Anda di halaman 1dari 34

1

SISTEM KEKERABATAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM


MENURUT PROFESOR HAZAIRIN

A. PENDAHULUAN
Sejarah tidak pernah mengenal adanya agama atau sistem yang
membicarakan keberadaan karib (dzil qurba) yang lebih mulia daripada Islam.
Sungguh Islam telah menegaskan wasiat (pesan penting) terhadap karib kerabat
dan meletakkan wasiat itu setelah wasiat untuk bertauhid kepada Allah dan
beribadah kepada-Nya. Islam juga menjadikan berbuat baik kepada karib kerabat
itu termasuk sendi-sendi kemuliaan, sebagaimana telah menjadikan hak karib
kerabat untuk mendapatkan hak milik, karena ia adalah orang yang paling dekat
dengan kita. Inilah yang ditegaskan oleh Al Qur'an dengan cara diulang-ulang
lebih dari satu ayat dalam beberapa surat agar benar-benar difahami oleh kita
sebagai anak cucu Adam.
Konsep kekerabatan telah berwujud sejak beberapa dahulu lagi bermula
dari bapak dan ibu sekalian umat manusia yaitu Adam dan Hawa yang melahirkan
Habil dan Qabil. Dari pasangan Nabi Adam as dan Hawa ini maka lahirlah
keturunan umat manusia sekaligus bermulalah konsep kekerabatan sehingga
menjadi sistem kekerabatan yang kompleks.
1

Kekerabatan merupakan salah satu aspek penting yang menjadi bidang
kajian ilmu sosiologi dan antropologi. Ia merupakan institusi yang terdapat dalam
semua lapisan adat dan atau masyarakat di dunia ini. Kekerabatan lahir dari
institusi perkawinan yang membenarkan hubungan seks antara laki-laki dan

1
Di Barat ataupun di Timur, di Selatan atau di Utara sistem ini masih berwujud dan
diamalkan tetapi telah banyak mengalami perubahan. Justeru itu, banyak variasi yang dapat dilihat
dalam sistem kekerabatan di kalangan masyarakat di dunia ini. Dalam Islam sistem kekerabatan ini
adalah sesuatu yang amat penting dalam kehidupan dan pergaulan umat manusia yang semankin
berkembang biak agar silsilah keturunan tidak kacau.
2

perempuan sehingga anak yang lahir dari perkahwinan tersebut diterima oleh
masyarakat, tidak anggap anak zina atau anak haram.
Istilah kekerabatan itu ialah sebuah keluarga itu tidak akan lengkap
sekiranya tidak wujud tiga unsur yaitu bapak, ibu dan anak. Oleh karena itu,
keluarga adalah satu unit sosial yang tekecil bilangannya mengandungi ibu dan
bapak serta anak yang tinggal di dalam sebuah rumah yang sama. Keluarga
merupakan sebuah institusi hasil daripada perkawinan yang disebut sebagai
keluarga asas. ikatan darah atau mempunyai hubungan angkat; menganggotai
sesebuah isi rumah; berhubung antara satu sama lain berdasarkan peranan sosial
masing-masing sebagai suami dan isteri, ibu dan bapak, anak lelaki dan anak
perempuan, kakak dan adik; dan mewujudkan serta mengekalkan sesuatu budaya
yang sama.
Islam sebagai agama terakhir dan menyempurnakan ajaran-ajaran agama
samawi sebelumnya tidak luput untuk memberikan konsep kekerabatan ini.
Sehingga yang pada akhirnya bahwa bentuk kekerabatan dalam hukum Islam
sangat menentukan azas yang berlaku dalam hukum kewarisan. Dalam Al Quran
maupun Sunnah jika dikaji lebih lanjut memang kenyataannya tidak menjelaskan
secara jelas tentang struktur kekerabatan tertentu menurut hukum Islam. Namun
demikian dalam realitasnya dihadapkan berbagai macam bentuk susunan
kekerabatan, meliputi: patrilineal, matrilineal, dan bilateral,
2
yang masing-masing
memiliki implikasi terhadap hukum waris Islam.

2
Patrilineal merupakan bentuk kekerabatan yang menarik garis nasab hanya melalui jalur
bapak atau laki-laki. Matrilineal merupakan bentuk kekerabatan yang menarik garis nasab melalui
jalur ibu atau perempuan semata. Sementara bilateral merupakan bentuk kekerabatan yang
menentukan garis nasab melalui jalur bapak dan ibu. Lihat Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral
Menurut Al Quran dan Hadits, Jakarta: Tintamas,1990, hlm.11. Lihat juga Amir Syarifuddin,
Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1993, hlm.144.
3

B. PEMBAHASAN
1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Keluarga
Pengertian keluarga dapat dilihat dari pengertian sempit dan pengertian
luas. Keluarga dalam pengertian sempit adalah kesatuan masyarakat terkecil
yang terdiri dari suami, isteri, dan anak yang berdiam dalam satu tempat
tinggal.
3
Dalam pengertian luas keluarga adalah apabila dalam satu tempat
tinggal berdiam pula pihakk lain sebagai akibat adanya perkawinan, maka
terjadilah kelompok anggota keluarga yang terdiri dari orang-orang yang
mempunyai hubungan karena perkawinan dan karena pertalian darah.
4

Hubungan keluarga terjadi karena perkawinan dan hubungan darah atau
disebut juga hubungan semenda seperti mertua, menantu, ipar dan anak tiri,
dimana antara suami isteri tidak ada hubungan darah. Hubungan keluarga
karena pertalian darah adalah hubungan karena keturunan, seperti bapak
sampai garis lurus ke atas, anak sampai garis lurus ke bawah, saudara kandung
dan anak saudara kandung lurus menyamping.
Hubungan darah adalah pertalian darah antara orang yang satu dan
orang lain karena berasal dari leluhur yang sama (keturunan leluhur).
5

Hubungan darah itu ada dua garis, yaitu hubungan darah menurut garis lurus ke
atas disebut leluhur, hubungan darah menurut garis ke bawah disebut
keturunan dan hungan darah menurut garis ke samping disebut sepupu.
Daftar yang menggambarkan ketunggalan leluhur antara orang-orang yang
mempunyai pertalian darah disebut silsilah. Dari silsilah dapat diketahui
jauh dekatnya hubungan darah antara orang yang satu dan orang yang lain dari
leluhur yang sama. Jauh dekatnya hubungan darah dapat dinyatakan dengan
istilah atau sebutan dalam hubungan keluarga.

3
Ibid.
4
Ibid., h. 64
5
Ibid., h. 66
4

Garis keturunan sebenarnya hanya memberikan keistimewaan tertentu
dalam hubungan keluarga. Ada tiga hubungan darah dilihat dari garis
ketururunan, yaitu :
a. Patrilinial, hubungan darah yang mengutamakan garis ayah;
b. Matrilinial, hubungan darah yang mengutamakan garis ibu;
c. Parental, bilateral, hubungan darah yang mengutamakan garis ayah dan ibu,
atau garis orang tua.
Patrilinial hubungan darah yang mengutamakan garis keturunan ayah,
kedudukan suami lebih utama dari kedudukan isteri. Dalam perkawinan asabah
lebih berperan sebagai wali nikah, perkawinan dengan sistem jujur, isteri selalu
mengikuti tempat tinggal suami. Dalam kekuasaan orangtua, kekuasaan ayah
(suami) lebih diutamakan daripada kekuasaan ibu (isteri) terhadap anak-anak
dalam hubungan keluarga. Dalam kewarisan, bagian pihak laki-laki selalu lebih
besar daripada bagian perempuan. Dan dalam perwalian, pihakk laki-laki lebih
diutamakan daripada pihak perempuan untuk diangkat sebagai wali anak-anak.
Contoh masyarakat dalam kategori ini adalah Sumatera Selatan, Tapanuli dan
Bugis.
Dalam masyarakat matrilinial hubungan darah yang diutamakan garis
keturunan ibu, kedudukan pihakk isteri lebih utama daripada kedudukan suami.
Keutamaan itu dapat dilihat dalam hal, perkawinan meskipun asabah berperan
sebagai wali nikah, laki-laki dijemput oleh perempuan (suami ikut keluarga
isteri). Dalam hal kekuasaan orangtua, saudara laki-laki isteri mempunyai
kekuasaan utama terhadap anak-anak (kekuasaan paman terhadap anak
kemanakan). Dalam kewarisan saudara laki-laki isteri berperan sebagai mamak
kepala waris. Dan dalam perwalian, saudara laki-laki isteri lebih berperan
sebagai wali terhadap anak kemanakannya. Contoh masyarakat ini adalah
Minangkabau.
5

