Tantangan Ekonomi Indonesia Artikel Gbi Republika 240214
Tantangan Ekonomi Indonesia Artikel Gbi Republika 240214
Namun di lain pihak, tingginya minat investasi dalam dan luar negeri ini tampaknya belum diimbangi ketersediaan instrumen yang sepadan. Untuk memitigasi risiko asset price bubble, upaya mendorong pendalaman pasar keuangan, terutama IPO dan emisi obligasi baru, perlu semakin diperkuat. Salah satu cara mendorong perusahaan-perusahaan kita go public adalah dengan memperkecil jarak antara perusahaan terbuka dan non terbuka. Cara yang paling siap untuk mewujudkan ini adalah dengan lebih mengefektifkan Undang-Undang Wajib Lapor Perusahaan. Pemerintah pusat dan daerah juga dapat mempertimbangkan melakukan pembiayaan proyek infrastruktur misalnya melalui emisi obligasi khusus. Kelima, menarik untuk melihat keterkaitan antara ekonomi makro dan ekonomi mikro. Saat ini kita sudah banyak memiliki ahli ekonomi makro, misalnya dalam bidang fiskal, moneter, perdagangan maupun keuangan. Untuk ekonomi mikro bangsa ini juga banyak memiliki CEO berprestasi, pebisnis yang sukses, maupun pemimpin group usaha. Namun tampaknya kita masih memerlukan tenaga ahli untuk melakukan penelitian maupun pengambilan kebijakan di area organisasi industri dan struktur pasar yang merupakan suatu area penghubung area ekonomi makro dan ekonomi makro. Organisasi industri dan struktur pasar yang masih kurang ideal tecermin dari sejumlah indikasi, seperti rigiditas bunga perbankan, rendahnya share pendapatan petani, merebaknya jaringan swalayan skala besar, serta rendahnya inefisiensi di sejumlah industri. Keenam, perekonomian kita tampaknya masih dihadapkan pada inefisiensi di sektor keuangan. Di kawasan ASEAN, industri perbankan kita memiliki rasio biaya operasional dibandingkan pendapatan operasional (BOPO) yang tergolong tertinggi. Ini agak kontradiktif dengan margin bunga bersih (NIM) perbankan kita yang ternyata juga menempati posisi tertinggi. Ada baiknya kalangan perbankan meninjau ulang dan menyempurnakan komposisi aset dan funding masing- masing. Selain itu, terdapat indikasi bahwa strategi eks pansi bisnis perbankan, seperti pem bukaan cabang dan ATM baru, cenderung difasilitasi oleh tingginya spread lending rate dan deposit rate, bukan oleh laba ditahan yang secara khusus selanjutnya digunakan untuk ekspansi. Kita sedang berusaha agar industri perbankan semakin efisien, misalnya melalui transparansi dan fairness yang semakin tinggi. Ketujuh, tak terasa tiga tahun dari sekarang, yaitu pada 2015 ASEAN Economic Community (AEC) akan resmi berdiri. Saat itu kita akan menghadapi situasi di mana lalu lintas barang, jasa, modal, dan tenaga kerja terampil jauh lebih bebas. Dari sisi ukuran perekonomian, Indonesia adalah yang terbesar di ASEAN. Potensi pasar dari perekonomian kita akan menjadi daya tarik negara lain. Hemat saya, untuk menghadapi AEC ini tidak ada pilihan bagi kita selain meningkatkan daya saing setinggi mungkin. Kedelapan, dalam jangka panjang, saya percaya bahwa daya saing perekonomian kita ditentukan oleh kualitas hu man capital. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa human capital merupakan penentu prestasi perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Ke depan, daya saing suatu negara semakin ditentukan oleh penguasaan teknologi dan tingkat produktivitas, bukan lagi oleh kuantitas tenaga kerja atau modal yang dimiliki. Di samping sejumlah tantangan tadi, perekonomian Indonesia kadang dipandang masih berada pada keseimbangan yang kurang optimal. Sejumlah indikasi tampaknya menunjukkan bahwa sumber daya terlalu memusat di sektor keuangan dan kurang mengalir ke sektor riil. Ini bisa jadi karena masih terlalu tingginya imbal hasil di sektor keuangan bila diban dingkan dengan di
sektor riil setelah mempertimbangkan risiko walaupun penelitian lebih lanjut memang di perlukan. Oleh karena itu, BI memandang suku bunga berperan penting tak hanya sebagai sinyal kebijakan, tetapi juga sebagai insentif perekonomian. Dalam penentuan kebijakan, BI selalu memilih untuk tidak mengambil langkah ekstrem yang berbentuk corner solution, tapi berusaha melihat dan menimbang semua aspek, terutama tentu saja proyeksi dan sasaran inflasi hingga dapat dirancang suatu interior solution. Tampak bahwa kontribusi profesional kita sebagai economist, baik di akademis maupun di pengambilan kebijakan, masih diperlukan secara substansial. Kita tidak perlu berkecil hati melihat tantangan tantangan tersebut. Bahkan sebaliknya, melihat prestasi perekonomian Indonesia saat ini, kita punya banyak alasan untuk optimis. John Maynard Keynes, seorang economist terkenal sekaligus salah satu pendiri World Bank dan IMF, pernah berujar bahwa economist adalah the guardians, not of civilisation, but of the possibilities of civilization.