Anda di halaman 1dari 83

Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu:

Sebuah Rekomendasi Terhadap Revisi UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPR Provinsi, Kabupaten/Kota dan DPD Penyusun: Hadar Gumay Khoirunnisa Agustyati Nindita Paramastuti Refly Harun Mei 2011

Mei 2011 Program Kajian dan Publikasi Buku ini didukung oleh IFES dengan pendanaan dari The Australian Agency for International Development (AUSAID) Sanggahan Pandangan yang dimuat dalam publikasi ini tidak secara otomatis mencerminkan pandangan dari The Australian Agency for International Development (AUSAID) atau Pemerintah Australia dan IFES

Daftar Isi

Daftar Isi

Daftar Isi _________________________________________________________________ i Daftar Tabel _____________________________________________________________ ii Bab I Evaluasi Sistem Pemilu 2009 __________________________________________ 1 Bab II Sistem Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Pemilu 2009 ___________ 15 Bab III Permasalahan Parliamentary Threshold & Konsep Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia _______________________________________________________ 23 Bab IV Permasalahan Daftar Pemilih Pemilu di Indonesia _____________________ 42 Bab V Penutup ___________________________________________________________ 69

ii

Daftar Tabel

Daftar Tabel

Table 1 : Negara-negara yang Menggunakan Mixed-Member Proportional System (MMP) 5 Table 2 : Perempuan Terpilih dengan Suara Terbanyak Dalam Pemilu 2009 11 Table 3 : Pendapat Mengenai Penerapan Sistem MMP 12 Table 4 : Beberapa Rumusan UU Pemilu ke Depan dengan Menggunakan Sistem Proporsional Campuran (MMP) 12 Table 5 : PHPU MK yang Tidak Dapat Diterima Karena Melewati Batas Waktu 3x24 Jam 16 Table 6 : Membentuk Peradilan Khusus Pemilu 19 Table 7 : Beberapa Rumusan UU Pemilu ke Depan Berdasarkan Sistem Penegakan Hukum yang Diusulkan 20 Table 8 - Syarat Pendirian Parpol 25 Table 9 - Syarat Memperoleh Badan Hukum 26 Table 10 : Syarat Ikut Pemilu 27 Table 11 : Penerapan Electoral Threshold 28 Table 12 : Penerapan Parliamentary Threshold 28 Table 13 : Posisi Fraksi Mengenai Parliamentary Threshold untuk Pemilu 2014 31 Table 14 : Perbandingan Perolehan Kursi Berdasarkan Parliamentary Threshold 2.5%, 3%, 4%, 5% 33 Table 15 : Ambang Batas di Beberapa Negara Untuk Kursi di Parelemen 36 Table 16 : Usulan Perubahan Parliamentary Threshold 40 Table 17 : KPU Membuat, Memutakhirkan dan Memelihara Data Pemilih 56 Table 18 : Usul Perubahan Pasal Terkait Daftar Pemilih dalam UU 10/2008 59 Table 19 : Usul Perubahan Pasal Terkait DPT dalam UU Nomor 42/2008 66 Table 20 - Perubahan Pasal Terkait Daftar Pemilih dalam UU No. 10/2008 72

Bab I Evaluasi Sistem Pemilu 2009

U Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya UU Pemilu) mengadopsi sistem proporsional terbuka untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi, Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.1 Pengejawantahan lebih lanjut dari dipilihnya sistem tersebut tercermin dalam hal pemberian suara, penetapan perolehan kursi, dan penentuan calon terpilih. Dalam hal pemberian suara, pemilih pada Pemilu 2009 diberikan hak untuk memilih parpol dan kandidat sekaligus. Dengan catatan, kandidat pipilihan haruslah berasal dari parpol yang dipilih. Namun, bila memilih salah satu yaitu parpol atau kandidat saja tetap dianggap sah. Dalam hal penetapan perolehan kursi DPR, UU Pemilu menentukan bahwa penetapan perolehan kursi dihitung berdasarkan perolehan suara parpol di masingmasing daerah pemilihan, yang untuk konteks pemilihan anggota DPR berjumlah 77 dapil (daerah pemilihan). Dengan catatan, hanya parpol yang mencapai perolehan suara sah minimal 2,5% secara nasional yang akan diikutkan dalam penetapan perolehan kursi. Penetapan perolehan kursi dilakukan secara bertahap. Tahap satu, kursi diberikan kepada parpol yang mencapai 100% BPP (bilangan pembagi pemilihan). Angka BPP didapat dengan cara membagi jumlah suara sah di satu dapil dengan alokasi kursi di dapil tersebut, yang menurut UU Pemilu berkisar antara 3-10 kursi (Pasal 22 ayat [2]). Bila masih ada sisa kursi dilakukan penghitungan tahap dua, yaitu kursi diberikan kepada parpol yang memperoleh 50% BPP. Parpol yang mendapatkan kursi pada tahap ini tidak lagi memiliki sisa suara. Selanjutnya, bila di suatu dapil masih ada kursi yang belum terbagi, dilakukan penghitungan tahap tiga, yaitu semua sisa suara parpol dari semua dapil dalam satu provinsi dikumpulkan di tingkat provinsi. Kemudian ditentukan BPP baru, yaitu dengan cara membagi akumulasi sisa suara di tingkat provinsi dengan sisa kursi yang ada. Parpol yang mencapai BPP baru berhak memperoleh kursi.

Pasal 5 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Bab 1

Bila masih ada kursi yang belum terbagi setelah diadakan penghitungan tahap tiga, dilakukan penghitungan tahap empat, yaitu dengan cara membagikan kursi kepada parpol yang memperoleh sisa suara terbanyak satu per satu hingga kursi habis dibagikan.
Figure 1

PENETAPAN KURSI PARPOL UNTUK DPR

TAHAP 1

100% BPP

TAHAP 2

50% BPP

TAHAP 3

100% BPP BARU

TAHAP 4

SISA SUARA TERBANYAK

Penentuan calon terpilih dari parpol yang memperoleh kursi di suatu dapil ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak dari kandidat yang diajukan parpol yang bersangkutan. UU Pemilu menentukan bahwa parpol dapat mengajukan calon di suatu dapil hingga 120% dari jumlah kursi di dapil tersebut. Bila di suatu dapil diperebutkan 10 kursi, di atas kertas parpol dapat mengajukan 12 nama di dapil tersebut. Perlu digarisbawahi bahwa untuk penentuan calon untuk kursi tahap tiga dan tahap empat terlebih dahulu kursi yang telah dibagikan di tingkat provinsi tersebut dikembalikan ke dapil yang masih mempunyai sisa kursi sebelum pembagiannya dinaikan ke tingkat provinsi. Setelah itu barulah ditentukan calon dari dapil tersebut yang memperoleh suara terbanyak.

Masalah dalam Penerapan Sistem Pemilu 2009


Untuk penilaian terhadap keberlangsungan sebuah pemilu, terdapat 10 kriteria yang diakui secara internasional, yaitu:2 1. Kebebasan berekspresi partai politik;
2

ACE Electoral Knowledge Network; Inter Parliamentary Unions Declaration on Free and Fair Elections; Organization for Security and Cooperation in Europes International Election Observation Standards.

Laporan Kajian UU Pemilu

2.

Peliputan media yang berimbang mengenai peserta pemilu (partai politik dan calon anggota legislatif); 3. Pemilih yang terdidik; 4. KPU yang permanen dengan staf ad hoc yang memiliki kompetensi; 5. Pelaksanaan pemungutan suara dengan damai; 6. Masyarakat sipil terlibat dalam semua aspek proses pemilu; 7. Proses penghitungan suara yang transparan; 8. Hasil pemilu yang dapat diaudit; 9. DPT yang akurat; 10. Proses penyelesaian konflik berjalan dengan baik. Dari 10 kriteria ini, Adam Schmidt3 menilai bahwa hanya empat kriteria yang terpenuhi dalam pemilu 2009, yakni kebebasan berekspresi partai politik, peliputan media yang berimbang mengenai peserta pemilu, pelaksanaan pemungutan suara dengan damai, dan proses penyelesaian konflik berjalan dengan baik. Untuk enam kriteria lain dinyatakan tidak terlaksana dan tidak terpenuhi. Banyaknya masalah dalam Pemilu 2009 antara lain disebabkan sistem pemilu yang rumit. Berdasarkan evaluasi terhadap pelaksanaan Pemilu 2009, masalah-masalah tersebut antara lain sebagai berikut.

1.

Surat suara memuat terlalu banyak calon Dengan alokasi kursi 3-10 di setiap dapil, jumlah parpol yang ikut sebanyak 38 (khusus di Aceh 44 parpol karena ada tambahan 6 parpol lokal), dan dengan dibolehkannya parpol mengajukan hinggal 120% orang calon dari jumlah kursi yang diperebutkan, surat suara Pemilu 2009 berisi terlalu banyak calon. Menurut catatan Cetro, jumlah calon tersebut berkisar 152-532 orang. Jumlah ini sudah tentu membuat kualitas pemilu patut dipertanyakan. Terlebih dari sisi pengenalan konstituen terhadap calon-calon yang diajukan.

2.

Penghitungan suara lambat dan sulit UU Pemilu menentukan bahwa pengumuman hasil pemilu secara nasional yang dilakukan oleh KPU paling lambat dilakukan dalam jangka waktu 30 hari setelah hari pemungutan suara. Pada Pemilu 2009, pengumuman hasil pemilu dilakukan hingga tenggat hari terakhir. Pemungutan suara dilakukan pada tanggal 9 April 2009 dan pengumuman hasil pemilu dilakukan pada tanggal 9 Mei 2009. Itu pun yang diumumkan secara langsung oleh KPU hanyalah perolehan suara parpol untuk pemilihan anggota DPR dan perolehan suara calon anggota DPD. Pengumuman yang dilakukan pada tenggat waktu terakhir itu pun menyisakan persoalan karena ada dapil yang belum diketahui hasilnya. Lambatnya penghitungan suara terjadi karena sistem yang diterapkan memang rumit. Penyelenggara pemilu tidak hanya menghitung perolehan suara parpol, melainkan juga perolehan masing-masing calon yang diajukan parpol mengingat perolehan suara tersebut akan menentukan siapa calon yang terpilih. Bila ada 142-532 calon di surat suara bisa dibayangkan betapa

Adam Schmidt. Indonesias 2009 Election: Performance Challenges and Negative Precedents dalam buku Problems of Democratisation in Indonesia; Elections, Institutions, and Society. ISEAS. 2010.

Bab 1

tidak mudahnya proses penghitungan suara. Belum lagi ditemukan kenyataan bahwa banyak terjadi kecurangan, terutama terkait dengan pencatatan dan rekapitulasi hasil perolehan suara masing-masing calon.

3.

Penentuan perolehan kursi bermasalah Bertahap-tahapnya penentuan perolehan kursi (hingga empat tahap) telah memunculkan persoalan. Bisa dikatakan hanya tahap satu yang tidak bermasalah, sedangkan tiga tahap lainnya harus melalui sengketa di MK dan MA. Untuk penghitungan tahap dua, calon-calon yang tidak puas dengan metode penghitungan suara KPU, yang tidak lain adalah terjemahan dari UU Pemilu, mengajukan pengujian peraturan KPU yang mengatur tentang penentuan perolehan kursi tahap dua. Permohonan tersebut dikabulkan MA, yang bila diterapkan akan memunculkan kekacauan dan ketidakadilan karena mengubah secara signifikan perolehan kursi masing-masing parpol yang telah diumumkan KPU. Untunglah putusan tersebut akhirnya dimentahkan oleh putusan MK yang mengembalikan metode penghitungan kursi tahap dua sebagaimana dirumuskan dalam UU Pemilu. Permasalahan juga terjadi pada penghitungan kursi tahap tiga dan tahap empat. Kali ini justru KPU yang menyimpang dari apa yang telah digariskan UU Pemilu. KPU beranggapan bahwa sisa suara yang diangkat ke level provinsi adalah hanya sisa suara dari dapil - dapil yang masih ada sisa kursinya. Keputusan KPU tersebut dipermasalahkan di MK, yang kemudian memutuskan bahwa sisa suara yang diangkat ke level provinsi adalah sisa suara dari semua dapil di suratu provinsi.

4.

Penetapan calon terpilih bermasalah Rumitnya sistem pemilu yang diterapkan juga berdampak pada penetapan calon terpilih, yaitu penetapan calon terpilih dari kursi tahap tiga dan tahap empat. KPU terbelah dalam menginterpretasikan ketentuan dalam UU Pemilu. Ada yang beranggapan bahwa kursi tahap tiga dan tahap empat diberikan kepada calon yang menyumbang sisa suara terbanyak. Ada pula yang beranggapan bahwa kursi diberikan kepada dapil yang menyumbang sisa suara terbanyak, setelah itu barulah ditentukan siapa calon yang memperoleh suara terbanyak di dapil tersebut. Akhirnya tafsir terakhirlah yang diterima.

5.

Banyaknya sengketa hasil pemilu di MK Pada Pemilu 2009 MK menerima hampir 700 kasus yang dibundel dalam 70 berkas perkara. Jumlah ini meningkat dibandingkan Pemilu 2004 yang hanya 273 kasus. Berdasarkan angka ini, dapat disimpulkan bahwa manajemen pelaksanaan pemilu bukan bertambah baik, tetapi bertambah buruk karena sengketa justru lebih banyak. Tidak bisa dimungkiri banyaknya sengketa karena didorong oleh sistem pemilu yang diterapkan. Perbedaan satu suara saja bisa menyebabkan seseorang kehilangan kursi. Walaupun dalam kaitan dengan hal ini perlu pula dicatat bahwa ada kecenderungan calon menggunakan segala cara untuk mendapatkan kursi. Namun, sistem

Laporan Kajian UU Pemilu

pemilu yang diterapkan telah ikut menyumbang atau memfasilitasi keinginan para calon tersebut.

Rekomendasi
A. Sistem Proporsional Campuran (Mixed Member Proportional System) Untuk pemilu ke depan kiranya dibutuhkan sistem pemilu yang lebih sederhana agar masalah-masalah yang ditimbulkan sistem proporsional terbuka dapat dikurangi, bahkan dihilangkan. Yang paling mudah dan murah dari semua sistem pemilu yang ada adalah proporsional dengan daftar tertutup (closed list proportional representation system) seperti diterapkan dalam pemilu-pemilu di era Orde Baru dan Pemilu 1999 atau pluralitas/mayoritarian, atau yang secara salah kaprah sering disebut dengan sistem distrik, seperti yang diterapkan di AS, Inggris, India, dan beberapa negara lainnya. Untuk konteks Indonesia, kajian ini tidak merekomendasikan pilihan terhadap kedua sistem tersebut. Sistem proporsional tertutup sudah dianggap ketinggalan zaman (old fashion) karena sejak Pemilu 2004 Indonesia telah bergerak pada sistem yang lebih terbuka, yaitu yang memberi kesempatan kepada pemilih untuk memilih calonnya secara langsung. Sistem mayoritarian juga tidak cocok untuk konteks Indonesia yang majemuk. Terlebih jumlah parpol yang ada terlalu banyak sehingga dikhawatirkan suara yang terbuang atau tidak terwakili terlalu banyak. Kajian ini menawarkan sistem campuran (mixed system) dengan varian mixed member proportional (MMP) seperti diterapkan di Jerman, Selandia Baru, Meksiko, Venezuela dan lain sebagainya.

Table 1 : Negara-negara yang Menggunakan Mixed-Member Proportional System (MMP)


No. Negara Kursi Single Member District 1 Bolivia 68 62 3% 130 - 70 daerah pemilihan singlemember - 9 daerah pemilihan multimember (kursi dialokasikan berdasarkan populasi) sesuai dengan depertemen negara 2 Jerman 299 299 5% or 3 district seats 598 - 299 daerah pemilihan - 16 daerah pemilihan multimember menyesuaikan dengan Lnder (komponen Kursi PR Threshold Jumlah Anggota Daerah Pemilihan

Bab 1

No.

Negara

Kursi Single Member District

Kursi PR

Threshold

Jumlah Anggota

Daerah Pemilihan

negara federasi) 3 Hungaria 176 210 5% 386 - 176 daerah pemilihan singlemember - 20 daerah pemiihan territorial multi-member (returning 146 Deputies) (64 Deputies lainnya dipilih dari kandidat ldaftar nasional) 4 Italia 475 155 Koalisi partai: 10 % suara sah total 630 - 26 daerah pemilihan multimember untuk 617 kursi - 1 daerah pemilihan singlemember di Valle d'Aosta - 1 daerah pemilihan untuk luar negeri mewakili 4 kelompok geografis (12 kursi): (a) Eropa (termasuk Federasi Rusia dan Turki), (b) Amerika Selatan, (c) Amerika Utara dan Tengah, (d) Afrika, Asia, Oceania, dan Antartika.

(Daftar) partai politik dalam koalisi: 2% suara sah total

(Daftar) partai politik yang tidak berafiliasi dengan koalisi: 4% suara masuk nasional

Daftar minoritas bahasa: 20% suara yang masuk di daerah pemilihan mereka

Daftar manapun yang mendapatkan jumlah suara tertinggi diantara semua daftar dan memenangkan 2% suara yang masuk juga berhak mendapatkan kursi. 5 Lesotho 80 40 Tidak ada data tersedia 120 - 80 daerah pemilihan singlemember (first-past-the-post, FPTP) - satu daerah pemilihan nasional untuk 40 kursi (proportional representation,

Laporan Kajian UU Pemilu

No.

Negara

Kursi Single Member District

Kursi PR

Threshold

Jumlah Anggota

Daerah Pemilihan

PR). 6 Mexico 300 200 2% 500 - 300 derah pemilihan singlemember - satu derah pemilihan nasional multi-member untuk 200 Deputies 7 New Zealand 65 55 5% or 1 district seat 120 - 63 derah pemilihan singlemember - 7 daerah pemilihan singlemember Maori - 50 anggota dipilih dari daftar partai 8 Venezuela 100 65 Tidak ada data tersedia 165 24 daerah pemilihan multimember (2 kursi atau lebih) menyesuaikan States dan Federal District

Sumber: ACE COMPARATIVE DATA http://aceproject.org/epic-en/CDTable?question=ES005 , International IDEA: Table of Electoral Systems Worldwide http://www.idea.int/esd/world.cfm, IPU PARLINE DATABASE on National Parliaments http://www.ipu.org/parline-e/parlinesearch.asp, IFES Election Guide http://www.electionguide.org/, Electoral System Design: The New International IDEA Handbook (2008).

MMP adalah sistem yang berupaya memadukan kelebihan sistem proporsional (dalam hal derajat keterwakilan) dan sistem mayoritas (dalam hal akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituen). Sama seperti sistem proporsional terbuka, dalam MMP pemilih sama-sama diberikan hak untuk memilih calon dan parpol sekaligus. Namun, pilihan terhadap parpol dan calon tidaklah harus paralel. Pemilih bisa saja memilih Partai A, tetapi untuk calon dari Partai B. Dalam MMP, calon dinominasikan dalam dua jalur, yaitu jalur distrik (seperti sistem mayoritas) dan jalur daftar (seperti sistem proporsional tertutup). Jumlah kursi dari jalur distrik dan jalur daftar bervariasi di negaranegara yang menerapkan sistem ini. Di Jerman jumlahnya fifty-fifty, yaitu masing-masing 299 untuk jalur distrik dan jalur daftar. Jumlah fifty-fifty bisa pula diterapkan di Indonesia untuk konteks pemilihan anggota DPR yang saat ini berjumlah 560 orang. Artinya, jumlah distrik atau dapil yang harus dibuat berjumlah 280 (separuh dari jumlah kursi DPR saat ini). Parpol hanya mengajukan satu calon di setiap dapil. Sementara untuk jalur daftar, setiap parpol dapat mengajukan minimal sejumlah kursi yang diperebutkan. Perolehan kursi suatu parpol ditentukan oleh suara yang diberikan kepada parpol yang bersangktuan. Misalnya, Parpol A memperoleh 20% suara, maka parpol tersebut berhak mendapat 20% kursi. Di Jerman persentasenya didasarkan pada perolehan suara di tiap-tiap negara bagian (16 negara bagian). Untuk konteks Indonesia, basis penghitungan proporsionalnya bisa dilakukan untuk tiap-tiap provinsi (33 provinsi). Misalnya, di DKI

Bab 1

diperebutkan 10 kursi DPR. Bila Partai A memperoleh 20% suara, partai tersebut berhak atas 2 kursi. Suara yang diberikan kepada calon secara langsung akan menentukan calon terpilih. Karena Partai A mendapatkan 2 kursi di DKI, harus dicari siapa calon dari Partai A yang menang di distrik-distrik di Provinsi DKI. Bila ada satu calon Partai A menang di satu dapil, maka satu kursi yang dimenangkan okan diisi oleh calon bersangkutan. Kursi yang satu lagi, akan diisi oleh calon Partai A yang berasal dari daftar calon, rangking pertama atau nomor urut 1. Bila tidak ada calon calon Partai A yang menang di dapil, maka kursi diberikan kepada yang dicalonkan di jalur daftar. Mereka yang ditempatkan di urutan pertama dan kedua dari daftar calon di Provinsi DKI berhak atas kursi tersebut. Proses penghitungan suara dan penetapan perolehan kursi dalam MMP jauh lebih sederhana dibandingkan proporsional terbuka. Secara teoretis, perolehan suara parpol tidak akan bercampur aduk dengan perolehan suara calon yang banyak terjadi dalam praktek penghitungan suara dalam Pemilu 2009 karena parpol dan calon berada di kolom surat suara yang berbeda. Perolehan suara parpol benar-benar didasarkan pada pilihan terhadap parpol tersebut. Bila pemilih hanya memilih calon, suaranya tidak menjadi milik parpol yang mengajukan calon tersebut. Karena setiap parpol hanya mengajukan satu calon di setiap dapil, penghitungan suara masing-masing calon akan jauh lebih mudah. Misalkan ada 38 parpol yang berpartisipasi dalam pemilu, maka di setiap dapil maksimal hanya akan ada 38 calon saja. Dikatakan maksimal karena dalam MMP dimungkinkan sebuah parpol tidak mengajukan calon di jalur distrik (umumnya di distrik-distrik tertentu saja, tidak di semua distrik). Sementara calon dari jalur daftar wajib hukumnya. Kelebihan lain yang perlu dicatat adalah tidak akan ada lagi sikut-menyikut atau salib-menyalib antarsesama calon dari satu partai untuk memperebutkan kursi karena parpol hanya dibolehkan mencalonkan satu orang di setiap dapil. Selain itu, bila MMP diterapkan dengan formula fiftyfifty, jumlah dapil DPR akan bertambah dari 77 menjadi 280. Otomatis area dapil menjadi jauh lebih kecil, mungkin hanya terdiri dari 1-2 kabupaten atau bahkan beberapa kecamatan. Kecilnya dapil akan memudahkan anggota DPR yang kelak terpilih untuk memperjuangkan aspirasi konstituen mereka. Di sisi lain, konstituen akan memperoleh kejelasan mengenai siapa yang mewakili mereka sehingga dapat dengan mudah menyalurkan aspirasi. Selama ini, karena dapil terbilang luas dan terdiri atas banyak kursi, hubungan atas wakil rakyat dan konstituen tidak berjalan secara baik. Konstituen sering tidak mengenal bahkan tidak tahu wakil rakyat mereka. Secara teoretis, sistem MMP tidak hanya mengakomodasi sistem proporsionalitas, melainkan juga mendorong calon-calon terpilih berdasarkan distriknya masing-masing, yang berarti memiliki keterkaitan dengan geografisnya.4 Kendati demikian, perlu juga dicatat beberapa
4Advantages

and Disadvantages of MMP dalam http://aceproject.org/aceen/topics/es/esd/esd03/esd03a/esd03a01?toc .

