Anda di halaman 1dari 4

AHMAD TOHARI, KARYA-KARYANYA DAN BEBERAPA PENELITIAN MENGENAI DIRI DAN KARYA

Catatan Perjalanan

Secara pribadi, saya memang belum mengenai sosok yang satu ini. Tetapi dalam sebuah pertemuan, semacam ada perasaan yang tumbuh dalam diri saya ketika pertama kali berkunjung ke rumah beliau bersama Dr Aprinus Salam, Ramayda Akmal, Saeful Anwar serta Anis Mashlihatin. Kesan yang muncul pada saat itu, beliau, Ahmad Tohari adalah pribadi yang Soleh, bersahaja, serta ramah. Kedatangan kami waktu itu, walaupun agak melelahkan sebab jarak antara Jogjakarta dan Jatilawang lumayan jauh bertujuan untuk silaturahmi. Kami dijamu

dengan segelas teh hangat dan beberapa camilan. Bersama istri beliau, tampak bahwa Ahmad Tohari hidup harmonis bersama keluarganya di dusun kecil itu.

Dalam kesempatan itu juga kami diajak jalan-jalan melihat pekarangan. Pada saat itu, beliau memang sedang merencanakan membuat pendopo yang notabennya nanti hendak

dijadikan sebagai sanggar belajar sekaligus mengakomodasi para seniman khususnya seniman banyumas. Bisa dikatakan beliau memiliki cita-cita untuk membuat paguyuban seniman banyumas yang tujuannya untuk nguri-uri sekaligus menciptakan hasil kesenian termasuk di dalamnya sastra. Kami sempat berfoto-foto serta berbagi cerita. Hari itu, ahmad Tohari menceritakan proses kreatifnya, termasuk juga menceritakan bagaimana latar pedesaan sangat berpengaruh dalam penciptaan karya sastranya. Kehidupan para petani nira kelapa di banyumas adalah salah satu potret yang beliau ceritakan. Kesahajaan dan perhatian Ahmad Tohari dengan masyarakatnya tampak terlihat. Di samping rumah beliau terdapat sebuah taman kanak-kanak beliau dirikan. Di belakang, terdapat Mushola, menandakan bahwa beliau adalah seorang religious. Barangkali, tepat untuk mengatakan bahwa Ahmad Tohari adalah seniman sekaligus intelektual yang Bali Ndeso Mbangun Deso. Kesan artistic tradisional sekaligus jawa terlihat jelas dalam bentuk bangunan rumah beliau. Menengok lagi kebelakang, bangunan pendopo beliau juga ditopang oleh tiang-tiang kayu dan berdindingkan gedhek dan triplek. Pancuran untuk mengalirkan air Wudlu juga adalah sebuah padasan yang terbuat dari tanah liat. Lalu apa yang bisa disimpulkan dari pertemuan tersebut? Ahmad Tohari adalah ndeso tetapi bukan berarti ndeso katrok, melaikan orang desa yang pikiran dan wawasannya begitu luas, menjangkau ruang dan waktu. Beberapa karya yang dihasilkannya menunjukkan bahwa beliau adalah orang desa yang intelektual, kritis, empatis terhadap kehidupan masyarakat sekaligus bangsa.

Ahmad Tohari lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah pada 13 Juni 1948; Ia dikenal sebagai salah satu sastrawan Indonesia. Kepawaiannya menulis diwujudkan dengan menulis novel, sebuah genre yang bukan sembarang orang bisa menulisnya.

Menurut catatan, karir pendidikannya, menamatkan SMA di Purwokerto. Beliau kemudian mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Sudirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Sosial Politik Universitas Sudirman (1975-1976).

Dalam dunia jurnalistik, Ahmad Tohari pernah menjadi staf redaktur harian Merdeka, majalah Keluarga dan majalah Amanah, semuanya di Jakarta. Dalam karir kepengarangannya, penulis yang berlatar kehidupan pesantren ini telah melahirkan novel dan kumpulan cerita pendek. Beberapa karya fiksinya antara lain trilogi ''Ronggeng Dukuh Paruk'' telah terbit dalam edisi Jepang, Jerman, Belanda dan Inggris. Tahun 1990 pengarang yang punya hobi mancing ini mengikuti International Writing Programme di Iowa City, Amerika Serikat dan memperoleh penghargaan The Fellow of The University of Iowa. [

Anda mungkin juga menyukai