Anda di halaman 1dari 19

BAB I PENDAHULUAN Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti adat, budi pekerti.

Di sini etika dapat dipahami sebagai ilmu mengenai kesusilaan. Dalam filsafat pengertian etika adalah telah dan penilaian kelakuan manusia ditinjau dari kesusilaannya. Kesusilaan yang baik merupakan ukuran kesusilaan yang disusun bagi diri seseorang atau merupakan kumpulan keharusan, kumpulan kewajiban yang dibutuhkan oleh masyarakat atau golongan masyarakat tertentu bagi anggotaanggotanya. Sebagai suatu pendidikan profesi, pendidikan kedokteran diharapkan dapat menghasilkan dokter yang menguasai ilmu teori dan praktik kedokteran beserta perilaku dan etika yang mulia pula. Dalam upacara wisuda semua calon dokter harus mengucapkan sumpah dokter dengan disaksikan oleh Dekan, Direktur Rumah Sakit, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan, para dosen dan anggota keluarga. Dalam mengikrarkan sumpah yang didampingi oleh para pemuka agama, calon dokter berjanji akan mengamalkan Kode Etik Kedokteran. Dengan adanya hal tersebut diharapkan kelak para calon dokter akan menjadi dokter yang beretika mulia, bertanggungjawab dan taat pada hukum yang berlaku. Etika kedokteran mengatur kehidupan, tingkah laku seorang dokter dalam mengabdikan dirinya terhadap manusia baik yang sakit maupun yang sehat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Etika Etika merupakan bagian filsafat yang meliputi hidup baik, menjadi orang yang baik, berbuat baik dan menginginkan hal baik dalam hidup. Etika, sebagaimana metoda filsafat, mengandung permusyawaratan dan argumen eksplisit untuk membenarkan tindakan tertentu (etika praktis). Juga membahas asas-asas yang mengatur karakter manusia ideal atau kode etik profesi tertentu (etika normatif). Etika adalah pedoman berbuat sesuatu dengan alasan tertentu. Alasan tersebut sesuai dengan nilai tertentu dan pembenarannya. Etika penting karena masyarakat selalu berubah, sehingga kita harus dapat memilih dan menyadari kemajemukan (norma) yang ada (filsafat praksiologik). Jadi etika juga adalah alasan untuk memilih nilai yang benar ditengah belantara norma (filsafat moral). Secara etimologis, Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. (Zubair, 1980:13). Dalam Bahasa Indonesia (1991), etika diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). (Poewadarminta:1991:278). Dari pengertian kebahasaan Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu pengetahuan tentang azas akhlak. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa. Indonesia dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, etika adalah: 1. Ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral 2. Kumpulan atau seperangkat asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak 3. Nilai yang benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat Menurut Kamus Kedokteran (Kamali dan Pamuncak,1987), etika adalah pengetahuan tentang perilaku yang benar dalam satu profesi. Secara terminologis, para ahli memberi pengertian etika dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Ahmad Amin (1983) misalnya mendefinisikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat. Selanjutnya, dalam encyclopedia Britanika, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sistematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah dan sebagainya.

Dari beberapa definisi etika tersebut dapat diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut: 1. Dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. 2.Dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran maka etika tidak bersifat mutlak, absolut dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebuhan dsb. 3.Dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. 4.Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk. 2.2 Macam Macam Etika Terdapat 2 (dua) macam etika :

Etika Deskriptif Adalah etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai suatu yang bernialai. Etika Deskriptif berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan realiatas yang membudaya serta dikkaitkan dengan kondisi tertentu memnungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.

Etika Normatif Adalah etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi etika normative merupakan norma- norma yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal hal yang buruk, sesuai dengan

