Menurut Fukuyama (1995), kepercayaan merupakan satu bentuk efisiensi untuk merendahkan
biaya- biaya transaksi dalam banyak hubungan- hubungan sosial, ekonomi, dan politik. Lebih
daripada itu, Tonkiss, et. al. (2000) dan Misztal (1996) menjelaskan, bahwa kepercayaan juga
merupakan ikatan dari semua kontak- kontak kemanusiaan dan interaksi institusi. Artinya, dalam
hal ini (misal terhadap layanan perbankan) konsumen percaya, bahwa penyedia layanan tidak akan
berlaku ‘curang’ terhadap layanan yang diberikan atau ‘melenceng’ seperti apa yang dijanjikan, dan
dengan sengaja monomer-duakan konsumen di dalam memperoleh kepastian layanan. Jika tidak,
tentu konsumen dengan mudah beralih untuk mempergunakan dan berhubungan dengan penyedia
layanan lainnya.
1
Rev01/ January 9, 2009
Namun demikian, ketika dihubungkan dengan penyedia layanan publik yang disediakan
pemerintah, sebagai contoh, tidak seperti demikian keadaannya. Warga (sebagai konsumen
atau pengguna) tidak memiliki pilihan (terkecuali jika ’membuang’ kewargaannya untuk
menjadi warga negara lain atas dasar semata- mata untuk mendapatkan pilihan). Di dalam
laporan United Expert Group Meeting (2003) dikatakan, bahwa layanan- layanan publik
seringkali dicirikan dengan satu perbandingan yang absolut atau setidaknya adalah lemah di
dalam persaingan, jika dipahami sebagai organisasi bisnis dalam menarik konsumen-
konsumen terhadap para penyedia sebagai pesaing atau rival mereka. Apalagi, jika layanan-
layanan publik tersebut tadi, seperti misalnya pengumpulan pajak (tax collection) dan
penegakkan hukum (law enforcement), yang bukan hanya sebagai layanan- layanan publik
yang seringkali bersifat monopoli, namun juga sebagai suatu kewajiban bagi pengguna
(warga). Sehingga hasilnya adalah, kebanyakan dari fitur- fitur dasarnya begitu mudah
menghilang terhadap penyediaan layanan- layanan publik. Sekalipun dalam hal ini,
layanan publik bukanlah industri dan bisnis, karena di dalamnya terdapat peran sosial yang
lebih utama.
Dalam laporan United Nation (2005) dinyatakan, bahwa keadaan tersebut salah satunya
adalah dikarenakan kebanyakan badan- badan atau jawatan- jawatan sektor publik
berbentuk institusi yang beragam terhadap konteks budaya dan sejarahnya, serta bahkan
2
Rev01/ January 9, 2009
Untuk itu, sebagaimana laporan UN Expert Group Meeting (2003) di dalam prioritas
pembangunan sosialnya mengatakan, bahwa dalam meningkatkan keefektifan sektor publik
dan area pembelanjaan sosial, maka pemerintah seharusnya:
a. menentukan apa sumber- sumber daya yang diperlukan untuk penyediaan tingkat-
tingkat dasar terhadap layanan- layanan, dan kemudian menguji cara- cara pembiayaan
dan pembelanjaan dari keuangan yang lebih baik terhadap keseluruhan kerangka kerja
keuangannya. Aktifitas- aktifitas tersebut, adalah seperti melalui peningkatan derajat-
derajat atau pengumpulan- pengumpulan pajak yang lebih baik, bayaran penggunaan,
pinjaman yang hati- hati, dan penggunaan bantuan secara layak dan sepadan.
b. menentukan sasaran- sasaran tuju dan prioritas- prioritas yang jelas saat pembuatan
keputusan dari alokasi- alokasi sumber- sumber daya publik, baik itu terhadap area-
area program dan keuntungan yang dimaksudkan, dengan selalu melindungi
kemiskinan dan usaha- usaha terhadap meng-franchised-kan program- programnya.
c. memperhitungkan ke-saling tergantung-an dari pembelanjaan- pembelanjaan
pembangunan sosial, seperti: pendidikan, gizi, dan kesehatan dasar, serta mendorong
3
Rev01/ January 9, 2009
pencapaian satu pinjaman masal yang kritikal terhadap area- area tersebut, untuk
mendapatkan keefektifan dalam semua area dan program- program pembangunan sosial
secara bersamaan dan terpadu.