Parental atau bilateral darah yang mengutamakan garis kedua-duanya
yaitu ayah dan ibu, kedudukan pihak suami dan pihak isteri seimbang. Mereka
bersama-sama mengurus keluarga, kebutuhan sehari-hari, harta benda diurus
dan digunakan untuk kepentingan bersama. Kedudukan pihak suami dan pihak
isteri berimbang dalam kehidupan keluarga, dan dapat dilihat dalam hal
perkawinan asabah sebagai wali nikah, dalam perkawinan tidak dikenal jujur,
suami isteri menentukan bersama tempat tinggal, dalam kekuasaan orangtua
kedua suami isteri mempunyai kekuasaan yang sama dalam keluarga baik
terhadap anak maupun harta. Dalam kewarisan lebih cenderung menuju ke arah
asas bagian yang sama antara laki-laki dan wanita, serta dalam perwalian kedua
suami isteri dapat berperan sebagai wali terhadap anak-anak mereka, namun
dalam pernikahan ayah berperan sebagai wali nikah karena termasuk asabah.
Contoh masyarakat ini adalah Jawa, Madura dan Sunda.
2. Dasar-dasar dan Sistem Kekerabatan Menurut Al Quran
Secara jujur dapat dikatakan bahwa jika dipelajari secara mendalam dan
berdasarkan ilmu pengetahuan tentang berbagai bentuk sistem masyarakat
kaitannya dengan sistem kekerabatan yang bermuara pada aspek ilmu fiqh
munakat yang merujuk kepada ketentuan larangan-larangan perkawian, maka
sistem kekerabatan yang mana sebenarnya dikehendaki oleh Al Quran? Untuk
kesempatan ini penulis akan memaparkan ayat-ayatnya terlebih dahulu yakni
yang terdapat dalam Q.S. al-Nisa (4): 22-24, juga didukung oleh ayat-ayat 11,
12, 176 dalam surat yang sama.
O71gONC +.- EO) gu W
@OE-~-g NuVg` ]^EO u-4OV^1-
_ p) O}7 w7.=O)e -O
u-4-4[^- O}_U VU 4`
E4O> W p)4 ;e4^~E LEEgO4
6

E_U -g)L- _ gOuC4O44
]7g lg4 Egu+g)`
+EOO- Og` E4O> p) 4p~E
+O /.4 _ p) - }74C N-.
/.4 +OjO44 +-4O4
gOg)`+= +U<1- _ p) 4p~E
N. E4Ou=) gOg)`+= +EOO- _
}g` gu4 lOOg4 /ONC .Ogj
u ^E1 774.4-47
774.E44 4p+O;>
_GC C4O^~ 7 4^4^ _
LO_C@O ;g)` *.- Ep) -.- 4p~E
1)U4N V1EO ^
:4 -g^ 4` E4O>
:N_4^e p) - }74C O}_-
/.4 _ p) 4p ;_ /.4
N:U 7+OO- Og` =}-4O> _
}g` gu4 lOOg4 --gONC .E_)
u -^E1 _ ;_4 7+OO-
Og` +^4O> p) - }:4C 7-
/4 _ p) 4p : /.4
O}_U }<V- Og` 7+-4O> _
}g)` gu4 lOOg4 ]OO>
.E_) u ^E1 p)4 ]~E
N_4O [4OONC -U j
E4O^`- N.4 N u eu=q
]7)U lg4 E_u4g)`
+EOO- _ p) W-EO+^~ 4O4-
7

}g` ElgO ;e_ +7.~4O= O)
g+U<1- _ }g` gu4 lOOg4
_/=ONC .Ogj u ^E1 4OOEN
O._N` _ LOOg4 =}g)` *.-
+.-4 v1)U4 _1)UEO ^g
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang
anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua
orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu
dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
12. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai
anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para
isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang
kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian
itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Penyantun.
[272] bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah Karena kewajiban laki-
laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan
memberi nafkah. (lihat surat An Nisaa ayat 34).
[273] lebih dari dua maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan
nabi.
[274] memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a.
mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. berwasiat dengan maksud
8

mengurangi harta warisan. sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat
mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.

4 W-OL> 4` EE4^
74.4-47 ;g)` g7.=Og)4-
) 4` ;~ E-UEc _ +O^^) 4p
LO4= 6^4`4 47.Ec4 EO):Ec
^gg
;e4`@ONO :^OU4N 7+-E_E`q
7>E444 :>4OE=4
7+-O4N4 7+-UE=4
E444 g- E444
geu=1- N:+E_E`q4
/-- 7E4u=O
:>4OE=4 ;g)` gOE=O-
eE_E`q4 7j*.=O)e
N:+:j^44O4 /-- O)
jOONO }g)` N7j*.=O)Oe
/-- +UE=E1 O})_) p)
- W-O+^O7> +UE=E1 ;)_) E
EEE4N_ :^OU4 Nj^UEO4
N:j*.E4 4O-- ;}g`
:)lU; p4 W-ONE;>
-u-4 u-4-u=1- ) 4` ;~
E-UEc ]) -.- 4p~E -4OOEN
V1gOO ^g@
eE4=^-4 =}g`
g7.=Og)4- ) 4` ;eU4`
:N4EuC W =U4-g *.-
9

7^OU4 _ EgOq4 7 E`
47.-4O4 :gO p W-O74:>
7g4O^`) 4-g4^4O` 4OOEN
--g=ON` _ E 7+u4-;4-c-
gO) O}gu+g` O}-O>4*
;-4OON_q LO_C@O _ 4 EEE4N_
7^OU4 E1g +uO=4O> gO)
}g` gu4 gO_C@OE^- _ Ep)
-.- 4p~E 1)U4N V1EO ^gj

22. Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu
amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
23. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu
yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang
dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak
berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
24. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki[282] (Allah Telah menetapkan hukum itu)
sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang
demikian[283] (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan
untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu
kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah
saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu[284]. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[281] maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang
dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan
seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud
dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut Jumhur ulama
termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
10

[282] Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan
bersama-samanya.
[283] ialah: selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An
Nisaa' ayat 23 dan 24.
[284] ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin
yang Telah ditetapkan.
El4^O+^4-OEC ~ +.-
:Og^NC O) g-U^- _ p)
W-N4+O- ElUE- "^1 +O /.4
N.4 eu=q E_U -g^ 4`
E4O> _ 4O-4 .E_@O4C p) -
}74C E= /.4 _ p) 44^~E
u-44L^- E_U pVU<V-
4 E4O> _ p)4 W-EO+^~E
LE4Ou=) L~E}jO w7.=O)e4
@OE-~-)U Nu1g` ]^EO
u-4Ow^1- ))-4:NC +.- :
p W-OwU_> +.-4 ]7)
7/E* l1)U4 ^_g
176. Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)[387]. Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal
dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka
bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya,
dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan),
jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan
jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan,
Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat.
dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
[387] kalalah ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak.
Terjadi perbedaan pendapat dalam memahami maksud kata akhun, ukhtun dan
ikhwatun (saudara) yang ada pada ayat 12 dan 176 surah an-Nisadi atas. Adapun
perbedaan tersebut dapat penulis jabarkan sebagaimana berikut ini:
11


