Anda di halaman 1dari 45

BAB I PENDAHUL UAN

1.1. Latar Belakang Masalah Cita-cita kita dalam bernegara adalah untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mewujudkan cita-cita itu maka kita perlu melaksanakan pembangunan. Melalui Pembangunan kita bermaksud meningkatkan kemakmuran masyarakat secara bertahap dan berkesinambungan. Supaya pembangunan dapat berjalan dengan lancar diperlukan dukungan Pemberdayaan masyarakat secara optimal.bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui beberapa kegiatan antara lain peningkatan prakarsa dan swadaya masyarakat, perbaikan lingkungan dan perumahan, pengembangan usaha ekonomi desa, pengembangan Lembaga Keuangan Desa, serta kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menaikkan kesejahteraan, hasil produksinya, selain itu juga peningkatan kualitas pendidikan masyarakat. Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat bawah (grass root), yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, pemberdayaan (empowering) adalah memampukan dan

memandirikan masyarakat miskin. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan

individu anggota masyarakat tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya moderen seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban, adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan lembaga-lembaga sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Pemberdayaan masyarakat merupakan sebagai tindakan sosial dimana penduduk sebuah komunitas mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimilikinya. Masyarakat miskin seringkali merupakan kelompok yang tidak berdaya baik karena hambatan internal dari dalam dirinya maupun tekanan eksternal dari lingkungannya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat menjadi salah satu pilar kebijakan penanggulangan kemiskinan terpenting. Kebijakan pemberdayaan masyarakat dianggap resep mujarab karena hasilnya dapat berlangsung lama. Isu-isu kemiskinan pun senantiasa cocok diselesaikan akar masalahnya melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat. Kemiskinan merupakan salah satu problem sosial yang amat serius. Masalah ini juga masalah yang tidak ada habisnya di bahas dan masalah yang telah lama ada. Pada masa lalu, umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kekurangan pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern saat ini mereka tidak memiliki fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.

Pendekatan

pemberdayaan

masyarakat

merupakan

salah

satu

wujud

pembangunan alternatif yang menghendaki agar masyarakat mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Empowerment (pemberdayaan) berasal dari Bahasa Inggris, dimana power diartikan sebagai kekuasaan atau kekuatan. Menurut Robert Dahl (1973:50), pemberdayaan diartikan pemberian kuasa untuk mempengaruhi atau mengontrol. Manusia selaku individu dan kelompok berhak untuk ikut berpartisipasi terhadap keputusan-keputusan sosial yang menyangkut komunitasnya. Sedangkan menurut Korten (1992) pemberdayaan adalah peningkatan kemandirian rakyat berdasarkan kapasitas dan kekuatan internal rakyat atas SDM baik material maupun non material melalui redistribusi modal. Salah satu pola pendekatan pemberdayaan masyarakat yang paling efektif dalam rangka peningkatan partisipasi masyarakat adalah inner resources approach. Pola ini menekankan pentingnya merangsang masyarakat untuk mampu mengidentifikasi keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya dan bekerja secara kooperatif dengan pemerintah dan badan-badan lain untuk mencapai kepuasan bagi mereka. Pola ini mendidik masyarakat menjadi concern akan pemenuhan dan pemecahan masalahmasalah yang mereka hadapi dengan menggunakan potensi yang mereka miliki (Ross 1987 : 77-78). Sementara itu efektivitas dapat diartikan sebagai pencapaian sasaran dari upaya bersama, dimana derajat pencapaian menunjukkan derajat efektivitas (Bernard dalam Gybson 1997 : 56). Efektivitas dapat digunakan sebagai suatu alat evaluasi efektif atau tidaknya suatu tindakan (Zulkaidi dalam Wahyuningsih D, 2005:22) yang dapat dilihat dari : (a) Kemampuan memecahkan masalah, keefektifan tindakan dapat diukur dari

kemampuannya dalam memecahkan persoalan dan hal ini dapat dilihat dari berbagai permasalahan yang dihadapi sebelum dan sesudah tindakan tersebut dilaksanakan dan seberapa besar kemampuan dalam mengatasi persoalan dan (b) Pencapaian tujuan, efektivitas suatu tindakan dapat dilihat dari tercapainya suatu tujuan dalam hal ini dapat dilihat dari hasil yang dapat dilihat secara nyata. Menurut Kartasasmita (1995:19) upaya memberdayakan rakyat harus dilakukan melalui tiga cara, yaitu : (1) Menciptakan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang, (2) Memperkuat potensi yang dimiliki oleh rakyat dengan menerapkan langkah-langkah nyata, (3) Melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah. Oleh karena itu, ada beberapa alasan mengapa Program Nasional Pemberdayaan SP 3 (Sarjana Penggerak Pembangunan di Pedesaan di Kota Blitar menarik untuk dibahas. Pertama, masalah pemberdayaan di bidang ekonomi, pendidikan , dan kesehatan adalah permasalah global yang hampir dialami oleh semua Negara di dunia, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu, permasalah pemberdayaan adalah permasalahan yang selalu menarik untuk dikaji guna menemukan solusi penanggulangannya, khusunya di Kota Blitar. Alasan kedua mengapa program SP 3 (Sarjana Penggerak Pembangunan di Pedesaan) Mandiri Perdesaan dianggap sebagai solusi terbaru dalam memberdayakan masyarakat dibidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan Disamping itu juga, sisi menarik dari yaitu untuk mengetahui apakah program ini berjalan dengan maksimal seperti apa yang menjadi tujuan, prinsip, dan sasaran.

Partisipasi masyarakat menjadi sangat penting mengingat kompleksitasnya masalah pemberdayaan pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Penanggulangan masalah pemberdayaan pendidikan, ekonomi, dan kesehatan tentu bukan monopoli pemerintah dengan berbagai departemen sektoralnya tapi penanggulangan tersebut merupakan permasalahan multidimensi yang menjadi tanggungjawab seluruh pihak-pihak terkait. Ada tiga alasan mengapa pemberdayaan masyarakat mempunyai sifat sangat penting terutama dalam pelaksanaan Program SP 3 (Sarjana Penggerak Pembangunan di Perdesaan) karena program ini sepenuhnya dijalankan oleh masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Pertama, pemberdayaan masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat, tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal, alasan kedua adalah bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap poyek tersebut. Alasan ketiga yang mendorong adanya pemberdayaan umum di banyak negara karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Penelitian ini akan dilakukan di Kecamatan Sukorejo, kecamatan Kepanjen Kidul, dan kecamatan Sananwetan, Kota Blitar Propinsi Jawa Timur.

1.2. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah masalah tentang pemberdayaan di bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan di Kecamatan Sukorejo, kecamatan Kepanjen Kidul, dan kecamatan Sananwetan, Kota Blitar Propinsi Jawa Timur? 2. Bagaimanakah dampak penerapan program SP 3 (Sarjana Penggerak Pembangunan di Pedesaan) pada pemberdayaan di bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan di Kecamatan Sukorejo, kecamatan Kepanjen Kidul, dan kecamatan Sananwetan, Kota Blitar Propinsi Jawa Timur? 3. Bagaimanakah evaluasi program SP 3(Sarjana Penggerak Pembangunan di Pedesaan) pada pemberdayaan di bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan di Kecamatan Sukorejo, kecamatan Kepanjen Kidul, dan kecamatan Sananwetan, Kota Blitar Propinsi Jawa Timur?

1.3. Tujuan Penelitian 1. Mendiskripsikan masalah tentang pemberdayaan di bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan di Kecamatan Sukorejo, kecamatan Kepanjen Kidul, dan kecamatan Sananwetan, Kota Blitar Propinsi Jawa Timur? 2. Mendiskripsikan dampak penerapan program SP 3 (Sarjana Penggerak Pembangunan di Pedesaan) pada pemberdayaan di bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan di Kecamatan Sukorejo, kecamatan Kepanjen Kidul, dan kecamatan Sananwetan, Kota Blitar Propinsi Jawa Timur? 3. mendiskripsikan evaluasi program SP 3(Sarjana Penggerak Pembangunan di Pedesaan) pada pemberdayaan di bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan di Kecamatan Sukorejo, kecamatan Kepanjen Kidul, dan kecamatan Sananwetan, Kota Blitar Propinsi Jawa Timur?