d. memastikan pengukuran terhadap bajet pemerintahan tidak menciptakan kondisi
ekonomi dan efek- efek yang sebaliknya, seperti: inflasi, krisis pembayaran berimbang,
pertumbuhan yang rendah, serta penuh sesaknya investasi swasta yang dapat
merendahkan pencapaian sasaran- sasaran tuju sosial.
e. memastikan transparasi dan akuntabilitas dalam bajet dan proses formulasi bajet,
termasuk layanan ’provision’ yang sesuai untuk warga dan konsultasi- konsultasi
stakeholder, maupun komunikasi yang jelas dan informasi yang lengkap tentang
pendapatan (revenues) dan keterbatasan- keterbatasan keuangan atau fiskal.
f. menentukan sasaran- sasaran tuju dan prioritas yang jelas saat merancang anggaran
terhadap area- area dan keuntungan- keuntungannya, dengan selalu mencoba
melindungi kepentingan- kepentingan terbaik dari orang- orang miskin dan sektor-
sektor masyarakat marjinal.
g. memberikan prioritas terhadap anggaran pembelanjaan- pembelanjaan yang
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan publik, mempromosikan kapasitas
pembangunan, dan sebagainya. Sebelum pembelanjaan- pembelanjaan digunakan untuk
membiayai eksistensi pemerintahan dan fungsinya.
h. mengambil langkah reformasi terhadap sistem alokasi anggaran untuk menghindarkan
atau meminimalkan pembiayaan proyek- proyek dan program- program sosial terhadap
usaha- usaha untuk memakmurkan dan menguntungkan diri sendir (pork-barrel in
character or selfish), serta motif- motif kesempatan dalam politik (opportunistic
political motives)
i. memberikan perhatian- perhatian khusus terhadap sesuatu yang diperlukan untuk
memastikan bahwa dana- dana publik yang dialokasikan terhadap sasaran- sasaran
khususnya adalah berhubungan dengan satu sistem monitoring dan evaluasi, agar
memastikan sumber- sumber daya dan keuntungan- keuntungannya sampai pada tujuan-
tujuan yang dimaksudkan.
j. mengimplementasikan sistem pengukuran dan pembangunan untuk menghilangkan
tembok- tembok penghalang terhadap penyediaan layanan dan kinerja.
k. memberikan perhatian terhadap pemilihan waktu yang tepat saat menyiapkan
perencanaan- perencanaan dan program- program dalam aktifitas- aktifitas
4
Rev01/ January 9, 2009
pembangunan kapasitas, dengan mempertimbangkan apa yang ada dan dalam kerangka
jangka pendek, menengah, dan panjang.
l. merancang biaya yang seimbang melalui penetapan terhadap biaya- biaya untuk
layanan- layanan publik sebagai kombinasi yang diperlukan terhadap satu cara
kepuasaan. Yaitu mencakup pengeluaran secara tetap dan dapat sesuai terhadap ruang
lingkup dari orang- orang yang lebih luas.
m. merancang kebijakan- kebijakan kerjasama yang dimiliki, jika memungkinkan dan
sesuai, bersama sektor- sektor swasta dan promosinya, melalui petunjuk- petunjuk suatu
kebijakan melalui perancangan dan penciptaan institusi- institusi yang bersandar pada
layanan- layanan publik terhadap masyarakat. Sehingga mencapai suatu keseimbangan
antara aspek- aspek sosial dan ekonomi terhadap aktifitas- aktifitas sektor publik.
5
Rev01/ January 9, 2009
merupakan bagian yang dikendalikan oleh masyarakat secara nasional maupun lokal,
dan juga termasuk layanan bagi bukan pembayar pajak.
3. Dikarenakan inti dari layanan sipil adalah pada satu perannya yang begitu kompleks,
namun sangat diperlukan di dalam model dari pengaturan yang responsif , seperti
halnya dalam layanan dari sektor publik (Erkkilä, 2004), maka melalui penciptaan yang
memungkinkan lingkungan layanan publik bagi tanggapan yang efektif, adalah
tergantung kepada bagaimana kepemimpinan didedikasikan secara profesional dengan
implikasi – implikasinya. Dalam hal ini, Bhatia dan Drew (2008) menggarisbawahi, bahwa
bagaimanapun sebaiknya fungsi pemerintahan terhadap kebijakan publik dapat
dijalankan dengan baik dan benar.
