Anda di halaman 1dari 4

Pengertian pencurian menurut hokum dalam pasal 362 KUHP, adalah Barang siapa mengambil suatu benda yang

seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 900,00". Teori Kontrol Perspektif kontrol adalah perspektif yang terbatas untuk penjelasan delinkuensi dan kejahatan. Teori ini meletakkan penyebab kejahatan pada lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial dengan masyarakat, atau macetnya integrasi sosial. Kelompk-kelompok yang lemah ikatan sosialnya (misalnya kelas bawah) cenderung melanggar hukum karena merasa sedikit terikat dengan peraturan konvensional. Jika seseorang merasa dekat dengan kelompok konvensional, sedikit sekali kecenderungan menyimpang dari aturan-aturan kelompoknya. Tapi jika ada jarak sosial sebagai hasil dari putusnya ikatan, seseorang merasa lebih bebas untuk menyimpang.
Containment Theory yang digagas oleh Reckless (1961) berpendapat bahwa terdapat beberapa
cara pertahanan bagi individu agar bertingkah laku selaras dengan nilai dan norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Pertahanan tersebut dapat berasal dari dalam (intern), yaitu berupa kemampuan seseorang melawan atau menahan godaan untuk melakukan kejahatan serta memelihara kepatuhan terhadap nroma-nroma yang berlaku. Ada juga pertahanan yang berasal dari luar (extern), yaitu suatu susunan hebat yang terdiri dari tuntutan-tuntutan legal dan larangan-larangan yang menjaga anggota masyarakat agar tetap berada dalam ikatan tingkah laku yang diharapkan oleh masyrakatnya tersebut. Dengan demikan, kedua benteng pertahanan ini (intern dan extern) bekerja sebagai pertahanan terhadap norma sosial dan norma hukum yang telah menjadi kesepakatan bagi masyarakat.

Social Bond Theory oleh Travis Hirschi, melihat bahwa seseorang dapat terlibat kejahatan
karena terlepas dari ikatan-ikatan dan kepercayaan-kepecayaan moral yang seharusnya mengikat mereka ke dalam suatu pola hidup yang patuh kepada hukum (Conklin, 1969). Ikatan sosial yang dimaksud oleh Hirschi ini terbagi ke dalam empat elemen utama. Keempat elemen itu adalah attachment, yaitu ikatan sosial yang muncul karena adanya rasa hormat terhadap orang lain; commitment, yaitu pencarian seorang individu akan tujuan hidup yang ideal dan konvendional;involvement, yaitu keterlibatan individu di dalam kegiatan konvensional dan patuh; dan belief, yaitu keyakinan atas nilai dan norma sosial. Ikatan-ikatan sosial ini dibangun sejak masa kecil melalui hubungan emosional alamiah dengan orang tua, guru, teman sebaya. (Bynum & Thompson, 1989).[6]

1. Teori Struktur Sosial Para pakar Teori Struktur Sosial meyakini bahwa kekuatan-keuatan sosial-ekonomi yang beroperasi di alam area-area kelas sosial-ekonomi rendah yang buruk mendorong sebagian besar penduduknya ke dalam pola tingkah laku kriminal. Teori ini terbagi lagi menjadi tiga

teori, yaitu Teori Disorganisasi Sosial, Teori Ketegangan (strain theory), dan Teori Kejahatan Kultural. Teori Disorganisasi Sosial memiliki fokus pada kondisi di dalam lingkungan, di mana terjadinya lingkungan yang buruk, kontrol sosial yang tidak memadai, pelanggaran hukum oleh gang atau kelompok sosial tertentu, dan adanya pertentangan nilai-nilai sosial. Strain Theory memiliki fokus terhadap suatu konflik antara tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya ketidakseimbangan distribusi kekayaan dan kekuatan (kekuasaan). Kondisi seperti ini menyebabkan frustasi bagi kalangan tertentu sehingga berusaha mencari cara alternatif untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Teori ini kemudian memiliki turunannya sendiri, yang disebut sebagai Teori Anomi, yaitu teori yang memandang bahwa orang-orang memiliki paham yang sama akan tujuan dari masyarakat, tetapi kekurangan cara untuk mencapainya sehingga mencari jalan alternatif, seperti kejahatan. Teori ini kemudian dapat menjelaskan angka kejahatan kelas bawah yang tinggi. Teori Kejahatan Kultural merupakan bentuk kombinasi dari dua teori sebelumnya (disorganisasi sosial dan strain theory) yang secara bersama-seama menghasilkan budaya kelas rendah yang unik dan bertentangan dengan norma-norma sosial konvensional (sub cultural values in

opposition to conventional values). Subkultur ini kemudian membatasi diri dengan gaya hidup
dan nilai-nilai alternative dan dianggap sebagai pelaku kejahatan ( deviant) oleh budaya normatif. Durkheim lebih lanjut menjelaskan bahwa penyimpangan tersebut terjadi disebabkan oleh kondisi ekonomi di dalam masyarakat. 1. Teori Labeling Menurut Frank Tannenbaum (1938), kejahatan bukan sepenuhnya dikarenakan individu kurang mampu menyesuaikan diri dengan kelompik, tetapi dalam kenyataannya, individu tersebut telah dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kelmpoknya. Oleh karena itu, kejahatan terjadi karena hasil konflik antara kelompok dengan masyarakat yang lebih luas, di mana terdapat dua definisi yang bertentangan tentan tingkah laku mana yang layak. Beragam-Tidaknya Norma-norma yang Berlaku di dalam Kelompok Itu Makin beragam macam norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok-lebih-lebih apabila antara norma-norma itu tidak ada kesesuaian, atau apabila malahan bertentanganmaka semakin berkuranglah efektivitas kontrol sosial yang berfungsi menegakkannya. Dalil ini pernah dibuktikan di dalam sebuah studi eksperimental yang dilakukan oleh Meyers. Dihadapkan pada sekian banyak norma-norma yang saling berlainan dan saling berlawanan, maka individu-individu warga masyarakat lalu silit menyimpulkan adanya sesuatu gambaran sistem yang tertib, konsisten, dan konsekuen. Pelanggaran atas norma yang satu (demi kepentingan pribadi) sering kali malahan terpuji sebagai konformitas yang konsekuen pada

