Anda di halaman 1dari 10

PENILAIAN TERHADAP MATERI PENEGAKAN DISIPLIN PEGAWAI PADA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK I.

GAMBARAN UMUM TUGAS DAN PEKERJAAN Berdasarkan Pasal 377 dan Pasal 378 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan, Subbagian Pemberhentian dan Pemensiunan Pegawai merupakan salah satu salah satu unit kerja eselon IV di bawah Bagian Kepegawaian Sekretariat Direktorat Jenderal Pajak yang bertugas melakukan pemberhentian dan pemensiunan pegawai serta menyiapkan bahan pembinaan pegawai dan hukuman disiplin. Secara terperinci, tugas dan pekerjaan Subbagian Pemberhentian dan

Pemensiunan Pegawai sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1554/KM.1/2011 tentang Uraian Jabatan Struktural Di Lingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak adalah menyiapkan bahan-bahan untuk Kepala Bagian Kepegawaian meliputi: 1. usulan pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk disampaikan secara hierarki kepada Menteri Keuangan; 2. usulan pensiun PNS dan kenaikan pangkat pengabdian sesuai ketentuan peraturan kepegawaian yang berlaku untuk disampaikan secara hierarki kepada pejabat yang berwenang menerbitkan keputusan; 3. usulan proses penegakan disiplin pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sesuai ketentuan yang berlaku untuk disampaikan secara hierarki kepada pejabat yang berwenang yaitu surat instruksi penegakan disiplin, surat keputusan Dirjen Pajak tentang penjatuhan hukuman disiplin, dan nota dinas penerusan berkas hasil pemeriksaan kepada Menteri Keuangan; 4. usulan surat izin perceraian dan perkawinan, izin keluar negeri, cuti eselon II, izin cuti di luar tanggungan negara, dan izin lainnya sesuai ketentuan yang berlaku untuk disampaikan secara hierarki kepada pejabat yang berwenang; 5. data-data pegawai yang terkena hukuman disiplin dalam rangka pengambilan kebijakan dalam urusan kepegawaian; 6. usulan pengembangan atau penyempurnaan Standard Operating Prosedur (SOP) pada Subbagian Pemberhentian dan Pemensiunan Pegawai; 7. usulan tindak lanjut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari instansi pengawasan fungsional;

8.

usulan tanggapan atau jawaban atas masalah yang diajukan oleh pihak internal atau eksternal Ditjen Pajak yang berkaitan dengan tugas pokok sebagaimana angka 1 sampai dengan angka 7 di atas;

9. Usulan penyusunan Rencana Strategis (Renstra), Rencana Kerja Tahunan (RKT), Penetapan Kinerja (PK), Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) sesuai dengan tugas pokoknya. Bahan-bahan yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan berasal dari unit kerja lainnya di dalam instansi Ditjen Pajak Sendiri, maupun di luar instansi Ditjen Pajak, yaitu: 1. Dari Instansi Ditjen Pajak, meliputi: a. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atasan langsung; b. Laporan Hasil Penelitian Direktorat KITSDA c. surat keputusan hukuman disiplin pejabat Ditjen Pajak; d. berkas usulan pemberhentian dengan hormat atas permintaan sendiri e. berkas usulan pensiun pegawai; f. berkas usulan izin cerai dan perkawinan, izin keluar negeri, cuti eselon II, izin cuti di luar tanggungan negara, dan izin lainnya; 2. Dari Luar Instansi Ditjen Pajak, meliputi: a. Laporan Hasil Audit Investigasi Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan; b. putusan pengadilan atas pegawai yang menghadapi proses pidana; c. surat keputusan hukuman disiplin oleh Menteri Keuangan; d. surat keputusan pemberhentian dengan hormat atas permintaan sendiri oleh Menteri Keuangan; e. surat keputusan pensiun; f. surat izin cerai dan perkawinan lebih dari seorang, izin keluar negeri dan surat izin lainnya; Berdasarkan uraian tugas pekerjaan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Subbagian Pemberhentian dan Pemensiunan Pegawai tidak sekedar sebagai unit kerja administratif yang hanya menatausahakan surat dan melakukan dokumentasi saja, tetapi juga diwajibkan memberikan pendapat dan pandangan terhadap permasalahan kepegawaian.

