Anda di halaman 1dari 4

MENDUDUKAN KEMBALI KEDAULATAN SUMBERDAYA ALAM DAN ENERGI KITA Oleh: ABDUL AZIZ, SH Anggota DPD RI/MPR RI Provinsi

Sumatera Selatan

Sejak menjadi Negara net importer minyak untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri kedaulatan energy nasional dari sisi supply dan harga menjadi sangat rawan. cadangan energy kita sekarang hanya sanggup untuk 21 hari saja. Saat ini ketegangan di Selat Hormuz yang dapat menjurus terjadinya perang menurut beberapa pengamat akan melambungkan harga minyak dunia pada level yang mengerikan bagi kemampuan fiscal Negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Sementara sumber energy di luar minyak, baik gas dan batubara posisi saat ini lebih banyak diekspor dibandingkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Maka tidak heran jika pembangkit listrik, industry petro kimia, dan industry lainnya di dalam negeri sangat kekurangan pasokan gas. Dengan demikian setiap saat harga minyak dunia mengalami kenaikan kebijakan konversi energy sudah dipastikan akan mandul karena sumber energy lainnya juga langka pasokan. Akibatnya menaikan harga BBM masyarakat merupakan kebijakan pragmatis meski harus menghadapi gejolak social di masyarakat. Kedaulatan energy dapat dicerminkan dari kemampuan Negara mencadangkan energinya dalam mengantisipasi hal-hal yang bersifat diluar kebiasaan. Sayangnya cadangan minyak kita hanya mampu untuk 21 hari saja. Bayangkan jika depo plumpang atau kilang di plaju berhenti karena sesuatu hal maka Jakarta akan lumpuh. Betapa seriusnya masalah kedaulatan energy kita saat ini. Sejak awal kemerdekaan para pendiri republic Indonesia sudah menyadari betapa pentingnya kedaulatan Indonesia yang berarti pula adalah kedaulatan energy bagi Negara kita. Energi adalah untuk gerak, menggerakan seluruh sector kehidupan bagi pembangunan Indonesia. Tidak heran negaranegara lain di dunia begitu terobsesi dengan penguasaan energy di Negara lainnya. Kolonialisme, penguasaan energy memlalui perusahaan, mengatur pasar merupakan cara-cara penguasaan ini.

Menguasai energy berarti menguasai dunia. China dan Amerika Serikat adalah contoh Negara yang paling getol mencadangkan energy dengan mengimpor kebutuhan energy dari luar negeri sementara kekayaan energynya tetap disimpan. Baru sekarang, selama 40 tahun Amerika Serikat melakukan ekspor minyak disaat harga minyak dunia melambung tinggi.

PERJALANAN REGULASI DI BIDANG ENERGI Pada awal kemerdekaan, penguasaan sumberdaya alam dikuasai oleh penjajah dan perusahaan asing. Bung Karno menyadari betapa sumberdaya alam energy adalah yang paling diinginkan Negara-negara asing. Betapa strategisnya sector energy sehingga Bung Karno memerintahkan Djuanda untuk menyusun regulasi Nasionalisasi sumberdaya alam dari perusahaan-perusahaan Asing. Adalah Tengku Mohammad Hassan, sebagai ketua Komisi Perdagangan dan Industri DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara), pada tahun 1951 mengadakan suatu penelitian yang akhirnya menyimpulkan dua hal penting: Pertama, terdapat alasan kuat bahwa jika dilakukan nasionalisasi, hasil minyak Sumatera Utara bisa dipakai sebagai alat pembayaran. Kedua, Indonesia tidak memperoleh bagian yang wajar dari perusahaan minyak asing berdasarkan Let Alone Agreement dan sistem pembayaran pajak yang berlaku. Penelitiannya juga membawa terhadap sebuah Mosi mengenai usaha pertambangan yang sesuai dengan jiwa pasal 33 UUD 1945 yang disetujui oleh Kabinet secara Aklamasi. Pemerintah memenuhi Mosi tersebut dengan membentuk Panitia Negara Urusan Pertambangan

