A. PENDAHULUAN Sejarah tidak pernah mengenal adanya agama atau sistem yang membicarakan keberadaan karib (dzil qurba) yang lebih mulia daripada Islam. Sungguh Islam telah menegaskan wasiat (pesan penting) terhadap karib kerabat dan meletakkan wasiat itu setelah wasiat untuk bertauhid kepada Allah dan beribadah kepada-Nya. Islam juga menjadikan berbuat baik kepada karib kerabat itu termasuk sendi-sendi kemuliaan, sebagaimana telah menjadikan hak karib kerabat untuk mendapatkan hak milik, karena ia adalah orang yang paling dekat dengan kita. Inilah yang ditegaskan oleh Al Qur'an dengan cara diulang-ulang lebih dari satu ayat dalam beberapa surat agar benar-benar difahami oleh kita sebagai anak cucu Adam. Konsep kekerabatan telah berwujud sejak beberapa dahulu lagi bermula dari bapak dan ibu sekalian umat manusia yaitu Adam dan Hawa yang melahirkan Habil dan Qabil. Dari pasangan Nabi Adam as dan Hawa ini maka lahirlah keturunan umat manusia sekaligus bermulalah konsep kekerabatan sehingga menjadi sistem kekerabatan yang kompleks. 1
Kekerabatan merupakan salah satu aspek penting yang menjadi bidang kajian ilmu sosiologi dan antropologi. Ia merupakan institusi yang terdapat dalam semua lapisan adat dan atau masyarakat di dunia ini. Kekerabatan lahir dari institusi perkawinan yang membenarkan hubungan seks antara laki-laki dan
1 Di Barat ataupun di Timur, di Selatan atau di Utara sistem ini masih berwujud dan diamalkan tetapi telah banyak mengalami perubahan. Justeru itu, banyak variasi yang dapat dilihat dalam sistem kekerabatan di kalangan masyarakat di dunia ini. Dalam Islam sistem kekerabatan ini adalah sesuatu yang amat penting dalam kehidupan dan pergaulan umat manusia yang semankin berkembang biak agar silsilah keturunan tidak kacau. 2
perempuan sehingga anak yang lahir dari perkahwinan tersebut diterima oleh masyarakat, tidak anggap anak zina atau anak haram. Istilah kekerabatan itu ialah sebuah keluarga itu tidak akan lengkap sekiranya tidak wujud tiga unsur yaitu bapak, ibu dan anak. Oleh karena itu, keluarga adalah satu unit sosial yang tekecil bilangannya mengandungi ibu dan bapak serta anak yang tinggal di dalam sebuah rumah yang sama. Keluarga merupakan sebuah institusi hasil daripada perkawinan yang disebut sebagai keluarga asas. ikatan darah atau mempunyai hubungan angkat; menganggotai sesebuah isi rumah; berhubung antara satu sama lain berdasarkan peranan sosial masing-masing sebagai suami dan isteri, ibu dan bapak, anak lelaki dan anak perempuan, kakak dan adik; dan mewujudkan serta mengekalkan sesuatu budaya yang sama. Islam sebagai agama terakhir dan menyempurnakan ajaran-ajaran agama samawi sebelumnya tidak luput untuk memberikan konsep kekerabatan ini. Sehingga yang pada akhirnya bahwa bentuk kekerabatan dalam hukum Islam sangat menentukan azas yang berlaku dalam hukum kewarisan. Dalam Al Quran maupun Sunnah jika dikaji lebih lanjut memang kenyataannya tidak menjelaskan secara jelas tentang struktur kekerabatan tertentu menurut hukum Islam. Namun demikian dalam realitasnya dihadapkan berbagai macam bentuk susunan kekerabatan, meliputi: patrilineal, matrilineal, dan bilateral, 2 yang masing-masing memiliki implikasi terhadap hukum waris Islam.
2 Patrilineal merupakan bentuk kekerabatan yang menarik garis nasab hanya melalui jalur bapak atau laki-laki. Matrilineal merupakan bentuk kekerabatan yang menarik garis nasab melalui jalur ibu atau perempuan semata. Sementara bilateral merupakan bentuk kekerabatan yang menentukan garis nasab melalui jalur bapak dan ibu. Lihat Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Quran dan Hadits, Jakarta: Tintamas,1990, hlm.11. Lihat juga Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1993, hlm.144. 3
B. PEMBAHASAN 1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Keluarga Pengertian keluarga dapat dilihat dari pengertian sempit dan pengertian luas. Keluarga dalam pengertian sempit adalah kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, isteri, dan anak yang berdiam dalam satu tempat tinggal. 3 Dalam pengertian luas keluarga adalah apabila dalam satu tempat tinggal berdiam pula pihakk lain sebagai akibat adanya perkawinan, maka terjadilah kelompok anggota keluarga yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan karena pertalian darah. 4
Hubungan keluarga terjadi karena perkawinan dan hubungan darah atau disebut juga hubungan semenda seperti mertua, menantu, ipar dan anak tiri, dimana antara suami isteri tidak ada hubungan darah. Hubungan keluarga karena pertalian darah adalah hubungan karena keturunan, seperti bapak sampai garis lurus ke atas, anak sampai garis lurus ke bawah, saudara kandung dan anak saudara kandung lurus menyamping. Hubungan darah adalah pertalian darah antara orang yang satu dan orang lain karena berasal dari leluhur yang sama (keturunan leluhur). 5
Hubungan darah itu ada dua garis, yaitu hubungan darah menurut garis lurus ke atas disebut leluhur, hubungan darah menurut garis ke bawah disebut keturunan dan hungan darah menurut garis ke samping disebut sepupu. Daftar yang menggambarkan ketunggalan leluhur antara orang-orang yang mempunyai pertalian darah disebut silsilah. Dari silsilah dapat diketahui jauh dekatnya hubungan darah antara orang yang satu dan orang yang lain dari leluhur yang sama. Jauh dekatnya hubungan darah dapat dinyatakan dengan istilah atau sebutan dalam hubungan keluarga.
