Anda di halaman 1dari 7

Edisi: April 2012

Ford Foundation

Pontianak.tribunnews.com

Ucapan Selamat Hari Kartini di salah satu media online

da yang cukup menarik untuk diberi catatan tentang pemberitaan Peringatan Hari Kartini 2012 di media massa, khususnya media cetak, lebih khusus lagi pada foto berita yang ditampilkan. Beberapa tahun lalu, hampir pasti media cetak berupa suratkabar harian menampilkan foto orang dengan embel-embel di caption (keterangan foto) "Memperingati Hari Kartini". Sosok itu bisa sendiri, bisa berkelompok, bisa perseorangan, kadang-kadang representasi institusi atau korporasi, misalnya pegawai bank. Sosok-sosok ini berbalut busana tradisional daerah. Yang menggelikan, pernah ditampilkan foto pengemudi bus kota mengenakan busana daerah berupa kebaya dan kain saat bekerja sebagai pengemudi di Hari H 21 April. Jika tidak berupa foto-foto sosok berbusana daerah, yang ditampilkan media yaitu perempuan menggendong anak sambil bekerja di sawah, dengan caption yang kurang tepat. Misalnya saja dengan judul Tanggung Jawab Perempuan diikuti komentar "tak melupakan kodrat sebagai perempuan dst (apakah menggendong anak merupakan kodrat perempuan?) Kali ini, foto berita semacam itu bisa dikatakan tak muncul di suratkabar terbitan Jakarta maupun lokal Yogya, terutama sebagai foto utama atau foto headline.

Tidak adanya foto-foto seperti itu menarik untuk dicatat bukan dengan maksud mempertanyakan mengapa foto-foto seperti itu tak ada. Kita yakin, seremoni Hari Kartini dengan tampilan sosok-sosok berbalut busana daerah tetap berlangsung di masyarakat sebagai fakta sosial. Absennya foto stereotype tersebut di halaman suratkabar mungkin saja karena awak media, pewartafoto maupun editor tidak menemukan tampilan-tampilan baru dengan ide segar sehingga menarik (bukan penting!) untuk dipotret dan dipublikasikan. Bisa juga para editor sudah bosan menampilkan foto semacam itu dari tahun ke tahun. Atau, memang foto semacam itu kalah seksi dibanding peristiwa-peristiwa lain. Kemungkinan lain, terjadinya hal itu karena adanya "perubahan" cara pandang di kalangan pewartafoto maupun editor. Bahwa bukan saatnya lagi menampilkan foto semacam itu. Itu masa lalu. Memperingati Hari Kartini tidak identik dengan berkebaya atau berpakaian tradisional. Apapun yang melatarbelakangi tidak munculnya foto stereotip Peringatan Hari Kartini, satu hal penting adalah publik (khalayak pembaca) sejenak dijauhkan dari secuil produk konstruksi sosial yang bias gender yang melabeli Kartini hanya dengan kebaya dan atau busana daerah. Disadari ataupun tidak oleh pengelola media (editor dan reporter), media massa telah turut andil dalam mengukuhkan konstruksi sosial yang bias gender di masyarakat, yang korbannya terutama adalah perempuan. Konstruksi sosial yang bias gender itu tak hanya termanifestasikan melalui tulisan. Tak sedikit foto yang ditampilkan memperkuat konstruksi tersebut. Konstruksi melalui foto bisa hadir dengan sendirinya melalui imaji visual atau pada caption (keterangan foto). Media memperkokoh konstruksi itu dengan mereproduksi faktafakta tersebut dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari peringatan yang satu ke peringatan than berikutnya. Tidak bisa dipungkiri, output media semacam itu tak lepas dari dunia psiko-kultural yang melingkupi para awak media, yakni reporter/pewartafoto dan editor. Seorang wartawan dan seorang redaktur atau editor media secara
..................... bersambung ke hal 12

Cara mendapatkan NEWSLETTER PMP AIDS: Kirimkan identitas serta nama media Anda, akan kami kirimkan secara gratis. Informasi yang kami muat di NEWSLETTER dapat dikutip atau disiarkan tanpa ijin asal menyebut sumber. Apabila anda memiliki informasi tentang HIV/AIDS yang layak untuk disebarkan kepada masyarakat luas, silakan kirim dan akan kami muat. Anda dapat menghubungi kami ke alamat: LP3Y Jl.Kaliurang Km 13,7 Ngemplak, Sleman, Yogyakarta 55584 atau via telepon dan faksimili No. (0274)896016, email: lp3y@idola.net.id dan situs http://www.lp3y.org
Penanggung Jawab : Ashadi Siregar Pimpro/Pemimpin Redaksi : Slamet Riyadi Sabrawi Staf Redaksi : Agoes Widhartono, Dedi H Purwadi, Ismay Prihastuti, Rondang Pasaribu Sekretaris Redaksi : W. Nurcahyo

Edisi: April 2012

Dapur Info

Analisis Info

Diskusi Perlindungan Anak

Gebrakan Pejabat Publik dan Komoditas Media


Demikian informasi tentang seorang pejabat negara yang sesungguhnya, memang sedang menjalankan tugas dan fungsinya. Namun, bagi dunia media pers, langkah sang pejabat itu kemudian dijadikan sebuah komoditas. Disebut sebagai komoditas, karena memang sosok pejabat itu dan juga peristiwa yang ditimbulkannya memenuhi hampir semua kriteria layak berita. Faktor ketermukaan (prominence), penting (significance), aktual, misalnya, terpenuhi dalam peristiwa tersebut. Sebagai sebuah peristiwa momentum, kasus membuka pintu tol itu, merupakan jelas memiliki nilai berita (news value) tinggi. Sebagai individu, sepak terjang sang menteri selama ini memang sering diapresiasi oleh media pers. Tidak hanya dilihat sebagai man make news, namun, yang mungkin sering tidak disadari oleh khalayak adalah bahwa tak jarang pewartaan tentang sang menteri itu menjadi sebuah apresiasi yang lebih memaparkan unsur sensasinya sebagai pribadi. Dengan demikian, penekanan informasi tidak pada esensi makna dan tujuan yang hendak dicapai oleh sang menteri dalam posisinya sebagai aparatur negara. Dengan demikian, jika penonjolan sensasi itu lebih sering terjadi, yang akan didapatkan oleh khalayak di media pers, baik melalui tayangan televisi atau media cetak, sebatas hiburan belaka. Artinya, sebagai sebuah komoditas, berita tentang sepak terjang menteri yang sebenarnya sedang dalam upaya terus mengedepankan clean government demi menghilangkan mental birokrat yang korup, itu justru terjerembab hanya sebagai berita yang sebatas memberi ganjaran psikologis kepada khalayak. Pesan substansial yang semestinya terkandung di balik peristiwa dengan figur sentral sang menteri, justru tidak tersampaikan kepada pembaca atau khalayak luas. Untuk melihat hal tersebut, barangkali bisa dirunut catatan yang ditampilkan oleh media pers, khusus tentang kiprah seorang Dahlan Iskan, dalam kapasitasnya sebagai seorang pejabat negara, seperti dimuat detik Finance edisi 22 Maret 2012, dikutip sebagai berikut:

republika.co.id
http://outreacher.depsos.go.id

Bertempat di ruang pertemuan Gedung Masri Singarimbun PSKK UGM, Jumat (20/4 2012) lalu diselenggarakan diskusi dengan tema Pemetaan Pengembangan Perlindungan Anak Kota Yogyakarta. Ini merupakan diskusi berseri para pegiat gender dan pemberdayaan perempuan. Penyelenggara diskusi adalah lembaga non pemerintah terdiri atas PSKK, SCN Crest, LSPPA, LkiS Perempuan dan PLIP Mitra Wacana. Adapun narasumber yang dihadirkan pada diskusi kali ini adalah Dra Sri Adiyani (KMKP Kota Yogyakarta). Diskusi yang digelar mulai pukul 09.00 11./30 WIB itu diikuti oleh sekitar 50 orang peserta. Menurut Ariyani, penelitian dia lakukan pada 12 kelurahan di Kota Yogya, dengan kriteria sebagai dasar pemilihan adalah letak geografis, kelurahan yang mempunyai wilayah di bantaran sungai, kelurahan yang tidak mempunyai wilayah di bantaran sungai, kelurahan yang berbatasan dengan kabupaten lain, serta tingkat sosial ekonomi mereka. Alat penelitian yang digunakan adalah menyebarkan kuesioner di 12 kelurahan, sebanyak 1.777 kuesioner. Jumlah kuesioner yang kembali ada 1.564 kuesioner. Selain itu juga dilakukan diskusi kelompok terarah serta wawancara dan observasi lingkungan. Penentuan hasil situasi dan kondisi anak didapatkan dengan indikator antara lain kesehatan, pendidikan anak, partisipasi, lingkungan, kekerasan terhadap anak, hak sipil,

dan anak berkebutuhan khusus. Dari hasil penelitian diketahui bahwa anak yang tinggal di wilayah bantaran sungai dan bantaran berbatasan banyak yang mendapatkan kekerasan fisik dan non fisik. Mereka juga sering begadang, minum, mabuk, turun/bekerja di jalanan, tidak sekolah, bahkan di wilayah tertentu sudah mengakses situr porno secara bebas. Sedangkan anak yang tinggal di wilayah non bantaran dan non bantaran berbatasan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, fisik maupun non fisik. Mereka sering terlibat dalam tawuran, drop out dari sekolah, mengakses situs porno, minun dan judi serta turun ke jalanan. Adapun sarana dan prasarana di wilayah non bantaran dan non bantaran berbatasan, ada fasilitas PAUD/TPA, ada sekolah SD, SMP, SMA, tempat ibadah, rumah gizi dan tempat bermain anak-lapangan sepakbola. Sedangkan fasilitas di wilayah bantaran dan bantaran berbatasan ada WC dan kamar mandi umum, Posyandu, PAUD, sanggar kesenian, sekolah minggu, tempat ibadah sanggar anak. Menurut Ariyani, dengan hasil penelitian seperti yang dipaparkan itu, dengan lingkungan yang tertata, tingkat polusi yang rendah, diharapkan mampu mendukung proses tumbuh kembang anak, mewujudkan masyarakat Yogya yang bermoral, beretika, beradab dan berbudaya. (awd)

Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan membuat heboh di jalan tol Slipi, Jakarta, Selasa, 20 Maret 2012. Bak seorang koboi, Dahlan turun dari mobilnya dan "mengamuk" karena melihat antrean lebih dari 30 mobil di gerbang tol. Sang koboi meloloskan hampir 100 mobil tanpa bayar tol. Begitulah teks di atas merupakan alinea pembuka (teras berita atau lead), berita berjudul Begini Aksi Koboi Dahlan Iskan di Jalan Tol (Tempo.co, 20 Maret 2012/16.23 WIB). Di bawah alinea itu, informasi tentang sang menteri masih dilanjutkan dengan teks, yang dikutip sebagai berikut: Tempo menerima foto adegan Dahlan ketika turun dari mobil. Berkemeja putih, bekas Direktur PLN ini turun dari mobil dan mengatur lalu lintas di gerbang tol. Terlihat Dahlan berada di tengah sesaknya antrean mobil.

NO
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

AKSI
Jadi Sopir Wakil Menteri BUMN Naik Kereta Demi Rapat di Istana Bogor Menyetir Mobil 40 Km Hanya Demi Melihat Sapi Ngamuk di Tol Semanggi Rapat Wajib Seluruh Direksi BUMN tiap Selasa Test Drive Mobil GEA dan Esemka Tolak Lift, Ruang Kerja Pribadi dan Mobil Dinas Jalan Kaki ke Kantor Jero Wacik Menginap di Rumah Petani Miskin Rapat dengan Direksi BUMN Pakai "BBM

