Anda di halaman 1dari 39

KASUS KELOMPOK SUBARACHNOID HEMORRHAGE

Oleh: Febriendo Vanni DJ (201020401011119) Didik Darmaji (201020401011130) Inggrit Pratiwi (201020401011139) Vina Satya Sugiarto (201020401011145)

Pembimbing: dr. Irawan, Sp.S.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN 2012

DAFTAR ISI

Halaman Judul .....................................................................................................1 Daftar Isi...............................................................................................................2 BAB I PENDAHULUAN....................................................................................3 BAB II LAPORAN KASUS................................................................................5 BAB III TINJAUAN PUSTAKA........................................................................14 BAB IV PENUTUP..............................................................................................37 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................38

BAB I PENDAHULUAN

Subarachnoid hemorrhage (SAH) atau perdarahan subarachnoid (PSA) menyiratkan adanya darah didalam ruang subarachnoid akibat beberapa proses patologis. Penggunaan istilah medis umum SAH merujuk kepada tipe perdarahan non-traumatik, biasanya berasal dari ruptur aneurisma Berry atau arteriovenous malformation (AVM)/malformasi arteriovenosa (MAV). Perdarahan subaraknoid (PSA) menduduki 7-15% dari seluruh kasus GPDO. Insiden PSA di negara maju sebesar 10-15 kasus setiap 100.000 penduduk. 62% timbul pertama kali pada usia 40-60 tahun, kejadian mati mendadak karena PSA sebesar 2% dari seluruh kasus, sebagian besar (9%) terjadi pada umur

dibawah 45 tahun. Pada AVM (Atrio Vena Malformasi) laki-laki lebih banyak dari perempuan (Iskandar, 2001 dan Harsono, 2000). Sebanyak 46% pasien yang bertahan terhadap perdarahan subaraknoid menderita gangguan kognitif jangka panjang yang mempengaruhi fungsi dan kualitas hidup pasien. Perdarahan subaraknoid memiliki karakter demografi, faktor resiko dan terapi yang berbeda-beda. Perdarahan ini menyumbangkan 2-5% kasus stroke baru dan mempengaruhi 21.000 s/d 33.000 orang setiap tahunnya di Amerika Serikat. Insidensi perdarahan subaraknoid ini tetap stabil selama 30 tahun terakhir dan meskipun bervariasi antar daerah, insidensi di dunia secara keseluruhan adalah sekitar 10,5 kasus per 100.000 orang per tahun. Insidensi meningkat dalam hal usia, yaitu rata-rata muncul pada usia 55 tahun. Resiko terjadi pada perempuan 1,6 kali

lebih banyak dibandingkan laki-laki, dan resiko untuk orang kulit hitam 2,1 kali lebih banyak dibandingkan orang kulit putih. Rata-rata case fatality rate (CFR) atau tingkat kematian perdarahan subaraknoid adalah 51% dengan setidaknya pasien yang bertahan hidup memerlukan perawatan seumur hidup. Kebanyakan kematian terjadi dalam 2 minggu setelah iktus dengan 10% terjadi sebelum pasien mendapat pengobatan medis dan 25% dalam 24 jam setelahnya. Secara keseluruhan, perdarahan subaraknoid menyumbang 5% kematian akibat stroke tetapi 27% dari tahun-tahun pasca-stroke berpotensi adanya kematian sebelum usia 65 tahun (Jose, 2006).

BAB II LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Nama Jenis Kelamin Usia Nomor RM Suku Bangsa Agama Alamat Status : : : : : : : : Karsiti Perempuan 38 Tahun 036585 Jawa / Indonesia Islam Keyongan, RT. 6 RW. 2, Keyongan, Babat, lamongan Menikah 18 Juli 2012

Tanggal Masuk : 2.2 Anamnesis

Keluhan Utama: Nyeri kepala RPS: Nyeri kepala dirasakan sejak kemarin malam, terasa cekot-cekot. Sejak 1 tahun yang lalu pasien sering nyeri kepala dan kumat-kumatan. Saat nyeri semalam pasien muntah 3 kali. 2 jam SMRS pasien tidak sadarkan diri, saat di rumah sakit pasien sadarkan diri. RPD: Hipertensi tidak terkontrol dan DM disangkal. RPK: Hipertensi, DM, dan stroke disangkal.