3 Ibid. 4 Ibid., h. 64 5 Ibid., h. 66 4
Garis keturunan sebenarnya hanya memberikan keistimewaan tertentu dalam hubungan keluarga. Ada tiga hubungan darah dilihat dari garis ketururunan, yaitu : a. Patrilinial, hubungan darah yang mengutamakan garis ayah; b. Matrilinial, hubungan darah yang mengutamakan garis ibu; c. Parental, bilateral, hubungan darah yang mengutamakan garis ayah dan ibu, atau garis orang tua. Patrilinial hubungan darah yang mengutamakan garis keturunan ayah, kedudukan suami lebih utama dari kedudukan isteri. Dalam perkawinan asabah lebih berperan sebagai wali nikah, perkawinan dengan sistem jujur, isteri selalu mengikuti tempat tinggal suami. Dalam kekuasaan orangtua, kekuasaan ayah (suami) lebih diutamakan daripada kekuasaan ibu (isteri) terhadap anak-anak dalam hubungan keluarga. Dalam kewarisan, bagian pihak laki-laki selalu lebih besar daripada bagian perempuan. Dan dalam perwalian, pihakk laki-laki lebih diutamakan daripada pihak perempuan untuk diangkat sebagai wali anak-anak. Contoh masyarakat dalam kategori ini adalah Sumatera Selatan, Tapanuli dan Bugis. Dalam masyarakat matrilinial hubungan darah yang diutamakan garis keturunan ibu, kedudukan pihakk isteri lebih utama daripada kedudukan suami. Keutamaan itu dapat dilihat dalam hal, perkawinan meskipun asabah berperan sebagai wali nikah, laki-laki dijemput oleh perempuan (suami ikut keluarga isteri). Dalam hal kekuasaan orangtua, saudara laki-laki isteri mempunyai kekuasaan utama terhadap anak-anak (kekuasaan paman terhadap anak kemanakan). Dalam kewarisan saudara laki-laki isteri berperan sebagai mamak kepala waris. Dan dalam perwalian, saudara laki-laki isteri lebih berperan sebagai wali terhadap anak kemanakannya. Contoh masyarakat ini adalah Minangkabau. 5
Parental atau bilateral darah yang mengutamakan garis kedua-duanya yaitu ayah dan ibu, kedudukan pihak suami dan pihak isteri seimbang. Mereka bersama-sama mengurus keluarga, kebutuhan sehari-hari, harta benda diurus dan digunakan untuk kepentingan bersama. Kedudukan pihak suami dan pihak isteri berimbang dalam kehidupan keluarga, dan dapat dilihat dalam hal perkawinan asabah sebagai wali nikah, dalam perkawinan tidak dikenal jujur, suami isteri menentukan bersama tempat tinggal, dalam kekuasaan orangtua kedua suami isteri mempunyai kekuasaan yang sama dalam keluarga baik terhadap anak maupun harta. Dalam kewarisan lebih cenderung menuju ke arah asas bagian yang sama antara laki-laki dan wanita, serta dalam perwalian kedua suami isteri dapat berperan sebagai wali terhadap anak-anak mereka, namun dalam pernikahan ayah berperan sebagai wali nikah karena termasuk asabah. Contoh masyarakat ini adalah Jawa, Madura dan Sunda. 2. Dasar-dasar dan Sistem Kekerabatan Menurut Al Quran Secara jujur dapat dikatakan bahwa jika dipelajari secara mendalam dan berdasarkan ilmu pengetahuan tentang berbagai bentuk sistem masyarakat kaitannya dengan sistem kekerabatan yang bermuara pada aspek ilmu fiqh munakat yang merujuk kepada ketentuan larangan-larangan perkawian, maka sistem kekerabatan yang mana sebenarnya dikehendaki oleh Al Quran? Untuk kesempatan ini penulis akan memaparkan ayat-ayatnya terlebih dahulu yakni yang terdapat dalam Q.S. al-Nisa (4): 22-24, juga didukung oleh ayat-ayat 11, 12, 176 dalam surat yang sama. O71gONC +.- EO) gu W @OE-~-g NuVg` ]^EO u-4OV^1- _ p) O}7 w7.=O)e -O u-4-4[^- O}_U VU 4` E4O> W p)4 ;e4^~E LEEgO4 6
}g` ElgO ;e_ +7.~4O= O) g+U<1- _ }g` gu4 lOOg4 _/=ONC .Ogj u ^E1 4OOEN O._N` _ LOOg4 =}g)` *.- +.-4 v1)U4 _1)UEO ^g 11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak- anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 12. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri- isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. [272] bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah Karena kewajiban laki- laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (lihat surat An Nisaa ayat 34). [273] lebih dari dua maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan nabi. [274] memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a. mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. berwasiat dengan maksud 8
mengurangi harta warisan. sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
22. Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). 23. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara- saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 24. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki[282] (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian[283] (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu[284]. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [281] maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut Jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya. 10
[282] Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya. [283] ialah: selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An Nisaa' ayat 23 dan 24. [284] ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang Telah ditetapkan. El4^O+^4-OEC ~ +.- :Og^NC O) g-U^- _ p) W-N4+O- ElUE- "^1 +O /.4 N.4 eu=q E_U -g^ 4` E4O> _ 4O-4 .E_@O4C p) - }74C E= /.4 _ p) 44^~E u-44L^- E_U pVU<V- 4 E4O> _ p)4 W-EO+^~E LE4Ou=) L~E}jO w7.=O)e4 @OE-~-)U Nu1g` ]^EO u-4Ow^1- ))-4:NC +.- : p W-OwU_> +.-4 ]7) 7/E* l1)U4 ^_g 176. Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)[387]. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. [387] kalalah ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak. Terjadi perbedaan pendapat dalam memahami maksud kata akhun, ukhtun dan ikhwatun (saudara) yang ada pada ayat 12 dan 176 surah an-Nisadi atas. Adapun perbedaan tersebut dapat penulis jabarkan sebagaimana berikut ini: 11
12