4. Kegagalan dari jawatan- jawatan pemerintah untuk meningkatkan fokus terhadap
pengguna/pelanggan, yang menurut Read (2008) adalah berdasarkan 3 elemen, sebagai
berikut:
i. terhadap permintaan (bagaimana masa lebih/tambahan diwujudkan karena proses
yang dijalankan adalah gagal).
ii. menghilangkan proses yang tidak memberikan nilai tambah (apa pekerjaan yang
perlu diringkas sebagai penghematan energi, oleh karena apa yang tengah
berlaku/ada adalah tidak memberikan nilai tambah bagi mayoritas
pengguna/pelanggan)
iii. mengurangi pergerakan kerja antara jabatan (mengurangi penanganan yang
berganda atau lebih)
5. Lemahnya dorongan bagi organisasi- organisasi sektor publik untuk menemukan suatu
cara di dalam mensejajarkan strategi peningkatan mereka, yaitu melalui penyediaan
layanan yang lebih baik dan baru terhadap biaya yang terbatas, dan terhadap sesuatu
yang berkenaan dengan pekerja/ pegawai. Di samping mengoptimalkan biaya, mutu,
dan layanan pelanggan secara berkesinambungan. Di sini, Radnor et.al., (2006)
mengungkapkan, bahwa peningkatan mutu yang diperlukan dari organisasi- organisasi
sektor publik terhadap masyarakat dan dirinya adalah, di dalam masa atau waktu
tunggu pengguna/konsumen terhadap layanan yang diberikan, kinerja layanan, lamanya
masa pemrosesan layanan, aliran pengguna dan mutu melalui pemahaman dan
kerjasama yang lebih baik, peningkatan kecakapan terhadap penggunaan data yang
tersedia, keyakinan diri dan kepuasaan pekerja, serta budaya peningkatan
berkesinambungan
6
Rev01/ January 9, 2009
Sekalipun demikian, secara alamiahnya terdapat perbedaan- perbedaan terhadap nilai dari
sumber- sumber daya yang dimiliki (seperti kemampuan- kemampuan dan lingkungan), dan
bahkan di dalam cara- cara yang berdampak terhadap pembuatan dan penerapan strategi.
Maka dalam hal ini, organisasi- organisasi sektor publik perlu menyadari dan menemukan
suatu cara di dalam mensejajarkan strategi peningkatan layanan mereka. Yaitu, melalui
penyediaan layanan yang lebih baik dan baru terhadap biaya yang terbatas dan terhadap
sesuatu yang berkenaan dengan pekerja/ pegawai, di samping mengoptimalkan biaya, mutu,
dan layanan pelanggan secara berkesinambungan. Artinya, jika dihubungkan dengan
pengurusan dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk atau KTP, sebagai misal. Dalam hal
seperti pembuatan KTP di Bandung yang ditetapkan dengan harga Rp. 7500 sebagai biaya
administrasi, ternyata pada tingkat operasional menjadikan ruang terbuka bagi
‘penggelembungan’ biaya menjadi lebih mahal. Karena di dalamnya diperlukan surat
keterangan dari RT dan RW domisili hingga kelurahan, sehingga menjadi aliran birokrasi
yang panjang. Untuk kemudian, pengguna (warga) acap kali secara langsung terdorong
untuk ‘menembak’ harga di kecamatan atau kelurahan terhadap penyediaan layanan bagi
mereka agar lebih mudah dan cepat.
Padahal, biaya administrasi yang telah ditetapkan tadi adalah biaya terbatas yang telah
secara efektif melalui pengelolaan administrasi layanan publik, dengan waktu penetapan
yang harus ditepati sebagai ukuran kinerja pegawai (pekerja) dan ’manajer’ (atasan) sektor
publik, selain kinerja sistemnya. Untuk kemudian ditingkatkan dalam prosesnya, agar
menjadi lebih singkat sebagai suatu tarikan kebutuhan (pull) dari konsumen (warga)
terhadap nilai- nilai stream yang tidak memberikan nilai tambah dan kegagalan- kegagalan.
Hingga kemudian, secara sistematis pengelolaan sumber- sumber daya diupayakan melalui
perbaikan- perbaikan sistem, maupun penggunaan teknologi. Bukan menjadi dalih ,” Kalau
mau cepat lewat ’tol’ saja, pak” , yang bahkan ketika jaminan waktu yang dijanjikan lewat
’tol’ tadi terkadang tidak ditepati, alasannya ” Jalan tol juga sekarang sering macet, pak.”
