Anda di halaman 1dari 3

Binny Buchori dan Ifa Soenarto, Mengenal Dharma Wanita, dalam Editor Mayling Oey-Gardiner dkk, Perempuan Indonesia:

Dulu dan Kini, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996),: 172-175. Dharma Wanita adalah organisasi wanita terbesar pada masa Orde Baru karena menghimpun semua istri pegawai. Organisasi ini memfokuskan kegiatannya untuk meningkatkan keterampilan wanita sebagai istri, walaupun ada juga program untuk meningkatkan peran wanita di luar rumah. Dharma wanita pembentukannya tidak lepas dari pembentukan KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia) pada tanggal 29 November 1971. Pembentukan KORPRI bertujuan untuk menyatukan dan menggalang kekuatan di kalangan pegawai negeri. Hal ini sangat penting karena pegawai negeri dianggap sebagai pejabat pemerintah yang menyelenggarakan sekaligus melaksanakan pembangunan. Oleh sebab itu pengalaman terpecahnya politik pegawai negeri yang membawa pertentangan idelogis dianggap counter produktif dan tidak mendukung terlaksananya pembangunan. Oleh sebab itu dibentuk KORPRI yang memiliki misi dan tujuan sebagai berikut:

... menciptakan keutuhan dan kekompakan pegawai Republik Indonesia, turut serta aktif menciptakan dan memelihara stabilitas nasional, dan merupakan aparatur yang ampuh di tangan Pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintah dan melaksanakan embangunan dalam rangka usaha meningkatkan taraf hidup orang banyak.

Setelah pembentukan KORPRI direalisasikan maka pemerintah Orde Baru berusaha juga mengontrol keluarganya terutama istri-istri pegawai tersebut sehingga dibentuklah Dharma Wanita. Sebenanrya sebelum terbentuk Dharma Wanita sudah ada organisasi-organisasi Istri-istri Pegawai Jawatan Pemerintah tetapi masih bersifat informal dan keanggotaannya sukarela. Tetapi lama kelamaan departemen-departemen tempat bernaung istri-istri pegawai tersebut untuk berkumpul mengambil alih pengelolaan organisasi istri tersebut dan mengubahnya menjadi organisasi fungsional yang keanggotaannya bersifat wajib. Selain di kalangan sipil, di kalangan militer juga banyak oganisasi istri-istri yang kebanyakan kegiatannya hanya untuk memperhatikan kesejahteraan anggota tetapi kemudian ditambah dengan kegiatan yang menunjang pemerintah seperti Keluarga Berencana, Pemberantasan Buta Huruf, dan menyukseskan Pemilu. Untuk mengefektifkan semua organisasi istri di atas dengan mengikuti KORPRI maka pada tanggal 5 Agustus 1974 dibentuk Dharma Wanita. Adapun alasan pembentukannya adalah bahwa salah satu kewajiban wanita sebagai istri yaitu mendukung perjuangan para suami dan menyukseskan pembangunan. Agar dukungan para istri dapat lebih terarah, maka perlu dibentuk suatu wadah untuk menghimpun dan membimbing usaha dan kegiatan-kegiatannya.