1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan agar dapat memberikan manfaat sebagai berikut : a. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan perkembangan program pemberdayaan, khususnya pemberdayaan masyarakat di bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan, serta sebagai sumbangan pemikiran bagi peneliti akan melakukan penelitian lebih lanjut. b. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan bagi pemerintah desain program pemberdayaan masyarakat supaya dapat

melaksanakan program pemberdayaan yang efesien dan efektif. c. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan menambah informasi dan wawasan tentang pemberdayaan masyarakat.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

1. Pemberdayaan Masyarakat 1.1 Konsep Pemberdayaan Pemberdayaan (empowerment) berasal dari Bahasa Inggris, power diartikan sebagai kekuasaan atau kekuatan. Menurut Korten (1992) pemberdayaan adalah peningkatan kemandirian rakyat berdasarkan kapasitas dan kekuatan internal rakyat atas SDM baik material maupun non material melalui redistribusi modal. Sedangkan Pranarka dan Vidhyandika (1996:56) menjelaskan pemberdayaan adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional, maupun dalam bidang politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Selain itu menurut Paul (1987) pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil (equitable sharing of power) sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan. Menurut Robert Dahl (1983:50), pemberdayaan diartikan pemberian kuasa untuk mempengaruhi atau mengontrol. Manusia selaku individu dan kelompok berhak untuk ikut berpartisipasi terhadap keputusan-keputusan sosial yang menyangkut komunitasnya. Sementara Hulme dan Turner (1990:214-215) berpendapat bahwa pemberdayaan mendorong terjadinya suatu proses perubahan sosial yang memungkinkan orang-orang pinggiran yang tidak berdaya untuk memberikan pengaruh

yang lebih besar di arena politik secara lokal maupun nasional. Oleh karena itu pemberdayaan sifatnya individual dan kolektif. Pemberdayaan juga merupakan suatu proses yang menyangkut hubungan kekuasaan kekuatan yang berubah antar individu, kelompok dan lembaga. Menurut Talcot Parsons (dalam Prijono, 1996:64-65) power merupakan sirkulasi dalam subsistem suatu masyarakat, sedangkan power dalam empowerment adalah daya sehingga empowerment dimaksudkan sebagai kekuatan yang berasal dari bawah. Pemberdayaan ini memiliki tujuan dua arah, yaitu melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan dan memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Keduanya harus ditempuh dan menjadi sasaran dari upaya pemberdayaan. Sehingga perlu dikembangkan pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan masyarakat. Pemberdayaan lebih mudah dijelaskan pada saat manusia dalam keadaan powerlessness (baik dalam keadaan aktual atau sekedar perasaan), tidak berdaya, tidak mampu menolong diri sendiri, kehilangan kemampuan untuk mengendalikan kehidupan sendiri (Prijono, 1996:54). Selain itu pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk, berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas dan mempengaruhi terhadap kejadian-kejadian serta lembagalembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Konsep pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh ketrampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Pearson et al, 1994 :106). Pemberdayaan mempunyai tiga dimensi yang saling berpotongan dan berhubungan, sebagaimana yang disimpulkan oleh Kieffer (1984:65) dari penelitiannya, yaitu:

(1) Perkembangan konsep diri yang lebih positif; (2) Kondisi pemahaman yang lebih kritis dan analitis mengenai lingkungan sosial dan politis; dan (3) Sumber daya individu dan kelompok untuk aksi-aksi sosial maupun kelompok. Grand Theories dari konsep empowerment (pemberdayaan) ini mengacu pada pengaruh Marx mengenai ada yang berkuasa dan ada juga dikuasai ada perbedaan kelas semisal majikan dan buruh, distribusi pendapatan yang tidak merata sampai kekuatan ekonomi yang merupakan dasar dari pemberdayaan (Prijono, 1996:54-55). 1.2 Paradigma Community Development dan Community Empowerment. Untuk mencapai tujuan dan cita-cita modernisasi, pendekatan partisipasi masyarakat dikembangkan dalam community development. Menurut Abbot (1996:1215) teori modernisasi awalnya digunakan oleh masyarakat barat yang berperan dalam merubah seluruh masyarakat dari tradisional dan primitif menjadi modern melalui peningkatan tahapan secara berkesinambungan dalam pertumbuhan ekonominya. Dan menurut United Nations (PBB) pengembangan masyarakat merupakan suatu proses yang dirancang untuk menciptakan kondisi-kondisi kemajuan ekonomi dan sosial bagi seluruh masyarakat dengan partisipasi aktifnya. Lebih lanjut (Abbot, 1996:16-17) menyatakan bahwa pengembangan masyarakat perlu memperhatikan kesetaraan (equality), konflik dan hubungan pengaruh kekuasaan (power relations) atau jika tidak maka tingkat keberhasilannya rendah. Setelah kegagalan teori modernisasi muncul teori ketergantungan, dimana teori ketergantungan pada prinsipnya menggambarkan adanya suatu hubungan antar negara yang timpang, utamanya antara negara maju (pusat) dan negara pinggiran (tidak maju).

Menurut Abbot (1996: 20) dari teori ketergantungan muncul pemahaman akan keseimbangan dan kesetaraan, yang pada akhirnya membentuk sebuah pemberdayaan (empowerment) dalam partisipasi masyarakat dikenal sebagai teori keadilan (conscientisacion theory). Pengembangan masyarakat (community development) digunakan sebagai pendekatan partisipasi masyarakat dalam paradigma teori modernisasi, sedangkan pemberdayaan masyarakat (community empowerment) merupakan pendekatan dalam konteks teoriketergantungan (dependency theory). Teori mengenai hubungan kekuasaan dan partisipasi masyarakat menurut Abbot (1996:112) digambarkan dalam bentuk kontinum dimana pada satu sisi pemerintah lebih terbuka terhadap keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, pada situasi yang lain pemerintah secara total tidak berperan. Jika peran pemerintah tidak ada (government closed) maka peran masyarakat akan tinggi, hal ini merupakan tahap keberhasilan dari pemberdayaan, akan tetapi disisi lain juga menciptakan konfrontasi atau pendekatan pada kekuatan fisik, sehingga tidak ada satupun pendekatan pembangunan yang dapat dilaksanakan. Oleh karena itu perlu adanya suatu area dimana pemerintah dapat melaksanakan kontrol melalui berbagai manipulasi, pemerintah membuka kesempatan luas terhadap keterlibatan masyarakat, hingga pada akhirnya masyarakat yang mengelola dan pemerintah berfungsi sebagai lembaga pengontrol. 1.3 Prinsip dan Dasar Pemberdayaan Masyarakat Prinsip utama dalam mengembangkan konsep pemberdayaan masyarakat menurut Drijver dan Sajise (dalam Sutrisno, 2005:18) ada lima macam, yaitu:

1) Pendekatan dari bawah (buttom up approach): pada kondisi ini pengelolaan dan para stakeholder setuju pada tujuan yang ingin dicapai untuk kemudian mengembangkan gagasan dan beberapa kegiatan setahap demi setahap untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. 2) Partisipasi (participation): dimana setiap aktor yang terlibat memiliki kekuasaan dalam setiap fase perencanaan dan pengelolaan. 3) Konsep keberlanjutan: merupakan pengembangan kemitraan dengan seluruh lapisan masyarakat sehingga program pembangunan berkelanjutan dapat diterima secara sosial dan ekonomi. 4) Keterpaduan: yaitu kebijakan dan strategi pada tingkat lokal, regional dan nasional. 5) Keuntungan sosial dan ekonomi: merupakan bagian dari program pengelolaan. Sedangkan dasar-dasar pemberdayaan masyarakat adalah: mengembangkan masyarakat khususnya kaum miskin, kaum lemah dan kelompok terpinggirkan, menciptakan hubungan kerjasama antara masyarakat dan lembaga-lembaga pengembangan, memobilisasi dan optimalisasi penggunaan sumber daya secara keberlanjutan, mengurangi ketergantungan, membagi kekuasaan dan tanggung jawab, dan meningkatkan tingkat keberlanjutan.(Delivery dalam Sutrisno, 2005:17). 1.4 Proses dan Upaya Pemberdayaan Masyarakat Menurut Suharto (2006:59) pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan, Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, terutama individuindividu yang mengalami kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu

masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator sebuah keberhasilan pemberdayaan. Proses pemberdayaan dapat dilakukan secara individual maupun kolektif (kelompok). Proses ini merupakan wujud perubahan sosial yang menyangkut relasi atau hubungan antara lapisan sosial yang dicirikan dengan adanya polarisasi ekonomi, maka kemampuan individu "senasib" untuk saling berkumpul dalam suatu kelompok cenderung dinilai sebagai bentuk pemberdayaan yang paling efektif (Friedman, 1993). Hal tersebut dapat dicapai melalui proses dialog dan diskusi di dalam kelompoknya masing-masing, yaitu individu dalam kelompok belajar untuk mendeskripsikan suatu situasi, mengekspresikan opini dan emosi mereka atau dengan kata lain mereka belajar untuk mendefinisikan masalah menganalisis, kemudian mencari solusinya. Menurut United Nations (1956:83-92 dalam Tampubolon, 2006), proses-proses pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut: (1)Getting to know the local community; Mengetahui karakteristik masyarakat setempat (lokal) yang akan diberdayakan, termasuk perbedaan karakteristik yang membedakan masyarakat desa yang satu dengan yang lainnya. Mengetahui artinya untuk memberdayakan masyarakat diperlukan hubungan timbal balik antara petugas dengan masyarakat. (2)Gathering knowledge about the local community; Mengumpulkan pengetahuan yang menyangkut informasi mengenai masyarakat setempat. Pengetahuan tersebut merupakan informasi faktual tentang distribusi penduduk menurut umur, sex, pekerjaan, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, termasuk pengetahuan tentang nilai, sikap, ritual dan custom, jenis pengelompokan, serta faktor kepemimpinan baik formal maupun informal.