2.3 Pemeriksaan Umum Keadaan Umum : cukup Kesadaran GCS Tekanan darah Nadi : delirium : 456 : 185/131 mmHg : 83x/menit

Frekuensi nafas : 21x/menit Temperatur : 36 0c

Kepala dan leher : anemi (-), ikterik (-), sesak (-), sianosis (-) Thorax : simetris (+), retraksi (-) Pulmo Jantung Abdomen : vesikuler +/+, wheezing -/-, Rhonki -/: S1S2 normal, murmur (-), gallop (-)

: flat, supel, nyeri tekaan (-), hepar dan lien tidak teraba, timpani, bising usus dalam batas normal

Ekstremitas

: hangat,kering, merah, edem (-)

2.4 Status Psikologis Afek : baik : baik : baik :baik : baik :baik

Proses berfikir Kecerdasan Penyerapan Kemauan Psikomotor

2.5 Status Neurologis 2.5.1 Kepala Posisi Penonjolan : simetris : (-)

Bentuk dan ukuran : normal Auskultasi 2.5.2 Nervus kranialis Nervus I (olfakorius) : penghidu normal/normal Nervus II (optikus) Visus: >2/60 ODS Lapang pandang: baik Funduskopi: TDE Nervus III, IV, VI Celah kelopak mata Ptosis: -/Exsoftalmus: -/Pergerakan bola mata: normal/normal Pupil ukuran: 3mm/3mm bentuk: bulat/bulat Reflek cahaya langsung: +/+ Reflek cahaya tidak langsung: +/+ Nistagmus: -/: TDE

Nervus IV (Tokhlearis) Posisi bola mata: medial/medial Pergerakan bola mata: normal/normal Nervus VI (Abdusens) Pergerakan bola mata: normal/normal Nervus V (Trigeminus) Motorik Inspeksi: simetris Palpasi: normal/normal Mengunyah: normal/normal Menggigit: normal/normal Sensibilitas N. V 1: normal/normal N. V 2: normal/normal N. V 3: normal/normal Refleks kornea: +/+ Refleks dagu/ maseter: +/+ Nervus VII (fasialis) Motorik M. Frontalis: normal/normal M. Oblik okuli:normal/normal M. Oblik oris: normal/normal Sensorik Pengecapan 2/3 depan lidah :dbn dbn

Nervus VIII (oktavus) Detik arloji: baik/baik Suara berbisik: baik/baik Tes weber: TDE Tes rinne: TDE Nervus IX (glossofaringeus) Reflek muntah : (+) Pengecapan 1/3 belakang: (+) Nervus X (Vagus) Posisi arkus faring: normal Reflek telan: + Nervus XI (aksesorius) Mengangkat bahu: normal/normal Memalingkan wajah: normal/normal Nervus XII (Hipoglossus) Deviasi lidah: (-) Fasikulasi: (-) Tremor: (-) Atrofi: (-) Ataksia: (-) 2.5.3 Leher Tanda-tanda perangsangan selaput otak Kaku kuduk: (+) Kernigs sign: (-)

Kelenjar limfe: normal Arteri karotis: normal Kelenjar gondok: normal 2.5.4 Abdomen Reflek kulit dinding perut: 2.5.5 Kolumna vertebralis Inspeksi: normal Palpasi: normal Pergerakan: normal Perkusi: TDE

5 5
2.5.7 Tonus otot: (+) 2.5.8 Refleks fisiologis BPR: menurun/menurun TPR: menurun/menurun KPR: menurun/menurun APR: menurun/menurun 2.5.9 Refleks patologis Hoffman/ Trommer: -/Babinski: -/Gordon: -/Chaddock: -/-

5 5

2.5.6 Ekstremitas superior:

10

Schaefer: -/Oppenhein: -/Rossolimo: TDE Mendel B: TDE 2.5.10 Trofi: (-) 2.5.11 sensibilitas Eksteroseptif Nyeri: (+) Suhu: TDE Raba: (+) Propioseptif Sikap: (+) Nyeri dalam: TDE Fungsi kortikal Rasa diskriminasi: normal Stereognosis: nornal Barognosia: TDE 2.5.12 Pergerakan abnormla spontan: (-) 2.5.13 Gangguan koordinasi Tes jari hidung: normal Tes pronasi supinasi: normal Tes tumit lutut: TDE 2.5.14 Gait: SDE 2.5.15 Pemeriksaan fungsi luhur

