Anda di halaman 1dari 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini penulis akan menjelaskan aspek-aspek yang berhubungan dengan judul penelitian

yaitu; Konsep dampak, Teori elit politik, Konsep polarisasi elit, Pemilu dan Sistem Pemilu (Sistem Suara Terbanyak), Partai Politik (Golkar dan PDIP Kabupaten Bone), Kerangka Pemikiran, dan Skema Kerangka pemikiran. A. Konsep dampak Berdasarkan kamus ilmiah dampak diartikan sebagai pengaruh kuat yang menimbulkan akibat. Sedangkan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia dampak adalah pengaruh sesuatu yang menimbulkan akibat, benturan yang cukup besar sehingga dapat menimbulkan perubahan baik positif maupun negatif, dan secara etimologi dampak berarti pelanggaran, benturan, dan pengaruh atau akibat.1 Menurut Otto Soemarwoto, dampak adalah suatu perubahan yang terjadi sebagai aktivitas dan aktivitas itu dapat dilakukan oleh manusia yang mengarah kepada perubahan dalam kehidupan manusia itu sendiri.2 Hal ini menjelaskan bahwa dampak dalam hal ini suatu akibat yang timbul dari adanya perubahan sistem pemilu dari sistem nomor urut menjadi sistem suara terbanyak pada Pemilu Caleg 2009 dimana terbagi dua yaitu dampak positif dan dampak negatif.

Ahmad Kausar, studi dampak pelebaran jalan terhadap pedagang kaki lima di daerah tamalanrea Kota Makassar, Unhas, 2007 2 Ahmad Kausar, studi dampak pelebaran jalan terhadap pedagang kaki lima di daerah tamalanrea Kota Makassar, Unhas, 2007

B. Teori elit politik Secara etimologi istilah elite berasal dari kata latin eligere yang berarti memilih. Pada abad ke 14 istilah ini berkembang menjadi a choice of persons yang artinya orang terpilih. Kemudian pada abad ke 15 dipakai untuk menyebutkan best of the best (yang terbaik dari yang terbaik). Selanjutnya pada abad ke 18 dipakai dalam bahasa Perancis untuk menyebut sekelompok orang yang memegang posisi terkemuka dalam suatu lapisan masyarakat.3 Amitai Etzioni, definisi elite sebagai kelompok aktor yang mempunyai kekuasaan. Sedangkan menurut Bottomore, istilah elite secara umum digunakan untuk menyebut kelompok-kelompok fungsional dan pemangku jabatan yang memiliki status tinggi dalam suatu masyarakat.4 Elit politik memiliki beberapa tipe, misalnya elit yang berada dalam partai politik yang diantaranya pengurus partai politik dan umumnya sekaligus merangkap sebagai wakil rakyat. Presiden, gubernur, walikota/bupati merupakan elit yang berada pada tataran eksekutif dalam hal ini pemerintah namun tidak terlepas pada partai politik itu sendiri. Gaetano Mosca (1858-1941), dalam setiap masyarakat terdapat dua kelas penduduk yaitu satu kelas yang menguasai yang disebut elit dan satu yang dikuasai yaitu masyarakat. Kelas pertama atau elit yang jumlahnya selalu minoritas, menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan itu. Sedangkan kelas
3 4

Bengkoelen : ASAL-USUL ELITE Agus Setiyanto, Elite Pribumi Bengkulu, penerbit Balai Pustaka : 2001. Hal. 77.

