juga menerima persaksian yang sebenarnya salah, atau kesalahan-kesalahan lain yang mungkin terjadi. Namun yang dibebankan kepada kita sebagai rakyat adalah hal ini adalah sekedar taat dan menasehati dengan baik jika ada kesalahan. Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda:

Dengar dan taatlah (kepada penguasa). Karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang wajib bagi mereka (HR. Muslim 1846) Kedua: Urusan penetapan waktu puasa dan lebaran adalah urusan pemerintah As Sindi menjelaskan, Nampak dari hadits ini bahwa urusan waktu puasa, lebaran dan idul adha, bukanlah urusan masing-masing individu, dan tidak boleh bersendiri dalam hal ini. Namun ini adalah urusan imam (pemerintah) dan al jamaah. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk tunduk kepada imam dan al jamaah dalam urusan ini. Dari hadits ini juga, jika seseorang melihat hilal namun imam menolak persaksiannya, maka hendaknya orang itu tidak menetapkan sesuatu bagi dirinya sendiri, melainkan ia hendaknya mengikuti al jamaah (Hasyiah As Sindi, 1/509). Hal ini juga didukung oleh dalil yang lain yang menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa dan lebaran adalah urusan pemerintah. Sebagaimana yang dipraktekan di zaman Nabi. Sahabat Ibnu Umar berkata: Orang-orang melihat hilal, maka aku kabarkan kepada Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bahwa aku melihatnya. Lalu beliau memerintahkan orang-orang untuk berpuasa (HR. Abu Daud no. 2342, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud) Ada seorang sambil menunggang kendaraan datang kepada Nabi Shallallahualaihi Wasallam ia bersaksi bahwa telah melihat hilal di sore hari. Lalu Nabi memerintahkan orang-orang untuk berbuka dan memerintahkan besok paginya berangkat ke lapangan (HR. At Tirmidzi no.1557, Abi Daud no.1157 dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud) Hadits Ibnu Umar di atas menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa diserahkan kepada pemerintah bukan diserahkan kepada masing-masing individu atau kelompok masyarakat.

Ketiga: Persatuan umat lebih diutamakan daripada pendapat individu atau kelompok Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menuturkan: Ketentuan seperti inilah yang layak bagi syariat yang samahah ini yang salah satu tujuannya adalah persatuan ummat dan bersatunya mereka dalam satu barisan. Segala usaha untuk memecah belah umat dengan adanya pendapat-pendapat individu. Pendapat-pendapat individu (walaupun dianggap benar), dalam perkara ibadah jamaiyyah seperti puasa, shalat jamaah, pendapat-pendapat itu tidak teranggap dalam syariat. Tidakkah anda lihat para sahabat Nabi bermakmum kepada sahabat yang lain? Padahal diantara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, keluar darah adalah pembatal wudhu sedangkan sebagiannya tidak berpendapat demikian. Sebagian mereka ada yang shalat dengan rakaat sempurna ketika safar, dan ada yang mengqashar. Namun ikhtilaf ini tidak membuat mereka bersatu dalam satu shaf shalat dan menjadi makmum bagi yang lain dan tetap menganggap shalatnya sah. Itu karena mereka mengetahui bahwa berpecah-belah dalam masalah agama itu lebih buruk daripada kita menyelisihi sebagian pendapat. Pernah terjadi di antara mereka, sebuah kasus adanya sahabat yang enggan mengikuti pendapat imam yang berkuasa dalam sebuah masyarakat yang besar di Mina. Bahkan sampai ia enggan beramal dengan pendapat sang imam secara mutlak karena khawatir terjadi keburukan jika beramal sesuai dengan pendapat sang imam. Abu Daud (1/307) meriwayatkan : ! : ! : Utsman bin Affan radhiallahuanhu shalat di Mina empat rakaat. Maka Ibnu Masud pun mengingkari hal ini dan berkata: Aku pernah shalat bersama Nabi Shallallahualahi Wasallam dua rakaat (diqashar), bersama Abu Bakar dua rakaat, bersama Umar dua rakaat, dan bersama Utsman di awal pemerintahannya, beliau melakukannya dengan sempurna (empat rakaat, tidak diqashar). Setelah itu berbagai jalan (manhaj) telah memecah belah kamu semua. Dan aku ingin sekiranya empat rakaat itu tetap menjadi dua rakaat. Namun setelah itu Ibnu Masud shalat empat rakaat. Ada yang bertanya:

Ibnu Masud, engkau mengkritik Utsman namun tetap shalat empat rakaat?. Ibnu Masud menjawab: Perselisihan itu buruk Sanad hadits ini shahih, diriwayatkan juga oleh Ahmad (5/155) semisal ini dari sahabat Abu Dzar radhiallahuanhu. Renungkanlah hadits ini dan juga atsar yang kami sebutkan, khususnya bagi orang-orang yang selalu saja berselisih dalam shalat mereka, tidak mengikuti para imam masjid. Terutama dalam shalat witir di bulan Ramadhan, dengan alasan beda madzhab. Sebagian mereka juga ada yang menyerukan ilmu falak, lalu mereka berlebaran sendiri lebih dahulu atau lebih akhir daripada mayoritas kaum muslimin, karena menggunakan pendapat dan ilmu falak mereka. Dengan sikap acuh-tak-acuh mereka menyelisihi kaum muslimin. Hendaknya mereka ini merenungkan ilmu yang kami sampaikan, mudah-mudahan mereka bisa memahaminya. Sebagai obat dari kejahilan dan ketertipuan mereka. Sehingga akhirnya mereka bisa bersatu dalam barisan bersama kaum muslimin yang lain, karena tangan Allah bersama Al Jamaah (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/445) Keempat: Isyarat tentang adanya perselisihan umat dalam masalah penetapan puasa Hadits di atas juga merupakan isyarat dari Nabi bahwa akan ada orang dan kelompokkelompok yang menyelisihi petunjuk Nabawi dalam penentuan waktu puasa. Al Mubarakfuri berkata: Sebagian ulama menafsirkan hadits ini, maknanya adalah kabar bahwa manusia akan terpecah menjadi kelompok-kelompok dan menyelisihi petunjuk Nabawi. Ada kelompok yang menggunakan hisab, ada kelompok yang berpuasa atau berwukuf lebih dulu bahkan mereka menjadikan hal itu syiar kelompok mereka, merekalah bathiniyyah. Namun yang selain mereka adalah mengikuti petunjuk Nabawi, yaitu golongan orang-orang yang zhahir alal haq, merekalah yang didalam hadits di atas disebut an naas, merekalah as sawaadul azham, walaupun jumlah mereka sedikit. (Tuhfatul Ahwazi, 3/313) Jika Pemerintah Menggunakan Metode Hisab? Syaikh Dr. Saad asy Syatsri, mantan anggota Lajnah Daimah dan Haiah Kibar Ulama KSA, mengatakan, Seandainya penguasa di sebuah negara menetapkan hari raya berdasarkan hisab maka apa yang seharusnya dilakukan oleh rakyat ketika itu? Hal ini diperselisihkan oleh para ulama.

Mayoritas ulama mengatakan hendaknya rakyat mengikuti keputusan pemerintah. Dosa ditanggung pemerintah sedangkan rakyat bebas dari tanggung jawab terkait hal ini. Alasan mayoritas ulama adalah karena dalil-dalil syariat memerintahkan dan mewajibkan rakyat untuk mentaati pemerintah. Dengan demikian, gugurlah kewajiban rakyat dengan mentaati keputusan pemerintah dan tanggung jawab di akhirat tentang hal ini dipikul oleh pemerintah. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa jika pemerintah menetapkan hari raya berdasarkan hisab maka keputusannya tidak ditaati sehingga rakyat berhari raya sebagaimana hasil rukyah yang benar. Rakyat tidak boleh beramal berdasarkan keputusan pemerintah tersebut. Imam Malik mengatakan bahwa alasannya adalah adanya ijma ulama yang mengatakan bahwa hisab tidak boleh menjadi dasar dalam penetapan hari raya dan dalil-dalil syariat pun menunjukkan benarnya hal tersebut. Dalam kondisi tidak taat kepada pemerintah tidaklah bertentangan dengan berbagai dalil yang memerintahkan rakyat untuk mentaati pemerintah dalam kebaikan semisal hadits Ketaatan kepada makhluk itu hanya berlaku dalam kebaikan dan hadits: Tidak ada ketaatan kepada makhluk jika untuk durhaka kepada Allah KesimpPanduan

Zakat (16): Golongan Penerima Zakat yang Lain

Posted: 14 Jul 2012 04:00 PM PDT Golongan keempat: muallafatu qulubuhum (orang yang ingin dilembutkan hatinya). Bisa jadi golongan ini adalah muslim dan kafir.