12

a. Jumhur Fuqaha dan Kompilasi Hukum Islam
Jumhur
6
berpendapat bahwa yang dimaksud saudara dalam ayat 12
adalah saudara seibu, sedangkan yang dimaksud saudara dalam ayat 176
adalah saudara sekandung dan seayah. Pengertian saudara seibu pada ayat
12 ini didasarkan kepada petunjuk qiraah sebagian ulama salaf antara lain
Saad bin Abi Waqqas dan juga penafsiran Abu Bakar Shiddiq yang
dinukilkan oleh Qatadah, bahwa Abu Bakar menerangkan dalam salah satu
khutbahnya:
Perhatikanlah, bahwa ayat pertama yang diturunkan dalam surah an-Nisa
dalam urusan pusaka mempusakai diturunkan oleh Allah mengenai pusaka
anak dan orang tua (ayat 11). Ayat kedua diturunkan untuk menjelaskan
pusaka suami, istri, dan saudara tunggal ibu (ayat 12). Ayat yang
mengakhiri surah An Nisa(ayat 176) diturunkan untuk menjelaskan
pusaka-pusaka saudara kandung.
Pengertian di atas dikuatkan oleh penjelasan Allah pada akhir ayat
11 yang menyatakan . Jika mereka lebih dari seorang, maka mereka
berserikat mendapat 1/3. Oleh karena kedudukan saudara-saudara dalam
ayat 12 bukan selaku ashabah, maka memberi pengertian bahwa yang
dimaksud saudara adalah saudara seibu, sebab jika mereka itu saudara
sekandung atau seayah tentulah berkedudukan selaku ashabah sebagaimana
dijelaskan pada akhir ayat 176: (..Dan jika mereka terdiri dari saudara
laki-laki dan perempuan, maka untuk yang laki-laki sebanyak bagian dua
orang saudara perempuan).
Pendapat Jumhur ini diikuti oleh KHI sebagaimana diatur dalam
pasal 181 dan 182. Pasal 181 KHI menyebutkan: Bila seorang meninggal
tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara
perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam. Bila mereka itu dua
orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga. Adapun

6
Fatchur Rahman, 1979, Ilmu Waris, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 301-304
13

pasal 182 berbunyi: Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan
anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah,
maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan kandung atau
seayah tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau
seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua
pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan
saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah
dua berbanding satu dengan saudara perempuan.
Menurut sistem kewarisan Jumhur, semua laki-laki dari jalur laki
termasuk saudara laki-laki berkedudukan sebagai ashabah bi nafsih. Dasar
hukum lembaga ashabah bi nafsih ini adalah hadits Ibnu Abbas : Alhiqu al-
faraidha bi ahliha, fama baqiya fa li aula rajulin zakarin (Berikan saham
itu kepada setiap ahli waris, dan sisanya untuk laki-laki yang dekat).
7

Berdasarkan hadits ini Jumhur menempatkan semua laki-laki dari jalur laki
sebagai ashabah bi nafsih tanpa batas, artinya betapapun jauhnya hubungan
dengan pewaris mereka selalu tampil sebagai ashabah jika ahli waris yang
dekat perempuan. Misalnya, ahli waris terdiri dari anak perempuan dan cicit
laki-laki dari paman (ibnul-ibnil-ibnil-am), maka anak perempuan
mendapat 1/2 dan sisanya untuk cicit laki-lkai paman. Bahkan jika ahli
waris perempuan yang ada itu diturunkan dari garis perempuan (seperti cucu
perempuan dari anak perempuan), mereka tidak mendapatkan bagian sama
sekali karena dipandang sebagai zawil arham, sehingga seluruh harta
warisan pewaris jatuh ke tangan ahli waris ashabah.
Kedudukan saudara sekandung, seayah dan seibu dalam pandangan
Jumhur tidak sama. Saudara sekandung dipandang lebih utama daripada
saudara seayah dan seibu, dan saudara seayah lebih utama dari saudara
seibu. Kekerabatan saudara seibu dipandang paling lemah sehingga tidak

7
T.M. Hasby as-Shiddiqie, 1973, Fiqhul Mawaris, Bulan Bintang, Jakarta, hal.172
14

bisa menghijab semua ahli waris zawil furudl dan tidak bisa menduduki
kedudukan ashabah.
8
Perbedaan derajat ini membawa konsekuensi
terjadinya hijab-mahjub di antara mereka.
1). Bagian Saudara Laki-laki Kandung dan Saudara Laki-laki Seayah
Jumhur menempatkan saudara laki-laki sekandung dan seayah
selalu sebagai zawil ashabah (bi nafsih) sehingga mereka tidak
mempunyai bagian tertentu. Mereka mendapatkan sisa setelah ahli
waris zawil furudl mengambil bagain masing-masing. Sebagai
konsekuensinya, mereka dapat memperoleh bagian yang besar, atau
memperoleh bagian yang kecil tergantung sisa yang ada, bahkan bisa
tidak memperoleh sama sekali jika harta warisan itu habis diberikan
kepada ahli waris zawil furudl. Saudara laki-laki kandung yang
kedudukannya dipandang lebih utama dari saudara laki-laki seayah,
maka saudara laki-laki seayah terhijab oleh saudara laki-laki kandung,
namun saudara laki-laki seibu meskipun kedudukannya paling lemah,
akan tetapi mereka tidak terhijab. Mengenai hal ini akan dijelaskan
dalam pembahasan saudara seibu.
2). Bagian Saudara Perempuan Kandung dan Saudara Perempuan
Seayah
Bagian saudara perempuan kandung menurut Jumhur adalah:
1\2 (setengah) apabila seorang diri, 2/3 (dan dua pertiga) jika dua orang
atau lebih, ushubah (bil ghair) apabila bersama muashibnya, dan
ushubah (maal ghair) apabila bersama anak perempuan dan/atau
bersama cucu perempuan pancar laki-laki. Bagian saudara perempuan
seayah mirip dengan saudara perempuan sekandung hanya ditambah

8
Fatchur Raman, op cit. hal. 322
15

dengan bagain 1/6 sebagai pelengkap dua pertiga apabila bersama
seorang saudara perempuan kandung.
Karena kedudukan saudara sekandung lebih utama daripada
saudara seayah, maka saudara perempuan seayah tidak mendapat
bagian apabila ada saudara laki-laki kandung, atau dua orang saudara
perempuan kandung, atau seorang saudara perempuan kandung ketika
berkedudukan selaku ashabah maal ghair.
3). Saudara Laki-laki dan Saudara Perempuan Seibu
Jumhur dalam prinsip kewarisannya selalu menerapkan asas 2:1
antara laki-laki dan perempuan, akan tetapi khusus untuk saudara seibu
prinsip tersebut ditiadakan karena telah bagian mereka telah ditentukan
oleh Allah dalam surah an-Nisa ayat 12. Saudara laki-laki dan saudara
perempuan seibu diberikan kedudukan dan bagian yang sama yakni 1/6
(seperenam) apabila seorang diri, dan 1/3 (sepertiga) apabila dua orang
atau lebih.
Saudara seibu hanya dapat tampil sebagai ahli waris apabila
pewaris meninggal dalam keadaan kalalah sebagaimana dimaksud
dalam ayat 12 surah an-Nisa, sebab jika tidak dalam keadaan kalalah
saudara seibu pasti terhijab oleh farul-waris laki-laki maupun
perempuan dan ashlul-waris laki-laki. Namun demikian, meskipun garis
kekerabatan saudara seibu dipandang paling lemah dibanding dengan
saudara sekandung dan saudara seayah, akan tetapi saudara seibu tidak
terhijab oleh sekandung maupun saudara seayah. Ketentuan ini
didasarkan kepada ayat 12 surah an-Nisayang memberikan bagian
tetap bagi saudara seibu.
Permasalahan yang dihadapi Jumhur adalah ketika saudara seibu
tampil sebagai ahli waris bersama saudara sekandung yang
16

