Anda di halaman 1dari 2

RAMADHAN : SEBUAH MOMENTUM PENYUCIAN JIWA

Umar Abdul Hasib *

Ramadhan merupakan bulan penuh berkah, maghfirah serta ampunan dari-Nya, bulan mulia dimana al-Quran al-karim di turunkan sebagai petunjuk kepada manusia. Didalamnya terdapat pelajaran bagi manusia untuk melatih diri (riyadhah al-nafs) dan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs). Artinya, puasa bukanlah sekadar rutinitas belaka, melainkan bermakna secara spiritual, psikologis, serta humanis-sosialis. Puasa dalam bahasa arab Shaum adalah imsak : menahan dari sesuatu. Menurut Qadhi AlBaidhawi, adalah menahan diri dari dorongan nafsu, bukan semata-mata menahan. Sedangkan menurut syara', menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami-istri dari terbit fajar hingga matahari terbenam, untuk mencari keridhaan Allah (ihtisaban) dan mempersiapkan jiwa untuk meraih ketakwaan dengan menanamkan akhlak 'muraqabatullah' (pengawasan Allah) dan mendidik jiwa dalam mengekang dorongan syahwat sehingga mampu meninggalkan semua hal yang haram. Dalam melaksanakan puasa, seorang muslim harus fokus, tidak hanya sebatas menahan nafsu syahwat hayawani menahan makan, minum dan lainnya, tetapi berusaha secara maksimal mencapai tujuan laallaqum tattaqun. Dalam bahasa sederhana orang jawa, puasa (jawa: poso) adalah ngeposno roso yaitu berusaha menghentikan segala keinginan nafsu lahir maupun bathin, namun sayangnya puasa yang seharusnya ngeposno roso hanya sebatas ritus keagamaan yang belum memberikan nilai transformatif kepada masyarakat. Puasa harus dilepaskan dari sifat formal-ritualistiknya dan bukan sekadar tren ibadah belaka. Manifestasi puasa harus mampu menanamkan dan menumbuh suburkan keluhuran moral dan kemuliaan akhlak bagi setiap pribadi. Puasa seharusnya bukan sebatas ritual lahiriyah tetapi bagaimana menjadikan puasa sebagai sarana atau media untuk melakukan takhalli, tahalli, dan pada akhirnya mencapai tajalli. Bahkan,

dibanding dengan ibadah-ibadah lainnya, puasa merupakan media atau sarana yang paling lengkap untuk melakukan ketiga langkah tersebut. Dalam dunia tasawuf, puasa adalah menahan atau mengendalikan hawa nafsu, yang apabila ia tidak terkendali akan menjadi sumber dan penyebab terjadinya berbagai dosa dan kejahatan, baik dosa lahir maupun dosa batin yang dapat mengotori dan merusak kesucian jiwa. Jadi ruang lingkup hawa nafsu bukan hanya sebatas upaya mengekang nafsu makan dan nafsu birahi saja. Pengendalian nafsu yang merupakan inti dari puasa itu dengan sendirinya dapat menghindarkan manusia dari segala dosa, yang dalam istilah tasawuf disebut dengan takhalli. Orang yang berpuasa tetapi masih melakukan berbagai dosa, baik dosa lahir maupun dosa batin, berarti belum mengendalikan nafsu. Dalam sebuah hadits diriwayatkan, Banyak sekali orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga. Hadits ini mengisyaratkan bahwa orang yang hanya menahan lapar dan dahaga saja, tetapi tidak sanggup mewujudkan pesan moral di balik ibadah puasa itu, yaitu berupa takhalli dari dosa lahir dan batin, maka puasanya itu tidak lebih dari sekedar orang-orang yang lapar saja. Walhasil, semoga kita benar-benar dapat melaksanakan puasa bukan hanya sebagai tren ibadah, karena Ibadah semestinya tidak hanya dilaksanakan secara formal-ritualistik. Bagian terpenting dalam ibadah adalah pada sejauh mana manusia mampu mengimplementasi pesan yang ada dalam tindakan ibadah ke dalam kehidupan sosial praksis, serta sebagai upaya takhalli jiwa kita. Wa Allahu Alam bi al-Shawab * Mahasiswa Pasca Sarjana Unsuri Surabaya

Anda mungkin juga menyukai