Anda di halaman 1dari 7

Gangguan Kejang

Kejang adalah masalah neurologik yang relatif sering dijumpai. Diperkirakan bahwa 1 dari 10 orang akan mengalami kejang suatu saat selama hidup mereka. Dua puncak usia untuk insidensi kejang adalah dekade pertama kehidupan dan setelah usia 60 tahun. Kejang terjadi akibat lepas muatan proksimal yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah terpicu (fokus kejang) sehingga menganggu fungsi normal otak. Namun, kejang juga terjadi dari jaringan otak normal di bawah kondisi patologik tertentu, seperti perubahan keseimbangan asambasa atau elektrolit. Kejang itu sendiri, apabila berlangsung singkat, jarang menimbulkan kerusakan, tetapi kejang dapat merupakan manifestasi dari suatu penyakit mendasar yang membahayakan, misalnya gangguan metabolisme, infeksi intrakranium, gejala putus-obat, intoksikasi obat, atau ensefalopati hipertensi. Bergantung pada lokasi neuronneuron fokus kejang ini, kejang dapat bermanifestasi sebagai kombinasi perubahan tingkat kesadaran dan gangguan dalam fungsi motorik, sensorik atau autonom. Istilah kejang bersifat generic, dan dapat digunakan penjelasanpenjelasan lain yang spesifik sesuai karakteristik yang diamati. Kejang dapat terjadi hanya sekali atau berulang. Kejang rekuren, spontan dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolisme yang terjadi bertahun-tahun disebut epilepsi. Bangkitan motorik generalisata yang menyebabkan hilangnya kesadaran dan kombinasi kontraksi otot tonik-klonik sering disebut kejang. Kejang konvulsi biasanya menimbulkan kontraksi otot rangka yang hebat dan involunter yang mungkin meluas dari satu bagian tubuh ke seluruh tubuh atau mungkin terjadi secara mendadak disertai keterlibatan seluruh tubuh. Status epileptikus adalah suatu kejang berkepanjangan atau serangkaian kejang repetitive tanpa pemulihan kesadaran antariktus. Data mengenai insidensi kejang agak sulit diketahui. Diperkirakan bahwa 10% orang akan mengalami paling sedikit satu kali kejang selama hidup mereka dan sekitar0,3% sampai 0,5% akan didiagnosis mengidap epilepsi (didasarkan pada kriteria dua atau lebih kejang spontan/tanpa pemicu). Laoran-laporan spesifik jenis kelamin mengisyaratkan angka yang sedikit lebih besar pada lakilaki dibandingkan dengan perempuan. Insidensi berdasarkan usia memperlihatkan pola konsisten berupa angka paling tinggi pada tahun pertama kehidupan, menurun pesat menuju usia remaja, dan pendataran secara bertahap selama usia pertengahan untuk kembali memuncak pada usia setelah 60 tahun. Lebih dari 75% pasien dengan epilepsi mengalami kejang pertama sebelum usia 20 tahun; apabila kejang pertam terjadi setelah usia 20 tahun, maka gangguan kejang tersebut biasanya sekunder. Epilepsi dapat diklasifikasikan sebagai tipe idiopatik atau simtomatik. Pada epilepsi idiopatik atau esensial, tidak dapat dibuktikan adanya

suatu lesi sentral. Pada epilepsi simtomatik atau sekunder, terdapat kelainan serebrum yang mendorong terjadinya respons kejang. Diantara berbagai penyakit yang mungkin menyebabkan epilepsi sekunder adalah cedera kepala (termasuk yang terjadi sebelum dan setelah kelahiran), gangguan metabolik dan gizi, faktor toksik, ensefalitis, hipoksia, gangguan ssirkulasi, gangguan keseimbangan elektrolit dan neoplasma.

Patofisiologi Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut : Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defesiensi asam gama-aminobutirat (GABA). Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang menganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik sacara drastis meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 perdetik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamate mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang. Secara umum; tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan

struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetilkolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.

Jenis Kejang Masing-masing sentra klinis untuk epilepsi besar menggunakan klasifikasi yang paling sesuai dengan tujuan mereka. Kejang diklasifikasikan sebagai parsial atau generalisata berdasarkan apakah kesadaran utuh atau lenyap. Kejang dengan kesadaran utuh disebut sebagai kejang parsial. Kejang parsial dibagi lagi menjadi parsial sederhana (kesadaran utuh) dan parsial kompleks (kesadaran berubah tetapi tidak hilang). Klasifikasi Kejang Klasifikasi PARSIAL Karakteristik Kesadaran utuh walaupun mungkin berubah; fokus di satu bagian tetapi dapat menyebar ke bagian lain Dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral); sensorik (merasakan, membaui, mendengar sesutau yang abnormal), autonomic (takikardia, bradikardia, takipnu, kemerahan, rasa tidak enak di epigastrium), psikik (disfagia, gangguan daya ingat) Biasanya berlangsung kurang dari 1 menit Dimulai sebagai kejang parsial sederhana; berkembang menjadi perubahan kesadaran yang disertai oleh Gejala motorik, gejala sensorik, otomatisme (mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, menarik-narik baju) Beberapa kejang parsial kompleks mungkin berkembang menjadi kejang generalisata Biasanya berlangsung 1-3 menit Hilangnya kesadaran; tidak ada awitan fokal; bilateral dan simetrik; tidak ada aura Spasme tonik-klonik otot; inkontinensia