a. Jumhur Fuqaha dan Kompilasi Hukum Islam Jumhur 6 berpendapat bahwa yang dimaksud saudara dalam ayat 12 adalah saudara seibu, sedangkan yang dimaksud saudara dalam ayat 176 adalah saudara sekandung dan seayah. Pengertian saudara seibu pada ayat 12 ini didasarkan kepada petunjuk qiraah sebagian ulama salaf antara lain Saad bin Abi Waqqas dan juga penafsiran Abu Bakar Shiddiq yang dinukilkan oleh Qatadah, bahwa Abu Bakar menerangkan dalam salah satu khutbahnya: Perhatikanlah, bahwa ayat pertama yang diturunkan dalam surah an-Nisa dalam urusan pusaka mempusakai diturunkan oleh Allah mengenai pusaka anak dan orang tua (ayat 11). Ayat kedua diturunkan untuk menjelaskan pusaka suami, istri, dan saudara tunggal ibu (ayat 12). Ayat yang mengakhiri surah An Nisa(ayat 176) diturunkan untuk menjelaskan pusaka-pusaka saudara kandung. Pengertian di atas dikuatkan oleh penjelasan Allah pada akhir ayat 11 yang menyatakan . Jika mereka lebih dari seorang, maka mereka berserikat mendapat 1/3. Oleh karena kedudukan saudara-saudara dalam ayat 12 bukan selaku ashabah, maka memberi pengertian bahwa yang dimaksud saudara adalah saudara seibu, sebab jika mereka itu saudara sekandung atau seayah tentulah berkedudukan selaku ashabah sebagaimana dijelaskan pada akhir ayat 176: (..Dan jika mereka terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan, maka untuk yang laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan). Pendapat Jumhur ini diikuti oleh KHI sebagaimana diatur dalam pasal 181 dan 182. Pasal 181 KHI menyebutkan: Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam. Bila mereka itu dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga. Adapun
6 Fatchur Rahman, 1979, Ilmu Waris, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 301-304 13
pasal 182 berbunyi: Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan kandung atau seayah tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan. Menurut sistem kewarisan Jumhur, semua laki-laki dari jalur laki termasuk saudara laki-laki berkedudukan sebagai ashabah bi nafsih. Dasar hukum lembaga ashabah bi nafsih ini adalah hadits Ibnu Abbas : Alhiqu al- faraidha bi ahliha, fama baqiya fa li aula rajulin zakarin (Berikan saham itu kepada setiap ahli waris, dan sisanya untuk laki-laki yang dekat). 7
Berdasarkan hadits ini Jumhur menempatkan semua laki-laki dari jalur laki sebagai ashabah bi nafsih tanpa batas, artinya betapapun jauhnya hubungan dengan pewaris mereka selalu tampil sebagai ashabah jika ahli waris yang dekat perempuan. Misalnya, ahli waris terdiri dari anak perempuan dan cicit laki-laki dari paman (ibnul-ibnil-ibnil-am), maka anak perempuan mendapat 1/2 dan sisanya untuk cicit laki-lkai paman. Bahkan jika ahli waris perempuan yang ada itu diturunkan dari garis perempuan (seperti cucu perempuan dari anak perempuan), mereka tidak mendapatkan bagian sama sekali karena dipandang sebagai zawil arham, sehingga seluruh harta warisan pewaris jatuh ke tangan ahli waris ashabah. Kedudukan saudara sekandung, seayah dan seibu dalam pandangan Jumhur tidak sama. Saudara sekandung dipandang lebih utama daripada saudara seayah dan seibu, dan saudara seayah lebih utama dari saudara seibu. Kekerabatan saudara seibu dipandang paling lemah sehingga tidak
7 T.M. Hasby as-Shiddiqie, 1973, Fiqhul Mawaris, Bulan Bintang, Jakarta, hal.172 14
bisa menghijab semua ahli waris zawil furudl dan tidak bisa menduduki kedudukan ashabah. 8 Perbedaan derajat ini membawa konsekuensi terjadinya hijab-mahjub di antara mereka. 1). Bagian Saudara Laki-laki Kandung dan Saudara Laki-laki Seayah Jumhur menempatkan saudara laki-laki sekandung dan seayah selalu sebagai zawil ashabah (bi nafsih) sehingga mereka tidak mempunyai bagian tertentu. Mereka mendapatkan sisa setelah ahli waris zawil furudl mengambil bagain masing-masing. Sebagai konsekuensinya, mereka dapat memperoleh bagian yang besar, atau memperoleh bagian yang kecil tergantung sisa yang ada, bahkan bisa tidak memperoleh sama sekali jika harta warisan itu habis diberikan kepada ahli waris zawil furudl. Saudara laki-laki kandung yang kedudukannya dipandang lebih utama dari saudara laki-laki seayah, maka saudara laki-laki seayah terhijab oleh saudara laki-laki kandung, namun saudara laki-laki seibu meskipun kedudukannya paling lemah, akan tetapi mereka tidak terhijab. Mengenai hal ini akan dijelaskan dalam pembahasan saudara seibu. 2). Bagian Saudara Perempuan Kandung dan Saudara Perempuan Seayah Bagian saudara perempuan kandung menurut Jumhur adalah: 1\2 (setengah) apabila seorang diri, 2/3 (dan dua pertiga) jika dua orang atau lebih, ushubah (bil ghair) apabila bersama muashibnya, dan ushubah (maal ghair) apabila bersama anak perempuan dan/atau bersama cucu perempuan pancar laki-laki. Bagian saudara perempuan seayah mirip dengan saudara perempuan sekandung hanya ditambah
8 Fatchur Raman, op cit. hal. 322 15
dengan bagain 1/6 sebagai pelengkap dua pertiga apabila bersama seorang saudara perempuan kandung. Karena kedudukan saudara sekandung lebih utama daripada saudara seayah, maka saudara perempuan seayah tidak mendapat bagian apabila ada saudara laki-laki kandung, atau dua orang saudara perempuan kandung, atau seorang saudara perempuan kandung ketika berkedudukan selaku ashabah maal ghair. 3). Saudara Laki-laki dan Saudara Perempuan Seibu Jumhur dalam prinsip kewarisannya selalu menerapkan asas 2:1 antara laki-laki dan perempuan, akan tetapi khusus untuk saudara seibu prinsip tersebut ditiadakan karena telah bagian mereka telah ditentukan oleh Allah dalam surah an-Nisa ayat 12. Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu diberikan kedudukan dan bagian yang sama yakni 1/6 (seperenam) apabila seorang diri, dan 1/3 (sepertiga) apabila dua orang atau lebih. Saudara seibu hanya dapat tampil sebagai ahli waris apabila pewaris meninggal dalam keadaan kalalah sebagaimana dimaksud dalam ayat 12 surah an-Nisa, sebab jika tidak dalam keadaan kalalah saudara seibu pasti terhijab oleh farul-waris laki-laki maupun perempuan dan ashlul-waris laki-laki. Namun demikian, meskipun garis kekerabatan saudara seibu dipandang paling lemah dibanding dengan saudara sekandung dan saudara seayah, akan tetapi saudara seibu tidak terhijab oleh sekandung maupun saudara seayah. Ketentuan ini didasarkan kepada ayat 12 surah an-Nisayang memberikan bagian tetap bagi saudara seibu. Permasalahan yang dihadapi Jumhur adalah ketika saudara seibu tampil sebagai ahli waris bersama saudara sekandung yang 16