KETERANGAN

Saat Hari Pers di Jambi Jakarta

Sabagai Dirertur PLN Di Sragen Jateng

Edisi: April 2012

Edisi: April 2012

Analisis Info

Special Info

Sepuluh item catatan di atas, merupakan jejak perjalanan seorang pejabat negara, bernama Dahlan Iskan, yang kini menjabat sebagai Menteri BUMN. Catatan itu dipaparkan mulai ketika yang bersangkutan masih menduduki jabatan direktur PLN. Jika hanya dilihat selintasan, bagi iklim kerja terutama pada birokrasi negara, kiprah sang menteri sering dianggap sebagai sebuah terobosan, karena memang selama ini, hal-hal tersebut sangat jarang terjadi. Makna dari seluruh tindakan pribadi sang pejabat dalam catatan di atas, sebenarnya adalah bagaimana memelihara nalar dan akal sehat untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Sebab, seperti diketahui, yang terjadi pada birokrasi di negeri ini bahwa prinsip birokrat melayani rakyat, justru yang tejadi sering sebaliknya. Oleh sang pejabat, yang selama puluhan tahun kariernya berada dalam korporasi swasta, sesungguhnya hendak mengembalikan tugas dan fungsi birokrat dapat porsi sebenarnya. Namun, peristiwa yang direkam seperti penggalan catatan di atas, oleh media sering disikapi sekadar sebagai sebuah komoditas. Media terbelenggu pada news worthiness, tidak memproduksi makna atas realitas ruang publik sehingga bisa mencerahkan. Konflik, sebagaimana halnya seks dan kriminalitas, bagi jurnalisme memang menyenangkan dan mempunyai nilai tinggi menjadi barang dagangan yang laku dijual. Tindakan seorang pejabat yang dinilai berlawanan arus dengan apa yang sedang dan biasa terjadi, seperti halnya kiprah seorang menteri di atas, pun mengandung nilai konflik yang dianggap punya nilai jual bagi pers. Kemudian, yang terjadi adalah, sering realitas publik berlawanan dengan idealisasi jurnalisme. Idealisasi jurnalisme berhenti pada realitas media yang penuh wacana tapi kadang sedikit mewartakan makna. Untuk kasus ini, berbagai acara perbincangan di televisi, bisa menjadi contoh. Betapa wacana berhamburan di dalam ruang studio, namun sedikit sekali menyentuh bagaimana realitas sosial yang dialami khalayak. Kalau pun ada, hanya sedikit. Selebihnya banyak memberikan opini atau teori yang jauh dari fakta itu. Kembali pada peristiwa yang lahir dari seorang menteri BUMN di atas, kalau memang benar media pers hendak memberi pencerahan substansial, tentu tidak berhenti sebatas mewartakan hal itu sekadar sebagai sebuah aksi sensasional. Dalam kaitan ini, haruslah ada pengawalan yang terus menerus dari mata media pers akan apa yang terjadi kemudian, setelah gebrakan seorang menteri itu dilancarkan. Berita yang dimuat suratkabar Kompas (halaman 20) pada edisi yang sama (22/3/12) bisa dikatakan substansinya sama, namun olahan sajiannya sedikit berbeda. Di bawah judul Pelayanan Pengelola Tol Harus Makin Baik, alinea pembukanya dikutip sebagai berikut:

Menteri BUMN Dahlan Iskan meminta pengelola jalan tol harus memberikan pelayanan terbaik. Salah satu pelayanan yang penting adalah pengurangan antrean saat pembayaran di pintu tol. Memang tidak ada satu kata yang bernuansa sensasional dalam berita tersebut. Secara rinci, pada berita dua kolom terdiri atas delapan alinea, itu mendeskripsikan peristiwa yagn terjadi di pintu tol Semanggi, Slipi, Jakarta Selasa (20/3) pagi. Tidak ada kalimat atau kata padanan makna aksi sang menteri itu, misalnya, yang sama dengan aksi seorang koboi. Meski demikian, meski tidak sebatas pada pemberitaan sensasional yang berpijak dari aksi seorang pejabat negara sebagai individu, namun, sejauh ini tidak ada follow up, atau berita kelanjutan pasca peristiwa tersebut. Apakah pelayanan di jalan tol lebih baik, menjadi lebih lancar setelah sang menteri mengamuk pada peristiwa di pagi hari itu? Apakah jalan tol di Jakarta kini tidak lagi macet dan tak ada lagi antrean jika masuk di pintu tol? Ternyata tidak ada beritanya. Dengan demikian, pewartaan aksi sang menteri yang hanya dilihat sebagai sebuah sensasi, menjadi tak terbantahkan. Tentu hal ini merupakan kesia-siaan praktik jurnalisme, mengingat kesiapsiagaan, kewaspadaan dan kejelian seorang jurnalis pada lingkungannya adalah harus selalu peka dan terjaga pada segala fakta sosial. Berkaitan dengan peristiwa, mestinya jurnalis bisa terus mengawal sebelum maupun sesudah sebuah peristiwa itu terjadi. Menyangkut peristiwa di pintu tol demi memenuhi hak publik, maka bisa dikatakan bahwa kepentingan publik di dalam kehidupan publik dapat disebut sebagai implementasi atas hak warga negara. Hal itu bisa bersifat otomatis harus diperoleh dan ada yang harus diupayakan sendiri. Sedangkan publik, khalayak, adalah individu yang menjadi warga yagn secara bersama-sama memberi kuasa kepada negawa untuk menelenggarakan kepentingan mereka. Dalam hal gebrakan menteri BUMN itu, sesungguhnya, sebagai seorang aparatur negara dia hendak mengembalikan hak publik itu sebagaimana mesti diterima. Tentu kejanggalan nalar yang luar biasa, jika untuk sebuah aktivitas ketika orang harus membayar, ternyata masih diharuskan antre lama, macet dan dalam ketidaknyamanan, seperti terjadi di pintu tol di Jakarta itu. Berangkat dari titik sederhana seperti itulah sebenarnya tindakan sang menteri adalah dalam upaya mengembalikan hak publik. Pertanyaan sekaligus tantangan bagi media pers adalah, bagaimana pers setiap hari senantiasa bisa tetap menjaga kekritisan dalam mengawal kebijakan negara demi kepentingan publik, namun sekaligus juga tidak terjebak dalam pewartaan sensasional demi komodifikasi belaka. (awd)

Hari Kartini:

Bukan Emansipasi Ala Kuda Troya


Dalam buku yang mengisahkan riwayat hidupnya, Kartini yang hari kelahirannya diperingati bulan ini disebutkan adalah seorang yang gemar membaca buku dan majalah yang cukup 'berat.' Meski demikian, tidak ada satu kalimat pun yang dapat dijadikan rujukan bahwa Kartini pernah membaca kisah tentang kuda troya. Lantas, apa kaitan antara emansipasi dan kuda troya? Kuda troya sebagai suatu analogi untuk mempermudah pemahaman kritis atas maraknya kecenderungan di beberapa daerah, di mana istri kepala daerah setempat ikut mencalonkan diri dalam Pilkada untuk masa jabatan periode berikut. Sang suami, yang telah menjabat sebagai kepala daerah dua periode, akan habis masa jabatannya. Sesuai undang-undang, setiap kepala daerah yang telah menjabat dua periode tidak diperbolehkan mencalonkan diri untuk periode berikut. Paparan berikut akan mengetengahkan pandangan bahwa keikut-sertaan seorang istri kepala daerah dalam Pilkada, dalam konteks emansipasi perempuan, adalah suatu kemajuan. Namun apabila keikut-sertaan itu diputuskan yang bersangkutan bukan sebagai seorang perempuan yang memiliki kebebasan dan otonomi, maka kemajuan itu bagaimanapun bukanlah kemajuan seperti yang dicita-citakan oleh Kartini, melainkan emansipasi ala kuda troya. Dinasti Kekuasaan Secara umum, bisa dikatakan bahwa kemajuan yang dicapai perempuan belakangan ini menunjukkan peningkatan pesat di berbagai bidang. Semakin banyak perempuan yang menunjukkan prestasi mengagumkan sebagai profesional handal di berbagai bidang. Mereka menduduki posisi tertinggi di berbagai perusahaan atau lembaga baik di tingkat nasional maupun internasional. Di bidang politik, ada yang sudah pernah menjadi presiden, menteri, gubernur, bupati atau walikota, dan tidak sedikit yang menjadi politisi dan duduk sebagai anggota lembaga legislatif. Dengan kemajuan seperti digambarkan tersebut, kiranya tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa apa yang dicita-citakan Kartini sebagian sudah tercapai. Kenyataan semakin banyak perempuan berprestasi sebagai profesional handal, menunjukkan hal itu. Sebab untuk menjadi profesional, jalur yang harus ditempuh jelas, yaitu pendidikan. Sekarang ini, boleh dikata, tidak ada bidang pendidikan yang tidak bisa dimasuki perempuan. Dengan kemajuan yang telah dicapai itu, keikutsertaan istri kepala daerah, entah itu istri bupati atau walikota, bukan lagi sesuatu yang mengherankan. Lagi pula, berdasarkan undang-undang, tidak ada larangan bagi seorang istri kepala daerah untuk mencalonkan diri dalam Pilkada yang akan menentukan siapa yang menjabat sebagai kepala daerah untuk periode berikut. Sebagai warganegara, istri kepala daerah tidaklah kehilangan hak politik untuk memilih dan dipilih. Jadi, sesungguhnya sahsah saja jika istri kepala daerah ikut mencalonkan diri dalam Pilkada. Meski keikut-sertaan istri kepala daerah dalam Pilkada sah secara hukum, muncul dugaan bahwa keikutsertaan tersebut merupakan bagian dari upaya membangun dinasti kekuasaan. Jabatan yang ditinggalkan suami karena undang-undang mengharuskan demikian, diharapkan bisa diisi oleh sang istri. Pada periode berikutnya, sang suami bisa ikut mencalonkan diri kembali. Sesudah itu, sang anak yang maju. Terkait hal itu, Kementerian Dalam Negeri sudah menyatakan niatnya mempersempit peluang upaya pembentukan dinasti kekuasaan ini dengan cara merevisi UU no. 32 Tahun 2004 terutama mengenai persyaratan calon kepala daerah. Sebagaimana dikemukakan Kepala pusat penerangan (Kapuspen) Kemendagri, Reydonnyzar Moenek pada JPNN, Kamis (17/2) di Jakarta, akan diusulkan bahwa calon kepala daerah yang ikut Pilkada tidak boleh memiliki hubungan darah, baik bersifat lurus ke atas, ke bawah dan ke samping ataupun hubungan perkawinan, dengan kepala daerah yang masih aktif menjabat walau masa jabatannya akan segera berakhir (www.jpnn.com). Namun, hingga kini, niat tersebut belum terlaksana. Barangkali karena niat itu akan mengundang kontroversi. Sebab, apabila dilaksanakan, peraturan semacam itu jelas sama saja mengebiri hak warganegara. Jadi, tidak ada larangan tertulis yang mempunyai kekuatan hukum untuk mencegah istri kepala daerah ikut pilkada.

Edisi: April 2012

Edisi: April 2012

Special Info

Info Kolaborasi

Ala Kuda Troya Menurut Ikrar Nusa Bhakti, ada problem politik yang muncul ketika istri kepala daerah ikut Pilkada. Dalam tulisannya, Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI itu menyebutkan, jika istri kepala daerah itu telah dikenal memiliki kapabilitas kepemimpinan politik yang teruji, apalagi didukung latar belakang akademik yang baik, tidak ada yang keberatan apabila yang bersangkutan ikut Pilkada. (Ikrar Nusa Bhakti, Polemik Istri Pejabat Maju Pilkada, okezone.com, Selasa, 1 Juni 2010). Lain halnya jika kapabilitas kepemimpinan politik maupun latar akademik tidak mendukung. Di satu sisi, akan muncul keraguan atas kapabilitas yang bersangkutan. Di sisi lain, akan muncul dugaan bahwa yang aktor di belakang layar adalah sang suami, sebagai 'sang penuntun.' Juga ada kekhawatiran, sang suami sebagai kepala daerah yang masih menjabat akan menggunakan aparat pemerintah daerah untuk memobilisasi massa bagi pemenangan pemilu untuk istrinya. Dengan demikian, politik kekuasaan dan politik uang dapat saja digunakan, sehingga istri kepala daerah tersebut akan diuntungkan di dalam pilkada (Ikrar Nusa Bhakti, idem). Apabila kenyataan memang menunjukkan bahwa skenario terakhir itulah yang sedang dijalankan, maka bisa dipahami mengapa dikatakan keikut-sertaan istri kepala daerah dalam Pilkada adalah bagian dari strategi dalam upaya membangun dinasti kekuasaan. Sang suami, pada akhir masa jabatannya sebagai kepala daerah, menjadi aktor di belakang layar demi pemenangan sang istri. Bahkan tetap menjadi 'sang penuntun' jika kemudian ternyata akhirnya sang istri memenangkan Pilkada itu, sebab sang istri sebenarnya tidak bisa apa-apa. Dengan kata lain, sang suami sesungguhnya menggunakan kuda troya untuk membangun dinasti kekuasaan. Kuda troya adalah kuda kayu yang digunakan untuk memenangkan perang dalam mitologi Yunani kuno. Dikisahkan, pasukan Yunani kesulitan memasuki kota Troya yang dikelilingi benteng yang kokoh, dan dijaga ketat oleh pasukan. Akhirnya ditemukan akal. Prajurut Yunani memasuki kota itu dengan bersembunyi di dalam kuda kayu. Kuda kayu dianggap tidak membahayakan, karena itu diijinkan masuk. Setelah berada di dalam kota, prajurit Yunani keluar dari kuda kayu tersebut, lalu berhasil merebut kota Troya. Sejak itu, kuda kayu itu disebut kuda troya.(wikipedia.com) Analogi kuda troya dipakai untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya yang maju ke 'medan perang' Pilkada bukanlah sang istri, melainkan sang suami. Undang-