berkedudukan sebagai ashabah sedangkan bagiannya telah habis
diberikan kepada zawil furudl, maka saudara kandung tidak
mendapatkan bagian sama sekali. Untuk memecahkan permasalahan
ini, maka timbullah apa yang disebut prinsip pembagian musyarakah,
atau juga dikenal dengan kasus Umariyah, atau Minbariyah, atau
Himariyah, atau Hajariyah atau Yammiyah.
9
KHI tidak mengatur secara
detail tentang bagian saudara kecuali yang ada dalam pasal 181 dan
pasal 182, namun dengan memperhatikan beberapa pasal yang
mengatur tentang saudara, antara lain pasal 174 ayat (1) huruf a yang
menetapkan saudara termasuk kelompok ahli waris hubungan darah,
pasal 178 yang mengatur tentang Gharawain, dapat disimpulkan bahwa
bagian saudara dalam KHI sama dengan pendapat Jumhur.
2. Prof. Hazairin
Hazairin
10
tidak sependapat dengan Jumhur dan menolak pembedaan
antara saudara sekandung dan seayah dengan saudara seibu. Menurutnya,
saudara sekandung, seayah dan seibu mempunyai kedududkan sederajat
sehingga tidak dibedakan antara mereka selaras dengan sistem kewarisan
bilateral menurut al-Quran. Argumentasi yang diajukan Hazairin, bahwa
kata-kata yang digunakan dalam al-Quran tidak memberikan perincian
tentang hubungan perasaudaraan, apakah sekandung, seayah atau seibu.
Oleh sebab itu yang dimaksud akhun, ukhtun, ikhwatun adalah saudara
dalam semua jenis hubungan persaudaraan, baik karena adanya pertalian
darah dengan ayah maupun pertalian darah dengan ibu. Perbedaan bagian
saudara antara ketentuan ayat 12 dengan ayat 176, bukan karena perbedaan
pertalian darah antara ayah dan ibu (sekandung, seayah dan seibu),

9
Fatchur Rahman, op cit. hal. 325 9 Hazairin, op cit. hal 50-56
10
Hazairin, op cit. hal 50-56
17

melainkan karena perbedaan keadaan (kasus) yang terjadi. Artinya kasus
kalalah pada ayat 12 tidak sama dengan kasus kalalah pada ayat 176.
Kalalah dalam ayat 12 menurutnya adalah seorang meninggal dunia
dengan tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan saudara dan ayah
masih hidup (bisa ibu sudah meninggal dan bisa ibu masih hidup sehingga
saudara bisa bersama ayah dan ibu sekaligus atau hanya bersama ayah saja).
Bagian saudara 1/6 jika satu orang, dan 1/3 jika lebih satu orang. Ahli waris
lain yang ada, mendapat bagian sesuai dengan ketentuan fardlnya, sedang
ayah mendapat sisa selaku zawil iqrabat.
Adapun kalalah dalam ayat 176 oleh Hazairin dimaknai, seorang
meninggal dunia dengan tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan
saudara dan ayah sudah meninggal (mungkin ibu masih hidup dan mungkin
sudah meninggal, tetapi yang pasti ayah sudah meninggal). Dalam keadaan
ini, bagian saudara 1/2 jika satu orang, dan 2/3 jika lebih satu orang. Ahli
waris lain yang ada misalnya ada janda, duda dan ibu memperoleh fardlnya
masing-masing.
Hazairin juga menolak hadits Ibnu Abbas tentang ashabah.
Pemberian kedudukan ashabah kepada kaum laki-laki tanpa batas seperti itu
tidak sejalan dengan sistem kewarisan al-Quraan yang berbentuk bilateral.
Hazairin mengemukakan dua permasalahan yang dijadikan dasar penolakan
hadits tersebut. Pertama, apa ukuran bagi aula (yang lebih dekat atau
utama)?. Kedua, benarkah hadits tersebut memberikan garis hukum yang
berlaku umum, atau hanya menggambarkan suatu kasus tertentu sehingga
hanya berlaku untuk kasus tertentu itu pula?.
Hazairin memberikan analisis bahwa kata aula pada hadits yang
berbunyi : alhiqu al-faraidha bi ahliha, fama baqiya fa li aula rajulin
zakarin. Pemberian makna laki-laki yang lebih utama/dekat dalam hadits
itu harus diukur dengan ukuran yang telah ditetapkan oleh al-Quran, bukan
18

oleh seseorang yang hanya berdasarkan anggapan masyarakat. Al-Quran
telah menetapkan secara sistematis mengenai kedekatan hubungan
kekerabatan dengan membagi ke dalam beberapa kelompok keutamaan.
Menurutnya, kelompok keutamaan antara orang-orang yang
sehubungan darah itu tidak semata-mata tergantung kepada jauh-dekatnya
antara mereka (misalnya antara cucu dan anak, meskipun cucu lebih jauh
daripada anak tetapi keutamaan mereka sama, kemudian cucu dengan
saudara, meskipun sama-sama dua derajat jauhnya dari si mati, tetapi cucu
lebih utama daripada saudara), dan tidak pula tergantung kepada jenis
kelamin antara laki-laki dengan perempuan (misalnya antara cucu melalui
anak perempuan dengan cucu melalui anak laki-laki, mereka sama-sama
behak mewarisi).
Hazairin juga memberikan analisis dari sudut pandang teori
pertumbuhan garis hukum dalam penyelesaian kasus. Kasus menurutnya
ialah suatu perkara tertentu yang diputuskan hakim. Keputusan itu jika tidak
ada cacatnya dapat diterapkan dalam menyelesaikan kasus-kasus lainnya
sehingga akan menjadi yurisprudensi dan merupakan garis hukum ciptaan
hakim yang berlaku umum.
Dalam garis hukum Islam, Rasul mempunyai kewenangan
menetapkan hukum dan hukum yang ditatpkan oleh Rasul wajib diikuti oleh
umatnya. Akan tetapi kewenangan Rasul menetapkan hukum itu apabila
Allah belum memberikan ketetapan yang pasti dan ketetapan Rasul itu tidak
boleh dan tidak mungkin berseberangan dengan kehendak Allah karena apa
yang diputuskan oleh Rasul selalu didasarkan kepada wahyu (Q.S. an-
Najm:3). Jika ada ketetapan Rasul yang tidak sejalan dengan ketetapan
Allah, maka harus diduga bahwa ketetapan itu bukan dari Rasul, melainkan
orang yang mengatakan adanya ketatapan itulah yang bohong.
19