kaidah atau nroma yang disepakati dan berlaku di masyarakat. Lebih lanjut etika normatif dibedakan menjadi: a. Etika umum adalah aturan yang harus dipenuhi oleh setiap orang di dalam masyarakat, etika ini secara implicit mengatur hak dan kewajiban setiap anggota masyarakat terhadap individu, masyarakat dan lingkungannya. b. Etika khusus adalah aturan tingkah laku kelompok manusia atau kelompok masyarakat yang khas atau spesifik kelompok tersebut. Kelompok masyarakat yang spesifik ini adalah kelompok profesi. Kelompok profesi bervariasi dan mempunyai kekhasan prilaku sesuai dengan profesinya misalnya, profesi hokum, ekonomi ataupun kedokteran. 2.3 Etika Profesi Pekerjaan profesi (professio berarti pengakuan) merupakan pekerjaan yang memerlukan pendidikan dan latihan tertentu, memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, seperti ahli hukum (hakim, pengacara), wartawan, dosen, dokter, dokter gigi, dan apoteker. Ciri khas Profesi Menurut Artikel dalam International Encyclopedia of education, ada 10 ciri khas suatu profesi, yaitu: 1. Suatu bidang pekerjaan yang terorganisir dari jenis intelektual yang terus berkembang dan diperluas. 2. Suatu teknik intelektual. 3. Penerapan praktis dari teknik intelektual pada urusan praktis. 4. Suatu periode panjang untuk pelatihan dan sertifikasi 5. Beberapa standar dan pernyataan tentang etika yang dapat diselenggarakan. 6. Kemampuan untuk kepemimpinan pada profesi sendiri 7. Asosiasi dari anggota profesi yang menjadi suatu kelompok yang erat dengan kualitas komunikasi yang tinggi antar anggotanya 8. Pengakuan sebagai profesi 9. Perhatian yang profesional terhadap penggunaan yang bertanggung jawab dari pekerjaan profesi

10. Hubungan yang erat dengan profesi lain

Seorang

profesional

berarti

seseorang

yang

memiliki

profesi

tertentu

yang

diperoleh melalui sebuah proses pendidikan maupun pelatihan yang khusus, disamping itu ada pula unsur semangat pengabdian (panggilan profesi) didalam melaksanakan suatu kegiatan kerja. Hal ini perlu ditekankan benar untuk membedakannya dengan kerja biasa (occupation) yang sematamata bertujuan untuk mencari nafkah dan atau kekayaan. Profesional adalah orang yang terampil, handal, dan sangat bertanggungjawab dalam menjalankan profesinya. Orang yang tidak mempunyai integritas biasanya tidak profesional. Profesionalisme pada intinya adalah kompetensi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik dan benar (MenPAN, 2002 : 25).Biasanya dipahami sebagai suatu kualitas yang wajib dipunyai oleh setiap eksekutif yang baik. Ciriciri profesionalisme: 1. Punya ketrampilan yang tinggi dalam suatu bidang serta kemahiran dalam menggunakan peralatan tertentu yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas yang bersangkutan dengan bidang tadi. 2. Punya ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam menganalisis suatu masalah dan peka di dalam membaca situasi cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil keputusan terbaik atas dasar kepekaan. 3. Punya sikap berorientasi ke depan sehingga punya kemampuan mengantisipasi perkembangan lingkungan yang terbentang di hadapannya. 4. Punya sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi serta terbuka menyimak dan menghargai pendapat orang lain, namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi diri dan perkembangan pribadinya Dalam pekerjaan profesi sangat dihandalkan etik profesi dalam memberikan pelayanan kepada publik. Etik profesi merupakan seperangkat perilaku anggota profesi dalam hubungannya dengan orang lain. Pengamalan etika membuat kelompok menjadi baik dalam arti moral. Ciri-ciri etik profesi adalah sebagai berikut.:

1. Berlaku untuk lingkungan profesi 2. Disusun oleh organisasi profesi bersangkutan 3. Mengandung kewajiban dan larangan 4. Menggugah sikap manusiawi. Adapun yang menjadi tujuan pokok dari rumusan etika yang dituangkan dalam kode etik (Code of conduct) profesi adalah:
1. Standarstandar etika menjelaskan dan menetapkan tanggung jawab terhadap klien,

institusi, dan masyarakat pada umumnya.


2. Standarstandar etika membantu tenaga ahli profesi dalam menentukan apa yang harus

mereka perbuat kalau mereka menghadapi dilemadilema etika dalam pekerjaan.


3. Standarstandar etika membiarkan profesi menjaga reputasi atau nama dan fungsi

fungsi profesi dalam masyarakat melawan kelakuankelakuan yang jahat dari anggota anggota tertentu
4. Standarstandar etika mencerminkan / membayangkan pengharapan moralmoral dari

komunitas, dengan demikian standarstandar etika menjamin bahwa para anggota profesi akan menaati kitab UU etika (kode etik) profesi dalam pelayanannya
5. Standarstandar etika merupakan dasar untuk menjaga kelakuan dan integritas atau

kejujuran dari tenaga ahli profesi.