undang membatasi jabatan kepala daerah hanya boleh dipangku untuk dua periode. Menyiasati pembatasan ini, sang istri maju dalam pilkada sebagai kuda troya, sedang sang suami bersembunyi di 'dalam'-nya, di belakang layar. Setelah keadaan memungkinkan, jadi sesudah satu periode berikutnya berlalu, 'sang prajurit' sang suami yang adalah mantan kepala daerah akan keluar dari persembunyiannya untuk 'memenangkan perang' dalam Pilkada sesudahnya. Periode kemudian, anak yang maju. Kalau semua berjalan mulus, dinasti kekuasan pun terbangun. Kebebasan dan Otonomi Keikut-sertaan istri kepala daerah dalam Pilkada bisa dimaknai sebagai pertanda pemenuhan cita-cita Kartini. Asalkan keikut-sertaan itu diputuskan secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan rasional oleh istri kepala daerah tersebut baik dalam kapasitas sebagai perempuan dan juga sebagai warganegara yang memiliki kebebasan, otonomi, serta persamaan hak secara hukum. Menjadi persoalan apabila keputusan istri kepala daerah untuk mencalonkan diri dalam Pilkada lebih merupakan keputusan yang diambil semata-mata karena tunduk pada keinginan sang suami yang berambisi membangun dinasti kekuasaan. Keputusan semacam itu jelas tidak lahir berdasarkan kehendak-bebas dari seorang perempuan yang telah mempertimbangkan secara rasional apakah dirinya layak, berpeluang, dan sejujurnya memang ingin mencalonkan diri. Setiap keputusan yang diambil seorang perempuan karena tunduk kepada keinginan orang lain, sekalipun orang lain itu adalah sang suami, apalagi keputusan dimaksud sesungguhnya lahir tanpa pertimbangan rasional, bukanlah suatu keputusan dari perempuan yang memiliki berkehendak bebas atau yang mempunyai kebebasan untuk memutuskan sesuatu. Tanpa kehendak-bebas dan tanpa kebebasan untuk memutuskan sesuatu, sama saja artinya tidak memiliki otonomi. Oleh sebab itu, kalau keikut-sertaan istri kepala daerah dipandang sebagai kemajuan yang dicapai perempuan, kemajuan jenis ini jelas bukanlah kemajuan yang dicita-citakan oleh Kartini. Emansipasi yang didambakan Kartini bukanlah emansipasi ala kuda troya.* (ron)

Ibu-ibu Sepakbola, 311 Anak Menggambar

FOTO NUR AROFAH / KRIDA

Anak-anak Desa Wonolelo, Pleret, Bantul, mengikuti lomba menggambar Memperingati Hari Kartini di Balai Desa Wonolelo, Minggu (22/4).

LAPORAN NUR AROFAH / KRIDA Purworejo, Wonolelo, Pleret Memperingati Hari Kartini 21 April 2012, Radio Komunitas (Rakom) Sadewa FM Wonolelo, Pleret, Bantul, bekerja sama dengan generasi Muda Mudi Gemilang, Karang Taruna Fajar Mulia dan Vidkom Wonolelo me-ngadakan berbagai rangkaian perlombaan di halaman Balai Desa Wonolelo, Minggu (22/4). Lomba yang diadakan yaitu lomba mewarnai untuk anak PAUD dan TK, melukis untuk anak anak SD, lomba karaoke dan sepak bola de-ngan memakai busana daster untuk para ibu-ibu. Untuk Perlombaan mewarnai dan menggambar diikuti oleh 311 anak, lomba karaoke 12 Peserta yang berasal dari perwakilan dusun, Sepak bola dikuti 6 tim sepak bola. Bagi pemenang lomba mendapatkan piala dan berbagai hadiah lain. Perlombaan ini tidak hanya diikuti oleh warga Wonolelo.Ada beberapa peserta yang berasal dari kelurahan lain. Bahkan ada dua peserta yang berasal dari Sedayu. Dalam pembukaannya, Lurah Desa Wonolelo, Bapak Basuki, berharap agar lomba ini untuk tahun mendatang bisa diadakan lagi dan lebih meriah. Dengan diadakan berbagai perlombaan akan melatih warga khususnya para ibu-ibu dan anak anak lebih kreatif lagi, katanya.

Terpisah, kepada Krida Ketua panitia, Marjudin,S.Pd. menyampaikan bahwa berbagai kegiatan yang digelar tersebut bertujuan untuk memupuk jiwa Kartini pada ibu-ibu dan anak-anak bahwa wanita dan anak dapat melakukan sesuatu layaknya para laki-laki. Juga menghilangkan image bahwa wanita dan anak adalah mahluk lemah namun justru kehadiran mereka adalah warna indah dalam kehidupan ini. Acara ini dimulai pukul 08.30 sampai pukul 16.30. Namun untuk sepak bola diadakan hari berikutnya, Jumat (27/4) pukul 14.30 hingga selesai di lapangan Desa Wonolelo. (*)

FOTO NUR AROFAH

Ibu-ibu warga Desa Wonolelo, Pleret, Bantul, bertanding sepakbola Memperingati Hari Kartini, di lapangan Desa Wonolelo, Jumat (27/4).

