Anda di halaman 1dari 3

koran1000.blogspot.

com

http://koran1000.blogspot.com/2012/08/menolak-ruu-pendidikan-tinggisebagai.html

MENOLAK RUU PENDIDIKAN TINGGI SEBAGAI ROH UU BHP


Komisi inggi. Amanat yang ada dalam UU Sisdiknas tersebut tidak untuk membuat UU baru, melainkan membuat peraturan pemerintah (PP). Pasal 53 ayat (4) yang mengamanatkan pembentukan UU BHP sudah dibatalkan oleh MK. Oleh karena itu, pembuatan RUU PT tidak memiliki rujukan yang jelas. Ketidak-jelasan Arah Mengingat pembentukan UU PT ini tidak memiliki rujukan yang jelas, maka sejak awal saya menolak pembuatan RUU PT tersebut. Akal sehat saya mengatakan bahwa undang-undang itu melahirkan PP dan peraturan turunannya, seperti Keputusan Menteri (Kepmen) dan Peraturan Menteri (Permen). UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang direvisi melalui UU No. 20/2003misalnya, melahirkan PP No.30/1990 tentang Perguruan Tinggi. Hal yang sama, mestinya terjadi pada UU No. 20/2003. UU Sisdiknas tersebut sama sekali tidak mengamanatkan pembentukan undang-undang baru, tapi mengamanatkan pembuatan PP (pasal 20, 21, 24, dan 25). Dengan demikian, yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah membuat PP, bukan RUU PT. Keberatan terhadap RUU PT adalah ketidak-jelasan arah dari RUU PT tersebut. Artinya, tidak tahu persis apa yang akan dicapai dengan pembuatan RUU PT tersebut. Insting saya mengatakan bahwa RUU PT itu bila disahkan tidak akan mengubah kondisi pendidikan tinggi saat ini, yaitu di satu sisi tetap menciptakan kastanisasi di PTN, hanya bajunya saja yang ganti baju, yaitu dari PT BHMN menjadi PT Otonom, PT BLU menjadi PT Semi Otonom, dan PTN regular menjadi Otonom Terbatas. Di sisi lain, PTS tetap akan terdiskriminasi. Dengan kata lain, bila RUU PT tersebut disahkan, tidak akan mengubah keadaan pendidikan tinggi saat ini. Barangkali karena ketidak-jelasan arah atau bahkan landasan filosofis itulah yang membuat perjalanan RUU PT sampai edisi Juni 2011, itu sebagian besar isinya merupakan kanibalisasi dari UU BHP yang telah dibatalkan oleh MK, meskipun di draf terakhir (27/9 2011) sudah memperlihatkan perbaikkan. Dasar pembuatan peraturan untuk PT, baik PP/RUU mestinya sederhana saja. Pertama, dari sisi masyarakat adalah bagaimana agar akses masyarakat terhadap PT, terutama PTN terkemuka itu mudah. Mudah bukan berarti tesnya dipermudah, tapi mekanisme penerimaan tidak didasarkan pada kemampuan membayar. Sistem penerimaan mahasiswa baru pada masa Orde Baru yang hanya menggunakan dua model, yaitu PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan, istilah sekarang jalur undangan) dan Sipenmaru (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru, istilah sekarang seleksi bersama) merupakan model penerimaan mahasiswa baru yang ideal, karena setiap calon mahasiswa baru dari kalangan berduit maupun tidak memiliki hak yang sama untuk dapat diterima di PTN terkemuka. Kedua, dari sisi perguruan tingginya adalah bagaimana para pengelola PTN diberi otonomi dalam pengelolaan keuangan sehingga proses penganggaran dan penggunaan dana di PTN dapat lebih fleksibel, tidak seperti halnya penggunaan dana APBN pada umumnya. Hal itu guna menjamin kelancaran proses belajar mengajar di PTN. Jangan sampai kegiatan praktikum terhambat hanya karena pembelian bahannya belum ditenderkan. PTN harus memiliki fleksibilitas dalam menggunakan dana yang berasal dari APBN untuk menunjang kegiatan belajar mengajarnya.