6. Perlu diketahui bahwa kode etik profesi adalah tidak sama dengan hukum (atau undang

undang). Seorang ahli profesi yang melanggar kode etik profesi akan menerima sangsi atau denda dari induk organisasi profesinya. Tujuan pendidikan etika dalam pendidikan dokter adalah untuk menjadikan calon dokter lebih manusiawi dengan memiliki kematangan intelektual dan emosional. Para pendidik masa lalu melihat perlu tersedia berbagai pedoman agar anggotanya dapat menjalankan profesinya dengan benar dan baik. Para pendidik di bidang kesehatan masa lalu melihat adanya peluang yang diharapkan tidak akan terjadi sehingga merasa perlu membuat rambu-rambu yang akan mengingatkan para peserta didik yang dilepas di tengah-tengah masyarakat selalu mengingat pedoman yang membatasi mereka untuk berbuat yang tidak layak.

2.4 Etika Kedokteran Profesi kedokteran merupakan profesi yang tertua dan dikenal sebagai profesi yang mulia karena ia berhadapan dengan hal yang paling berharga dalam hidup seseorang yaitu masalah kesehatan dan kehidupan. Menurut Pasal 1 butir 11 Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan berjenjang dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat. Hakikat profesi kedokteran adalah bisikan nurani dan panggilan jiwa, untuk mengabdikan diri pada kemanusiaan berlandaskan moralitas yang kental. Prinsip prinsip kejujuran, keadilan, empati, keikhlasan, kepedulian kepada sesama dalam rasa kemanusiaan, rasa kasih sayang, dan ikut merasakan penderitaan orang lain yang kurang beruntung. Dalam kedokteran, Etika profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh penguasa pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajibankewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi dokter. World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional. Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Perbedaan etika dengan moralitas, bahwa moralitas adalah pandangan tentang kebaikan/kebenaran dalam masyarakat. Suatu hukum dasar dari masyarakat yang paling hakiki dan amat kuat. Juga suatu perbuatan benar atas dasar suatu prinsip (maxim). Ia merujuk pada perilaku

yang sesuai dengan kebiasaan atau perjanjian rakyat yang telah diterima, sesuai nilai dan pandangan hidup sejak masa kanak-kanak, tanpa permusyawaratan. Perkembangan yang begitu pesat di bidang biologi dan ilmu kedokteran membuat etika kedokteran tidak mampu lagi menampung keseluruhan permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan. Etika kedokteran berbicara tentang hidang medis dan profesi kedokteran saja, terutama hubungan dokter dengan pasien, keluarga, masyarakat dan teman sejawat. Oleh karena itu, sejak 3 dekade terakhir ini telah dikembangkan bioetika atau disebut juga etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis. Bioetika berasal dari kata bios yang berati kehidupan dan ethos yang berarti norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetika merupakan studi interdisipliner tentang masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang biologi dan ilmu kedokteran baik skala mikro maupun makro, masa kini dan masa mendatang. Bioetika mencakup isu-isu sosial, agama, ekonomi, dan hukum bahkan politik. Bioetika selain membicarakan bidang medis, seperti abortus, euthanasia, transplantasi organ, teknologi reproduksi butan, dan rekayasa genetik, membahas pula masalah kesehatan, faktor budaya yang berperan dalam lingkup kesehatan masyarakat, hak pasien, moralitas penyembuhan tradisional, lingkungan kerja, demografi, dan sebagainya. Bioetika memberi perhatian yang besar pula terhadap penelitian kesehatan pada manusia dan hewan percobaan. Masalah bioetika mulai diteliti pertama kali oleh Institutefor the Study ofSociety, Ethics and the Life Sciences, Hosting Center, New York (Amerika Serikat ) pada tahun 1969. Kini terdapat banyak lembaga di dunia yang menekuni penelitian dan diskusi mengenai berbagai isu etika biomedik. Di Indonesia, bioetika baru berkembang sekitar satu dekade terakhir yang dipelopori oleh Pusat Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya Jakarta. Perkembangan ini sangat menonjol setelah Universitas Gajah Mada Yogyakarta yang melaksanakan pertemuan Bioethics 2000; An International Exchange dan Pertemuan Nasional I Bioetika dan Humaniora pada bulan Agustus 2000. Pada waktu itu, Universitas Gajah Mada juga mendirikan Centerfor Bioethics and Medical Humanities. Dengan terselenggaranya Pertemuan Nasional II Bioetika dan Humaniora pada tahun 2002 di Bandung, Pertemuan III pada tahun 2004 di Jakarta, dan Pertemuan IV pada tahun 2006 di Surabaya serta telah terbentuknya Jaringan Bioetika dan Humaniora Kesehatan Indonesia (JBHKI)