berkedudukan sebagai ashabah sedangkan bagiannya telah habis diberikan kepada zawil furudl, maka saudara kandung tidak mendapatkan bagian sama sekali. Untuk memecahkan permasalahan ini, maka timbullah apa yang disebut prinsip pembagian musyarakah, atau juga dikenal dengan kasus Umariyah, atau Minbariyah, atau Himariyah, atau Hajariyah atau Yammiyah. 9 KHI tidak mengatur secara detail tentang bagian saudara kecuali yang ada dalam pasal 181 dan pasal 182, namun dengan memperhatikan beberapa pasal yang mengatur tentang saudara, antara lain pasal 174 ayat (1) huruf a yang menetapkan saudara termasuk kelompok ahli waris hubungan darah, pasal 178 yang mengatur tentang Gharawain, dapat disimpulkan bahwa bagian saudara dalam KHI sama dengan pendapat Jumhur. 2. Prof. Hazairin Hazairin 10 tidak sependapat dengan Jumhur dan menolak pembedaan antara saudara sekandung dan seayah dengan saudara seibu. Menurutnya, saudara sekandung, seayah dan seibu mempunyai kedududkan sederajat sehingga tidak dibedakan antara mereka selaras dengan sistem kewarisan bilateral menurut al-Quran. Argumentasi yang diajukan Hazairin, bahwa kata-kata yang digunakan dalam al-Quran tidak memberikan perincian tentang hubungan perasaudaraan, apakah sekandung, seayah atau seibu. Oleh sebab itu yang dimaksud akhun, ukhtun, ikhwatun adalah saudara dalam semua jenis hubungan persaudaraan, baik karena adanya pertalian darah dengan ayah maupun pertalian darah dengan ibu. Perbedaan bagian saudara antara ketentuan ayat 12 dengan ayat 176, bukan karena perbedaan pertalian darah antara ayah dan ibu (sekandung, seayah dan seibu),
9 Fatchur Rahman, op cit. hal. 325 9 Hazairin, op cit. hal 50-56 10 Hazairin, op cit. hal 50-56 17
melainkan karena perbedaan keadaan (kasus) yang terjadi. Artinya kasus kalalah pada ayat 12 tidak sama dengan kasus kalalah pada ayat 176. Kalalah dalam ayat 12 menurutnya adalah seorang meninggal dunia dengan tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan saudara dan ayah masih hidup (bisa ibu sudah meninggal dan bisa ibu masih hidup sehingga saudara bisa bersama ayah dan ibu sekaligus atau hanya bersama ayah saja). Bagian saudara 1/6 jika satu orang, dan 1/3 jika lebih satu orang. Ahli waris lain yang ada, mendapat bagian sesuai dengan ketentuan fardlnya, sedang ayah mendapat sisa selaku zawil iqrabat. Adapun kalalah dalam ayat 176 oleh Hazairin dimaknai, seorang meninggal dunia dengan tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan saudara dan ayah sudah meninggal (mungkin ibu masih hidup dan mungkin sudah meninggal, tetapi yang pasti ayah sudah meninggal). Dalam keadaan ini, bagian saudara 1/2 jika satu orang, dan 2/3 jika lebih satu orang. Ahli waris lain yang ada misalnya ada janda, duda dan ibu memperoleh fardlnya masing-masing. Hazairin juga menolak hadits Ibnu Abbas tentang ashabah. Pemberian kedudukan ashabah kepada kaum laki-laki tanpa batas seperti itu tidak sejalan dengan sistem kewarisan al-Quraan yang berbentuk bilateral. Hazairin mengemukakan dua permasalahan yang dijadikan dasar penolakan hadits tersebut. Pertama, apa ukuran bagi aula (yang lebih dekat atau utama)?. Kedua, benarkah hadits tersebut memberikan garis hukum yang berlaku umum, atau hanya menggambarkan suatu kasus tertentu sehingga hanya berlaku untuk kasus tertentu itu pula?. Hazairin memberikan analisis bahwa kata aula pada hadits yang berbunyi : alhiqu al-faraidha bi ahliha, fama baqiya fa li aula rajulin zakarin. Pemberian makna laki-laki yang lebih utama/dekat dalam hadits itu harus diukur dengan ukuran yang telah ditetapkan oleh al-Quran, bukan 18
oleh seseorang yang hanya berdasarkan anggapan masyarakat. Al-Quran telah menetapkan secara sistematis mengenai kedekatan hubungan kekerabatan dengan membagi ke dalam beberapa kelompok keutamaan. Menurutnya, kelompok keutamaan antara orang-orang yang sehubungan darah itu tidak semata-mata tergantung kepada jauh-dekatnya antara mereka (misalnya antara cucu dan anak, meskipun cucu lebih jauh daripada anak tetapi keutamaan mereka sama, kemudian cucu dengan saudara, meskipun sama-sama dua derajat jauhnya dari si mati, tetapi cucu lebih utama daripada saudara), dan tidak pula tergantung kepada jenis kelamin antara laki-laki dengan perempuan (misalnya antara cucu melalui anak perempuan dengan cucu melalui anak laki-laki, mereka sama-sama behak mewarisi). Hazairin juga memberikan analisis dari sudut pandang teori pertumbuhan garis hukum dalam penyelesaian kasus. Kasus menurutnya ialah suatu perkara tertentu yang diputuskan hakim. Keputusan itu jika tidak ada cacatnya dapat diterapkan dalam menyelesaikan kasus-kasus lainnya sehingga akan menjadi yurisprudensi dan merupakan garis hukum ciptaan hakim yang berlaku umum. Dalam garis hukum Islam, Rasul mempunyai kewenangan menetapkan hukum dan hukum yang ditatpkan oleh Rasul wajib diikuti oleh umatnya. Akan tetapi kewenangan Rasul menetapkan hukum itu apabila Allah belum memberikan ketetapan yang pasti dan ketetapan Rasul itu tidak boleh dan tidak mungkin berseberangan dengan kehendak Allah karena apa yang diputuskan oleh Rasul selalu didasarkan kepada wahyu (Q.S. an- Najm:3). Jika ada ketetapan Rasul yang tidak sejalan dengan ketetapan Allah, maka harus diduga bahwa ketetapan itu bukan dari Rasul, melainkan orang yang mengatakan adanya ketatapan itulah yang bohong. 19