7
Rev01/ January 9, 2009
pengurusan surat- surat keterangan, misalnya. Bisa dibayangkan, berapa lama terhitung
setiap tahunnya jika seseorang menghabiskan waktunya untuk tidak ’produktif’
dikeranakan mengantri untuk membayar rekening tagihan telepon, air, listrik, pajak.
Apalagi jika ditambahkan untuk pengurusan SIM, perpanjangan STNK, Surat Keterangan
Kepolisian atau domisili, pembuatan Surat Akte Kelahiran, pendaftaran masuk anak
sekolah, dan banyak lainnya. Belum lagi termasuk tenaga dan biaya yang perlu
dikeluarkan untuk mengakses tempat- tempat layanan. Konyolnya, hingga termasuk untuk
membeli minyak tanah pun ’dipaksa’ harus mengantri!
Dalam contoh kasus pajak, misalnya. Kepentingan akan pemasukan pajak yang semakin
ditingkatkan dari tahun ke tahun, selain dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan
negara sebagai modal pemerintah dalam pembangunan, juga adalah dapat diterjemahkan
untuk mendorong kinerja individu, organisasi atau instansi pajak sebagai layanan sektor
publik terhadap masyarakat. Namun pada kenyataannya, kinerja sektor tersebut adalah
menafikkan kenyataan yang ada semenjak beberapa aturan dan tingkat implementasinya
tidak dibidikkan kepada inti masalah, serta bukan memberikan solusi yang baik dan tepat
terhadap kemudahan dan kelegaan masyarakat. Misalnya terhadap kasus NPWP sebagai
implementasi Peraturan Pemerintah (PP) No. 80 Tahun 2008 mengenai Fiskal Luar Negeri
dan Peraturan Dirjen Pajak No. 53/PJ/2008 tentang: ”Tata Cara Pembayaran Pengecualian
Pembayaran dan Pengelolaan Administrasi Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri Yang Akan Bertolak Ke Luar Negeri”, sebagai berikut:
1. Jika sasaran tujuan dari Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Dirjen Pajak adalah
dimaksudkan untuk menaikkan penghasilan negara lewat pajak sebagai modal
pembangunan, pertanyaannya adalah:
• Mengapa kemudian ditimbulkan peraturan pajak melalui biaya fiskal yang diwajibkan
bagi penduduk yang akan berpergian keluar negeri?
• Apakah peraturan tersebut merupakan suatu bentuk dari dan diperuntukkan bagi
peningkatan (improvement) sistem pemerintahan dan juga terhadap layanan publik?
2. Jika semata- mata sasaran tujuannya adalah peningkatan penghasilan pajak, maka
pertanyaannya adalah:
8
Rev01/ January 9, 2009
• Mengapa bukan melalui optimalisasi kinerja instansi pajak terhadap peraihan akses
pajak yang ada selama ini untuk ditingkatkan, dan berkenaan dengan pendapatan dan
kekayaan, serta efektifnya penggunaan akses pajak dan penggalian, pengelolaan,
pengutipan yang benar dan jujur dari aparat atau pegawai pajak terhadap obyek
kekayaan, misal: rumah, mobil, tanah, deposito, tabungan, kepemilikan saham, dsb.
(termasuk juga terhadap dirinya dan obyek- obyek individu pajak yang belum terkelola
dan tergali dengan baik), selain terhadap obyek keuntungan perusahaan- perusahaan?
3. Jika Darmin Nasution sebagai Dirjen Pajak meyakini kebijaksanaan kenaikan tarif fiskal
adalah tidak akan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak tahun depan, seperti
dikutip Bisnis Indonesia (2008), sebab kebijakan tersebut sebenarnya untuk (dapat)
meransang masyarakat untuk membuat NPWP, pertanyaannya adalah:
• Apakah keuntungan yang diperoleh masyarakat secara luas, jika NPWP merupakan
ransangan bila hanya dikaitkan dengan jumlah warga yang bepergian keluar negeri
yang jumlahnya adalah terbatas?
• Pernahkah pemerintah tahu, berapa banyak warganya berpergian keluar negeri dan
intensitas (berapa kalinya) perorangan pergi ke luar negeri, selain TKI dan pelajar,
yang selama ini belum memiliki NPWP?
• Mengapa ransangan terhadap pajak dilakukan dengan ’paksaan’ melalui kepemilikan
NPWP? Bukankah ransangan pajak seharusnya dilakukan dengan cara meningkatkan
ekonomi rakyat yang kemudian pada gilirannya, rakyat memberikan kewajibannya?
