Anda di halaman 1dari 16

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Rangkaian tulisan tentang Permesta telah banyak ditulis oleh para ahli baik dalam bentuk artikel, makalah karya ilmiah dengan berbagai wawasan teoritis. Pada kenyataannya studi tentang Permesta bukanlah studi sejarah masa lalu yang telah mati, meskipun mengkaji masa yang telah lewat, tetapi memberikan kepada kita pengetahuan dan wawasan tentang suatu konflik kenegaraan yang tidak kurang lebih pentingnya dari berbagai peristiwa politik di tanah air pada pasca revolusi kemerdekaan, pengetahuan dan wawasan ini kemudian diharapkan dapat menjadi landasan kepada kita untuk memahami konteks berikutnya, termasuk memahami berbagai

diskursus persoalan kekinian. Memang, sudah banyak jawaban yang diberikan atas pertanyaanpertanyaan tentang Permesta. Ini tidaklah berarti bahwa pengkajian tentang Permesta telah berada pada posisi final dan tidak dapat diganggu gugat lagi. Sebaliknya pengkajian tentang Permesta harus dirangsang nilai

akademiknya dengan berbagai instrument agar tetap pada wilayah perdebatan akademis, sehingga pemahaman kitapun tentang Permesta lebih komprehensif. Dan salah satu instrument yang dianggap relevan adalah

mengubah nalar sejarah kita dengan melihat Permesta ke sudut pandang yang lebih netral. Dalam materi pelajaran sejarah untuk anak sekolah, penguraian tentang Permesta sangat singkat dan tidak secara komprehensif. Ini berakibat pemahaman kita pun sering keliru. Demikian ula jawaban tentang Permesta dapat kita temui pada tulisan-tulisan lain, seperti Memoar A. H. Nasution (Memenuhi Panggilan Tugas) yang melihatnya dari sudut pandangan penulisnya. Dinas Sejarah Militer Indonesia (TNI-AD) misalnya hanya menempatkan Permesta ke dalam kerangka peranan TNI dalam penumpasan Permesta, Nugroho Notosusanto (Sejarah Nasional Indonesia) juga melihat Permesta jelas sebagai bagian dari gerakan separatispemberontak, serta beragam lagi tulisan-tulisan lain yang kesemua itu kemudian membentuk opini kita bahwa Permesta adalah gerakan separatispemberontak terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemahaman sejarah kita ini pun kemudian berlanjut kepada sebuah asumsi bahwa apapun yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah pusat adalah gerakan separatis-pemberontak. Ini dikarenakan banyak tulisan yang secara apriori mengecam Permesta tanpa dukungan fakta-fakta dan celakanya anomali ini kemudian mengendemik ke wilayah garapan sejarah akademis. Informasi tentang Permesta pun dapat kita lihat dari hasil penelitian yang lebih komprehensif. Dalam kajian sejarah akademis, paling tidak ada dua tulisan tentang Permesta yang telah diterbitkan. Diantaranya karangan

Barbara Sillars Harevey (1989) yang berjudul Permesta : Pemberontak Setengah Hati. Karya ini merupakan kajian politik tentang Permesta dari sudut pandang pengamat luar. Barbara mencoba menelusuri peristiwa Permesta dengan memakai teori Center Periphery. Teori ini berusaha melihat factor lemahnya integrasi birokratis dan ekonomis yang merupakan warisan dari kondisi umum zaman penjajahan, menjadi unsure pokok yang menimbulkan ketegangan pusat dengan daerah. Dari tulisan ini setidaknya dapat menggeser pemahaman kita pada tulisan-tulisan sebelumnya bahwa ada factor yang sangat situasional sehingga Permesta itu lahir dan klaim sejarah atas Permesta sebagai gerakan separatis-Pemberontak, total masih perlu dipertanyakan secara akademis, ini bisa dipahami atas kehati-hatian Barbara dengan penyebut Permesta sebagai pemberontak setengah hati. Kemudian wacana Sejarah Nasional kembali dirangsang nilai akademiknya ketika diterbitkan informasi terbaru tentang Permesta. Hasil penelitian R.Z. LErissa yang kemudian diterbitkan dengan judul