Untuk menguji kebenaran hadits di atas, Hazairin menyatakan perlu
dihadapkan dengan ketentuan al-Quran yang berhubungan dengannya yaitu
ayat 6 dari surah al-Ahzab dan ayat 75 surah al-Anfal dimana dalam kedua
ayat tersebut ada bagian kalimat yang berbunyi: . dan orang-orang yang
sepertalian darah sebagiannya lebih dekat - lebih utama - dari yang lainnya
menurut ketetapan Allah dalam al-Quran. Yang dimaksud pertalian darah
menurut al-Quran, Hazairin memberikan pengertian pertalian darah
menurut sistem bilateral, dan bukan menurut sistem patrilineal atau
matrilineal atau yang lain.
Lebih lanjut Hazairin mengomentarinya, bahwa karena hadits Ibnu
Abbas di atas tidak memberikan penjelasan mengenai maksud dari orang
laki-laki yang lebih dekat - utama - dari yang lain,, maka keutamaan itu
harus dipahami bahwa dengan menggunakan ketentuan yang ditetapkan al-
Quran. Demikian pula yang dimaksud laki-laki dalam hadits itu haruslah
laki-laki yang lebih dekat dari pada laki-laki lainnya, misalnya anak laki-
laki lebih dekat dengan saudara laki-laki, saudara laki-laki lebih dekat dari
pada paman dan seterusnya.
Berdasarkan analisisnya ini, Hazairin menyimpulkan bahwa hadits
Ibnu Abbas tersebut merupakan ketetapan Nabi dalam menyelesaikan kasus
dimana ada beberapa laki-laki yang derajat keutamaannya berbeda, sehingga
laki-laki yang lebih dekat atau lebih utama yang menerima sisa dari harta
warisan setelah dibagikan kepada zawil furudl.
Lebih lanjut Hazairin memberikan penjelasan bahwa semua hadits
tidak boleh dan tidak mungkin bertentangan dengan al-Quran. Jika ada
hadits yang bertentangan dengan al-Quran, maka orang yang
mengkhabarkan hadits itu yang bohong sehingga khabar atau hadits itu
merupakan kabar bohong. Selain itu juga harus dipahamkan bahwa laki-
20

laki- yang lebih utama itu adalah laki-laki yang lebih dekat dari pada laki-
laki lain.
Berdasarkan pemikirannya itu Hazairin mengambil kesimpulan
bahwa hadits tentang ashabah di atas hanyalah mengenai kasus tertentu yang
tunduk kepada sistimatika al-Quran tentang kelompok keutamaan, di mana
beberapa laki-laki tampil ke depan berkonkurensi.
Pendapat Hazairin yang tidak membedakan antara saudara
sekandung, seayah dan seibu ini diikuti oleh Buku II sebagaimana
disebutkan pada ketentuan huruf (a) angka (6) dan (7) halaman 240.
Ketentuan angka (6) menyebutkan: Seorang saudara perempuan atau laki-
laki (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/6 (seperena) bagian,
apabila terdapat dua orang atau lebih saudara (baik sekandung, seayah
atau seibu) mendapat 1/3 (sepertiga) bagian, jika saudara (baik sekandung,
seayah atau seibu) mewarisi bersama ibu.
Pada angka (7) menyatakan: Seorang saudara perempuan (baik
sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/2 (setengah) bagian, dua orang
atau lebih saudara sekandung, seayah atau seibu (teks aslinya tidak
menyebut kata seibu) mendapat 2/3 (dua pertiga) bagian, jika saudara
perempuan tersebut mewarisi tidak bersama ayah dan tidak bersama
saudara laki-laki atau keturunan laki-laki dari saudara laki-laki.
Meskipun Hazairin tidak membedakan antara saudara sekandung,
seayah dan seibu, namun dalam menetapkan bagian terdapat perbedaan yang
menyolok. Bagian saudara menurut Hazairin:
- 1/6 (seperenam) jika seorang diri, dan 1/3 (sepertiga) jika dua orang atau
lebih ketika saudara bersama ayah, atau bersama ayah dan ibu
berdasarkan an-Nisaayat 12, dan
21

- 1/2 (setengah) jika seorang diri, dan 2/3 (dua pertiga) jika dua orang atau
lebih ketika saudara bersama ibu berdasarkan an-Nisaayat 176).
Menurut Hazairin bagian saudara 1/6 (seperenam) jika seorang diri,
dan 1/3 (sepertiga) jika dua orang atau lebih menurut ketika bersama ayah.
Bagian saudara ketika bersama ibu menurut Hazairin adalah 1/2
(setengah) jika seorang diri, dan 2/3 (dua pertiga) jika dua orang atau lebih.
Ketentuan huruf (a) angka (7) menyebutkan: Seorang saudara
perempuan (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/2 (setengah)
bagian, dua orang atau lebih saudara sekandung, seayah atau seibu
mendapat 2/3 (dua pertiga) bagian, jika saudara perempuan tersebut
mewarisi tidak bersama ayah dan tidak bersama saudara laki-laki atau
keturunan laki-laki dari saudara laki-laki. (teks aslinya tidak ada kata
seibu yang bergaris bawah). Pengertian tidak bersama ayah berarti
bersama ibu. Jika demikian berarti ketentuan huruf (a) angka (7) sama
dengan ketentuan huruf (a) angka (6) yakni sama-sama saudara bersama ibu.
Untuk lebih jelasnya dapat diikuti penjelasan berikut.
Ketentuan huruf (a) angka (6) mengatur tentang saudara bersama
ibu tanpa membedakan antara saudara laki-laki dan saudara perempuan.
Dalam kasus huruf (a) angka (6) ini kita ambil contoh ahli warisnya
seorang saudara perempuan dan ibu. Adapun ketentuan huruf (a) angka
(7) mengatur tentang saudara perempuan tidak bersama ayah (berarti
bersama ibu). Dalam untuk kasus huruf (a) angka (7) ini kita ambil contoh
ahli warisnya seorang saudara perempuan dan ibu.
Dari dua contoh kasus di atas, nyatalah antara contoh kasus huruf (a)
angka (6) dengan contoh kasus huruf (a) angka (7) tidak berbeda yaitu
sama-sama ahli warisnya seorang saudara perempuan dan ibu. Tentu saja
tidak boleh terjadi adanya dua ketentuan yang berbeda mengatur kasus yang
sama.
22

Permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian adalah ketentuan
huruf (b) angka (3) halaman 240 yang intinya menyatakan: Termasuk ahli
waris yang tidak ditentukan bagiannya adalah saudara laki-laki bersama
saudara perempuan bila pewaris tidak meninggalkan keturunan dan ayah.
Ketentaun ini memberikan pengertian bahwa saudara laki-laki dan
perempuan dalam kasus kalalah berkedudukan selaku zawil ashabah (bil-
ghair). Penempatan saudara laki-laki bersama saudara perempuan selaku
ashabah ini tidak sejalan dengan ketentuan huruf (a) angka (6) yang
menempatkan mereka selaku zawil furudl dengan bagian 1/3.
Dalam ketentuan huruf (a) angka (6) dinyatakan: Seorang saudara
perempuan atau laki-laki (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/6
(seperena) bagian, apabila terdapat dua orang atau lebih saudara (baik
sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/3 (sepertiga) bagian, jika
saudara (baik sekandung, seayah atau seibu) mewarisi bersama ibu.
Ketentuan ini tidak membedakan apakah saudara yang jumlahnya dua orang
atau lebih itu semuanya laki-laki atau semuanya perempuan, atau campuran
laki-laki dan perempuan. Sepanjang jumlahnya dua orang atau lebih dan
mewarisi bersama ibu, baik semuanya laki-laki atau semuanya perempuan,
atau campuran laki-laki dan perempuan, mereka mendapat 1/3 bagian.
Dari penjelasan diatas tampak adanya ambiguitas kedudukan saudara
dalam kasus kalalah. Menurut ketentuan huruf (a) angka (6) saudara laki-
laki bersama saudara perempuan ditempatkan dalam kedudukan ashabah bil-
ghair, sedangkan menurut ketentuan huruf (b) angka (3) saudara laki-laki
bersama saudara perempuan ditempatkan dalam kedudukan zawil furudl.
Kalimat EgOq4 7 E` 47.-4O4
:gO yaitu dihalalkan artinya boleh dilarang dan tidak boleh
dicela, semua macam perkawinan yang tidak termasuk ke dalam
perincianlarangan-larangan Quran itu. Dari ayat ini diperoleh petunjuk
23

bahwa semua bentuk perkawinan sepupu tidaklah dilarang, baik cross-
cousins
11
maupun parallel cousins.
12