11

Afek/emosi: baik Kemampuan bahasa: baik Memori: baik Visuospasial: baik Intelegensia:baik 2.6 Pemeriksaan laboratorium DL: diffcount 1/0/94/2/3 Hct 44,7% Hb 15,0 Lekosit 19.000 Trombosit 433.000 Serum elektrolit: Clorida 101 mol/l Kalium 3,1 mmol/l Natrium 134 mmol/l GDA: 144 2.7 Pemeriksaan radiologis Foto thorax CT scan kepala 2.8 Ringkasan Wanita, 38 tahun, nyeri kepala, hiperensi, kaku kuduk positif 2.9 Diagnosis Klinis: headache, kaku kuduk (+) Topis: subarachnoid Etiologi: CVA bleeding SAH

12

2.10 Therapy - O2 nasal 3-4 lpm - IVFD RA 1500 cc/ 24 jam - analgesik - Ca channel blocker - Neuroprotektan

13

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Perdarahan subaracnoid adalah keadaan yang akut, karena terjadi perdarahan ke dalam ruangan subarachnoid. Biasanya disebabkan oleh aneurisma yang pecah (50%), pecahnya malformasi arteriovena (5%), asalnya primer dari perdarahan intraserebral (20%) dan cedera kepala (Poerwadi, 2006; Ahmar, 2010; dan Harsono, 2005)

Gambar 3.1 Stoke Hemoragik

14

Gambar 3.2 Perdarahan Subarachnoid Perdarahan subaraknoid non-trauma adalah masalah neurologik darurat akibat ekstravasasi darah ke ruang yang menutupi sistem saraf pusat yang terisi oleh cairan serebrospinal. Penyebab utama perdarahan subaraknoid non-trauma ini adalah rupturnya aneurisma intrakranial yang merupakan 80% kasus dan memiliki tingkat kematian dan komplikasi yang tinggi. Perdarahan subaraknoid nonaneurismal, termasuk perdarahan subaraknoid perimesensefali terisolasi, terjadi sekitar 20% kasus dan memiliki prognosis baik dengan komplikasi neurologik yang tidak umum (Jose, 2006). 3.2 Epidemiologi Sebanyak 46% pasien yang bertahan terhadap perdarahan subaraknoid menderita gangguan kognitif jangka panjang yang mempengaruhi fungsi dan kualitas hidup pasien. Perdarahan subaraknoid memiliki karakter demografi, faktor resiko dan terapi yang berbeda-beda. Perdarahan ini menyumbangkan 2-5% kasus stroke baru dan mempengaruhi 21.000 s/d 33.000 orang setiap tahunnya di Amerika Serikat. Insidensi perdarahan subaraknoid ini tetap stabil selama 30 tahun terakhir
15

dan meskipun bervariasi antar daerah, insidensi di dunia secara keseluruhan adalah sekitar 10,5 kasus per 100.000 orang per tahun. Insidensi meningkat dalam hal usia, yaitu rata-rata muncul pada usia 55 tahun. Resiko terjadi pada perempuan 1,6 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki, dan resiko untuk orang kulit hitam 2,1 kali lebih banyak dibandingkan orang kulit putih. Rata-rata case fatality rate (CFR) atau tingkat kematian perdarahan subaraknoid adalah 51% dengan setidaknya pasien yang bertahan hidup memerlukan perawatan seumur hidup. Kebanyakan kematian terjadi dalam 2 minggu setelah iktus dengan 10% terjadi sebelum pasien mendapat pengobatan medis dan 25% dalam 24 jam setelahnya. Secara keseluruhan, perdarahan subaraknoid menyumbang 5% kematian akibat stroke tetapi 27% dari tahun-tahun pasca-stroke berpotensi adanya kematian sebelum usia 65 tahun (Jose, 2006). 3.3 Etiologi Penyebab dari perdarahan subarachnoid (Gilroy, 2000): 1. Common causes a. Traumatic subarachnoid hemorrhage b. Spontaneous subarachnoid hemorrhage - Intracerebral hemorrhage with rupture into the subarachnoid space - Primary subarachnoid hemorrhage Ruptured saccular aneurysm Bleeding AVM Ruptured myotic aneurysm