pada tahun 2002, diharapkan studi bioetika akan lebih berkembang dan tersebar luas di seluruh Indonesia pada masa datang. Bioetika merupakan pandangan lebih luas dari etika kedokteran karena begitu saling mempengaruhi antara manusia dan lingkungan hidup. Bioetika merupakan genus, sedangkan etika kedokteran merupakan spesies. Kaidah kaidah bioetik merupakah sebuah hukum mutlak bagi seorang dokter. Seorang dokter wajib mengamalkan prinsip prinsip yang ada dalam kaidah tersebut, tetapi pada beberapa kasus, karena kondisi berbeda, satu prinsip menjadi lebih penting dan sah untuk digunakan dengan mengorbankan prinsip yang lain. Kondisi seperti ini disebut Prima Facie. Sifat Etika Kedokteran : 1. Etika khusus (tidak sepenuhnya sama dengan etika umum) 2. Etika sosial (kewajiban terhadap manusia lain / pasien). 3. Etika individual (kewajiban terhadap diri sendiri) 4. Etika normatif (mengacu ke deontologis, kewajiban ke arah norma-norma yang seringkali mendasar dan mengandung 4 sisi kewajiban = gesinnung yakni diri sendiri, umum, teman sejawat dan pasien/klien & masyarakat khusus lainnya) 5. Etika profesi (biasa): Bagian etika sosial tentang kewajiban & tanggungjawab profesi Bagian etika khusus yang mempertanyakan nilai-nilai, norma-norma/kewajiban-kewajiban dan keutamaan-keutamaan moral Sebagian isinya dilindungi hukum, misal hak kebebasan untuk menyimpan rahasia pasien/rahasia jabatan (verschoningsrecht) Hanya bisa dirumuskan berdasarkan pengetahuan & pengalaman profesi kedokteran. 6. Etika profesi luhur/mulia : 7. Ruang lingkup kesadaran etis : prihatin terhadap krisis moral akibat pengaruh teknologisasi dan komersialisasi dunia kedokteran. Etik profesi kedokteran merupakan seperangkat perilaku para dokter dan dokter gigi dalam hubungannya dengan pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat dan mitra kerja. Rumusan perilaku para anggota profesi disusun oleh organisasi profesi bersama-sama pemerintah menjadi suatu kode etik profesi yang bersangkutan. Tiap-tiap jenis tenaga kesehatan telah memiliki Kode

Etiknya, namun Kode Etik tenaga kesehatan tersebut mengacu pada Kode Etika kedokteran Indonesia (KODEKI). Konsil Kedokteran Indonesia, dengan mengadopsi prinsip etika kedokteran barat, menetapkan bahwa, praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada kepada 4 kaidah dasar moral yang sering juga disebut kaidah dasar etika kedokteran atau bioetika, yaitu A. Beneficence Berbuat baik (beneficence). Selain menghormati martabat manusia, dokter juga harus mengusahakan agar pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya (patient welfare). Pengertian berbuat baik diartikan bersikap ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajiban. Dalam arti bahwa seorang dokter berbuat baik, menghormati martabat manusia, dokter tersebut harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap dalam kondisi sehat. Perlakuan terbaik kepada pasien merupakan poin utama dalam kaidah ini. Kaidah beneficence menegaskan peran dokter untuk menyediakan kemudahan dan kesenangan kepada pasien mengambil langkah positif untuk memaksimalisasi akibat baik daripada hal yang buruk. Prinsip prinsip yang terkandung didalam kaidah ini adalah;