PRRI/Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis member persepsi lain dari tuliansebelumnya. Dengan menggunakan Oral History mencoba menemukan factor-faktor utama balik tersebut. Nampaknya permasalahan atau konflik militer (kesenjangan dalam kubu Angkatan Darat0 dan bahaya komunisme, serta bagaimana persepsi para eksponen PRRIPermesta mengenai tanah airnya pada tahun 1950-an, apa yang mereka lakukan, serta bagaimana upaya menyusun strategi pembangunan berskala

nasional tanpa keterlibatan PKI dalam kegiatan politik nasional merupakan pokok-pokok pening dalam tulisan ini. Dan satu temua yang dapat memancing nalar kita adalah klaim sejarah atas Permesta sebagai gerakan Separatis-Pemberontak tidak lagi disebutkan dalam tulisan ini dan bahkan sedikitnya mendapat pembelaan secara argumentative. Kedua sejarah akademis diatas pada dasarnya telah menguraikan secara detail tentang berbagai kemelut yang melanda bangsa Indonesia, di antaranya berbagai perbedaan-perbedaan pandangan tentang tatanan kenegaraan, format pembangunan dari perbedaan-perbedaan pandangan ini kemudian melahirkan berbagai konflik di antaranya konflik ideology, keguncangan dalam kubu Angkatan Darat serta ketegangan antara pusat dan daerah sebagai akibat lemahnya integrasi birokratis dan ekonomis. Anomali-anomali diatas mengendemik sampai ke daerah-daerah dan terakumulasi menjadi bentuk kekecewaan pemerintah daerah terhadap kebijakan politik, ekonomi pemerintah pusat, ini berakibat munculnya berbagai pergolakan di daerah dengan berbagai pula tuntutan, diantaranya tuntutan kepada pemerintah pusat agar pemerintah daerah dapat mengatur wilayah kerjanya sendiri, tuntutan ini dikenal dengan tuntutan otonomi daerah. Ini didasari atas asumsi bahwa dalam situasi seperti itu diperlukan format pemerintah yang efektif dan efisien. Seperti yang dikemukakan oleh Barbara (1989 : 18) bahwa:

Tuntutan-tuntutan untuk otonomi daerah yang lebih besar bias dilihat sebagai saran-saran untuk membikin pemerintahan yang lebih efektif dari segi pandangan daerah-daerah. Tuntutan itu bukanlah suatu serangan terhadap system demokrasi parlementer itu sendiri, sekalipun ada rasa benci yang meluas di seluruh negeri terhadap politikus yang cekcok di Jakarta.

Demikian pula tuntutan otonomi daerah tersugesti oleh munculnya berbagai masalah-masalah social, ekonomi, politik yang dialami pemerintah daerah, ini bukan tidak mungkin disebabkan oleh karena system

pemerintahan sentralistik yang tidak memperhatikan pembangunan local. Untuk menyelesaikan masalah-masalah social politik, ekonomi tersebut kemudian mengharuskan pemerintah daerah mengatur dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi di wilayah kerjanya. Adalah sangat tidak efektif apabila masalah-masalah yang segera ditangani meniscayakan kemampuan pemerintah daerah atau kemudian harus menunggu restu dari pusat dengan rantai birokrasi yang demikian panjang. Maka implikasinya di sini termasuk di bidang politik pemerintah daerah harus mengambil keputusan politik dan kebijaksanaan public bersifat segera agar secepatnya menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Salah satu masalah nasional dan daerah yang dihadapi adalah kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah tampaknya masalah ini

kemudian menjadi isu yang sangat menarik dalam tuntutan daerah. Seperti ditegaskan lebih lanjut oleh R. Z. Lerissa (1997:76) bahwa : Tidak lancarnya pembangunan daerah merupakan salah satu isu yang paling kuat dirasakan masyarakat di Sulawesi. Partai-artai politik dan berbagai kelompok social lainnya berlomba mengajukan jalan keluar. Salah satu yang paling popular ketika itu adalah otonomi daerah, dari masalah otonomi propinsi sampai ke taraf kabupaten..