Mengapa NPWP-nya yang menjadi sasaran dan strategi, bukan kinerja organisasi dan
individu para aparat pajak?
Jangan- jangan justru yang ’tersabit’ adalah lebih banyak jumlahnya berasal dari para
calon TKI baru, yang akan berangkat mencari pekerjaan di luar negeri. Atau masyarakat
awam yang ’jujur’ dan polos, sekalipun penghasilannya sudah ’termajinalisasikan’ dengan
akselerasi biaya kehidupan yang semakin meningkat.
Adalah sesuatu yang nista, seperti misalnya jika warga keluar negeri adalah untuk
mengadu nasib dalam mencari pekerjaan (sekalipun mungkin menjadi pekerja ilegal)
untuk keluar dari kemiskinannya, semenjak negara tidak mampu menyediakan ruang yang
layak bagi kesempatan bekerja di dalam negeri dan peningkatan taraf kehidupannya, yang
ternyata juga harus dikenakan pajak melalui fiskal. Apakah demi dan agar bebas fiskal luar
negeri berdasarkan aturan pemerintah, yaitu perjalaan darat (BAB III Pasal 7 No.6), maka
9
Rev01/ January 9, 2009
para calon- calon pekerja ke luar negeri diberikan pilihan dengan cara ’jalan kaki’ demi
menghindarkan biaya Rp. 2,5 juta? Padahal pada gilirannya, kelak suatu ketika warga
tersebut akan memberikan keuntungan bagi negara melalui remitans. Sementara pada
kenyataannya yang lain, orang Indonesia yang ke luar negeri dalam mencari pekerjaan
sekarang ini, bukan sesuatu yang hanya milik warga dengan status TKI, atau sesuatu yang
dikatakan mewah. Karena, misalnya ke Malaysia, Singapura, dan Brunei, ternyata biaya
ongkos perjalanannya adalah jauh lebih murah dari biaya fiskal luar negeri yang wajib
dibayarkan, dan bahkan ongkos perjalanannya jauh lebih murah dibandingkan beberapa
perjalanan dengan menggunakan pesawat udara di wilayah Indonesia sendiri.
5. Jika NPWP (nomer pokok wajib pajak) menjadi salah satu perangkat yang dipergunakan
untuk pemenuhan kewajiban instansi pajak, sebagaimana pernyataan yang dilontarkan
Dirjen Pajak dalam hal pembuatan NPWP seperti dikutip Bisnis Indonesia (2008) ,” Saya
kira tadinya tidak sampai sebesar itu. Jadi kalau 10 juta itu sudah bagus. Ya siapa yang
bisa membayangkan bisa seperti ini dapat 10 juta.” Maka tentu kemudian, pertanyaannya
adalah:
• Apakah sudah diperhitungkan terhadap semakin tingginya kebutuhan akan sumber-
sumber daya yang diperlukan dan ’kosumsi’ belanja rutin keuangan instansi pajak,
seperti terhadap jumlah pegawai, pelatihan- pelatihan, keahlian dalam pengolahan dan
pengelolaan data, penerapan dan penggunaan teknologi serta kebutuhan-
kebutuhannya, tempat- tempat layanan, dan sebagainya, agar pelayanannya baik ?
6. Bisnis Indonesia (2008) menyatakan, bahwa 40% atau sekitar 20 juta kepala keluarga
yang memiliki penghasilan kena pajak. Jika dimaksudkan, bahwa dengan kepemilikan
NPWP pribadi adalah demi menjaring individu- individu sebagai obyek pajak,
pertanyaannya adalah:
10
Rev01/ January 9, 2009
• Apakah dari 40% tadi, semuanya telah terhitung benar- benar di luar dari para pekerja
yang selama ini sudah membayar pajak. Di mana pembayarannya adalah dilakukan
melalui potongan langsung dari perusahaan terhadap gaji bulanan mereka, yang dalam
hal ini dibayarkan langsung oleh perusahan?
• Bukankah dengan semakin terincinya individu- individu sebagai obyek pajak, juga
akan memperbesar pengeluaran belanja instansi pajak sebagai sektor publik dan
layanan publik untuk menyediakan kaunter- kaunter pelayanan, sosialisasi pajak,
sekaligus perangkat- perangkat dan pembangunan sistemnya sebagai pembelanjaan dan
pengeluaran biaya?
• Bagaimanakah dengan keberadaan kaunter- kaunter layanan pajak untuk mensukseskan
program tersebut? Bagaimanakah dengan orang perorangan yang berpenghasilan kena
pajak, padahal tinggal di kota- kota kecamatan? (contoh: jenis pekerjaan atau usahanya
di sektor- sektor informal, misal: saudagar- saudagar kampung, dsb).