(3)Identifying the local leaders; Segala usaha pemberdayaan masyarakat akan sia-sia apabila tidak memperoleh dukungan dari pimpinan/tokoh-tokoh masyarakat setempat. Untuk itu, faktor "the local leaders" harus selau diperhitungkan karena mereka mempunyai pengaruh yang kuat di dalam masyarakat. (4)Stimulating the community to realize that it has problems; Di dalam masyarakat yang terikat terhadap adat kebiasaan, sadar atau tidak sadar mereka tidak merasakan bahwa mereka punya masalah yang perlu dipecahkan. Karena itu, masyarakat perlu pendekatan persuasif agar mereka sadar bahwa mereka punya masalah yang perlu dipecahkan, dan kebutuhan yang perlu dipenuhi. (5)Helping people to discuss their problem; Memberdayakan masyarakat bermakna merangsang masyarakat untuk mendiskusikan masalahnya serta merumuskan pemecahannya dalam suasana kebersamaan. (6)Helping people to identify their most pressing problems; Masyarakat perlu diberdayakan agar mampu mengidentifikasi permasalahan yang paling menekan. Dan masalah yang paling menekan inilah yang harus diutamakan pemecahannya. (7)Fostering self-confidence; Tujuan utama pemberdayaan masyarakat adalah membangun rasa percaya diri masyarakat. Rasa percaya diri merupakan modal utama masyarakat untuk berswadaya. (8) Deciding on a program action; Masyarakat perlu diberdayakan untuk menetapkan suatu program yang akan dilakukan. Program action tersebut perlu ditetapkan menurut skala prioritas, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Tentunya program dengan skala prioritas tinggilah yang perlu didahulukan pelaksanaannya. (9) Recognition of strengths and resources; Memberdayakan masyarakat berarti membuat masyarakat tahu dan mengerti bahwa mereka memiliki kekuatan-kekuatan dan sumber-sumber yang dapat dimobilisasi untuk memecahkan permasalahan dan memenuhi kebutuhannya. (10) Helping people to continue to work on solving their problems; Pemberdayaan masyarakat adalah suatu kegiatan yang berkesinambungan. Karena itu, masyarakat perlu diberdayakan agar mampu bekerja memecahkan masalahnya secara kontinyu. (11)Increasing people!s ability for self-help; Salah satu tujuan pemberdayaan masyarakat adalan tumbuhnya kemandirian masyarakat. Masyarakat yang mandiri adalah masyarakat yang sudah mampu menolong diri sendiri. Untuk itu, perlu selalu ditingkatkan kemampuan masyarakat untuk berswadaya. Ide menempatkan manusia lebih sebagai subjek dari dunianya sendiri mendasari dibakukannya konsep pemberdayaan (empowerment). Menurut Oakley dan Marsden, 1984, proses pemberdayaan mengandung dua kecendrungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan

sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung kemandirian mereka melalui organisasi. Kecendrungan kedua atau kecendrungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan dan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Menurut Kartasasmita (1995:19), upaya memberdayakan rakyat harus dilakukan melalui tiga cara: 1. Menciptakan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Disini titik tolaknya bahwa manusia dan masyarakat memiliki potensi (daya) yang dapat dikembangkan, sehingga pemberdayaan merupakan upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. 2. Memperkuat potensi yang dimiliki oleh rakyat dengan menerapkan langkahlangkah nyata, menampung berbagai masukan, menyediakan sarana dan prasarana baik fisik (irigasi, jalan dan listrik) maupun sosial (sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan) yang dapat diakses masyarakat lapisan bawah. Terbukanya akses pada berbagai peluang akan membuat rakyat makin berdaya, seperti tersedianya lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di pedesaan. 3. Melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah jangan sampai yang lemah bertambah lemah atau makin terpinggirkan menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam pemberdayaan

masyarakat. Melindungi dan membela harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah. 1.5 Teknik dan Pola Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Teknik pemberdayaan masyarakat saat ini sangat diperlukan semua pihak, karena banyak proyek-proyek pembangunan yang berasal dari pemerintah atau dari luar komunitas masyarakat setempat mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut biasanya karena tidak pernah mengikutsertakan partisipasi masyarakat (top down), sehingga si pemberi proyek tidak mengetahui secara pasti kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya. Oleh sebab itu sudah saatnya potensi masyarakat didayagunakan yaitu bukan hanya dijadikan obyek tetapi subyek atau dengan kata lain memanusiakan masyarakat sebagai pelaku pembangunan yang aktif.. Menurut Wahab dkk. (2002: 81-82) ada 3 (tiga) pendekatan yang dapat dilakukan dalam empowerment, yaitu: 1. The welfare approach, pendekatan ini mengarahkan pada pendekatan manusia dan bukan memperdaya masyarakat dalam menghadapi proses politik dan kemiskinan rakyat, tetapi justru untuk memperkuat keberdayaan masyarakat dalam pendekatan centrum of power yang dilatarbelakangi kekuatan potensi lokal masyarakat. 2. The development approach, pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan proyek pembangunan untuk meningkatkan kemampuan, kemandirian dan keberdayaan masyarakat. 3. The empowerment approach, pendekatan yang melihat bahwa kemiskinan sebagai akibat dari proses politik dan berusaha memberdayakan atau melatih rakyat untuk mengatasi ketidakberdayaan.

Sedangkan Ross (1987:77-78) mengemukakan 3 (tiga) pola pendekatan pemberdayaan dalam rangka peningkatan partisipasi masyarakat di dalam

pembangunan, yaitu: 1) Pola pendekatan pemberdayaan masyarakat the single function adalah program atau teknik pembangunan, keseluruhannya ditanamkan oleh agen pembangunan dari luar masyarakat. Pada umumnya pola ini kurang mendapat respon dari masyarakat, karena program itu sangat asing bagi mereka sehingga inovasi prakarsa masyarakat tidak berkembang. 2) Pola pendekatan the multiple approach, dimana sebuah tim ahli dari luar melaksanakan berbagai pelayanan untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Pola ini, juga tidak mampu memberdayakan masyarakat secara optimum, karena segala sesuatu tergantung pada tim ahli yang datang dari luar. 3) Pola pendekatan the inner resources approach sebagai pola yang paling efektif untuk memberdayakan masyarakat. Pola ini menekankan pentingnya merangsang masyarakat untuk mampu mengidentifikasi keinginan-keinginan dan kebutuhankebutuhannya dan bekerja secara kooperatif dengan pemerintah dan badan-badan lain untuk mencapai kepuasan bagi mereka. Pola ini mendidik masyarakat menjadi concern akan pemenuhan dan pemecahan masalah yang dihadapi dengan menggunakan potensi yang mereka miliki. Sedangkan menurut Suharto (1997:218-219), pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan masyarakat dapat dicapai melalui penerapan pendekatan pemberdayaan yang disingkat menjadi 5P, yaitu:

1. Pemungkinan; menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat membebaskan menghambat. 2. Penguatan; memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu

masyarakat dari sekat-sekat kultural dan struktural yang

Pemberdayaan harus mampu menumbuhkembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian. 3. Perlindungan; melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok yang kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat ) antara yang kuat dan yang lemah dan mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil. 4. Penyokongan; memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan. 5. Pemeliharaan; memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha.