Mengutamakan Alturisme Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia Memandang pasien atau keluarga bukanlah suatu tindakan tidak hanya menguntungkan seorang dokter Tidak ada pembatasan goal based Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan suatu keburukannya Paternalisme bertanggung jawab/kasih sayang Menjamin kehidupan baik-minimal manusia Memaksimalisasi hak-hak pasien secara keseluruhan Menerapkan Golden Rule Principle, yaitu melakukan hal yang baik seperti yang orang lain inginkan Memberi suatu resep berkhasiat namun murah Mengembangkan profesi secara terus menerus Minimalisasi akibat buruk

B. Non Malficence Tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence). Praktik Kedokteran haruslah memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do no harm, tetap berlaku dan harus diikuti.Non-malficence mempunyai ciri-ciri:

Menolong pasien emergensi Mengobati pasien yang luka Tidak membunuh pasien Tidak memandang pasien sebagai objek Tidak menghina/mencaci maki/memanfaatkan pasien Melindungi pasien dari serangan Manfaat pasien lebih banyak daripada kerugian dokter Tidak membahayakan pasien karena kelalaian Menghindari misrepresentasi Memberikan semangat hidup Tidak melakukan white collar crime

C. Autonomi Menghormati martabat manusia (respect for person/autonomy).. Pertama, setiap individu (pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri), dan kedua, setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan perlindungan. Dalam kaidah ini, seorang dokter wajib menghormati martabat dan hak manusia. Setiap individu harus diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak menentukan nasib sendiri. Dalam hal ini pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan membuat keputusan sendiri. Autonomi bermaksud menghendaki, menyetujui, membenarkan, membela, dan membiarkan pasien demi dirinya sendiri. Dalam bidang kedokteran biasa disebut inform consent Menurut Kant : otonomi kehendak sama dengan otonomi moral yakni : kebebasan bertindak, memutuskan (memilih) dan menentukan diri sendiri sesuai dengan kesadaran terbaik bagi dirinya yang ditentukan sendiri tanpa hambatan, paksaan atau campur-tangan pihak luar (heteronomi), suatu motivasi dari dalam berdasar prinsip rasional atau self-legislation dari manusia. Menurut J. Stuart Mill : otonomi tindakan/pemikiran sama dengan otonomi individu, yakni

kemampuan melakukan pemikiran dan tindakan (merealisasikan keputusan dan kemampuan melaksanakannya), hak penentuan diri dari sisi pandang pribadi. *Menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, membiarkan pasien demi dirinya sendiri = otonom (sebagai mahluk bermartabat). Kaidah Autonomi mempunyai prinsip prinsip sebagai berikut:

Menghargai hak menentukan nasib sendiri Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan Berterus terang menghargai privasi Menjaga rahasia pasien Menghargai rasionalitas pasien Melaksanakan Informed Consent Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri Tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi pasien Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam membuat keputusan, termasuk keluarga pasien sendiri Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi Tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikann pasien Mejaga hubungan atau kontrak

D. Justice Keadilan (justice). Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan jender tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter. Keadilan atau Justice adalah suatu prinsip dimana seorang dokter wajib memberikan perlakuan sama rata serta adil untuk kebahagiaan dan kenyamanan pasien tersebut. Perbedaan tingkat ekonomi, pandangan politik, agama, kebangsaan, perbedaan kedudukan sosial, kebangsaan, dan kewarganegaraan tidak boleh mengubah sikap dan pelayanan dokter terhadap pasiennya Memberi perlakuan sama untuk setiap orang (keadilan sebagai fairness) yakni: a. Memberi sumbangan relatif sama terhadap kebahagiaan diukur dari kebutuhan mereka

(kesamaan

sumbangan

sesuai

kebutuhan

pasien

yang

memerlukan/membahagiakannya)

b. Menuntut pengorbanan relatif sama, diukur dengan kemampuan mereka (kesamaan beban sesuai dengan kemampuan pasien). Tujuan : Menjamin nilai tak berhingga setiap pasien sebagai mahluk berakal budi (bermartabat), Jenis keadilan : a. Komparatif (perbandingan antar kebutuhan penerima) b. Distributif (membagi sumber) : kebajikan membagikan sumber-sumber kenikmatan dan beban bersama, dengan cara rata/merata, sesuai keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmani-rohani; secara material kepada : Setiap orang andil yang sama Setiap orang sesuai dengan kebutuhannya Setiap orang sesuai upayanya. Setiap orang sesuai kontribusinya Setiap orang sesuai jasanya Setiap orang sesuai bursa pasar bebas c. Sosial : kebajikan melaksanakan dan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bersama
d. Hukum (umum) : Kebajikan memberikan / mengembalikan hak-hak kepada yang berhak, pembagian sesuai dengan hukum (pengaturan untuk kedamaian hidup bersama) mencapai kesejahteraan umum.