Edisi: April 2012

Edisi: April 2012

Info Kolaborasi

Sumber Info

RA KARTINI DI JALAN-JALAN DI BELANDA


21 April, setiap tahunnya masyarakat Indonesia memperingatinya sebagai Hari Kartini. Khususnya kaum wanita, tentu hari ini memberi makna lebih sebagai ungkapan rasa terima kasih atas per-juangan paham emansipasi oleh RA. Kartini. Ia dikenal dengan gagasan-gagasannya untuk kemajuan kaum perempuan di Indonesia yang kala itu hanya hanya sedikit atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan ruang gerak, terutama dalam hal memperoleh pendidikan yang lebih. Dahulu, sosok Kartini sangat dikenal di kalangan elit politik Belanda. Wanita berdarah Jawa ini juga pernah diminta oleh parlemen Belanda untuk menulis artikel mengenai perempuan. Salah satu kumpulan surat Kartini yang sangat terkenal adalah Door Duisternis tot Licht, yang kemudian diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Hingga sekarang nama Kartini masih akrab di negeri Belanda, bahkan pemerintah Belanda juga mengabadikannya sebagai nama jalan di beberapa tempat. Misalnya: Amsterdam - Di ibukota Belanda ini, nama Kartini dijadikan nama sebuah jalan di wilayah Amsterdam Zuidoost, kawasan ini lebih dikenal dengan nama Bijlmer. Pada papan nama penunjuk jalan nama Kartini ditulis secara lengkap "Raden Adjeng Kartinistraat". Selain Kartini, beberapa tokoh wanita dunia juga dijadikan sebagai nama jalan, seperti Nilda Pinto dan Rosa Luxemburg. Utrecht - Di bagian kota yang merupakan komplek perumahan masyarakat menengah ini juga berdiri papan nama jalan yang bertuliskan R.A. Kartinistraat. Sepertinya kawasan tenang ini nama ini sangat pas dikenal sebagai jalan Kartini, sesuai dengan sosok Kartini yang tenang, mengayomi dan lembut. Haarlem - Kawasan lain yang juga menggunakan nama tokoh pejuang hak asasi wanita ini adalah Haarlem. Entah apa yang menjadi-kan daerah ini seolah sangat dekat dengan Indonesia. Selain jalan RA Kartini, di sini juga terdapat nama jalan Mohammed Hatta, Jalan Sutan Sjahrir, dan tokoh Indonesia lainnya. Venlo - Venlo terletak di Belanda bagian Selatan. Di sana nama besar wanita kelahiran Jepara, 21 April 1879 ini menjadi nama jalan di daerah Hagerhof. Ruas RA Kartinistraat sendiri berbentuk O. (*) SUMBER: VIVANEWS.COM, Sabtu 21 April 2012, 10.40.

Penderita Penyakit Organ Reproduksi Meningkat


dimaksudkan sebagai upaya kampanye penyadaran kesehatan reproduksi untuk para remaja di Yogyakarta dan sekitarnya. Kita ingin agar para finalis ini mampu menjadi juru kampanye terhadap rekan seusia mereka. Tentang arti pentingnya menjaga kesehatan sejak dini, terutama yang berhubungan dengan organ reproduksi mereka, papar Siti. Ditambahkan Siti, salah satu penyebab maraknya penyakit organ intim dan organ reproduksi adalah pola pergaulan maupun pola hidup di kalangan remaja yang mulai mengabaikan faktor kesehatan. Untuk pola pergaulan, semakin marak remaja yang melakukan seks bebas yang berkaitan erat dengan organ intim mereka. Sedangkan untuk pola hidup sehat, makin banyak remaja yang mengabaikan pola hidup bersih baik dalam keluarga maupun dengan diri mereka sendiri. Padahal secara anatomis, organ reproduksi perempuan sangat rumit, sehingga sangat rentan terhadap penyakit," ujar Siti. Sebelum dionobatkan sebagai finalis, para calon duta menjalani seleksi dan karantina. Mereka juga diberikan pembekalan singkat mengenai materi kesehatan reproduksi, keterampilan berkomunikasi, tata cara berbusana dan tampil menawan. Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak Sadewa (RSKIA) Ummi Khasanah, Pertiwi Waskita Ningsih, menyambut baik adanya duta kesehatan reproduksi. Keberadaan mereka akan meningkatkan pemahaman remaja terhadap pentingnya menjaga organ reproduksi. Dari data yang ada di RSKIA, keluhan terhadap penyakit organ reproduksi terus meningkat. "Hal ini menimbulkan kekhawatiran semua pihak. Sebab risiko terbesar organ kesehatan reproduksi yang tidak sehat adalah infertilitas sampai kanker serviks yang merupakan penyakit mematikan," kata Pertiwi. (Olivia Lewi Pramesti) Sumber : http://www.ibukitakartini.com/tentang/pemilihan-dutakesehatan-reproduksi-remaja-2012-semarak/

RA Kartini dijadikan nama sejumlah jalan di Belanda. SUMBER FOTO: Google.com

Setelah melaui seleksi ketat, akhirnya Nabila Fitri Lutfiana yang merupakan siswi dari SMAN 1 Pakem Sleman di nobatkan sebagai Duta Kesehatan Reproduksi Remaja 2012 untuk Tingkat DIY. Penobatan dilakukan dalam kegiatan Grand Final Pemilihan Duta KRR 2012 di Hotel Sahid Raya Sabtu (28/4 ) Kegiatan Pemilihan Duta KRR 2012 ini dilakukan sebagai bagian dari kegiatan Dies Natalies Yayasan Umi Khasanah Kabupaten Bantul. Selain itu, penyelenggaraan kegiatan ini juga dilakukan atas dasar keprihatinan atas semakin meningkatnya penderita penyakit organ reproduksi dikalangan remaja akibat kurangnya pemahaman para remaja dalam menjaga kesehatan organ intim maupun organ reproduksi mereka. Penderita penyakit organ reproduksi di kalangan remaja meningkat. Hal ini disebabkan oleh minimnya pemahaman para remaja dalam menjaga kesehatan organ intim atau organ reproduksi mereka. Inilah yang melatarbelakangi Pemilihan Duta Kesehatan Reproduksi Remaja 2012 yang berlangsung di Yogyakarta, Sabtu (28/4). Ketua Panitia, Siti Nugraheni mengatakan kegiatan Pemilihan Duta KRR 2012

Edisi: April 2012

Edisi: April 2012

Info Buku

Info Buku

Pewarta Foto Tak Cukup Bisa Memotret


Judul Buku Penulis Penerbit Tahun Tebal : : : : : Membidik Peristiwa Jadi Berita Regina Safri Galangpress 2011 148

Hal lain yang dibagikannya dari pengalaman meliput bencana, yaitu betapa pentingnya seorang fotojurnalis mencari dan mengumpulkan informasi/data sebanyak-banyaknya dan selengkap-lengkapnya. Jadi bukan hanya memotret. Untuk itu fotojurnalis pun harus mengetahui sumber-sumber informasi penting. Bukan hanya tahu mengoperasikan kamera dan laptop untuk mengirimkan gambar ke kantor. Mengapa itu diperlukan? Pertama, agar tidak ngawur dalam mencari foto. Kemudian agar informasi yang menyertai foto akurat. Tips lain tentu saja menyangkut perlunya fotojurnalis mengenal tatacara di suatu tempat yang akan diliput. Dia mencontohkan liputan keraton Yogyakarta yang menerapkan berbagai aturan, khususnya dalam berbusana.