1.6 Tahapan Pemberdayaan Masyarakat Sulistiyani (2004:83-84) menyatakan bahwa proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat akan berlangsung secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui tersebut meliputi : 1. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri. 2. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapanketrampilan agar terbuka wawasan dan pemberian ketrampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan. 3. Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-ketrampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan untuk mengantarkan pada kemandirian. Selanjutnya dikemukakan serangkaian tahapan yang harus ditempuh melalui pemberdayaan tersebut, dalam tabel di bawah ini :

TABEL TAHAPAN TINGKAT KEBERDAYAAN MASYARAKAT TAHAPAN AFEKTIFTAHAPAN KOGNITIFTAHAPAN 1.7 Elemen-elemen Pemberdayaan Masyarakat KONATIFBelum merasa sadar dan peduliBelum memiliki wawasan ada 16 (enam belas) elemen kekuatan atau Menurut Bartle (2002), pengetahuanBelum memiliki ketrampilan dasarTidak berperilaku membangunTumbuh rasa kesadaran dan kepedulianMenguasai pemberdayaan m pemberdayaan masyarakat yang dapat digunakan untuk menilai proses pengetahuan dasarMenguasai ketrampilan dasarBersedia terlibat dalam pembangunanMemupuk semangat kesadaran dan p masyarakat, yaitu: kepedulianMengembangkan pengetahuan dasarMengembangkan ketrampilan dasarBerinisiatif untuk mengambil peran dalam kesiapan individu 1) Mendahulukan kepentingan umum, yaitu porsi dan tingkat pembangunanMerasa membutuhkan kemandirianMendalami p mengorbankan kepentingan mereka sendiri untuk kepentingan pengetahuan pada tingkat lebih tinggiMemperkaya variasi seluruh masyarakat ketrampilanBerposisi secara mandiri untuk membangun diri dan (yang terlihat dari tingkat kedermawanan, kemanusiaan, individu, pengorbanan lingkungan l Sumber: Sulistiyani, 2004
P PSIKOMOTORIKTAHAPAN

personal, kebanggaan masyarakat, saling mendukung, setia, perduli, persahabatan, persaudaraan). 2) Kesamaan nilai, yaitu tingkatan dimana anggota masyarakat membagi nilai, khususnya ide yang berasal dari anggota masyarakat yang menggantikan kepentingan anggota dalam masyarakat. 3) Layanan masyarakat, yaitu fasilitas dan layanan (seperti jalan, pasar, air minum, jalur pendidikan, layanan kesehatan), yang dipelihara secara berkelanjutan dan tingkat akses semua anggota masyarakat pada semua fasilitas dan layanan. 4) Komunikasi dalam masyarakat, dan diantara masyarakat dengan pihak luar. Komunikasi termasuk jalan, metode elektronika (seperti telpon, radio, TV, internet), media cetak (koran, majalah, buku), jaringan kerja, bahasa yang dapat saling dimengerti, kemampuan tulis baca serta kemampuan berkomunikasi secara umum. 5) Percaya diri, meskipun percaya diri diekspresikan secara individual, namun seberapa banyak rasa percaya diri itu dibagikan diantara semua masyarakat? misalnya suatu kesepahaman dimana masyarakat dapat memperoleh harapan, sikap positif, keinginan, motivasi diri, antusiasme, optimisme, mandiri, keinginan untuk memperjuangkan haknya, menghindari sikap masa bodoh dan pasrah, dan memiliki tujuan terhadap sesuatu yang mungkin dicapai. 6) Keterkaitan (politis dan administrative), suatu lingkungan yang mendukung penguatan yang bersifat politis (termasuk nilai dan sikap pemimpin nasional, hukum dan legislative) dan elemen administrative (sikap dari pegawai dan teknisi sipil, sebaik peraturan dan prosedur pemerintah), dan lingkungan hukum.

7) Informasi, kemampuan untuk mengolah dan menganalisa informasi, tingkat kepedulian, pengetahuan dan kebijaksanaan yang ditemukan diantara individu dan dalam kelompok secara keseluruhan terhadap informasi lebih efektif dan berguna, tidak sekedar volume dan besaran. 8) Rintangan, pengembangan dan efektivitas pergerakan (perpindahan, pelatihan manajemen, munculnya kepedulian, rangsangan) apakah ditujukan pada perkuatan masyarakat? Apakah sumber dana dari dalam dan luar meningkatkan tingkat kebergantungan dan kelemahan masyarakat, atau menantang masyarakat untuk bertindak menjadi lebih kuat? Dan apakah rintangan itu bersifat berkelanjutan atau bergantung pada sepanjang pengambilan keputusan oleh pendonor dari luar yang memiliki sasaran dan agenda yang berbeda dari masyarakat itu sendiri?. 9) Kepemimpinan, pemimpin-pemimpin memiliki kekuatan, pengaruh, dan

kemampuan untuk mengerakkan masyarakat. Pemimpin yang paling efektif dan berkelanjutan adalah salah satu yang menyerap aspirasi masyarakat, memiliki kedudukan dan penentu kebijakan. Pemimpin harus memiliki keahlian, kemauan, kejujuran dan beberapa karisma. 10)Jaringan kerja, tidak hanya apa masyarakat ketahui tapi juga siapa diketahui. Apakah anggota masyarakat atau khususnya pemimpin mereka mengetahui orangorang (dan badan atau organisasi mereka) yang dapat menyediakan sumber yang bermanfaat yang akan memperkuat masyarakat secara keseluruhan? Serta memanfaatkan hubungan, potensi dan kebenaran, dalam masyarakat dan dengan yang lainnya di luar masyarakat.

11)Organisasi, adalah kondisi bukan sebatas perkumpulan individu, melainkan hingga integritas organisasi, struktur, prosedur, pengambilan keputusan, proses, efektifitas, divisi tenaga kerja dan kelengkapan peran dan fungsi. 12)Kekuatan politik, tingkatan dimana masyarakat dapat berperan dalam pengambilan keputusan daerah dan nasional. Namun sebagai individu yang memiliki kekuatan yang beragam dalam suatu masyarakat, sehingga masyarakat memiliki kekuatan dan pengaruh yang beragam dalam daerah dan nasional. 13)Keahlian, kemampuan (kemampuan teknis, kemampuan manajemen, kemampuan berorganisasi, kemampuan mengarahkan) yang ditunjukkan oleh individu yang akan berkontribusi bagi organisasi masyarakat sehingga mereka mampu menyelesaikan apa yang mereka ingin selesaikan. 14)Kepercayaan, tingkat kepercayaan dari masing-masing anggota masyarakat tehadap sesamanya, khususnya pemimpin dan abdi masyarakat, yang merupakan pantulan dari tingkat integritas (kejujuran, ketergantungan, keterbukaan, transparansi, azas kepercayaan) dalam masyarakat. 15)Keselarasan, pembagian rasa kepemilikan pada kelompok yang menyusun masyarakat, meskipun setiap masyarakat memiliki divisi atau perbedaan (agama, kelas, status, penghasilan, usia, jenis kelamin, adat, suku), tingkat toleransi anggota masyarakat yang berbeda dan bervariasi antara satu dan lainnya dan keinginan untuk bekerjasama dan bekerja bersama-sama, suatu rasa kesamaan tujuan atau visi, perataan nilai. 16) Kekayaan, tingkat pengendalian masyarakat secara keseluruhan (berbeda pada individu dalam masyarakat) terhadap semua sumber daya potensial dan sumber daya actual, dan produksi dan penyaluran barang dan jasa yang jarang dan

bermanfaat, keuangan dan non keuangan (termasuk sumbangan tenaga kerja, tanah, peralatan, persediaan, pengetahuan, keahlian). Semakin banyak masyarakat memiliki setiap elemen di atas, semakin kuat masyarakat, semakin besar kemampuan yang dimilikinya, dan semakin berdaya mereka.

2. Pendekatan, Metodologi dan Ukuran Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat. 2.1 Pendekatan-pendekatan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Strategi pembangunan yang bertumpu pada pemihakan dan pemberdayaan dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat. Perubahan struktural yang diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah, yaitu yang menghasilkan harus menikmati. Begitu pula sebaliknya yang menikmati haruslah yang menghasilkan. Teori-teori ekonomi makro, yang umumnya bersandar pada peran pasar dalam alokasi sumber daya, serta dengan praanggapan bahwa kebijaksanaan ekonomi makro yang tepat akan menguntungkan semua lapisan masyarakat, dalam kenyataannya tidak dapat menghasilkan jawaban yang memuaskan bagi masalah kesenjangan. Kekuatan sosial yang tidak berimbang, menyebabkan kegagalan pasar untuk mewujudkan harapan itu (Brown, 1995). Oleh karena itu, diperlukan intervensi yang tepat, agar kebijaksanaan pada tingkat makro mendukung upaya mengatasi kesenjangan yang harus dilakukan dengan kegiatan yang bersifat mikro dan langsung ditujukan pada lapisan masyarakat terbawah. Pemberdayaan masyarakat dapat dipandang sebagai jembatan bagi konsep-konsep pembangunan makro dan mikro.