Untuk menguji kebenaran hadits di atas, Hazairin menyatakan perlu dihadapkan dengan ketentuan al-Quran yang berhubungan dengannya yaitu ayat 6 dari surah al-Ahzab dan ayat 75 surah al-Anfal dimana dalam kedua ayat tersebut ada bagian kalimat yang berbunyi: . dan orang-orang yang sepertalian darah sebagiannya lebih dekat - lebih utama - dari yang lainnya menurut ketetapan Allah dalam al-Quran. Yang dimaksud pertalian darah menurut al-Quran, Hazairin memberikan pengertian pertalian darah menurut sistem bilateral, dan bukan menurut sistem patrilineal atau matrilineal atau yang lain. Lebih lanjut Hazairin mengomentarinya, bahwa karena hadits Ibnu Abbas di atas tidak memberikan penjelasan mengenai maksud dari orang laki-laki yang lebih dekat - utama - dari yang lain,, maka keutamaan itu harus dipahami bahwa dengan menggunakan ketentuan yang ditetapkan al- Quran. Demikian pula yang dimaksud laki-laki dalam hadits itu haruslah laki-laki yang lebih dekat dari pada laki-laki lainnya, misalnya anak laki- laki lebih dekat dengan saudara laki-laki, saudara laki-laki lebih dekat dari pada paman dan seterusnya. Berdasarkan analisisnya ini, Hazairin menyimpulkan bahwa hadits Ibnu Abbas tersebut merupakan ketetapan Nabi dalam menyelesaikan kasus dimana ada beberapa laki-laki yang derajat keutamaannya berbeda, sehingga laki-laki yang lebih dekat atau lebih utama yang menerima sisa dari harta warisan setelah dibagikan kepada zawil furudl. Lebih lanjut Hazairin memberikan penjelasan bahwa semua hadits tidak boleh dan tidak mungkin bertentangan dengan al-Quran. Jika ada hadits yang bertentangan dengan al-Quran, maka orang yang mengkhabarkan hadits itu yang bohong sehingga khabar atau hadits itu merupakan kabar bohong. Selain itu juga harus dipahamkan bahwa laki- 20
laki- yang lebih utama itu adalah laki-laki yang lebih dekat dari pada laki- laki lain. Berdasarkan pemikirannya itu Hazairin mengambil kesimpulan bahwa hadits tentang ashabah di atas hanyalah mengenai kasus tertentu yang tunduk kepada sistimatika al-Quran tentang kelompok keutamaan, di mana beberapa laki-laki tampil ke depan berkonkurensi. Pendapat Hazairin yang tidak membedakan antara saudara sekandung, seayah dan seibu ini diikuti oleh Buku II sebagaimana disebutkan pada ketentuan huruf (a) angka (6) dan (7) halaman 240. Ketentuan angka (6) menyebutkan: Seorang saudara perempuan atau laki- laki (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/6 (seperena) bagian, apabila terdapat dua orang atau lebih saudara (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/3 (sepertiga) bagian, jika saudara (baik sekandung, seayah atau seibu) mewarisi bersama ibu. Pada angka (7) menyatakan: Seorang saudara perempuan (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/2 (setengah) bagian, dua orang atau lebih saudara sekandung, seayah atau seibu (teks aslinya tidak menyebut kata seibu) mendapat 2/3 (dua pertiga) bagian, jika saudara perempuan tersebut mewarisi tidak bersama ayah dan tidak bersama saudara laki-laki atau keturunan laki-laki dari saudara laki-laki. Meskipun Hazairin tidak membedakan antara saudara sekandung, seayah dan seibu, namun dalam menetapkan bagian terdapat perbedaan yang menyolok. Bagian saudara menurut Hazairin: - 1/6 (seperenam) jika seorang diri, dan 1/3 (sepertiga) jika dua orang atau lebih ketika saudara bersama ayah, atau bersama ayah dan ibu berdasarkan an-Nisaayat 12, dan 21
- 1/2 (setengah) jika seorang diri, dan 2/3 (dua pertiga) jika dua orang atau lebih ketika saudara bersama ibu berdasarkan an-Nisaayat 176). Menurut Hazairin bagian saudara 1/6 (seperenam) jika seorang diri, dan 1/3 (sepertiga) jika dua orang atau lebih menurut ketika bersama ayah. Bagian saudara ketika bersama ibu menurut Hazairin adalah 1/2 (setengah) jika seorang diri, dan 2/3 (dua pertiga) jika dua orang atau lebih. Ketentuan huruf (a) angka (7) menyebutkan: Seorang saudara perempuan (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/2 (setengah) bagian, dua orang atau lebih saudara sekandung, seayah atau seibu mendapat 2/3 (dua pertiga) bagian, jika saudara perempuan tersebut mewarisi tidak bersama ayah dan tidak bersama saudara laki-laki atau keturunan laki-laki dari saudara laki-laki. (teks aslinya tidak ada kata seibu yang bergaris bawah). Pengertian tidak bersama ayah berarti bersama ibu. Jika demikian berarti ketentuan huruf (a) angka (7) sama dengan ketentuan huruf (a) angka (6) yakni sama-sama saudara bersama ibu. Untuk lebih jelasnya dapat diikuti penjelasan berikut. Ketentuan huruf (a) angka (6) mengatur tentang saudara bersama ibu tanpa membedakan antara saudara laki-laki dan saudara perempuan. Dalam kasus huruf (a) angka (6) ini kita ambil contoh ahli warisnya seorang saudara perempuan dan ibu. Adapun ketentuan huruf (a) angka (7) mengatur tentang saudara perempuan tidak bersama ayah (berarti bersama ibu). Dalam untuk kasus huruf (a) angka (7) ini kita ambil contoh ahli warisnya seorang saudara perempuan dan ibu. Dari dua contoh kasus di atas, nyatalah antara contoh kasus huruf (a) angka (6) dengan contoh kasus huruf (a) angka (7) tidak berbeda yaitu sama-sama ahli warisnya seorang saudara perempuan dan ibu. Tentu saja tidak boleh terjadi adanya dua ketentuan yang berbeda mengatur kasus yang sama. 22
Permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian adalah ketentuan huruf (b) angka (3) halaman 240 yang intinya menyatakan: Termasuk ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya adalah saudara laki-laki bersama saudara perempuan bila pewaris tidak meninggalkan keturunan dan ayah. Ketentaun ini memberikan pengertian bahwa saudara laki-laki dan perempuan dalam kasus kalalah berkedudukan selaku zawil ashabah (bil- ghair). Penempatan saudara laki-laki bersama saudara perempuan selaku ashabah ini tidak sejalan dengan ketentuan huruf (a) angka (6) yang menempatkan mereka selaku zawil furudl dengan bagian 1/3. Dalam ketentuan huruf (a) angka (6) dinyatakan: Seorang saudara perempuan atau laki-laki (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/6 (seperena) bagian, apabila terdapat dua orang atau lebih saudara (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/3 (sepertiga) bagian, jika saudara (baik sekandung, seayah atau seibu) mewarisi bersama ibu. Ketentuan ini tidak membedakan apakah saudara yang jumlahnya dua orang atau lebih itu semuanya laki-laki atau semuanya perempuan, atau campuran laki-laki dan perempuan. Sepanjang jumlahnya dua orang atau lebih dan mewarisi bersama ibu, baik semuanya laki-laki atau semuanya perempuan, atau campuran laki-laki dan perempuan, mereka mendapat 1/3 bagian. Dari penjelasan diatas tampak adanya ambiguitas kedudukan saudara dalam kasus kalalah. Menurut ketentuan huruf (a) angka (6) saudara laki- laki bersama saudara perempuan ditempatkan dalam kedudukan ashabah bil- ghair, sedangkan menurut ketentuan huruf (b) angka (3) saudara laki-laki bersama saudara perempuan ditempatkan dalam kedudukan zawil furudl. Kalimat EgOq4 7 E` 47.-4O4 :gO yaitu dihalalkan artinya boleh dilarang dan tidak boleh dicela, semua macam perkawinan yang tidak termasuk ke dalam perincianlarangan-larangan Quran itu. Dari ayat ini diperoleh petunjuk 23