Laporan Kajian UU Pemilu

kelemahan MMP. Misalnya, akan ada pemahaman bahwa suara untuk calon yang ditempatkan mewakili dapil tidak terlalu penting dibandingkan dengan perolehan suara partai. Karena mereka baru dapat terpilih bergantung apakah partainya lolos PT atau tidak. Selain itu, anggota parlemen akan terbagi ke dalam dua kelompok legislator, yaitu kelompok yang bertanggung jawab terhadap konstituen dan memiliki ikatan dengan konstituen, dan ada kelompok yang berasal dari party list yang tidak memiliki ikatan geografis dengan dapil dan berterima kasih dengan partainya.5 Didik Supriyanto juga mencatat berbagai hal yang terkait dengan sistem MMP ini. Misalnya, ia mempertanyakan model keterwakilan parlemen Indonesia karena selain DPR ada pula DPD. Kemudian, ketika calon sudah terpilih akan muncul pertanyaan siapa yang akan diwakilinya. Apakah daerah, partai, atau penduduk? Juga, bagaimana mempertanggungjawabkan keterwakilannya. Menurutnya, sistem MMP akan membagi anggota dewan menjadi Jawa dan non-Jawa. Sistem MMP bagi Didik juga juga akan menimbulkan kesulitan dalam hal pembagian dapil dan mencetak surat suara.6 Kekhawatiran pada sistem MMP juga disampaikan oleh Yuda Irlang dari GPSP, bahwa dengan sistem ini bisa saja yang masuk ke dalam daftar party list adalah elite-elite partai atau keluarga dari para petinggi partai.7 Perubahan dari sistem proporsional terbuka ke MMP sesungguhnya bukanlah perubahan yang radikal. Bisa dikatakan MMP menyempurnakan sistem proporsional terbuka. Dari sisi pemilih, misalnya, tidak banyak perubahan karena cara memilih kurang lebih akan sama, yaitu memilih parpol dan calon sekaligus. Perbedaan hanya terletak pada desain surat suara. Dalam MMP, kolom parpol dan kolom calon dipisahkan, sedangakn dalam prorporsional terbuka disatukan. Ada sementara pihak yang menyarankan, untuk mengatasi kelemahan proporsional terbuka dalam Pemilu 2009, jumlah kursi di setiap dapil diperkecil saja, misalnya dari 3-10 kursi menjadi 3-5 kursi. Kajian ini menilai bahwa cara tersebut tidak menyelesaikan secara tuntas masalah yang ditimbulkan sistem prorporsional terbuka. Misalnya, masalah persaingan antarcalon dari satu parpol jelas tidak akan teratasi karena masih dimungkinkan untuk mencalonkan lebih dari satu calon di suatu dapil. Perlu dicatat, tidak ada sistem pemilu di dunia ini yang sama sekali sempurna. Setiap sistem pasti ada kelemahannya. Penerapan suatu sistem pemilu karenanya sangat tergantung pada kebutuhan tempat di mana sistem itu diterapkan. Untuk konteks Indonesia, kajian ini meyakini bahwa kebutuhan Indonesia ke depan adalah memadukan kelebihan sistem proporsional dan mayoritarian dengan cara yang lebih sederhana dan mudah dilaksanakan. Untuk itu MMP layak dipertimbangkan sebagai sistem pemilu ke depan.

5Advantages

and Disadvantages of MMP dalam http://aceproject.org/aceen/topics/es/esd/esd03/esd03a/esd03a01?toc. 6 Didik Supriyanto dalam acara Media Briefing yang diadakan oleh CETRO di Jakarta pada tanggal 25 November 2011. 7 Yuda Irlang dalam FGD yang diadakan CETRO mengenai Reformasi Lanjutan Pemilu Indonesia; Perubahan UU Pemilu. Hotel Puri Denpasar, Jakarta, 26 Agustus 2010.

10

Bab 1

B.

MMP dan Keterwakilan Perempuan Sistem MMP juga memiliki kelebihan untuk mengakomodasi berbagai kepentingan kelompok minoritas, termasuk di dalamnya kelompok perempuan. Dengan catatan, party list dalam MMP digabungkan dengan zipper system, yakni di antara tiga calon terdapat satu perempuan. Apabila ini diterapkan maka sepertiga dari calon terpilih melalui party list bisa dipastikan adalah perempuan. Apabila ingin lebih tegas, bisa saja diterapkan sistem zigzag, yakni penempatan nama calon antara laki-laki dan perempuan saling berselang, yang berarti setengah dari calon terpilih melalui party list adalah perempuan. Kesempatan perempuan untuk terpilih juga terbuka di jalur distrik. Berdasarkan hasil Pemilu 2009, terdapat 15 (2.68%) perempuan terpilih yang mendapatkan suara terbanyak di dapilnya. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan juga dapat bersaing dan mendapatkan suara terbanyak di dapilnya. Parpol juga harus menyadari bahwa calon yang diletakkan di distrik seharusnya adalah calon yang memang dikenal luas oleh masyarakat dan merupakan vote getter yang baik. Perempuan-perempuan ini adalah contoh vote getter yang berhasil mendapatkan suara terbanyak di dapilnya tersebut yang harus dipertimbangkan oleh parpol untuk diletakkan dalam jalur distrik. Sedangkan calon perempuan lain dapat diletakkan dalam party list. Dengan demikian, kekhawatiran bahwa calom perempuan susah terpilih dalam sistem MMP dapat ditepis.

Laporan Kajian UU Pemilu

11

Table 2 : Perempuan Terpilih dengan Suara Terbanyak Dalam Pemilu 2009


Dapil Jambi DKI 2 Jabar 2 Jabar 7 Jabar 10 Banten 1 Jateng 5 Jateng 6 Jatim 5 Jatim 8 Jatim 9 Kalbar Maluku Malut Papua Barat Total Partai PAN Demokrat Demokrat Golkar PDIP PPP PDIP Demokrat PDIP PDIP PKB PDIP PKB Golkar Golkar No.Urut 1 1 1 1 2 1 1 1 2 2 2 3 1 2 2 15 Nama Ratu Munawarah Zulkifli Melani Leimena Suharli R. Adjeng Ratna Suminar Nurul Arifin Puti Guntur Soekarno Irna Narulita Puan Maharani Angelina Sondakh Sri Rahayu Sadarestuwati Anna Mu'awanah Karolin Margret Natasa Mirati Dewaningsih T, St Nurrokhmah Ahmad Hidayat Irene Manibuy Suara 157.651 63.885 142.607 122.452 69.144 127.585 242.504 145.159 73.612 117.193 44.428 222.021 90.092 44.231 45.790 % 106,69% 40,61% 76,74% 66,37% 39,22% 87,52% 128,90% 74,15% 46,58% 72,83% 31,68% 151,79% 59,61% 39,50% 56,62% 2,68%

C.

Posibilitas Penerapan MMP Hingga laporan ini dibuat, Badan Legislasi DPR masih menggodok rancangan perubahan UU Nomor 10 Tahun 2008 (UU Pemilu 2008). Konsep tentang MMP telah pula disampaikan CETRO kepada Baleg DPR. Saat ini, upaya menjelaskan konsep ini terus dilakukan kepada parpol atau fraksifraksi di DPR, termasuk kepada tokoh-tokoh parpol. Hasil diskusi kelompok terpada (focused group discussion/FGD) di beberapa daerah mengenai revisi UU Pemilu8 yang dihadiri pengamat, akademisi, anggota legislatif, dan LSM menunjukkan dukungan yang kuat terhadap penerapan MMP sebagaimana yang tampak dari tabel di bawah ini.

FGD diadakan di empat kota, yaitu Jakarta, Banda Aceh, Pontianak, dan Makassar. Pendapat didapat dari kuesioner yang dibagikan kepada seluruh peserta setelah acara FGD selesai. Peserta FGD terdiri dari pengamat, akademisi, anggota legilsatif, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

12

Bab 1

Table 3 : Pendapat Mengenai Penerapan Sistem MMP


Pendapat Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Setuju Sangat Setuju Tidak Berpendapat Total Jakarta 2 9 1 1 13 Aceh 1 10 6 17 Pontianak 2 8 4 14 Makassar 8 7 15 Total 5 35 18 1 59

Table 4 : Beberapa Rumusan UU Pemilu ke Depan dengan Menggunakan Sistem Proporsional Campuran (MMP)
ISU Sistem Pemilu UU 10/2008 Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka PASAL 5 (1) USUL Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional campuran Ditiadakan. Jumlah kursi didasarkan pada basis proporsional. Untuk DPR diusulkan basis proporsionalnya provinsi; untuk DPRD provinsi, provinsi itu sendiri, dan; untuk DPRD kab/kota, kab/kota itu sendiri. Penetapan daerah pemilihan anggota DPR dan DPRD dilakukan oleh KPU

Jumlah Kursi di Dapil

Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 10 (sepuluh) kursi.

22 (2)

Penetapan Dapil

Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Daerah pemilihan anggota DPRD provinsi adalah kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota

22 (4)

Dapil

24 (1)

Ditiadakan. Lebih baik disebutkan prinsip-prinsip pembentukan dapil, yaitu memperhatikan wilayah administratif (provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan), jumlah penduduk, dan letak geografis. Jumlah 120% bisa dipertahankan untuk masing-masing basis proporsional. Contoh, bila di DKI diperebutkan 10 kursi DPR, maka parpol bisa mencalonkan 12 nama. Pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan memberikan tanda pada surat suara. Suara untuk Pemilu anggota DPR,

Jumlah Calon

Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling banyak 120% (seratus dua puluh perseratus) dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan. Pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan memberikan tanda satu kali pada surat suara. Suara untuk Pemilu anggota DPR,

54

Metode Pemberian Suara

153 (1)

Suara Sah

Laporan Kajian UU Pemilu

13

ISU

UU 10/2008 DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dinyatakan sah apabila: b. pemberian tanda satu kali pada kolom nama partai atau kolom nomor calon atau kolom nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

PASAL

USUL DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dinyatakan sah apabila: b. pemberian tanda pada kolom nama/nomor partai dan/atau kolom nama/nomor calon calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Ambang Batas

Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurangkurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR

202 (1)

Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurangkurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional atau menang di 10 dapil untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.

Note: Di Jerman alternatifnya menang di 3 dapil. Ambang Batas Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota Penetapan Kursi DPR Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan atas hasil penghitungan seluruh suara sah dari setiap Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan Pasal 202 di daerah pemilihan yang bersangkutan Note: Penentuan perolehan kursi hanya berlangsung dua tahap, yaitu BPP provinsi (tahap 1) dan sisa suara terbanyak bila masih ada sisa kursi (tahap 2) Penetapan Kursi DPRD Provinsi Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD provinsi ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah yang telah ditetapkan oleh KPU provinsi dengan angka BPP DPRD di daerah pemilihan masing-masing Penetapan Kursi DPRD Kab/Kota Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk 212 (1) 211 (1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD provinsi ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah yang telah ditetapkan oleh KPU provinsi dengan angka BPP DPRD di provinsi masing-masing Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk 205 (1) 202 (2) Ditiadakan. PT juga berlaku utk level provinsi dan kab/kota, dengan alternatif menang di 5 dapil utk DPRD provinsi dan 3 dapil utk DPRD kab/kota. Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan atas hasil penghitungan seluruh suara sah dari setiap Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan Pasal 202 di provinsi yang bersangkutan

14

Bab 1

ISU

UU 10/2008 anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah yang telah ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dengan angka BPP DPRD di daerah pemilihan masing-masing

PASAL

USUL anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah yang telah ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dengan angka BPP DPRD di kab/kota masing-masing

Penetapan Calon Terpilih

Suara terbanyak berdasarkan putusan MK

214

Kursi diberikan terlebih dahulu kepada calon yang memperoleh suara terbanyak di dapil, setelah itu barulah diberikan kepada calon dari jalur daftar (mulai dari nomor urut satu dst).

Bab II Sistem Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Pemilu 2009

istem penegakan hukum terhadap pelanggaran pemilu di Indonesia melibatkan banyak aktor atau institusi karena masalah-masalah hukum yang timbul juga bermacam-macam. Berdasarkan hasil evaluasi Pemilu 2009, masalah-masalah hukum yang terkait dapat dikategorikan ke dalam empat kategori, yaitu (1) pelanggaran administratif, yaitu pelanggaran tentang tata cara atau tahapan pemilu yang diatur dalam peraturan pemilu; (2) pelanggaran pidana, yaitu pelanggaran yang ada unsur tindak pidana pemilunya; (3) sengketa pemilu, yaitu sengketa antar peserta pemilu, dan; (4) perselisihan hasil pemilu, yaitu perselisihan tentang penghitungan suara. Masalah hukum jenis pertama ditangani oleh KPU(D), namun selama ini terlihat kurang maksimal dijalankan. Bahkan, terkadang KPU(D) terlihat tidak merasa wajib menyelesaikan pelanggaran seperti itu. Tidak ada data berapa pelanggaran administratif yang diadukan kepada KPU(D) selama pelaksanaan Pemilu 2009 dan Pilpres 2009, dan berapa yang telah diselesaikan. Masalah hukum jenis kedua merupakan wilayah criminal justice system untuk menyelesaikannya, yaitu penanganan dimulai oleh Bawaslu/panwaslu, selanjutnya oleh polisi, jaksa, dan pengadilan.. Lagi-lagi penanganan atas pelanggaran ini sering tidak efektif. Masalah bisa muncul dari pengawas, polisi, jaksa, atau pengadilan yang menangani masalah ini. Masalah hukum jenis ketiga ditangani oleh Bawaslu/panwaslu. Hanya selama ini masalah hukum ini terlihat kurang menonjol karena faktanya jarang sekali terjadi sengketa antar perserta pemilu di luar masalah hasil pemilu dan tindak pidana pemilu. UU Pemilu sendiri tidak secara tegas menyebutkan mengenai sengketa pemilu ini sebagaimana UU Pemilu 2003. Namun, secara tradisional, bila hal tersebut terjadi, misalnya dalam hal terjadinya tumpang-tindih jadwal kampanye, Bawaslu/panwaslu dapat menyelesaikannya. Masalah hukum jenis keempat adalah domain Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyelesaikan berdasarkan mandat konstitusi yang diberikan (Pasal 24C ayat [1]) Perubahan Ketiga UUD 1945). Meskipun MK dinilai cukup baik dalam menangani soal perselisihan hasil pemilu, bukan berarti tidak ada masalah. Sering putusan MK pun dinilai kontroversial dan memunculkan pro-kontra di masyarakat. Misalnya putusan yang mengabulkan permohonan calon anggota dewan, tetapi begitu dilaksanakan oleh KPU, yang bersangkutan tetap tidak mendapatkan kursi.

16

Bab 3

Selain empat masalah hukum tersebut, ada juga masalah-masalah hukum yang terkait juga dengan pemilu, yaitu (1) sengketa atas peraturan pemilu (baik undangundang maupun keputusan KPU(D), dan (2) sengketa atas keputusan KPU(D). Secara teoretis, sengketa atas peraturan akan ditangani oleh MK (untuk undangundang) dan MA (untuk peraturan KPU[D]). Pada Pemilu Legislatif 2009, sengketa atas peraturan ini cukup menonjol dan menyita perhatian publik, yaitu ketika judicial review terhadap peraturan KPU dikabulkan MA, tetapi putusan tersebut dimentahkan oleh judicial review terhadap UU Pemilu di MK. Sengketa atas keputusan-keputusan KPU(D) juga cukup marak baik dalam pemilu. Sengketa atas keputusan ini diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) untuk tingkat banding, dan Mahkamah Agung (MA) untuk tingkat kasasi. Sengketa atas keputusan yang menonjol dalam Pemilu 2009 antara lain dikabulkannya gugatan tata usaha negara oleh PTUN Jakarta atas sengketa yang diajukan oleh empat partai politik peserta Pemilu 2004 yang tidak lolos verifikasi KPU sehingga peserta Pemilu 2009 bertambah dari 34 menjadi 38 partai di tingkat nasional (di luar enam partai lokal di Aceh). Masalah-masalah hukum yang disebutkan di atas tidak jarang membuat pelaksanaan pemilu menjadi penuh persoalan, bahkan dapat memunculkan anarkisme di mana-mana ketika masalah tersebut tidak terselesaikan. Misalnya, dalam hal pencoretan calon anggota DPR terpilih. Saluran hukum yang tersedia bagi pihak yang dicoret adalah menempuh gugatan ke PTUN. Masalahnya, PTUN menolak untuk memproses gugatan tersebut karena menganggap soal tersebut merupakan hasil pemilu. MK sendiri tidak menerima permohonan yang demikian karena perselisihan hasil pemilu dibatasi waktunya, yaitu 3 x 24 jam setelah KPU mengumumkan hasil pemilu. Selain itu, yang dipersoalkan adalah perolehan suara parpol, bukan penetapan calon terpilih.
Table 5 : PHPU MK yang Tidak Dapat Diterima Karena Melewati Batas Waktu 3x24 Jam9
No 1 No Perkara 57/PHPU.C-VII/2009 Pemohon Partai Patriot Putusan Tidak Dapat Diterima Keterangan Permohonan kadaluarsa karena permohonan baru didaftarkan pada 14 Mei 2009. Batas waktu permohonan adalah 12 Mei 2009, pukul 23.50 WIB 2 87/PHPU.C-VII/2009 Partai SIRA Tidak Dapat Diterima Permohonan kadaluarsa karena pemohon baru mendaftarkan perkara pada 14 Mei 2009, pukul 17.25 WIB Batas waktu permohonan 12 Mei 23.50 3 56/PHPU.A-VII/2009 DPD Prov. Sumatera Utara - Yopie S. Batubara Tidak Dapat Diterima Permohonan kadaluarsa karena pemohon baru mendaftarkan perkara pada 13 Mei 2009 pukul 21.10 Batas waktu permohonan 12 Mei

Data diakses dari website MK www.mahkamahkonstitusi.go.id

Laporan Kajian UU Pemilu

17

No

No Perkara

Pemohon

Putusan

Keterangan 23.50

46/PHPU.A-VII/2009

DPD Prov. Sulawesi Tengah - Faizal H. Moh. Saing

Tidak Dapat Diterima

Permohonan kadaluarsa karena pemohon baru mendaftarkan pada 13 Mei 2009 pukul 17.00 Batas waktu permohonan 12 Mei 23.50

36/PHPU.A-VII/2009

DPD Prov. Kepulauan Riau - Hendy Frankim

Tidak Dapat Diterima

Permohonan kadaluarsa karena pemohon baru mendaftarkan perkara pada 13 Mei 2009 pukul 13.30 Batas waktu permohonan 12 Mei 23.50

Beberapa pihak yang menyaksikan fenomena ini, yaitu fenomena tidak efektifnya pengadilan konvensional melindungi hak-hak pencari keadilan, lantas mewacanakan pentingnya pembentukan pengadilan khusus pemilu. Pengadilan semacam ini juga untuk menjawab fenomena tidak kompeten dan tidak independennya pengadilan yang ada. Dengan pengadilan khusus pemilu diharapkan masalah-masalah hukum pemilu yang tidak bisa ditangani atau tidak cepat ditangani dengan saluran-saluran yang ada (saluran konvensional) dapat teratasi.