Contoh dari kalangan muslim:


1. Orang yang lemah imannya. Ia diberi zakat untuk menguatkan imannya. Syaikh

Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin menjelaskan, Termasuk golongan muallafatu qulubuhum adalah orang yang diharapkan ketika diberikan zakat imannya akan semakin kuat. Orang yang diberi di sini adalah yang lemah imannya seperti sering meremehkan shalat, lalai akan zakat, lalai akan kewajiban haji dan puasa, serta semacamnya.[1] 2. Pemimpin di kaumnya, lantas masuk Islam. Ia diberi zakat untuk mendorong orang kafir semisalnya agar tertarik pula untuk masuk Islam. Contoh dari kalangan kafir: 1. Orang kafir yang sedang tertarik pada Islam. Ia diberi zakat supaya condong untuk masuk Islam. 2. Orang kafir yang ditakutkan akan bahayanya. Ia diberikan zakat agar menahan diri dari mengganggu kaum muslimin.[2] Adapun memberikan zakat bagi orang yang sudah lama masuk Islam dan sudah bagus Islamnya, maka tidak tepat diberikan zakat untuknya karena ia bukan lagi orang yang muallafatu qulubuhum. Wallahu alam. Golongan kelima: pembebasan budak Pembebasan budak yang termasuk di sini adalah: (1) pembebasan budak mukatab, yaitu yang berjanji pada tuannya ingin memerdekakan diri dengan dengan syarat melunasi pembayaran tertentu, (2) pembebasan budak muslim, (3) pembebasan tawanan muslim yang ada di tangan orang kafir.[3] Contoh penyaluran zakat untuk pembebasan budak mukatab: Ada seorang budak yang berjanji pada tuannya ingin merdeka dengan bayaran 10.000 riyal (Rp.25 jt). Enam bulan pertama, ia berjanji membayar 5000 riyal dan enam bulan berikutnya ia membayar 5000 riyal. Maka ketika itu ia diberi zakat maisng-masing 5000 riyal untuk tahap pertama dan kedua.[4] Untuk pembebasan budak mukatab, boleh saja zakat diserahkan pada si budak lalu ia melunasi utangnya pada tuannya. Boleh pula zakat tersebut diserahkan langsung pada

tuannya. Karena dalam ayat digunakan kata fii, yang berarti untuk pembebasan budak dan tidak mesti langsung diserahkan pada budaknya, beda halnya dengan fakir dan miskin.[5] Golongan keenam: orang yang terlilit utang. Yang termasuk dalam golongan ini adalah: Pertama: Orang yang terlilit utang demi kemaslahatan dirinya. Namun ada beberapa syarat yang harus dipenuhi: 1. Yang berutang adalah seorang muslim.
2. Bukan termasuk ahlu bait (keluarga Nabi shallallahu alaihi wa sallam).

3. Bukan orang yang bersengaja berutang untuk mendapatkan zakat. 4. Orang yang berutang bukan dalam rangka maksiat seperti untuk minum minuman keras, berjudi atau berzina, kecuali jika ia bertaubat. 5. Utang tersebut mesti segera dilunasi, bukan utang yang masih tertunda untuk dilunasi beberapa tahun lagi kecuali jika utang tersebut mesti dilunasi di tahun itu, maka ia diberikan zakat.
6. Bukan orang yang masih memiliki harta simpanan untuk melunasi utangnya.

Kedua: Orang yang terlilit utang karena untuk memperbaiki hubungan orang lain. Artinya, ia berutang bukan untuk kepentingan dirinya. Dalil dari hal ini sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Sesungguhnya minta-minta (mengemis) itu tidak halal kecuali bagi tiga orang; yaitu orang laki-laki yang mempunyai tanggungan bagi kaumnya, lalu ia meminta-minta hingga ia dapat menyelesaikan tanggungannya, setelah itu ia berhenti (untuk memintaminta).[6] Ketiga: Orang yang berutang karena sebab dhomin (penanggung jaminan utang orang lain). Namun di sini disyaratkan orang yang menjamin utang dan yang dijamin utang sama-sama orang yang sulit dalam melunasi utang.[7] Mengenai contoh penyaluran zakat pada orang yang berutang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, Jika seseorang memiliki utang 10.000 riyal (Rp.25 jt).

