Anda di halaman 1dari 3

Krisis

Terlalu Seksi, Jumat, 21/10/2011 | 12:12 WIB Impor Makin Ancam

Global
RI

Surabaya- Gawat! Tahun depan, perekonomian dunia diperkirakan kelompok G-20 hanya akan tumbuh 1%. Padahal tiga pekan sebelumnya, dunia optimis tumbuh 4%. Bagi Indonesia, ancaman bukan berasal dari perlambatan ekonomi, tapi lebih akibat membludaknya barang impor. Pasar Indonesia dinilai sangat seksi dengan dukungan 237 juta jiwa penduduk sebagai konsumen. Ironisnya, pemerintah tak berusaha membangun benteng serbuan produk asing karena kebijakan saat ini cenderung mempermudah barang luar masuk. Pokoknya jauh hari kami memperingatkan pemerintah untuk memperketat pintu impor. Karena ekonomi Eropa dan Amerika lesu, barang-barang dari negara lain akan membanjiri Indonesia. Ini berbahaya, kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sofyan Wanandi, Jumat (21/10). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini tentu akan mencari negara lain untuk memasarkan produknya di Indonesia. China, Vietnam, dan Malaysia diperkirakan akan mengalihkan pasarnya dari Eropa dan Amerika ke Indonesia. Sofyan betul. Sebab, barang-barang Indonesia akan kalah bersaing dengan barang impor. Ujung-ujungnya, pengangguran bisa meningkat karena banyak perusahaan lokal yang gulung tikar. Hal senada diungkapkan Ketua Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Jatim, Bambang Sukadi. Akan banyak barang impor yang masuk ke Indonesia terutama dari China. Pasalnya China sedang mengahadapi pelemahan permintaan dari Eropa dan Amrerika. Tentunya kondisi ini membuat China harus mengalihkan barang ekspornya, dan Indonesia salah satu

sasaran utamanya karena barang China sudah sekian lama mudah masuk ke Indonesia dan barangnya sendiri diminati konsumen kita, ujarnya. Apalagi saat ini kurs mata uang Dollar Amerika terhadap dollar masih menguntungkan Imporir Indonesia. Saat ini dolar berada diposisi Rp8.899 per dollar, dengan kondisi perekonomian Amerika yang masih dilanda krisis diyakini dollar akan semakin tertekan dan tentunya akan menguntungkan importir. Tetapi serbuan barang impor dari China sendiri masih terkendala permintaan yang turun. Saat ini permintaan barang impor dari Indonesia sendiri menurun khususnya untuk barang konsumsi yang saat ini kurang dari 20%, kata Bambang. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai impor Indonesia Agustus 2011 mengalami penurunan 7,12% yakni hanya mencapai 15,05 miliar dollar jika dibandingkan nilai impor Juli 2011 sebesar 16,21 miliar. Hal ini disebabkan oleh penurunan impor nonmigas sebesar1.162,2 juta dollar atau sekitar Rp 10,3 triliun (9,37 persen) dan peningkatan impor migas yang hanya sebesar 9juta dollar atau sekitar Rp 80 miliar (0,24 persen) sehingga secara total nilai impor terjadi penurunan. Namun menurut Bambang, permintaan barang impor khususnya terhadap bahan baku seperti kertas, plastik, almunium dan barang lainnya khusus industri akan meningkat tinggi. Pasalnya dengan makin melemahnya dollar membuat industri akan menumpuk bahan baku sebanyakbanyaknya dikarenakan harganya murah. Terpisah, ekonom Institute of Development for Economics dan Finance Avilliani mengakui pasar Indonesia paling seksi. Pasar terbesar dunia adalah China, Amerika Serikat, India, dan Indonesia, yang menguasai di atas 50 persen. Amerika Serikat tidak mungkin (menjadi tujuan investasi) karena bunganya kecil dan bank-banknya harus ditalangi terus sehingga ini berisiko bagi investor. Pasarnya pun yang besar mulai turun karena sudah mulai banyak PHK, di atas 9 persen, kata Avilliani. China, Avilliani melanjutkan, meski pasarnya sangat besar tetapi sudah overheating. Ruang investasinya juga sudah minim mengingat persaingan sudah sangat ketat. Sementara di sektor infrastruktur tampaknya juga sudah jenuh. India sekarang sudah sama dengan China. Sekitar sepuluh tahun lalu investasinya besar-besaran tapi sekarang sudah tidak banyak. Malah inflasi India sudah tinggi, 9 persen. India dan China sudah sama-sama overheating. Sebentara lagi pertumbuhan ekonominya akan turun karena jika Amerika Serikat dan Eropa turun otomatis India dan China juga turun, kata Avilliani. Eropa Buntu Rencana untuk mengatasi krisis utang zona Euro terancam buntu. Hal ini bisa terjadi setelah pemimpin Prancis dan Jerman berselisih paham mengenai penyaluran dana talangan utang

kawasan itu. Kondisi ini dikhawatirkan mengancam kelangsungan pertemuan negara-negara Uni Eropa yang rencananya berlangsung 23 Oktober mendatang. Kantor berita Reuters melaporkan, Presiden Prancis Nicholas Sarkozy dan Kanselir Jerman Angela Merkel meninggalkan rapat dadakan di Frankfurt Opera House tanpa berkomentar apa pun. Pertemuan yang berlangsung Rabu malam itu sedianya membicarakan penyelesaian mekanisme bailout untuk membantu negara di zona euro yang terimbas utang. Perdana Menteri Luksemburg, Jean-Claude Juncker, yang juga hadir dalam pertemuan itu, hanya mengatakan rapat gagal mengatasi perbedaan kedua negara itu Buntu, tapi kami masih terus rapat, kata dia. Perselisihan antara Jerman dan Prancis didasari masalah efektivitas mekanisme fasilitas stabilitas keuangan Eropa (European Financial Stability Facility--EFSF) untuk negara yang dilanda utang, seperti Yunani. Prancis berpendapat cara paling efektif ialah menjadikan EFSF semacam bank yang bisa mengakses dana dari Bank Sentral Eropa (ECB). Tapi usulan ini ditolak pemerintah dan bank sentral Jerman. Negara ini menginginkan EFSF menjadi semacam jaminan atas penjualan obligasi negara-negara yang dilanda utang.

Menteri Keuangan Prancis, Francois Baroin, mengatakan Jerman bahkan menolak pengucuran dana bantuan sebesar 440 miliar euro yang sebelumnya telah disepakati. Semua orang tahu keengganan Jerman, tapi kami yakin usulan kami merupakan langkah yang paling efektif. Kini dunia tinggal menunggu perundingan lanjutan kedua negara yang rencananya digelar sebelum pertemuan tingkat tinggi negara-negara Eropa pekan depan. Presiden Bank Dunia Robert Zoellick pun kembali mendesak pemimpin Eropa untuk segera bersepakat mengenai pengucuran bantuan ini. Sebelumnya, penyelesaian utang Eropa terhambat oleh sikap Slovakia yang menolak pengucuran bailout. Namun sikap itu berubah setelah pemerintah negara tersebut mendapat dukungan dari partai oposisi. Kini masalah baru malah muncul dari Jerman dan Prancis, yang sebelumnya telah padu. Perselisihan Jerman dengan Prancis ini dinilai semakin merusak kepercayaan pasar. David Mackie, Kepala Ekonom JP Morgan Chase & Co, mengatakan gejolak pasar keuangan maupun pasar modal dunia akan bergantung pada pertemuan akhir pekan nanti. Jika masalah ini belum diselesaikan, akan banyak yang kewalahan.m15,viv,itf

Anda mungkin juga menyukai