Anda di halaman 1dari 4

HIV DAN AIDS, KERENTANANNYA PADA PEREMPUAN (Memperingati Hari AIDS Se-Dunia 1 Desember 2011) Aku sih gak

tau betul kena HIV dan AIDS darimana, mungkin dari suamiku, kata keluarganya dia pernah pakai narkoba, mungkin juga sering jajan, aku juga gak pernah jadi mbak-mbake(red-PSK) (RI, 28 tahun- dokumentasi pribadi penulis) Begitulah sekilas pernyataan seorang perempuan ODHA, kemungkinan dia tertular HIV dan AIDS dari suaminya yang sebelumnya berperilaku nakal. Dari berbagai laporan dunia, ada kecenderungan epidemic HIV dan AIDS meningkat pada perempuan. Kerentanan perempuan terhadap HIV dan AIDS antara lain karena perempuan rentan secara biologis, sosial, ekonomi, ketidaksetaraan gender dan cultural. Menurut Komisi Penanggulangan (KPA) AIDS Nasional per 30 Juni 2011 jumlah penderita AIDS mencapai 26.483 jiwa dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 238.893.400 jiwa pada tahun 2011 (rate komulatif 11,09 per 100.000 penduduk). Jawa Tengah kini menduduki peringkat ke 6 nasional dalam jumlah kasus HIV dan AIDS. Di Indonesia, kecenderungan peningkatan kasus HIV dan AIDS juga terlihat. Pada laporan Nasional Perkembanagan Situasi HIV dan AIDS Triwulan II Kemenkes RI per Juni 2011 menunjukkan persentase perempuan pengidap HIV dan AIDS meningkat menjadi 35,1% dibandingkan pada September 2010 yang hanya 26%. Sedangkan di Jawa Tengah, jumlah kasus kumulatif HIV dan AIDS per 30 Juni 2011 adalah 3.789 kasus. 38% dari seluruh kasus dialami oleh perempuan, dan yang mengejutkan Ibu Rumah Tangga (sebanyak 291 kasus) menduduki peringkat ke-2 terbanyak baru kemudian disusul oleh Wanita Pekerja seks (WPS/PSK) sebanyak 165 kasus . Selama ini, masih ada stigma di masyarakat yang menganggap bahwa HIV dan AIDS hanya dialami perempuan penjaja seks atau perempuan penjaja seks komersial adalah sumber penularan HIV, ternyata tidak benar karena saat ini perempuan yang tidak melakukan perilaku beresiko telah ada yang terinfeksi HIV dari pasangan tetapnya (suaminya). Perempuan dan remaja putri ternyata lebih rentan tertular HIV. Hasil studi menunjukkan bahwa kemungkinan perempuan dan remaja putri tertular HIV 2,5 kali dibandingkan laki-laki dan remaja putra (UNAIDS 2004). Kerentanan perempuan terhadap HIV lebih banyak disebabkan ketimpangan gender yang berakibat pada ketidakmampuan perempuan untuk mengontrol perilaku seksual atau menyuntik narkoba dari suami atau pasangan tetapnya dan kurangnya akses untuk mendapatkan pelayanan pengobatan HIV-AIDS. Keberadaan perempuan dalam masyarakat memang belum menguntungkan, karena adanya hambatan cultural maupun agama, tetapi secara kultur posisi perempuan memang belum diuntungkan. Misalnya akses informasi yang terbatas dan pendidikan perempuan yang rendah, sehingga mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kesehatan reproduksi., termasuk persoalan seputar HIV/AIDS dan pelayanan kesehatan yang menjadi hak perempuan. Stigmatisasi masyarakat terhadap perempuan menjadi lebih besar dibandingkan