Dalam kerangka pemikiran itu berbagai input seperti dana, prasarana dan sarana yang dialokasikan kepada masyarakat melalui berbagai program pembangunan harus ditempatkan sebagai rangsangan untuk memacu percepatan kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Proses ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity building) melalui pemupukan modal yang bersumber dari surplus yang dihasilkan dan pada gilirannya dapat menciptakan pendapatan yang dinikmati oleh rakyat. Proses transformasi itu harus digerakkan oleh masyarakat sendiri. Pengertian pemupukan modal seperti itu menunjukkan bahwa bantuan dana, prasarana, dan sarana harus dikelola secara tertib dan transparan dengan berpegang pada lima prinsip pokok. Pertama, mudah diterima dan didayagunakan oleh masyarakat sebagai pelaksana dan pengelola (acceptable); kedua, dapat dikelola oleh masyarakat secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan (accountable); ketiga, memberkan pendapatan yang memadai dan mendidik masyarakat untuk mengelola kegiatan secara ekonomis (profitable); keempat, hasilnya dapat dilestarikan oleh masyarakat sendiri sehingga menciptakan pemupukan modal dalam wadah lembaga sosial ekonomi setempat (sustainable); dan kelima, pengelolaan dana dan pelestarian hasil dapat dengan mudah digulirkan dan dikembangkan oleh masyarakat dalam lingkup yang lebih luas (replicable). Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri. Berdasarkan konsep demikian, maka pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan sebagai berikut: Pertama, upaya itu harus terarah (targetted). Ini yang secara populer disebut pemihakan. Ia ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya. Kedua, program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan, yakni supaya bantuan tersebut efektif karena

sesuai dengan kehendak dan kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain itu sekaligus meningkatkan keber-dayaan (empowering) masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya. Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas kalau penanganannya dilakukan secara individu. Karena itu seperti telah disinggung di muka, pendekatan kelompok adalah yang paling efektif, dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih efisien. Di samping itu kemitraan usaha antara kelompok tersebut dengan kelompok yang lebih maju harus terus-menerus di bina dan dipelihara secara sating menguntungkan dan memajukan. Selanjutnya untuk kepentingan analisis, pemberdayaan masyarakat harus dapat dilihat baik dengan pendekatan komprehensif rasional maupun inkremental. Dalam pengertian pertama, dalam upaya ini diperlukan perencanaan berjangka, serta pengerahan sumber daya yang tersedia dan pengembangan potensi yang ada secara nasional, yang mencakup seluruh masyarakat. Dalam upaya ini perlu dilibatkan semua lapisan masyarakat, baik pemerintah maupun dunia usaha dan lembaga sosial dan kemasyarakatan, serta tokoh-tokoh dan individu-individu yang mempunyai kemampuan untuk membantu. Dengan demikian, programnya harus bersifat nasional, dengan curahan sumber daya yang cukup besar untuk menghasilkan dampak yang berarti. Dengan pendekatan yang kedua, perubahan yang diharapkan tidak selalu harus terjadi secara cepat dan bersamaan dalam derap yang sama. Kemajuan dapat dicapai secara bertahap, langkah demi langkah, mungkin kemajuan-kemajuan kecil, juga tidak selalu merata. Pada satu sektor dengan sektor lainnya dapat berbeda percepatannya, demikian pula antara satu wilayah dengan wilayah lain, atau suatu kondisi dengan kondisi lainnya. Dalam pendekatan ini, maka desentralisasi dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan teramat penting. Tingkat pengambilan keputusan haruslah didekatkan sedekat mungkin kepada masyarakat.

Salah satu pendekatan yang mulai banyak digunakan terutama oleh LSM adalah advokasi. Pendekatan advokasi pertama kali diperkenalkan pada pertengahan tahun 1960-an di Amerika Serikat (Davidoff, 1965). Model pendekatan ini mencoba meminjam pola yang diterapkan dalam sistem hukum, di mana penasehat hukum berhubungan langsung dengan klien. Dengan demikian, pendekatan advokasi menekankan pada pendamping dan kelompok masyarakat dan membantu mereka untuk membuka akses kepada pelaku-pelaku pembangunan lainnya, membantu mereka mengorganisasikan diri, menggalang dan memobilisasi sumber daya yang dapat dikuasai agar dapat meningkatkan posisi tawar (bargaining position) dari kelompok masyarakat tersebut.

2.2 Metodologi Evaluatif dalam Pemberdayaan Masyarakat Pemahaman tentang masalah pemberdayaan masyarakat memerlukan sikap subyektif dalam penelitiannya. Subyektifitas ini bertolak dari sikap dasar, bahwa setiap penelitian tentang suatu masalah sosial selalu dilakukan untuk memperbaiki situasi sosial yang ada, untuk meluruskan ketimpangan yang ada. Dan, bukan hanya untuk sekedar melukiskan serta menerangkan kenyataan yang ada (Buchori, 1993). Tidak ada penelitian sosial yang akan dapat mendatangkan perbaikan terhadap kondisi sosial yang ada selama para peneliti menempatkan diri mereka sebagai pakar yang berdiri di luar kenyataan sosial yang diteliti, dan memperlakukan warga masyarakat yang sedang diteliti sebagai obyek yang hanya menjalani kenyataan sosial yang ada secara pasif. Para peneliti harus menempatkan diri mereka sebagai bagian dari masyarakat yang sedang diteliti dan memandang warga masyarakat yang sedang diteliti sebagai subyek yang mempunyai hak moral untuk mengatur kehidupan mereka, serta mempunyai keinginan dan kemampuan untuk berbuat demikian. Dalam kerangka ini, menjadi kewajiban moral para peneliti untuk memahami aspirasi masyarakat yang diteliti, dan mendampingi secara mental dan intelektual warga masyarakat yang diteliti dalam usaha mereka untuk mendatangkan perbaikan

yang mereka dambakan. Dengan demikian, dalam penelitian semacam ini masalah penelitian tidak dapat dipisahkan dari masalah evaluasi. Keputusan untuk meneliti suatu masyarakat dengan tujuan untuk mendatangkan perbaikan ke dalam masyarakat itu, melalui antara lain pemberdayaan masyarakat, sudah merupakan suatu hasil evaluasi.

2. 3 Berbagai Ukuran Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat. Untuk mengetahui seberapa jauh pemberdayaan masyarakat telah berhasil, perlu ada pemantauan dan penetapan sasaran, sejauh mungkin yang dapat diukur untuk dapat dibandingkan. Pemberdayaan masyarakat dengan sendirinya berpusat pada bidang ekonomi, karena sasaran utamanya adalah memandirikan masyarakat, di mana peran ekonomi teramat penting. Cara mengukurnya telah banyak berkembang, seperti yang antara lain telah disebut di atas indeks Gini, jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, jumlah desa miskin, peranan industri kecil, nilai tukar pertanian, upah minimum dan sebagainya. Pembangunan manusia yang berkualitas bukan hanya menyangkut aspek ekonominya, tetapi juga sisi lainnya, yaitu pendidikan dan kesehatannya. Di bidang ini, juga telah banyak ukuran dikembangkan antara lain persentase penduduk yang buta aksara, angka partisipasi sekolah untuk SD, SLTP, SLTA dan perguruan tinggi, angka kematian bayi per 1000 kelahiran hidup, persentase penduduk yang kurang gizi, dan rata-rata umur harapan hidup. Selain itu juga sedang dikembangkan oleh Bappenas bersama BPS semacam angka indeks kesejahteraan rakyat yang menggabungkan indikator ekonomi, kesehatan, dan pendidikan ke dalam suatu angka indeks. Di dunia internasional indeks kesejahteraan semacam ini telah dikembangkan oleh UNDP yang dikenal dengan nama Human Development Index (HDI) seperti telah dikemukakan di atas.

Manusia juga harus mempersiapkan diri untuk kehidupan abadi melalui pembangunan spiritual, sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat, dalam rangka membangun masyarakat berakhlak. Terkait dengan itu adalah pembangunan budaya, yakni untuk menciptakan, di atas budaya yang menjadi jati diri bangsa Indonesia, sikap budaya kerja keras, disiplin, kreatif, ingin maju, menghargai prestasi dan siap bersaing. Ukurannya tentu sangat relatif dan terutama bersifat kualitatif. Dalam pembangunan budaya perlu dikembangkan orientasi kepada ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemberdayaan teknologi, merupakan jawaban yang berjangkauan jauh ke depan dan berkesinambungan dalam membangun masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera. Pemberdayaan masyarakat harus pula berarti membangkitkan kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakatnya. Masyarakat yang secara politik terisolasi bukanlah masyarakat yang berdaya, artinya tidak seluruh aspirasi dan potensinya tersalurkan. dalam pemberdayaan masyarakat. sipil. Maka, aspek politik juga terdapat Salah satu ukurannya, seperti indikator yang

dikembangkan Dasgupta (1993), adalah hak berpolitik (mengikuti pemilu) dan hak

2.4 Mekanisme Pemberdayaan Masyarakat Seperti dikemukakan di atas, pemberdayaan masyarakat harus melibatkan segenap potensi yang ada dalam masyarakat. Beberapa aspek di antaranya dapat diketengahkan sebagai berikut: Pertama, peranan pemerintah teramat penting. Berarti birokrasi pemerintah harus dapat menyesuaikan dengan misi ini. Dalam rangka ini ada beberapa upaya yang harus dilakukan: 1) Birokrasi harus memahami aspirasi rakyat dan harus peka terhadap masalah yang dihadapi oleh rakyat.