Dengan dibolehkannya perkawinan sepupu ini berarti tidak berlaku
syarat exogami
13
yang menjadi benteng dan dasar bagi sistem clan dalam
masyarakat yang menganut sistem patrilineal dan matrilinial. Jika clan
telah tumbang maka timbullah masyarakat yang bercorak bilateral. Pada
ketentuan ayat 11 QS An Nisa di atas menjadikan semua anak keturunan,
baik itu laki-laki maupun perempuan sebagai ahli waris bagi ayah dan
ibunya. Hal mana ini merupakan suatu bentuk sistem kekerabatan bilateral,
karena dalam patrilineal prinsipnya sebagaimana yang diuraikan di atas
hanya anak laki-laki saja yang berhak mewaris harta benda, sedangkan
dalam sistem kekerabatan matrilineal anak-anak hanya mewaris dari ibunya,
tidak dari bapaknya. Kemudian dalam dalam ayat 12 dan 176 QS An Nisak
juga mendukung sistem bilateral, yaitu dengan menjadikan saudaranya ahli
waris bagi saudaranya yang mati punah (tak berketurunan), tidak dibedakan
apakah saudara itu laki-laki atau perempuan.
14

Dengan demikian merujuk pada ayat-ayat munakahat dan jika
dikorelasikan dengan ayat kewarisan tersebut ternyata sistem kekerabatan
yang diinginkan oleh al Quran yaitu sistem kekerabatan bilateral yang
mengutamakan garis kedua-duanya yaitu bapak dan ibu, kedudukan pihak
suami dan pihak isteri seimbang. Mereka bersama-sama mengurus keluarga,

11
Cross cousins adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang senenek atau
sedatuk, manakala bapak dari pihakk yang satu merupakan saudara dari ibu pihakk yang lain.
Lebih konkritnya, ibu suami adalah saudara dari ayah isteri ataupun sebaliknya. Hubungan
persaudaraan ini bisa karena seibu, sebapak, atau sekandung. Lihat Hazairin, Hendak,hlm. 5 dan
hlm. 20-21, lhat juga Hazairin, Hukum Kewarisan ...... hlm. 13-14
12
Parallel cousins adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang senenek atau
sedatuk manakala ayah mereka masing-masing bersaudara atau ibu mereka bersaudara, baik
persaudaraan ini seibu, sebapak, maupun sekandung.
13
Exogami artinya larangan untuk mengawini anggota se-clan, atau dengan kata lain
keharusan kawin dengan orang di luar clan.
14
Hazairin, Hukum Kewarisan, hlm. 13-14.
24

kebutuhan sehari-hari, harta benda diurus dan digunakan untuk kepentingan
bersama. Kedudukan pihak suami dan pihak isteri berimbang dalam
kehidupan keluarga, dan dapat dilihat dalam hal perkawinan asabah sebagai
wali nikah, dalam perkawinan tidak dikenal jujur, suami isteri menentukan
bersama tempat tinggal, dalam kekuasaan orangtua kedua suami isteri
mempunyai kekuasaan yang sama dalam keluarga baik terhadap anak
maupun harta. Dalam kewarisan lebih cenderung menuju ke arah asas
bagian yang sama antara laki-laki dan wanita, serta dalam perwalian kedua
suami isteri dapat berperan sebagai wali terhadap anak-anak mereka, namun
dalam pernikahan ayah berperan sebagai wali nikah karena termasuk
asabah.
3. Implikasi Sistem Kekerabatan Menurut Prof. Hazairin terhadap Sistem
Kewarisan
Berdasarkan pada ketentuan ayat tersebut di atas dan jika dipelajari pola
pemikiran Prof. Hazairin, bahwa sistem kekerabatan yang dikehendaki Al
Quran adalah sistem kekerabatan bilateral, maka secara tak lansung juga
membawa implikasi terhadap tentang sistem kewarisan. Menurut Hazairin
karena sistem kekerabatan yang dikehendaki Al Quran adalah sistem
kekerabatan bilateral, maka sistem kewarisan Islam juga berbentuk sistem
kewarisan bilateral.
15
Prof. Hazairin lebih dikenal dalam bidang pakar ilmu
hukum, terlebih dalam hukum adat. Selain itu pengetahuannya tentang tentang
hukum Islam sangat mendalam dan khususnya bidang kewarisan. Melalui
keahliannya dalam bidang hukum adat dan hukum Islam beliau diangkat
sebagai Guru Besar Universitas Indonesia bidang hukum adat dan hukum Islam
pada fakultas hukum pada sidang senat terbuka tahun 1952. Keahliannya dalam

15
Hazairin yang dikenal sebagai pencetus ide bentuk kewarisan bilateral.
25

bidang hukum adat dan hukum Islam, ia sangat faham dengan situasi dan
kondisi hukum Islam di Indonesia bila korelasikan dengan hukum adat.
Snouck Hurgronje dengan teori resepsi (Receptie Teory)
16
yang
dicetuskan pada akhir abad XIX telah menjadikan hukum Islam di Indonesia
terpingirkan oleh hukum adat, yang sebelumnya berlaku Teori Reception in
Complexu yang dimunculkan oleh Van Den Berg.
17
Prof. Hazairin tampil
dengan tidak segan-segan untuk menyebut teori ini Snouck Hurgronje sebagai
Teori Iblis.
18
Untuk mengimbangi teori ini, kemudian beliau mencetuskan
teori baru dengan nama Receptie Exit,
19
yang kemudian ditindak lanjuti oleh
Sajuti Thalib, S.H, dengan teori Receptie a Contrario.
20

Dalam pemikirannya tentang hukum kewarisan Islam dkenal dengan
teori hukum kewarisan bilateral menurut Al Quran telah dipresentasikan pada
tahun 1957. Prof. Hazairin mempertanyakan tentang kebenaran hukum
kewarisan yang dianut kalangan Sunni yang bercorak patrilineal bila
dihadapkan dengan Quran. Dengan keahliannya dalam bidang hukum adat,
hukum Islam, antropologi hukum dan sosiologi hukum beliau mencoba untuk
mengkaji dan mendalami ayat-ayat tentang perkawinan dan kewarisan.

16
Teori ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat jajahan (pribumi) adalah
hukum adat. Hukum Islam hanya menjadi hukum jika telah diterima oleh masyarakat sebagai
hukum adat. Lihat Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2000),hlm. 16
17
Hukum Islam diterima (direpsi) secara menyeluruh oleh umat Islam. Lihat Ibid, hlm.
13
18
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tintamas, 1968, hlm. 5
19
Teori ini menyatakan bahwa teori Receptie harus keluar dari teori hukum nasional
Indonesia karena bertentangan dengan UUD 1945 (terutama pembukaan dan pasal 29) serta
bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah. Penjelasan Hazairin tentang teori ini lihat H.
Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Djuhana S. Pradja
(Pengantar), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung: Rosda
Karya, 1994, hlm. 102 dan hlm. 127-131
20
Teori ini merupakan kebalikan dari teori Receptie, maksudnya hukum yang berlaku
bagi rakyat (pribumi) adalah hukum agamanya. Lihat Ichtijanto, Pengembangan, hlm. 131-136.
Lihat juga Ahmad Rofiq, Op.,Cit.
26