7. Perhatikan kutipan Peraturan Dirjen Pajak No. 53/PJ/2008, seperti berikut ini:
Ternyata dalam melayani publik mudah saja, bukan? Segala aturan bisa dibuat ”Terms &
Conditions Apply” yang menguntungkan bagi kepentingannya: coret dan paraf. Biarkan
konsumen bersusah- susah dengan segala macam urusan kertas dan fotocopy demi sebuah
sticker atau stamp! Kalau tidak, berikan saja ’kartu merah’: Formulir TBPFLN ! Dalam
kondisi demikian, pertanyaannya adalah:
11
Rev01/ January 9, 2009
• Seberapa effektifkah formulir TBPFLN dikelola dengan baik dan jujur oleh para
petugas pajak selama ini? Apakah karena sedemikian mahalnya formulir tesebut,
sehingga dikondisikan seperti itu? Padahal 1 lembar berarti nilainya Rp. 2,5 juta.
• Seberapa efektifkah penggunaan stamp ”BF” diawasi selama stiker pengganti belum
tersedia? Sebab 1 kali stamp bernilai Rp. 2,5 juta.
• Seberapa banyakkah biaya yang dibelanjakan layanan pajak untuk pengadaan stiker
BF, apalagi jika stiker tersebut dibuat sedemikian rupa agar tidak mudah dipalsukan?
Seberapa efektifkah pengawasan terhadap penggunaan dan pengeluaran stiker tersebut?
Karena 1 sticker bernilai Rp. 2, 5 juta.
Menurut UN Expert Group Meeting (2003), bahwa peningkatan efektifitas sektor publik
merupakan suatu proses yang dinamis dari pemerintahan yang memiliki tanggungjawab
untuk mengevaluasi kefektifan dari kebijakan- kebijakannya, pengeluaran pembiayaaan,
dan program- programnya. Di mana gol- gol dan strategi- strategi untuk pencapaiannya,
adalah sebaiknya dibarengi dengan target- target dan indikator- indikator. Sehingga kinerja
sektor publik dapat diukur dan dimonitor sepanjang waktu. Di sini, pengukuran
keefektifannya melibatkan satu perbandingan antara yang direalisasikan dan direncanakan
terhadap output yang diharapkan, begitu pula dampak maupun hasilnya. Artinya, bukan
40% atau 20 jutanya kepala keluarga sebagai bidikan NPWP, tetapi seberapa besar hasil
pajak yang dapat diperoleh dengan cara mewajibkan kepemilikan NPWP, dan hasilnya
terhadap negara untuk pembangunan yang kemudian dirasakan oleh masyarakat sebagai
keuntungan.
Hauser dan Katz (1998) mengatakan, bahwa suatu organisasi adalah menjadi apa yang
diukurnya. Maksudnya, melalui pengukuran yang dilakukan melalui satu pendekatan yang
diterima di dalam organisasi- organisasi dengan usaha- usaha yang dapat dipertimbangkan,
melalui ’apa’ yang coba akan diukur dan ’bagaimana’ mengukurnya, akan menunjukkan
bagaimana organisasi tersebut. Artinya, jika dikaitkan dengan target sebesar 40% atau 20
juta kepala keluarga untuk memiliki NPWP, sekalipun tercapai, maka kinerja baik
pencapaiannya (achievement performance) yang dilakukan hanyalah sebatas organisasi
yang berkinerja baik di dalam mengumpulkan data NPWP sebagai layanan publiknya,
bukan sebagai organisasi yang berkinerja baik dalam meraih jumlah pajak yang besar. Di
dalam hal ini, celakanya: ”10 juta pun sudah bagus.” (Cuma data jumlah NPWP,
maksudnya?)
12
Rev01/ January 9, 2009
Kebijakan publik yang dikeluarkan dalam hal ini, tampaknya lebih didorong untuk tidak
’clash’ dengan instansi-instansi publik lainnya. Selain, juga mengabaikan seberapa banyak
sumber- sumber daya yang harus dibelanjakan negara, bila hanya menggali pajak melalui
biaya fiskal luar negeri sebesar Rp 2,5 juta lewat cara NPWP, dengan cara penyiapan
perangkat- perangkat sumber dayanya (pegawai, pelatihan, perangkat- perangkat teknologi
informasi, dan program- program serta ketersambungannya (on-line) , kaunter- kaunter,
dsb.) sebagai konsekuensi jika peraturan tersebut ingin diimplementasikan secara efektif.