Rekomendasi
A. Peningkatan Kewenangan Bawaslu/Panwaslu Terjadi pro dan kontra mengenai keberadaaan atau eksistensi Bawaslu/panwaslu saat ini. Ada yang beranggapan bahwa Bawaslu/panwaslu ditiadakan saja. Fungsi pengawasan diserahkan kepada KPU(D), peserta pemilu, dan masyarakat. Kajian ini berkesimpulan bahwa peran Bawaslu/panwaslu tetap diperlukan, tetapi fungsi atau kewenangannya harus lebih ditingkatkan. Fungsi yang bisa diberikan kepada Bawaslu/panwaslu adalah memutus pelanggaran administratif yang dilakukan oleh peserta pemilu. Fungsi ini tidak efektif bila tetap ditangani KPU(D) karena institusi tersebut cenderung lebih terfokus pada pelaksanaan pemilu. Agar ada pembagian beban tugas, biarlah Bawaslu/panwaslu yang diberikan kewenangan untuk memutus pelanggaran administratif. Dengan catatan, bila peserta pemilu tidak puas dengan putusan Bawaslu/panwaslu, ia dapat mengajukan kepada pengadilan pemilu. Pengadilan pemilu memutuskan untuk tingkat pertama dan terakhir terhadap banding yang diajukan tersebut. Pembentukan pengadilan pemilu adalah rekomendasi berikutnya dari kajian ini. Khusus untuk Bawaslu, karena bersifat permanen, dapat diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap masalah-masalah pidana pemilu yang berskala nasional, yaitu

18

Bab 3

masalah pidana pemilu yang penanganannya dilakukan langsung oleh Bawaslu. Sedangkan untuk pidana pemilu yang berskala lokal, panwaslu tetap diberikan peran terbatas untuk menerima laporan dan melakukan penyelidikan. Tahap penyidikan dan penuntutan tetap dilakukan polisi dan jaksa. Hal ini mengingat keberadaan panwaslu bersifat tidak permanen. Akan terlalu besar biayanya dan tidak terlalu efektif bila panwaslu di daerah dipermanenkan. Karena Bawaslu melakukan penyidikan dan penuntutan, lembaga ini harus diberikan kewenangan untuk merekrut atau dibantu tenaga penyidik dan penuntut (polisi dan jaksa). Bila suatu saat Bawaslu telah memiliki tenaga sendiri yang mumpuni di bidang penyidikan dan penuntutan, mereka tidak perlu lagi merekrut polisi dan jaksa. Oleh karena itu, komposisi keanggotaan Bawaslu tidak perlu disebutkan dari polisi atau jaksa sebagaimana Pemilu 2004. Undang-undang sebaiknya juga menyebutkan bahwa Bawaslu berwenang mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus tindak pidana pemilu yang ditangani panwaslu, polisi, atau jaksa bila memang tidak berjalan sebagaimana mestinya karena sebab-sebab tertentu.

B.

Pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu Pentingnya pembentukan pengadilan khusus pemilu paling tidak didasarkan pada empat alasan. Pertama, terjadinya kekosongan hukum terhadap masalah hukum pemilu tertentu. Kedua, rendahnya kapasitas pengadilan konvensional terhadap masalah-masalah hukum pemilu. Ketiga, terbatasnya waktu dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum pemilu. Keempat, konsolidasi masalah-masalah hukum pemilu ke dalam satu peradilan. Kendati perlu dicatat juga mereka yang berkeberatan terhadap adanya peradilan khusus pemilu. Didik Supriyanto, misalnya, berpendapat tidak perlu peradilan khusus pemilu karena semakin banyak institusi yang dibuat akan semakin rumit dan semakin menghabiskan anggaran. Menurutnya, dikembalikan kepada sistem yang ada saja dengan memperkuat kontrol terhadapnya.10 Syamsudin Haris, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan bahwa pembentukan peradilan khusus pemilu baik, tetapi bisa memunculkan kritik, yaitu bagaimana dengan peran Bawaslu, dan juga perlu diidentifikasikan sengketa mana saja yang bisa dibawa ke pengadilan pemilu. Menurutnya, penyelesaian terhadap permasalahan pemilu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu bisa dengan membentuk peradilan khusus atau memberkuat peran Bawaslu. Bila pilihannya membentuk peradilan pemilu maka para ahli yang menjadi hakimnya. Konsekuensinya, pengawasan pemilu menjadi bagian integral dari KPU, kecuali bila ingin menganut ada dua institusi pemilu yang terpisah.11 Sementara aktivis dari Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeiry Sumampow, berpendapat bahwa jika dibentuk

Didik Supriyanto dalam acara Media Briefing yang diselenggarakan CETRO di Jakarta tanggal 25 November 2010. 11 Syamsudin Haris dalam FGD Reformasi Lanjutan Pemilu Indonesia: Perubahan UU Pemilu yang diselenggarakan CETRO di Jakarta, 26 Agustus 2010.
10

Laporan Kajian UU Pemilu

19

peradilan pemilu dalam cakupan yang luas, maka perlu dipertimbangkan peran dari Bawaslu/panwaslu supaya tidak terjadi overlapping.12 Gagasan tentang pembentukan pengadilan khusus pemilu ini didukung oleh pengamat, akademisi, anggota legislatif, dan LSM dalam beberapa diskusi kelompok terpadu FGD yang diadakan CETRO di beberapa daerah sebagaimana tampat dalam tabel di bawah ini.13

Table 6 : Membentuk Peradilan Khusus Pemilu


Pendapat Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Setuju Sangat Setuju Tidak Berpendapat Total Jakarta 1 8 3 1 13 Aceh 4 13 17 Pontianak 1 7 6 14 Makassar 4 11 15 2 23 33 1 59 Total

Pengadilan khusus pemilu sebaiknya dibentuk di tingkat provinsi untuk tingkat pertama dan kamar khusus di MA untuk tingkat banding yang merupakan tingkat terakhir. Bila memungkinkan, tingkat banding sebenarnya lebih baik diserahkan kepada MK karena MK telah diberikan kewenangan untuk menangani sengketa hasil pemilu, pilpres, dan pemilukada. Namun, karena mensyarakatkan perubahan konstitusi, hal ini tentu lebih sulit dilakukan, kecuali bila terbentuk konvensi ketatanegaraan yang disepakati semua pihak. Alasan hanya dibentuk di tingkat provinsi adalah untuk menjaga kualitas pengadilan khusus pemilu, sekaligus memberikan jarak antara pengadilan dan pihak-pihak yang bertarung dalam pemilu. Bila dibentuk pula di tingkat kabupaten/kota akan terlalu besar biayanya dan tidak mudah mencari hakim-hakim yang berkualitas. Pembentukan di tingkat provinsi pun hanya dengan cara menempel di pengadilan tinggi di masing-masing provinsi. Hakim pengadilan khusus pemilu terdiri dari hakim karier dan hakim ad hoc, dengan jumlah hakim ad hoc lebih banyak untuk setiap majelis hakim. Hakim-hakim ad hoc dapat direkrut dari perguruan tinggi atau mereka yang pernah menjadi anggota KPU(D) dan Bawaslu/panwaslu, termasuk tokohtokoh LSM yang berkecimpung di wilayah pemilu.

12

13

Jeiry Sumampow dalam FGD Reformasi Lanjutan Pemilu Indonesia: Perubahan UU Pemilu yang diselenggarakan CETRO di Jakarta, 26 Agustus 2010. FGD diadakan di empat kota, yaitu di Jakarta, Banda Aceh, Pontianak, dan Makassar. Data didapat dari kuesioner yang dibagikan kepada peserta setelah acara FGD selesai. Peserta FGD terdiri dari pengamat, akademisi, anggota legilsatif, dan LSM.

20

Bab 3

Pengadilan khusus pemilu memiliki yurisdiksi untuk memutus seluruh masalah hukum pemilu, kecuali masalah perselisihan hasil pemilu dan pengujian atas undang-undang yang mengatur tentang pemilu. Kewenangan ini sesuai dengan mandat konstitusi adalah yurisdiksi MK, tidak bisa diutakatik lagi kecuali bila ada perubahan UUD 1945. Hukum acara pengadilan khusus pemilu dibuat tersendiri, terutama terkait penyelesaian masalah hukum yang diajukan. Sebaiknya tidak semua kasus dapat menempuh upaya hukum berjenjang. Untuk banding terhadap pelanggaran administratif yang diputuskan panwaslu, pengadilan tingkat provinsi menjadi tingkat yang pertama dan terakhir. Sementara pelanggaran yang diputuskan Bawaslu sebaiknya langsung diajukan kepada pengadilan tingkat MA. Beberapa kasus juga sebaiknya langsung diajukan ke tingkat MA, misalnya diskualifikasi terhadap calon anggota DPR, pencoretan parpol, dan sebagainya. Dikaitkan dengan perubahan undang-undang yang terkait pemilu ke depan, pembentukan pengadilan pemilu bisa dimasukkan dalam perubahan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Dengan begitu undang-undang tersebut akan menjadi UU tentang Penyelenggara dan Pengadilan Pemilu.

Table 7 : Beberapa Rumusan UU Pemilu ke Depan Berdasarkan Sistem Penegakan Hukum yang Diusulkan
ISU Pelanggaran Administratif UU 10/2008 Pelanggaran administrasi Pemilu diselesaikan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota berdasarkan laporan dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sesuai dengan tingkatannya KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya laporan dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota Pelanggaran Pidana Pemilu Pelanggaran pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-Undang ini yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum Perselisihan Hasil Pemilu Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai 258 (1) 252 Pelanggaran pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-Undang ini yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan pemilu dalam lingkungan peradilan umum Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil PASAL 249 USULAN Pelanggaran administrasi Pemilu diselesaikan oleh Bawaslu, panwaslu provinsi, dan panwaslu kabupaten/kota berdasarkan laporan dari peserta pemilu, pemantau, dan pemilih sesuai dengan tingkatannya Bawaslu, panwaslu provinsi, dan panwaslu kabupaten/kota memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya laporan dari peserta pemilu, pemantau, pemilih

Jangka Waktu Pelanggaran Administratif

250

Laporan Kajian UU Pemilu

21

ISU

UU 10/2008 penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu.

PASAL

USULAN Pemilu oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kab/kota.

258 (2)

Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu dan/atau calon terpilih.

Note: Pemohon adalah parpol bila yang dipersoalkan perolehan kursi, dan calon yang bersangkutan bila yang dipersoalkan adalah penetapan calon terpilih. Tenggat Waktu Pengajuan Hasil Pemilu Peserta Pemilu mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional oleh KPU 259 (2) Peserta Pemilu mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kab/kota.

Note: perlu revisi UU 24/2003 tentang MK untuk penyesuaian.

22

Bab 3

Bab III Permasalahan Parliamentary Threshold & Konsep Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia

ejak Pemilu 2009 Indonesia telah menerapkan ambang batas bagi parpol peserta pemilu untuk dapat mengirimkan wakil ke DPR yang biasa disebut dengan istilah parliamentary threshold (PT). PT yang disepakati untuk Pemilu 2009 adalah sebesar 2,5 persen dari suara sah secara nasional dan khusus berlaku untuk pemilu anggota DPR sebagaimana tercantum dalam Pasal 202 dan 203 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu 2008). Penerapan PT umumnya dikaitkan dengan upaya untuk melakukan penyederhanaan parpol dan hal tersebut terkait dengan upaya untuk memperkuat atau mengefektifkan sistem pemerintahan presidensial yang telah menjadi pilihan bangsa Indonesia. Sering dikatakan bahwa sistem multipartai yang ada saat ini dengan jumlah partai mencapai puluhan tidak sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial. Sebagaimana dikatakan Scott Mainwarning (1993), the combination of presidentialism and multipartism makes stable democracy difficult to sustain, bahwa kombinasi sistem pemerintahan presidensial membuat kestabilan demokrasi

Pasal 202 (1) Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Pasal 203 (1) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1), tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.

24

Bab 3

sulit dipertahankan. Arend Lijphart (1968, 1977) sebaliknya berargumen bahwa di dalam sebuah masyarakat yang plural dengan perbedaan kultur, etnis, agama, dan bahasa yang tajam, sistem multipartai dapat mempromosikan demokrasi yang stabil (stable democracy). Dengan sistem dua partai (two party-system), pihak-pihak minoritas akan menjadi outsider secara permanen, yang dapat berdampak pada berkurangnya keinginan minoritas untuk mengikuti aturan main (sistem demokrasi). Sistem multipartai akan memungkinkan pihak minoritas terwakili secara substantif, di mana mereka dapat berpartisipasi dalam koalisi pemerintahan.14 Sani dan Sartori (1983) berargumen bahwa tingkat polarisasi ideologis (partai politik) lebih berpengaruh pada penciptaan demokrasi yang stabil, dibandingkan dengan jumlah partai politik.15 Contoh kasus di Chile (1930-akhir 1960-an) yang menunjukkan bahwa sistem presidensial, sistem multipartai, dan demokrasi yang stabil dapat berjalan beriringan. Pada periode ini, sistem presidensial dan multipartai dapat berjalan karena keinginan elite politik dan rakyat untuk berkompromi dan keinginan untuk menciptakan institusi demokrasi yang kokoh. Valenzuela (1977, 1978, 1985) dan Scully (1989), berargumen bahwa meskipun polarisasi politik di Chile cukup tinggi, tingkat moderasi, kompromi, dan konsiliasi juga sama tingginya. Komponen moderasi, kompromi, dan konsiliasi mendukung eksistensi demokrasi presidensial multipartai.16 Contoh kasus lainnya terjadi di Benin (1990), salah satu negara di Afrika yang mengadopsi sistem demokrasi presidensial multipartai. Seiring dengan penerapan sistem ini, mereka juga memudahkan persyaratan pendirian partai politik dan menerapkan sistem hukum yang kuat. Untuk negara dengan tingkat fragmentasi etnis dan bahasa yang tinggi, sistem ini dianggap cukup berhasil dalam menciptakan demokrasi yang stabil. Terdapat 106 partai politik di Benin, dan 12 di antaranya diwakili di parlemen. Sistem ini dapat berjalan dengan baik di Benin karena sistem didesain untuk menjadi sistem "presidensialisme yang kuat" (strong presidentialism) yang dapat beroperasi pada kondisi politik yang sangat terpecah dengan cara menghindari ketergantungan eksekutif pada stabilitas parlemen. Dengan sistem ini, Benin berhasil menghadapi tiga tantangan terbesar yang biasa diasosiasikan dengan pelaksanaan sistem presidensial multipartai: (1) risiko instabilitas dan konflik dalam sistem; (2) risiko autokrasi; dan (3) ketiadaan akuntabilitas. Dalam sistem presidensial multipartai yang diadopsi Benin, adanya pemisahan yang jelas antara eksekutif dan legislatif (Presiden memiliki hak untuk memveto legislasi, dan parlemen memiliki hak untuk mengamandemen legislasi inisiatif presiden dengan perkecualian bujet, dimana presiden dapat mengeluarkan peraturan presiden), serta keberadaan mahkamah konstitusi yang kuat, menjamin tidak terjadinya konflik yang berkepanjangan. Kecenderungan terjadinya autokrasi dalam sistem presidensial dapat dicegah dengan keberadaan mahkamah konstitusi yang

Scott Mainwaring, Presidentialism, Multiparty Systems, and Democracy: The Difficulty Equation, Working Paper #144 September 1990. 15 Ibid. 16 Ibid.
14

Laporan Kajian UU Pemilu

25

kuat, KPU yang kuat, dan sistem pemilu yang mewajibkan adanya dua putaran pemilihan presiden.17 Untuk konteks Indonesia, bisa jadi sistem dwipartai tidak cocok, tetapi tidak juga untuk sistem multipartai dengan begitu banyak partai seperti halnya Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009. Indonesia bisa jadi membutuhkan sistem multipartai yang sederhana. Itulah sebabnya, dari pemilu ke pemilu di era Reformasi selalu ada upaya untuk menyederhanakan jumlah parpol. Sepanjang yang dapat dicatat, upaya penyederhanaan parpol di Indonesia ditempuh dengan sedikitnya melalui lima jalan, yaitu (1) memperberat syarat pendirian parpol, (2) memperberat syarat parpol memperoleh badan hukum, (3) memperberat syarat parpol untuk ikut pemilu, (4) menerapkan ambang batas bagi parpol untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya (electoral threshold), dan (5) menerapkan ambang batas bagi parpol untuk dapat mengirimkan wakilnya di parlemen (parliamentary threshold).

Table 8 - Syarat Pendirian Parpol


UU PARPOL 1999 Bisa didaftarkan ke departemen kehakiman jika memenuhi syarat: a. Didirikan sekurangkurangnya 50 orang WNI yang telah berusia 21 tahun UU PARPOL 2002 Partai politik didirikan oleh sekurang-kurangnya 50 orang WNI yang sudah berusia 21 tahun dengan akta notaris UU PARPOL 2008 Partai politik dibentuk dan didirikan oleh sekurangkurang 50 WNI yang telah berusia 21 tahun UU PARPOL 201118 Pasal 2 ayat (1): Didirikan dan dibentuk sekurang-kurangnya 30 orang yang telah berusia 21 tahun atau yang sudah menikah disetiap provinsi. Pasal 2 ayat (2): partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat 1, didaftarkan oleh paling sedikit 50 orang pendiri yang mewakili pendiri seluruh partai politik dengan akta notaris

b. Mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara dari NKRI dalam anggaran dasar partai c. Keanggotaan partai bersifat terbuka untuk seluruh WNI yang telah memiliki hak pilih

Didaftarkan ke departemen kehakiman dengan syarat: a. Memiliki akta notaris pendirian partai politik yang sesuai dengan UUD 1945 dan peraturan perundangundangan lainnya b. Mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah kabupaten/ kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan c. Memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak memiliki persamaan pada pokoknya atau

d. Partai politik tidak boleh menggunakan nama atau lambang yang sama dengan lambang negara asing, bendera NKRI, bendera kebangsaan negara asing, gambar perseorangan dan nama serta lambang partai yang telah ada

17

18

Andrew Ellis, Kirsti Samuel, Proceedings dari Workshop dengan tema "Making Presidentialism Work: Sharing and Learning from Global Experience", Mexico, Februari 2008 Draft Perubahan UU tentang Parpol 2011

26

Bab 3

UU PARPOL 1999

UU PARPOL 2002 keseluruhannya dengan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik lainnya. d. Mempunyai kantor tetap

UU PARPOL 2008

UU PARPOL 201118

Didirikan dengan akta notaris Kantor tetap

Didirikan dengan akta notaris Kantor tetap pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan sampai tahapan terakhir pemilihan umum

Table 9 - Syarat Memperoleh Badan Hukum


UU PARPOL 1999 Tidak dicantumkan dalam UU 2/ 1999 syarat untuk memperoleh badan hukum UU PARPOL 2002 Tidak dicantumkan dalam UU 31/ 2002 syarat untuk memperoleh badan hukum UU PARPOL 2008 Harus memiliki: a. Akta notaris pendirian partai politik b. Nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik lain sesuai dengan peraturan perundangan c. Kantor tetap d. Kepengurusan paling sedikit 60% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah kabupaten/ kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% dari jumlah kecamatan dari kabupaten/ kota yang bersangkutan, dan e. Memiliki rekening atas nama partai politik UU PARPOL 2011 Harus memiliki: a. Akta notaris pendirian partai politik b. Nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar partai politik lain degan peraturan perundangan c. Kepengurusan pada tingkat provinsi paling sedikit 75% dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan d. Kantor tetap pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan sampai tahapan terakhir pemilihan umum, dan

Laporan Kajian UU Pemilu

27

UU PARPOL 1999

UU PARPOL 2002

UU PARPOL 2008

UU PARPOL 2011 e. Rekening atas nama partai politik

Table 10 : Syarat Ikut Pemilu


UU PEMILU 1999 Dapat mengikuti pemilu dengan syarat: a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang tentang Partai Politik UU PEMILU 2003 Dapat mengikuti pemilu dengan syarat: a. Diakui keberadaannya sesuia dengan UU No 31 tahun 2002 tentang partai politik UU PEMILU 2008 Dapat mengikuti pemilu dengan syarat: a. Berstatus badan hukum sesuia dengan UU partai politik b. Memikili kepengurusan 2/3 dari jumlah provinsi c. Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlahkabupaten/ kota diprovinsi yang bersangkutan menyertakan sekurangkurangnya 30% (tiga puluh perseratus) d. keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan e. dengan kepemilikan kartu tanda anggota UU PEMILU?19 a. Berstatus badan hukum sesuai dengan Undangundang tentang Partai Politik b. Memiliki kepengurusan di 2/3 jumlah provinsi c. Memiliki kepengurusan di 2/3 jumlah kabupaten/ kota di provinsi yang bersangkutan d. Menyertakan sekurangkurangnya 30% (tigapuluh per seratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politk tingkat pusat e. Memiliki anggota sekurangkuranganya 1.000 (seribu) orang atau 1/1000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktika dengan kepemilikan kartu tanda anggota f. Mempunyai kantor tetap untuk jangka waktu 5 (lima) tahun pada kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan c g. Mengajukan nama dan tanda gambar

b. memiliki pengurus di lebih dari (setengah) jumlah propinsi di Indonesia c. memiliki pengurus di lebih dari (setengah) jumlah kabupaten kotamadya di propinsi sebagaimana dimaksud pada huruf b

b. Memiliki kepengurusan lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 dari seluruh jumlah provinsi c. memiliki pengurus lengkap sekurangkurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi sebagaimana dimaksud dalam huruf b

d. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik

d. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau sekurangkurangnya 1/1000 (seperseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai politik e. pengurus sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c harus mempunyai kantor tetap mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU

f.

mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b f. dan huruf c; dan g. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU

19

Draft Perubahan UU 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

28

Bab 3

UU PEMILU 1999

UU PEMILU 2003

UU PEMILU 2008

UU PEMILU?19 partai politik kepada KPU h. Menyerahkan nomor rekening atas nama partai politik dengan saldo minimal Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) untuk tingkat pusat, Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) untuk tingkat provinsi, dan Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) untuk tingkat kabupaten/ kota

Table 11 : Penerapan Electoral Threshold


UU PEMILU 1999 2% dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurangkurangnya 3% jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebar sekurangkurangnya di (setengah) jumlah propinsi dan di (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia UU PEMILU 2003 a. memperoleh sekurangkurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR b. memperoleh sekurangkurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurangkurangnya di (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau c. memperoleh sekurangkurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia. UU PEMILU 2008 Tidak ada ? UU PEMILU?