II. PERMASALAHAN A. PERUMUSAN MASALAH Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah unit kerja manakah pada Direktorat Jenderal Pajak yang dapat memberikan penilaian terhadap materi penegakan disiplin pegawai (PNS) dan kelayakan pengaktifan seorang pegawai dari pemberhentian sementara dari jabatan negeri karena adanya proses pidana. B. LATAR BELAKANG MASALAH Yang dimaksud materi penegakan disiplin pegawai dalam makalah ini adalah substansi hasil pemeriksaan pelanggaran disiplin berdasarkan peraturan yang mengatur tentang kewajiban dan larangan bagi PNS antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010, Peratutan Pemerintah 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1974, dan lain-lain. Adapun kelayakan pengaktifan seorang pegawai dari pemberhentian sementara dari jabatan negeri ditentukan status proses pidana seorang pegawai dikaitkan dengan UU Pokok Kepegawaian. Substansi hasil pemeriksaan dapat diperoleh dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Laporan Hasil Pemeriksaan, dan keputusan hukuman disiplin yang diterbitkan oleh pejabat eselon IV sampai dengan eselon II, sedangkan status proses pidana seorang pegawai didasarkan pada hasil pemeriksaan lembaga penegak hukum sejak menjadi tersangka sampai dengan terpidana (putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap). Penilaian dilakukan terhadap materi penegakan disiplin karena kemungkinan materi tersebut memiliki kesalahan yang berasal dari pemeriksa, pejabat yang berwenang menghukum dan pejabat pembina kepegawaian sebagai pihak yang menentukan kebijakan organisasi. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi kesalahan materi penegakan disiplin tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. persepsi terhadap permasalahan; anggapan bahwa terperiksa telah bersalah melakukan pelanggaran disiplin karena terperiksa lainnya telah dihukum. Sebuah materi penegakan hukum menjadi bias apabila dugaan pelanggarannya tidak dapat terbukti dilakukan tetapi tetap dihukum, bahkan tuduhan-tuduhan perbuatan pelanggaran tidak memenuhi ketentuan pasalpasal pelanggaran disiplin atau apalagi ada kebijakan bahwa yang penting ada pihak yang harus dianggap bersalah, misalkan dalam kasus beberapa pegawai yang berhubungan dengan Sdr. Gayus Halomoan P Tambunan. Persepsi bersalahnya seorang terperiksa (presumption of guilty) memang dibutuhkan oleh

pemeriksa untuk memunculkan kompetensi dalam menjalankan tugasnya namun tidak boleh membuat seorang pegawai yang tidak bersalah menjadi terhukum; 2. pemahaman terhadap ketentuan peraturan yang dilanggar; pemahaman terhadap ketentuan peraturan yang dilanggar mutlak harus dikuasai karena bisa saja perbuatan terperiksa sebenarnya tidak melanggar peraturan tetapi karena kurang sesuai dengan tindakan yang seharusnya dilakukan oleh terperiksa atau karena telah atau dianggap menimbulkan kerugian negara, maka terperiksa harus dihukum. Asas legalitas dalam hukum seharusnya menjadi patokan utama untuk menentukan seseorang itu dihukum, misalnya terdapat pegawai telah menjalankan sesuai Standar Operating Procedure (SOP) tetapi karena telah menimbulkan dampak kerugian bagi negara, maka yang bersangkutan tetap harus dihukum; 3. kurangnya informasi terhadap permasalahan; informasi yang kurang dapat menyebabkan salah menentukan keputusan. Selain terbatasnya sumber informasi, faktor lainnya yang menyebabkan kurangnya informasi adalah jangka waktu pelaksanaan pemeriksaan yang pendek