Sehingga melalui sistem penggunaan NPWP, dapat dipastikan tidak adanya warga yang
berangkat ke luar negeri ’lolos’ dari peraturan tersebut? Atau, memang sengaja dibuat
ruang, sehingga terbuka layanan ’jalan tol’ dari aparat aparat layanan publik? Padahal
seperti diketahui, bahwa peraturan tadi hanya berlaku hingga tahun 2011, dan seperti
dikatakan Dirjen Pajak, bahwa, ”Kalau semua mengurus NPWP, penerimaan dari bea fiskal
bisa nol.” (Bisnis Indonesia, 2008).
Sebagai perbandingan, seperti dikutip Medan Bisnis (2009), ternyata orang keluar negeri
dari pelabuhan udara Polonia di Medan hanya 10% saja yang belum memiliki NPWP. Jika
memang pemerintah konsisten terhadap aturan tersebut untuk memberikan layanan yang
baik kepada masyarakat, bukankah penyiapan infrastruktur- infrastruktur tadi berarti
pemborosan pembelanjaan terhadap pajak yang dihasilkan? Atau ketika infrastruktur-
infrastuktur tadi ditujukan bagi bukan pelayanan fiskal luar negeri, seberapa besar biaya
13
Rev01/ January 9, 2009
yang dikeluarkan terhadap manfaat dan efektifnya antara pusat- pusat layanan yang
didirikan terhadap orang- orang yang perlu dikenakan pajak? Misal, bila subyek pajak
berada tinggal jauh dari tempat layanan- layanan yang didirikan, seperti misalnya
kawasan- kawasan industri yang jauh dari kota. Contoh, di kawasan industri Lobam Bintan,
Manis di Tangerang, Kabil di Batam, dan lain sebagainya. Apakah juga serta merta pusat-
pusat layanan pajak didirikan ditempat tersebut?
Sedangkan untuk layanan publik terhadap sistem informasi bagi pembuatan kartu penduduk
dalam program ’single identity’ ataupun penghimpunan data- data terhadap pemilih dalam
pemilu saja (sebagai perbandingan), adalah masih jauh dari apa yang dikatakan layak dan
baik. Apalagi jika individu- individu tadi, ternyata adalah obyek yang tidak membayar
pajak dikarenakan jumlah penghasilannya tidak kena pajak (PTKP). Belum lagi, misalnya
jika suatu sistem dan infrastruktur yang dibangun adalah kurang memadai, di mana setiap
individu- individu tadi di-’repot’-kan untuk mendapatkan akses layanan pajak di karenakan
waktu dan tempatnya bekerja terhadap pusat- pusat layanan pajak.
Bisnis Indonesia (2008) melaporkan, bahwa sebelumnya untuk mengurus NPWP sekitar
sebulan, dan kini hanya membutuhkan waktu 3 hari. Artinya, jika seseorang (warga) berniat
baik di dalam melaksanakan kewajibannya untuk memberikan keuntungan kepada negara
saja harus menunggu pemrosesannya selama 3 hari, apalagi jika seseorang mengurus untuk
mendapatkan haknya? Ini baru pembuatan kartunya, belum lagi nanti dalam hal
pembayarannya, bagaimana cara menghitung pajaknya, dan sebagainya.
14
Rev01/ January 9, 2009
Sedangkan untuk pengurusan KTP saja, yang jelas- jelas tercatat waktu pemrosesannya, (14
hari untuk di Kota Bandung, sebagai misal) sebagai hak bagi warga untuk menuntut
layanan, seringkali tidak ditepati. Bagaimana hak pelayanan bagi warga terhadap NPWP,
yang dalam hal ini tidak mengatakan berapa lamanya sektor publik ini dapat menyiapkan
dan menyelesaikan pendaftaran NPWP yang diterima? Dan bagaimana peran sektor publik
ini untuk mensosialisasikannya, dengan cara me-’melek’-kan mata konsumen (warga)
terhadap cara- cara penghitungan pajak, masalah- masalah teknis terkait dan sebagainya?
Atau mungkin, seperti juga layanan umum pemerintah lainnya, menjadi layanan publik
yang sekalipun dalam formulir isian dan perjanjiannya tidak mengutip tulisan ”Terms &
Conditions Apply”, tetapi pada kenyataannya, ”Kalau mau cepat, lewat jalan tol saja pak.”