Bagi perempuan fotojurnalis pun penulis mengingatkan agar tidak menganggap diri mereka sebagai sosok yang akan diprioritaskan. Dari pengalamannya, perempuan fotojurnalis tetap harus berjuang keras di tengah lelaki fotojurnalis mendapatkan ruang memotret. Penulis, seorang perempuan, menegaskan bahwa para fotojurnalis lelaki tidak akan menyerahkan blocking posisi pemotretan mereka kepada siapapun, tak terkecuali perempuan. Di sini perempuan foto jurnalis tak hanya harus berjuang, tapi juga harus jeli sekaligus cerdik mencari posisi agar tetap mendapatkan foto. Dan tak lupa, fotojurnalis muda ini mengingatkan agar fotojurnalis dan yang akan memilih profesi ini untuk tidak mengabaikan etika, kemudian jujur kepada narasumber. Sebab, profesi ini seperti halnya profesi jurnalis tulis, erat hubungannya dengan kepercayaan. (ded)

Setiap foto, khususnya foto jurnalistik, mempunyai kisah. Ia punya kisah tentang cerita yang direkam si foto jurnalis itu sendiri, sehingga cerita dan foto itu memang mempunyai nilai berita (news value). Foto itu juga menyimpan kisah tentang bagaimana ia didapat dan cerita tentang mengapa si fotojurnalis harus mendapatkan foto tersebut. Buku ini ini diniatkan oleh penulisnya, seorang foto jurnalis, sebagai media berbagi cerita tentang foto-foto yang dibuatnya kemudian dipublikasikan melalui kantor berita tempatnya bekerja. Namun, lebih dari sekadar berbagi romantika peliputan, di buku ini penulis berbagi tentang berbagai hal yang penting diketahui dan dilakukan oleh mereka yang akan melakukan peliputan foto, meskipun buku ini bukan buku tutorial. Dari banyak hal yang harus diketahui dan diterapkan dalam peliputan foto, satu hal yang harus dimiliki foto jurnalis adalah akses. Akses bisa berupa id card, bisa berupa surat izin, bisa pertemanan, bisa berupa sapaan dan basa-basi ringan (hal 7). Akan tetapi, hal yang seolah-olah mudah ini, pada kenyataan tidaklah selalu didapat dengan mudah. Selain akses, mendapatkan foto-foto jurnalistik perlu bekal ketekunan. Termasuk ketekunan mendapat akses. Kemudian, membutuhkan kecerdikan. Kecerdikan diperlukan untuk menghadapi situasi yang menyebabkan foto jurnalis terhambat atau terhalang dalam mendapatkan gambar. Kemampuan membaca situasi juga perlu dimiliki foto jurnalis. Seorang fotojurnalis tetap harus memiliki kepekaan kemanusiaan. Ini penting agar dalam setiap menjalankan tugasnya foto jurnalis tetap mempertimbangkan aspek kemanusiaan dari subyek, tidak melulu mendahulukan mengejar karya jurnalistik (apalagi sekadar demi kepuasan kerja). Seorang foto jurnalis pun perlu memiliki passion atau gairah untuk benar-benar terlibat di pekerjaan ini. Kalau tidak, pekerjaan foto jurnalis hanya akan dilihat dan dirasakan sebagai pekerjaan berat dan melelahkan. Betapa

tidak, foto jurnalis (seperti juga reporter tulis) tidak punya jam kerja jelas seperti karyawan bank atau pegawai negeri. Jika tiba-tiba terjadi bencana atau kecelakaan dan kejadian unpredictable lainnya, yang tak waktunya tak bisa diduga, foto jurnalis harus sesegera mungkin berangkat meliputnya. Cuaca bukan alasan untu dijadikan penghalang. Pengalaman dan tips yang dibagikan penulis di buku ini memang bisa dibilang hanya sebagian kecil dari ribuan keping cerita dan pengalaman sepanjang penulis berkarir sebagai foto jurnalis kantor berita Antara. Ia, satu dari hanya sedikit perempuan foto jurnalis, telah menjalani profesinya sekitar tujuh tahun. Rentang waktu itu dijalaninya di Yogyakarta. Dari yang sebagian kecil itu, penulis menuangkan pengalamannya dalam tujuh bagian. Liputan bencana alam yang melanda Yogyakarta, yaitu gempa 27 Mei 2006 (hingga proses kebangkitan para pengungsi) dan letusan Merapi Oktober-November 2010 mengambil ruang penceritaan hampir separoh buku. Di cerita dua peristiwa bencana alam ini, penulis tak hanya menyampaikan reportase kilas balik bagaimana bencana itu terjadi dengan segala dampaknya, namun dia menceritakan banyak hal yang penting diketahui dan diterapkan oleh foto jurnalis jika menghadapi atau meliput situasi serupa. Ambil contoh, penulis memberikan tips memotret korban/keluarga korban saat terkena musibah yang bukan teknikalitas. Melainkan tips dari sisi kemanusiaannya (hal 33). Tips no 4, misalnya Jangan mengobrol yang tidak penting dengan teman dan hindari bencanda dan tertawa dalam situasi ini. Hal ini bisa menunjukkan ketidaksimpatian kita kepada keluarga korban. Tips No 1, mintalah izin untuk memotret. Jangan serta mereta mengatakan bahwa kita akan memotret peristiwa yang terjadi. Cerita sekaligus tips yang disampaikan berdasarkan pengalaman itu jelas tidak bicara teknik pemotretan, tapi lebih dari itu. Ini bicara tentang betapa pentingnya fotojurnalis memiliki empati.