Dengan demikian otonomi daerah merupakan isu menarik untuk dikelola secara formal dan bahkan isu tentang otonomi daerah ini menjadi produk yang diperebutkan oleh partai politik serta berbagai kelompokkelompok social, sehingga boleh dikatakan otonomi daerah dalam fenomena historis bukanlah suatu fenomena yang mengejutkan. Karena wacana tentang otonomi telah ada sejak bangsa Indonesia merdeka, bahkan telah menjadi diskursus politik-ekonomi. Sebagaimana yang telah dikemukakan baik pada tulisan Barbara maupun Lerissa. Akan tetapi, masalah yang kemudian mengemukakan adalah kedua tulisan sejarah akademis diatas baik oleh Barbara maupun Lerissa tidak menyebut dan menguraikan secara jelas tentang bagaimana bentuk otonomi daerah yang dimaksud dan bagaimana konsep serta implementasinya, dan pikiran apa yang melatarinya ataukah ini berawal dari konflik elit yang

kemudian ditarik dan diisukan ke bawah, hal ini tidak diulas secara memadai pada tulisan sebelumnya. Dengan demikian jelas masih banyak hal seputar Permesta untuk dikaji, khususnya bagaimana tuntutan Permesta dalam mewujudkan otonomi daerah dan seperti apa otonomi daerah yang diperjuangkan, serta bagaimana latar pemikiran yang mendasari perjuangan mewujudkan otonomi daerah tersebut. Ke semua itu tidak diungkap secara memadai pada tulisantulisan sebelumnya.

B. Rumusan masalah Permesta jelas tidak lahir serta merta tanpa ada pertimbangan rasional dan situasional secara matang, tentu saja gerakan ini muncul didasari oleh pemahaman realitas kebangsaan yang berkembang serta pembacaan situasi (ruang-waktu) tentang kondisi daerah yang dilanda berbagai masalah social, politik dan ekonomi. Dan salah satu ideas para tokoh penggerak Permesta adalah penemuan gagasan-ide tentang format pembangunan yang berskala nasional, diantaranya pemberian otonomi kepada pemerintah daerah. Berdasarkan hal itu, maka penelitian ini akan memfokuskan pada lima permasalahan pokok, yaitu : 1. Bagaimana situasi Indonesia menjelang Permesta? 2. Bagaimana hubungan pusat dan daerah?

3. Bagaimana otonomi daerah? 4. Bagaimana daerah?

pokok-pokok

pikiran

Permesta

khususnya

tentang

perjuangan

Permesta

dalam

mewujudkan

otonomi

C. Batasan Masalah

Sesuai judul dan rumusan masalah, maka focus kajian dalam penelitian ini adalah bagaimana perjuangan Permesta dalam mewujudkan otonomi daerah, pembahasan masalah ini dimulai dari situasi Indonesia menjelang Permesta, yaitu berbagai persoalan-persoalan politik, ekonomi, social, militer, hubungan pusat dan daerah. Dari situasi ini muncullah pemahaman para tokoh-tokoh Permesta (sebagai kelompok memiliki otoritas) dengan berbagai gagasan-ide yang di antaranya otonomi daerah. Bagaimana bentuk otonomi yang dimaksud menjadi unsure penting dalam penelitian ini, kemudian pada akhir penelitian akan membahas tentang implementasi ide otonomi daerah tersebut. Kemudian secara temporal penelitian ini dibatasi antara tahun 1957, saat dikumandangkannya Piagam Permesta, ini didasari bahwa disinilah perjuangan Permesta dimulai. Dan hingga tahun 1961 dengan berbagai pertimbangan situasional para tokoh-tokoh Permesta menyerahkan diri kepada pemerintah sehingga secara organisator Permesta pun berakhir.