16

2. Rare causes a. Developmental devects, including pseudoxanthoma elasticum, ehlers- Danlos syndrome, Marfans syndrome, sturge- weber disease, hereditary hemorrhagic telangectasia pontis, autosomal dominant polycystic kidney disease. b. Herpes simplex encephalitis, acute hemorrhagic leukoencephalitis, brain abses, tuberculous meningitis, symphilitic vasculitis c. Neoplasm, primary or metastatic brain tumor, hemangioblastoma of the cerebellum or brainstem d. Blood dyscrasias, leukemia, Hodgkin disease, thrombosytopenia, sickle cell anemia, hemophilia, apalstic anemia, pernicious anemia, anticoagulant therapy,congenital defisiensi of factor VII e. Hypertension f. Vasculitis, polyarteritis nodosa, anaphylactic purpura, wegeners

granulomatosis, primary angitis of the CNS g. Atherosclerosis with rupture of an arteriosclerotic vessel h. Rupture of a dissecting aneurysm of the carotid or vertebral/ posterior cerebral arteries i. Subdural hematoma with rupture into the subarachnoid space j. Endometriosis of the spinal canal 3.4 Patofisiologi Aneurisma Hampir selalu terletak dipercabangan arteri, aneurisma itu

manifestasi akibat suatu gangguan perkembangan emrional, sehingga dinamakan juga aneurisma sakular (berbentuk seperti saku) kongenital. Aneurisma berkembang dari dinding arteri yang mempunyai kelemahan pada tunika medianya.

17

Tempat ini merupakan tempat dengan daya ketahanan yang lemah (lokus minoris resaistensiae), yang karena beban tekanan darah tinggi dapat menggembung dan terbentuklah aneurisma. Aneurismna dapat juga berkembang akibat trauma, yang biasanya langsung bersambung dengan vena, sehingga membentuk shunt arterivenous (Mardjono, 1989 dan Ngorah, 1990). Apabila oleh lonjakan tekanan darah atau karena lonjakan intraabdominal, aneurisma intraserebral itu pecah, maka terjadilah perdarahan yang menimbulkan gambaran penyakit yang menyerupai perdarahan intraserebral akibat pecahnya aneurisma Charcot-Bouchard. Pada umumnya faktur presipitasi tidak jelas, oleh karena tidak teringat oleh penderita (Mardjono, 1989 dan Ngorah, 1990).

Gambar 3.3 lokasi aneurisma

18

Gambar 3.4 AVM 3.5 Gejala klinis Gejala klinis yang dapat ditemukan pada perdarahan subaracnoid yaitu (Poerwadi, 2006; Harsono, 2005; dan Israr, 2008): 1. Onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak, dramatis, berlangsung dalam 1 2 detik sampai 1 menit. Kurang lebih 25% penderita didahului nyeri kepala hebat. 2. Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang, gelisah dan kejang. 3. Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam beberapa menit sampai beberapa jam. 4. Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen 5. Fundus Okuli : 10% penderita mengalami edema papil beberapa jam setelah perdrahan. Perdarahan retina berupa perdarahan subhialoid (10%), merupakan
19

gejala karakteristik perdarahan subarakhnoid karena pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior atau arteri karotis interna. 6. Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensi atau hipertensi, banyak 7. keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan pernafasan

