Anda di halaman 1dari 3

Judul: Tantangan Ekonomi Indonesia Tanggal: 2012-02-24 24 Media: Republika

Tantangan Ekonomi Indonesia


Perekonomian Indonesia sedang memasuki masa-masa yang cerah sekaligus menantang. Walaupun masa masa lingkungan global masih diwarnai stagnasi dan volatilitas yang merisaukan, perekonomian kita dipandang banyak kalangan telah membuahkan sejumlah prestasi. Pertumbuhan pada 2011 tercatat sebesar 6,5 persen dengan inflasi 3,79 persen. Di bulan Januari 2012 inflasi bahkan turun menjadi 3,65 persen (yoy). hkan Naiknya peringkat utang Indonesia menjadi investment grade semakin meningkatkan kepercayaan investor mengenai perekonomian kita, yang berimbas pada semakin besarnya minat berinvestasi ke Indonesia, baik investasi portofolio di sektor keuangan maupun investasi langsung di sektor riil. portofolio Dengan rasio external debt to GDP akhir 2011 sebesar 26,5 persen dan defisit anggaran 1,2 persen, tidak berlebihan bila seorang pejabat teras IMF Asia Pasifik baru-baru ini mengatakan k baru baru kepada saya bahwa prestasi Indonesia ini seharusnya muncul sebagai headline di semua surat kabar Eropa sebagai contoh. Namun pada kesempatan ini saya tidak hendak membicarakan lebih lanjut cerita baik tersebut. Sebaliknya, saya akan coba membahas aspek-aspek di perekonomian Indonesia yang selayaknya aspek pek memperoleh perhatian kita semua, baik kalangan pengambil kebijakan maupun kelompok akademisi. Hemat saya, saat ini masih terdapat sejumlah tantangan yang kita hadapi bersama. Sejumlah tantangan tersebut kurang lebih adalah sebagai berikut. Pertama, seiring dengan tingginya aktivitas ekonomi g domestik yang produk pangan. Kita tentu nya menyadari bahwa peran pertanian tanaman pangan masih tetap vital bagi perekonomian Indonesia. Di satu sisi, penduduk Indonesia yang sangat besar memiliki kebutuhan pangan yang besar pula. Di sisi lain, berdasarkan data historis, inflasi kita sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga pangan, yaitu pada komponen volatile food. Karakteristik inflasi kita cenderung supply side bias, yang artinya sensitif terhadap perkembangan di sisi supply, misalnya situasi panen, tantangan geografis, hambatan transportasi dan kondisi cuaca. Ketiga, peran sektor keuangan dalam menggerakkan perekonomian lebih dominan melalui pihak pihak-pihak yang memiliki dana atau bisnis. Sementara kelompok menengah bawah yang memiliki akses ke lembaga lembaga-lembaga keuangan masih terbatas. Sejumlah inisiatif dalam kerangka financial inclusion agaknya di perlukan agar lebih banyak masyarakat miskin yang mampu memanfaatkan fasilitas keuangan, terutama kredit secara luas dan fasilitas murah. Dengan demikian, diharapkan kemajuan dari proses pengentasan kemiskinan yang juga merupakan agenda pemerintah, semakin terakselerasi. Berdasarkan observasi, peran agunan dalam memperoleh kredit ternyata signifikan. ata Pada banyak situasi lahan atau rumah yang dimiliki masyarakat bawah belum memiliki sertifikat sehingga tidak bisa digunakan untuk memperoleh fasilitas pembiayaan, sementara sebidang tanah tersebutlah satu-satunya aset yang dapat diagunkan. satunya diagunkan Perlu dicari jalan untuk meningkatkan itu, termasuk mempermudah sertifikasi tanah. Keempat, saat ini kita sedang berusaha menggiring suku bunga ke arah yang lebih rendah. Sejumlah tanda tanda-tanda peningkatan investasi telah terlihat.