D. Metode dan Pendekatan Sesuai judul, penelitian ini menggunakan metode historis yang menurut Nogroho Notosusanto (1971:17) mencakup empat tahapan kerja (1) Heuristik, yaitu kegiatan menghimpun sumber. (2) Kritik, yaitu penilaian terhadap kredibilitas sumber. (3) Penafsiran fakta, dan (4) Sintesa, yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Adapun permasalahan pokok yang tercantum dalam rumusan masalah akan dianalisis dengan pendekatan metodologi strukturis. Model strukturis memandang masyarakat sebagai suatu struktur yang nyata dari aturan, peran-peran, relasi-relasi dan makna-makna yang dihasilkan dan berubah oleh individu yang merupakan kondisi sebab akibat dari tindakan, keyakinan dan keinginan-keinginannya. Metodologi ini berusaha

mengkonseptualisasi dan mengkaji proses pembentukan struktur dalam jangka waktu tertentu dengan memeriksa interaksi sebab akibat dari para individu, kelompok-kelompok, kelas-kelas dan pengstrukturan kondisi-kondisi social keyakinan-keyakinan dan keinginan-keinginan mereka. Menurut Lioyd (1993:139) mengatakan : ..If we are to explain the history and effectiveness of structures we must allude to the roles of meanings, intentions, understandings and practices in producing them. Structures cannot produce or reproduce themselves. Socially productive and reproductive

behavior is always performed in context the induces understanding about society and people. Untuk menjelaskan sejaran dan struktur-struktur yang efektif maka harus mengungkapkan peran-peran terhadap arti, tujuan-tujuan, pemahaman-pemahaman menghasilkannya. dan praktek-praktek tersebut tidak dalam bisa

Struktur-struktur

memproduksi atau mereproduksi sendiri. Perilaku yang secara social produktif dan reproduktif biasanya diungkapkan dalam suatu konteks yang meliputi pemahaman tentang masyarakat dan orangorang.

Metodologi strukturis berisi sejumlah konsep yaitu Agency, struktur social, mentality dan causal factors. Agency secara umum dihubungkan dengan dua pengertian, (1) Kekuatan otonom yang sungguh-sungguh ada atau bagian dari system untuk mendatangkan akibat; (2) Kekuatan dari seseorang untuk melakukan tindakan yang mendatangkan keberhasilan.

Agency tidak mampu berdiri sendiri tanpa struktur social. Struktur social terdiri dari komponen-komponen : rules, roles, dan interaction yang tidak bisa dipahami secara hermeneutika karena merupakan unobservakes dan tidak dapat ditangkap oleh panca indera, kecuali bila diteorikan. Sebaliknya Agency sifatnya konkrit dan dapat ditangkap oleh panca indera. Mentality diartikan : bagaimana mereka memahami diri mereka sendiri, dunia mereka

dan bagaimana mereka mengekspresikan diri melalui agara, ritus, busana, music dan lain sebagainya. Mentality adalah kemampuan yang dimiliki manusia sehingga dapat berperan sebagai Agency dalam reproduksi dan transformasi social. Sedangkan Casual factors merupakan hasil interaksi antara Agency dengan structure social. Disinilah letak aspek analitis dari metodologi strukturis. Interaksi ini mengakibatkan reproduksi dan

transformasi social. Interaksi antara Agency dan Structure Social di satu pihak dan teori di pihak lain dihubungkan oleh expressed intention. Expressed Intention ialah maksud yang diekspresikan melalui bahasa dan atau tulisan dari perilaku sejarah dan merupakan landasan bagi pelaku sejarah untuk melakukan

sesuatu. Dengan demikian expressed intention dapat juga dikatakan sebagai mentality. Expressed Intention dapat diketahui melalui sumber-sumber sejarah yang digunakan dalam penelitian. Kemampuan mereka ditelusuri dari latar belakang social, ekonomi, politik serta perjalanan karirnya.