Table 12 : Penerapan Parliamentary Threshold


UU PEMILU 1999 Tidak ada UU PEMILU 2003 Tidak ada UU PEMILU 2008 Ambang batas perolehan suara sekurangkurangnya 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional ? UU PEMILU?

Laporan Kajian UU Pemilu

29

Gambar di bawah ini memperlihatkan pertumbuhan atau pengurangan parpol di Indonesia sejak Pemilu 1999 hingga pemilu terakhir (Pemilu 2009) dengan penerapan lima instrumen penyederhaan parpol tersebut.

Figure 2

PARTAI POLITIK DI INDONESIA, 1999-2009


250 237*

200

PARTAI POLITIK

150

148

100

93

99

50

48

50** 21 24 17

57** 44***

1999

2004
MENJELANG PEMILU

2009

PARPOL YANG MENDAFTAR KE DEPKUMHAM


PARPOL YANG LOLOS SEBAGAI PESERTA PEMILU

PARTAI YANG BERBADAN HUKUM DARI DEPKUMHAM


PARPOL MASUK PARLEMEN

* Partai yang terdaftar dari tahun 1999 s/d Des 2002 ** Sudah termasuk partai yang lolos threshold *** Partai lokal Khusus Provinsi NAD (6 Partai)

Pada Pemilu terakhir (2009), dari 38 parpol yang bertarung untuk pemilihan anggota DPR, hanya sembilan parpol yang terwakili di DPR. Pengurangan ini sangat signifikan dibandingkan dengan Pemilu 1999 (21 parpol) dan Pemilu 2004 (17 parpol). Hal ini tidak terlepas dari penerapan PT sejak Pemilu 2009, yang dapat dikatakan sebagai konsep threshold yang lebih benar ketimbang ET. Setidaknya ada lima alasan mengapa PT harus lebih dikedepankan ketimbang ET. Pertama, yang paling penting dari konsep penyederhanaan parpol adalah bukan berapa banyak jumlah parpol dalam pemilu, melainkan jumlah parpol di parlemen. Efektivitas sistem presidensialisme bukan terletak pada jumlah parpol dalam pemilu, melainkan jumlah parpol dalam parlemen. Boleh saja ada ratusan parpol yang ikut pemilu, tetapi dengan mekanisme PT, jumlah itu akan berkurang secara signifikan di parlemen. Diletakkan dalam konteks hasil Pemilu 2009, dengan PT 2,5 persen, keanggotaan DPR saat ini hanya diisi oleh wakil dari sembilan parpol saja dari 38 parpol yang berpartisipasi dalam pemilu DPR. Parpol-parpol lain yang tidak mencapai perolehan 2,5 persen suara pemilu DPR tidak boleh mengirimkan wakilnya. Kedua, penerapan ET dinilai tidak lazim bahkan aneh karena ambang batas ditentukan berdasarkan pencapaian parpol dalam pemilu lima tahun sebelumnya. Padahal, bukan tidak mungkin telah terjadi perubahan yang mendasar dalam lima

30

Bab 3

tahun terakhir. Seharusnya ambang batas tersebut ditentukan oleh hasil pemilu saat itu juga. Caranya adalah dengan menerapkan PT. Sebuah parpol yang tidak mencapai persentase tertentu dalam pemilu yang bersangkutan tidak diperbolehkan mengirimkan wakilnya. Ketiga, penerapan ET berpotensi melanggar konstitusi. Dikatakan demikian karena hak untuk mendirikan parpol dan ikut dalam pemilu adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Konsekuensi dari penerapan ET adalah, apabila sebuah parpol tidak mencapai ET maka parpol tersebut harus dibubarkan atau menggabungkan diri apabila ingin ikut pemilu berikutnya. Problem konstitusional yang muncul adalah UUD 1945 menentukan bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan untuk berserikat dan berkumpul. Penerapan ET menyebabkan hak berserikat dan berkumpul tersebut potensial dilanggar. Selain itu, hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate) adalah hak yang juga dijamin oleh konstitusi (putusan MK dalam pengujian UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, 24 Februari 2004). Menghalangi sebuah parpol untuk ikut pemilu potensial melanggar hak untuk dipilih. Kelebihan PT dalam konteks ini adalah, parpol yang tidak mencapai persentase tertentu tidak perlu bubar atau menggabungkan diri bila ingin ikut dalam pemilu berikutnya. Parpol tersebut hanya terhalang untuk mengirimkan wakil di parlemen yang mungkin bisa dikompensasi pada pemilu berikutnyatetapi eksistensi mereka sebagai parpol tetap dapat dipertahankan. Keempat, dari perspektif politik penerapan PT bisa dikatakan lebih adil ketimbang ET mengingat parpol yang ada saat ini tidak bertanding dengan garis start yang sama. Tiga parpol warisan Orde Baru, yaitu Golkar, PDI(P), dan PPP, sudah sangat mapan dan memiliki jaringan parpol hingga ke daerah-daerah. Public awarness terhadap ketiga parpol tersebut sudah dimulai puluhan tahun lebih dulu ketimbang parpol baru yang tumbuh pada era reformasi. Diperlukan beberapa kali pemilu bagi parpol baru untuk mengimbangi kemapanan ketiga parpol tersebut. Dalam kaitan dengan ini Partai Demokrat bisa dikatakan sebagai pengecualian. Kendati baru berpartisipasi dalam Pemilu 2004, partai tersebut sudah menjadi pengumpul suara terbanyak pada pemilu berikutnya (2009). Dengan penerapan PT, parpol-parpol baru memiliki hak untuk hidup dan berkembang serta ikut pemilu berkali-kali. Punishment, kalau boleh dikatakan demikian, terhadap mereka hanyalah bila tidak mampu mencapai persentase tertentu sehingga tidak bisa mengirimkan wakilnya ke parlemen. Sebagai sebuah parpol mereka tetap dapat melakukan pembenahan dan konsolidasi secara terusmenerus. Bukan tidak mungkin suatu saat mereka akan menjadi parpol besar. Kelima, dari aspek sosiologis, penerapan PT akan merupakan disinsentif bagi petualang-petualang parpol yang berpikiran jangka pendek. Sering elite-elite politik mendirikan parpol hanya untuk merebut posisi politik, misalnya menguasai sejumlah kursi di DPR dan DPRD atau mendapatkan kursi kabinet. Mereka jadi kurang peduli dengan perkembangan parpol yang mereka dirikan setelah mendapatkan posisi politik. Baru menjelang pemilu mereka bekerja kembali untuk parpol dengan harapan memperoleh posisi politik lagi. Bagi elite parpol yang hanya melihat parpol sebagai jembatan untuk merebut kursi parlemen atau posisi politik di pemerintahan pastilah tidak menyukai penerapan PT. Dalam benak mereka, bagaimana mungkin setelah berdarah-darah dalam prosesi pemilu mereka tidak boleh mengirimkan wakilnya ke parlemen lantaran tidak

Laporan Kajian UU Pemilu

31

mencapai PT. Namun, bagi mereka yang melihat bahwa mempertahankan dan membesarkan eksistensi parpol jauh lebih penting ketimbang sekadar merebut satudua kursi parlemen akan menyambut PT sebagai jembatan untuk menghadirkan parpol besar dan kuat di kemudian hari. Pertanyaannya, menjelang Pemilu 2014 nanti, berapa angka PT yang layak dipertahankan? Dari berita-berita yang dapat diikuti dari media massa dan juga tatap muka langsung dengan para anggota DPR dapat diketahui bahwa telah ada kesepakatan di antara fraksi-fraksi untuk tetap mempertahankan PT. Namun, di antara fraksi tersebut belum sepakat mengenai besarannya. Ada fraksi yang menginginkan tetap dengan angka 2,5 persen, tetapi ada yang menginginkan angka yang lebih besar lagi, terutama dari fraksi-fraksi besar, sebagaimana terlihat dari tabel di bawah ini.
Table 13 : Posisi Fraksi Mengenai Parliamentary Threshold untuk Pemilu 2014
Fraksi Partai Demokrat Posisi PT 4% Keterangan/ Argumentasi Untuk memperkuat sistem presidensil, maka jumlah partai perlu disederhanakan (Sutjipto, Anggota Baleg FPD) Sumber http://www.detiknews.com/re ad/2011/01/06/143941/154058 1/10/demokrat-yakin-targetpt-4-persen-di-ruu-pemilu-gol. Diakses pada 9 Februari 2011. http://news.okezone.com/read /2010/10/20/339/384442/339/ golkar-tegaskan-sikap-dukungpt-5 Diakses pada 9 Februari 2011.

Partai Golkar

PT 5%

Penting untuk penataan sistem politik juga untuk menjadi adanya stabilitas politik dan efektifitas kinerja lembaga-lembaga negara. Agar tidak terjadi pemborosan proses politik khusunya di DPR (Idrus Marham, Sekjen Partai Golkar)

PDIP

PT 5%

Sebagai negara kepualauan dan dengan jumlah penduduk yang besar Indonesia tidak memerlukan jumlah partai yang besar, demi efektifitas pembangunan. Dengan jumlah partai yang lebih sederhana akan lebih mudah dalam tecapainya kesepakatan dalam membuat kebijakan dan program pembangunan. (Bambang Wuryatno, Ketua DPP PDIP) Peningkatan angka PT tidak akan membunuh partai kecil. Untuk menyederhanakn jumlah partai

http://www.tempointeraktif.co m/hg/politik/2010/12/27/brk ,20101227-301757,id.html Diakses pada 9 Februari 2011.

PKS

PT 5% di tingkat pusat

http://mahfudzsiddik.blogspot .com/2010/06/ppp-danhanura-menolak-usultersebut.html Diakses pada 9 Februari 2011.

PAN

PT tetap 2.5%

PT di angka 2.5% sudah cukup menyederhanakan partai yang masuk ke DPR 2009 dari DPR periode sebelumnya. Dengan angka PT 2.5% saja suara yang hilang mencapai 19 juta suara. Penerapan PT 2.5% baru sekali diterapkan pada pemilu 2009 sehingga belum perlu untuk dievaluasi. (Teguh Juwarno, Wakil Sekjen DPP PAN)

http://english.waspada.co.id/i ndex.php/images/flash/templ ates/index.php?option=com_co ntent&view=article&id=167470: pan-ngotot-pt-25persen&catid=17:nasional&Item id=30 Diakses pada 9 Februari 2011.

PKB

PT 3%

Peningkatan menjadi 3% untuk meminimalisir suara yang terbuang

http://www.today.co.id/politi k/index/01022011/8183/PKB_

32

Bab 3

Fraksi

Posisi

Keterangan/ Argumentasi percuma. (Abdul Malik Haramain)

Sumber Mematok_Parliamentary_Thres hold_3_Persen Diakses pada 9 Februari 2011.

PPP

PT tetap 2.5%

PT 2.5% yang digunakan pada pemilu 2009 layak dipertahankan. Peningkatan PT sampai 5% dapat membunuh demokrasi karena sama dengan memperbanyak suara yang hangus/ hilang. Peningkatan PT akan mengurangi legitimasi keterwakilan di DPR. (Rohmahurmuziy, Wakil Sekjern PPP)

http://hileud.com/hileudnews ?title=PPP+Tolak+Parliamentar y+Threshold+Dinaikkan&id=73 173 Diakses pada 9 Februari 2011.

Gerindra

Menolak gagasan PT 5%.

Dengan adanya PT 2.5% sudah membuat suara hilang sebanyak 19 juta suara. Gerindra setuju dengan gagasan penyederhanaan partai namun bukan dengan meningkatkan PT, melainkan dengan pengetatan syarat partai yang ingin ikut dalam pemilihan umum. Penetepan peningkatan angka PT harus dilakukan secara rasional. 3% diajukan demi berjalannya kompromi dalam pembuatan undang-undang di DPR. (Hanura, Ketua Umum Hanura)

http://www.tempointeraktif.co m/hg/politik/2010/06/07/brk ,20100607-253189,id.html Diakses pada 9 Februari 2011.

Hanura

PT 3%

http://bataviase.co.id/node/50 2084 Diakses pada 9 Februari 2011.

Dari tabel di atas terlihat bahwa fraksi-fraksi besar umumnya mengusulkan angka PT yang lebih besar, yaitu 5 persen yang diusulkan Fraksi Golkar, PDIP, dan PKS dan 4 persen yang diusulkan Fraksi Demokrat. Sedangkan fraksi-fraksi menengah dan kecil mengusulkan angka 3 persen, yaitu Fraksi PKB dan Fraksi Hanura. Dua fraksi, yaitu Fraksi PAN dan Fraksi PPP. Satu fraksi (Fraksi Genrindra) tidak secara jelas menyebut angka pasti, tetapi tegas menolak bila PT menjadi 5 persen. Penolakan Gerindra tersebut dapat dipahami karena kenaikan PT hingga 5 persen dapat menghapuskan eksistensi mereka di DPR bila perolehan suara mereka tidak meningkat secara signifikan pada Pemilu 2014. Diterapkan pada hasil Pemilu 2009, dengan PT 5 persen, akan ada tiga parpol yang hilang di DPR, yaitu PKB (4,95%), Gerindra (4,64%), dan Hanura (3,04%). Bila PT ditingkatkan menjadi 4 persen saja sebagaimana usul Fraksi Demokrat, yang akan hilang di DPR hanya Parta Hanura. Sedangkan bila PT ditingkatkan menjadi 3 persen, sembilan parpol tersebut tetap bertahan di DPR. Tidak heran bila angka 3 persen dinilai menjadi angka kompromi di antara sembilan fraksi yang ada di DPR saat ini.

Laporan Kajian UU Pemilu

33

Table 14 : Perbandingan Perolehan Kursi Berdasarkan Parliamentary Threshold 2.5%, 3%, 4%, 5%
PT 2,5% No Partai Politik Suara %Suara Kursi 1 5 8 9 13 23 24 Partai Hati Nurani Rakyat Gerakan Indonesia Raya Partai Keadilan Sejahtera Partai Amanat Nasional Partai Kebangkitan Bangsa Partai Golongan Karya Partai Persatuan Pembangunan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Partai Demokrat 3,918,531 4,664,213 8,198,940 6,289,378 5,144,371 15,022,561 5,530,119 14,572,223 21,673,389 3.77% 4.48% 7.88% 6.05% 4.95% 14.44% 5.32% 14.01% 20.84% 17 26 57 46 28 106 38 94 148 560 Research CETRO Total Suara Suara Terwakili Suara Tidak Terwakili 104,099,785 85,013,725 19,086,060 81.67% 18.33% 85,013,725 19,086,060 81.67% 18.33% 81,095,194 23,004,591 77.90% 22.10% 71,286,610 32,813,175 68.48% 31.52% % 3.04% 4.64% 10.18% 8.21% 5.00% 18.93% 6.79% 16.79% 26.43% Kursi 17 26 57 46 28 106 38 94 148 560 % 3.21% 4.64% 10.18% 8.21% 5.00% 18.93% 6.79% 16.61% 26.43% Kursi 0 26 62 46 29 109 38 98 152 560 4.64% 11.07% 8.21% 5.18% 19.46% 6.79% 17.50% 27.14% % Kursi 65 48 123 41 % 11.61% 8.57% 21.96% 7.32% 19.64% 30.89% PT 3% PT 4% PT 5%

28 31

110 173 560

34

Bab 3

Figure 3

Suara Yang Terwakili Dalam Pemilu 1999 s/d 2009


NO PEMILU DPT TOTAL SUARA SAH SUARA YANG TERWAKILI 96.2% SUARA YANG TIDAK TERWAKILI 3,991,046 3,8%

1999

118.158.778

105,845,937 101,854,891

2
3 4 5 6

2004

148.000.369

113,462,414 108,004,563 104,099,785


104,099,785 104,099,785 104,099,785

95.2%
81.7% 81.7% 77,9% 68.5%

5,457,851
19,048,653 19,048,653 23,004,591 32,764,051

4,8%
18.3% 18.3% 22,1% 31.5%

2009 (PT 2,5%) 169.403.061 2009 (PT 3%) 2009 (PT 4%) 2009 (PT 5%) 169.403.061 169.403.061 169.403.061

85,051,132
85,051,132 81,095,194 71.335,734

7
8

2009 (PT 7,5%) 169.403.061


2009 (PT 10%) 169.403.061

104,099,785
104,099,785

59,467,113
51,268,173

57,1%
49,3%

44,632,672
52,831,612

42,9%
50,7%

Rekomendasi
Kajian ini sendiri menyarankan agar angka 2,5 persen tetap dipertahankan, tetapi juga diterapkan untuk pemilihan anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sehingga penyederhanaan juga terjadi di daerah. Namun penerapan PT untuk pemilu anggota DPRD haruslah dipisahkan dari penerapan PT untuk DPR. Jadi tidak seperti yang digagas oleh beberapa Fraksi di DPR menerapkan PT di DPR sebagai dasar atau sekaligus menjadi PT di DPRD. Artinya, kalau sekarang ada 9 parpol dapat masuk DPR maka sekaligus 9 parpol ini jugalah yang dapat masuk ke seluruh DPRD di Indonesia. Dengan angka 2,5 persen saja, bila hasil Pemilu 2009 yang menjadi patokan, ada 19 juta lebih suara yang tidak terwakili, atau setara dengan 18,33 persen (lihat tabel). Angka 18,33 persen tersebut adalah suara terbanyak kedua setelah Partai Demokrat yang memenangkan Pemilu 2009 dengan perolehan 20,84 persen suara. Sedangkan bila PT dinaikkan menjadi 5 persen, suara yang tidak terwakili mencapai lebih dari 32 juta suara dari 104.099.785 suara sah dalam Pemilu 2009, atau setara dengan 31,52 persen. Banyaknya suara yang hilang dalam pemilu tentu akan memunculkan pertanyaan tentang derajat keterwakilan (the degree of representativeness). Terlebih sistem yang dipakai adalah proportional representation system (PR system), sistem yang dianggap paling baik dalam hal derajat keterwakilan. Perlu dicatat ada pula kalangan di luar parpol besar yang setuju terhadap PT 5 persen. Misalnya Burhanuddin Muhtadi dari Lembaga Survei Indonesia (LSI). Menurutnya, PT 5 persen akan menyebabkan terjadinya penyederhanaan parpol dan hanya menyisakan lima parpol di parlemen.Kelima parpol tersebut akan

Laporan Kajian UU Pemilu

35

merepresentasikan peta politik pada Pemilu 2014, Partai Demokrat yang mewakili golongan nasionalis relijius kanan, Golkar mewakili nasionalis tengah, PDIP mewakili nasionalis populis, dan partai-partai Islam modernis yang diwakili PKS atau PAN, serta partai-partai Islam tradisionalis. Menurut Burhanuddin Muhtadi, prinsip dalam mencari angka PT yang ideal adalah terjadinya proses penyederhanaan sistem kepartaian yang juga diiringi dengan penguatan sistem presidensial. Banyaknya jumlah parpol seperti yang selama ini terjadi makin menyebabkan sering terjadinya deadlock atas suatu kebijakan pemerintah ketika dibahas di parlemen. Akibatnya, stabilitas politik sulit dicapai.20 Mereka yang mengusung angka PT lebih tinggi umumnya merujuk pengalaman negara lain. Jerman, misalnya, menerapkan angka 5 persen untuk pemilu mereka. Namun, perlu digarisbawahi, di Jerman penentuan lolos tidaknya suatu parpol untuk mendapatkan kursi parlemen tidak semata-mata didasarkan pada perolehan suara sah secara nasional saja, melainkan juga kemenangan suatu parpol di distrik pemilihan. Di Jerman, sistem yang diterapkan adalah MMP (mixed member proportional). Suatu parpol dapat memperoleh kursi di DPR bila (1) memperoleh suara sah secara nasional sebesar 5 persen dan (2) memenangkan setidaknya tiga kursi di distrik pemilihan. Selain itu, mereka yang menang di distrik pemilihan tetap akan memperoleh kursi kendati partai yang bersangkutan tidak lolos PT. Dengan menerapkan begitu saja kenaikan PT menjadi 5 persen tanpa memikirkan jalan keluar lainnya, pemilu di Indonesia akan menjadi ajang membunuh suarasuara minoritas dari parpol kecil. Penyederhanaan parpol memang penting dan memang kompatibel untuk sistem presidensial, namun hal tersebut harus dicapai dengan cara elegan dan bermartabat, serta tetap dalam koridor demokrasi dan konstitusi.