kedua, yang jumlahnya jauh lebih besar, diatur dan dikendalikan oleh kelas elit itu.5 Gaetano Mosca mengembangkan teori elit dan mengklasifikasikan ke dalam dua status yaitu elit yang berada dalam stuktur kekuasaan dan elit yang diluar stuktural. Elit berkuasa menurut Mosca yaitu elit yang mampu dan memiliki kecakapan untuk memimpin serta menjalankan kontrol sosial. Dalam proses komunikasi, elit berkuasa merupakan komunikator utama yang mengelola dan mengendalikan sumber-sumber komunikasi sekaligus mengatur lalu lintas transformasi pesan-pesan komunikasi yang mengalir. Elit berkuasa menjalin komunikasi dengan elit masyarakat untuk mendapatkan legitimasi dan memperkuat kedudukan sekaligus mempertahankan status quo. Sedangkan elit yang berada diluar struktural yaitu elit masyarakat merupakan elit yang dapat mempengaruhi masyarakat lingkungan di dalam mendukung atau menolak segala kebijaksanaan elit berkuasa.6 Mengacu pada teori Mosca, elit dalam struktur kekuasaan diterjemahkan sebagai anggota legislatif yang memiliki kemampuan dan kecakapan untuk mewakili masyarakat pemilihnya dalam memperjuangkan kepentingan dan mengartikulasikan permasalahan-permasalahan yang ada. Disamping itu, menjalin komunikasi terhadap elit masyarakat agar mendapatkan dukungan. Namun, dengan mengandalkan popularitas yang dimiliki elit masyarakat dapat berkompetisi dengan elit dalam struktur dalam ajang pemilu.
5 6

Gaetano Mosca, The Ruling Class (New York: McGraw-Hill, 1939), hal.50. A.P. Sumarno. 1989. Dimensi-dimensi komunikasi politik, Bandung: PT Acitra Aditya Bakti Hal.149.

Elit politik diperkenalkan oleh Vilfedro Pareto (1848-1923) sebagai kekecawaan terhadap apa yang sedang berjalan pada waktu itu yaitu aristokrat. Vilfedro Pareto beranggapan bahwa sifat dari penguasa atau elit politik otoriter dan mengintervensi. Menurut Pareto, setiap masyarakat diperintah oleh sebuah elit yang komposisinya selalu berubah. Selanjutnya Pareto membagi elit dalam dua kelompok, yaitu kelompok elit yang memerintah dan kelompok elit yang tidak memerintah. Kedua kelompok elit itu senantiasa berebut kesempatan untuk mendapatkan porsi kekuasaan sehingga terjadi polarisasi elit dan melahirkan sirkulasi antara elit lama dengan elit baru. Setiap elit yang memerintah hanya dapat bertahan apabila secara kontinuitas memperoleh dukungan dari masyarakat.7 Elit politik akan mengalami sirkulasi baik di tingkat partai maupun pada tingkat lembaga pemerintahan dengan proses polarisasi yang terjadi secara alami. Seiring dengan tuntutan pemilu elit terus mengalami seleksi yang dilakukan oleh masyarakat melalui pemilu. Berlakunya sistem perolehan suara terbanyak dalam pemilihan anggota legislatif 2009 membuat kelompok elit masyarakat memiliki kesempatan yang sama dengan elit partai/anggota legislatif untuk mencalonkan melalui partai politik yang ada. Golongan elit di luar struktur biasanya berasal dari kalangan tokoh masyarakat atau public figure yang telah dikenal luas, tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh di daerahnya, bangsawan, atau keluarga dari elit yang berada dalam struktur. Menurut Schrool, seorang pakar ilmu politik Amerika Serikat ada lima tipe elit yaitu:
7

Agus Setiyanto, Elite Pribumi Bengkulu, penerbit Balai Pustaka : 2001. Hal. 73.

Elit menengah yaitu elit yang berasal dari kelompok pedagang dan tukang yang termasuk golongan minoritas keagamaan atau kebangsaan.

Elit dinasti yaitu sebagai elit arsitokrat yang mempertahankan tradisi dan status quo.

Elit revolusioner yaitu elit yang berpandangan bahwa nilai-nilai lama perlu dihapus karena tidak cocok dengan tingkat kemajuan dibidang ilmu penghetahuan dan teknologi.

Elit nasionalistik merupakan kelompok pluralis sehingga mudah mengundang konflik antar pluralis

Elit kolonial yaitu elit yang dianggap kurang bermanfaat dan tidak memberi konstribusi terhadap referensi ilmu pengetahuan.