2) Birokrasi harus membangun partisipasi rakyat. Artinya, berilah sebanyakbanyaknya kepercayaan pada rakyat untuk memperbaiki dirinya sendiri. Aparat pemerintah membantu memecahkan masalah yang tidak dapat diatasi oleh masyarakat sendiri. 3) Untuk itu maka birokrasi harus menyiapkan masyarakat dengan sebaiknya, baik pengetahuannya maupun cara bekerjanya, agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat efektif. Ini merupakan bagian dari upaya pendidikan sosial untuk memungkinkan rakyat membangun dengan kemandirian. 4) Birokrasi harus membuka dialog dengan masyarakat. Keterbukaan dan konsultasi ini amat perlu untuk meningkatkan kesadaran (awareness) masyarakat, dan agar aparat dapat segera membantu jika ada masalah yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh rakyat. 5) Birokrasi harus membuka jalur informasi dan akses yang diperlukan oleh masyarakat yang tidak dapat diperolehnya sendiri. 6) Birokrasi harus menciptakan instrumen peraturan dan pengaturan mekanisme pasar yang memihak golongan masyarakat yang lemah. 3 Program Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan (SP 3) Pemuda secara demografi ekonomi merupakan aset untuk menggerakkan pembangunan namun disisi lain pemuda dapat menjadi beban, oleh karenanya keberadaan pemuda perlu dikelolah secara efektif. Tren di abad millennium II menunjukan jumlah sebaran stniktur demokrafis Indonesia yang berada dalam kategori usia muda cukup signifikan. Oleh karena itu, pembangunan kepemudaan adalah bagian tak terpisahkan dari kepentingan pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan kepemudaan terutama dalam menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan memiliki keunggulan daya saing menjadi salah satu kunci dalam pembukaan peluang dan kemajuan di berbagai sektor pembangunan dan masa depan Indonesia sebagai negara-bangsa. Karenanya, jiwa kepeloporan pemuda sangat menentukan perkembangan dan kesuksesan pembangunan. 3.1 Latar Belakang

Dalam kaitan dengan upaya mendorong, mengembangkan dan meningkatkan kepeloporan, serta kemandirian pemuda, pemenntah mentasiutasi potensi pemuda terdidik di perdesaan melalui program sarjana penggerak pembangunan di perdesaan (SP-3). Program SP-3 ini dikembangkan dengan tujuan untuk mengakselerasikan pembangunan melalui peran kepeloporan pemuda dalam berbagai aktivitas kepemudaan yang secara langsung berpengaruh terhadap dinamisasi kehidupan pemuda desa, mengembangkan potensi sumber daya kepemudaan sekaligus meningkatkan kesejahteraan pemuda dan masyarakat desa. Disamping sebagai upaya menumbuhkembangkan kepeloporan dan kemandirian para peserta program. Melalui program SP3 ini, diharapkan akan dapat memperteguhkomitmen para pemuda sarjana untuk membangun kepemudaan desa dan menjadikan desa sebagai pusat pertumbahan yang dapat memperbaiki taraf kehidupan masyarakat yang Iebih baik di masa depan. Komitmen ini penting sebagai bagian dalam mengurangi penumpukan SDM berpendidikan tinggi di perkotaan. Dan pada gilirannya membangkitkan pemuda desa melakukan kegiatan inovasi dan produktit sehingga desa menjadi inspirasi pembaharuan dan perubahan secara nasional. Program SP-3 telah berlangsung sejak tahun 1989 sudah menempatkan sarjana sebanyak 16.567 orang yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dalam 4 tahun terakhir [2006-2010), Program SP-3 menjangkau 1.632 Desa, 889 Kecamatan dan 312 Kabupaten, Para sarjana yang ditempatkan di Desa dalam tugasnya menggerakkan dan mendampingi masyarakat dan khususnya pemuda,mampu menumbuhkan beragam kegiatan produktif di bidang pendidikan, kesehatan ekonomi, lingkungan. Termasuk dalam membantu dan mendampingi aktivitas pemenntah desa seperti : adminitrasi, kependudukan, pajak bumi dan bangunan, penataan aset desa dan lainnya. 3.2 Maksud dan Tujuan

Pedoman Umum ini dimaksudkan sebagai acuan bagi semua pihak yang terlibat Program dalam persiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring/evaluasi atas keseluruhan proses dan mekanisme penyelenggaraan program SP-3 tahun 2012, Adapun tujuan pedoman ini adalah : 1. Sebagai acuan bagi semua pihak yang terlibat dalam program untuk merumuskan dan menyusun kegiatan teknis dan kegiatan pendukung dalam rangka pelaksanaan program SP-3 sesuai mekanisme yang telah ditetapkan. 2. Sebagai acuan untuk mencegah atau menghindari terjadinya penyimpanganpeoyimpangan baik dari aspek teknis dan substansi selama proses pelaksanaan program pemuda sarjana penggerak pembangunan perdesaan. 3. Sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan yang efektif sehingga memproleh hasil yang optimal dari penyelenggaraan program SP-3. 3.3 Pengertian Program Kewirausahaan Pemuda melalui SP-3 Program Kewirausahaan Pemuda melalui SP-3 adalah sinergi Program Pendidikan Kecakapan Hidup yang diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal, Departemen Pendidikan Nasional dengan program SP-3 yang diselenggarakan oleh Asisten Deputi Kepeloporan Pemuda, Deputi Bidang Kepemimpinan Pemuda, Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga dalam rangka pembelajaran pemuda di desa binaan SP-3, agar memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk mengelola usaha mandiri, serta m e n u m b u h - kembangkan sikap mental wirausaha agar dapat mengelola potensi diri dan sumberdaya lingkungannya.

3.4 Tujuan Program Memberikan acuan yang jelas bagi pengelola program di Pusat, Daerah, dan SP-3 selaku penyelenggara kegiatan, terkait dalam proses perencanaan, pengusulan

program, penyaluran dana, penyelenggaraan kegiatan, pengawasan, dan pelaporan penyelenggaraan program Kewirausahaan Pemuda melalui SP-3. Tujuan penyelenggaraan Program Kewirausahaan Pemuda melalui SP-3 adalah: 1) Memberikan kesempatan bagi para pemuda desa binaan SP-3 dalam upaya meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap mental wirausaha sebagai bekal kemandirian pemuda. 2) Meningkatkan peran, fungsi, dan penguatan SP-3 sebagai pelopor dalam mengurangi pengangguran dan kemiskinan di desa dimana ditempatkan. 3.5 Sasaran Program Sasaran program Kewirausa Pemuda melalui SP-3 yang dananya tersedia pada DIPA BP-PNFI Regional I Tahun Anggaran 2009 sebanyak 100 orang. Dana untuk 1 orang peserta sebesar Rp. 1.000.000,3.6 Penyelenggara Program Penyelenggara program kewirausahaan pemuda melalui SP-3: SP-3 Angkatan XVII (2007) dan XVIII (2008) yang tergabung dalam kelompok yang ditetapkan oleh dinas yang menangani program SP-3 tingkat provinsi. 3.7 Persyaratan Penyelenggara Program Kelompok SP-3 : a. Memiliki SK Penetapan Kelompok dari Instansi Pengelola Program SP-3 Tingkat Provinsi, b. Memiliki Nomor Rekening Bank atas nama Kelompok SP-3. c. Memiliki NPWP atas nama Kelompok SP-3, d. Berdomisili di lokasi desa penempatan dibuktikan dengan keterangan dari Kepala Desa/Lurah setempat;

e. Memiliki pemuda binaan 21 25 orang. 3.8 Peserta Program 1. Kriteria Peserta Program Kriteria peserta program PKH adalah: a. Pemuda usia produktif (18-35 tahun) b. Menganggur c. Berasal dari keluarga tidak mampu; d. Minimal dapat baca, tulis, hitung; e. Memiliki kemauan untuk belajar dan bekerja, dibuktikan dengan Surat Pernyataan Kesanggupan Peserta Program. f. Berdomisili di desa dimana SP-3 ditempatkan. 3.9 Rekruitmen dan Seleksi Peserta Program a. SP-3 merekrut calon pemuda binaan/peserta program dari desa penugasan sesuai dengan jumlah yang diusulkan, b. Daftar nama pemuda binaan/Peserta Program disahkan Kepala Desa/Lurah setempat dan disampaikan kepada Kepala BPPNFI Regional I setelah ada penetapan sebagai Penyelenggara Program. 3.10 Fasilitas dan Program Pembelajaran a. Fasilitas pembelajaran (gedung, tempat pembelajaran, alat-alat praktek, dan sebagainya), kurikulum, bahan ajar, proses pendidikan dan pelatihan menjadi tanggungjawab lembaga penyelenggara (Kelompok SP-3), b. Pendidikan dan pelatihan dalam program kewirausahaan pemuda ditekankan pada penguasaan keterampilan bidang jasa/produksi, c. Narasumber teknis direkrut dari lembaga mitra (lembaga pendidikan dan pelatihan/unit usaha) yang memiliki kompetensi profesional di bidangnya, d. Kegiatan pembelajaran ini ditindaklanjuti dengan rintisan usaha mandiri.