(penyelesaiannya tergesa-gesa) dan kemampuan pejabat dalam mendapatkan informasi, misalnya seorang pegawai dianggap telah terbukti melakukan perceraian sebelum mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang, padahal sebenarnya pegawai tersebut benar-benar tidak tahu bahwa isterinya telah menggugat cerai di pengadilan dan telah terbit putusan verstek. Kesalahan dalam menjatuhkan hukuman disiplin sama saja dengan menegakkan hukum dengan melanggar hukum di tengah era reformasi birokrasi Direktorat Jenderal Pajak. Kesalahan dalam menjatuhkan hukuman disiplin juga tidak hanya membuat orang yang terlibat dalam proses penjatuhan tersebut sudah berbuat zalim dan tidak amanah tetapi juga memiliki dampak sebagai berikut: 1. Melanggar hak asasi yang dijamin oleh konstitusi yaitu Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum; 2. Mempengaruhi hak-hak kepegawaian terperiksa atau terhukum, yaitu: a. PNS yang sedang dalam proses pemeriksaan tidak dapat disetujui untuk pindah instansi dan tidak dapat dipertimbangkan kenaikan pangkatnya; b. PNS yang sedang menjalani hukuman disiplin tidak dapat dipertimbangkan kenaikan gaji berkala dan kenaikan pangkatnya; c. adanya pemotongan TKPKN untuk pelanggaran disiplin yang bersifat non administratif;

d. khusus bagi fungsional pemeriksa pajak apabila dijatuhi hukuman disiplin tingkat sedang dan berat berupa penurunan pangkat maka fungsional pemeriksa pajak dibebaskan sementara dari jabatannya dan apabila dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat selain penurunan pangkat maka diberhentikan dari jabatannya; e. bagi PNS yang mencapai batas usia pensiun tidak memperoleh kenaikan pangkat pengabdian apabila dijatuhi hukuman disiplin tingkat sedang dan berat; f. PNS yang menjalani hukuman disiplin tidak dapat diberikan cuti di luar tanggungan negara; g. adanya masa larangan mutasi atau periode waktu minimal untuk diusulkan mutasi/perpindahan jabatan baik secara vertikal, diagonal, maupun horizontal; 3. adanya demotivasi dalam bekerja; 4. dapat meningkatkan jumlah pengunduran diri pegawai karena kurangnya

kepercayaan terhadap organisasi. Sarana untuk mengantisipasi adanya kesalahan dalam proses penegakan disiplin sebenarnya telah disediakan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, berupa adanya upaya keberatan untuk hukuman disiplin sedang berupa penundaan kenaikan gaji dan penundaan kenaikan pangkat serta upaya banding administratif untuk hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat. Namun demikian, penulis berpendapat bahwa masih diperlukan adanya suatu pihak yang bertanggung jawab untuk menetralisir atau paling tidak mengurangi distorsi kesalahan dalam proses penegakan disiplin pegawai tersebut karena: 1. tidak adanya upaya hukum yang disediakan oleh PP Nomor 53 Tahun 2010 untuk hukuman disiplin tingkat ringan, tingkat sedang selain penundaan kenaikan gaji dan kenaikan pangkat, serta tingkat berat selain pemberhentian; 2. hukuman disiplin pegawai bersifat administratif sehingga memungkinkan

diselesaikan berdasarkan suatu kebijakan (diskresi) yang dapat mengurangi dampak-dampak adanya kesalahan materi penegakan disiplin; 3. dapat memberikan masukan dari berbagai aspek kepada pejabat yang berwenang menghukum ataupun pejabat pembina kepegawaian sehingga mengurangi subjektifitas personal. Perlunya penilaian terhadap kelayakan pengaktifan seorang pegawai dari pemberhentian sementara dari jabatan negeri karena adanya proses pidana berbeda dengan penilaian materi penegakan disiplin karena bukan terletak pada kesalahan materi berdasarkan peraturan yang berlaku, tetapi lebih kepada kebijaksanaan atau