Ketiga, PP/UU tersebut dapat memfasilitasi pengembangan PTS dengan cara memberikan bantuan dan kemudahan birokrasi agar PTS yang bersangkutan dapat berkembang dengan baik. Bukan sebaliknya, regulatif terhadap PTS, tapi pelit bantuan. Keempat, PP/UU PT itu mestinya memberikan kejelasan tanggung jawab pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi, baik PTN maupun PTS. Sehingga bila ada maju mundurnya PT, masyarakat dapat dengan mudah menunjuk kepada pemerintah sebagai penanggung jawabnya. Tapi keempat persyaratan yang dikemukakan di atas tidak muncul dalam RUU PT. Pasal 63 ayat (1) yang mengatur mengenai penerimaan mahasiswa baru; dalam penjelasannya masih membuka peluang jalur mandiri yang selama ini dikritik masyarakat karena terlalu komersial. Tapi ironisnya hal yang dikritik oleh masyarakat tersebut justru dikuatkan dalam RUU PT ini disahkan. Di sisi lain, masalah otonomi pengelolaan dana di PTN tidak diatur secara jelas. Pasal 51-56 yang mengatur mengenai otonomi pengelolaan PT tidak ada yang tegas memberikan fleksibilitas kepada PTN dalam menggunakan dana APBN. Sehingga tidak ada jaminan bahwa fleksibilitas penggunaan dana di PTN akan ada. Pasal 52 ayat (1) hanya embagi otonomi pengelolaan PTN itu ke dalam tiga tingkatan, yaitu otonom, semi otonom, dan ontonom terbatas. Tapi tidak dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan Otonom, Semi Otonomi, dan Otonomi Terbatas. Pasal ini hanya bermakna penegasan terhadap kastanisasi di PTN yang ada selama ini yang terbagi dalam PT BHMN, PT BLU (Perguruan Tinggi Badan Layanan Umum), dan PTN reguler. Demikian pula, nasib PTS tidak ada jaminan akan lebih baik dengan disahkannya RUU PT ini, karena memang tidak ada satu pasal pun yang dapat menjamin bahwa nasib PTS akan lebih baik setelah RUU PT ini disahkannya. Sehingga bagi PTS, ada UU PT atau tidak, nasibnya tidak akan berubah. Tanggung jawab Pemerintah dalam pembiayaan pendidikan tinggi juga kabur. Pasal 79 ayat (1) yang mengatur mengenai pembiayaan menyatakan: Pendanaan pendidikan tinggi menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Implikasi dari bunyi ayat tersebut adalah tanggung jawab negara dan masyarakat dalam pembiayaan pendidikan tinggi itu sama. Tekanan PT BHMN Mengapa RUU PT ini kenyataannya hanya kanibalisasi UU BHP tapi tetap akan disahkan? Jawabnya jelas, bahwa itu semua karena tekanan para pimpinan PT BHMN yang menghendaki agar RUU PT dapat disahkan tahun 2011 ini. Para pimpinan PT BHMN merasa kehilangan payung hukum dengan dibatalkannya UU BHP. Selama ini mereka berjalan hanya berdasarkan PP saja dan mereka berharap akan dapat payung hukum dari UU BHP. Sayang, UU BHP itu sendiri kemudian dibatalkan oleh MK sehingga mereka seakan kehilangan payung hukum. Padahal, pemerintah sudah mengeluarkan PP No. 66/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam PP tersebut sudah jelas bahwa PT BHMN harus kembali ke status PTN dengan masa transisi tiga tahun. Tapi tampaknya para pimpinan PT BHMN keberatan terhadap amanat tersebut sehingga mendesak kepada Pemerintah untuk membuat UU BHP baru khusus mengenai PT BHMN. Maka lahirlah kemudian RUU PT ini. Meskipun DPR dan Pemerintah selalu membantah bahwa RUU PT ini bukan pengganti UU BHP, realitasnya, semangat RUU PT ini hanya mengatur tentang tata kelola saja, sama dengan semangat UU BHP; terlebih pasal-pasal di dalamnya juga hanya mencomot dari UU BHP. Persoalan pemberian gelar Doktor Honoris Causa (Dr. HC) yang pernah menjadi heboh, justru tidak diatur dalam RUU PT ini. Bila menolak RUU PT, lalu apa solusinya? Itu pertanyaan yang sering mengemuka. Solusinya jelas: PP yang merupakan turunan dari UU Sisdiknas No.20/2003. Bukan RUU PT yang isinya sama

sekali tidak diamantkan dalam UU Sisdiknas. Sedangkan untuk memberikan fleksibilitas penggunaan dana APBN, seorang pejabat di Kementrian Keuangan pernah membisikkan ke saya, bahwa setelah MK membatalkan UU BHP, pejabat Kementrian Diknas sudah konsultasi ke Kementrian Keuangan meminta fleksibilitas tersebut dan disetujui. Artinya, tidak ada alasan lagi bahwa RUU PT ini disusun demi memberikan otonomi pengelolaan keuangan bagi PT BMHN maupun PTN. Pengesahan RUU PT hanya demi menyenangkan ketujuh PT BHMN tapi dengan mengorbankan kepentingan bangsa yang lebih luas, jelas merupakan dosa besar. Untuk itulah maka pengesahan RUU PT itu harus ditolak. ***

Anda mungkin juga menyukai