Elit politik di Kabupaten Bone di dominasi oleh elit dinasti yang cenderung tradisional yaitu masih bersifat mempertahankan tradisi dan status quo yang dilihat dari keturunan bangsawan, kekerabatan, dan pertemanan antara sesama keturunan bangsawan yang dikenal dengan keturunan Andi. Elit politik di Kabupaten Bone masih relatif didominasi oleh kaum bangsawan yang berada pada tataran pemerintahan dan partai politik. Perekrutan kader partai politik terutama Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Kabupaten Bone tidak terlepas dari kekerabatan, kedekatan, dan pertemanan. Elit merupakan individu-individu yang terpilih oleh masyarakat dengan melalui proses seleksi baik dari segi ilmu pengetahuan, materi, keturunan/kebangsawanan, adat dan lain

sebagainya. Elit politik ialah individu-individu yang telah memiliki dedikasi dalam partai politik maupun yang telah berada pada lembaga pemerintahan yaitu Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Elit politik yang dimaksud dalam penelitian ini ialah terbagi atas dua macam elit yaitu, pertama elit lama/pengurus partai Golkar dan PDIP yang merupakan calon-calon dalam list DCT (Daftar Calon Tetap). Elit lama sebagai kader partai ada yang sudah menjabat sebagai wakil rakyat terpilih pada 2004 dan mencalonkan kembali pada pemilu 2009 dengan sistem suara terbanyak. Kedua, elit baru partai Golkar dan PDIP yang merupakan figur baru tampil dalam pencalonan anggota legislatif pemilu 2009. C. Konsep polarisasi elit

Dalam ilmu politik, polarisasi adalah proses di mana opini publik membagi dan mengarah ke ekstrim. Hal ini juga dapat dilihat ketika faksi ekstrim dari dominasi keuntungan partai politik dalam pesta demokrasi. Dalam kedua kasus moderat suara sering kehilangan kekuasaan dan pengaruh sebagai konsekuensinya.8

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, polarisasi diartikan pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang memiliki kepentingan dsb) yang saling bersaing.9. Hadirnya figur-figur baru pada pencalonan anggota legislatif dalam partai Golkar dan PDIP Kabupaten Bone pada pemilu 2009 akan melahirkan polarisasi dengan elit lama/pengurus partai mengingat sistem nomor

8 9

www.wikipedia.com/polarisasi (politik) Kamus Besar Bahasa Indonesia, penerbit PT. Gramedia Pusaka Utama : 2008

urut telah diganti menjadi sistem suara terbanyak. Pembagian dua kelompok yang saling bersaing terjadi di internal partai Golkar dan PDIP Bone. Polarisasi elit yang terjadi merupakan persaingan elit secara horizontal dalam partai seiring berubahnya sistem pemilu yang artinya persaingan antara elit dalam partai Golkar dan PDIP Kabupaten Bone yaitu elit lama/pengurus partai dengan figur baru/kader instan. D. Pemilu dan Sistem Pemilu (Sistem Suara Terbanyak) D.1. Pemahaman Pemilu Pemilihan Umum merupakan amanat konstitusi UUD 1945 yang merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat untuk dapat

menghasilkan parlemen dan pemerintahan yang representatif serta mendapat legitimasi dari rakyat.10 Pemilu merupakan proses politik yang secara konstitusional bersifat niscaya bagi negara demokrasi. Demokrasi sebagai sebuah sistem ternyata telah teruji dan diakui paling realistis dan rasional untuk mewujudkan tatanan sosial, politik, ekonomi yang populis, adil dan beradab, tapi bukan tanpa kelemahan yang ditinjau dari berbagai aspek.11 Pemilihan Umum merupakan bagian dari patisipasi politik dari warga negara biasa untuk mempengaruhi kebijakan politik yang diambil pemerintah. Pemilu adalah cara yang dilakukan oleh parpol dengan berbagai cara dan media untuk menawarkan isu-isu politik dengan harapan agar warga masyarakat

10

Dekopindki, Sistem Pemilu dan Pembagian Daerah Pemilihan (Dapil) untuk proses Demokratisasi Bangsa, [artikel On line], www.scribd.com, hal. 2 11 Joko J. Prihatmoko Moesafa, Op.Cit., hal. 43.