E. Penelitian Terdahulu

Tulisan tentang Permesta telah banyak dilakukan oleh para ahli dengan berbagai warna dan persepsi. Tulisan-tulisan ini kemudian diolah dan dianalisa dengan sendirinya mempengaruhi alur pemikiran sejarah kita sehingga pemahaman kita pun tentang Permesta amat variatif.

Setidaknya ada tiga varian tulisan yang mewarnai pemahaman kita tentang Permesta. Ketiga varian yang dimaksud adalah pertama, tulisan yang secara tegas mengklaim Permesta sebagai gerakan separatispemberontak terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua tulisan yang melihat Permesta sebagai fenomena tarik menarik dari berbagai kepentingan dengan sejumlah masalah yang sangat komplek. Dilain sisi Permesta dipandang sebagai gerakan pembangunan daerah dan tidak berniat untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI sebagaimana diakhiri dengan konflik bersenjata (perlawanan terhadap pemerintah yang sah). Sehingga sebahagian orang memahami bahwa ia tetap berada sebagai status pemberontak dan ketiga tulisan yang tidak lagi mengklaim Permesta sebagai gerakan separatis-pemberontak, tetapi ia menempatkan Permesta sebagai bagian dari strategi perjuangan terutama dalam membendung pengaruh komunisme. Vaian yang ketiga ini tampaknya masih bersifat paradoksal. Klaim bahwa Permesta sebagai pemberontak dapat dilihat pada berbagai tulisan-tulisan verse resmi (penafsiran sejarah menurut

pemerintah). Seperti buku materi pelajaran sejarah untuk anak sekolah, walaupun diuraikan sangat singkat, tetapi jelas disebutkan bahwa Permesta merupakan gerakan separates-pemberontak Menyusul tulisan-tulisan lain seperti G. Mudjianto (Indonesia bab . 20), Nogroho Notosusanto (Sejarah Nasional Indonesia), Memoar A.H.

Nasution (memenuhi panggilan tugas) yang hanya melihat dare sudut pandang penulisnya,. Demikian pula Dinas Sejarah Militer Indonesia (TNIAD), juga hanya menempatkan Permesta ke dalam kerangka peranan TNI dalam penumpasan pemberontakan. Ke semua itu tidak memberi warna lain tentang Permesta, bahkan ada penguatan asumsi bahwa Permesta memang benar-benar gerakan separates-pemberontak, Pemahaman kita tentang Permesta sedikit lebih longgar ketika diterbitkan buku. karang Barbara Sellars Harvey (1986) dengan judul "Permesta: Pemberontakan Setengah Hati. Melalui tulisan ini Barbara melukiskan kembali atau membuat rekonstruksi tentang, Permesta. la mulai dengan latar belakang Nasional dan latar belakang wilayah Indonesia Timur, terutama Sulawesi, lalu diteruskan dengan kejadian-kejadian disekitar kelahiran Permesta di Makassar, dan bagian terbesar dalam tulisan ini, diceritakan bagaimana Permesta akhirnya berpusat di Sulawesi Utara, terutama di Minahasa yang menjadi kancah pemberontakan. Dari hasil rekonstruksi Barbara tentang Permesta paling tidak ada dua hal penting yang terlukis didalamnya . Pertama, betapa rumitnya peristiwa itu untuk diteliti, ditelaah, dipahami secara obyektif, terutama karena ia mengandung berbagai corak kompleksitas di dalam dirinya. Kedua bagaimana peristiwa itu berkembang dari semacam gerakan kepada yang berkuasa di Jakarta menjadi pemberontakan setengah hati.