20

Muhatdi: PT 5 Persen Akan Ubah Peta Politik Pemilu 2014, www.tempointeraktif.com, 27 Desember 2010.

36

Bab 3

Table 15 : Ambang Batas di Beberapa Negara Untuk Kursi di Parelemen


No Negara Sistem Pemilu Jumlah Anggota Parlemen 240 Persentase Threshold Jumlah Parpol/Koalisi Parpol Ikut Pemilu 14 parpol dan 4 koalisi Sumber: OSCE ODHIR election reports Republic of Bulgaria Parliamentary Elections, 5 July 2009 2 Republik Ceko List PR 200 5% suara nasional 10% untuk koalisi 2 partai 15% untuk koalisi 3 partai 20% untuk koalisi 4 partai atau lebih Jerman 3 MMP 598 5% suara nasional atau 3 kursi 29 partai Sumber: http://www.bundeswahlleiter.de/en/bundest agswahlen/BTW_BUND_09/presse/41_An erkannte_Parteien.html Data tidak tersedia 6 Sumber: http://www.ipu.org/parlinee/reports/2121_E.htm 25 partai dan koalisi Sumber: http://www.ipu.org/parlinee/reports/2083_E.htm 6 Sumber: http://www.ipu.org/parlinee/reports/2045_E.htm 5 Sumber: http://www.ipu.org/parlinee/reports/2083_E.htm Jumlah Parpol/Koalisi Parpol dalam Parlemen

Bulgaria

List PR

4% suara nasional

Italia

List PR

630

10 % suara sah total untuk koalisi 2% suara sah total untuk daftar partai politik dalam sebuah koalisi 4% suara nasional untuk partai politik yang tidak berafiliasi dengan koalisi politik 20% suara di daerah pemilihannya untuk language minority lists.

9 Sumber: http://www.ipu.org/parlinee/reports/2157_E.htm

Israel

List PR

120

2% suara sah

34 partai politik Sumber: http://www.ipu.org/parlinee/reports/2155_E.htm

12 Sumber: http://www.ipu.org/parlinee/reports/2155_E.htm 7 Sumber: http://www.ipu.org/parline-

Latvia

List PR

100

5% suara nasional

19 partai politik Sumber: http://www.ipu.org/parlinee/reports/2177_E.htm

Laporan Kajian UU Pemilu

37

No

Negara

Sistem Pemilu

Jumlah Anggota Parlemen

Persentase Threshold

Jumlah Parpol/Koalisi Parpol Ikut Pemilu

Jumlah Parpol/Koalisi Parpol dalam Parlemen e/reports/2177_E.htm

Liechenstein

List PR

25

8% suara nasional

3 partai politik (62 kandidat) Sumber: http://www.osce.org/odihrelections/documents.html?lsi=true&limit= 10&grp=463

3 Sumber: http://www.ipu.org/parlinee/reports/2187_E.htm 7 Sumber: http://www.ipu.org/parlinee/reports/2233_E.htm 10 Sumber: http://www.ipu.org/parlinee/reports/2231_E.htm

New Zealand

MMP

120

5% atau setidaknya memenangkan satu electorate seat

19 partai politik Sumber: http://www.elections.org.nz/elections/candi dates-and-parties/party-lists.html 18 partai politik Sumber: http://www.kiesraad.nl/nl/English/EnglishNews/English-News-News/English-NewsNews2010/Results_of_the_9_June_2010_House_ of_Representatives_elections.html

Belanda

List PR

150

0.67% suara nasional

10

Polandia

List PR

460

5% suara nasional untuk partai politik 8% suara nasional untuk koalisi Daftar Minoritas Nasional tidak dikenakan threshold

Data tidak tersedia

5 Sumber: http://www.ipu.org/parlinee/reports/2255_E.htm

11

Rumania

List PR

345

Majority sistem: Kandidat yang mendapatkan lebih dari 50% suara. Propotional system: 5% untuk partai politik Parai politik yang tidak memenuhi suara nasional masih bisa mendapatkan

Data tidak tersedia

5 Sumber: http://www.roaep.ro/en/section.php? id=69

38

Bab 3

No

Negara

Sistem Pemilu

Jumlah Anggota Parlemen

Persentase Threshold kursi di parlemen jika memenangkan pemilihan di 6 daerah pemilihan untuk parlemen atau memenangkan 3 daerah pemilihan untuk senat. 8% untuk aliansi 2 partai 9% untuk aliansi 3 partai 10% untuk aliansi 4 partai atau lebih

Jumlah Parpol/Koalisi Parpol Ikut Pemilu

Jumlah Parpol/Koalisi Parpol dalam Parlemen

12

Slovakia

List PR

150

5% suara nasional

18 partai politik Sumber: Slovak Republic Parliamentary Elections, 12 June 2010 OSCE/ODIHR Needs Assessment Mission Report

6 Sumber: http://www.ipu.org/parlinee/reports/2285_E.htm

13

Slovenia

List PR

90

4%

Data tidak tersedia

7 Dengan 2 kursi untuk perwakilan etnik minoritas Sumber: http://www.ipu.org/parlinee/reports/2287_E.htm

14

Swedia

List PR

349

4% suara nasional atau 12% suara di daerah pemilihan

Data tidak tersedia

7 Sumber: http://www.ipu.org/parlinee/reports/2303_E.htm

15

Turki

List PR

550

10% suara nasional Catatan: Ada waiver untuk threshold bagi kandidat independen. Setelah terpilih kandidat independen dapat membentuk aliansi dalam parlemen.

14 partai Sumber: http://www.ipu.org/parlinee/reports/2323_E.htm

3 dan 26 kursi independen Sumber: http://www.ipu.org/parlinee/reports/2323_E.htm

Laporan Kajian UU Pemilu

39

No

Negara

Sistem Pemilu

Jumlah Anggota Parlemen Sumber:

Persentase Threshold

Jumlah Parpol/Koalisi Parpol Ikut Pemilu

Jumlah Parpol/Koalisi Parpol dalam Parlemen

http://www.todayszaman.com/columnis t-225414-do-we-need-an-electionthreshold-in-turkey.html 16 Ukraina List PR 450 3% 20 partai politik dan electoral block Sumber: UKRAINE PRE-TERM PARLIAMENTARY ELECTIONS 30 September 2007 - OSCE/ODIHR Election Observation Mission Final Report 5 partai Sumber: http://www.ipu.org/parlinee/reports/2331_E.htm

Sumber: IPU Parline Database http://www.ipu.org/parline-e/parlinesearch.asp, ACE Project http://aceproject.org/, German Federal Returning Officer http://www.bundeswahlleiter.de/en/, Election Resources Online http://electionresources.org, European Election Database http://www.nsd.uib.no/european_election_database/, OSCE/ODIHR Election Observation Mission Reports http://www.osce.org/odihr-elections/, New Zealand Electoral Commission http://www.elections.org.nz

***

40

Bab 3

Table 16 : Usulan Perubahan Parliamentary Threshold


UU PEMILU 2009 Pasal 202 Pasal USULAN PERUBAHAN

(1)

Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara: a. sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah dalam pemilu anggota DPR untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR; b. sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah dalam pemilu anggota DPRD provinsi untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR provinsi; c. sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah dalam pemilu anggota DPRD kabupaten/kota untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPRD kabupaten/kota.

(2)

Pasal 203

Pasal

(1)

Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1), tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.

Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal..., tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di masing-masing daerah pemilihan.21

21

Bila sistem MMP yang diterapkan, kalimat ini tidak diperlukan.

Laporan Kajian UU Pemilu

41

Bab IV Permasalahan Daftar Pemilih Pemilu di Indonesia

emilu-pemilu di era Reformasi pada umumnya dipuji sebagai pemilu yang relatif demokratis bila dibandingkan pemilu-pemilu pada era Orde Baru. Kendati demikian, bila dibandingkan antara satu pemilu ke pemilu lainnya pada era Reformasi, trennya bukan malah membaik. Pelaksanaan pemilu makin lama kian banyak masalah. Pemilu terakhir pada era Reformasi (Pemilu 2009) bahkan dinilai paling buruk bila dibandingkan dua pemilu sebelumnya (Pemilu 1999 dan Pemilu 2004). Hal yang paling menyumbang bagi karut-marut Pemilu 2009 adalah masalah daftar pemilih tetap (DPT). Banyak pemilih yang tercecer pada Pemilu 2009 karena tidak masuk dalam DPT. Padahal, terdaftar dalam DPT adalah syarat untuk dapat menggunakan hak memilih bagi warga negara Indonesia (WNI) yang telah berusia 17 tahun dan/atau sudah menikah sebagaimana amanat UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD (UU 10/2008) serta UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU 42/2008). Artinya, bila tidak tercantum dalam daftar pemilih, WNI yang telah berusia 17 tahun dan/atau sudah menikah tidak dapat menggunakan hak memilihnya. Tidak ada yang tahu secara persis berapa pemilih yang tidak terdaftar dalam Pemilu 2009. Sekadar gambaran, laporan Tim Penyelidikan Pemenuhan Hak Sipil dan Politik dalam Pemilu Legislatif 2009 oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menunjukkan terdapat sekitar 25-40% pemilih kehilangan hak memilih karena tidak masuk daftar pemilih.22 Sebelumnya, hasil audit daftar pemilih Pemilu 2009 yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) terhadap daftar pemilih sementara (DPS) pada Juli-Agustus 2008 menunjukkan sekitar 20,8% masyarakat belum terdaftar.23 Kondisi ini justru bertentangan dengan hakikat hak memilih yang dinilai sebagai hak asasi manusia. Sebagai bagian dari hak asasi manusia, penghilangan hak memilih warga karena tidak terdaftar dalam DPT adalah suatu hal yang serius.

Laporan Tim Penyelidikan Pemenuhan Hak Sipil dan Politik dalam Pemilu Legislatif 2009, Jakarta, Komnas HAM, 2009 23 Audit Daftar Pemilih Pemilu 2009, http://www.lp3es.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=189&Itemid=73, 1 Agustus 2008. Diakses pada tanggal 12 Maret 2011.
22

Laporan Kajian UU Pemilu

43

Dalam konteks Indonesia, jaminan terhadap hak memilih (the right to vote) tidak hanya berasal dari undang-undang, melainkan juga konstitusi. Selain itu, sebagai bagian dari warga bangsa-bangsa di dunia, Indonesia juga mengakui dan telah terikat dengan instrumen-instrumen internasional yang mengatur hak memilih. Beberapa instrumen hukum yang mengatur hak memilih baik secara eksplisit maupun implisit antara lain sebagai berikut: Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) Perubahan Kedua UUD 1945 menentukan bahwa: (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; (3) setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Perkara Nomor 011-017/PUUI/2003 tanggal 24 Februari 2004 antara lain menyebutkan, Menimbang, bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara. Pertimbangan hukum dari MK menggunakan kedua pasal dalam UUD 1945 sebagai dasar untuk menyatakan bahwa hak untuk memilih dan dipilih adalah hak yang dijamin konstitusi. Pada tingkat undang-undang, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur hak memilih dalam Pasal 43 yang menyatakan bahwa, Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Selain tiga macam dasar hukum lokal tersebut, jaminan hak memilih juga terdapat dalam instrumen hukum internasional yang juga berlaku di Indonesia baik karena telah diratifikasi maupun karena instrumen dimaksud merupakan pernyataan yang harus diikuti oleh suatu negara sebagai warga bangsa-bangsa di dunia. Beberapa instrumen hukum internasional tersebut antara lain. Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa: (1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas; (2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya; (3) Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kemauan ini harus dinyatakan dalam pemilihanpemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.

44

Bab 4

Hak memilih juga tercantum dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). Pasal 25 ICCPR menyatakan bahwa, Setiap warga negara juga harus mempunyai hak dan kebebasan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak beralasan: a) Ikut dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas; b) Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang jujur, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan dalam menyatakan kemauan dari para pemilih; c) Memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar persamaan. Dalam Universal Declaration on Democracy terdapat prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung hak warga negara untuk berpartisipasi dalam pemilu yang merupakan kunci untuk menjalankan demokrasi. Elemen kunci dalam menjalankan demokrasi adalah menjalankan pemilu yang adil dan bebas dan membuka kesempatan warga negara untuk mengekspresikan keinginannya. Pemilu harus dilaksanakan berdasarkan asas universal, kesamaan, dan kerahasiaan sehingga semua pemilih dapat memilih wakilnya dengan keadaan bebas, terbuka, dan transparan yang dapat mendukung kompetisi politik. Oleh sebab itu, hak-hak sipil dan hak-hak politik adalah sesuatu yang esensial, dan yang paling khususnya hak atas akses terhadap informasi, mengorganisasikan partai politik, dan menjalankan aktivitas politik.24

Agar warga negara dapat menggunakan hak demokrasi mereka untuk memilih, diperlukan adanya sistem pendaftaran pemilih yang komprehensif dan inklusif. Daftar ini harus dikelola dengan baik untuk menjamin bahwa warga negara yang sudah memenuhi ketentuan untuk memilih telah terdaftar untuk memilih. Daftar pemilih bertujuan untuk menjamin bahwa semua warga negara yang sudah memiliki hak memilih dapat berpartisipasi dalam pemilu; untuk mencegah orang-orang yang tidak punya hak untuk memilih berpartisipasi dalam pemilu; dan untuk mencegah pemberian suara berulang dari orang yang sama. Akurasi daftar pemilih adalah elemen yang penting untuk menjamin bahwa seluruh konsituen yang eligible dapat mempergunakan hak mereka untuk memilih.25 Sebuah daftar pemilih juga berfungsi sebagai alat kontrol legitimasi atas proses pemungutan suara yang digunakan oleh penyelenggara pemilu. Daftar ini juga digunakan dalam pendidikan pemilih serta dapat digunakan oleh partai politik dan calon peserta pemilu untuk membantu mereka dalam kampanye.26 Daftar pemilih berperan penting dalam melegitimasi proses pemilu karena melalui daftar tersebutlah pemilih dapat mengonfirmasi eligibility mereka. Sebaliknya, legitimasi proses pemilu sendiri dapat dipertanyakan apabila ada masalah dengan pendaftaran
Democracy: Its Principles and Achievement, Inter-Parliamentary Union, 1998, http://www.un.org/womenwatch/osagi/wps/publication/Chapter4.htm, diakses pada tanggal 8 April 2011.. 26 Ace Project, http://www.aceproject.org/ace-en/topics/vr/vra/vra01, diakses pada tanggal 7 April 2011.
24 25

Laporan Kajian UU Pemilu

45

pemilih, terutama integritas daftar pemilih. Apabila ditemukan data pemilih yang tidak akurat dan ilegal, kepercayaan pemilih akan runtuh dan hal ini akan sangat berbahaya bagi sistem demokrasi yang bergantung pada partisipasi warga negara. Dengan demikian, kegiatan pendaftaran pemilih adalah satu satu kegiatan penting dalam penyelenggaraan pemilu.27 Kekacauan daftar pemilih pada Pemilu 2009 akhirnya berujung pada pembentukan panitia khusus (pansus) hak angket pelanggaran konstitusional terhadap hak warga negara untuk memilih, atau lebih sering disebut sebagai pansus hak angket DPT yang disahkan pada tanggal 2 Juni 2009 pada sidang paripurna DPR. Tujuan pembentukan hak angket adalah untuk memperbaiki sistem agar masalah penyelenggaraan pemilu, khususnya penetapan penyusunan DPT menjelang pelaksanaan pemilu presiden lebih baik dari pelaksanaan pemilu legislatif sebelumnya dan untuk perbaikan sistem pemilu agar tidak ada lagi keluhan dan pelanggaran HAM terhadap warga negara yang tidak dapat memilih. Banyaknya warga yang tidak dapat memilih dalam Pemilu 2009 lalu menjadi ironi dari pernyataan bahwa hak memilih adalah hak yang dijamin konstitusi. Hasil evaluasi terhadap integritas proses dan hasil penyelenggaraan Pemilu 2009 yang dilakukan oleh Partnership for Governance Reform (Kemitraan), yang dilakukan dengan metode focus group discussion (FGD) di tiga daerah (Surabaya, Aceh, dan Jakarta), mengidentifikasi sejumlah masalah. Pada proses pendaftaran pemilih Pemilu 2009 ditemukan berbagai masalah sebagai berikut:28 Sejumlah warga negara yang berhak memilih tidak mempunyai kartu tanda penduduk (KTP) atau nomor induk kependudukan (NIK), sehingga tidak dapat terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT); Sebagian besar daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) dari pemerintah daerah kabupaten/kota tidak dapat diandalkan dari segi derajat cakupan, kemutakhiran, dan akurasi, tidak hanya karena pemutakhiran data penduduk dilakukan secara pasif melainkan juga karena pemda tidak mengakomodasi DPT pemilu/pemilu kada sebelumnya dalam penyusunan DP4 pemilu berikutnya; KPU tidak mempunyai sikap yang jelas terhadap DP4 dari pemda kabupaten/kota yang mempunyai kualitas yang tidak dapat diandalkan; KPU tidak memiliki parameter yang terukur dalam menerima atau menolak DP4 dari pemda; persyaratan domisili pemilih yang diterapkan antara de jure dan de facto menimbulkan masalah; Pemilih bersikap pasif dalam menanggapi DPS karena merasa sudah tercatat sebagai pemilih karena ikut memberikan suara pada pemilu sebelumnya, karena tidak tersedia informasi yang memadai dan menarik mengenai pemutakhiran daftar pemilih, atau menganggap hal lain lebih penting daripada mengecek daftar pemilih;

27 28

Ibid. Laporan Evaluasi Integritas Proses dan Hasil Pemilu 2009, (Jakarta: Kemitraan).

46

Bab 4

Pembentukan Panitia Pemutakhiran Daftar Pemilih (PPDP) tidak hanya terlambat tetapi juga tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembentukan PPDP; Panitia pemungutan suara (PPS) dan PPDP cenderung bersikap pasif (menunggu di kantor desa/kelurahan) dalam pemutakhiran daftar pemilih; Hanya sedikit partai politik yang meminta salinan DPS kepada PPS, dan PPS hanya akan memberikan salinan DPS kepada partai bila wakil partai mengganti biaya fotokopi; Panitia pengawas pemilu belum terbentuk ketika KPU melaksanakan program pemutakhiran daftar pemilih, sehingga tidak ada pengawasan terhadap pelaksanaan tahap pemutakhiran daftar pemilih, dan; KPU beserta seluruh jajarannya di daerah tidak cukup transparan dalam membuka data pemilih kepada publik.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) dalam laporan hasil pemantauan yang dilakukan di lima provinsi (Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Papua, Sumatra Utara, dan DKI Jakarta) mengidentifikasi empat masalah utama yang terkait daftar pemilih, yaitu:29 (1) masalah penyelenggara pemilu; (2) masalah keterlambatan pembentukan panitia pengawas pemilu (panwaslu); (3) data kependudukan dan penyusunan daftar pemilih; dan (4) pemutakhiran data pemilih dan pemutakhiran daftar pemilih. Laporan Tim Penyelidikan Pemenuhan Hak Sipil dan Politik dalam Pemilu Legislatif 2009 yang dibentuk Komnas HAM menemukan beberapa penyebab ketidakakuratan daftar pemilih, yaitu:30 (1) karut-marutnya sistem administrasi kependudukan Depdagri; (2) tidak adanya kebijakan khusus sistem penganggaran pemilu; (3) ketidakmampuan kelembagaan KPU, dan kelemahan organisasional eksekusi Pemilu Legislatif 2009; dan (4) lemahnya perangkat lembaga pengawas pemilu. Laporan KPU dalam evaluasi pelaksanaan Pemilu 2009 menyebutkan bahwa salah satu masalah dalam Pemilu 2009 yang paling banyak mendapat sorotan adalah mengenai daftar pemilih. Bahkan, selama dan sesudah pemilu berjalan, daftar pemilih menjadi salah satu isu menonjol yang digunakan untuk mengkritik penyelenggara pemilu. Dalam evaluasi Pemilu 2009 yang diadakan oleh KPU terbukti bahwa isu pendaftaran pemilih memuat masalah yang paling banyak dibandingkan isu-isu pemilu lainnya.31 Menurut KPU, masalah daftar pemilih dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) kurang sinkronnya aturan, khususnya mengenai pembentukan PPK dan PPS sehingga terlambat dibentuk; (2) buruknya data awal yang berasal dari data kependudukan yang dihasilkan oleh Departemen Dalam Negeri menjadi akar masalah yang penting dari karut-marutnya daftar pemilih, dan sistem administrasi kependudukan ternyata juga tidak membantu memperjelas masalah ini; (3) terlambatnya petunjuk teknis dalam melakukan pemutakhiran daftar pemilih menyebabkan pelaksana pemilu di daerah
29

30

31

Laporan Hasil Pemantauan Formappi, Akar Masalah Daftar Pemilih Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009, dan Saran Perbaikannya: Temuan Dari Lima Provinsi, Jakarta: Formappi, 11 September 2009. Laporan Tim Penyelidikan Pemenuhan Hak Sipil dan Politik dalam Pemilu Legislatif 2009, (Jakarta: Komnas HAM, 2009). Laporan Evaluasi Pelaksanaan Pemilu 2009, (Jakarta: Komisi Pemilihan Umum, 2010).