Tentunya, ini bukan yang diharapkan dan dimaksudkan dari hasil suatu kebijakan
pemerintah berikut implementasinya di lapangan dan budaya antri , bukan?
*****
Pustaka Rujukan
1. Bhatia, N. dan Drew, J. (2008) Applying Lean Production to Public Sector. The
McKinsey Quarterly, June (access on 11/08/2008) Available at
http://www.mckinseyquarterly.com/Public_Sector/Applying_lean-production_to_the...
2. Bisnis Indonesia (2008). NPWP akan bertambah 20 juta pada tahun 2009. (26
Desember 2008)
3. Bridgman, P. (2007). Performance, Conformance, and Good Governance in the Public
Sector. Key Issues: Risk Management – Keep Good Companies, April 2007, pp.149-157
4. Erkkilä, T. (2004). Governance and Accountability—A Shift in Conceptualisation?
EGPA 2004 Annual Conference. Ljubljana, Slovenia, 1–4 September. Available at
http://www.fu.uni-lj.si/ egpa2004/html/sg7/Erkkila.pdf
5. Fukuyama, F (1995). The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New York:
Free Press
6. Hauser, J.R. dan G.M. Katz, (1998). Metrics: You Are What You Measure!, European
Management Journal, Vol. 16 No.5, pp.517-28.
7. Jones, L.R. dan D.F. Kettle. (2003). Assessing Public Management Reform in An
International Context, International Public Management Review, Available at
www.ipmr.net, Vol. 4 No.1: Electronic Journal <http://www.ipmr.net>
8. Ketelaar, A.(2007). Improving Public Sector Performance Management in Reforming
Democratizers. Democracy Brief, Issue No.3
9. Kompas (2009). Penumpang Urus NPWP, Kapal Tunda Keberangkatan. (2 Januari
2009) Available at http://www.kompas.com/read/xml/2009/01/02/19494811/
penumpang.urus.npwp. kapal.tunda.keberangkatan
15
Rev01/ January 9, 2009
10. Martin, J. (1996). Corporatisation and Community Service Obligations: Are they
Incompatible?, Australian Journal of Public Administration, Vol. 55 No.3, p. 111- 117.
11. Medan Bisnis (2009). Hanya 10% Penumpang yang berangkat ke LN Tidak Memiliki
NPWP. (3 Januari 2009) Available at http://www.medanbisnisonline.com/rubrik.php?p
=132246&more=1#more132246
12. Mistzal, B.A. (1996). Trust in Modern Societies: The Search for the Bases of Social
Order. Cambridge: Polity Press.
13. Peraturan Pemerintah (PP) No. 80 Tahun 2008 mengenai Fiskal Luar Negeri
14. Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 53/PJ/2008 Tentang: Tata Cara Pembayaran
Pengecualian Pembayaran dan Pengelolaan Administrasi Pajak Penghasilan Bagi Wajib
Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Yang Akan Bertolak Ke Luar Negeri, Departemen
Keuangan Republik Indonesia
15. Pos Metro Padang (2009). Tak Ada Pengurusan NPWP di Bandara. (4 Januari 2009)
Available at http://www.posmetropadang.com/content/view/10838/124/
16. Radnor, Z., P. Walley, A. Stephens, dan G. Bucci. (2006). Evaluation of The Lean
Approach to Business Management and Its Use in The Public Sector. Scottish Executive
Social Research.
17. Read, C. (2008). Applying Lean in the Public Sector: How We Use Lean Manufacturing
Techniques in Government Departments. (10 May 2008). Available at http://customer-
management.suite101.com/article.cfm/applying_lean_in_the_public_ sector
18. Tonkiss, F., A. Passey, N. Fenton dan L.C. Hems. (2000). Trust and Civil Society.
London: Macmillan
19. UN Expert Group Meeting (2003). Improving Public Sector Effectiveness. 42nd Session
of the Commission for Social Development Priority, Dublin Ireland, 16-19 June.
20. United Nation .(2005). Unlocking the Human Potential for Public Sector Performance
World Public Sector Report 2005, Department of Economic and Social Affairs,
ST/ESA/PAD/SER.E/63
21. Wanna, J., C. O’Fairchealliagh dan P. Weller (1992), Public Sector Management in
Australia, Macmillan, Melbourne.
22. Wilson, D.A (2005). Driving High Performance in Government: Maximizing the Value
of Public-Sector Shared Services, The Government Executives Series, January.
16