Halaman 175-176

Sifat. Tujuan dan kegiatan Gerakan wanita Indonesia berbeda dengan organisasi istri. Ketika awal berdiri, organisasi wanita banyak memperjuangkan perbaikan nasib wanita, sedangkan organisasi istri yang sudah menjadi formal dan bersifat fungsional lebih menitikberatkan pada kegiatan membantu suami. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa munculnya organisasi istri adalah sebuah langkah mundur dalam perjuangan gerakan wanita(Suryochondro, 1984: 177) Argumen yang sering diajukan adalah dalam organisasi istri, mereka tidak berdiri secara otonom, karena mereka tidak pernah menyinggung sama sekali berbagai permasalahan yang sering dibahas oleh organisasi gerakan perjuangan wanita seperti wanita mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, perbaikan nasib wanita buruh, perlindungan terhadap wanita. Sebaliknya status wanita sebagai istri yang melengkapi suami diterima sebagai sebuah kenyataan, sehingga diformalkannya organisasi istri menjadi organisasi wajib, terasa bahwa istri wajib mendukung kegiatan suami. Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah kata hati, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), Halaman 341-345 Dalam keluarga, terdapat bentuk-bentuk penindasan yang dapat ditemukan, Young membaginya dalam lima bentuk penindasan. Pertama, eksploitasi, ekploitasi yang terjadi dalam keluarga terjadi bukan karena hal-hal yang alamiah seperti yang diyakini masyarakat prekapitalis melainkan kepada adanya dominasi kelas, yaitu kelompok yang memiliki kontrol sehingga terdapat pengaruh relasi struktural antar kelompok. Ibu rumah tangga yang terekploitir merasa bagaimana ia secara sistematis ditempatkan dalam keadaan terbelenggu, tidak berani berbicara, dan sebagainnya. Kedua, ketidakberdayaan, perasaan ketidakberdayaan paling baik terdeskripsikan sebagai perasaan negatif, antara lain, tidak memiliki otoritas, status, dan arti diri seperti yang dimiliki kaum profesional. Ketiga, Marginalisasi, hal ini biasanya dapat terjadi dlam berbagai hal, di bidang pekerjaan, etnis minoritas, fisik, atau bahkan karena uang. Perasaan termarjinal ini terjadi akibat stigma masyarakat yang diberikan atau kurangnya penghargaan dan perlindungan pemerintah. Hal ini terjadi akibat ketidakadilan secaras truktural dan menimbulkan perasaan ketidakberdayaan bagi orang yang merasa termarjinalkan. Keempat, Imperialisme kultural, terjadi karena proses pembawaan budaya luar yang masuk ke kehidupan lokal dan melibatkan universalisasi pengalaman dan budaya kelompok dominan serta menetapkan norma-norma tertentu. . Makna-makna dominan dalam masyarakat menjadi

redup dalam perspektif kelompoknya dengan cara menggunakan stereotip. Kelima, kekerasan, kelompok yang tertindas dengan mudah mengalami kekerasan secara sistematis. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan fenomena ketidakadilan sosial karena adanya karakter sistematis yang ekstensinya adalah sebagai praktik sosial bukan penyimpangan perlakuan individu. Sita Aripurnami, Cengeng, Cerewet, Judes, Kurang Akal, dan Buka-Bukaan: Gambaran Perempuan dalan Film Indonesia, dalam Editor Mayling Oey-Gardiner dkk, Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996),:61. Dalam masyarakat Indonesia, sering didengungkan bahwa perempuan seyogyanya bertanggung jawab terhadap tugas-tugas di lingkup rumah tangganya, menjadi ibu dan istri yang baik. Pandangan ini sebenarnya sejalan dengan definisi perempuan yang tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Indonesia serta Panca Dharma Wanita. Dalam GBHN 1993, di awal pernyataan mengenai perempuan disebutkan bahwa perempuann Indonesia secara alami mempunyai kodrat yang berbeda dengan laki-laki dan merupakan mitra yang sejajar dengan laki-laki. Perempuan juga memiliki hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Namun peran perempuan diarahkan untuk mempertinggi harkat dan martabat perempuan serta ditujukan untuk meningkatkan peran aktif dalam pelbagai kegiatan pembangunan termasuk upaya mewujudkan keluarga sehat, sejahtera, dan bahagia serta pengembangan anak, remaja, dan pemuda dalam rangka pembangunan manusia Indonesia. Panca Dharma Wanita, merupakan bagian dari penjelasan mengenai Pembangunan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pembangunan Desa (1978). Perempuan Indonesia memiliki lima peran, yakni: pertama, sebagai istri pendamping suami; kedua, sebagai ibu pengelola rumah tangga; ketiga, sebagai Ibu penerus keturunan; keempat, sebagai pendidik anak, dan kelima, sebagai arga negara Indonesia. Tahun 1994, peran kedua dari Panca Dharma Wanita telah diubah menjadi peran sebagai penambah pendapatan keluarga.

Hanna Rambe, Perjuangan Tak Berakhir, dalam Editor Mayling Oey-Gardiner dkk, Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996),:106. Enam tokoh perempuan yang terenal pada masa Orde baru adalah, S.K. Trimurti, wartawati dan tokoh masyarakat; Nj. Herawati Diah, tokoh bidang hukum yang giat dalam keluarga berencana dan terlibat dalam persiapan undang-undang perkawinan; Ny. Titi Memet Tanumidjaja, pernah menjadi kepala perwakilan penuh UNICEF di berbagai negara; Ny. Sulaskin Mmoerpratomo, pensiunan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dan Politisi; Ny. Sandiah Suryono sebagai tokoh terkenal dalam pendidikan anak-anak pra-sekolah.

Anda mungkin juga menyukai