Parsial sederhana

Parsial kompleks

GENERALISATA

Tonik-klonik

Absence

Mioklonik

Atonik

Klonik

Tonik

urin dan alvi; menggigit lidah, fase pascaiktus Sering salah didiagnosis sebagai melamun Menatap kosong, kepala sedikit lunglai, kelopak mata bergetar, atau berkedip secara cepat; tonus postural tidak hilang Berlangsung beberapa detik Kontraksi mirip-syok mendadak yang terbatas di beberapa otot atau tungkai; cenderung singkat Hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh (drop attacks) Gerakan menyentak, repetitive, tajam lambat dan tunggal atau multipel di lengan, tungkai atau torso Peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas; fleksi lengan dan ekstensi tungkai Mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi Dapat menyebabkan henti napas

Kejang parsial dimulai di suatu daerah di otak, biasanya korteks serebrum. Gejala kejang ini bergantung pada lokasi fokus di otak. Kejang sensorik biasanya disertai beberapa gerakan klonik, karena di korteks sensorik terdapat beberapa representasi motorik. Gejala autonom adalah kepucatan, kemerahan, berkeringat dan muntah. Gangguan daya ingat, disfagia dan dj vu adalah contoh gejala psikis pada kejang parsial. Kita harus mengamati dengan cermat di mana kejang dimulai, karena hal ini dapat memberi petunjuk tentang lokasi lesi. Sebagian pasien mungkin mengalami perluasan ke hemisfer kontralateral disertai hilangnya kesadaran. Lepas muatan kejang pada kejang parsial kompleks (dahulu dikenal sebagai kejang psikomotor atau lobules temporalis) sering berasal dari lobus temporalis medial atau frontalis inferior dan melibatkan gangguan pada fungsi serebrum yang lebih tinggi serta proses-proses pikiran, serta perilaku motorik yang kompleks. Kejang ini dapat dipicu oleh musik, cahaya berkedip-kedip, atau rangsangan lain dan sering disertai oleh aktivitas motorik repetitive involunta yang terkoordinasi yang dikenal sebagai perilaku otomatis (automatic behavior).

Kejang generaliasta melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon serta ditandai dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi di kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang fokal. Pasien tidak sadar dan tidak mengetahui keadaan sekeliling saat mengalami kejang. Kejang ini biasanya mucul tanpa aura atau peringatan terlebih dahulu. Kejang absence (dahulu disebut petit mal) ditandai dengan hilangnya kesadaran secara singkat, jarang berlangsung lebih dari beberapa detik. Pasien mungkin mengalami satu atau dua kali kejang sebulan atau beberapa kali sehari. Kejang absence hampir selalu terjadi pada anak; awitan jarang dijumpai setelah usia 20 tahun. Serangan-serangan ini mungkin menghilang setelah pubertas atau diganti oleh kejang tipe lain, terutama kejang tonik-klonik. Kejang tonik-klonik (dahulu disebut grand mal) adalah kejang epilepsi yang klasik. Kejang tonik-klonik diawali oleh hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin bersuara menangis, akibat ekspirasi paksa yang disebabkan oleh spasme toraks atau abdomen. Pasien kehilangan posisi berdirinya, mengalami gerakan tonik kemudian klonik, dan inkontinensia urin atau alvi (atau keduanya), disertai disfungsi autonom. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik. Fase klonik memperlihatkan kelompok-kelompok otot yang berlawanan bergantian berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan-gerakan menyentak. Jumlah kontraksi secara bertahap berkurang tapi kekuatannya tidak berubah. Lidah mungkin tergigit; hal ini terjadi pada sekitar separuh pasien (spasme rahang dan lidah). Keseluruhan kejang berlangsung 3 sampai 5 menit dan diikuti oleh periode tidak sadar yang mungkin berlangsung beberapa menit sampai selama 30 menit. Setelah sadar mungkin pasien tampak kebingungan, agak stupor, atau bengong. Tahap ini disebut sebagai periode pascaiktus. Umumnya pasien tidak dapat mengingat kejadian kejangnya. Efek fisiologik kejang tonik-klonik bergantung pada lama kejang berlangsung. Kejang tonik-klonik yang berkepanjangan menyebabkan efek neurologik dan kardiorespirasi yang berat. Efek dini disebabkan oleh meningkatnya katekolamin dalam sirkulasi. Apabila kejang berlanjut lebih dari 15 menit, maka terjadi deplesi katekolamin yang menyebabkan timbulnya efek sekunder atau lambat. Kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dapat menyebabkan henti jantung tanpa napas. Efek Fisiologik Kejang Awal (Kurang dari 15 Lanjut (15-30 Menit) Berkepanjangan (Lebih Menit) dari 1 Jam) Meningkatnya Menurunnya tekanan Hipotensi disertai kecepatan denyut darah berkurangnya aliran