(PNUP)yang bertugas menyelidiki masalah-masalah pertambangan termasuk pertambangan minyak dan gas bumi dan menyusun rancangan undang-undang untuk menggantikan IMW 1899. Akhirnya babak baru pengelolaan pertambangan yang sesuai dengan jiwa pasal 33 UUD 1945 dimulai dengan dikeluarkannya UU Nomor 37 Prp. Tahun 1960 Tentang Pertambangan Umum dan UU Nomor 44.Prp. 1960 tentang Usaha Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Kedua UU ini memberikan landasan yang kuat dan penegasan akan arti kekayaan alam dikuasai oleh Negara dalam pasal 33 UUD 1945 bukan hanya sebatas regulasi tetapi juga mutlak berarti kepemilikan. Kedua UU ini juga menunjukan bahwa Negara berdaulat atas sumberdaya alam strategis termasuk energy. Seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan politik dalam negeri, kekuatan modal asing tidak pernah berhenti untuk merebut kembali penguasaan sumberdaya alam Indonesia. Pada era perubahan Orde Lama menjadi Orde Baru , perusahaan asing telah berhasil mengganti UU No.37 Prp. Tahun 1960

Tentang Usaha Pertambangan Umum yang berdaulat menjadi UU Nomor 11 Tahun 1967, sehingga pemerintah secara regulasi sengaja menyerahkan kedaulatan pengelolaan usaha pertambangan umum kepada perusahaan tambang asing. Dalam UU yang baru ini, Negara hanya menguasai mineral right, namun mining right dan economic right diserahkan kepada perusahaan asing. Sehingga pemilikan atas cadangan pertambangan umum menjadi genggaman perusahan swasta. Maka tidak heran jika sekarang PT Freeport, PT INCO, PT Newmont, PT Arutmin mengalahkan PT Aneka Tambang, PT Timah, PT Bukit Asam. Maka tidak heran pula jika sekarang keinginan pemerintah untuk melakukan renegoisasi

pertambangan umum menjadi sangat sulit dan tidak kunjung selesai. Di sector migas, UU No.44 Prp. tahun 1960 telah dirubah pada era reformasi menjadi UU No. 22 Tahun 2001 Tentng Minyak dan Gas Bumi. Sekali lagi, kedaulatan energy telah diserahkan kepada pihak asing dan swasta secara lebih halus. UU ini merubah economic right dari BUMN kepada lembaga pemerintah (Badab Hukum Negara) sehingga merubah prinsip pengelolaan usaha dengan MOC dari business to business menjadi government to business. Konsekuensinya adalah pemerintah tidak memiliki soveregnity atas claim arbitrase internasional sehingga semua kebijakan lembaga pemerintah merupakan objek claim arbitrase internasional. UU ini juga telah memposisikan BUMN Pertamina sejajar dengan MOC atau swasta, memisahkan usaha pertamina menjadi usaha hulu dan hilir, serta liberalisasi sector hilir migas yang bisa kita saksikan secara langsung keberadaannya di jalan-jalan.

REVITALISASI PASAL 33 UUD 1945 Regulasi di sector pertambangan dan energy telah terbukti menjauhkan Negara Indonesia untuk berdaulat atas sektor tersebut. Pemahaman pasal 33 UUD 1945 telah diartikan abu-abu mengenai prinsip dikuasai tidak berarti memiliki sehingga mining right dan economic right telah diserahkan kepada pihak asing dan swasta. Oleh karena itu sulit sekali bagi Indonesia untuk membentuk struktur modal dari kekayaan sumberdaya alam dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Padahal sekarang ini peta investasi global telah berubah banyak negara-negara kaya di Timur Tengah, China, Rusia, singapura menggunakan struktur modal nasional dan membentuk apa yang dinamakan Sovereign Wealth Fund (SWF) sebuah struktur modal nasional yang digunakan untuk mengakuisisi banyak perusahaan di negara asing. Mengembalikan pemahaman pasal 33 UUD 1945, dikuasai dan berarti dimiliki Negara menjadi keharusan karena para pendiri bangsa sudah meyakini dan melakukannya. Kedaulatan atas sumberdaya

alam dan energy sebagai modal dasar untuk sebesar-besarnya kemakmuran bangsa. Kedaulatan atas sumberdaya alam khusus nya energy haruslah menjadikan perusahaan Negara menjadi kuat dan berkembang. Cadangan dan produksi kekayaan alam yang menjadi milik perusahaan Negara harus dijadikan leverage. Seandainya cadangan migas, emas, batubara menjadi asset Negara dan menjadi laverage financing akan merubah system keuangan Negara yang tadinya menganut spending budget menjadi financing budget maka, terdapat kebebasan pemerintah dan pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan berdasarkan kekayaan alam yang dimiliki. Dengan demikian revitalisasi jiwa pasal 33 UUD 1945 tidak saja akan melepaskan kita dari ketergantungan sumberdaya energy pada pihak asing yang berarti berdaulat tetapi juga memperbesar kekayaan nasional untuk kepentingan bangsa dan Negara melalui perusahaan Negara dan perusahaan daerah yang kuat. Semoga.

Anda mungkin juga menyukai