pemahaman pejabat pembina kepegawaian dalam menilai kasus pidana seorang pegawai dikaitkan dengan peraturan kepegawaian yang berlaku. Kebijaksanaan ini diperlukan karena suatu kasus atau suatu proses pidana yang dapat menentukan seorang pegawai haruslah tetap diberhentikan sementara dari jabatan negeri atau bahkan diberhentikan dari PNS, padahal sebenarnya pegawai tersebut tidak terlibat atau adanya putusan hakim yang sangat ringan, misalnya dalam kasus seorang pegawai yang menurut hasil penyidikan polisi telah tidak terbukti melakukan tindak pidana tetapi telah bertahun-tahun tidak diterbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atau misalnya seorang pegawai yang didakwa pasal 303 bis KUHP dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara tetapi putusan hakim hanya 1 bulan. Selain kebijaksanaan, pemahaman pejabat pembina kepegawaian terhadap kasus pidana pegawai juga diperlukan misalnya seorang pegawai yang didakwa memiliki narkoba dengan ancaman hukuman penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun, ternyata diputus oleh hakim hanya 3 bulan karena penyalahgunaan narkoba dengan ancaman hukuman maksimal 1 (satu) tahun penjara. Pada contoh kasus ini diperlukan kebijaksanaan dan pemahaman pejabat pembina kepegawaian dalam menentukan diberhentikan atau tidaknya seseorang sebagai pegawai negeri sipil.

III. SOLUSI DAN REKOMENDASI Secara organisasi baik berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan maupun Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1554/KM.1/2011 tentang Uraian Jabatan Struktural Di Lingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Unit kerja Direktorat Jenderal Pajak dari eselon II sampai dengan eselon IV yang bersinggungan dengan proses penegakan disiplin dan penilaian kelayakan pengaktifan seorang pegawai dari pemberhentian sementara dari jabatan negeri karena adanya proses pidana adalah Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak, Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur, Kepala Bagian Kepegawaian, Kepala Subdirektorat Kepatuhan Internal, Kepala Subdirektorat Investigasi Internal, Kepala Subbagian Pemberhentian dan Pemensiunan Pegawai, Kepala Seksi Internalisasi Kepatuhan, Kepala Seksi Investigasi Internal, dan Kepala Seksi Evaluasi Temuan Pemeriksaan Eksternal. Meski peraturan Menteri Keuangan telah memberikan ruang kapasitas kepada unit-unit kerja tersebut di atas untuk dapat menilai materi penegakan disiplin dan

kelayakan pengaktifan seorang pegawai dari pemberhentian sementara dari jabatan negeri karena adanya proses pidana pada Direktorat Jenderal Pajak tetapi belum tentu unit-unit kerja tersebut memiliki kompetensi, mengingat dimensi pekerjaan pada Direktorat Jenderal Pajak yang memiliki peraturan yang sangat banyak dan ditambah lagi peraturanperaturan lainnya di luar perpajakan misalnya peraturan pidana, di bidang keuangan negara dan sebagainya. Penulis berpendapat bahwa diperlukan pihak yang memiliki kompetensi yang komplet sehingga memenuhi alasan dan kebutuhan dalam menilai materi penegakan disiplin dan kelayakan pengaktifan seorang pegawai dari pemberhentian sementara dari jabatan negeri karena adanya proses pidana, dan seyogyanya pihak tersebut berbentuk tim independen yang terdiri unit eselon II dan unit eselon III dari banyak bagian/bidang pada organisasi Direktorat Jenderal Pajak. Tim tersebut terdiri dari: 1. Direktur Jenderal Pajak selaku pejabat pembina kepegawaian sebagai penasehat merangkap anggota; 2. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak selaku unit kerja yang bertugas melakukan fungsi koordinatif antar direktorat sebagai ketua merangkap anggota; 3. Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur selaku unit kerja yang menangani langsung penegakan disiplin pegawai sebagai wakil ketua merangkap anggota; 4. Kepala Bagian Umum selaku unit kerja yang memahami proses pengadaan barang dan jasa sebagai anggota; 5. Kepala Bagian Keuangan selaku unit kerja yang memahami masalah keuangan sebagai anggota; 6. Kepala Subdirektorat KUP dan PPSP selaku unit kerja yang memahami masalah prosedur perpajakan dan penagihan pajak sebagai anggota; 7. Kepala Subdirektorat Peraturan PPN Perdagangan, Jasa, dan PTLL selaku unit kerja yang memahami seluk beluk peraturan PPN sebagai anggota; 8. Kepala Subdirektorat Peraturan PPh Badan selaku unit kerja yang memahami seluk beluk peraturan PPh sebagai anggota; 9. Kepala Subdirektorat Bantuan Hukum selaku unit kerja yang memahami seluk beluk peraturan-peraturan di luar perpajakan sebagai anggota; 10. Kepala Subdirektorat Teknik dan Pengendalian Pemeriksaan selaku unit kerja yang memahami seluk beluk pemeriksaan pajak sebagai anggota; 11. Kepala Subdirektorat Intelejen Perpajakan selaku unit kerja yang memahami seluk beluk Informasi intelejen sebagai anggota;