3.11 Jenis Keterampilan/Vokasi Keterampilan yang diselenggarakan dalam program kewirausahaan pemuda adalah jenis keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja/usaha mandiri. Prioritas jenis keterampilan yang relevan dengan pasar kerja/wirausaha bidang jasa maupun produksi yang berbasis potensi lokal, antara lain : 1. 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Bidang Jasa Menjahit Tata Kecantikan Kulit/Rambut Tata Rias Pengantin Jasa Boga Otomotif/perbengkelan/Stir Mobil Elektronika Komputer Pariwisata (Perhotelan) Sablon Service Handphone Pertukangan Bengkel Las Pramuwisma Jenis Keterampilan bidang jasa lainnya sesuai kebutuhan pasar kerja dan usaha di lingkungan masyarakat 1. 2 3 4 5 6 7 Bidang Produksi Pertanian Perkebunan Perikanan darat dan laut Kehutanan Peternakan Pertamanan Keterampilan produksi lainnya yang dianggap laku di pasar sekitar (marketable)

3.12 Penggunaan Dana

Besar dana penyelenggaraan Program Kewirausahaan Pemuda adalah Rp. 1.000.000,-/orang dengan jumlah peserta program antara 21 25 orang dan ratio kemampuan lembaga/unit usaha untuk membelajarkan Peserta Program. Komposisi penggunaan dana sebagai berikut: 1. Biaya manajemen (maksimal 10%), dipergunakan untuk keperluan manajemen penyelenggaraan program, misalnya: honorarium pengelola, penyusunan proposal, biaya rapat-rapat, dan biaya-biaya lain yang menunjang kelancaran penyelenggaraan program. 2. Biaya penyelenggaraan Pelatihan (maksimal 40%), dipergunakan untuk publikasi, rekrutmen Peserta Program, honorarium pendidik, bahan dan peralatan praktek, laporan dan dokumentasi, bahan habis pakai termasuk ATK, dan biaya operasional tidak langsung seperti biaya daya dan jasa, pemeliharaan peralatan serta biaya operasional lainnya yang menunjang proses pembelajaran. 3. Biaya Pemandirian Usaha/Modal (minimal 50%), dipergunakan untuk kepentingan pembelian bahan dan alat oprasional untuk pemandirian.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

1. Pendekatan Penelitiaan Penelitian ini menggunakan penelitian pendekatan kualitatif. Menurut Poerwandari (1998) penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara , catatan lapangan, gambar, foto rekaman video dan lain-lain. Dalam penelita kualitatif perlu menekankan pada pentingnya kedekatan dengan orang-orang dan situasi penelitian, agar peneliti memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan kondisi kehidupan nyata.( Patton dalam Poerwandari, 1998) 2. Subjek Penelitian Dalam penelitian ini, karakteristik subjek adalah Sebagai berikut : Subjek penelitian ini adalah anggota masyarakat yang menerima program SP 3, petugas atau pendamping SP 3, tokoh masyarakat, dan perangkat pemerintah di Kecamatan. 3. Tahap-tahap penelitian Dalam penelitian terdapat dua tahap penelitian, yaitu : 1. Tahap Persiapan Penelitian Pertama peneliti membuat pedoman wawancara yang disusun berdasarkan demensi kebermaknaan hidup sesuai dengan permasalahan yang dihadapi subjek. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya akan berkembang dalam wawancara. Pedoman wawancara yang telah disusun, ditunjukan kepada yang lebih ahli dalam hal ini adalah pembibing penelitian untuk mendapat masukan mengenai isi pedoman wawancarara. Setelah mendapat masukan dan koreksi

dari pembimbing, peneliti membuat perbaikan terhadap pedoman wawancara dan mempersiapkan diri untuk melakukan wawancara. Tahap persiapan selanjutnya adalah peneliti membuat pedoman observasi yang disusun berdasarkan hasil observasi terhadap perilaku subjek selama wawancara dan observasi terhadap lingkungan atau setting wawancara, serta pengaruhnya terhadap perilaku subjek dan pencatatan langsung yang dilakukan pada saat peneliti melakukan observasi. Namun apabila tidak memungkinkan maka peneliti sesegera mungkinmencatatnya setelah wawancara selesai. Peneliti selanjutnya mencari subjek yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Untuk itu sebelum wawancara dilaksanakan peneliti bertanya kepada subjek tentang kesiapanya untuk diwawancarai. Setelah subjek bersedia untuk diwawancarai, peneliti membuat kesepakatan dengan subjek tersebut mengenai waktu dan temapat untuk melakukan wawancara. 2. Tahap pelaksanaan penelitiaan Peneliti membuat kesepakatan dengan subjek mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara berdasarkan pedoman yang dibuat. Setelah wawancara dilakukan, peneliti memindahakan hasil rekaman berdasrkan wawancara dalam bentuk verbatim tertulis. Selanjutnya peneliti melakukan analisis data dan interprestasi data sesuai dengan langkah-langkah yang dijabarkan pada bagian metode analisis data di akhir bab ini. setelah itu, peneliti membuat dinamika psikologis dan kesimpulan yang dilakukan, peneliti memberikan saran-saran untuk penelitian selanjutnya. 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitiaan ini, peneliti menggunakan 2 teknik pengumpulan data, yaitu : 1. Wawancara Menurut Prabowo (1996) wawancara adalah metode pengmbilan data dengan cara menanyakan sesuatu kepada seseorang responden, caranya adalah dengan bercakap-cakap secara tatap muka.

Pada penelitian ini wawancara akan dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Menurut Patton (dalam Poerwandari 1998) dalam proses wawancara dengan menggunakan pedoman umum wawancara ini, interview dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, serta mencantumkan isu-isu yang harus diliput tampa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tidak terbentuk pertanyaan yang eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan interviewer mengenai aspek-aspek apa yang harus dibahas, juga menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian interviwer harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara kongkrit dalam kalimat Tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks actual saat wawancara berlangsung (Patton dalam poerwandari, 1998) Kerlinger (dalam Hasan 2000) menyebutkan 3 hal yang menjadi kekuatan metode wawancara : a. Mampu mendeteksi kadar pengertian subjek terhadap pertanyaan yang diajukan. Jika mereka tidak mengerti bisa diantisipasi oleh interviewer dengan memberikan penjelasan. b. Fleksibel, pelaksanaanya dapat disesuaikan dengan masing-masing individu. c. Menjadi stu-satunya hal yang dapat dilakukan disaat tehnik lain sudah tidak dapat dilakukan. Menurut Yin (2003) disamping kekuatan, metode wawancara juga memiliki kelemahan, yaitu : a. b. sesuai. c. d. Probling yang kurang baik menyebabkan hasil penelitian menjadi Ada kemungkinan subjek hanya memberikan jawaban yang ingin kurang akurat. didengar oleh interviwer. Retan terhadap bias yang ditimbulkan oleh kontruksi pertanyaan yang Retan terhadap terhadap bias yang ditimbulkan oleh respon yang kurang penyusunanya kurang baik.

2. Observasi Disamping wawancara, penelitian ini juga melakukan metode observasi. Menurut Nawawi & Martini (1991) observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistimatik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala dalam objek penelitian. Dalam penelitian ini observasi dibutuhkan untuk dapat memehami proses terjadinya wawancara dan hasil wawancara dapat dipahami dalam konteksnya. Observasi yang akan dilakukan adalah observasi terhadap subjek, perilaku subjek selama wawancara, interaksi subjek dengan peneliti dan hal-hal yang dianggap relevan sehingga dapat memberikan data tambahan terhadap hasil wawancara. Menurut Patton (dalam Poerwandari 1998) tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orangorang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian di lihat dari perpektif mereka yang terlihat dalam kejadian yang diamati tersebut. Menurut Patton (dalam Poerwandari 1998) salah satu hal yang penting, namun sering dilupakan dalam observasi adalah mengamati hal yang tidak terjadi. Dengan demikian Patton menyatakan bahwa hasil observasi menjadi data penting karena : a. b. Peneliti akan mendapatkan pemahaman lebih baik tentang konteks Observasi memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka, berorientasi dalam hal yang diteliti akan atau terjadi. pada penemuan dari pada pembuktiaan dan mempertahankan pilihan untuk mendekati masalah secara induktif. c. d. Observasi memungkinkan peneliti melihat hal-hal yang oleh subjek Observasi memungkinkan peneliti memperoleh data tentang hal-hal penelitian sendiri kurang disadari. yang karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh subjek penelitian secara terbuka dalam wawancara.

e.