dengan laki-laki, karena dia perempuan dengan status ODHA, apalagi pada perempuan menikah(misalnya dicurigai selingkuh atau tidak setia), sedangkan pada kenyataannya perempuan tertular justru dari suaminya yang mempunyai perilaku berisiko tinggi terhadap HIV/AIDS. Masalah lain adalah adanya ketidaksetaraan gender sebagai salah satu masalah yang ikut memperbesar kemungkinan penyebaran HIV/AIDS(pewabahan). Gender merujuk pada hubungan antara perempuan dan laki-laki yang dikonstruksi secara sosial. Peran dan relasi gender secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tingkat risiko individu dan kerentanan infeksi HIV. Gender, yang didefinisikan sebagai kumpulan dari kepercayaan, norma, kebiasaan, sikap, dan praktek-praktek yang menentukan atribut maskulin dan feminin, telah menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan berperilaku, dan pada gilirannya membedakan hak-hak, akses, kontrol, sumber daya, informasi, dan interaksi seksual. Kurangnya pemahaman konsep gender dalam keluarga membuat posisi tawar perempuan sangat rendah dalam pengambilan berbagai keputusan termasuk dalam aspek kesehatan dan kesehatan repoduksinya. Peran gender dalam kaitannya dengan kerentanan yang menyebabkan perempuan lebih rentan terinfeksi HIV/AIDS menurut Baby Jim Adytia (Jurnal Perempuan, No. 43, 2005) adalah sebagai berikut : a. Kerentanan biologis. Dinding vagina mempunyai mukosa yang lembut dan mudah terluka, dengan demikian bila terjadi penetrasi vagina, maka air mani akan bertahan lebih lama dalam rongga vagina, sehingga air mani yang terinfeksi HIV/ AIDS akan menulari perempuan tersebut. b. Kerentana karena ketidaksetaraan gender. Posisi tawar yang tidak setara, karena perempuan dikonstruksikan untuk bersikap penurut, pasif, sabar dan setia. Sementara laki-laki dikonstruksikan untuk berperan sebaliknya yaitu dominan, agresi, mengambil inisiatif dalam hubungan seksual, dan dianggap wajar bila mempunyai lebih dari satu pasangan baik sebelum menikah, di dalam pernikahan maupun di luar pernikahan. Sementara itu, berkaitan dengan perilaku seksual, perempuan hampir tidak punya posisi tawar, karena ada kecenderungan perempuan lebih mengutamakan kebahagiaan atau kepuasan pasangannya daripada dirinya sendiri. Selain itu, perempuan mempunyai ketergantungan pada suami atau pacar karena status ekonomi dan sosial (dalam pekerjaan) yang lebih rendah..Oleh karena itu, istri tidak berani menanyakan perilaku seksual suaminya yang melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain. Laki-laki mempunyai kesempatan lebih untuk melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain (PSK), yang menyebabkan laki-laki terinfeksi dan akan menularkan penyakitnya kepada istrinya. Istri yang takut akan tertular penyakit infeksi dari suaminya mungkin tidak dapat menolak keinginan suaminya untuk melakukan hubungan seks atau meminta suaminya menggunakan kondom. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi posisi tawar perempuan, misalnya dalam berhubungan seksual dengan pasangannya,. karena bila menolak perempuan takut disakiti atau diceraikan. Oleh karena itu, perempuan yang tidak melakukan perilaku berisiko seperti berganti pasangan, pengguna jarum suntik bisa terinfeksi Hiv dari pasangan tetapnya(suami) atau pacarnya c. Kerentanan sosial, cultural dan agama. Perempuan sulit untuk mendiskusikan keinginan dan keselamatan tubuhnya sendiri, seperti dijodohkan atau dipaksa menikah, pelecehan dan kekerasan seksual. Agama juga menyoroti perempuan dalam hal perilaku seksual pasangan suami istri. Ada