Laporan Kajian UU Pemilu

47

kesulitan menjalankan tugas pemutakhiran daftar pemilih; (4) Dari sisi masyarakat, adanya sikap kurang aktif untuk mengecek daftar sementara dan memberikan usulan perbaikan. Banyak yang menyatakan bahwa sumber permasalahan DPT telah ada sejak dari Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4), yakni data kependudukan yang dimiliki oleh pemerintah yang kemudian diserahkan kepada KPU untuk dimutakhirkan dan diolah. Data yang telah bermasalah menjadi semakin bermasalah saat KPU tidak mampu mengolah dengan baik DP4 tersebut. Penyebab kekacauan DPT juga mengemuka dalam focused group discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Centre for Electoral Reform (CETRO) di empat daerah, yaitu Jakarta, Banda Aceh, Pontianak, dan Makassar, yang dihadiri legislator, akademisi, pengamat, dan aktivis LSM.. Permasalahan DPT dilihat oleh beberapa peserta FGD di Aceh dan Pontianak terjadi dikarenakan penanggungjawab tidak jelas dan waktu pemutakhiran yang tidak memadai. Hal ini yang menyebabkan banyaknya pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT dan banyak juga yang tidak memiliki hak memilih masuk di dalam DPT. Peserta di Makassar melihat persoalan DPT muncul dikarenakan adanya ketidaksinkronan antara UU Nomor 23/2006 (Pasal 101) dan UU Nomor 10/2008 (Pasal 33 ayat [2]). Selain itu, DP4 menjadi satu-satunya sumber data, formulir pendaftaran terlalu rumit, jumlah PPDP hanya satu orang per desa/kelurahan dan masa kerja singkat (hanya 3 minggu), pengumuman yang terbatas hanya di masjid dan kantor desa. Peserta FGD Jakarta juga menyoroti bahwa KPU kurang memasukkan data terhadap penyandang cacat sehingga penyandang cacat tidak mendapatkan akses dalam pemilu. Selain apa yang telah dikemukakan, kajian ini menyoroti beberapa hal yang menyebabkan DPT bermasalah, yaitu: A. Tidak Ada Daftar Pemilih Yang Berkelanjutan Kompleksnya masalah data pemilih terjadi karena data yang dibutuhkan oleh KPU tidak cocok dengan sistem manajemen data yang didapat dari Departemen Dalam Negeri (kini Kementerian Dalam Negeri). Pada April 2008, Departemen Dalam Negeri (Depdagri) memberikan data penduduk baik penduduk desa maupun kota kepada KPU sebanyak kurang lebih 70.000 file data dalam format excel. Data tersebut kemudian dikembangkan oleh KPU untuk menyusun daftar pemilih sementara (DPS). Penyusunan DPS juga mengalami kendala yang tidak bisa diatasi oleh KPU karena terbatasnya biaya dan waktu penyusunan. Penyusunan DPT pada Pemilu 2009 tidak seperti cara penyusunan data pemilih pada Pemilu 2004 yang didasarkan pada sistem door-to-door.32 Terkait dengan data yang diberikan pemerintah, Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) mengidentifikasikan hal-hal sebagai berikut:33

Adam Schmidt. Indonesias 2009 Election: Performance Challenges and Negative Precedents dalam buku Problems of Democratisation in Indonesia; Elections, Institutions, and Society. ISEAS. 2010. hal. 107. 33 Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Masalah Data Pemilih dalam Pemilu Nasional Indonesia 2009 (Jakarta: September 2009).
32

48

Bab 4

Data kependudukan dari pemda pada umumnya tidak akurat (misalnya tidak dicantumkannya nomor induk kependudukan (NIK) dan tidak sesuai dengan data yang ada di lapangan. Ketika KPUD meminta NIK dari dinas kependudukan dan catatan sipil di daerah agar dapat dimasukkan ke dalam daftar pemilih, NIK tersebut tidak diberikan karena takut melanggar undang-undang. Sebab, menurut UU 10/2008, proses pemutkahiran data kependudukan menjadi daftar pemilih sudah menjadi tanggung jawab KPU/KPUD, yang menurut UU Nomor 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu bersifat independen. Data kependudukan yang disediakan oleh pemerintah tidak dalam format yang sama (ada yang dalam format pdf, excel, dan juga word). Akibatnya, ketika dilakukan proses konversi di tingkat PPS dan KPUD kabupaten/kota muncul permasalahan besar karena begitu beragamnya ketidakkompatibelan format data. Sumber daya manusia yang diberi tanggung jawab untuk melaksanakan pemutakhiran data penduduk dan pemilih di daerah-daerah umumnya masih rendah. Petugas pendaftaran data pemilih tidak melakukan pendataan dari rumahke rumah dan banyak di antaranya yang tidak melibatkan RT/RW (contoh kasus di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan). Rentang waktu yang disediakan untuk melakukan pemutkahiran data pemilih oleh PPS terlalu singkat, hanya tiga bulan, sedangkan rentang waktu bagi PPDP untuk menyelesaikan tugasnya hanya satu bulan. Hal ini diperparah lagi karena data kependudukan yang diperoleh dari pemerintah daerah tidak akurat dan penyampaiannya kepada KPU juga tidak tepat waktu. Kesadaraan warga untuk mengecek dirinya sudah terdaftar dalam daftar pemilih ataukah belum masih rendah.

B. Pembagian Tugas dan Tanggung Jawab Antara Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu Tidak Jelas Pada Pemilu 2009, pemerintah menjadi sumber data untuk data pemilih. Kemudian data tersebut diolah dan dimutakhirkan oleh KPU untuk menjadi daftar pemilih. Dalam proses pengolahan data ini sering terjadi saling lempar tanggung jawab antara pemerintah dan KPU. KPU merasa bahwa data yang diberikan dari pemerintah kualitasnya buruk, dan menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memperbaikinya.34 Sebaliknya, pemerintah beranggapan bahwa sudah menjadi tugas KPU untuk memutakhirkan data yang telah mereka berikan.

34

Endang Sulastri, anggota KPU, dalam FGD CETRO: Perubahan UU Pemilu: Reformasi Lanjutan Pemilu Indonesia., Hotel Shantika, Jakarta, 23 Februari 2011.

Laporan Kajian UU Pemilu

49

C.

Waktu Yang Terbatas Pemilih memang dianjurkan untuk melakukan pengecekan apakah dirinya sudah masuk ke dalam daftar pemilih atau belum. Namun, penyedia data tetaplah dari penyelenggara pemilu. Data kependudukan yang menjadi cikalbakal data pemilih seharusnya sudah diserahkan ke KPU satu tahun atau 12 bulan sebelum hari pemungutan suara. Hal ini tercantum dalam Pasal 32 ayat (2) UU 10/2008. Artinya, data kependudukan sudah harus diserahkan kepada KPU pada April 2008, namun undang-undang yang mengatur hal tersebut baru diundangkan pada tanggal 28 Maret 2008. Hal inilah antara lain yang menyebabkan pengadaan data kependudukan menimbulkan banyak masalah. Permasalahan yang menonjol antara lain WNI yang memiliki hak pilih tidak terdaftar namanya di dalam daftar pemilih. Sementara ada yang seharusnya belum terdaftar, tetapi sudah didaftar (WNI di bawah 17 tahun); seharusnya sudah tidak lagi terdaftar (WNI yang telah meninggal dunia); atau yang tidak boleh didaftar (anggota TNI/Polri). Hal lain yang menonjol adalah pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali, yang kemudian dikenal sebagai pemilih ganda.

D.

Kemampuan Petugas Lapangan Yang Tidak Memadai Petugas yang tidak memiliki keterampilan menjadi salah satu permasalahan dalam Pemilu 2009. Tidak seperti pada Pemilu 2004, Pemilu 2009 tidak melaksanakan pelatihan standar kepada staf penyelenggara pemilu. Hal ini disebabkan lambatnya pembuatan undang-undang pemilu sehingga tidak ada waktu untuk pembuatan modul pelatihan. Kurangnya pelatihan kepada staf penyelenggara pemilu tidak hanya membuka kesalahan administratif, melainkan juga melemahkan integritas proses penyelenggaraan pemilu secara keseluruhan.35 Sebagai contoh, petugas yang tidak memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugasnya telah menyebabkan kesalahan rekapitulasi DPT Pemilu Legislatif 2009. Hal ini diakui oleh Ketua Kelompok Kerja Pemutakhiran Data Pemilih KPU Sri Nuryanti saat penetapan DPT tanggal 28 November 2008. Ia mengatakan bahwa penurunan jumlah pemilih terjadi karena kesalahan petugas KPU kabupaten/kota dalam memasukkan data. Penetapan DPT pertama kali dilakukan pada tanggal 24 Oktober 2008 dengan jumlah pemilih 170.022.239 orang. Penetapan dilakukan kedua kalinya pada tanggal 28 November 2008 dengan jumlah pemilih mengalami peningkatan menjadi sebesar 171.068.667 orang.36

Adam Schmidt. Indonesias 2009 Election: Performance Challenges and Negative Precedents dalam Buku Problems of Democratisation in Indonsia. Elections, Institutions, and Society, ISEAS, 2010, p 115 36 http://www.pemiluindonesia.com/berita-pemilu/pemilu-2009-jumlah-pemilih-171068667-orang.html
35

50

Bab 4

E.

Tidak Adanya Sistem Pendaftaran Pemilih yang Jelas dan Dapat Diakses Pemilih UU 10/2008 mengindikasikan bahwa data kependudukan yang dimiliki oleh pemerintah merupakan bahan dasar penyusunan daftar pemilih tetap oleh KPU. Yang dimaksudkan dengan data kependudukan adalah data penduduk dan data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4). Pemutakhiran data daftar pemilih dilakukan berdasarkan DP4. Sistem yang berjalan seharusnya adalah sebagai berikut. DP4 diserahkan pemerintah kepada KPU. KPU melakukan pemutakhiran data dengan dibantu oleh petugas pemutakhiran data pemilih yang terdiri atas perangkat desa/kelurahan, rukun warga, rukun tetangga atau sebutan lain, dan warga masyarakat; Daftar pemilih sementara (DPS) diumumkan selama 7 (tujuh) hari oleh PPS untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat. PPS wajib memperbaiki daftar pemilih sementara berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan peserta pemilu; DPS hasil perbaikan diumumkan kembali oleh PPS selama 3 (tiga) hari untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan peserta pemilu. PPS wajib memperbaiki DPS berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan peserta pemilu; DPS disampaikan PPS ke PPK dan KPU kab/kota menetapkan DPT berdasarkan DPS dari PPS. Idealnya, DP4 sebagai data awal dari pemerintah harus menjadi data yang bersih.

Kemudian data yang telah bersih tersebut akan menjadi semakin mutakhir dengan pemutakhiran. Ternyata, fakta yang terjadi tidak seperti itu. DP4 yang buruk dan kualitas pemutakhiran yang juga tidak baik menjadikan sistem pendataan daftar pemilih menjadi tidak jelas. Akhirnya terjadi saling tuding antara pemerintah dan KPU. KPU merasa pemutakhiran data tidak maksimal dikarenakan DP4 yang sangat buruk. Di sisi lain pemerintah merasa bahwa pemutakhiran data yang tidak beres di KPU yang menjadi penyebab buruknya DPT Pemilu 2009. Sistem pendataan daftar pemilih yang baik akan menghasilkan sebuah daftar pemilih yang juga baik. Daftar pemilih yang baik adalah daftar yang memungkinkan seluruh orang yang memiliki hak untuk memilih ada di dalamnya dan memiliki kesempatan hanya satu kali untuk memilih serta menganut prinsip kesempatan yang sama untuk memilih. Sistem yang akan digunakan harus mencerminkan dua hal, yaitu sesuai dengan kondisi lokal dan masuk akal serta sesuai dengan kondisi keuangan dan administrasinya. Sebelum membentuk daftar pemilih terdapat beberapa pertanyaan yang harus dijawab terlebih dulu untuk menentukkan sistem apa yang akan dipakai, seperti apakah daftar harus dibuat yang baru keseluruhan ataukah memperbaiki daftar yang sudah ada; bagaimana cara pendataan, apakah menggunakan kartu

Laporan Kajian UU Pemilu

51

identitas? Jika iya, informasi apa saja yang harus terdapat dalam kartu tersebut; apakah proses pendaftaran dilakukan secara sukarela ataukah merupakan kewajiban; apa saja yang dapat dilakukan oleh teknologi, dan lain-lain.37 Pertanyaan-pertanyaan tersebut ternyata tidak dapat dijawab dengan baik dengan sistem pendaftaran pemilih pada Pemilu 2009. F. Kelemahan Penyelenggara Pemilu Tidak bisa dimungkiri bahwa banyaknya permasalah yang terjadi pada Pemilu 2009 sebagian disebabkan karena faktor penyelenggara pemilu di tingkat pusat (KPU). Rekrutmen anggota KPU pada tahun 2007 ditengarai banyak persoalan. Mereka yang dinilai lebih berkualitas justru tidak terpilih. Mereka-mereka yang terpilih umumnya lebih ditentukan karena kedekatan dengan kelompokkelompok baik yang ada di panitia seleksi maupun di DPR. Sistem meritokrasi sama sekali tidak jalan. Terkait dengan hal tersebut, Formappi mengidentifikasikan antara lain hal-hal sebagai berikut: 38 Penyelenggara pemilu pada Pemilu 2009 dianggap bermasalah karena proses rekrutmennya yang juga tidak mendasarkan kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang pemilu. Anggota tim seleksinya pun ada yang diusulkan oleh presiden atau kepala daerah yang banyak di antaranya memiliki jabatan di partai politik. Pembentukan aparat penyelenggara pemilu di tingkat daerah, mulai KPU kab/kota, panitia pemilih kecamatan (PPK), panitia pemungutan suara (PPS) di tingkat kelurahan/desa, hingga kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) dinilai terlambat. Keterlambatan pembentukan aparatur di tingkat bawah ini berimplikasi negatif karena sempitnya waktu yang tersedia untuk menyosialisasikan tugas, wewenang, dan tanggung jawab mereka sebagai penyelenggara pemilu, serta tata cara pemungutan dan penghitungan suara. Keterlambatan ini juga berimplikasi pada minimnya waktu penyosialisasian tahap-tahap pemilu dan tata cara memilih kepada masyarakat. Akibatnya, masyarakat kurang memahami apa dan bagaimana tehap-tahap pemilu berlangsung (termasuk tahaptahap proses pendaftaran dan penyusunan daftar pemilih). Penguasaan terhadap teknologi informasi intuk input data pemilih oleh aparat penyelenggara di PPS juga kurang memadai. Hal ini masih diperparah dengan minimnya dukungan dana (kasus Papua dengan kondisi geografis yang ekstrem hanya diberikan dukungan dana sebesar Rp. 250.000 per bulan) serta rendahnya kualitas sarana dan buruknya prasarana, antara lain komputer. Sementara honor untuk para petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP) hanya sebesar Rp. 300.000.

http://www.aceproject.org/ace-en/topics/vr/vr10?toc Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Masalah Data Pemilih dalam Pemilu Nasional Indonesia 2009, September 2009.
37 38

52

Bab 4

Keterlambatan serupa juga dialami pada pembentukan panitia pengawas pemilu, mulai dari panwaslu provinsi, panwaslu kab/kota, panwaslu kecamatan, hingga panitia pengawas lapangan (PPL) di tingkat desa/kelurahan. Keterlambatan ini berimplikasi negatif pada tidak optimalnya pelaksanaan tugas panwas dalam mengawasi proses pendaftaran dan penyusunan daftar pemilih. Hal ini diperburuk lagi karena sering panwas pun sangat sulit untuk mendapatkan data-data pemilih (DPS) dari penyelenggara pemilu. Dalam banyak kasus, panwas baru dapat akses dan meneliti pemilih setelah ditetapkan menjadi DPT.

Rekomendasi
Kendati soal daftar pemilih telah sangat mengancam integritas Pemilu 2009, upaya yang dilakukan untuk memperbaiki daftar pemilih sangat terbatas. Mengutip Peter Erben, Diskusi tentang reformasi pemilu tampaknya terpusat pada bagaimana mengutak-atik sistem pemilu untuk dapat membatasi jumlah partai yang memiliki akses untuk membuat legislasi, bagaimana membatasi jumlah partai yang berkuasa, dan juga mengenai KPU itu sendiri. Kenyataan bahwa tidak ada sebuah negara pun yang dapat melaksanakan pemilu yang berkualitas tanpa memiliki daftar pemilih yang berkualitas, hanya mendapatkan perhatian yang sangat terbatas.39 Satu pandangan yang kuat perlu diperhatikan. Dalam upaya terus memperbaiki pemilu di Indonesia dengan berupaya memperbaiki beragam permasalahan yang ada, maka perhatian terhadap perbaikan daftar pemilih perlu mendapat porsi penekanan yang besar. Dalam rangka memperbaiki daftar pemilih di masa depan, Hasyim Asyari dari dari Partnership for Govenance Reform (Kemitraan) merekomendasikan hal-hal sebagai berikut. Pertama, perlunya dianut sistem pendaftaran pemilih berkelanjutan (continuous register or list) dalam setiap undang-undang yang mengatur tentang pemilu (pemilu legislatif, pilpres dan pilkada). Kedua, perlunya penguatan kelembagaan KPU sebagai penyelenggara pendaftaran pemilih karena selama ini dalam struktur organisasi Sekretariat Jenderal KPU (Peraturan KPU No. 06 Tahun 2008) tidak ada bagian yang khusus menangani daftar pemilih. Ketiga, tersedianya sumber data yang memadai. Keempat, tersedianya anggaran khusus pemilu. Kelima, partisipasi pemilih dan peserta pemilu.40 Berdasarkan masalah-masalah yang disoroti pada bagian terdahulu, kajian ini menawarkan beberapa alternatif solusi sebagai berikut.

Peter Erben, Beberapa Gagasan untuk Penguatan Pendaftaran Pemilih di Indoensia, makalah disampaikan dalam Seminar Internasional tentang Pendaftaran Pemilih, Jakarta, 30 Maret 2011. 40 Selengkapnya lihat Hasyim Asyari, Pendaftaran Pemilih di Indonesia, makalah pada Seminar Internasional Pendaftaran Pemilih di Indonesia, diselenggarakan oleh E-MDP UNDP, Hotel Mandarin Oriental, Jakarta, Rabu, 30 Maret 2011.
39

Laporan Kajian UU Pemilu

53

1.

Syarat untuk memilih: 17 tahun pada tahun pemilu Baik UU 10/2008 maupun UU 42/2008 menyatakan bahwa yang berhak memilih adalah WNI yang telah berusia 17 tahun dan/atau sudah kawin pada saat pemilihan (pemungutan suara). Aturan ini sudah dipakai di Indonesia dari pemilu ke pemilu. Namun, kajian ini melihat bahwa penentuan berusia 17 tahun dan/atau sudah kawin pada saat pemungutan suara dapat menimbulkan persoalan mengingat dalam satu tahun dilaksanakan lebih dari satu kali pemilu. Bila usia 17 tahun ditentukan pada saat pemungutan suara, daftar pemilih harus selalu dimutakhirkan untuk pemilu lainnya dalam tahun yang sama, atau bila jadwal pelaksanaan pemilu itu sendiri digeser waktunya. Misalnya, Pemilu 2009 pada awalnya ditetapkan pada tanggal 5 April 2009, tetapi kemudian digeser menjadi tanggal 9 April 2009. Sudah tentu mereka yang berusia 17 tahun pada tanggal 6 hingga 9 April harus pula didaftar. Padahal, sebelumnya mereka tidak didaftar karena belum berusia 17 tahun. Demikian pula untuk pilpres, data pun juga harus dimutakhirkan setelah pemilu legislatif. Pada tahun 2009, pemilu legislatif dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009 sementara pilpres pada tanggal 8 Juli 2009. Sudah tentu mereka yang berusia 17 tahun setelah tanggal 9 April hingga 8 Juli 2009 harus didaftarkan sebagai pemilih. Itulah sebabnya, kajian ini menawarkan agar usia 17 tahun tidak dihitung pada saat pemungutan suara, melainkan pada tahun pemilu. Misalnya pemilu berikutnya dilaksanakan pada tahun 2014 maka siapa saja WNI yang akan mencapai usia 17 tahun pada tahun ini didaftar sebagai pemilih. Dengan demikian, sejak jauh-jauh hari sudah dapat dipastikan siapa saja WNI yang akan memilih pada Pemilu 2014 walaupun tanggal pelaksanaan pemilu baik pemilu legislatif maupun pilpres belum ditentukan. Hal ini jelas akan mempermudah penyusunan daftar pemilih oleh KPU/KPUD. Kajian ini juga merekomendasikan agar frase dan/atau sudah kawin dihilangkan. Syarat untuk memilih sebaiknya hanya menggunakan batas usia. Siapa saja yang sudah mencapai 17 tahun pada tahun pemilihan berhak untuk memilih, tidak peduli apakah yang bersangkutan sudah/pernah kawin atau belum. Penghilangan syarat kawin ini juga dapat menimbulkan kesan bahwa undang-undang yang mengatur pemilu tidak pro terhadap perkawinan muda (di bawah umur). Alangkah baiknya juga bila para anggota TNI/Polri diberikan hak untuk memilih agar tidak ada persoalan lagi dengan didaftarkannya anggota TNI/Polri yang masih aktif, atau tidak didaftarkannya para anggota TNI/Polri yang telah pensiun. Posisi anggota TNI/Polri sesungguhnya kurang lebih sama dengan pegawai negeri sipil (PNS) yang dilarang berpolitik dengan menjadi anggota parpol, tetapi mereka tetap diberikan hak untuk memilih dalam pemilu karena merupakan hak konstitusional setiap warga negara. Dengan penghapusan syarat sudah/pernah kawin untuk memilih, penghapusan larangan memilih bagi anggota TNI/Polri, dan syarat memilih yang hanya didasarkan pada usia 17 tahun dalam tahun pemilihan, daftar