bahwa semua bentuk perkawinan sepupu tidaklah dilarang, baik cross- cousins 11 maupun parallel cousins. 12
Dengan dibolehkannya perkawinan sepupu ini berarti tidak berlaku syarat exogami 13 yang menjadi benteng dan dasar bagi sistem clan dalam masyarakat yang menganut sistem patrilineal dan matrilinial. Jika clan telah tumbang maka timbullah masyarakat yang bercorak bilateral. Pada ketentuan ayat 11 QS An Nisa di atas menjadikan semua anak keturunan, baik itu laki-laki maupun perempuan sebagai ahli waris bagi ayah dan ibunya. Hal mana ini merupakan suatu bentuk sistem kekerabatan bilateral, karena dalam patrilineal prinsipnya sebagaimana yang diuraikan di atas hanya anak laki-laki saja yang berhak mewaris harta benda, sedangkan dalam sistem kekerabatan matrilineal anak-anak hanya mewaris dari ibunya, tidak dari bapaknya. Kemudian dalam dalam ayat 12 dan 176 QS An Nisak juga mendukung sistem bilateral, yaitu dengan menjadikan saudaranya ahli waris bagi saudaranya yang mati punah (tak berketurunan), tidak dibedakan apakah saudara itu laki-laki atau perempuan. 14
Dengan demikian merujuk pada ayat-ayat munakahat dan jika dikorelasikan dengan ayat kewarisan tersebut ternyata sistem kekerabatan yang diinginkan oleh al Quran yaitu sistem kekerabatan bilateral yang mengutamakan garis kedua-duanya yaitu bapak dan ibu, kedudukan pihak suami dan pihak isteri seimbang. Mereka bersama-sama mengurus keluarga,
11 Cross cousins adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang senenek atau sedatuk, manakala bapak dari pihakk yang satu merupakan saudara dari ibu pihakk yang lain. Lebih konkritnya, ibu suami adalah saudara dari ayah isteri ataupun sebaliknya. Hubungan persaudaraan ini bisa karena seibu, sebapak, atau sekandung. Lihat Hazairin, Hendak,hlm. 5 dan hlm. 20-21, lhat juga Hazairin, Hukum Kewarisan ...... hlm. 13-14 12 Parallel cousins adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang senenek atau sedatuk manakala ayah mereka masing-masing bersaudara atau ibu mereka bersaudara, baik persaudaraan ini seibu, sebapak, maupun sekandung. 13 Exogami artinya larangan untuk mengawini anggota se-clan, atau dengan kata lain keharusan kawin dengan orang di luar clan. 14 Hazairin, Hukum Kewarisan, hlm. 13-14. 24
kebutuhan sehari-hari, harta benda diurus dan digunakan untuk kepentingan bersama. Kedudukan pihak suami dan pihak isteri berimbang dalam kehidupan keluarga, dan dapat dilihat dalam hal perkawinan asabah sebagai wali nikah, dalam perkawinan tidak dikenal jujur, suami isteri menentukan bersama tempat tinggal, dalam kekuasaan orangtua kedua suami isteri mempunyai kekuasaan yang sama dalam keluarga baik terhadap anak maupun harta. Dalam kewarisan lebih cenderung menuju ke arah asas bagian yang sama antara laki-laki dan wanita, serta dalam perwalian kedua suami isteri dapat berperan sebagai wali terhadap anak-anak mereka, namun dalam pernikahan ayah berperan sebagai wali nikah karena termasuk asabah. 3. Implikasi Sistem Kekerabatan Menurut Prof. Hazairin terhadap Sistem Kewarisan Berdasarkan pada ketentuan ayat tersebut di atas dan jika dipelajari pola pemikiran Prof. Hazairin, bahwa sistem kekerabatan yang dikehendaki Al Quran adalah sistem kekerabatan bilateral, maka secara tak lansung juga membawa implikasi terhadap tentang sistem kewarisan. Menurut Hazairin karena sistem kekerabatan yang dikehendaki Al Quran adalah sistem kekerabatan bilateral, maka sistem kewarisan Islam juga berbentuk sistem kewarisan bilateral. 15 Prof. Hazairin lebih dikenal dalam bidang pakar ilmu hukum, terlebih dalam hukum adat. Selain itu pengetahuannya tentang tentang hukum Islam sangat mendalam dan khususnya bidang kewarisan. Melalui keahliannya dalam bidang hukum adat dan hukum Islam beliau diangkat sebagai Guru Besar Universitas Indonesia bidang hukum adat dan hukum Islam pada fakultas hukum pada sidang senat terbuka tahun 1952. Keahliannya dalam
15 Hazairin yang dikenal sebagai pencetus ide bentuk kewarisan bilateral. 25
bidang hukum adat dan hukum Islam, ia sangat faham dengan situasi dan kondisi hukum Islam di Indonesia bila korelasikan dengan hukum adat. Snouck Hurgronje dengan teori resepsi (Receptie Teory) 16 yang dicetuskan pada akhir abad XIX telah menjadikan hukum Islam di Indonesia terpingirkan oleh hukum adat, yang sebelumnya berlaku Teori Reception in Complexu yang dimunculkan oleh Van Den Berg. 17 Prof. Hazairin tampil dengan tidak segan-segan untuk menyebut teori ini Snouck Hurgronje sebagai Teori Iblis. 18 Untuk mengimbangi teori ini, kemudian beliau mencetuskan teori baru dengan nama Receptie Exit, 19 yang kemudian ditindak lanjuti oleh Sajuti Thalib, S.H, dengan teori Receptie a Contrario. 20
Dalam pemikirannya tentang hukum kewarisan Islam dkenal dengan teori hukum kewarisan bilateral menurut Al Quran telah dipresentasikan pada tahun 1957. Prof. Hazairin mempertanyakan tentang kebenaran hukum kewarisan yang dianut kalangan Sunni yang bercorak patrilineal bila dihadapkan dengan Quran. Dengan keahliannya dalam bidang hukum adat, hukum Islam, antropologi hukum dan sosiologi hukum beliau mencoba untuk mengkaji dan mendalami ayat-ayat tentang perkawinan dan kewarisan.