menjatuhkan pilihannya pada partai politik yang bersangkutan pada saat pemilihan. Pemilu menurut Ali Murtopo adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya dan merupakan lembaga demokrasi. Kemudian menurut Manuel Kaisepo pemilu memang telah menjadi tradisi penting dalam berbagai sistem politik di dunia, penting karena berfungsi memberi legitimasi atas kekuasaan yang ada dan bagi rezim baru, dukungan dan legitimasi inilah yang dicari.12 Pemilu berada pada tingkat yang paling rendah dalam partisipasi politik, yaitu setelah Lobbying, Organization Activites dan Individual Contacs. Hal ini dikarenakan karena 2 hal yaitu : 1. Tidak memerlukan kualifikasi ilmu tertentu. 2. Tidak memerlukan alokasi waktu yang cukup besar. Ada dua persoalan penting dalam pemilu yaitu : Electoral Laws, yakni aturan-aturan hukum yang menjadi dasar dari sebuah pelaksanaan pemilu, dan Electoral Procces yakni tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pelaksanaan pemilu. D.2. Sistem Pemilu di Indonesia Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok yaitu: a. Single member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil ; biasanya disebut sistem Distrik).
12

Ali Murtopo, Strategi Pembangunan Nasional, CSIS, 1981, hal.179, dalam Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987, hal. 167

Sistem ini merupakan sistem pemilihan dimana suatu daerah pemilihan memiliki satu wakil. Disini wilayah Negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam DPR ditentukan dalam jumlah distrik. Calon yang dianggap menang adalah calon yang dalam satu distrik memperoleh suara yang terbanyak, sedangkan suarasuara yang ditujukan kepada calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, oleh karena itu selisih kekalahannya kecil. Jadi, tidak ada sistem menghitung suara lebih dalam sistem pemilu distrik. b. Multi member constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan proportional represenstation atau sistem perwakilan berimbang). Sistem pemilu proporsional sering juga disebut sebagai sistem pemilu multi member constituency atau sistem perwakilan berimbang. Sistem pemilihan proporsional adalah sistem pemilu di mana kursi yang terisi di Lembaga Legislatif Pusat untuk diperebutkan dalam suatu pemilu, dibagikan pada partai-partai politik yang turut dalam pemilu tersebut sesuai dengan imbangan suara yang diperolehnya dalam pemilih. Secara konseptual, perwakilan politik berawal dari pemilihan umum. Artinya, pemilihan umum yang diadakan merupakan proses seleksi pimpinan akan menumbuhkan rasa keterwakilan politik di kalangan masyarakat luas dan akan menyalurkan aspirasi serta kepentingan

warga negara oleh sebab itu dibentuklah badan perwakilan rakyat yang membuat Undang-Undang, menyusun Anggaran Penerimaan Belanja Negara, mengawasi pelaksanaan Undang-Undang dan penerimaan serta penggunaan anggaran negara. Sistem ini merupakan sistem pemilihan dimana jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Negara dianggap sebagai suatu daerah pemilihan yang besar, akan tetapi untuk keperluan teknisadministratif dibagi ke dalam beberapa daerah pemilihan yang besar, dimana setiap daerah pemilihan memilih sejumlah wakil penduduk dalam daerah pemilihan itu. Dalam sistem ini setiap suara dihitung, dalam arti suara lebih yang diperoleh partai atau golongan dalam suatu daerah pemilihan dapat ditambahkan pada jumlah suara yang diterima oleh partai atau golongan itu dalam daerah pemilihan lain, untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna memperoleh kursi tambahan.13 D.3. Sistem Suara Terbanyak Pada bulan Desember Tahun 2008, Mahkamah Konstitusi resmi memutuskan penentuan kursi caleg melalui suara terbanyak dan menghapuskan ketentuan minimal 30 persen dan sistem nomor urut dalam penetapan caleg terpilih sebagaimana tertera dalam Pasal 214 UU No. 10/2008 tentang Pemilu

13

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia, 1983, hal. 177.

10

Anggota

DPR,

DPD

dan

DPRD.