54

Bab 4

pemilih lebih mudah dibuat dan ditentukan sejak jauh-jauh hari. Kesalahankesalahan dalam input data pemilih dapat diminimalisasi. 2. KPU Bertanggung Jawab Sepenuhnya Terhadap Tersedianya Data Pemilih Saling lempar tanggung jawab terhadap karut-marut data pemilih pada Pemilu 2009 adalah preseden buruk yang harus segera diakhiri. Undang-undang sebaiknya memberikan penegasan bahwa KPU bertanggung jawab sepenuhnya terhadap tersedianya data pemilih. KPU-lah yang bertanggung jawab terhadap pembuatan dan pemutakhiran terhadap data pemilih, termasuk menyimpan data tersebut untuk digunakan pada pemilu berikutnya. Sedangkan pemerintah bertanggung jawab atas tersedianya data kependudukan secara umum, yang memang tugas dari pemerintah di mana pun di dunia. Data kependudukan dari pemerintah dapat digunakan sebagai bahan untuk memutakhirkan data pemilih, tetapi bukan satu-satunya sumber data. Adapun langkah-langkah dalam pembuatan dan pemutakhiran data pemilih oleh KPU adalah sebagai berikut: KPU menggunakan data pemilih pemilu terakhir sebagai basis data pemilih. Dalam hal ini adalah data pemilu Pilpres 2009. Dengan demikian, KPU tidak bergerak dari nol. Data pemilih tersebut diberikan kepada KPU kabupaten/kota untuk dimutakhirkan setiap saat. Jadi, pemutakhiran tidak dilakukan menjelang pemilu saja. Pemutakhiran harus menjadi kegiatan yang rutin dari KPU kabupaten/kota. Sumber pemutakhiran data pemilih di kabupaten/kota antara lain data pemilih pemilukada terakhir. KPU dan KPU kabupaten/kota harus mendorong pemilih yang belum terdaftar pada pemilu terakhir untuk mendaftarkan diri. Imbauan juga diberikan kepada partai politik untuk mendorong pemilih yang belum terdaftar, terutama anggota parpol yang bersangkutan, agar mendaftarkan diri. Pendaftaran dapat dilakukan langsung kepada KPU kabupaten/kota setempat. Untuk itu KPU kabupaten/kota harus membuka akses seluasluasnya bagi masyarakat untuk mendaftarkan diri. Hasil pemutakhiran data pemilih oleh KPU kabupaten/kota sepanjang tahun diserahkan kepada KPU pada akhir tahun. Data-data yang diserahkan KPU kabupaten/kota seluruh Indonesia diteliti kembali oleh KPU dan kemudian diumumkan pada awal tahun berikutnya sebagai data pemilih sementara (DPS). Dengan demikian, pengumuman DPS dilakukan setiap awal tahun, termasuk pada awal tahun pemilu. Mereka yang belum tercantum dalam DPS yang diumumkan KPU pada awal tahun dapat mendaftarkan diri kepada KPU kabupaten/kota agar didaftar sebagai pemilih. KPU kabupaten/kota akan mendaftar mereka dalam rangka pemutakhiran data pemilih yang memang diadakan setiap saat.

Laporan Kajian UU Pemilu

55

Satu tahun menjelang pemilu, pemerintah menyerahkan data DP4 kepada KPU sebagai bahan pemutakhiran khusus menjelang pemilu. Data dari pemerintah tersebut digunakan KPU kabupaten/kota untuk pengecekan terakhir terhadap data pemilih yang telah mereka mutakhirkan setiap saat. Pemutakhiran juga dilakukan secara door-to-door untuk memastikan semua pemilih terdaftar dengan bantuan unit-unit pemerintahan terkecil (RT/RW, kepala dusun). Dengan demikian, pada pemutakhiran akhir, KPU kabupaten/kota dibekali data dari KPU kabupaten/kota sendiri (yaitu data yang sudah dimutakhirkan setiap saat), data DP4 dari pemerintah, dan data lapangan dengan bantuan unit-unit pemerintahan terkecil. KPU kabupaten/kota menyerahkan kembali data pemilih yang telah dimutakhirkan untuk terakhir kali tersebut kepada KPU. KPU kemudian meneliti kembali data tersebut dan kemudian mengumumkannya sebagai daftar pemilih tetap (DPT) pada awal tahun pada tahun pemilu yang bersangkutan. DPT itulah yang digunakan sebagai dasar untuk pengadaan logistik pemilu. Jika ada pemilih yang belum juga terdaftar setelah DPT diumumkan, mereka tetap bisa mendaftar dan dimasukkan ke dalam DPT tambahan hingga 30 hari menjelang pemilu untuk mengantisipasi perlunya tambahan logistik pemilu, terutama surat suara. Jika setelah 30 hari menjelang pemungutan suara masih ada pemilih yang belum terdaftar, pemilih yang bersangkutan tetap dapat memilih pada hari pemungutan suara dengan menunjukkan KTP atau paspor dengan terlebih dulu mendaftar pada petugas KPPS. Mereka baru dapat memilih satu jam sebelum pemungutan suara berakhir. Sebaiknya tidak perlu ada ketentuan yang menyebutkan bahwa mereka yang memilih dengan menggunakan KTP harus memilih di wilayah RW di mana KTP dikeluarkan. Ketentuan ini sama artinya dengan menghilangkan hak memilih warga negara. DPT, DPT tambahan, dan pemilih yang memilih menggunakan KTP atau paspor menjadi data awal daftar pemilih untuk pemilihan presiden/wakil presiden. Kepada masyarakat yang belum terdaftar sebagai pemilih (melalui DPT, DPT tambahan, atau mendaftar langsung ke petugas KPPS) tetap diberikan kesempatan untuk mendaftarkan diri. KPU/KPUD tetap diberikan tanggung jawab untuk memasukkan pemilih yang belum terdaftar tersebut ke dalam DPT pilpres. Bila setelah DPT pilpres diumumkan, tetap ada pemilih yang belum terdaftar dan ingin memilih, ketentuan seperti dalam pemilu legislatif juga berlaku untuk mereka. Pertama-tama, mereka diberi kesempatan untuk mendaftar hingga 30 hari menjelang pemilu, kemudian bila ada yang masih belum terdaftar mereka tetap diberi kesempatan untuk memilih satu jam sebelum pemungutan suara berakhir dengan terlebih dulu mendaftar ke petugas KPPS.

Gagasan agar KPU bertanggung jawab sepenuhnya terhadap data pemilih, sekaligus memelihara dan memutakhirkannya, didukung sebagian besar peserta

56

Bab 4

FGD yang diadakan CETRO di Jakarta, Banda Aceh, Pontianak, dan Makassar. Dari tabel di bawah dapat terlihat bahwa 31 peserta setuju dan 27 sangat setuju. Hanya 12 peserta FGD yang menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju.
Table 17 : KPU Membuat, Memutakhirkan dan Memelihara Data Pemilih Pendapat Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Setuju Sangat Setuju Blank Total Jakarta 1 2 8 2 13 Aceh 1 2 8 6 17 Pontianak 2 5 7 14 Makassar 2 1 4 8 15 Jakarta 2011 1 6 4 11 Total 4 8 31 27 0 70

3.

Data Pemilih Adalah Data Yang Berkelanjutan Dengan proses pemutakhiran yang dilakukan setiap saat maka data pemilih harus menjadi data yang berkelanjutan. Berdasarkan skala periode waktu, sistem pendaftaran pemilih terdiri dari tiga jenis, yaitu periodic list, continuous register or list, dan civil registry.41 Sistem periodic list yaitu sistem pendaftaran pemilih hanya untuk pemilu tertentu saja. Sistem continuous register or list adalah sistem pendaftaran pemilih untuk pemilu yang berkelanjutan. Sistem civil registry adalah pendaftaran pemilih berdasarkan pencatatan sipil (penduduk) untuk mendata nama, alamat, kewarganegaraan, umur dan nomor identitas, dengan kata lain pada sistem ini data kependudukan sebagai dasar daftar pemilih dibutuhkan data-sharing agreements. Dengan demikian, data pemilih untuk pemilu-pemilu selanjutnya haruslah data yang berkelanjutan dan sistem pendaftarannya adalah continuous register/ list. Dengan data yang berkelanjutan, data dari pemerintah berupa DP4 hanyalah data pembanding. KPU dapat menjadikan data tersebut sebagai referensi dalam pemutakhiran data pemilih yang mereka telah punyai. Data pemilih inilah yang akan digunakan untuk pemilu-pemilu selanjutnya. Dengan data pemilih yang berkelanjutan diharapkan tidak ada lagi pemilih yang tidak terdaftar. KPU pun tidak dibuat sibuk menjelang pemilu karena semua tahapan pemilu menumpuk pada saat yang bersamaan.

41ACE-Electoral

Knowledge Network, Overview of Voter Registration, dan Guiding Principles of Voter

Registration.

Laporan Kajian UU Pemilu

57

Negara seperti Australia menggunakan sistem continous register/list yang dikelola oleh AEC (Australian Electoral Commission).42 Pemilih di Australia dapat mendaftar untuk memilih kapan saja, karena daftar pemilih dimutakhirkan setiap hari. Tanggung jawab untuk mengembangkan, mengelola, dan menjaga keamanan dan integritas daftar pemilih melalui sistem Roll Management System (RMANS) yang terkomputerisasi, berada di bawah unit manajemen pada Divisi Operasi Pemilu di kantor AEC pusat. Namun demikian, seluruh proses pendaftaran dilakukan di kantor AEC lokal di tiap-tiap daerah pemilihan untuk pemilu federal. Daftar pemilih disimpan hanya dalam format elektronik oleh AEC, daftar dalam bentuk hard copy tidak tersedia. AEC menyediakan kopi daftar pemilih elektronik kepada anggota parlemen nasional dan partai politik yang sudah terdaftar pada tingkat federal secara reguler. Publik juga dapat melihat daftar ini di kantor AEC di setiap daerah pemilihan. Selain itu, pemilih juga dapat memverifikasi detail pendaftaran mereka secara online melalui website AEC. Filipina adalah salah satu negara yang mengubah sistem pendaftaran pemilunya dari sistem periodik menjadi pendaftaran pemilih permanen pada tahun 1996. Untuk memfasilitasi transisi dari periodik ke permanen, pada tahun 1997 diselenggarakan pendaftaran pemilih nasional dan perubahan peta pemilih.43 4. KPU Membangun Data Pemilih Yang Dapat Diakses (Accessible) Setiap Saat Kemajuan dan menyebarnya penggunaan teknologi, terutama internet, harus dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh KPU untuk membangun suatu sistem pendaftaran pemilih yang dapat diakses oleh pemilih setiap saat. Pemilih hendaknya dapat mengecek apakah namanya sudah tercantum dalam daftar pemilih di KPU atau tidak. Bila namanya belum tercantum, pemilih yang bersangkutan dapat langsung mendaftarkan namanya ke KPU kabupaten/kota setempat. Harus dimungkinkan juga pendaftaran dapat dilakukan melalui online, selain secara manual. Dalam kaitan dengan hal ini penting diselesaikan terlebih dulu proyek pemerintah yang saat ini sedang berjalan untuk pemberian nomor induk kependudukan (NIK) dan pembuatan KTP elektronik. Dengan mengisi NIK di website data pemilih yang dibangun KPU, pemilih dapat mengecek apakah namanya sudah tercantum atau belum dalam daftar pemilih. Dengan menjadikan data pemilih sebagai data yang berkelanjutan dan keharusan membangun suatu sistem pendaftaran pemilih yang dapat diakses oleh pemilih, pembuatan data pemilih adalah kegiatan yang terus-menerus, tidak terbatas pada musim pemilu saja. Kondisi ini harus direspons dengan
http://aceproject.org/ero-en/regions/pacific/AU/australia-voter-registration-casestudy.pdf/view?searchterm=voter%20registration%20australia, diakses pada tanggal 14 April 2011, pukul 6.54pm. 43 http://aceproject.org/ero-en/regions/asia/PH/philippines-voter-registration-casestudy.pdf/view?searchterm=voter%20registration%20philippines, diakses pada 14 April 2011, pukul 7.19pm.
42

58

Bab 4

membentuk biro di KPU yang khusus menangani daftar pemilih, sementara di KPU kabupaten/kota dibentuk pula bagian yang juga secara khusus menangani daftar pemilih. Berdasarkan uraian-uraian terdahulu, kajian ini merekomendasikan hal-hal sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Syarat untuk dapat memilih: berusia 17 tahun pada tahun pemilu; Data pemilih dibuat dan dipelihara oleh KPU secara berkelanjutan; Data pemilih untuk pemilu berikutnya didapat dari data pemilu terakhir yang dikelola dan dimutakhirkan; Pemerintah menyediakan data DP4 yang digunakan sebagai referensi untuk memutakhirkan data pemilih 12 bulan sebelum pemilu dilaksanakan; KPU membuka akses seluas-luasnya agar pemilih dapat mengecek apakah sudah tercantum dalam daftar pemilih atau belum; Pemutakhiran data pemilih menjadi kewajiban KPU kabupaten/kota setiap saat; KPU kabupaten/kota melaporkan data pemilih ke KPU setiap akhir tahun, kemudian data ini digunakan oleh KPU pusat untuk dipublikasikan kepada pemilih; Satu tahun menjelang pemilu, KPU dan KPU kabupaten/kota melakukan pemutakhiran data pemilih dengan melibatkan unit pemerintahan terkcil (kepala dusun/ RT/ RW); Dibuat biro khusus di KPU untuk menangani data pemilih;

8.

9.

10. Dalam kaitannya dengan tanggung jawab membuat dan memutkahirkan data pemilih, KPU membangun sistem daftar pemilih yang terintegrasi secara online dengan KPU kabupaten/kota; 11. Daftar pemilih yang ditetapkan pada awal tahun pemilu digunakan untuk kebutuhan logistik pemilu, terutama pengadaan surat suara; 12. Pemilih yang belum terdaftar dalam DPT dapat mendaftar dalam DPT tambahan dengan cara mendaftar ke KPU kabupaten/kota hingga 30 hari sebelum hari pemungutan suara; 13. Pemilih yang belum terdaftar dalam daftar pemilih dan daftar pemilih tambahan tetap dapat memilih dengan menggunakan KTP atau paspor satu jam sebelum pemungutan suara berakhir dengan terlebih

Laporan Kajian UU Pemilu

59

Table 18 : Usul Perubahan Pasal Terkait Daftar Pemilih dalam UU 10/200844


No 1 Isu Data Kependudukan Bunyi Pasal Pasal 32 ayat (1): Pemerintah dan pemerintah daerah menyiapkan data kependudukan Pasal 32 ayat (2): Data kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah tersedia dan diserahkan kepada KPU paling lambat 12 (dua belas) bulan sebelum hari/tanggal pemungutan suara 2 Daftar Pemilih Pasal 33 ayat (1): KPU kabupaten/kota menggunakan kependudukan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih data Usul Perubahan Tetap, dengan catatan bahwa data kependudukan dimaksud digunakan untuk pemutakhiran data pemilih yang sudah ada di KPU. Tetap.

KPU kabupaten/kota menggunakan data kependudukan sebagai bahan pemutakhiran daftar pemilih Tetap

Pasal 33 ayat (2): Daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak memilih Pasal 33 ayat (3): Dalam penyusunan daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU kabupaten/kota dibantu oleh PPS Pasal 33 ayat (4): Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan daftar pemilih diatur dalam peraturan KPU 3 Pemutakhiran data pemilih Pasal 34 ayat (1): KPU kabupaten/kota melakukan pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dari Pemerintah dan pemerintah daerah Pasal 34 ayat (2): Pemutakhiran data pemilih diselesaikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah diterimanya data kependudukan Pasal 34 ayat (3): Dalam pemutakhiran kabupaten/kota dibantu oleh PPS dan PPK data pemilih, KPU

Dihapus, karena data pemilih sudah tersedia, tinggal dimutakhirkan.

Tetap

Tetap

Pemutakhiran data pemilih diselesaikan paling lama pada akhir tahun.

Tetap

44

UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah

60

Bab 4

No

Isu

Bunyi Pasal Pasal 34 ayat (4): Hasil pemutakhiran data pemilih digunakan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih sementara Pasal 35 ayat (1): Dalam pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3), PPS dibantu oleh petugas pemutakhiran data pemilih yang terdiri atas perangkat desa/kelurahan, rukun warga, rukun tetangga atau sebutan lain, dan warga masyarakat Pasal 35 ayat (2): Petugas pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh PPS

Usul Perubahan Hasil pemutakhiran data pemilih diumumkan sebagai daftar pemilih tetap pada awal tahun pemilu. Tetap.

Tetap.

Penyusunan daftar pemilih sementara

Pasal 36 ayat (1): Daftar pemilih sementara disusun oleh PPS berbasis rukun tetangga atau sebutan lain Pasal 36 ayat (2): Daftar pemilih sementara disusun paling lambat 1 (satu) bulan sejak berakhirnya pemutakhiran data pemilih Pasal 36 ayat (3): Daftar pemilih sementara diumumkan selama 7 (tujuh) hari oleh PPS untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat pasal 36 ayat (4): Daftar pemilih sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa salinannya harus diberikan oleh PPS kepada yang mewakili Peserta Pemilu di tingkat desa/kelurahan sebagai bahan untuk mendapatkan masukan dan tanggapan Pasal 36 ayat (5): Masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diterima PPS paling lama 14 (empat belas) hari sejak hari pertama daftar pemilih sementara diumumkan Pasal 36 ayat (6): PPS wajib memperbaiki daftar pemilih sementara berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu Pasal 37 ayat (1): Daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6) diumumkan kembali oleh PPS selama

Dihapus, karena DPS diumumkan setiap awal tahun. Khusus untuk awal tahun pemilu menjadi DPT. Dihapus.

Dihapus. Dengan data yang bisa diakses, masyarakat dapat mengecek apakah sudah tercantum dalam daftar pemilih atau tidak.

Dihapus, parpol dapat mengecek melalui website KPU para pemilih yang belum terdaftar, terutama pemilih yang menjadi anggota partai yang bersangkutan.

Dihapus

Laporan Kajian UU Pemilu

61

No

Isu 3 (tiga) hari untuk

Bunyi Pasal

Usul Perubahan

mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu Pasal 37 ayat (2): PPS wajib melakukan perbaikan terhadap daftar pemilih sementara hasil perbaikan berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) hari setelah berakhirnya pengumuman. Pasal 37 ayat (3): Daftar pemilih sementara hasil perbaikan akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh PPS kepada KPU kabupaten/kota melalui PPK untuk menyusun daftar pemilih tetap Pasal 37 ayat (4): PPS harus memberikan salinan daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada yang mewakili Peserta Pemilu di tingkat desa/kelurahan 5 Penyusunan daftar pemilih tetap Pasal 38 ayat (1): KPU kabupaten/kota menetapkan daftar pemilih tetap berdasarkan daftar pemilih sementara hasil perbaikan dari PPS Pasal 38 ayat (2): Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam besaran satuan TPS Pasal 38 ayat (3): Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling lama 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya daftar pemilih sementara hasil perbaikan dari PPS Pasal 38 ayat (4): Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh KPU kabupaten/kota kepada KPU, KPU provinsi, PPK, dan PPS Pasal 38 ayat (5): KPU kabupaten/kota harus memberikan salinan daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Partai Politik Peserta Pemilu di tingkat kabupaten/kota Pasal 39 ayat (1): PPS mengumumkan daftar pemilih tetap sejak diterima dari KPU kabupaten/kota sampai hari/tanggal pemungutan Dihapus

Dihapus

Tetap

Dihapus

Tetap

Tetap

62

Bab 4

No

Isu suara

Bunyi Pasal

Usul Perubahan

Pasal 39 ayat (2): Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan KPPS dalam melaksanakan pemungutan suara. Pasal 40 ayat (1): Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara Pasal 40 ayat (2): Daftar pemilih tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas data pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPS, tetapi karena keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS tempat yang bersangkutan terdaftar Pasal 40 ayat (3): Untuk dapat dimasukkan dalam daftar pemilih tambahan, seseorang harus menunjukkan bukti identitas diri dan bukti yang bersangkutan telah terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap di TPS asal 6 Penyusunan daftar pemilih bagi pemilih luar negeri Pasal 41 ayat (1): Setiap Kepala Perwakilan Republik Indonesia menyediakan data penduduk Warga Negara Indonesia dan data penduduk potensial pemilih Pemilu di negara akreditasinya Pasal 41 ayat (2): PPLN menggunakan data penduduk potensial pemilih Pemilu untuk menyusun daftar pemilih di luar negeri Pasal 42 ayat (1): PPLN melakukan pemutakhiran data pemilih paling lama 3 (tiga) bulan setelah diterimanya data penduduk Warga Negara Indonesia dan data penduduk potensial pemilih Pemilu Pasal 42 ayat (2): Pemutakhiran data pemilih oleh PPLN dibantu petugas pemutakhiran data Pemilih

Tetap

Daftar pemilih tetap dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara

Dihapus, karena DPT dalam kajian ini adalah mereka yang belum terdaftar dalam DPT.

Dihapus.