Gambar 3.4 Gejala Perdarahan Subarachnoid


20

Perdarahan subaraknoid harus selalu dicurigai pada pasien-pasien dengan gambaran tipikal termasuk onset tiba-tiba sakit kepala berat (seringkali diakui pasien sebagai sakit kepala terburuk yang pernah dirasakan) disertai mual, muntah, nyeri leher, fotofobia dan hilang kesadaran. Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya perdarahan retinal, meningismus, kesadaran menurun dan tanda neurologik terlokalisir. Penemuan berikutnya biasanya berupa kelumpuhan nervus III (aneurisma komunikans posterior), kelumpuhan nervus VI (peningkatan tekanan intrakranial), kelemahan ekstremitas bawah bilateral atau abulia (aneurisma komunikans anterior) serta kombinasi hemiparesis dan afasia atau visuospatial neglect (aneurisma arteri serebri intermedia). Perdarahan retinal harus dibedakan dengan perdarahan pre-retinal pada sindroma Terson yang mengindikasikan atas adanya peningkatan drastis tekanan intrakranial dan hal ini dapat meningkatkan mortalitas (Jose, 2006). Tanpa adanya keluhan dan tanda klinis klasik, perdarahan subaraknoid dapat salah didiagnosis (misdiagnosis). Frekuensi misdiagnosis dapat sampai 50% dari pasien-pasien yang datang pertama kali ke dokter. Kesalahan diagnosis yang umum terjadi adalah migrain dan tension-type headache. Kegagalan pengambilan foto radiologik yang benar menyumbangkan 73% kasus salah diagnosis dan kegagalan melakukan interpretasi yang benar atas hasil punksi lumbal menyumbangkan 23%nya. Pasien yang salah didiagnosis cenderung tampak sakit ringan dan memiliki hasil pemeriksaan neurologik yang normal. Namun demikian, dalam kasus tersebut, dapat terjadi komplikasi neurologik sebanyak 50% pasien dan pasien-pasien ini dihubungkan dengan resiko yang lebih tinggi terhadap kematian dan kecacatan. Sakit kepala mungkin hanya mewakili 40% keluhan pasien dan dapat hilang dalam

21

beberapa menit atau jam, hal ini disebut sentinel headache atau thunderclap headache atau warning leaks (peringatan kemungkinan kebocoran pembuluh darah) (Jose, 2006). Evaluasi darurat atas sentinel headache diperlukan karena pasien mungkin telah memiliki perdarahan subaraknoid dalam 3 minggu. Dalam praktiknya, tidak ada gambaran klinis yang reliabel untuk membedakan sentinel headache dari benign headache. Beberapa pasien mungkin tidak memiliki sakit kepala berat, bahkan keluhan lain seperti kejang atau kebingungan mungkin lebih menonjol. Setiap pasien dengan sakit kepala berat atau pertama kali harus diduga akan adanya perdarahan subaraknoid dan perlu direncanakan CT-scan kepala (Jose, 2006).

3.6 Grading

22

23

3.7 Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis perdarahan subarachnoid dapat digunakan cara pemeriksaan sebagai berikut (Poerwadi, 2006; Harsono, 2005; dan Israr, 2008):
1. Anamnesis (mulainya) akut, nyeri kepala hebat satu sisi, mual, muntah dapat

disusul gangguan kesadaran dan kejang. 2. Pemeriksaan klinis neurologis


24

3. Pemeriksaan tambahan a. Funduskopi : cari subhyaloid bleeding b. CT scan kepala : aneurisma dengan ukuran 7 mm tidak terlihat, dengan menggunakan kontras , dapat terlihat aneurisma maupun MAV.

Gambar 3.5 CT Scan perdarahan Subarachnoid c. Lumbal punksi : dilakukan dalam waktu 12 jam bilamana CT Scan kepala tidak dapat dikerjakan atau gambaran CT scan kepala normal, sedangkan klinis sangat mencurigakan suatu perdarahan subaraknoid dan tidak ada kontraindikasi lumbal punksi. d. MRI tidak dapat dilakukan untuk mendiagnosis SAH

25

Gambar 3.6 MRI Aneurisma e. Angiongrafi sebagai periapan operasi

Gambar 3.6 Magnetic Resonance Angiogram dan Angiography

26

4. Likuor : hampir 100% berdarah, dengan eritrosit 150.000/mm3. Warna

xantokrom timbul dalam 4 jam hingga 20-30 hari. Eritrosit lisis dalam 7 hari,kcuali adanya perdarahan baru.

27

28

Algoritme Diagnostik untuk Perdarahan Subaraknoid .