..................... Sambungan dari hal 1

taken for granted cenderung menyerap nilai-nilai umum yang berlaku di masyarakat untuk menyusun dan mengedit sebuah liputan. Serapan nilai-nilai yang dalam beberapa sisi cenderung bias gender menyebabkan wartawan atau redaksi telah memunculkan realitas media yang juga bias gender. Kita memang tidak bisa terlalu berharap banyak kepada pengelola media, yang kebanyakan laki-laki, untuk serta merta bisa mengubah cara pandang mereka tentang relasi lelaki-perempuan yang bias gender. Mengubah mind-set itu butuh waktu panjang, juga kerelaan. Jangankan para pengelola media (yang kebanyakan lakilaki), di kalangan perempuan pegiat kesetaraan gender pun masih saja ada sosok dengan mind-set yang bias gender.

Meskipun demikian, fakta tidak munculnya visualisasi berupa foto-foto stereotype Peringatan Hari Kartini kali ini di sejumlah media cetak, meski tak terlalu signifikan, bisa mengerem laju proses reproduksi pemaknaan yang keliru terhadap pesan-pesan Kartini. Mudah-mudahan juga, absennya foto atau visualisasi itu bukan karena para jurnalis bosan meliputnya, ataupun para editor jemu memuat foto yang itu-itu saja, dari tahun ke tahun, tapi karena ada perubahan cara pandang terhadap peringatan Kartini. Sekecil apapun perubahan itu, tetap saja ada maknanya. (ded)

..................... Sambungan dari hal 12

Melihat efek positif yang didapatkan dari keberadaan rakom di dusunnya, Cahyo mengaku sangat senang. Sebab, sekarang sudah ada wadah untuk berkomunikasi dan silaturahmi khususnya bagi kaum muda. Selain itu, dengan berdirinya rakom ini, tidak ada lagi gap, atau jarak di antara sesama warga. Ini yang membanggakan dan membuat kami tetap kompak mengelola di tengah keterbatasan, ujar warga RT 05 Kadisoro ini. Jika masih disebut memiliki kendala, apa yang dialami menunjukkan bahwa hal itu tidak bisa dimungkiri. Khususnya tentang sumber daya

manusia (SDM). Bagaimana tidak, masih banyak teman-teman kami di Kadisoro yang malu jika diminta siaran, tuturya. Padahal, lanjut Cahyo, rakom didirikan oleh, dari dan untuk sesama warga di dusun itu. Sebagai ketua dewan penyiar, persoalan seperti itulah yang harus ditemui Cahyo. Namun, dia yakin, seiring dengan berjalannya waktu, kendala itu akan tersingkir dengan sendirinya, jika setiap saat pengelola rakom sadar bahwa mereka harus berada dan tumbuh bersama semangat dan tekad untuk terus belajar.(awd)

10

Edisi: April 2012

Edisi: April 2012

11

profil

Cahyo Ikhsanudin

Rakom Hilangkan Jarak Sesama Warga


idak sia-sia anak muda ini mengikuti pelatihan jurnalistik di LP3Y yang diselenggarakan tahun 2007 silam. Waktu itu, pria ini masih duduk sebagai pelajar di bangku SMA. Buah ketekunan atas minatnya di bidang jurnalisme itu, sampai sekarang terus dipraktekkan dalam aktivitas radio komunitas di dusunnya. Anak muda itu adalah Cahyo Ikhsanudin (24), yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Penyiar Radio Komunitas (Rakom) Gilang Gemilang, Dusun Kadisoro, Desa Gilangharjo, Pandak, Bantul. Rakom itu mengudara sejak 12 Februari 2012. Sejak awal memang Cahyo sudah terlibat dalam organisasi pendirian rakom di dusunnya. Bekal dari pelatihan di LP3Y, memacu saya untuk terus bergelut di bidang jurnalistik. Pelatihan tahun 2007 itu saya praktekkan untuk membuat majalah dinding di desa. Hasilnya sungguh memuaskan, tutur Cahyo, suatu siang, di dusunnya. Anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Slamet Utomo (50) dan Sumarti (50) ini mengaku, memahami jurnalisme memang tidak semudah yang dia bayangkan sebelumnya. Informasi yang hendak disampaikan kepada khalayak harus melalui beberapa tahap. Misalnya harus ada persiapan matang, kemudian dilanjutkan dengan pencarian, pengolahan, baru pada akhirnya adalah penyampaian informasi. Hal itu membutuhkan proses, memang. Tapi, semuanya dilalui Cahyo, dan juga kawan-kawannya di Kadisoro. Apalagi, ketika obsesi mendirikan rakom sejak awal kini sudah menjadi kenyataan, maka cita-citanya sederhana saja, yaitu memberi informasi yang berasal dari peristiwa sehari-hari.

Menggunakan bahasa sehari-hari dalam praktek jurnalisme, di rakom terutama, juga perkara yang tidak mudah. Karena semua itu harus sesuai dengan kaidah. Bagi Cahyo, apapun yang dihadapi dalam perjalanannya selama bertahun-tahun menekuni jurnalisme, adalah proses panjang yang memang harus dilalui. Menjadi lebih terbuka kepada sesama, memahami perbedaan tapi sekaligus juga mempererat hubungan sosial, merupakan bukti nyata dari pengalaman dirinya. Tidak hanya dalam kegiatan di kampung jurnalisme dipraktekkan. Di kampus, tempat dia menuntut ilmu, Amikom Yogyakarta, sebagai mahasiswa yang kini duduk di semester 8, Cahyo juga aktif menuliskan berbagai kegiatan kampus. Selain itu, keterlibatan dalam organisasi pecinta alam di kampus, mengasah kelenturan pergaulan dirinya dengan orang lain. Selain itu, pria kelahiran Bantul 26 Juni 1988, ini memiliki hobi olahraga luar ruang (outdoor) pecinta alam, antara lain mountainering, yang baginya selain mengasah kelenturan raga juga membuat peka terhadap kehidupan sekeliling. Ikhwal perkembangan Rakom Gilang Gemilang, dengan terus terang Cahyo mengatakan, sejauh ini memang program siarannya belum tertata dengan baik. Masih dalam proses terus. Tapi kami optimis, dengan senantiasa belajar, menempa diri, juga bimbingan dari LP3Y, rakom kami akan mewujud seperti yang kami cita-citakan, ujar satusatunya anak lelaki di keluarganya itu.
..................... bersambung ke hal 11

12

Edisi: April 2012

Foto : awd

Anda mungkin juga menyukai