Justice mempunyai ciri-ciri :


Memberlakukan segala sesuatu secara universal Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan Memberikan kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama Menghargai hak sehat pasien Menghargai hak hukum pasien Menghargai hak orang lain Menjaga kelompok rentan Tidak membedakan pelayanan terhadap pasien atas dasar SARA, status social, dan sebagainya Tidak melakukan penyalahgunaan

Memberikan kontribusi yang relatif sama dengan kebutuhan pasien Meminta partisipasi pasien sesuai dengan kemampuannya Kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian secara adil Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alasan sah atau tepat Menghormati hak populasi yang sama sama rentan penyakit atau gangguan kesehatan Bijak dalam makroalokasi Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral

kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan. IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi). Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar hanya akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat seperti kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran. 2.5 Etika Kedokteran Forensik

Dokter spesialis kedokteran forensik atau yang bergerak dalam bidang forensik (pemeriksa korban/dugaan pelaku sekaligus pembuat visum et repertumnya) membangun keyakinan profesinya melalui cara mengedepankan obyektivitas fakta medik. Fakta medik tersebut dibangun atas dasar paradigma/metode biomedik ilmu kedokteran menjadi benda bukti biomedik, misalnya dalam bentuk identitas korban, luka-luka, laboratorium penunjang terhadap temuan makroskopisj dan benda yang disekitar korban/dugaan pelaku. Obyektivitas ini amat penting karena hingga kini peradilan masih lebih memberi bobot pembuktian pada buLti biomedik sebagai buLti ilmiah (scientifcirooi dibandingLan dengan keterangan saksi (testimonial statements) karena dipandang lebih obyektif, kurang bias kepentingan saksi dan rendahnya kesalahan akibat ingatan pengamatan saksi terhadap peristiwa/kejadian yang sama 49 Obyektivitas juga berupa keterbukaan setiap peluang penyebab fakta/buLti biomedik tersebut yang multifaktorial medikolegal (ilmu kedokteran maupun ilmu hukum) oleh mereka yang kompeten dan berwenang yang serta merta menunjuLkan sederet ciri perilaku etisnya. Ilmu kedokteran forensik mengutamakan prinsip dasar etika kedokteran meliputi: prinsip tidak merugikan (non maleficence), prinsip berbuat baik (beneficence), prinsip menghormati otonomi pasien (autonomy), dan prinsip keadilan (justice). Prinsip tidak merugikan (non maleficence), merupakan prinsip dasar menurut tradisi Hipocrates, primum non nocere. Jika kita tidak bisa berbuat baik kepada seseorang, paling tidak kita tidak merugikan orang itu. Dalam bidang medis, seringkali kita menghadapi situasi dimana tindakan medis yang dilakukan, baik untuk diagnosis atau terapi, menimbulkan efek yang tidak menyenangkan. Prinsip berbuat baik (beneficence), merupakan segi positif dari prinsip non maleficence. Prinsip menghormati otonomi pasien (autonomy), merupakan suatu kebebasan bertindak dimana seseorang mengambil keputusan sesuai dengan rencana yang ditentukannya sendiri. Di sini terdapat 2 unsur yaitu : kemampuan untuk mengambil keputusan tentang suatu rencana tertentu dan kemampuan mewujudkan rencananya menjadi kenyataan. Dalam hubungan dokter-pasien ada otonomi klinik atau kebebasan professional dari dokter dan kebebasan terapetik yang merupakan hak pasien untuk menentukan yang terbaik bagi dirinya, setelah mendapatkan informasi selengkaplengkapnya. Prinsip keadilan (justice), berupa perlakuan yang sama untuk orang-orang dalam situasi yang sama, artinya menekankan persamaan dan kebutuhan, bukannya kekayaan dan kedudukan social.