Gaji bulanannya sebesar 2000 riyal (Rp.5 jt). Adapun kebutuhannya dalam sebulan juga 2000 riyal. Maka apakah orang seperti ini diberikan zakat? Iya. Karena pada saat ini dia termasuk orang yang butuh karena terlilit utang. Dia diberikan zakat bukan maksud memenuhi kebutuhan bulanannya karena dari gajinya sudah mencukupi. Ia diberikan zakat untuk melunasi utangnya karena dari sisi ini ia dianggap fakir.[8] Golongan ketujuh: di jalan Allah. Yang termasuk di sini adalah: Pertama: Berperang di jalan Allah. Menurut mayoritas ulama, tidak disyaratkan miskin. Orang kaya pun bisa diberi zakat dalam hal ini. Karena orang yang berperang di jalan Allah tidak berjuang untuk kemaslahatan dirinya saja, namun juga untuk kemaslahatan seluruh kaum muslimin. Sehingga tidak perlu disyaratkan fakir atau miskin. Kedua: Untuk kemaslahatan perang. Seperti untuk pembangunan benteng pertahanan, penyediaan kendaraan perang, penyediaan persenjataan, pemberian upah pada mata-mata baik muslim atau kafir yang bertugas untuk memata-matai musuh.[9] Apakah zakat boleh disalurkan untuk orang yang berniat haji? Ada beberapa pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama menyatakan boleh disalurkan untuk haji dan umroh karena termasuk fii sabilillah. Demikian pendapat ulama Hambali. Sebagian lain mengatakan bahwa boleh disalurkan pula untuk haji dan umroh yang sunnah. Sedangkan mayoritas ulama madzhab menyatakan tidak boleh karena tidak ada kewajiban haji bagi orang fakir.[10] Golongan kedelapan: ibnu sabil, yaitu orang yang kehabisan bekal di perjalanan. Yang dimaksud di sini adalah orang asing yang tidak dapat kembali ke negerinya. Ia diberi zakat agar ia dapat melanjutkan perjalanan ke negerinya. Namun ibnu sabil tidaklah diberi zakat kecuali bila memenuhi syarat: (1) muslim dan bukan termasuk ahlul bait (keluarga Nabi shallallahu alaihi wa sallam), (2) tidak memiliki harta pada saat itu sebagai biaya untuk

kembali ke negerinya walaupun di negerinya dia adalah orang yang berkecukupan, (3) safar yang dilakukan bukanlah safar maksiat.[11] Memberi Zakat untuk Kepentingan Sosial dan kepada Pak Kyai atau Guru Ngaji Para fuqoha berpendapat tidak bolehnya menyerahkan zakat untuk kepentingan sosial seperti pembangunan jalan dan masjid. Alasannya karena sarana-sarana tadi bukan jadi milik individual dan dalam surat At Taubah ayat 60 hanya dibatasi diberikan kepada delapan golongan tidak pada yang lainnya.[12] Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berkata, Tidak boleh menyalurkan zakat untuk pembangunan masjid, pembangunan sekolah (madrosah) dan tidak boleh pulan untuk perbaikan jalan, serta selain itu. Karena penyaluran zakat hanya khusus untuk delapan golongan sebagaimana yang diterangkan dalam ayat dan ayat tersebut ditutup, Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. At Taubah: 60).[13] Begitu pula tidak boleh menyerahkan zakat kepada pak Kyai atau guru ngaji kecuali jika mereka termasuk dalam delapan golongan penerima zakat yang disebutkan dalam surat At Taubah ayat 60. Menyerahkan Zakat kepada Orang Muslim yang Bermaksiat dan Ahlu Bidah Orang yang menyandarkan diri pada Islam, ada beberapa golongan: 1. Muslim yang taat dan menjalankan syariat Islam. Maka tidak meragukan lagi bahwa golongan ini yang pantas diberikan zakat. Jadi seharusnya zakat diserahkan pada orang yang benar-benar memperhatikan shalat dan ibadah wajib lainnya. 2. Termasuk ahlu bidah dan bidahnya adalah bidah yang sifatnya kafir. Orang seperti ini tidak boleh diberikan zakat pada dirinya. Misalnya adalah bidah mengakui ada nabi ke-26.

3. Ahli bidah (yang sifatnya tidak kafir) dan ahli maksiat. Jika diketahui dengan sangkaan kuat bahwa ia akan menggunakan zakat tersebut untuk maksiat, maka tidak boleh memberikan zakat pada orang semacam itu.[14] Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, Sudah seharusnya setiap orang memperhatikan orang-orang yang berhak mendapakan zakat dari kalangan fakir, miskin, orang yang terlilit utang dan golongan lainnya. Seharusnya yang dipilih untuk mendapatkan zakat adalah orang yang berpegang teguh dengan syariat. Jika nampak pada seseorang kebidahan atau kefasikan, ia pantas untuk diboikot dan mendapatkan hukuman lainnya. Ia sudah pantas dimintai taubat. Bagaimana mungkin ia ditolong dalam berbuat maksiat?[15] -bersambung insya AllahPenulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Muslim.Or.Id

[1] Syarhul Mumti, 6: 227. [2] Lihat Al Mughni, 7: 319. [3] Lihat Al Mawsuah Al Fiqhiyah, 23: 320. [4] Syarhul Mumti, 6: 229. [5] Lihat Syarhul Mumti, 6: 229-230. [6] HR. An Nasai no. 2579 dan Ahmad 5: 60. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. [7] Lihat Al Mawsuah Al Fiqhiyah, 23: 321-322. [8] Syarhul Mumti, 6: 234. [9] Lihat Al Mawsuah Al Fiqhiyah, 23: 322-323.