Observasi

memungkinkan

peneliti

merefleksikan

dan

bersikap

introspektif terhadap penelitian yang dilakukan. Impresi dan perasan pengamatan akan menjadi bagian dari data yang pada giliranya dapat dimanfaatkan untuk memahami fenomena yang diteliti. 5. Alat Bantu pengumpulan Data Menurut Poerwandari (1998) penulis sangat berperan dalam seluruh proses penelitian, mulai dari memilih topik, mendeteksi topik tersebut, mengumpulkan data, hingga analisis, menginterprestasikan dan menyimpulkan hasil penelitian. Dalam mengumpulkan data-data penulis membutuhkan alat Bantu (instrumen penelitian). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 3 alat bantu, yaitu : 1. Pedoman wawancara Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tetapi juga berdasarkan teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 2. Pedoman Observasi Pedoman observasi digunakan agar peneliti dapat melakukan pengamatan sesuai dengan tujuan penelitian. Pedoman observasi disusun berdasrkan hasil observasi terhadap perilaku subjek selama wawancara dan observasi terhadap lingkungan atau setting wawancara, serta pengaruhnya terhadap perilaku subjek dan informasi yang muncul pada saat berlangsungnya wawancara. 3. Alat Perekam Alat perekam berguna Sebagai alat Bantu pada saat wawancara, agar peneliti dapat berkonsentrasi pada proses pengambilan data tampa harus berhenti untuk mencatat jawaban-jawaban dari subjek. Dalam pengumpulan data, alat perekam baru dapat dipergunakan setelah mendapat ijin dari subjek untuk mempergunakan alat tersebut pada saat wawancara berlangsung.

a. Keabsahan dan Keajegan Penelitian Studi kasus ini menggunakan penelitian pendekatan kualitataif. Yin (2003) mengajukan emmpat criteria keabsahan dan keajegan yang diperlukan dalam suatu penelitian pendekatan kualitatif. Empat hal tersebut adalah Sebagai berikut : 1. Keabsahan Konstruk (Construct validity) Keabsahan bentuk batasan berkaitan dengan suatu kepastiaan bahwa yang berukur benar- benar merupakan variabel yang ingin di ukur. Keabsahan ini juga dapat dicapai dengan proses pengumpulan data yang tepat. Salah satu caranya adalah dengan proses triangulasi, yaitu tehnik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau Sebagai pembanding terhadap data itu. Menurut Patton (dalam Sulistiany 1999) ada 4 macam triangulasi Sebagai teknik pemeriksaan untuk mencapai keabsahan, yaitu : a. Triangulasi data Mengguanakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, hasil wawancara, hasil observasi atau juga dengan mewawancarai lebih dari satu subjek yang dianggap memeiliki sudut pandang yang berbeda. b. Triangulasi Pengamat Adanya pengamat di luar peneliti yang turut memeriksa hasil pengumpulan data. Dalam penelitian ini, dosen pembimbing studi kasus bertindak Sebagai pengamat (expert judgement) yang memberikan masukan terhadap hasil pengumpulan data. c. Triangulasi Teori Penggunaan berbagai teori yang berlaianan untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memasuki syarat. d. Triangulasi metode

Penggunaan berbagai metode untuk meneliti suatu hal, seperti metode wawancara dan metode observasi. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan metode wawancara

yang ditunjang dengan metode observasi pada saat wawancra dilakukan. i. Keabsahan Internal (Internal validity) Keabsahan internal merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh kesimpulan hasil penelitian menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Keabsahan ini dapat dicapai melalui proses analisis dan interpretasi yang tepat. Aktivitas dalam melakukan penelitian kualitatif akan selalu berubah dan tentunya akan mempengaruhi hasil dari penelitian tersebut. Walaupun telah dilakukan uji keabsahan internal, tetap ada kemungkinan munculnya kesimpulan lain yang berbeda. ii. Keabsahan Eksternal (Eksternal validity) Keabsahan ekternal mengacu pada seberapa jauh hasil penelitian dapat digeneralisasikan pada kasus lain. Walaupun dalam penelitian kualitatif memeiliki sifat tidak ada kesimpulan yang pasti, penelitiaan kualitatif tetapi dapat dikatakan memiliki keabsahan ekternal terhadap kasus-kasus lain selama kasus tersebut memiliki konteks yang sama. iii. Keajegan (Reabilitas) Keajegan merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh penelitian berikutnya akan mencapai hasil yang sama apabila mengulang penelitian yang sama, sekali lagi. Dalam penelitian ini, keajegan mengacu pada kemungkinan peneliti selanjutnya memeperoleh hasil yang sama apabila penelitian dilakukan sekali lagi dengan subjek yang sama. Hal ini menujukan bahwa konsep keajegan penelitian kualitatif selain menekankan pada desain penelitian, juga pada cara pengumpulan data dan pengolahan data.

b. Teknik Analisis Data Marshall dan Rossman mengajukan teknik analisa data kualitatif untuk proses

analisis data dalam penelitian ini. Dalam menganalisa penelitian kualitatif terdapat beberapa tahapan-tahapan yang perlu dilakukan (Marshall dan Rossman dalam Kabalmay, 2002), diantaranya : 1. Mengorganisasikan Data Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek melalui wawancara mendalam (indepth inteviwer), dimana data tersebut direkam dengan tape recoeder dibantu alat tulis lainya. Kemudian dibuatkan transkipnya dengan mengubah hasil wawancara dari bentuk rekaman menjadi bentuk tertulis secara verbatim. Data yang telah didapat dibaca berulang-ulang agar penulis mengerti benar data atau hasil yang telah di dapatkan. 2. Pengelompokan berdasarkan Kategori, Tema dan pola jawaban Pada tahap ini dibutuhkan pengertiaan yang mendalam terhadap data, perhatiaan yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang muncul di luar apa yang ingin digali. Berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara, peneliti menyusun sebuah kerangka awal analisis sebagai acuan dan pedoman dalam mekukan coding. Dengan pedoman ini, peneliti kemudian kembali membaca transkip wawancara dan melakukan coding, melakukan pemilihan data yang relevan dengan pokok pembicaraan. Data yang relevan diberi kode dan penjelasan singkat, kemudian dikelompokan atau dikategorikan berdasarkan kerangka analisis yang telah dibuat. Pada penelitian ini, analisis dilakukan terhadap sebuah kasus yang diteliti. Peneliti menganalisis hasil wawancara berdasarkan pemahaman terhadap hal-hal diungkapkan oleh responden. Data yang telah dikelompokan tersebut oleh peneliti dicoba untuk dipahami secara utuh dan ditemukan tema-tema penting serta kata kuncinya. Sehingga peneliti dapat menangkap penagalaman, permasalahan, dan dinamika yang terjadi pada subjek. 3. Menguji Asumsi atau Permasalahan yang ada terhadap Data Setelah kategori pola data tergambar dengan jelas, peneliti menguji data tersebut terhadap asumsi yang dikembangkan dalam penelitian ini. Pada tahap ini kategori yang telah didapat melalui analisis ditinjau kemabali berdasarkan landasan

teori yang telah dijabarkan dalam bab II, sehingga dapat dicocokan apakah ada kesamaan antara landasan teoritis dengan hasil yang dicapai. Walaupun penelitian ini tidak memiliki hipotesis tertentu, namun dari landasan teori dapat dibuat asumsi-asumsi mengenai hubungan antara konsep-konsep dan factor-faktor yang ada. 4. Mencari Alternatif Penjelasan bagi Data Setelah kaitan antara kategori dan pola data dengan asumsi terwujud, peneliti masuk ke dalam tahap penejelasan. Dan berdasarkan kesimpulan yang telah didapat dari kaitanya tersebut, penulis merasa perlu mencari suatau alternative penjelasan lain tetnag kesimpulan yang telah didapat. Sebab dalam penelitian kualitatif memang selalu ada alternative penjelasan yang lain. Dari hasil analisis, ada kemungkinan terdpat halhal yang menyimpang dari asumsi atau tidak terfikir sebelumnya. Pada tahap ini akan dijelaskan dengan alternative lain melalui referensi atau teori-teori lain. Alternatif ini akan sangat berguna pada bagian pembahasan, kesimpulan dan saran. 5. Menulis Hasil Penelitian Penulisan data subjek yang telah berhasil dikumpulkan merupakan suatu hal yang membantu penulis unntuk memeriksa kembali apakah kesimpulan yang dibuat telah selesai. Dalam penelitian ini, penulisan yang dipakaiadalah presentase data yang didapat yaitu, penulisan data-data hasil penelitian berdasarkan wawancara mendalam dan observasi dengan subjek dan significant other. Proses dimulai dari data-data yang diperoleh dari subjek dan significant other, dibaca berulang kali sehinggga penulis mengerti benar permasalahanya, kemudian dianalisis, sehingga didapat gambaran mengenai penghayatan pengalaman dari subjek. Selanjutnya dilakukan interprestasi secara keseluruhan, dimana di dalamnya mencangkup keseluruhan kesimpulan dari hasil penelitian.

Anda mungkin juga menyukai