perasaan dosa pada perempuan ketika istri tidak mau melayani sang suami dalam berhubungan seksual. Selain itu, budaya masih berkaitan dengan seks yang tabu untuk dibicarakan. norma budaya mengajarkan perempuan menjadi sasaran kesalahan ketika terjadi hubungan seks sebelum nikah dan kehamilan. Stigmatisasi lebih berat yang memungkinkan mereka mengalami kekerasan. d. Kerentanan ekonomi. Perempuan seringkali tidak memiliki penghasilan sendiri, sehingga tergantung pada suami atau pasangannya dalam menafkahi hidupnya. Kalaupun bekerja, upahnya seringkali lebih rendah dibanding laki-laki walaupun ia mempunyai kemampuan yang sama dalam mengejakan tugas tersebut. Akibat ketidakmampuan ekonomis, istri sering bergantung pada suami atau pasangannya. Ketergantungan ekonomi perempuan menyebabkan perempuan sulit untuk mengontrol agar dirinya tidak terinfeksi, karena dirinya tidak bisa menolak berhubungan atau meminta suaminya mengenakan alat pelindung. Tidak sedikit perempuan yang tergelincir di dalam komunitas yang semu, komunitas di mana mereka harus menelanjangi dirinya. Saat ini, program-program nasional semestinya menfokuskan pada perempuan secara keseluruhan, tidak terbatas pada populasi kunci seperti pekerja seks dan pengguna jarum suntik. Sementara pada aksi kampanye nasional, kondom misalnya, terjadi bias gender dalam promosi kondom, seolah-olah wanita lah yang harus pintar bernegoisasi kondom, mengajak sang pria menggunakan kondom, bukan kepada pria yang seharusnya mengerti dan bertanggungjawab dalam hal pemakaian kondom. Perlu ada akses informasi yang sama bagi perempuan, termasuk perlu ada alokasi dana khusus bagi kelompok perempuan dalam program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Untuk mengubah ketidaksetaraan gender di masyarakat dibutuhkan waktu lama. Namun, suasana ketidaksetaraan bisa berubah karena dukungan kebijakan dan komitmen untuk menjalankannya. Kesetaraan gender dalam keluarga dan masyarakat akan dapat mengeliminasi kerentanan perempuan terhadap HIV dan AIDS. Ketidaksetaraan relasi gender, baik sosial, ekonomi maupun kuasa, merupakan motor penggerak utama tersebarnya wabah HIV. Artinya bila kesetaraan gender terjadi antara laki-laki dan perempuan, maka perempuan dapat membuat keputusan sendiri mengenai aktivitas seksualitasnya, karena banyak perempuan menjadi rentan karena perilaku beresiko oleh orang-orang terdekatnya, perempuan dapat meminta suami atau pasangan yang mempunyai kecenderungan berisiko untuk menggunakan kondom ketika berhubungan seks, dan bisa menolak berhubungan atau menikah dengan laki-laki dewasa yang mungkin sudah terinfeksi HIV. Posisi tawar perempuan bisa ditingkatkan melalui konseling bersama. Pasangan yang diberi penguatan bersama lebih tergugah untuk disiplin menggunakan kondom. Materi penguatan antara lain menumbuhkan perasaan tanggung jawab keluarga, perasaan takut menularkan atau tertular pasangan, dan perasaan tanggung jawab memutus rantai epidemi HIV. Dalam menghadapi permasalahan tersebut, tidak ada pilihan lain bagi kaum perempuan yang lebih banyak menderita, terkecuali harus turut aktif membantu upaya-upaya pencegahan penyebaran HIV dan AIDS. Selain dalam bentuk upaya secara individual juga perlu didukung dengan upaya yang bersifat kelembagaan. Kaum perempuan harus secara aktif melakukan upaya-upaya pencegahan penyebaran bahaya HIV dan AIDS bagi dirinya, dapat dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu lingkungan keluarga. Hal ini akan memberikan

sumbangan yang berarti terhadap upaya penanggulangan HIV dan AIDS secara sistemik dan harus dilakukan secara terus menerus dan konsisten. Sebelum semuanya menjadi lebih buruk, maka perempuan perlu membekali dirinya dengan pengetahuan tentang bahaya dan cara penularan HIV dan AIDS. Hal ini diikuti dengan meningkatkan kepedulian lingkungan masyarakat (Community care) melalui kegiatan-kegiatan penyuluhan untuk membagi informasi ini seluas-luasnya secara rutin dan berkesinambungan yang tujuannya untuk mempersempit gerak penyebaran virus HIV dan AIDS. REFERENSI : 1. Baby Jim Aditya, September 2005, Kerentanan Perempuan Terhadap HIV/AIDS dalam Jurnal Perempuan No. 43: Melindungi Perempuan dari HIV/AIDS. 2. Family Health International. 2000. Women and HIV/AIDS : Experience and Consequences of Stigma and Discrimination. Family Health International. Nepal 3. KPA Provinsi Jateng. 2010. Data HIV dan AIDS Jawa Tengah per Desember 2010. Semarang 4. KPA Provinsi Jateng. 2011. Data HIV dan AIDS Jawa Tengah per Juni 2011. Semarang 5. Laporan Nasional perkembangan situasi HIV dan AIDS Triwulan ke-2 per Juni 2011, Kemenkes RI 6. Laporan Nasional perkembangan situasi HIV dan AIDS Triwulan ke-4 per Desember 2010 , Kemenkes RI 7. Pemberdayaan Perempuan Dalam Pencegahan Penyebaran HIV AIDS. 2008. Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, Jakarta 8. Sidib ,Michel. 2011. Woman, HIV and AIDS. http://www.avert.org/women-hiv-aids.htm

Anda mungkin juga menyukai