Dari tulisan ini, sedikitnya telah memberi informasi temuan baru tentang Permesta bahwa betapa rumitnya fenomena kebangsaan saat itu, serta bagaimana posisi pemerintah daerah yang bergolak. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, pemahaman kita pun sedikit lunak dalam memandang Permesta, bahwa pada dasarnya pemberontakan ini adalah pemberontakan setengah hati. Berikutnya, tulisan terbaru tentang Permesta yang dikarang oleh R.Z Leirissa (1997) dengan judul PRRI/Permesta : Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis". Menurut Leirissa, meski tulisan-tulisan yang ada mencoba memahami masalah PRRI/ Permesta secara sungguh-sungguh, namun ada pula secara apriori mengecam Permesta tanpa ada dukungan fakta-fakta yang memadai. Sebahagian mereka mengecam itu, umumnya kurang memperhatikan persepsi dan argumentasi tokoh-tokoh yang ada di daerah bergolak, sehingga menarik kesimpulan sering kali berat sebelah dan tidak professional. Atas dasar kenyataan itu Leirissa mencoba melihat dan memahami PRPI/Permesta ke sudut pandang yang lebih netral dengan berusaha memperhatikan persepsi dan argumentasi tokoh-tokoh penggerak

pergolakan. Berkat dukungan data dan hasil wawancara (di samping data arsip), ia berhasil menemukan suatu kesimpulan tentang PRRI/ Permesta yang jauh dipahami umum selama ini dan tidak sesuai dengan tafsir sejarah resmi.

Dalam tulisan ini, Leirissa mencoba menganalisa dan menjawab sebuah pertanyaan kunci "bagaimana terjadi PRRI/ Permesta. Mula-mula Leirissa menjelaskan perkembangan situasi berkisar pada masalah-masalah militer, namun perkembangan selanjutnya mengendemik ke masalah lain dalam jangkauan lebih luas, yang kemudian melahirkan Dewan Banton di Padang, Dewan Gajah di Medan, Dean Garuda, di Palembang, dan Permesta di Sulawesi. Leirissa berusaha menjelaskan PRRI/Permesta lebih dari apa yang dipahami umum selama ini. Disini ia mencoba memberi kesan bahwa masalah PRRI/Permesta sebenarnya bukan sekedar ketegangan antar pusat dan daerah karena hal itu sudah ada sejak zaman Majapahit, menurutnya, kesenjangan antara pusat dan daerah dipertengahan tahun 1950-an terjadi karena adanya pendapat bahwa perkembangan politik dipusat ketika itu tidak memungkinkan terselenggaranya pembangunan nasional. Dengan demikian, sampai sekarang belum ada penelitian secara khusus mengkaji Permesta dari sudut perjuangan mewujudkan otonomi daerah, padahal, rencana pembangunan yang ditawarkan Permesta, yaitu "Otonomi Daerah".

F. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk 1. Untuk menguraikan situasi Indonesia menjelang Permesta.

2.

Untuk

menjelaskan

pokok-pokok

pikiran

Permesta yang

meliputi; Konsolidasi Nasional, Rencana pembangunan, dan Otonomi Daerah. 3. Untuk menjelaskan tahap-tahap perjuangan Permesta dalam

mewujudkan pokokpokok pikirannya tersebut, terutama perjuangan dalam mewujudkan Otonomi Daerah

G. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:


1.

Memberikan kepada kita wawasan dan pengetahuan tentang

situasi bangsa Indonesia menjelang Permesta, yang meliputi munculnya berbagai konflik politik dan ideology. 2. Menjadi referensi bagi kita tentang beberapa pokok-pokok

pikiran Permesta yang diharapkan dapat menjadi landasan untuk memahami esensi konflik kenegaraan.
3.

Diharapkan dapat menjadi referensi bagi pengembangan

sejarah Nasional pada umumnya dan sejarah local pada khususnya.

Anda mungkin juga menyukai