12. Kepala Subdirektorat Ekstensifikasi selaku unit kerja yang memahami seluk beluk operasional PBB dan BPHTB sebagai anggota; 13. Kepala Subdirektorat Pemantauan Sistem dan Infrastruktur selaku unit kerja yang memahami sistem dan jaringan komunikasi data perpajakan sebagai anggota; Tim tersebut membantu Direktur Jenderal Pajak dengan tugas: 1. memberi masukan terhadap materi penegakan disiplin yang kewenangan penjatuhan hukuman disiplinnya berada pada Dirjen Pajak dan Menteri Keuangan; 2. Memberi masukan kepada Dirjen Pajak terkait adanya permohonan keberatan atas suatu keputusan hukuman disiplin; 3. Melakukan penilaian terhadap materi penegakan disiplin yang kewenangan penjatuhan hukuman disiplinnya berada pada unit eselon IV sampai dengan eselon II; 4. Memberi masukan kepada Dirjen Pajak terkait proses pengaktifan pegawai dari pemberhentian sementara dari jabatan negeri (skorsing) karena adanya proses pidana; dengan kewenangan sebagai berikut: 1. menganalisa dokumen dan bukti-bukti pelanggaran; 2. mengusulkan untuk memanggil pemeriksa atau terperiksa atau saksi-saksi dan pejabat yang berwenang menghukum; 3. membuat rekomendasi berupa: a. penguatan terhadap materi penegakan disiplin; b. perubahan terhadap materi penegakan disiplin; atau c. pengaktifan atau pemberhentian sebagai pegawai negeri sipil dari pemberhentian sementera dari jabatan negeri; dan mekanisme pengambilan keputusan dalam tim didasarkan pada musyawarah mufakat atau 50% (lima puluh perseratus) ditambah 1 (satu) jumlah anggota yang hadir dan kuorum atau minimal jumlah anggota yang harus hadir adalah 50% (lima puluh perseratus) ditambah 1 (satu). Pada akhir tulisan makalah ini, penulis ingin menegaskan kembali bahwa perlunya tim yang berada di luar struktur organisasi Direktorat Jenderal Pajak, selain untuk memenuhi alasan dan kebutuhan dalam menilai materi penegakan disiplin, juga untuk membagi resiko personal pejabat dalam menegakkan keadilan hukum dan mewujudkan visi dan misi organisasi.

Daftar Pustaka: Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 31/KEP/M.PAN/3/2003 Tentang Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak dan Angka Kreditnya dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor Nomor 148/KMK.01/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak dan Angka Kreditnya; Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1554/KM.1/2011 tentang Uraian Jabatan Struktural Di Lingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Jis. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660) Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nornor 13, Tanbahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3250) Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 61, Tambahan Lernbaran Negara Republik Indonesia Nomor 3424); Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 Tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 196, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4017) Sebagaimana Diubah Terakhir Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002 (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4193); Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135); Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 21 Tahun 2010 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil; Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan; Peraturan Menteri Keuangan Nomor 214/PMK.01/2011 tentang Penegakan Disiplin Dalam Kaitannya Dengan Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara Di Lingkungan Kementerian Keuangan; Undang-Undang Dasar 1945; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5062);

Anda mungkin juga menyukai