16 Teori ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat jajahan (pribumi) adalah hukum adat. Hukum Islam hanya menjadi hukum jika telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Lihat Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000),hlm. 16 17 Hukum Islam diterima (direpsi) secara menyeluruh oleh umat Islam. Lihat Ibid, hlm. 13 18 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tintamas, 1968, hlm. 5 19 Teori ini menyatakan bahwa teori Receptie harus keluar dari teori hukum nasional Indonesia karena bertentangan dengan UUD 1945 (terutama pembukaan dan pasal 29) serta bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah. Penjelasan Hazairin tentang teori ini lihat H. Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Djuhana S. Pradja (Pengantar), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung: Rosda Karya, 1994, hlm. 102 dan hlm. 127-131 20 Teori ini merupakan kebalikan dari teori Receptie, maksudnya hukum yang berlaku bagi rakyat (pribumi) adalah hukum agamanya. Lihat Ichtijanto, Pengembangan, hlm. 131-136. Lihat juga Ahmad Rofiq, Op.,Cit. 26
Menurutnya, Al Quran hanya menghendaki sistem sosial atau kekerabatan yang bercorak kea rah system kekerabatan bilateral. Dengan demikian hukum kewarisan yang dikehendaki di dalamnya juga bercorak bilateral, bukan patrilineal seperti yang biasa dikenal selama ini. Prof. Hazairin mencoba memberikan pemahaman yang baru terhadap hukum kewarisan dalam Islam secara total dan komprehensif dengan asumsi dasar sistem bilateral yang dikehendaki Al Quran. Tentu saja sistem ini mempunyai dampak sosial yang luas bila dapat diterapkan dalam kehidupan khususnya dalam model sistem kewarisan. Suatu hal yang sangat menarik, bahwa teori ini lebih dekat dengan rasa keadilan masyarakat adat Indonesia pada umumnya, jika dibandingkan dengan sistem kewarisan bercorak patrilinial yang selama ini dikenal dalam hukum adat Indonesia. Sistem kewarisan yang dianut kalangan Sunni sebenarnya terbentuk dari struktur budaya Arab yang bersendikan sistem kekerabatan yang bercorak patrilineal. Pada masa awal terbentuknya fiqh, ilmu pengetahuan mengenai bentuk-bentuk masyarakat belumlah berkembang seperti zaman sekarang, dengan kata lain kecenderungan pola pemikiran Sunni sangatlah dipengaruhi situasi zamannya yaitu zaman awal Islam dimana corak kekerabatan tidak terlepas dari kultur sosiologi dan antropologi masyarakat Arab waktu itu. Sehingga para Fuqahak dalam berbagai mazhab fiqh yang dapat kita baca, belum memperoleh perbandingan mengenai berbagai sistem kewarisan dalam berbagai bentuk masyarakat satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila hukum kewarisan yang kemudian disusun bercorak patrilineal. 21 Dalam berbagai kitab fiqh Sunni, terdapat tiga pola dan prinsip dalam kewarisan, yaitu :
21 Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta: Tintamas, 1976), hlm. 3 dan hlm. 11- 12. Di sini Hazairin menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan mengenai bentuk-bentuk kemasyarakatan yang dimaksud adalah anthropologi sosial (etnologi) yang baru ada pada abad XIX. Jadi jauh dari masa Islam klasik. 27
a. Ahli waris perempuan tidak dapat menghalangi menghijab ahli waris laki- laki yang lebih jauh. Contohnya, ahli waris anak perempuan tidak dapat menghalangi saudara laki-laki. b. Hubungan kewarisan melalui garis keturunan pihak laki-laki lebih diutamakan daripada garis keturunan perempuan. Pengelompokkan ahli waris model ini menjadikan ahli waris terdiri dari ashabah dan zawu al- arham merupakan contoh yang jelas. Ashabah merupakan ahli waris menurut sistem patrilineal murni, sedangkan zawu al-arham adalah perempuan-perempuan yang bukan zawu al-faraid dan bukan pula ashabah. 22
c. Dalam konsep Sunni ini tidak mengenal ahli waris pengganti (mal waris), semua mewaris karena dirinya sendiri. Sehingga cucu yang orangtuanya meninggal lebih duhulu daripada kakeknya, tidak akan mendapat warisan ketika kakeknya meninggal. Sementara saudara-saudara dari orang tua sang cucu tetap menerima warisan. Sistem kewarisan Sunni yang bercorak patrilineal tersebut tidaklah relevan rasanya dengan konsep keadilan masyarakat di Indonesia yang umumnya bercorak bilateral. Bagi masyarakat patrilineal seperti Batak, bukan berarti tidak ada konflik dengan sistem kewarisan kalangan Sunni. Apalagi bagi masyarakat matrilineal seperti Minangkabau, tentu lebih berat lagi untuk menerima sistem kewarisan ini. Prof. Hazairin mencoba untuk memikirkan sistem bagaimanakah yang sebenarnya dikehendaki oleh Al Quran. Menurutnya, hal mustahil Al Quran memberikan ketentuan yang tidak adil dan melukai rasa keadilan masyarakat. Berdasarkan ayat tentang perkawinan
22 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Quran dan Hadits, Jakarta: Tintamas,1990. hlm. 76-77 28
dan kewarisan akhirnya beliau mempunyai kesimpulan dan keyakinan bahwa Al Quran menghendaki sistem kekerabatan bilateral. 23
Dalam al Quran sistem kewarisan yang dikehendaki di samping bilateral juga individual. Maksudnya masing-masing ahli waris berhak atas bagian yang pasti dan bagian-bagian tersebut wajib diberikan kepada mereka. Di sinilah muncul istilah nasiban mafrudan, fa atuhum nasibuhum, al-qismah, di samping terdapat bagian-bagian tertentu (furud al-muqaddarah) dalam ayat- ayat tersebut. Jadi sistem kewarisan yang dikehendaki dalam Al Quran adalah individual bilateral. 24 Dengan teorinya ini Prof. Hazairin agaknya ingin mengajak umat Islam untuk memperbaharui pemahaman terhadap ayat-ayat tentang kewarisan. Pembaharuan dalam ilmu waris yang digagas oleh Prof. Hazairin pada dasarnya berintikan: a. Ahli waris perempuan sama dengan laki-laki dapat menutup ahli waris kelompok keutamaan yang lebih rendah. Jadi, selama masih ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka datuk saudara baik laki-laki maupun perempuan sama-sama ter-hijab. b. Hubungan kewarisan melalui garis laki-laki sama kuatnya dengan garis perempuan. Karenanya penggolongan ahli waris menjadi ashabah dan zawu al-arham tidak diakui dalam teori ini. c. Ahli waris pengganti selalu mewaris, tidak pernah tertutup oleh ahli waris lain (utama). Jadi, cucu dapat mewaris bersama dengan anak manakala orangtuanya meninggal lebih duhalu daripada kakeknya dan bagian yang diterimanya sama besarnya dengan yang diterima oleh orangtuanya (seandainya masih hidup). 25
23 Teorinya ini berdasarkan pada Q.S. al-Nisa (4): 7-8, 11-12 22-24 176. 24 Ibid., hlm. 16-17. 25 Prinsip-prinsip dalam teori kewarisan bilateral ini hampir sama dengan yang terdapat dalam fiqh Jafari. Hanya saja dalam fiqh ini ahli waris pengganti hanya diakui adanya manakala 29
Berdasarkan teori ini pula Prof. Hazairin mencoba membagi ahli waris menjadi tiga kelompok, yakni: a. Dzawu al-faraid adalah ahli waris yang telah ditetapkan bagiannya dalam Al Quran. Dalam hal ini hampir seluruh mazhab fiqh menyepakatinya, baik Sunni maupun Syiah. Bagian mereka ini dikeluarkan dari sisa harta setelah harta peninggalan dibayarkan untuk wasiat, hutang, dan biaya kematian. b. Dzawu al-qarabat adalah ahli waris yang tidak termasuk zawu al-faraid menurut sistem bilateral. Bagian mereka dikeluarkan dari sisa harta peninggalan setelah dibayar wasiat, hutang, onkos kematian, dan bagian untuk zawu al-faraid. Sedangkan mawali adalah ahli waris pengganti, yang oleh Hazairin konsep ini di-istinbat-kan dari Q.S. al-Nisa (4): 33. c. Mawali (ahli waris pengganti) ini merupakan konsep yang benar-benar baru dalam ilmu faraid (waris). 26