CT-scan kepala harus dilakukan pertama kali pada setiap pasien dengan suspek perdarahan subaraknoid. Karakteristik tampilan darah yang ekstravasasi adalah hiperdens. Karena darah dalam jumlah kecil dapat saja terlewat, setiap scan harus dilakukan dengan irisan tipis melalui basis otak. Kualitas CT-scan kepala yang baik dapat memperlihatkan perdarahan subaraknoid pada 100% kasus dalam 12 jam setelah onset keluhan dan pada 93% kasus dalam 24 jam (Jose, 2006). CT-scan kepala juga dapat memperlihatkan adanya hematom

intraparenkimal, hidrosefalus dan edem serebri serta

dapat membantu

memprediksikan sisi ruptur aneurisma, terutama pada pasien dengan aneurisma pada arteri serebri anterior atau arteri komunikans anterior. CT-scan kepala juga tes paling reliabel untuk memprediksi vasospasme serebral dan hasil pengobatan yang buruk. Karena pembersihan cepat oleh darah, CT-scan yang tertunda dapat normal meskipun terdapat riwayat yang mendukung dan sensitifitasnya jatuh menjadi 50% setelah tujuh hari (jose, 2006). Punksi lumbal harus dilakukan pada setiap pasien dengan suspek

perdarahan subaraknoid dan hasil negatif atau equivocal pada CT-scan kepala. Cairan serebrospinal harus dikumpulkan di dalam 4 tabung konsekutif, hitung eritrosit ditentukan dari tabung 1 dan 4. Penemuan yang konsisten dengan perdarahan subaraknoid termasuk elevated opening pressure, peningkatan hitung eritrosit yang tidak berkurang dari tabung 1 dan 4 serta xanthochromia (dideteksi dengan spektrofotometri) yang memerlukan lebih dari 12 jam untuk berkembang. Pada pasien dengan punksi lumbal diagnostik atau equivocal, foto radiologik, seperti CT angiografi pada kepala atau angiografi serebral, harus dilakukan. Digital- subtraction cerebral angiography merupakan gold standard untuk deteksi

29

aneurisma serebral tetapi CT angiografi lebih populer dan sering digunakan karena non-invasif serta sensitifitas dan spesifisitas dapat dibandingkan dengan yang menggunakan angiografi serebral (Jose, 2006). Dalam praktik, evaluasi yang teliti terhadap seluruh pembuluh darah harus dilakukan karena sekitar 15% pasien akan memiliki aneurisma multipel. Pasien dengan foto radiologik negatif harus dilakukan pengulangan 7-14 hari setelah kemunculan gejala yang pertama. Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan aneurisma, magnetic resonance imaging (MRI) harus dilakukan untuk menutup kemungkinan malformasi vaskular pada otak, batang otak atau batang spinal. Teknik rediologik lainnya yang dapat digunakan termasuk MRI kepada untuk menentukan ukuran aneurisma (terutama pada kasus trombosis parsial aneurisma) dan three-dimensional digital-subtraction cerebral angiography (yang membantu melihat morfologi aneurisma) (Gambar 2C). Selain itu, perkembangan terbaru pada three-dimensional CT angiography dapat mengurangi kebutuhan akan angiografi serebral yang invasif dan mengurangi resiko karenanya (Jose, 2006). 3.8 Penatalaksanaan Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline Stroke 2007: 1. Pedoman Tatalaksana a. Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA):

Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan petunjuk untuk upaya menurunkan angka mortalitas dan morbiditas. Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30 dalam ruangan dengan

30

lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu diberikan O2 2-3 L/menit. Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif. Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat kelainankelainan neurologi yang timbul. b. Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan harus lebih intensif: Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di ruang gawat darurat. Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalang nafas yang adekuat. Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi. Hindari pemakaian sedatif yang berlebhan karena aan menyulitkan penilaian status neurologi. 2. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA a. Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan

antihipertensi saja tidak direkomendasikan untuk mencegah perdarahan ulang setelah terjadi PSA, namun kedua hal tersebut sering dipakai dalam pengobatan pasien dengan PSA. b. Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang

direkomendasikan pada keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien dengan resiko rendah untuk terjadinya vasospasme atau memberikan efek yang bermanfaat pada operasi yang ditunda.

31

c. ulang. d.