Mahkamah

Konstitusi

memutuskan

pemberlakuan sistem suara terbanyak dalam penetapan caleg terpilih namun dalam hal ini Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menggantikan sistem pemilu legislatif yang ada, yaitu sistem proporsional terbuka (Pasal 5 ayat 1 UU No. 10/2008). Dengan demikian, pasca keputusan Mahkamah Konstitusi, pemilu legislatif 2009 yang lalu tetap mempergunakan sistem proporsional terbuka, hanya saja lebih mengutamakan stelsel daftar terbuka, dalam arti penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak.14 Dalam pemilu legislatif 2009, sistem pemilu yang dianut sistem proporsional (proportional representation) dengan varian daftar terbuka (open list), sementara alokasi/penentuan kursi memakai metode pemeringkatan suara terbanyak (the largest vote rank), artinya sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak yang dipakai untuk mentransfer jumlah suara pemilih ke dalam jumlah kursi yang telah ditentukan. Dalam konteks sistem pemilu tersebut, maka electoral formula yang perlu diperhatikan ialah: a) Pertama, karena sistem pemilu bersifat proporsional, maka proporsi suara yang diperoleh parpol dan caleg berbanding seimbang dengan proporsi kursi yang dimenangkan parpol dan caleg didaerah pemilihannya. Dalam konteks demikian, sedikit apapun suara yang diperoleh parpol dan caleg tetap diikutsertakan dalam perhitungan penentuan kursi untuk parpol dan

14

www.google.com Harian Umum PELITA di akses tanggal 23, juli 2010 pkl 10.52 wita.

11

caleg di daerah pemilihannya karena hal ini ditentukan melalui perhitungan Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP) dimana satu kursi mewakili jumlah suara pemilih tertentu di daerah pemilihannya. b) Kedua, karena varian sistem pemilu bersifat terbuka, maka pemilih tidak hanya memilih parpol tetapi juga memilih caleg yang dikehendakinya. Di samping mencontreng tanda gambar parpol pemilih juga mencontreng gambar/nama caleg yang dikehendakinya dan lebih menentukan caleg mana yang dikehendaki dan caleg mana yang ditolak sesuai dengan keinginan yang mereka hendaki. c) Ketiga, seiring dengan varian sistem terbuka dimana kedaulatan pemilih lebih diutamakan dalam menentukan pilihannya, maka alokasi kursi caleg terpilih sudah sepatutnya berdasarkan suara terbanyak dengan cara memperingkatkan (ranking) perolehan suara masing-masing caleg mulai dari suara terbanyak kesatu, kedua, dan seterusnya. Semakin banyak suara yang diperoleh caleg semakin besar peluang caleg yang bersangkutan untuk memperoleh kursi.15 Pasal 214 menentukan cara membagikannya berdasarkan threshold, sebagai variasi terhadap List-PR system yaitu: 1. Pertama, caleg yang memperoleh 100 persen BPP akan memperoleh kursi tanpa gangguan (huruf c). 2. Kedua, threshold bagi caleg untuk memperoleh kursi adalah 30 persen BPP (huruf a).
15

Sumber: http://203.130.242.190//artikel/63032.shtml di akses tanggal 23 Juli 2010 pkl 14.45 wita.

12

3. Ketiga, kursi dibagi berdasarkan nomor urut jika tidak ada caleg yang mencapai threshold (huruf d, huruf e). Keempat, jika beberapa caleg memperoleh suara sama, kursi diberikan kepada caleg peraih threshold dengan nomor urut kecil (huruf b, huruf c). A. Partai Politik E.1. Definisi Partai Politik Definisi partai politik menurut Undang-undang No. 31/2002 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-undang No. 2/1999 adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partai politik itu pada pokoknya memiliki kedudukan dan peranan yang sentral dan penting dalam setiap sistem demokrasi.16 Partai politik secara umum dapat dikatakan bahwa suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan citacita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya. Partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik yang modern dan demokratis. Sebagai suatu partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan
16

dan

memobilisasi

rakyat,

mewakili

kepentingan

tertentu,

Suprihatini, Amin. Partai Politik di Indonesia, (Klaten: Cempaka Putih, 2008), hlm.8,9.