Namun di lain pihak, tingginya minat investasi dalam dan luar negeri ini tampaknya belum diimbangi ketersediaan instrumen yang sepadan. Untuk memitigasi risiko asset price bubble, upaya mendorong pendalaman pasar keuangan, terutama IPO dan emisi obligasi baru, perlu semakin diperkuat. Salah satu cara mendorong perusahaan-perusahaan kita go public adalah dengan memperkecil jarak antara perusahaan terbuka dan non terbuka. Cara yang paling siap untuk mewujudkan ini adalah dengan lebih mengefektifkan Undang-Undang Wajib Lapor Perusahaan. Pemerintah pusat dan daerah juga dapat mempertimbangkan melakukan pembiayaan proyek infrastruktur misalnya melalui emisi obligasi khusus. Kelima, menarik untuk melihat keterkaitan antara ekonomi makro dan ekonomi mikro. Saat ini kita sudah banyak memiliki ahli ekonomi makro, misalnya dalam bidang fiskal, moneter, perdagangan maupun keuangan. Untuk ekonomi mikro bangsa ini juga banyak memiliki CEO berprestasi, pebisnis yang sukses, maupun pemimpin group usaha. Namun tampaknya kita masih memerlukan tenaga ahli untuk melakukan penelitian maupun pengambilan kebijakan di area organisasi industri dan struktur pasar yang merupakan suatu area penghubung area ekonomi makro dan ekonomi makro. Organisasi industri dan struktur pasar yang masih kurang ideal tecermin dari sejumlah indikasi, seperti rigiditas bunga perbankan, rendahnya share pendapatan petani, merebaknya jaringan swalayan skala besar, serta rendahnya inefisiensi di sejumlah industri. Keenam, perekonomian kita tampaknya masih dihadapkan pada inefisiensi di sektor keuangan. Di kawasan ASEAN, industri perbankan kita memiliki rasio biaya operasional dibandingkan pendapatan operasional (BOPO) yang tergolong tertinggi. Ini agak kontradiktif dengan margin bunga bersih (NIM) perbankan kita yang ternyata juga menempati posisi tertinggi. Ada baiknya kalangan perbankan meninjau ulang dan menyempurnakan komposisi aset dan funding masing- masing. Selain itu, terdapat indikasi bahwa strategi eks pansi bisnis perbankan, seperti pem bukaan cabang dan ATM baru, cenderung difasilitasi oleh tingginya spread lending rate dan deposit rate, bukan oleh laba ditahan yang secara khusus selanjutnya digunakan untuk ekspansi. Kita sedang berusaha agar industri perbankan semakin efisien, misalnya melalui transparansi dan fairness yang semakin tinggi. Ketujuh, tak terasa tiga tahun dari sekarang, yaitu pada 2015 ASEAN Economic Community (AEC) akan resmi berdiri. Saat itu kita akan menghadapi situasi di mana lalu lintas barang, jasa, modal, dan tenaga kerja terampil jauh lebih bebas. Dari sisi ukuran perekonomian, Indonesia adalah yang terbesar di ASEAN. Potensi pasar dari perekonomian kita akan menjadi daya tarik negara lain. Hemat saya, untuk menghadapi AEC ini tidak ada pilihan bagi kita selain meningkatkan daya saing setinggi mungkin. Kedelapan, dalam jangka panjang, saya percaya bahwa daya saing perekonomian kita ditentukan oleh kualitas hu man capital. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa human capital merupakan penentu prestasi perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Ke depan, daya saing suatu negara semakin ditentukan oleh penguasaan teknologi dan tingkat produktivitas, bukan lagi oleh kuantitas tenaga kerja atau modal yang dimiliki. Di samping sejumlah tantangan tadi, perekonomian Indonesia kadang dipandang masih berada pada keseimbangan yang kurang optimal. Sejumlah indikasi tampaknya menunjukkan bahwa sumber daya terlalu memusat di sektor keuangan dan kurang mengalir ke sektor riil. Ini bisa jadi karena masih terlalu tingginya imbal hasil di sektor keuangan bila diban dingkan dengan di

sektor riil setelah mempertimbangkan risiko walaupun penelitian lebih lanjut memang di perlukan. Oleh karena itu, BI memandang suku bunga berperan penting tak hanya sebagai sinyal kebijakan, tetapi juga sebagai insentif perekonomian. Dalam penentuan kebijakan, BI selalu memilih untuk tidak mengambil langkah ekstrem yang berbentuk corner solution, tapi berusaha melihat dan menimbang semua aspek, terutama tentu saja proyeksi dan sasaran inflasi hingga dapat dirancang suatu interior solution. Tampak bahwa kontribusi profesional kita sebagai economist, baik di akademis maupun di pengambilan kebijakan, masih diperlukan secara substansial. Kita tidak perlu berkecil hati melihat tantangan tantangan tersebut. Bahkan sebaliknya, melihat prestasi perekonomian Indonesia saat ini, kita punya banyak alasan untuk optimis. John Maynard Keynes, seorang economist terkenal sekaligus salah satu pendiri World Bank dan IMF, pernah berujar bahwa economist adalah the guardians, not of civilisation, but of the possibilities of civilization.

Anda mungkin juga menyukai