Pengikatan karotis tidak bermanfaat pada pencegahan perdarahan

Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba.

3. Operasi pada aneurisma yang rupture a. Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan ulang setelah rupture aneurisma pada PSA. b. Walaupun operasi yang segera mengurangi resiko perdarahan ulang setelah PSA, banyak penelitian memperlihatkan bahwa secara keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan operasi yang ditunda. Operasi yang segera dianjurkan pada pasien dengan grade yang lebih baik serta lokasi aneurisma yang tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain, operasi yang segera atau ditunda direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus. c. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai resiko yang tinggi untuk perdarahan ulang. 4. Tatalaksana pencegahan vasospasme a. Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke-3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemakaian nimodipin oral terbukti memperbaiki deficit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme. Calcium antagonist lainnya yang diberikan secara oral atau intravena tidak bermakna.
b. Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan triple H

yaitu

hypervolemic-hypertensive-hemodilution,

dengan

tujuan

mempertahankan cerebral perfusion pressure sehingga dapat mengurangi terjadinya iskemia serebral akibat vasospasme. Hati-hati terhadap

32

kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak dilakukan embolisasi atau clipping. c. Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak begitu bermakna. d. Angioplasty transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada pasien-pasien yang gagal dengan terapi konvensional. e. Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut: Pencegahan vasospasme: Nimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari. 3% NaCl IV 50 mL 3 kali sehari. Jaga keseimbangan cairan.

Delayed vasospasm: Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika. Berikan 5% Albumin 250 mL IV. Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge pressure 12-14 mmHg.

Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m2.

Berikan Dobutamine 2-15 g/kg/menit. 5. Antifibrinolitik Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-obat yang sering dipakai adalah epsilon aminocaproic acid dengan dosis 36 g/hari atau tranexamid acid dengan dosis 6-12 g/hari.

6. Antihipertensi
33

a. Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan darah sistolik (TDS) tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolic (TDD) 90 mmHg (sebelum tindakan operasi aneurisma clipping). b. Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan TDD lebih dari 90 mmHg atau MAP diatas 130 mmHg.
c. Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2 mg/menit

sampai mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infuse dosisnya 50-200 mcg/kg/menit. Pemakaian nitroprussid tidak danjurkan karena menyebabkan vasodilatasi dan memberikan efek takikardi. d. Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat diberikan vasopressors, dimana hal ini untuk melindungi jaringan iskemik penumbra yang mungkin terjadi akibat vasospasme. 7. Hiponatremi Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari. Bila perlu diberikan NaCl hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari. Diharapkan dapat terkoreksi 0,5-1 mEq/L/jam dan tidak melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam pertama. Ada yang menambahkan fludrokortison dengan dosis 0,4 mg/hari oral atau 0,4 mg dalam 200 mL glukosa 5% IV 2 kali sehari. Cairan hipotonis sebaiknya dihindari karena menyebabkan hiponatremi. Pembatasan cairan tidak dianjurkan untuk pengobatan hiponatremi. 8. Kejang Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian antikonvulsan tidak direkomendasikan secara rutin, hanya dipertimbangkan pada pasien-pasien yang mungkin timbul kejang, umpamanya pada hematom yang luas, aneurisma

34

arteri serebri media, kesadaran yang tidak membaik. Akan tetapi untuk menghindari risiko perdarahan ulang yang disebabkan kejang, diberikan anti konvulsan sebagai profilaksis. Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari oral atau IV. Initial dosis 100 mg oral atau IV 3 kali/hari. Dosis maintenance 300-400 mg/oral/hari dengan dosis terbagi. Benzodiazepine dapat dipakai hanya untuk menghentikan kejang. Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan pada penderita yang tidak kejang dan harus dipertimbangkan hanya diberikan pada penderita yang mempunyai faktor-faktor risiko seperti kejang sebelumnya, hematom, infark, atau aneurisma pada arteri serebri media. 9. Hidrosefalus a. Akut (obstruksi) Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari pertama. Kejadiannya kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk ventrikulostomi (atau drainase eksternal ventrikuler), walaupun kemungkinan risikonya dapat terjadi perdarahan ulang dan infeksi. b. Kronik (komunikan) Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan serebrospinal secara temporer atau permanen seperti ventriculo-peritoneal shunt. 10. Terapi Tambahan a. Laksansia (pencahar) iperlukan untuk melembekkan feses secara regular. Mencegah trombosis vena dalam, dengan memakai stocking atau pneumatic compression devices. b. Analgesik: Asetaminofen -1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4 g/hari.