13

memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan secara absah (legitimete) dan damai (Ichlasul Amal, 1998). Menurut Carl J. F, Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintah bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan pada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat adil serta materil.17 Sigmun Neumann, dalam buku karyanya melihat partai politik bahwa organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. Partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatankekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi.18 Menurut Roger Soltau, bahwa partai politik adalah sekelompok warga negara yang terorganisir yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan menguasai pemerintahan dan melakukan kebijakan mereka.19

17 18

Dalam buku, Miriam Budiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik.Edisi revisi 2008. Hal 404. Ibid, 404. 19 Miriam Budiardjo. op.cit .2005. Hal 161.

14

Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila menyebutkan bahwa partai politik adalah sekelompok warga negara yang berkehendak untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu dalam rangka yang ditetapkan oleh konstitusi. Setiap partai politik adalah suatu organisasi perjuangan politik yang berusaha supaya kemauan politiknya dilaksanakan. Tujuan ini hanya mungkin dilakukan dengan kekuasaan, maka partai mencari, membentuk dan menggunakan kekuasaan bukan tujuan melainkan saran untuk mewujudkan kesejahteraan bersama menurut pandangan partai tersebut dalam rangka konstitusi.20 Berdasarkan beberapa pengertian partai politik di atas maka dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu wadah yang mampu menghubungkan antara pemerintah dan masyarakat, dalam hal ini mereka yang tidak sepaham dengan orang-orang yang telah duduk di dewan, maka dengan partai politik inilah mereka dapat menggantikan posisi dan tujuan serta kehendak orang tersebut. Dengan kata lain, bahwa partai politik merupakan alat politik untuk memperoleh kekuasaan politik, dan merebut kekuasaan politik. E.2. Fungsi-Fungsi Partai Politik Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika dikaitkan dengan parpol, pendidikan politik bisa diartikan sebagai usaha sadar dan sistematis dalam mentransformasikan segala sesuatu yang berkenaan dengan perjuangan parpol tersebut kepada massanya agar
20

Enksilopedia Populer Politik Pembagunan Pencasila, Jilid IV : 76.

15

mereka sadar akan peran dan fungsi, serta hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Partai politik sebagai sebuah instrumen politik memiliki beberapa macam fungsi Menurut Prof Miriam Budiarjdo Fungsi Parpol ada empat diantaranya: a. Sarana Komunikasi Politik Partai politik berfungsi sebagai sarana komunikasi politik. Dalam hal ini, partai politik merumuskan usulan-usulan kebijakan yang bertumpu pada aspirasi dari masyarakat. Kemudian rumusan tersebut diartikulasikan kepada pemerintah agar dapat dijadikan sebagai sebuah kebijakan. Proses ini menunjukan bahwa komunikasi antar pemerintah dengan masyarakat dapat dijembatani oleh partai politik. b. Sosialisasi Politik dan Pendidikan Politik Partai politik berfungsi sebagai sarana sosialisasi dan pendidikan politik. Dalam kaitan ini, partai politik berkewajiban untuk mensosialisasikan wacana politiknya kepada masyarakat. Wacana politik dari sebuah partai politik dapat dilihat melalui visi, misi, platform dan program partai tersebut. c. Rekrutmen Politik Partai politik, berfungsi sebagai sarana rekruitmen politik, dimana partai politik berkewajiban untuk melakukan seleksi dan rekruitmen dalam rangka mengisi posisi dan jabatan tertentu. d. Pengatur Konflik Partai politik berfungsi sebagai sarana peredam dan pengatur konflik. Dengan fungsinya sebagai penyerap aspirasi masyarakat, maka partai politik
16