norma yang lainnya. Maka, dalam keadaan demikian itu, jelas bahwa masyarakat tidak akan mungkin mengharapkan dapat terselenggaranya kontrol sosial secara efektif. Otonom-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu. Makin otonom suatu kelompok, makin efektiflah kontrol sosialnya, dan akan semakin sedikitlah jumlah penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di atas norma-norma kelompok. Dalil tersebut diperoleh dari hasil studi Marsh. Penyelidikan Marsh ini dapat dipakai sebagai landasan teoritis untuk menjelaskan mengapa kontrol sosial efektif sekali berlaku di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-kecil dan terpencil; dan sebaliknya mengapa di dalam masyarakt kota besar-yang terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial besar maupun kecil itu kontrol sosial bagaimanapun juga kerasnya dilaksanakan tetap saja kurang efektif menghadapi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.

Nama kriminologi yang ditemukan oleh P. Tonipard (1830-1911) seorang ahli antropologi Perancis, secara harfiah berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan atau penjahat dan logos yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat.
Teori Asosiasi Diferensial (Differential Association Theory) Sutherland menghipotesakan bahwa perilaku kriminal itu dipelajari melalui asosiasi yang dilakukan dengan mereka yang melanggar norma-norma masyarakat termasuk norma hukum. Proses mempelajari tadi meliputi tidak hanya teknik kejahatan sesungguhnya, namun juga motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi yang nyaman yang memuaskan bagi dilakukannya perbuatan-perbuatan anti sosial. Teori Psikoanalitik (Psyco Analytic Theory) Menurut Sigmund Freud, penemu psikonanalisa, hanya sedikit berbicara tentang orang-orang kriminal. Ini dikarenakan perhatian Freud hanya tertuju pada neurosis dan faktor-faktor di luar kesadaran yang tergolong kedalam struktur yang lebih umum mengenai tipe-tipe ketidakberesan atau penyakit seperti ini. Seperti yang dinyatakan oleh Alexander dan Staub (1931), kriminalitas merupakan bagian sifat manusia. Dengan demikian, dari segi pandangan psikoanalitik, perbedaan primer antara kriminal dan bukan kriminal adalah bahwa non kriminal ini telah belajar mengontrol dan menghaluskan dorongan-dorongan dan perasaan anti-sosialnya. Teori Biologis Tingkah laku sosiopatik atau delikuen pada anak-anak dan remaja dapat muncul karena faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah seseorang, juga dapat oleh cacat jasmani yang dibawa sejak lahir. Kejadian ini berlangsung : a. Melalui gen atau plasma pembawa sifat dan keturunan, atau melalui kombinasi gen, dapat juga disebabkan oleh tidak adanya gen tertentu, yang semuanya bisa memunculkan penyimpangan tingkah laku, dan anak-anak menjadi delikuen secara potensial.

b. Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa (abnormal), sehingga membuahkan tingkah laku delikuen. c. Melalui pewarisan kelemahan konstitusi anal jasmaniah tertentu yang menimbulkan tingkah laku delikuen atau sosiopatik. Misalnya cacat bawaan brachydactylisme (berjari-jari pendek) dandiabetes insipidus (sejenis penyakit gula) itu erat berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental. Teori Psikogenesis
Teori ini menekankan sebab-sebab tingkah laku delikuen anak-anak dari aspek psikologis atau isi kejiwaannya. Antara lain faktor intelegensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversal, kecenderungan psikopatologis, dll. Kurang lebih 90 % dari jumlah anak-anak berperilaku jahat berasal dari kalangan keluarga berantakan (broken home). Kondisi keluarga yang tidak bahagian dan tidak beruntung, jelas membuahkan masalah psikologis personal dan adjusment (penyesuaian diri) yang terganggu pada diri anak, sehingga mereka mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga guna memecahkan kesulitan batinnya dalam bentuk perilaku jahat. Ringkasnya, perilaku jahat anak-anak merupakan reaksi terhadap masalah psikis anak-anak itu sendiri.

Teori Sosiogenesis
Landasan berpikir teori ini menyatakan bahwa penyebab tingkah laku jahat pada anak-anak adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya. Misalnya disebabkan oleh pengaruh struktur sosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau internalisasi simbolis yang keliru. Jadi sebab-sebab perilaku jahat itu tidak hanya terletak pada lingkungan familial dan tetangga saja, akan tetapi terutama sekali, disebabkan oleh konteks kulturalnya. Maka perilaku jahat anak-anak itu jelas di pupuk oleh lingkungan sekitar yang buruk dan jahat, ditambah kondisi sekolah yang kurang menarik bagi anak-anak bahkan adakalanya justru merugikan perkembangan pribadi anak. Karena itu, konsep-kunci untuk dapat memahami sebabsebab terjadinya kejahatan anak itu ialah pergaulan dengan anak-anak muda lainnya yang sudah berperilaku jahat.

Anda mungkin juga menyukai