Perilaku dokter spesialis forensik bersandar pada etika kedokteran forensik, suatu kekhususan etika kedokteran yang menitikberatkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut : a. Imparsialitas (dalam prosedural dan penyajian fakta ilmiahforensik) Sikap imparsial (tidak berpihak) dalam bidang forensik merupakan ciri utama yang khas, karena kiprah dekter disini hanyalah demi tegaknya keadilan. Bagi spesialis forensik yang memeriksa korban mati, hal ini nampak lebih jelas karena sebagian besar ia sebelumnya tak mengenal korbannya, sehingga tugasnya mengungkapkan patologi ketika melakukan pemeriksaan luar atau otopsi, imparsialitas ini mudah dilakukan. Relevansi imparsialitas muncul ketika dokter yang memeriksa kasus forensik hidup seperti perkosaan atau penganiayaan atau dugaan pelaku yang sedang sakit. Dalam hal ini dokter justru para klinisi dan bukan spesialis forensik, terkena tanggungjawab ganda (dual responsibility), karena ia harus berdiri di tempat yang sesuai secara prima facie (berubah menjadi dan sesuai dengan konteks tugas dan fungsinya yang ada saat itu). Pada saat bertujuan untuk kepentingan penyembuhan atau peredaan sakit si pasien ia berfungsi sebagai dokter pengobat (treating physician) yang tentu saja posisi ini harus partisan karena membela kesehatan pasiennya. Namun di saat untuk kepentingan hukum dalam rangka pengumpulan dan pencatatan bukti-bukti dugaan kejahatan di tubuh korban yang sekaligus juga pasien, ia berfungsi sebagai dokter pemeriksa (assessing physicizan) yang menunjuLkan posisi imparsial. Imparsialitas sebagai dokter pemeriksa akan memberikan warna tersendiri, yang makin lama makin terbiasa, sehingga dokter yang menekuni bidang ini akan memiliki kemampuan analisis etikolegal kasus, menyelesaikan kasus (resolusi konflik), menyeimbangkan antara kepekaan terhadap Hak Asasi Manusia yang sering mewarnai ketidakadilan kondisi tertentu dengan kemaslahatan tujuan program kesehatan masyarakat. Pengabdian khusus profesi sebagai dokter pemeriksa akan memunculkan daya kritis terhadap masalah kerahasiaan medik (wajib simpan vs wajib buka), kapasitas pelaku kejahatan untuk diadili /menjalani sanksi (kompeten atau tidak kompeten) setelah beberapa waktu pasca dugaan kejahatan yang dilakukannya dan kemampuan pembuatan peraturan perundang-undangan (legislasi), khususnya hukum disiplin profesi kedokteran. b. Pengabdian khusus untuk penegakan keadilan

c. Obyektivitas medikolegal (berbasis fakta, keterikatan pada dasar ilmu pengetabuan hukum dan kedokteran). Obyektivitas medikolegal mensyaratkan dua hal pokok yakni: Pemerian (deskripsi) gejala dan fakta di tubuh manusia secara apa adanya oleh dokter sebagai subyek yang independen (bebas nilai atau kepentingan selain nilai ilmiah) untuk dijadikan sebagai bukti. Dalam pemerian luka misalnya, dokter menempatkannya di "bagian pemberitaan" dari Visum et Repertum secara apa adanya, secara tersendiri. Dalam pemerian ini dokter mengaplikasikan traumatologi, suatu topik yang dipelajari di Departemen Fisika, Anatomi, Fisiologi, Patologi Anatomik, Penyakit Dalam dan Bedah di Fakultas Kedokteran. Nampak disini, untuk satu hal yang sederhana, yakni luka, minimal dokter memerlukan bantuan kombinasi beberapa ilmu-ilmu kedokteran dalam proses membuat ekspertise. Membuat dan melestarikan rantai kebenaran medikolegal dalam bentuk rangkaian hubungan-hubungan sebab akibat, baik secara deduktif (dari hukum ke medik) dan atau induktif (dari medik ke hukum). d. Profesionalitas atau kemampuan dialogis etika interprofesional dengan norma utama kejujuran ilmiah. Sikap jujur (termasuk dalam interaksi/dialog dengan pihak/ahli penegak hukum), dan hati-hati (dalam mengutarakan pendapat) kepada rekan profesi penegak hukum yang memiliki logika, tradisi dan metodologi ilmiah tersendiri namun awam medik karena perbedaan metodologis keilmuan cenderung untuk terjadi kesalahpahaman. Adanya kemampuan komunikasi dan dialog antar profesi memang mempersyaratkan adanya kejujuran antar mereka. Apabila hal ini terjadi, akan memunculkan cinta kebenaran (veracity) di setiap tahap/langLah pembuktian yang ada di sepanjang proses peradilan. Dengan demikian peradilan benar-benar akan mencapai tujuannya, yakni menghukum orang yang benar-benar salah secara akurat, dan efisien. Sebaliknya pengadilan akan membebaskan orang yang tidak terbukti kesalahannya. Visum et Repertum atau surat keterangan medik (medical report) dan ekspertis kesaksian ahli sebagai kombinasi produk keilmuan medikolegal yang positivistik (inderawi) dan sikap etis dokter pembuatnya diharapkan menjamin tegaknya kebenaran ilmiah yang mendasari kebenaran material suatu perkara hukum. Dengan kebenaran material tersebut, diharapkan hakim akan tidak ragu-ragu lagi menjatuhkan putusan yang adil.