[10] Lihat Syarhul Mumti, 6: 243. [11] Lihat Al Mawsuah Al Fiqhiyah, 23: 323-324. [12] Lihat Al Mawsuah Al Fiqhiyah, 23: 328-329. [13] Syarhul Mumti, 6: 220. [14] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 76-77. [15] Majmu Al Fatawa, 25: 87. ulannya, yang tepat pendapat mayoritas ulama dalam masalah ini itu lebih kuat dari pada pendapat Imam Malik. Sehingga wajib bagi rakyat untuk mengikuti keputusan pemerintah terkait penetapan hari raya sedangkan dosa menjadikan hisab sebagai landasan penetapan hari raya itu ditanggung oleh pemerintah yang memutuskan hari raya berdasarkan hisab (Di kutip dari blog ustadz aris munandar)

Penulis: Yulian Purnama Artikel Muslim.Or.Id

Panduan Zakat (15): Salah Paham dengan Amil Zakat


Posted: 12 Jul 2012 04:00 PM PDT Golongan ketiga: amil zakat Amil zakat tidak disyaratkan termasuk miskin. Karena amil zakat mendapat bagian zakat disebabkan pekerjaannya. Dalam sebuah hadits disebutkan, Tidak halal zakat bagi orang kaya kecuali bagi lima orang, yaitu orang yang berperang di jalan Allah, atau amil zakat, atau orang yang terlilit hutang, atau seseorang yang

membelinya dengan hartanya, atau orang yang memiliki tetangga miskin kemudian orang miskin tersebut diberi zakat, lalu ia memberikannya kepada orang yang kaya.[1] Ulama Syafiiyah dan Hanafiyah mengatakan bahwa imam (penguasa) akan memberikan pada amil zakat upah yang jelas, boleh jadi dilihat dari lamanya ia bekerja atau dilihat dari pekerjaan yang ia lakukan.[2] Siapakah Amil Zakat? Sayid Sabiq rahimahullah mengatakan, Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk amil zakat adalah orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan ternak zakat dan juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat.[3] Adil bin Yusuf Al Azazi berkata, Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas yang dikirim oleh penguasa untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat. Demikian pula termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat serta orang-orang yang membagi dan mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka itulah yang berhak diberi zakat meski sebenarnya mereka adalah orang-orang yang kaya.[4] Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang kaya. Sedangkan orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat[5] untuk mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai wakil. Akan tetapi jika mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan maka mereka turut mendapatkan pahala. Namun jika mereka meminta upah karena telah mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah dari hartanya yang lain bukan dari zakat.[6] Syaikh Ibnu Utsaimin menerangkan pula, Orang yang diberi zakat dan diminta untuk membagikan kepada yang berhak menerimanya, ia tidak disebut amil. Bahkan statusnya hanyalah sebagai wakil atau orang yang diberi upah. Perbedaan antara amil dan wakil begitu jelas. Jika harta zakat itu rusak di tangan amil, maka si muzakki (orang yang menunaikan

zakat) gugur kewajibannya. Sedangkan jika harta zakat rusak di tangan wakil yang bertugas membagi zakat (tanpa kecerobohannya), maka si muzakki belum gugur kewajibannya.[7] Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai amil zakat adalah diangkat dan diberi otoritas oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya sehingga panitia-panitia zakat yang ada di berbagai masjid serta orangorang yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil secara syari. Hal ini sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pihak tertentu. Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orangorang yang menolak untuk membayar zakat. Berapa besar zakat yang diberikan kepada amil? Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin menjelaskan, Ia diberikan sebagaimana upah hasil kerja kerasnya.[8] -bersambung insya AllahPenulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Muslim.Or.Id [1] HR. Abu Daud no. 1635. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih [2] Lihat Al Mawsuah Al Fiqhiyah, 23: 319-320. [3] Fiqh Sunnah, 1: 353. [4] Tamamul Minnah, 2: 290. [5] Ini seperti keadaan badan atau lembaga zakat atau takmir masjid di negeri kita yang sebenarnya status mereka adalah sebagai wakil dan bukan amil zakat. [6] Majalis Syahri Ramadhan, hal 163-164. [7] Syarhul Mumti, 6: 224-225. [8] Syarhul Mumti, 6: 226.

Anda mungkin juga menyukai