Tetap

Dihapus, karena data pemilih sudah ada, yaitu data pemilih pemilu terakhir.

PPLN melakukan pemutakhiran data pemilih paling lama pada akhir tahun

Tetap

Laporan Kajian UU Pemilu

63

No

Isu

Bunyi Pasal Pasal 42 ayat (3): Petugas pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas pegawai Perwakilan Republik Indonesia dan warga masyarakat Indonesia di negara yang bersangkutan Pasal 42 ayat (4): Petugas pemutakhiran data pemilih diangkat dan diberhentikan oleh PPLN Pasal 43 ayat (1): PPLN menyusun daftar pemilih sementara Tetap

Usul Perubahan

Tetap

Dihapus, sebaiknya diatur bahwa PPLN menyerahkan data pemilih kepada KPU Jakarta Pusat. Dihapus

Pasal 43 ayat (2): Penyusunan daftar pemilih sementara dilaksanakan paling lama 1 (satu) bulan sejak berakhirnya pemutakhiran data pemilih Pasal 43 ayat (3): Daftar pemilih sementara diumumkan selama 7 (tujuh) hari oleh PPLN untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat Pasal 43 ayat (4): Masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima PPLN paling lama 7 (tujuh) hari sejak diumumkan Pasal 43 ayat (5): PPLN wajib memperbaiki daftar pemilih sementara berdsarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat Pasal 43 ayat (6): Daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan PPLN untuk bahan penyusunan daftar pemilih tetap. Pasal 44 ayat (1): PPLN menetapkan daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (6) menjadi daftar pemilih tetap. Pasal 44 ayat (2): PPLN mengirim daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada KPU dengan tembusan kepada Kepala Perwakilan Republik Indonesia.

Dihapus

Dihapus

Dihapus, mereka yang tidak terdaftar tetap dapat mendaftar dalam DPT tambahan. Dihapus. DPT disusun oleh KPU Jakarta Pusat, sedangkan PPLN hanya melakukan pemutakhiran data pemilih.

Dihapus.

Dihapus

64

Bab 4

No

Isu

Bunyi Pasal Pasal 45 ayat (1): PPLN menyusun daftar pemilih tetap dengan basis TPSLN berdasarkan daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) Pasal 45 ayat (2): Daftar pemilih tetap dengan basis TPSLN digunakan KPPSLN dalam melaksanakan pemungutan suara. Pasal 46 ayat (1): Daftar pemilih tetap dengan basis TPSLN sebagaimana dimaksud Pasal 45 ayat (2) dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan sampai hari/tanggal pemungutan suara Pasal 46 ayat (2): Daftar pemilih tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas data pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPSLN, tetapi karena keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPSLN tempat yang bersangkutan terdaftar

Usul Perubahan KPU Jakarta Pusat yang menyusun DPT berdasarkan data dari PPLN.

Tetap.

Dihapus, karena pengertian DPT tambahan adalah mereka yang belum terdaftar dalam DPT.

Dihapus.

Rekapitulasi daftar pemilih

Pasal 47 ayat (1): KPU kabupaten/kota melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap di kabupaten/kota. Pasal 47 ayat (2): KPU provinsi melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap di provinsi. Pasal 47 ayat (3): KPU melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap secara nasional

Tetap

Tetap

Tetap

Pengawasan dan penyelesaian dalam pemutakhiran data dan penetapan daftar pemilih

Pasal 48 ayat (1): Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan dan Pengawas Pemilu Lapangan melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara hasil perbaikan, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, daftar pemilih tambahan, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK dan PPS

Disesuaikan dengan kegiatan KPU/KPUD

Laporan Kajian UU Pemilu

65

No

Isu

Bunyi Pasal Pasal 48 ayat (2): Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara hasil perbaikan, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, daftar pemilih tambahan, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap luar negeri yang dilaksanakan oleh PPLN Pasal 49 ayat (1): Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih, maka Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri menyampaikan temuan kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN Pasal 49 ayat (2): KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN wajib menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Usul Perubahan Disesuaikan dengan kegiatan yang dilakukan PPLN

Tetap.

Tetap.

Pasal-pasal di atas adalah pasal yang mengatur kegiatan penyusunan dan pemutakhiran data pemilih dalam jangka waktu satu tahun menjelang pemungutan suara. Kajian ini merekomendasikan adanya data pemilih berkelanjutan yang didasarkan pada data pemilu terakhir. Sehubungan dengan hal tersebut, selain mengatur tentang kegiatan pemutakhiran data pemilih dalam satu tahun terakhir sebelum pemilu dilaksanakan, undang-undang pemilu ke depan hendaknya juga memuat ketentuan tentang pemutakhiran data pemilih setiap saat oleh penyelenggara pemilu, dengan kewajiban mengumumkannya pada awal tahun sebagai daftar pemilih sementara, kecuali pada awal tahun pemilu karena yang diumumkan sudah menjadi daftar pemilih tetap.

66

Bab 4

Table 19 : Usul Perubahan Pasal Terkait DPT dalam UU Nomor 42/200845


No 1 Issue Hak Memilih UU 42/2008 Pasal 27 ayat (1): Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih Pasal 27 ayat (2): Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam daftar Pemilih Penyusunan daftar pemilih sementara Pasal 29 ayat (1): KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPS menggunakan Daftar Pemilih Tetap pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai Daftar Pemilih Sementara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Pasal 29 ayat (2): KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPS memutakhirkan Daftar Pemilih Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari Pasal 29 ayat (3): Daftar Pemilih Sementara hasil pemutakhiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan oleh KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPS untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat selama 7 (tujuh) hari Pasal 29 ayat (4): KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPS memperbaiki Daftar Pemilih Sementara berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan selanjutnya menetapkan menjadi Daftar Pemilih Tetap paling lama 7 (tujuh) hari Pasal 29 ayat (5): Daftar Pemilih Tetap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus sudah ditetapkan 30 (tiga puluh) hari Usul Perubahan Warga Negara Indonesia yang pada tahun pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih mempunyai hak memilih

Tetap

KPU,KPU Peovinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan PPS menggunakan Daftar Pemilih Tetap, DPT Tambahan, dan daftar pemilih yang memilih menggunakan KTP atau paspor pemilihan umum anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/ Kota sebagai Daftar Pemilih Tetap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

Dihapus

Dihapus

Dihapus

Tetap

45

UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Laporan Kajian UU Pemilu

67

No

Issue

UU 42/2008 sebelum pelaksanaan pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Usul Perubahan

Pasal 29 ayat (6): Ketentuan lebih lanjut mengenai pemutakhiran, pengumuman, perbaikan Daftar Pemilih Sementara dan penetapan Daftar Pemilih Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam peraturan KPU Rekapitulasi pemilih daftar Pasal 30 ayat (1): KPU kabupaten/kota melakukan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap di kabupaten/kota

Tetap. Pasal disesuaikan dengan kegiatan yang dilakukan

Tetap

Pasal 30 ayat (2): KPU provinsi melakukan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap di provinsi Pasal 30 ayat (3): KPU melakukan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Pemilih luar negeri dan Pemilih secara nasional Pengawasan dan penyelesaian dalam pemutakhiran data dan penetapan daftar pemilih Pasal 31 ayat (1): Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan melakukan pengawasan atas pelaksanaan penyusunan Daftar Pemilih Sementara, pemutakhiran Daftar Pemilih Sementara, penyusunan Daftar Pemilih Tetap, Daftar Pemilih Tambahan, dan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap yang dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota Pasal 31 ayat (2): Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan penyusunan Daftar Pemilih Sementara, pemutakhiran Daftar Pemilih Sementara, penyusunan Daftar Pemilih Tetap, Daftar Pemilih Tambahan, dan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap luar negeri yang dilaksanakan oleh PPLN Pasal 32 ayat (1): Dalam hal pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian

Tetap

Tetap, tetapi rekapitulasi pemilih luar negeri sebaiknya dilakukan oleh KPU Jakarta Pusat karena suara pemilih luar negeri untuk Jakarta Pusat. Tetap. Disesuaikan dengan kegiatan sesuai usulan dalam kajian ini

Tetap. Disesuaikan dengan kegiatan sesuai usulan dalam kajian ini

Tetap. Disesuaikan dengan kegiatan sesuai usulan dalam kajian ini

68

Bab 4

No

Issue

UU 42/2008 anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPLN yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih, Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri menyampaikan temuan tersebut kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota Pasal 32 ayat (2): KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN wajib menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Tetap

Usul Perubahan

Bab V Penutup

ari uraian-uraian terdahulu kajian ini menyimpulkan bahwa meskipun dinilai demokratis, pemilu-pemilu di era Reformasi masih sarat dengan masalah. Dari semua masalah pemilu yang ada, kajian ini mengupas lima hal, yaitu (1) sistim pemilu, (2) sistem penegakan hukum, (3) parliamentary threshold dan konsep penyederhanaan parpol di Indonesia, (4) daftar pemilih, dan (5) dana kampanye. 1. Sistim Pemilu Mengenai sistem pemilu, kajian ini menyimpulkan bahwa penerapan sistim mixed member proportional (MMP) yaitu pemilih sama-sama diberikan hak untuk memilih calon dan parpol sekaligus dianggap cocok untuk Indonesia. Pilihan terhadap parpol dan calon tidaklah harus paralel. Pemilih bisa saja memilih Partai A, tetapi untuk calon dari Partai B. Dalam MMP calon dinominasikan dalam dua jalur, yaitu jalur distrik (seperti sistem mayoritarian) dan jalur daftar (seperti sistem proporsional tertutup). Pilihan atas MMP adalah jalan tengah untuk memelihara warisan pemilu sebelumnya (pemilih memilih parpol dan calon sekaligus) dan sekaligus menyederhanakan pelaksanaan pemilu karena sistem proporsional dengan daftar terbuka telah menyebabkan pemilu menjadi rumit dan tidak murah. MMP dan Keterwakilan Perempuan Sistem MMP juga memiliki kelebihan untuk mengakomodasi berbagai kepentingan kelompok minoritas, termasuk di dalamnya kelompok perempuan. Dengan catatan, party list dalam MMP digabungkan dengan zipper system, yakni di antara tiga calon terdapat satu perempuan, bisa saja diterapkan sistem zigzag, yakni penempatan nama calon antara laki-laki dan perempuan saling berselang, yang berarti setengah dari calon terpilih melalui party list adalah perempuan. Kesempatan perempuan untuk terpilih juga terbuka di jalur distrik. Kandidat perempuan yang berhasil sebagai vote getter harus dipertimbangkan oleh parpol untuk diletakkan dalam jalur distrik. Sedangkan calon perempuan lain dapat diletakkan dalam party list. Dengan demikian, kekhawatiran bahwa calom perempuan susah terpilih dalam sistem MMP dapat ditepis.

70

Bab 5

Posibilitas Penerapan MMP Konsep tentang MMP telah disampaikan CETRO kepada Baleg DPR melalui usulan rancangan perubahan UU Nomor 10 Tahun 2008 yang masih dalam proses penggodokkan. Selain itu, upaya menjelaskan konsep ini terus dilakukan kepada parpol atau fraksi-fraksi di DPR, termasuk kepada tokoh-tokoh parpol. Hasil diskusi kelompok terpadu (focused group discussion/FGD) di beberapa daerah mengenai revisi UU Pemilu 46 yang dihadiri pengamat, akademisi, anggota legislatif, dan LSM menunjukkan dukungan yang kuat terhadap penerapan MMP dalam pemilu/pemilukada. 2. Sistim Penegakan Hukum Dalam hal penegakan hukum, kajian ini merekomendasikan dua hal yaitu: A. Peningkatan Kewenangan Bawaslu/Panwaslu Peran Bawaslu/Panwaslu tetap diperlukan, tetapi fungsi atau kewenangannya harus lebih ditingkatkan, yaitu memutus pelanggaran administratif yang dilakukan oleh peserta pemilu. Bila peserta pemilu tidak puas dengan putusan Bawaslu/panwaslu, ia dapat mengajukan kepada pengadilan pemilu. Pengadilan pemilu memutuskan untuk tingkat pertama dan terakhir terhadap banding yang diajukan tersebut. Khusus untuk Bawaslu, karena bersifat permanen, dapat diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap masalah-masalah pidana pemilu yang berskala nasional. Sedangkan untuk pidana pemilu yang berskala lokal, panwaslu tetap diberikan peran terbatas untuk menerima laporan dan melakukan penyelidikan. Tahap penyidikan dan penuntutan tetap dilakukan polisi dan jaksa. Lembaga ini harus juga diberikan kewenangan untuk merekrut atau dibantu tenaga penyidik dan penuntut (polisi dan jaksa). Undang-undang sebaiknya juga menyebutkan bahwa Bawaslu berwenang mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus tindak pidana pemilu yang ditangani panwaslu, polisi, atau jaksa bila memang tidak berjalan sebagaimana mestinya karena sebab-sebab tertentu. B. Pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu Terdapat empat alasan pentingnya pembentukan pengadilan khusus pemilu yaitu: 1. Terjadinya kekosongan hukum terhadap masalah hukum pemilu tertentu. 2. Rendahnya kapasitas pengadilan konvensional terhadap masalahmasalah hukum pemilu. 3. Terbatasnya waktu dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum pemilu. 4. Konsolidasi masalah-masalah hukum pemilu ke dalam satu peradilan. Gagasan tentang pembentukan pengadilan khusus pemilu ini didukung oleh pengamat, akademisi, anggota legislatif, dan LSM dalam beberapa diskusi

kelompok terpadu (focused group discussion/FGD). Pengadilan khusus pemilu sebaiknya dibentuk di tingkat provinsi untuk tingkat pertama dan kamar khusus di MA untuk tingkat banding yang merupakan tingkat terakhir. Pengadilan khusus pemilu memiliki yurisdiksi untuk memutus seluruh masalah hukum pemilu, kecuali masalah perselisihan hasil pemilu dan pengujian atas undang-undang yang mengatur tentang pemilu. Kewenangan ini sesuai dengan mandat konstitusi adalah yurisdiksi MK, tidak bisa diutakatik lagi kecuali bila ada perubahan UUD 1945. Hukum acara pengadilan khusus pemilu dibuat tersendiri, terutama terkait penyelesaian masalah hukum yang diajukan. Dikaitkan dengan perubahan undang-undang yang terkait pemilu ke depan, pembentukan pengadilan pemilu bisa dimasukkan dalam perubahan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Dengan begitu undang-undang tersebut akan menjadi UU tentang Penyelenggara dan Pengadilan Pemilu.

3. Parliamentary Threshold Dalam hal parliamentary threshold dan penyederhanaan parpol di Indonesia, kajian ini menyimpulkan bahwa kedua hal tersebut berjalan secara relatif baik. Parliamentary threshold harus lebih dikedepankan dalam pemilu mendatang dengan 5 alasan, yaitu Pertama yang paling penting dari konsep penyederhanaan parpol adalah jumlah parpol di parlemen karena efektivitas sistem presidensialisme bukan terletak pada jumlah parpol dalam pemilu, melainkan jumlah parpol dalam parlemen. Kedua, penerapan ET dianggap tidak lazim karena ambang batas ditentukan berdasarkan pencapaian parpol dalam pemilu lima tahun sebelumnya. Seharusnya ambang batas tersebut ditentukan oleh hasil pemilu saat itu juga dengan cara menerapkan PT. Ketiga, penerapan ET berpotensi melanggar konstitusi dan kelebihan PT dalam konteks ini adalah, parpol yang tidak mencapai persentase tertentu tidak perlu bubar atau menggabungkan diri bila ingin ikut dalam pemilu berikutnya. Keempat, dari perspektif politik penerapan PT bisa dikatakan lebih adil ketimbang ET mengingat parpol yang ada saat ini tidak bertanding dengan garis start yang sama. Kelima, dari aspek sosiologis, penerapan PT akan merupakan disinsentif bagi petualang-petualang parpol yang berpikiran jangka pendek. 4. Daftar Pemilih Dalam hal daftar pemilih, Cetro mengusulkan bahwa pembuatan dan pemutakhiran data pemilih benar-benar menjadi tanggung jawab KPU, sedangkan pemerintah dapat menjadi pemasok data kependudukan yang akan menjadi referensi bagi KPU dalam memutakhirkan data pemilih. Berikut adalah rekomendasi yang terkait daftar pemilih.

72

Bab 5

1. 2. 3. 4.

5. 6. 7.

8.

9. 10.

11. 12.

13.

Syarat untuk dapat memilih: berusia 17 tahun pada tahun pemilu; Data pemilih dibuat dan dipelihara oleh KPU secara berkelanjutan; Data pemilih untuk pemilu berikutnya didapat dari data pemilu terakhir yang dikelola dan dimutakhirkan; Pemerintah menyediakan data DP4 yang digunakan sebagai referensi atau masukan untuk memutakhirkan data pemilih 12 bulan sebelum pemilu dilaksanakan; KPU membuka akses seluas-luasnya agar pemilih dapat mengecek apakah sudah tercantum dalam daftar pemilih atau belum; Pemutakhiran data pemilih menjadi kewajiban KPU kabupaten/kota setiap saat; KPU kabupaten/kota melaporkan data pemilih ke KPU setiap akhir tahun, kemudian data ini digunakan oleh KPU pusat untuk dipublikasikan kepada pemilih; Satu tahun menjelang pemilu, KPU dan KPU kabupaten/kota melakukan pemutakhiran data pemilih dengan melibatkan unit pemerintahan terkcil (kepala dusun/ RT/ RW); Dibuat biro khusus di KPU untuk menangani data pemilih; Dalam kaitannya dengan tanggung jawab membuat dan memutkahirkan data pemilih, KPU membangun sistem daftar pemilih yang terintegrasi secara online dengan KPU kabupaten/kota; Daftar pemilih yang ditetapkan pada awal tahun pemilu digunakan untuk kebutuhan logistik pemilu, terutama pengadaan surat suara; Pemilih yang belum terdaftar dalam DPT dapat mendaftar dalam DPT tambahan dengan cara mendaftar ke KPU kabupaten/kota hingga 30 hari sebelum hari pemungutan suara; Pemilih yang belum terdaftar dalam daftar pemilih dan daftar pemilih tambahan tetap dapat memilih dengan menggunakan KTP atau paspor satu jam sebelum pemungutan suara berakhir dengan terlebih dulu mendaftar ke petugas KPPS.
Table 20 - Perubahan Pasal Terkait Daftar Pemilih dalam UU No. 10/2008

Isu Data kependudukan

Pasal Pasal 32 ayat 1

Usulan Tetap, dengan catatan bahwa data kependudukan dimaksud digunakan untuk pemutakhiran data pemilih yang sudah ada di KPU.

Daftar pemilih

Pasal 33 ayat 1

KPU kabupaten/kota menggunakan data kependudukan sebagai bahan pemutakhiran daftar pemilih Dihapus, karena data pemilih sudah tersedia, tinggal dimutakhirkan.

Pasal 33 ayat 3

Isu Pemuktahiran data pemilih

Pasal Pasal 34 ayat 2

Usulan Pemutakhiran data pemilih diselesaikan paling lama pada akhir tahun. Hasil pemutakhiran data pemilih diumumkan sebagai daftar pemilih tetap pada awal tahun pemilu.

Pasal 34 ayat 4

Penyusunan daftar pemilih sementara

Pasal 36 ayat 1

Dihapus, karena DPS diumumkan setiap awal tahun. Khusus untuk awal tahun pemilu menjadi DPT. Dihapus

Pasal 36 ayat 2 Pasal 36 ayat 3

dihapus. Dengan data yang bisa diakses, masyarakat dapat mengecek apakah sudah tercantum dalam daftar pemilih atau tidak. Dihapus, parpol dapat mengecek melalui website KPU para pemilih yang belum terdaftar, terutama pemilih yang menjadi anggota partai yang bersangkutan.

pasal 36 ayat 4

Dihapus Dihapus Dihapus Dihapus

Pasal 36 ayat 5 Pasal 36 ayat 6 Pasal 37 ayat 1 Pasal 37 ayat 2 Pasal 37 ayat 3 Pasal 37 ayat 4

Dihapus Dihapus

Penyusunan daftar pemilih tetap

Pasal 38 ayat 1 Pasal 38 ayat 3 Pasal 40 ayat 1

Dihapus Dihapus Daftar pemilih tetap dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara Dihapus karena DPT dalam kajian ini adalah mereka yang belum terdaftar dalam DPT.

Pasal 40 ayat 2

Dihapus

Pasal 40 ayat 3

Penyusunan daftar pemilih bagi pemilih luar negeri

Pasal 41 ayat 2

Dihapus, karena data pemilih sudah ada, yaitu data pemilih pemilu terakhir. PPLN melakukan pemutakhiran data pemilih paling lama pada akhir tahun Dihapus

Pasal 42 ayat 1

74

Bab 5

Isu

Pasal Pasal 43 ayat 1 Pasal 43 ayat 2 Pasal 43 ayat 3 Pasal 43 ayat 4 Pasal 43 ayat 5 Dihapus Dihapus Dihapus

Usulan

Dihapus, mereka yang tidak terdaftar tetap dapat mendaftar dalam DPT tambahan.

Demikian kesimpulan dan rekomendasi yang terkait dengan kajian tentang Pemilu 2009 yang baru saja dijalani. Upaya-upaya perbaikan selayaknya dilakukan dengan segera seiring dengan rencana pembentukan/revisi undang-udang yang terkait dengan pemilu yang saat ini dilakukan oleh DPR.

Anda mungkin juga menyukai