BAB III KESIMPULAN Etika kedokteran merupakan salah satu etika khusus dan etika sosial dalam kedokteran yang memenuhi kaidah praksiologik (praktis) dan filsafat moral (normatif) yang berfungsi sebagai pedoman (das sollen) maupun sikap kritis reflektif (das sein), yang bersumber pada 4 kaidah dasar moral beserta kaidah turunannya. Kaidah dasar moral bersama dengan teori etika dan sistematika etika yang memuat nilai-nilai dasar etika merupakan landasan etika profesi luhur kedokteran. Pemahaman awal kaidah dasar moral akan menimbulkan kesadaran moral, yang dengan latihan dan paparan terhadap kasus-kasus kedokteran yang sebelumnya dan berkembang di masa mendatang diharapkan akan membekali kemampuan reflektif-analitik dokter, termasuk mahasiswa kedokteran, yang dengan mekanisme pendidikan dalam rangka saling mengingatkan terus menerus dan mencegah penyimpangan (amar maruf nahi mungkar) antar anggota profesi pada akhirnya akan menumbuhkan tangungjawab etis sesuai dengan moralitas profesi kedokteran. Tanggungjawab etis yang merupakan suara hati seorang dokter akan mempertahankan perilaku etis seluruh anggota profesi agar korps dokter ke depan tetap merupakan profesi mulia dengan setiap anggotanya masing-masing memiliki kesucian hati nurani.

DAFTAR PUSTAKA . Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum\Kesehatan (4th ed). Jakarta: EGC. Hartono, Budiman., Salim Darminto. 2011. Modul Blok 1 Who Am I? Bioetika, Humaiora dan Profesoinalisme dalam Profesi Dokter. Jakarta: UKRIDA. Jonsen, A.R., Siegler, M, Winslade, W.J. (2002). Clinical Ethics. A Practical Approach to Ethical Decisions in Clinical Medicine. McGraw-Hill. New York. Konsil Kedokteran Indonesia.2006.Standar Kompetensi Dokter.Jakarta Kepaniteraan Klinik Kedokteran Forensik dan Medikolegal.Banda Aceh: FK Unsyiah/RSUDZA
Limpo. 2009 .Hak Pasien atas Informasi Medis. http:// WordPress.com. Akses Agustus 2009.

Mulyo,R

Cahyono

Adi.2006.Perananan

Dokter

dalam

Proses

Penegakan

Hukum

Kesehatan.Universitas Negeri Semarang Majalah Farmacia Edisi Desember 2007 , Halaman: 62 Robert C. Solomon. (1984). Etika, Suatu Pengantar. Erlangga. Jakarta.Suseno, F.M. Mimeograf Kuliah Etika. Program Pascasarjana Filsafat UI. 2000. Sampurna,Budi.2009.Malpraktek Hukum.www.freewebs.com. Kedokteran Pemahaman Dari Segi Kedokteran dan

Anda mungkin juga menyukai