harus peka dan tanggap terhadap potensi-potensi konflik yang ada dalam masyarakat.21 B. Kerangka Pemikiran Konsep merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok, ataupun individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial.22 Penentuan kursi caleg melalui sistem perolehan suara terbanyak oleh Mahkamah Konstitusi dan menghapuskan ketentuan minimal 30 persen dan nomor urut dalam penetapan caleg terpilih sebagaimana tertera dalam Pasal 214 UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD merupakan babakan baru dalam pemilu caleg 2009 yang lalu mengingat peraturan mengenai sistem nomor urut menuai berbagai protes dan terkesan tidak demokratis karena hanya calon yang memiliki nomor strategis berpeluang besar sedangkan yang memiliki nomor sepatu sangat kecil kemungkinan. Pada pemilu 2009 dengan menggunakan sistem suara terbanyak bisa dikatakan membuka semua peluang elemen masyarakat bergabung dengan partai politik untuk menjadi calon legislatif. Hadirnya figur-figur baru dalam daftar calon tetap Partai Golkar dan PDIP Bone sangat memungkinkan terjadinya polarisasi dengan elit lama/pengurus partai. Disatu sisi elit lama dan juga pengurus partai yang mencalonkan dan ada juga sudah menjabat sebagai anggota legislatif berusaha agar terpilih kembali oleh konstituen. Di sisi lain figur baru yang tampil pada daftar calon tetap Partai Golkar dan PDIP memiliki rasa percaya
21 22

op. cit, Miriam Budiardjo. Hal 405-409. M. Singarimbun, Metode penelitian survey, LP3ES, Jakarta, 1995. Hal.33

17

diri dan optimisme untuk terpilih karena memiliki kesempatan sama dengan elit lama untuk terpilih dengan adanya sistem suara terbanyak. Polarisasi elit dalam partai politik dari penerapan sistem suara terbanyak untuk penetapan calon terpilih DPR maupun DPRD adalah sebuah keniscayaan perkembangan demokratisasi. Karena sistem suara terbanyak merupakan salah satu cara untuk mencegah proses pelemahan demokrasi baik di lingkup internal partai dalam bentuk konflik antar kader dalam hal untuk mendapatkan nomor urut maupun pada wilayah eksternal yaitu pada masyarakat dalam bentuk gerakan tidak memilih atau golongan putih (golput) karena tidak sepaham dengan calon yang diusung oleh partai. Polarisasi elit dalam partai Golkar dan PDIP Kabupaten Bone akan terjadi antara figur baru dengan elit lama/pengurus partai. Pembagian dua kelompok elit internal partai Golkar dan PDIP Bone yang bersaing dalam pemilu yaitu Elit lama/pengurus partai mencalonkan kembali pada pemilu 2009 karena sudah mengikuti pemilu 2004 dan ada juga yang sudah menjabat sebagai anggota legislatif mencalonkan kembali untuk terpilih, elit pengurus partai yang mengandalkan nomor urut pada pemilu sebelumnya harus bekerja lebih keras pada pemilu 2009 dengan hadirnya figur baru dalam pencalonan. Polarisasi

terjadi untuk bersaing mendapatkan dukungan konstituen karena figur baru maupun elit pengurus partai memiliki kesempatan yang sama tanpa memandang nomor urut lagi.

18

Meskipun penerapan sistem suara terbanyak setelah penyusunan daftar calon tetap partai Golkar dan PDIP Kabupaten Bone, polarisasi akan tetap terjadi pada elit partai. Dalam daftar calon tetap partai banyak figur-figur baru yang tampil. Figur baru yang tampil baru dalam pencalon juga bukan dari pengurus partai bisa dikatakan kader instan. Pengurus partai atau elit lama partai pada pemilu 2004 lalu ada yang terpilih dan ada juga yang tidak sehingga mencalonkan kembali. Polarisasi yang terjadi antara elit lama dengan figur baru tentu akan membawa pengaruh dalam jalannya proses pemilihan. Polarisasi elit terjadi pada internal partai Golkar dan PDIP setelah penerapan sistem suara terbanyak. Semangat para elit utnuk terpilih berjuang dilapangan untuk mendapatkan dukungan konstituen.

19

C. Bagan Kerangka Pemikiran

Putusan MK Tentang Sistem Suara Terbanyak

Partai Politik (Golkar dan PDIP Kabupaten Bone)

Polarisasi internal elit partai: Polarisasi antara pengurus partai dengan figur baru dalam DCT (Golkar dan PDIP)

Dampak yang timbul : Negatif: Persaingan kuat elit Kemungkinan money politik

Positif: Keterwakilan perempuan

20

21

Anda mungkin juga menyukai