Menurutnya, Al Quran hanya menghendaki sistem sosial atau
kekerabatan yang bercorak kea rah system kekerabatan bilateral. Dengan demikian
hukum kewarisan yang dikehendaki di dalamnya juga bercorak bilateral, bukan
patrilineal seperti yang biasa dikenal selama ini. Prof. Hazairin mencoba
memberikan pemahaman yang baru terhadap hukum kewarisan dalam Islam secara
total dan komprehensif dengan asumsi dasar sistem bilateral yang dikehendaki Al
Quran. Tentu saja sistem ini mempunyai dampak sosial yang luas bila dapat
diterapkan dalam kehidupan khususnya dalam model sistem kewarisan. Suatu hal
yang sangat menarik, bahwa teori ini lebih dekat dengan rasa keadilan masyarakat
adat Indonesia pada umumnya, jika dibandingkan dengan sistem kewarisan
bercorak patrilinial yang selama ini dikenal dalam hukum adat Indonesia.
Sistem kewarisan yang dianut kalangan Sunni sebenarnya terbentuk
dari struktur budaya Arab yang bersendikan sistem kekerabatan yang bercorak
patrilineal. Pada masa awal terbentuknya fiqh, ilmu pengetahuan mengenai
bentuk-bentuk masyarakat belumlah berkembang seperti zaman sekarang,
dengan kata lain kecenderungan pola pemikiran Sunni sangatlah dipengaruhi
situasi zamannya yaitu zaman awal Islam dimana corak kekerabatan tidak
terlepas dari kultur sosiologi dan antropologi masyarakat Arab waktu itu.
Sehingga para Fuqahak dalam berbagai mazhab fiqh yang dapat kita baca,
belum memperoleh perbandingan mengenai berbagai sistem kewarisan dalam
berbagai bentuk masyarakat satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena
itu tidaklah mengherankan bila hukum kewarisan yang kemudian disusun
bercorak patrilineal.
21
Dalam berbagai kitab fiqh Sunni, terdapat tiga pola dan
prinsip dalam kewarisan, yaitu :

21
Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta: Tintamas, 1976), hlm. 3 dan hlm. 11-
12. Di sini Hazairin menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan mengenai bentuk-bentuk
kemasyarakatan yang dimaksud adalah anthropologi sosial (etnologi) yang baru ada pada abad
XIX. Jadi jauh dari masa Islam klasik.
27

a. Ahli waris perempuan tidak dapat menghalangi menghijab ahli waris laki-
laki yang lebih jauh. Contohnya, ahli waris anak perempuan tidak dapat
menghalangi saudara laki-laki.
b. Hubungan kewarisan melalui garis keturunan pihak laki-laki lebih
diutamakan daripada garis keturunan perempuan. Pengelompokkan ahli
waris model ini menjadikan ahli waris terdiri dari ashabah dan zawu al-
arham merupakan contoh yang jelas. Ashabah merupakan ahli waris
menurut sistem patrilineal murni, sedangkan zawu al-arham adalah
perempuan-perempuan yang bukan zawu al-faraid dan bukan pula
ashabah.
22

c. Dalam konsep Sunni ini tidak mengenal ahli waris pengganti (mal waris),
semua mewaris karena dirinya sendiri. Sehingga cucu yang orangtuanya
meninggal lebih duhulu daripada kakeknya, tidak akan mendapat warisan
ketika kakeknya meninggal. Sementara saudara-saudara dari orang tua sang
cucu tetap menerima warisan.
Sistem kewarisan Sunni yang bercorak patrilineal tersebut tidaklah
relevan rasanya dengan konsep keadilan masyarakat di Indonesia yang
umumnya bercorak bilateral. Bagi masyarakat patrilineal seperti Batak, bukan
berarti tidak ada konflik dengan sistem kewarisan kalangan Sunni. Apalagi
bagi masyarakat matrilineal seperti Minangkabau, tentu lebih berat lagi untuk
menerima sistem kewarisan ini. Prof. Hazairin mencoba untuk memikirkan
sistem bagaimanakah yang sebenarnya dikehendaki oleh Al Quran.
Menurutnya, hal mustahil Al Quran memberikan ketentuan yang tidak adil
dan melukai rasa keadilan masyarakat. Berdasarkan ayat tentang perkawinan

22
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Quran dan Hadits, Jakarta:
Tintamas,1990. hlm. 76-77
28

dan kewarisan akhirnya beliau mempunyai kesimpulan dan keyakinan bahwa
Al Quran menghendaki sistem kekerabatan bilateral.
23

Dalam al Quran sistem kewarisan yang dikehendaki di samping
bilateral juga individual. Maksudnya masing-masing ahli waris berhak atas
bagian yang pasti dan bagian-bagian tersebut wajib diberikan kepada mereka.
Di sinilah muncul istilah nasiban mafrudan, fa atuhum nasibuhum, al-qismah,
di samping terdapat bagian-bagian tertentu (furud al-muqaddarah) dalam ayat-
ayat tersebut. Jadi sistem kewarisan yang dikehendaki dalam Al Quran adalah
individual bilateral.
24
Dengan teorinya ini Prof. Hazairin agaknya ingin
mengajak umat Islam untuk memperbaharui pemahaman terhadap ayat-ayat
tentang kewarisan. Pembaharuan dalam ilmu waris yang digagas oleh Prof.
Hazairin pada dasarnya berintikan:
a. Ahli waris perempuan sama dengan laki-laki dapat menutup ahli waris
kelompok keutamaan yang lebih rendah. Jadi, selama masih ada anak, baik
laki-laki maupun perempuan, maka datuk saudara baik laki-laki maupun
perempuan sama-sama ter-hijab.
b. Hubungan kewarisan melalui garis laki-laki sama kuatnya dengan garis
perempuan. Karenanya penggolongan ahli waris menjadi ashabah dan zawu
al-arham tidak diakui dalam teori ini.
c. Ahli waris pengganti selalu mewaris, tidak pernah tertutup oleh ahli waris
lain (utama). Jadi, cucu dapat mewaris bersama dengan anak manakala
orangtuanya meninggal lebih duhalu daripada kakeknya dan bagian yang
diterimanya sama besarnya dengan yang diterima oleh orangtuanya
(seandainya masih hidup).
25


23
Teorinya ini berdasarkan pada Q.S. al-Nisa (4): 7-8, 11-12 22-24 176.
24
Ibid., hlm. 16-17.
25
Prinsip-prinsip dalam teori kewarisan bilateral ini hampir sama dengan yang terdapat
dalam fiqh Jafari. Hanya saja dalam fiqh ini ahli waris pengganti hanya diakui adanya manakala
29

Berdasarkan teori ini pula Prof. Hazairin mencoba membagi ahli waris
menjadi tiga kelompok, yakni:
a. Dzawu al-faraid adalah ahli waris yang telah ditetapkan bagiannya dalam
Al Quran. Dalam hal ini hampir seluruh mazhab fiqh menyepakatinya, baik
Sunni maupun Syiah. Bagian mereka ini dikeluarkan dari sisa harta setelah
harta peninggalan dibayarkan untuk wasiat, hutang, dan biaya kematian.
b. Dzawu al-qarabat adalah ahli waris yang tidak termasuk zawu al-faraid
menurut sistem bilateral. Bagian mereka dikeluarkan dari sisa harta
peninggalan setelah dibayar wasiat, hutang, onkos kematian, dan bagian
untuk zawu al-faraid. Sedangkan mawali adalah ahli waris pengganti, yang
oleh Hazairin konsep ini di-istinbat-kan dari Q.S. al-Nisa (4): 33.
c. Mawali (ahli waris pengganti) ini merupakan konsep yang benar-benar baru
dalam ilmu faraid (waris).
26