Mawali (ahli waris pengganti) di sini adalah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang akan digantikan tersebut. Hal ini terjadi karena orang yang digantikan tersebut telah meninggal lebih duhalu daripada si pewaris. Orang yang digantikan ini merupakan penghubung antara yang menggantikan dengan pewaris (yang meninggalkan harta warisan). Adapun yang dapat menjadi mawali yaitu keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris,
para ahli waris sederajat di atasnya sudah meninggal seluruhnya. Jadi cucu akan tetap terhijab untuk memperoleh warisan dari kakeknya selama masih ada anak. 26 Hazairin, Hukum Kewarisan, hlm. 18 dan hlm. 28-36, konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat wajibah yang diberlakukan di beberapa negara Timur Tengah mulai tahun 1946, yaitu: Mesir, Syria, Tunisia, Maroko, dan Pakistan. Meskipun bentuk dan rinciannya berbeda-beda di antara negara-negara tersebut, namun substansinya sama yaitu mengakui adanya ahli waris pengganti bagi anak (baca: cucu), dan tidak diatur ahli waris pengganti bagi saudara. Bandingkan dengan M. Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam, dalam Muhammad Wahyuni Nafis et. al., Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA., Jakarta: Paramadina- IPHI, 1995. hlm.316 30
ataupun keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian (misalnya dalam bentuk wasiat) dengan si pewaris. 27
Secara rinci Prof. Hazairin membuat pengelompokkan ahli waris kepada beberapa kelompok keutamaan secara hierarkhis, berdasarkan ayat-ayat kewarisan (Q.S. al-Nisa (4): 11,12,33, dan 176), sebagai berikut: 1. Keutamaan pertama: anak, mawali anak, orangtua, dan duda atau janda. 2. Keutamaan kedua: saudara, mawali saudara, orangtua, dan duda atau janda. 3. Keutamaan ketiga: orangtua dan duda atau janda. 4. Keutamaan keempat: janda atau duda, mawali untuk ibu dan mawali untuk ayah. Masing-masing ahli waris dalam keutamaan ini berbeda-beda statusnya, ada yang sebagai zawu al faraid dan ada pula yang sebagai zawu al qarabat. 28
Setiap kelompok keutamaan di atas dirumuskan secara komplit, artinya kelompok keutamaan yang lebih rendah tidak dapat mewaris bersama-sama dengan kelompok keutamaan yang lebih tinggi. Karena kelompok keutamaan yang lebih rendah tertutup oleh kelompok keutamaan yang lebih tinggi. Inti dari kelompok keutamaan pertama adalah adanya anak dan atau mawali-nya. Tidak adanya anak dan atau mawali-nya berarti bukan kelompok keutamaan pertama. Inti kelompok keutamaan kedua adalah adanya saudara dan atau mawali-nya. Sedang inti dari kelompok keutamaan ketiga adalah adanya ibu dan atau bapak. Adapun janda atau duda meskipun selalu ada dalam setiap kelompok keutamaan, ia menjadi penentu bagi kelompok keutamaan keempat. Demikianlah cara kewarisan bilateral menyelesaikan persoalan waris jika terdapat ahli waris yang cukup banyak dan lengkap. 29
27 Sajuti Thalib SH, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1993. hlm. 80-81. 28 Hazairin, Hukum Kewarisan, hlm. 37. Adanya konsep tentang kelompok keutamaan ini pada dasarnnya untuk menentukan ahli waris mana yang harus didahulukan manakala terdapat bagitu banyak ahli waris yang ada. Konsep ini dalam fiqh sunni lebih dikenal dengan konsep hijab di antara ahli waris. 29 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan.. hlm. 88 31
Dengan sistem kelompok keutamaan seperti yang dikemukakan oleh Prof. Hazairin ini, saudara dapat mewaris bersama dengan orangtua (bapak ataupun ibu), suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada hukum kewarisan Sunni yang bercorak patrilineal. Di samping itu tidak mungkin menjadikan ayah dari ayah atau ibu dari ayah sebagai zawu al-faraid, demikian pula terhadap cucu perempuan, seperti dalam sistem ilmu waris kalangan Sunni. Problem kasus kewarisan yang dianggap rumit, seperti ahli waris kakek bersama saudara (al-jadd maa ikhwan) yang banyak memunculkan variasi pendapat dalam sistem Sunni tidak akan pernah terjadi dalam sistem bilateral. 30
C. PENUTUP Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan: 1. Hazairin adalah salah seorang tokoh pembaharu hukum Islam di Indonesia, dengan membuka pintu ijtihad, terutama kaitannya dengan hukum Islam dan hukum adat, di dalamnya membahas hukum kewarisan. 2. Kewarisan yang ditawarkan Hazairin adalah kewarisan sistem bilateral, sehingga membawa warna alternatif dalam mengambil keputusan hukum tentang hukum kewarisan. Hukum kewarisan Ahlu Sunnah Wal Jamah/Imam Syafii yang lebih patrilinela atau Hazairin yang bilateral. 3. Hazairin dapat digolongan salah seorang tokoh moderat, dengan melihat bahwa hukum itu harus berlandaskan Al Quran dan Hadits untuk dipahami berdasarkan kaidah ijtihad dan mengandalkan nalar. Ia mengusulkan agar bebas madzhab. Fiqh klasik (Ahlu Sunnah Wal Jamaah) dan hukum adat di Indoensia, berkat ijtihad dapat dilaksanakan unuytk masa kekiniaan. Hazairin membuktikan dirinya sebagai seorang yang agamis dan Indonesianis;
30 Hazairin, Hukum Kewarisanhlm. 44 32
4. Pemikiran Hazairin tentang kewarisan dan kekeluargaan dilatar belakangi oleh teori resepsi sehingga secara tidak langsung beliau ingin membuktikan bahwa Adat tidak selamanya bertentangan dengan Syariat tetapi justru saling mendukung satu sama lainnya, dan pernyataan tersebut juga disebabkan, pandangan beliau bahwa al-Quran tidak memaparkan secara jelas bentuk keluarga yang diinginkan; 5. Pemikiran Hazairin dihasilkan dengan mengesampingkan kaidah ushuliyah, hal ini mungkin dikarenakan keinginan beliau untuk membuktikan antropologi dapat mendukung pernyataan yang ada dalam al-Quran.
33
DAFTAR PUSTAKA
A. Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, Solo: Balqis Queen. 2009. A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Jakarta: Rajawali Pers, 1997. Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000. Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Mualamat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: FH-UII, 1993 Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1993. Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya (Al Quran wa Tarjamah Manihi ila Al Lughah al Indonesiyyah), Makkah : Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As Suudi Ath Thabaah al Mushah Asy Syarif, 1412 . Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tintamas, 1968. ----------, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta: Tintamas, 1976. ----------, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Quran dan Hadits, Jakarta: Tintamas,1990. Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Djuhana S. Pradja (Pengantar), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, Bandung: Rosda Karya, 1994. M. Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam, dalam Muhammad Wahyuni Nafis et. al., Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA., Jakarta: Paramadina-IPHI, 1995. Sajuti Thalib SH, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1993. 34
SISTEM KEKERABATAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM MENURUT PROFESOR HAZAIRIN
Revisi Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Hukum Waris dan Wakaf di Dunia Islam
Oleh : Solihin NPM : 1101702
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. M. Damrah Khair, M.A.
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
PROGRAM PASCA SARJANA (S-2) SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JURAI SIWO METRO TAHUN 1433 H/2012 M