Anda di halaman 1dari 2

Pencemaran Udara di Jakarta Sudah Sangat Mengkhawatirkan ---------------------------Japan Transportation Cooperation Association (JTCA) yang melakukan penelitian terhadap

gas buangan kendaraan bermotor di Jakarta pada bulan September tahun lalu menyimpulkan bahwa akibat buangan gas tersebut pencemaran udara kota Jakarta kini sudah sampai pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Penyebab utama pencemaran udara akibat gas buangan kendaraan bermotor tadi bukan hanya karena kemacetan lalu lintas, melainkan terutama karena mutu bensin yang digunakan kurang baik. Kadar timbel (Pb) dalam bensin di Jakarta dan di Indonesia pada umumnya terlalu tinggi, padahal unsur ini amat membahayakan dan jauh lebih membahayakan dibanding asap hitam yang dikeluarkan dari kendaraan-kendaraan bermesin diesel. Hal ini diungkapkan oleh A. Razak Manan, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Darat Departemen perhubungan, ketika dihubungi koresponden Kompas di Tokyo, Yusron Ihza seusai pertemuan dengan JTCA akhir pekan lalu. Menurut Razak Manan, temua JTCA yang disampaikan dalam pertemuan tersebut amat menarik. Dikatakan JTCA melakukan penelitian dengan metode yang berbeda dengan penelitian yang disponsori Bank Dunia sebelumnya. Namun kedua penelitian tersebut ternyata berkesimpulan sama. Ia menilai, jika sampai ada dua badan besar berkesimpulan sama, seharusnya telah cukup kuat alasan bagi pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk mengambil langkah-langkah penanggulangan yang lebih bersifat serius dan segera. Dikatakan, pemurnian bensin dari unsur-unsur berbahaya sebelum bensin didistribusikan ke masyarakat, memang akan menelan biaya yang tinggi. Namun jika kesehatan dinilai sebagai milik yang berharga, langkah-langkah pemurnian seperti ini dinilai tetap mendesak untuk dilakukan. Razak Manan yang tiba Tokyo bersama tiga staf Departemen Perhubungan dan dua staf Pemda DKI Jakarta guna menghadiri pertemuan dengan JTCA tadi, mencoba menggambarkan kerugian-kerugian akibat pencemaran udara di Jakarta dengan mengutip hasil penelitian yang disponsori Bank Dunia. Menurut perhitungan Bank Dunia, kerugian di bidang kesehatan akibat pencemaran udara dalam satu tahun mencapai Rp 2,6 miliar. Angka ini masih akan meningkat jika faktor-faktor lain di luar kesehatan, seperti masalah terbuangnya waktu dengan percuma di jalan raya dan lain-lain ikut diperhitungkan.

Di Jepang masalah pencemaran udara di DKI Jakarta cukup menjadi buah bibir, dalam arti sering timbul dalam percakapan sehari-hari jika orang-orang Jepang berbicara dengan orang Indonesia. Bagi masyarakat Jakarta yang telah terbiasa dengan suasana udara tadio, pencemaran ini mungkin kurang dirasakan. Akan tetapi bagi orang-orang Jepang yang mengunjungi Jakarta, kesukaran bernafas sering kali dirasakan. Hal serupa juga dirasakan oleh orang-orang Indonesia yang menetap di Jepang saat mereka pulang untuk sementara waktu ke Jakarta. Dengan memperhatikan tingginya tingkat pencemaran, jumlah penduduk dan lain-lain, JTCA, sebuah badan semi pemerintah Jepang, yang tahun lalu memberi bantuan hibah dalam rangka penanggulangan pencemaran udara, telah memilih Jakarta sebagai model penanggulangan pencemaran udara di kota-kota besar negara berkembang. Sejauh mana JTCA akan bekerja untuk maslaah diatas, masih belum diketahui secara amat pasti. Tetapi mengingat masalah pencemaran tadi adalah masalah dalam negeri, maka meningkatkan upaya-upaya dari dalam negeri dinilai lebih penting daripada berharap besar kepada bantuan dari negara lain.

Anda mungkin juga menyukai