jantung Menurunnya gula darah Meningkatnya tekanan Disritmia darah Edema paru nonjantung Meningkatnya kadar glukosa Meningkatnya suhu pusat tubuh Meningkatnya sel darah putih

darah serebrum sehingga terjadi hipotensi serebelum gangguan sawar darahotak yang menyebabkan edema serebrum

Kejang tonik-klonik demam, yang sering disebut sebagai kejang demam, paling sering terjadi pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Teori menyarankan bahwa kejang ini disebabkan oleh hipertermia yang muncul secara cepat yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri. Kejang ini umumnya berlangsung singkat, dan mungkin terdapat predisposisi familial. Pada beberapa kasus, kejang dapat berlanjut melewati masa anak dan anak mungkin mengalami kejang nondemam pada kehidupan selanjutnya. Selain jenis-jenis kejang generalisata yang umum ini, sebagian mungkin dapat dianggap sekunder. Cedera kepala tetap merupakan penyebab tersering kejang didapat. Insidensi bervariasi bergantung pada tipe dan keparahan cedera awal. Apapun mekanismenya, penetrasi dura merupakan faktor risiko yang signifikan untuk timbulnya kejang. Dalam kaitannya dengan patofisiologi kejang, terdapat dua faktor penting yang berperan. Cedera primer terjadi akibat gaya mekanis yang merobek prosesus dendritik, merusak kapiler dan menganggu lingkungan ekstrasel. Cedera sekunder ditimbulkan oleh edema serebrum. Penimbunan produk metabolik toksik dan iskemia akibat hipotensi, hipoksia, dan hiperkarbia ikut berperan menimbulkan edema serebrum. Mekanisme patofisologik timbulnya kejang setelah trauma kepala adalah iskemia akibat terganggunya aliran darah, efek mekanis dari jaringan parut, destruksi kontrol inhibitorik dendrite, ganggyan sawar darah-otak dan perubahan dalam sistem penyangga ion ekstrasel. Terapi proilaktik bagi pasien cedera kepala untuk kejang setelah cedera otak terus menimbulkan kontroversi. Kejang terjadi paling sering dalam 30 sampai 90 hari pertama setelah cedera kepala. Sebagian besar institusi mengobati secara profilaktis pasien yang dianggap berisiko tinggi. Karakteristik pasien berisiko tinggi adalah skor Glasgow Coma Scale kurang dari 10, adanya perdarahan intrakranium, cedera menembus dura, atau fraktur depresi tulang tengkorak, atau kombinasinya. Fenitoin (Dilantin) adalah obat pilihan untuk terapi profilaktik. Kejang dapat terjadi akibat fase akut atau sekuele dan infeksi susunan saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh bakteri, virus atau parasit. Perlu dicatat

bahwa kejang biasanya merupakan gejala klinis pertama pada abses serebrum. Infeksi merupakan penyebab sekitar 3% kasus epilepsi didapat. Kelainan metabolik, sebagai kelainan yang mendasari kejang, mencangkup hiponatremia, hipernatremia, hipoglikemia, keadaan hiperosmolar, hipokalsemia, hipomagnesemia, hipoksia dan uremia. Gejala neurologik perubahan kadar natrium serum terjadi akibat peningkatan atau penurunan volume cairan intrasel neuron dan berkaitan dengan kadar absolute kurang dari 125 mEq/L atau lebih dari 150 mEq/L tetapi, yang lebih penting, berkorelasi dengan kecepatan terjadinya perubahan tersebut. Kemajuan dalam bidang resusitasi jantung-paru (RJP) ikut memberi konstribusi dalam meningkatkan insidensi kesintasan pasien yang mengalami hipoksia serebrum dan sekuelnya, ensefalopati anoksik, sehingga kelainan ini semakin sering menyebabkan gangguan kejang didapat.

Anda mungkin juga menyukai