Mawali (ahli waris pengganti) di sini adalah ahli waris yang
menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan
diperoleh orang yang akan digantikan tersebut. Hal ini terjadi karena orang
yang digantikan tersebut telah meninggal lebih duhalu daripada si pewaris.
Orang yang digantikan ini merupakan penghubung antara yang menggantikan
dengan pewaris (yang meninggalkan harta warisan). Adapun yang dapat
menjadi mawali yaitu keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris,

para ahli waris sederajat di atasnya sudah meninggal seluruhnya. Jadi cucu akan tetap terhijab
untuk memperoleh warisan dari kakeknya selama masih ada anak.
26
Hazairin, Hukum Kewarisan, hlm. 18 dan hlm. 28-36, konsep yang dipandang agak
mendekati mawali ini adalah konsep wasiat wajibah yang diberlakukan di beberapa negara Timur
Tengah mulai tahun 1946, yaitu: Mesir, Syria, Tunisia, Maroko, dan Pakistan. Meskipun bentuk
dan rinciannya berbeda-beda di antara negara-negara tersebut, namun substansinya sama yaitu
mengakui adanya ahli waris pengganti bagi anak (baca: cucu), dan tidak diatur ahli waris
pengganti bagi saudara. Bandingkan dengan M. Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi
Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam, dalam Muhammad Wahyuni Nafis et. al.,
Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA., Jakarta: Paramadina-
IPHI, 1995. hlm.316
30

ataupun keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian (misalnya
dalam bentuk wasiat) dengan si pewaris.
27

Secara rinci Prof. Hazairin membuat pengelompokkan ahli waris
kepada beberapa kelompok keutamaan secara hierarkhis, berdasarkan ayat-ayat
kewarisan (Q.S. al-Nisa (4): 11,12,33, dan 176), sebagai berikut: 1. Keutamaan
pertama: anak, mawali anak, orangtua, dan duda atau janda. 2. Keutamaan
kedua: saudara, mawali saudara, orangtua, dan duda atau janda. 3. Keutamaan
ketiga: orangtua dan duda atau janda. 4. Keutamaan keempat: janda atau duda,
mawali untuk ibu dan mawali untuk ayah.
Masing-masing ahli waris dalam keutamaan ini berbeda-beda statusnya,
ada yang sebagai zawu al faraid dan ada pula yang sebagai zawu al qarabat.
28

Setiap kelompok keutamaan di atas dirumuskan secara komplit, artinya
kelompok keutamaan yang lebih rendah tidak dapat mewaris bersama-sama
dengan kelompok keutamaan yang lebih tinggi. Karena kelompok keutamaan
yang lebih rendah tertutup oleh kelompok keutamaan yang lebih tinggi. Inti
dari kelompok keutamaan pertama adalah adanya anak dan atau mawali-nya.
Tidak adanya anak dan atau mawali-nya berarti bukan kelompok keutamaan
pertama. Inti kelompok keutamaan kedua adalah adanya saudara dan atau
mawali-nya. Sedang inti dari kelompok keutamaan ketiga adalah adanya ibu
dan atau bapak. Adapun janda atau duda meskipun selalu ada dalam setiap
kelompok keutamaan, ia menjadi penentu bagi kelompok keutamaan keempat.
Demikianlah cara kewarisan bilateral menyelesaikan persoalan waris jika
terdapat ahli waris yang cukup banyak dan lengkap.
29


27
Sajuti Thalib SH, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1993.
hlm. 80-81.
28
Hazairin, Hukum Kewarisan, hlm. 37. Adanya konsep tentang kelompok keutamaan ini
pada dasarnnya untuk menentukan ahli waris mana yang harus didahulukan manakala terdapat
bagitu banyak ahli waris yang ada. Konsep ini dalam fiqh sunni lebih dikenal dengan konsep hijab
di antara ahli waris.
29
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan.. hlm. 88
31

Dengan sistem kelompok keutamaan seperti yang dikemukakan oleh
Prof. Hazairin ini, saudara dapat mewaris bersama dengan orangtua (bapak
ataupun ibu), suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada hukum kewarisan
Sunni yang bercorak patrilineal. Di samping itu tidak mungkin menjadikan
ayah dari ayah atau ibu dari ayah sebagai zawu al-faraid, demikian pula
terhadap cucu perempuan, seperti dalam sistem ilmu waris kalangan Sunni.
Problem kasus kewarisan yang dianggap rumit, seperti ahli waris kakek
bersama saudara (al-jadd maa ikhwan) yang banyak memunculkan variasi
pendapat dalam sistem Sunni tidak akan pernah terjadi dalam sistem bilateral.
30


C. PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan:
1. Hazairin adalah salah seorang tokoh pembaharu hukum Islam di Indonesia,
dengan membuka pintu ijtihad, terutama kaitannya dengan hukum Islam dan
hukum adat, di dalamnya membahas hukum kewarisan.
2. Kewarisan yang ditawarkan Hazairin adalah kewarisan sistem bilateral,
sehingga membawa warna alternatif dalam mengambil keputusan hukum
tentang hukum kewarisan. Hukum kewarisan Ahlu Sunnah Wal Jamah/Imam
Syafii yang lebih patrilinela atau Hazairin yang bilateral.
3. Hazairin dapat digolongan salah seorang tokoh moderat, dengan melihat
bahwa hukum itu harus berlandaskan Al Quran dan Hadits untuk dipahami
berdasarkan kaidah ijtihad dan mengandalkan nalar. Ia mengusulkan agar
bebas madzhab. Fiqh klasik (Ahlu Sunnah Wal Jamaah) dan hukum adat di
Indoensia, berkat ijtihad dapat dilaksanakan unuytk masa kekiniaan. Hazairin
membuktikan dirinya sebagai seorang yang agamis dan Indonesianis;

30
Hazairin, Hukum Kewarisanhlm. 44
32

4. Pemikiran Hazairin tentang kewarisan dan kekeluargaan dilatar belakangi
oleh teori resepsi sehingga secara tidak langsung beliau ingin membuktikan
bahwa Adat tidak selamanya bertentangan dengan Syariat tetapi justru saling
mendukung satu sama lainnya, dan pernyataan tersebut juga disebabkan,
pandangan beliau bahwa al-Quran tidak memaparkan secara jelas bentuk
keluarga yang diinginkan;
5. Pemikiran Hazairin dihasilkan dengan mengesampingkan kaidah ushuliyah,
hal ini mungkin dikarenakan keinginan beliau untuk membuktikan
antropologi dapat mendukung pernyataan yang ada dalam al-Quran.











33

DAFTAR PUSTAKA

A. Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, Solo:
Balqis Queen. 2009.
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif,
Jakarta: Rajawali Pers, 1997.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1993.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2000.
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Mualamat (Hukum Perdata Islam),
Yogyakarta: FH-UII, 1993
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang:
Angkasa Raya, 1993.
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya (Al Quran wa Tarjamah
Manihi ila Al Lughah al Indonesiyyah), Makkah : Khadim Al Haramain
Asy Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As Suudi Ath Thabaah al
Mushah Asy Syarif, 1412 .
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tintamas, 1968.
----------, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta: Tintamas, 1976.
----------, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Quran dan Hadits, Jakarta:
Tintamas,1990.
Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam
Djuhana S. Pradja (Pengantar), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan
dan Pembentukan, Bandung: Rosda Karya, 1994.
M. Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali
di Dunia Islam, dalam Muhammad Wahyuni Nafis et. al., Kontekstualisasi
Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA., Jakarta:
Paramadina-IPHI, 1995.
Sajuti Thalib SH, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
1993.
34

SISTEM KEKERABATAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM
MENURUT PROFESOR HAZAIRIN

Revisi Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Akhir
Mata Kuliah Hukum Waris dan Wakaf di Dunia Islam

Oleh :
Solihin
NPM : 1101702

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. M. Damrah Khair, M.A.

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA






PROGRAM PASCA SARJANA (S-2)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO
METRO
TAHUN 1433 H/2012 M

Anda mungkin juga menyukai