35

Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam. Tylanol dengan kodein. Hindari asetosal. Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan: Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam. Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10 mg/4-6 jam. Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam. Propofol 3-10 mg/kg/jam. Cegah terjadinya stress ulcer dengan memberikan: Antagonis H2 Antasida Inhibitor pompa proton selama beberapa hari. Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2 kali sehari. Sucralfate 1 g dalam 20 mL air 3 kali sehari.

BAB IV

36

PENUTUP

Perdarahan subaracnoid adalah keadaan yang akut, karena terjadi perdarahan ke dalam ruangan subarachnoid. Biasanya disebabkan oleh aneurisma yang pecah (50%), pecahnya malformasi arteriovena (5%), asalnya primer dari perdarahan intraserebral (20%) dan cedera kepala. Penyebab utama perdarahan subaraknoid non-trauma ini adalah rupturnya aneurisma intrakranial yang merupakan 80% kasus dan memiliki tingkat kematian dan komplikasi yang tinggi. Sebanyak 46% pasien yang bertahan terhadap perdarahan subaraknoid menderita gangguan kognitif jangka panjang yang mempengaruhi fungsi dan kualitas hidup pasien. Perdarahan ini juga sering dihubungkan dengan pusat pelayanan kesehatan karena umumnya pasien masuk rumah sakit. Perdarahan subaraknoid memiliki karakter demografi, faktor resiko dan terapi yang berbeda-beda. Perdarahan ini menyumbangkan 2-5% kasus stroke baru dan mempengaruhi 21.000 s/d 33.000 orang setiap tahunnya di Amerika Serikat. Faktor-faktor mayor yang dihubungkan dengan hasil akhir pengobatan yang buruk tergantung pada tingkat kesadaran saat masuk rumah sakit, usia dan jumlah darah yang terlihatpada computed tomography scan (CT-scan) kepala saat itu.

DAFTAR PUSTAKA

37

Chandra B. Neurology Klinik. Surabaya. Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK UNAIR, 1994;28 45 Aliah A, Kuswara FF, Limoa RA, Wuysang G. Gambaran Umum Tentang Gangguan Peredaran Darah Otak. Dalam: Harsono, ed. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press, 2003; 79 103 Sidharta P. Neurologi Klinik Dalam Praktek Umum. Jakarta. Dian Rakyat, 2005; 260 294 Mardjono M, Sidharta P. Neourologi Klinis Dasar. Jakarta. Dian Rakyat, 2003; 269 292 Harsono ed. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press, 2005; 59 107 Poerwadi T,et al. Pedoman Diagnosis dan Terapi Edisi III. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNAIR,2006; 33-35 Ahmar .Stroke (0nline), diakses tanggal 14 Mei 2010 http//www.google.com), 2006 Harsono ed. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press, 2005; 97-99 Jose I.S, Robert W. T.,Warren R.S. Current Concepts Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. N Eng J Med 2006;354:387-96 Israr, YA.Stroke. Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Riau, 2008. Sarrafzadeh AS, Haux D, Ldemann L et al. Cerebral Ischemia in Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage A Correlative Microdialysis-PET Study. Stroke 2004;35:638-643 Junaidi Iskandar. 2001. Panduan Praktis Pencegahan dan Pengobatan Stroke. PT Bhuana Ilmu Populer kelompok Gramedia. Jakarta. Harsono. 2000. Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Mardjono M, Sidharta P. 1989. Neurologi Klinis Dasar, ed 5. PT. Dian Rakyat. Jakarta.

38

Ngorah I. G. N. 1990. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Penerbit dan Percetakan Universitas Air Langga. Gilroy John. 2000. Basic Neurology, ed 3. The McGraw-Hill Companies, Inc. USA. Adams and Victors. 2005. Principles of Neurology, ed. 8. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline Stroke 2007. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia: Jakarta, 2007.

39

Anda mungkin juga menyukai